KAJIAN PUSTAKA
didapatkan episode berulang keluhan mengi dan atau batuk berulang, sesak napas,
dada seperti tertekan dan adanya sputum, muncul bila ada pencetus, adanya riwayat
stetoskop, serta adanya tanda atopi (dermatitis atopi atau rinitis alergi) dan tanda
dilakukan adalah uji fungsi paru dengan spirometri (uji reversibilitas dan
variabilitas), uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, IgE spesifik, uji
inflamasi saluran napas (fractional exhaled nitric oxide, eosinofil sputum), uji
PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015). Diagnosis asma pada anak berumur
dibawah atau sama dengan lima tahun, selain menggunakan kriteria tersebut juga
menggunakan asthma predictive index (API), yaitu bila terjadi mengi berulang dan
memenuhi salah satu dari dua kriteria mayor atau minimal dua dari tiga kriteria
minor seperti pada Tabel 2.2. Perbedaan asma pada anak balita dengan di atas lima
tahun yaitu peran infeksi virus terhadap timbulnya mengi. Frekuensi dan durasi
gejala, pemicunya terhadap gejala, serta riwayat alergi keluarga dipakai sebagai
petunjuk untuk menduga asma ditambah dengan faktor alergi (UKK Respirologi PP
Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk, sesak napas, dada Biasanya lebih dari 1 gejala
tertekan, produksi sputum respiratori
Gejala berfluktuasi intensitasnya
seiring waktu
Gejala memberat pada malam hari
atau dini hari
Gejala timbul bila ada pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi:
Gambaran obstruksi saluran respiratori FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)
FEV1/FVC ≤90%
Uji reversibilitas Peningkatan FEV1 >12%
Variabilitas Perbedaan FEVR harian >13%
Uji provokasi Penurunan FEV1 >20% atau PEFR
>15%
(2015), yaitu:
Intermiten Episode gejala asma <6 kali/tahun atau jarak antar gejala
≥6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1 kali/bulan, <1 kali/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma >1 kali/minggu, namuntidak setiap
hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap hari
Serangan asma mencerminkan gagalnya tata laksana asma jangka panjang atau
menjadi tiga yaitu asma serangan ringan-sedang, asma serangan berat dan serangan
Penyebab asma masih belum banyak diketahui hingga saat ini. Review
merupakan faktor risiko asma terbanyak, diikuti oleh paparan gas rumah tangga,
tinggal di lingkungan yang padat, obesitas, masa menyusu yang singkat, depresi
pada anak, serta kecemasan maternal (Strina, 2014). Penelitian oleh Salam dkk.
(2004) mendapatkan bahwa paparan dengan kecoa, paparan dengan herbisida atau
pestisida, debu, perawatan di tempat penitipan anak merupakan faktor risiko asma.
dan terjadinya asma. Status vitamin D yang baik akan memengaruhi cara tubuh
(Litonjua, 2012).
Pada obesitas terjadi peningkatan leptin yang berkorelasi dengan massa jaringan
Sebagian besar asma muncul sejak masa anak-anak dan berhubungan dengan
sensitisasi oleh berbagai alergen inhalasi seperti tungau debu rumah, kecoa, rambut
binatang, jamur dan serbuk sari. Alergen tersebut merangsang proliferasi sel Th2,
yang selanjutnya meningkatkan produksi sitokin seperti IL-4, IL-5, dan IL-13
Sitokin yang dihasilkan oleh sel Th2 seperti IL-4, IL-5, dan IL-13 berpengaruh
Epitel saluran napas berperan dalam proses inflamasi dan remodeling. Pada
anak penderita asma, kerusakan epitel dapat memicu remodeling saluran napas
deposisi kolagen sehingga terjadi penebalan membran basal. Penebalan ini terjadi
fibronektin dan laminin. Eosinofil melalui kontak langsung dengan otot polos
saluran napas juga berperan dalam terjadinya penebalan epitel saluran napas dengan
merangsang proliferasi sel otot polos saluran napas. Penebalan ini bersifat proteksi
terjadi pada anak yang masih kecil dengan faktor risiko asma bahkan sebelum
terdiagnosis asma. Aktivasi epitel bronkus merangsang terjadinya angiogenesis. Sel
epitel bronkus juga menghasilkan beberapa kemokin seperti IL-5, IL-8 dan eotaksin
menuju lumen bronkus (Saglani dan Lloyd, 2015; Carsin dkk., 2016; Halwani dkk.,
yang bekerja dengan menghambat apoptosis seperti IL-3, IL-5, IL-9, IL-13, IL-15
dan GM-CSF. Thymic stromal protein (TSLP), IL-25, dan IL-33 merupakan trias
sitokin yang dihasilkan oleh epitel saluran napas untuk merespon berbagai stimulus
gejala batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari
asthma, episode akut penyempitan saluran napas diawali oleh kombinasi udem,
infiltrasi sel inflamasi, hipersekresi mukus, kontraksi otot polos, dan deskuamasi
Perubahan tahanan saluran napas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus
(air trapping) serta hiperinflasi paru. Hiperinflasi paru menurunkan komplians paru
dan terjadi alkalosis respiratorik. Pada obstruksi saluran napas yang berat, dapat
hipoksia jaringan dan produksi asam laktat oleh otot respiratori. Hipoksia dan
surfaktan berkurang atau tidak ada dan meningkatkan risiko atelektasis (UKK
stres juga merupakan komponen asma akut. Influks dan aktivasi granulosit akan
pertahanan tubuh sehingga terjadi oksidasi lemak dan protein. Adanya infeksi virus,
Gibson, 2006).
