Anda di halaman 1dari 23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Diagnosis Asma

Penegakan diagnosis adalah dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan

pemeriksaan penunjang seperti ditampilkan pada Tabel 2.1. Pada anamnesis,

didapatkan episode berulang keluhan mengi dan atau batuk berulang, sesak napas,

dada seperti tertekan dan adanya sputum, muncul bila ada pencetus, adanya riwayat

alergi pada penderita atau keluarganya, adanya variabilitas gejala (umumnya

nokturnal), dan reversibilitas (gejala membaik dengan pemberian obat pereda

asma). Pada pemeriksaan fisis didapatkan mengi yang terdengar dengan/tanpa

stetoskop, serta adanya tanda atopi (dermatitis atopi atau rinitis alergi) dan tanda

alergi (allergic shiners, geographic tongue). Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan adalah uji fungsi paru dengan spirometri (uji reversibilitas dan

variabilitas), uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, IgE spesifik, uji

inflamasi saluran napas (fractional exhaled nitric oxide, eosinofil sputum), uji

provokasi bronkus (exercise, metakolin, atau salin hipertonik) (UKK Respirologi

PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015). Diagnosis asma pada anak berumur

dibawah atau sama dengan lima tahun, selain menggunakan kriteria tersebut juga

menggunakan asthma predictive index (API), yaitu bila terjadi mengi berulang dan

memenuhi salah satu dari dua kriteria mayor atau minimal dua dari tiga kriteria

minor seperti pada Tabel 2.2. Perbedaan asma pada anak balita dengan di atas lima

tahun yaitu peran infeksi virus terhadap timbulnya mengi. Frekuensi dan durasi
gejala, pemicunya terhadap gejala, serta riwayat alergi keluarga dipakai sebagai

petunjuk untuk menduga asma ditambah dengan faktor alergi (UKK Respirologi PP

Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015; Castro-Rodriguez dkk., 2000).

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis asma

(UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015)

Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk, sesak napas, dada  Biasanya lebih dari 1 gejala
tertekan, produksi sputum respiratori
 Gejala berfluktuasi intensitasnya
seiring waktu
 Gejala memberat pada malam hari
atau dini hari
 Gejala timbul bila ada pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi:
Gambaran obstruksi saluran respiratori FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)
FEV1/FVC ≤90%
Uji reversibilitas Peningkatan FEV1 >12%
Variabilitas Perbedaan FEVR harian >13%
Uji provokasi Penurunan FEV1 >20% atau PEFR
>15%

Tabel 2.2 Asthma predictive index (API)

(Castro-Rodriguez dkk., 2000)

Kriteria mayor Kriteria minor

1. Riwayat asma pada orangtua 1. Rinitis alergi


(didiagnosis oleh dokter) (didiagnosis oleh dokter)
2. Dermatitis atopik 2. Mengi bukan karena flu
(didiagnosis oleh dokter)
3. Eosinofilia (≥4%)
2.2 Klasifikasi

Klasifikasi menurut UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia

(2015), yaitu:

a. Klasifikasi berdasarkan umur

1. asma bayi-baduta (bawah dua tahun)

2. asma balita (bawah lima tahun)

3. asma usia sekolah (5-11 tahun)

4. asma remaja (12-17 tahun)

b. Klasifikasi berdasarkan fenotip

Klasifikasi ini adalah pengelompokan berdasarkan penampakan klinis,

patofisiologis, atau demografis, yaitu:

1. asma tercetus infeksi virus

2. asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)

3. asma tercetus alergen, asma terkait obesitas

4. asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)

c. Klasifikasi berdasarkan derajat kendali

1. Asma terkendali penuh (well controlled)

a. Tanpa obat pengendali (asma intermiten)

b. Dengan obat pengendali (asma persisten ringan/sedang/berat)

2. Asma terkendali sebagian (partly controlled)

3. Asma tidak terkendali (uncontrolled)

d. Klasifikasi berdasarkan derajat asma seperti pada Tabel 2.3.


Tabel 2.3 Kriteria penentuan derajat asma

(UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015)


Derajat asma Uraian kekerapan gejala asma

Intermiten Episode gejala asma <6 kali/tahun atau jarak antar gejala
≥6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1 kali/bulan, <1 kali/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma >1 kali/minggu, namuntidak setiap
hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap hari

Serangan asma mencerminkan gagalnya tata laksana asma jangka panjang atau

adanya pajanan dengan pencetus. Derajat berat serangan asma, dikelompokkan

menjadi tiga yaitu asma serangan ringan-sedang, asma serangan berat dan serangan

asma dengan ancaman henti napas seperti pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Derajat berat serangan asma

(UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015)

Asma serangan Asma serangan berat Serangan asma dengan


ringan-sedang ancaman henti napas

 Bicara dalam kalimat  Bicara dalam kata  Mengantuk


 Lebih senang duduk  Duduk bertopang  Letargi
daripada berbaring lengan  Suara napas tak
 Tidak gelisah  Gelisah terdengar
 Frekuensi napas  Frekuensi napas
meningkat meningkat
 Frekuensi nadi  Frekuensi nadi
meningkat meningkat
 Retraksi minimal  Retraksi jelas
 SpO2 (udara kamar):  SpO2 (udara kamar)
90-95% <90%
 PEF >50% prediksi  PEF≤50% prediksi
atau terbaik atau terbaik
2.3 Faktor Risiko Asma

Penyebab asma masih belum banyak diketahui hingga saat ini. Review

sistematis mendapatkan data yang sangat heterogen bahwa riwayat keluarga

merupakan faktor risiko asma terbanyak, diikuti oleh paparan gas rumah tangga,

tinggal di lingkungan yang padat, obesitas, masa menyusu yang singkat, depresi

pada anak, serta kecemasan maternal (Strina, 2014). Penelitian oleh Salam dkk.

(2004) mendapatkan bahwa paparan dengan kecoa, paparan dengan herbisida atau

pestisida, debu, perawatan di tempat penitipan anak merupakan faktor risiko asma.

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa defisiensi vitamin D merupakan

faktor risiko terjadinya asma. Vitamin D memengaruhi perkembangan sistem imun

dan terjadinya asma. Status vitamin D yang baik akan memengaruhi cara tubuh

melawan infeksi saluran napas dengan meningkatkan produksi protein antimikroba

seperti cathelicidin dan beta defensin serta memengaruhi perkembangan paru

(Litonjua, 2012).

Obesitas meningkatkan mediator inflamasi sistemik yang mengaktifkan

eosinofil sehingga mengakibatkan eksaserbasi inflamasi saluran napas dan paru.

Pada obesitas terjadi peningkatan leptin yang berkorelasi dengan massa jaringan

lemak. Leptin merupakan mediator proinflamasi. Leptin mengakibatkan

peningkatan ekspresi molekul adhesi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1)

yang merangsang kemokinesis eosinofil dan menginduksi dihasilkannya sitokin

seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) (Grotta dkk., 2013).


2.4 Patofisiologi Asma

Sebagian besar asma muncul sejak masa anak-anak dan berhubungan dengan

sensitisasi oleh berbagai alergen inhalasi seperti tungau debu rumah, kecoa, rambut

binatang, jamur dan serbuk sari. Alergen tersebut merangsang proliferasi sel Th2,

yang selanjutnya meningkatkan produksi sitokin seperti IL-4, IL-5, dan IL-13

(Kudo dkk., 2013).

Sitokin yang dihasilkan oleh sel Th2 seperti IL-4, IL-5, dan IL-13 berpengaruh

terhadap terjadinya inflamasi eosinofilik pada saluran napas. Eosinofilia merupakan

gambaran klasik respon inflamasi akibat alergi (Luna-Gomes dkk., 2013).

Epitel saluran napas berperan dalam proses inflamasi dan remodeling. Pada

anak penderita asma, kerusakan epitel dapat memicu remodeling saluran napas

dengan menghasilkan pro-mitotic dan fibrogenic growth factor berlebih. Faktor-

faktor tersebut meningkatkan proliferasi otot polos, angiogenesis dan meningkatkan

deposisi kolagen sehingga terjadi penebalan membran basal. Penebalan ini terjadi

akibat penumpukan berbagai komponen matriks ekstraseluler seperti kolagen,

fibronektin dan laminin. Eosinofil melalui kontak langsung dengan otot polos

saluran napas juga berperan dalam terjadinya penebalan epitel saluran napas dengan

menghasilkan cysteinyl leukotriene (CysLT) terutama leukotriene C4 (LTC4) yang

merangsang proliferasi sel otot polos saluran napas. Penebalan ini bersifat proteksi

pada asma karena meningkatkan kekakuan saluran napas sehingga mencegah

bronkokonstriksi berlebih (Saglani dan Lloyd, 2015).

Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan ketebalan membran basal telah

terjadi pada anak yang masih kecil dengan faktor risiko asma bahkan sebelum
terdiagnosis asma. Aktivasi epitel bronkus merangsang terjadinya angiogenesis. Sel

epitel bronkus juga menghasilkan beberapa kemokin seperti IL-5, IL-8 dan eotaksin

yang merangsang sel inflamasi terutama eosinofil dan membantu pergerakannya

menuju lumen bronkus (Saglani dan Lloyd, 2015; Carsin dkk., 2016; Halwani dkk.,

2012). Keberadaan eosinofil di saluran napas dipertahankan oleh beberapa sitokin

yang bekerja dengan menghambat apoptosis seperti IL-3, IL-5, IL-9, IL-13, IL-15

dan GM-CSF. Thymic stromal protein (TSLP), IL-25, dan IL-33 merupakan trias

sitokin yang dihasilkan oleh epitel saluran napas untuk merespon berbagai stimulus

dari lingkungan atau akibat kerusakan seluler (Walsh, 2013).

2.5 Patofisiologi Serangan Asma

Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) gejala-

gejala batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari

gejala-gejala tersebut. Menurut International consensus on (ICON) pediatric

asthma, episode akut penyempitan saluran napas diawali oleh kombinasi udem,

infiltrasi sel inflamasi, hipersekresi mukus, kontraksi otot polos, dan deskuamasi

epitel yang bersifat reversibel (Papadopoulos dkk., 2012; UKK Respirologi PP

Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015).

Perubahan tahanan saluran napas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus

mengakibatkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion

mismatch). Penyempitan saluran napas tersebut mengakibatkan udara terperangkap

(air trapping) serta hiperinflasi paru. Hiperinflasi paru menurunkan komplians paru

sehingga terjadi peningkatan usaha napas. Peristiwa ini mengakibatkan perubahan


pada gas darah. Pada saat awal serangan, terjadi hiperventilasi untuk

mengkompensasi hipoksia sehingga tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) turun

dan terjadi alkalosis respiratorik. Pada obstruksi saluran napas yang berat, dapat

terjadi kelelahan otot napas dan hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan

hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Asidosis metabolik juga terjadi akibat

hipoksia jaringan dan produksi asam laktat oleh otot respiratori. Hipoksia dan

asidosis menyebabkan vasokonstriksi pulmonal tapi jarang mengakibatkan

corpulmonale. Hipoksia dan vasokonstriksi merusak sel alveoli sehingga produksi

surfaktan berkurang atau tidak ada dan meningkatkan risiko atelektasis (UKK

Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015).

Aktivasi sel T mencerminkan gambaran serangan asma yang berat. Oksidan

stres juga merupakan komponen asma akut. Influks dan aktivasi granulosit akan

disertai meningkatnya produksi radikal bebas oksigen yang melebihi kemampuan

pertahanan tubuh sehingga terjadi oksidasi lemak dan protein. Adanya infeksi virus,

asap rokok, alergen, dan interaksi antara pencetus tersebut merangsang

dihasilkannya mediator inflamasi yang menimbulkan serangan asma (Wark dan

Gibson, 2006).

Kortikosteroid dan leukotriene inhibitor merupakan obat-obatan yang

digunakan untuk mengatasi inflamasi pada asma. Kortikosteroid bekerja dengan

cara menghambat sintesis mediator inflamasi dan mencegah migrasi atau aktivasi

sel inflamasi. Kortikosteroid juga meningkatkan kerja reseptor β sehingga terjadi

bronkodilatasi. Kortikosteroid mempunyai waktu paruh hingga 72 jam (Shefrin dan

Goldman, 2009). Kortikosteroid menghambat produksi TGF-β1 dan TGF-β2 dan


menekan ekspresi kedua isoform TGF-β tersebut (Wen dkk., 2003). Leukotriene

inhibitor bekerja dengan berikatan dengan reseptor leukotriene D4 dan leukotriene

E4. Leukotriene inhibitor mempunyai waktu paruh hingga 10 jam (D’Urzo dan

Chapman, 2000).

2.6 Faktor yang Berhubungan dengan Serangan Asma

Serangan asma dapat terjadi akibat adanya inducer, enhancer, atau trigger

(pencetus). Inducer dan enhancer dapat berperan sebagai trigger. Inducer terdiri

dari berbagai alergen (inhalan, ingestan), sedangkan yang termasuk enhancer

adalah infeksi virus. Beberapa contoh trigger yaitu olah raga, udara dingin, asap

rokok, dan TGF-β1 (Platts-Mills dkk., 1997; Duvernelle dkk., 2003).

2.6.1 Transforming growth factor-β1

2.6.1.1 Produksi TGF-β1

Transforming growth factor-β mengontrol produksi matriks ekstraseluler dan

merangsang kemotaksis sel termasuk fibroblas, limfosit, makrofag, dan neutrofil.

Produksi matriks ekstraseluler merupakan aktivitas paling penting pada sel

mesenkim. Aktivitas TGF-β pada matriks ekstraseluler berupa peningkatan

ekspresi protein matriks ekstraseluler, inhibisi ekspresi protease yang dapat

memecah matriks ekstraseluler, merangsang ekspresi protease inhibitor dan

mengatur ekspresi integrin dan molekul yang berfungsi sebagai reseptor beberapa

komponen matriks ekstraseluler (Tirado-Rodriguez dkk., 2014).

Famili sitokin TGF-β pada manusia terdiri dari tiga isoform yaitu TGF-β1,

TGF-β2, dan TGF-β3. TGF-β terdapat pada beberapa sel seperti fibroblas, endotel,
epitel, dan sel otot polos. TGF-β dihasilkan oleh sel imun dan dapat dideteksi

terutama pada inflamasi dan perbaikan cedera jaringan. Sel monosit

mengekspresikan mRNA TGF-β, namun proteinnya hanya dihasilkan dalam

kondisi aktif. Makrofag paru menyimpan sebagian besar cadangan TGF-β saat

terjadi inflamasi paru. TGF-β1 diekspresikan pada sel eosinofil, makrofag, limfosit,

endotel, sel otot polos, dan fibroblast dan berikatan dengan matriks ekstraseluler

subepitel. TGF-β2 umumnya diekspresikan oleh sel neuron, astroglia, dan sel sistem

saraf pusat embrio, sedangkan TGF-β3 berperan pada morfogenesis paru, dan

diekpresikan oleh eosinofil, makrofag, dan limfosit. TGF-β1, TGF-β2, dan TGF-β3

disintesis sebagai molekul prekursor inaktif yang terdiri dari 390 hingga 412 asam

amino. Setelah mengalami dimerisasi, dimer TGF-β dipecah dari propeptida di

badan golgi oleh enzim furin (Tirado-Rodriguez dkk., 2014).

Penelitian oleh Howat dkk. (2002) yang menguji kadar TGF-β1 serum setelah

terjadinya kerusakan epitel bronkus, mendapatkan bahwa terjadi peningkatan kadar

TGF-β1 laten pada serum setelah 2 jam provokasi terhadap jaringan bronkus.

Transforming growth factor- β1 laten tersebut kemudian berubah menjadi bentuk

aktif.

Reseptor TGF-β1 terdapat dalam tiga bentuk: tipe I dan II (mempunyai afinitas

tinggi), serta tipe III (mempunyai afinitas rendah) (Gambar 2.1). Reseptor tipe II

termasuk β-glycan dan endoglin dan tidak mentransduksikan sinyal namun

mengkonsentrasikan TGF-β pada permukaan sel dan mengekspresikan ligan pada

reseptor lain (Chung dan Barnes, 1999).


Gambar 2.1 Aktivasi TGF-β1

(Dikutip dari Al-Alawi dkk., 2014)

2.6.1.2 Aktivasi TGF-β1

Transforming growth factor-β diproduksi oleh berbagai jenis sel dalam bentuk

laten dengan berat molekul yang besar. TGF-β laten dapat diubah menjadi bentuk

aktif (Gambar 2.1) yang memiliki berat molekul yang lebih kecil melalui proses

asidifikasi (Miyazono dkk., 1988). Aktivasi bentuk laten TGF-β terjadi melalui

berbagai mekanisme meliputi keterlibatan protease seperti trombin dan plasmin,

retinoid, transglutaminase jaringan, spesies oksigen reaktif, pH yang rendah, dan

trombospandin (Camoretti-Mercado dan Solway, 2005). Beberapa penelitian

melaporkan aktivasi TGF-β oleh fibroblast growth factor-2 (FGF-2) pada sel

endotel, atau oleh endotoksin dan bleomycin pada makrofag. Beberapa protease
seperti matrix metalloproteinase-2 (MMP-2) serta MMP-9 terbukti mengaktifkan

TGF-β pada penelitian in vitro (Tirado-Rodriguez dkk., 2014).

Transforming growth factor-β hanya bisa dihasilkan oleh sel dalam bentuk

inaktif atau laten. Bentuk laten merupakan gabungan dari TGF-β aktif dan latency-

associated protein (LAP). Latency-associated protein berikatan dengan dimer

TGF-β sehingga TGF-β aktif tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Setelah

disekresi, TGF-β laten dapat mengalami beberapa kemungkinan yaitu akan

teraktivasi sehingga bisa berikatan dengan reseptornya atau masuk ke sirkulasi dan

menimbulkan efek pada berbagai jaringan yang berbeda. Waktu paruh TGF-β aktif

hanya 2-3 menit, namun TGF-β laten dapat mempunyai waktu paruh yang lebih

lama. Umumnya TGF-β laten akan tersimpan pada matriks ekstraseluler yang

sewaktu-waktu dapat dikeluarkan sesuai kondisi fisiologis atau patologis (Tirado-

Rodriguez dkk., 2014).

2.6.1.3 Keadaan yang berhubungan dengan kadar TGF-β1

Seluruh famili TGF-β berperan dalam pembentukan tumor dan dapat pula

berperan sebagai supresor tumor tergantung pada stadium tumor. TGF-β

merupakan agen antitumor yang bekerja pada fase awal perkembangan kanker, dan

akan bekerja memacu pertumbuhan tumor pada fase lanjut kanker dengan cara

meningkatkan proliferasi, invasi, dan metastasis kanker. TGF-β meningkatkan

invasi tumor seperti tumor payudara, kolon, esophagus, lambung, hati, paru, ginjal,

pankreas, prostat, otak, melanoma maligna, dan tumor hematologi. Angiogenesis

dipacu dengan mengaktifkan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang

selanjutnya mengaktifkan MMP dan merangsang degradasi matriks, sehingga sel


endotel dilepas dari dinding kapiler menuju tempat terjadinya angiogenesis. Secara

langsung, TGF-β menginduksi ekspresi VEGF dan secara tidak langsung dengan

merangsang peningkatan ekspresi MMP-2 dan MMP-9 oleh makrofag dan monosit

yang menginfiltrasi tumor (Tirado-Rodriguez, 2014).

2.6.1.4 TGF-β1 saat serangan asma

Produksi TGF-β1 meningkat sebagai respon pada kondisi cedera jaringan dan

dihasilkan oleh berbagai sel seperti makrofag alveolus, sel endotel, sel limfosit B

dan limfosit T. Pada penelitian oleh Tillie-Leblond dkk. (1999) diketahui bahwa

terdapat peningkatan TGF-β1 pada bilasan bronkoalveolar penderita asma dewasa

yang mengalami serangan asma. Penelitian oleh El-Sayed dkk. (2004) pada anak

penderita asma, mendapatkan adanya peningkatan kadar TGF-β1 serum pada

penderita asma intermiten dan persisten yang mengalami serangan ringan, namun

tidak terdapat peningkatan kadar TGF-β1 serum pada penderita asma persisten yang

mengalami serangan berat. Perbedaan ini terjadi karena penderita asma persisten

telah mendapat kortikosteroid inhalasi dosis tinggi sebelum dilakukan pemeriksaan

kadar TGF-β1 serum. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa kadar TGF-β1

dipengaruhi oleh penggunaan kortikosteroid dan leukotriene modifier yang rutin

digunakan untuk mengontrol serangan asma (Dragicevic dkk., 2016).

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa kadar TGF-β1 meningkat pada BBA

penderita asma ringan 24 jam setelah bronkoprovokasi dengan alergen. Penelitian

lain mendapatkan bahwa terdapat peningkatan ekspresi TGF-β1 pada saluran napas

penderita asma setelah paparan berulang dengan alergen yang berasal dari kucing,

bahkan sebelum penderita mulai menunjukkan gejala. Peningkatan ini


mengakibatkan inflamasi berlanjut yang diikuti bronkokonstriksi sehingga terjadi

serangan asma (Duvernelle dkk., 2003). Transforming growth factor-β1

meningkatkan ekspresi reseptor muskarinik terutama reseptor M3 di epitel bronkus

yang meningkatkan kerja asetilkolin sehingga mengakibatkan terjadinya

bronkokonstriksi (Profita dkk., 2012). Pada serangan asma terjadi asidosis akibat

hipoksia jaringan dan produksi asam laktat (UKK Respirologi PP Ikatan Dokter

Anak Indonesia, 2015). Pada saluran napas juga terjadi peningkatan keasaman pada

saat serangan asma. Kondisi asidosis tersebut dapat memfasilitasi perubahan TGF-

β1 laten menjadi TGF-β1 aktif (Miyazono, 1988).

2.6.2 Alergen

Alergen merupakan protein dengan berat molekul besar yang dapat berasal dari

hewan, makanan, dan enzim (protease dan amilase pada detergen). Alergen juga

dapat berupa protein dengan berat molekul yang kecil seperti obat-obatan (aspirin

dan β-blocker), logam (platinum, krom, nikel), dan isosianat (bahan cat). Aspirin

dapat mencetuskan asma dengan memengaruhi metabolisme asam arakidonat

sehingga terjadi produksi leukotriene berlebih. Alergen (inhalan, ingestan, iritan)

yang mencetuskan asma berbeda-beda tergantung pada wilayah, seperti rambut

kucing di Swedia, tungau debu rumah di Australia, dan kecoa di Amerika Serikat,

serta tergantung pula pada musim seperti spora alternaria, cladosporium, dan serbuk

sari (pollen). Penderita akan mengalami serangan bila terpapar dengan alergen

dalam jumlah yang besar. Serangan asma pada anak sering muncul setelah

konsumsi makanan dan minuman seperti telur, ikan, kerang, susu, gandum, kacang,

kedelai (Murray dkk., 2004; Chetty, 2009).


2.6.3 Infeksi virus

Infeksi saluran napas oleh virus berhubungan dengan terjadinya serangan asma

pada 63,1% pasien dibandingkan dengan penderita asma yang terkontrol (RO 5,6;

95% IK 2,7-11,6) (Khetsuriani dkk., 2007). Rhinovirus merupakan virus yang

paling banyak menyebabkan terjadinya serangan asma pada anak berusia 6-17

tahun (55%) dan bayi atau anak prasekolah (33%). Virus lain yang terdeteksi dan

berhubungan dengan kejadian serangan asma antara lain respiratory syncytial virus,

enterovirus, coronavirus, dan human metapneumovirus (Fu dan Tsai, 2014).

Gambar 2.2 Respon sel imun dan epitel saluran napas terhadap infeksi virus

(Dikutip dari Jackson dan Johnston, 2010)


Virus dapat menginduksi serangan asma melalui efek langsung terhadap sel

epitel dengan memicu inflamasi yang bersifat sitotoksik. Sebagian besar virus pada

saluran napas bereplikasi di epitel saluran napas atas dan bawah. Virus menginduksi

sitokin proinflamasi seperti IL-1β dan IL-8 (Gambar 2.2) sehingga terjadi

kerusakan dan kematian sel epitel serta masuknya sel radang yang selanjutnya

mengakibatkan hiperresponsif bronkus (Bossios dan Papadopoulos, 2006).

2.6.4 Udara dingin

Udara dingin dapat mengakibatkan serangan asma karena terjadinya inflamasi

terutama oleh neutrofil yang dirangsang oleh IL-17A dengan menginduksi IL-8

pada saluran napas. Mekanismenya berbeda dengan serangan asma yang umumnya

diperantarai oleh eosinofil. Udara dingin juga dapat mengakibatkan kerusakan

langsung pada epitel saluran napas (Seys dkk., 2013). Penelitian pada dewasa

menunjukkan bahwa paparan kontinu dengan udara bersuhu 13,8-24⁰C pada

lingkungan sekitar penderita asma selama minimal 2 hari dapat mencetuskan

serangan asma (Xu dkk., 2013).

2.6.5 Asap rokok

Paparan terhadap asap rokok berefek terhadap inflamasi dan remodeling

saluran napas penderita asma. Terjadi peningkatan aktivitas neutrofil untuk

menghasilkan neutrofil elastase yang menginduksi gen mucin pada sel goblet

saluran napas dan kelenjar submukosa sehingga terjadi hipersekresi mukus.

Paparan yang persisten akan meningkatkan inflamasi yang diperantarai oleh sel T

helper 2 dan sel T helper 1. Gabungan aktivitas inflamasi oleh kedua jenis sel

tersebut mengakibatkan munculnya serangan yang lebih berat (Polosa dan


Thomson, 2013). Asap rokok mengakibatkan perubahan rasio reseptor α dan β

glukokortikoid serta meningkatkan aktivasi faktor transkripsi proinflamasi seperti

nuclear factor-κB (Wark dan Gibson, 2006). Paparan asap rokok dapat diketahui

dengan mengukur kadar nikotin atau kotinin dalam darah. Nikotin mempunyai

waktu paruh selama 16 jam dan dieliminasi sempurna dari tubuh dalam 3 hari

(Ferrante dkk., 2014).

2.6.6 Olah raga

Olah raga dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada mayoritas (70%) anak

dan dewasa penderita asma. Teori osmosis menjelaskan mekanisme

bronkokonstriksi akibat dehidrasi pada saluran napas karena peningkatan insensible

water loss. Udara kering yang terhirup saat olah raga akan meningkatkan

osmolaritas cairan perisilier. Proses tersebut mengakibatkan dikeluarkannya

mediator (histamin, prostaglandin, dan leukotriene) yang meningkatkan kontraksi

otot polos bronkus sehingga terjadi bronkokonstriksi. Serangan dapat terjadi dalam

2 hingga 4 menit setelah olah raga, namun paling sering terjadi setelah 5-10 menit

sejak mulai olah raga. Serangan dapat terjadi paling lambat 4-10 jam setelah olah

raga (Laitano dan Meyer, 2007).

2.7 Inflamasi

Beberapa komponen imun terlibat dalam proses ini yaitu sel B, sel T, eosinofil,

sel mast, dan epitel (Gambar 2.4). Sel T berperan dengan menghasilkan sitokin

seperti IL-5 dan IL-13 (Broide, 2008).


Gambar 2.3 Inflamasi pada serangan asma

(Dikutip dari Schwarze, 2013)

Sel T regulatorik berfungsi mengurangi aktivitas sel T di saluran napas.

Terdapat dua macam sel T regulatorik yaitu sel T regulatorik natural dan adaptif.

Sel T regulatorik natural terbentuk di timus dan merupakan sel T CD4+ dan CD25+.

Sel T adaptif bekerja terutama dengan menghasilkan sitokin seperti IL-10, IL-4, IL-

13, IL-5, dan TGF-β. Interleukin-5 selanjutnya akan merangsang eosinofil untuk

menghasilkan TGF-β dan merangsang proliferasi matriks. Sel T natural bekerja

melalui kontak langsung dan tidak menghasilkan IL-10 maupun TGF-β. Sel mast

berperan dengan menghasilkan mediator seperti triptase, histamin, prostaglandin,

leukotriene, IL-4, IL-5, IL-13, TNF, dan TGF-β. Sel T juga merangsang sel B untuk

menghasilkan imunoglobulin-E (IgE). Imunoglobulin-E akan merangsang sel mast


untuk menghasilkan sitokin. Mediator-mediator proinflamasi tersebut akan

mencetuskan bronkokonstriksi, sekresi mukus dan remodeling (Broide, 2008;

Bergeron dkk., 2009; Schwarze, 2013).

2.8 Obat-obatan pada Serangan Asma

2.8.1 Agonis β2 selektif

Obat yang termasuk golongan ini antara lain adalah salbutamol, terbutalin, dan

fenoterol. Pemberian secara oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30

menit. Salbutamol oral diberikan dengan dosis 0,1-0,15 mg/kg/kali setiap 6 jam.

Fenoterol oral diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg/kali setiap 6 jam. Terbutalin oral

diberikan dengan dosis 0,05-0,1 mg/kg/kali setiap 6 jam. Pemberian dengan cara

inhalasi memiliki mula kerja yang lebih cepat yaitu 1 menit, dengan efek puncak

dicapai dalam 10 menit (Supriyanto dan Makmuri, 2013).

2.8.2 Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik cepat mengatasi serangan asma dan diberikan pada

kondisi terapi agonis β2 kerja cepat gagal mencapai perbaikan, serangan asma tetap

terjadi walaupun penderita telah mendapat kortikosteroid inhalasi sebagai

controller, dan digunakan pada serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan

berat sebelumnya. Kortikosteroid memerlukan waktu minimal 4 jam untuk

menimbulkan perbaikan klinis. Kortikosteroid mencegah progresivitas asma,

mencegah perlunya rawat inap di rumah sakit, mengurangi gejala, memperbaiki

fungsi paru, serta memperbaiki respon bronkodilatasi yang ditimbulkan oleh agonis

β2. Preparat oral yang diberikan antara lain prednisone, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1-2 mg/kg/hari sebanyak 2-3 kali sehari selama 3-5 hari

(Supriyanto dan Makmuri, 2013).

Kortikosteroid intravena diberikan pada asma yang dirawat di rumah sakit.

Metilprednisolon adalah pilihan utama karena memiliki kemampuan penetrasi ke

jaringan paru yang lebih baik, efek antiinflamasi yang lebih besar, serta efek

mineralokortikoid yang minimal. Dosis metilprednisolon intravena yang dianjurkan

adalah 1 mg/kg diberikan setiap 4-6 jam. Hidrokortison intravena diberikan dengan

dosis 4 mg/kg setiap 4-6 jam. Deksametason diberikan secara bolus intravena

dengan dosis ½ - 1 mg/kg, dilanjutkan 1 mg/kg/hari, diberikan setiap 6-8 jam. Pada

pasien yang intoleran terhadap prednison oral, diberikan steroid inhalasi dosis

tinggi (efektivitas sama) (Supriyanto dan Makmuri, 2013). Kortikosteroid secara

signifikan menghambat ekspresi faktor pertumbuhan profibrosis yaitu TGF-β1

sehingga tidak terjadi deposisi kolagen dan akumulasi miofibroblas (Miller dkk.,

2006).

2.8.3 Antikolinergik

Kombinasi nebulisasi agonis β2 dan antikolinergik (ipratropium bromida)

menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih kuat daripada masing-masing obat

bila diberikan sendiri. Kombinasi ini diberikan bila 1 kali nebulisasi agonis β2 tidak

memberikan respons. Dosis pemberiannya 0,1 ml/kg setiap 4 jam (Supriyanto dan

Makmuri, 2013).

2.8.4 Leukotriene inhibitor

Obat leukotriene inhibitor yang digunakan pada asma adalah golongan

inhibitor 5-lipoxygenase (zileuton) yang menghambat biosintesis leukotriene.


Golongan lainnya adalah antagonis cysteinyl leukotriene 1 yang terdiri dari

montelukast, zafirlukast, dan pranlukast (Mastalerz dan Kumik, 2010). Leukotriene

inhibitor selain bekerja pada jalur leukotriene, juga mempunyai efek antiinflamasi

karena menurunkan kadar eosinofil pada saluran napas dan darah serta mempunyai

efek steroid-sparing. Leukotriene inhibitor efektif pada asma kronis (Renzi, 1999).

Leukotriene inhibitor menurunkan kolagen, metalopeptidase inhibitor-1 (TIMP-1),

MMP-9 dan TGF-β pada parenkim paru (Gobbato dkk., 2013).

2.8.5 Methyl xanthine (teofilin kerja cepat)

Methyl xanthine mempunyai efek bronkodilatasi yang setara dengan agonis β2

inhalasi, namun mempunyai efek samping yang lebih banyak dan batas

keamanannya sempit. Dosis aminofilin intravena jika penderita belum mendapat

aminofilin sebelumnya adalah 6-8 mg/kg dilarutkan dalam 20 ml dekstrosa 5% atau

garam fisiologis diberikan dalam 20-30 menit. Pasien yang sudah mendapat

aminofilin kurang dari 12 jam sebelumnya, dosis diberikan setengahnya.

Selanjutnya aminofilin diberikan dengan dosis rumatan, yaitu 0,5-1 mg/kg/jam.

Usia penderita memengaruhi farmakokinetik teofilin sehingga dosis awal

aminofilin berbeda-beda sesuai usia yaitu 0,5 mg/kg/jam (usia 1-6 bulan), 1

mg/kg/jam (usia 6-11 bulan), 1,2-1,5 mg/kg/jam (usia 1-9 tahun), dan 0,9

mg/kg/jam (usia >10 tahun) (Supriyanto dan Makmuri, 2013).

2.8.6 Epinefrin

Epinefrin merupakan beta adrenergic kerja pendek. Obat ini diberikan bila

tidak ada obat agonis β2 selektif. Epinefrin dapat diberikan dengan injeksi subkutan

atau inhalasi aerosol. Pemberian subkutan (epinefrin 1:1000) dengan dosis 0,01
ml/kg (maksimum 0,3 ml) dapat diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 20

menit. Mula kerjanya 5-15 menit dengan durasi efeknya 2-3 jam. Epinefrin bekerja

pada reseptor β1, β2, dan α, sehingga akan menimbulkan efek samping sakit kepala,

gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor dan hipertensi (Supriyanto dan Makmuri,

2013).

2.8.7 Magnesium sulfat

Magnesium sulfat merupakan terapi sistemik pada serangan asma berat

terutama yang kurang/tidak berespons dengan pemberian kortikosteroid sistemik

dan nebulisasi berulang dengan β2 agonis dan aminofilin. Efek bronkodilator obat

ini diperoleh melalui perannya pada regulasi kompleks adenyl cyclase pada reseptor

β2, yaitu suatu kofaktor enzim yang mengatur keluar masuknya Na dan K melalui

membrane sel. Obat ini juga bekerja sebaga penghambat kanal kalsium,

mengurangi pelepasan asetilkolin pada ujung-ujung saraf dan menstabilkan sel

mast. Dosis magnesium sulfat adalah 25-50 mg/kg intravena diberikan selama 1

jam. Efek samping obat ini antara lain kelemahan otot, penurunan reflex tendon

dalam, hipotensi, takikardia, mual, muntah, flushing kulit, dan disritmia jantung

(Supriyanto dan Makmuri, 2013).

Anda mungkin juga menyukai