cara menghambat sintesis mediator inflamasi dan mencegah migrasi atau aktivasi
E4. Leukotriene inhibitor mempunyai waktu paruh hingga 10 jam (D’Urzo dan
Chapman, 2000).
Serangan asma dapat terjadi akibat adanya inducer, enhancer, atau trigger
(pencetus). Inducer dan enhancer dapat berperan sebagai trigger. Inducer terdiri
adalah infeksi virus. Beberapa contoh trigger yaitu olah raga, udara dingin, asap
mengatur ekspresi integrin dan molekul yang berfungsi sebagai reseptor beberapa
Famili sitokin TGF-β pada manusia terdiri dari tiga isoform yaitu TGF-β1,
TGF-β2, dan TGF-β3. TGF-β terdapat pada beberapa sel seperti fibroblas, endotel,
epitel, dan sel otot polos. TGF-β dihasilkan oleh sel imun dan dapat dideteksi
kondisi aktif. Makrofag paru menyimpan sebagian besar cadangan TGF-β saat
terjadi inflamasi paru. TGF-β1 diekspresikan pada sel eosinofil, makrofag, limfosit,
endotel, sel otot polos, dan fibroblast dan berikatan dengan matriks ekstraseluler
subepitel. TGF-β2 umumnya diekspresikan oleh sel neuron, astroglia, dan sel sistem
saraf pusat embrio, sedangkan TGF-β3 berperan pada morfogenesis paru, dan
diekpresikan oleh eosinofil, makrofag, dan limfosit. TGF-β1, TGF-β2, dan TGF-β3
disintesis sebagai molekul prekursor inaktif yang terdiri dari 390 hingga 412 asam
Penelitian oleh Howat dkk. (2002) yang menguji kadar TGF-β1 serum setelah
TGF-β1 laten pada serum setelah 2 jam provokasi terhadap jaringan bronkus.
aktif.
Reseptor TGF-β1 terdapat dalam tiga bentuk: tipe I dan II (mempunyai afinitas
tinggi), serta tipe III (mempunyai afinitas rendah) (Gambar 2.1). Reseptor tipe II
Transforming growth factor-β diproduksi oleh berbagai jenis sel dalam bentuk
laten dengan berat molekul yang besar. TGF-β laten dapat diubah menjadi bentuk
aktif (Gambar 2.1) yang memiliki berat molekul yang lebih kecil melalui proses
asidifikasi (Miyazono dkk., 1988). Aktivasi bentuk laten TGF-β terjadi melalui
melaporkan aktivasi TGF-β oleh fibroblast growth factor-2 (FGF-2) pada sel
endotel, atau oleh endotoksin dan bleomycin pada makrofag. Beberapa protease
seperti matrix metalloproteinase-2 (MMP-2) serta MMP-9 terbukti mengaktifkan
Transforming growth factor-β hanya bisa dihasilkan oleh sel dalam bentuk
inaktif atau laten. Bentuk laten merupakan gabungan dari TGF-β aktif dan latency-
TGF-β sehingga TGF-β aktif tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Setelah
teraktivasi sehingga bisa berikatan dengan reseptornya atau masuk ke sirkulasi dan
menimbulkan efek pada berbagai jaringan yang berbeda. Waktu paruh TGF-β aktif
hanya 2-3 menit, namun TGF-β laten dapat mempunyai waktu paruh yang lebih
lama. Umumnya TGF-β laten akan tersimpan pada matriks ekstraseluler yang
Seluruh famili TGF-β berperan dalam pembentukan tumor dan dapat pula
merupakan agen antitumor yang bekerja pada fase awal perkembangan kanker, dan
akan bekerja memacu pertumbuhan tumor pada fase lanjut kanker dengan cara
invasi tumor seperti tumor payudara, kolon, esophagus, lambung, hati, paru, ginjal,
langsung, TGF-β menginduksi ekspresi VEGF dan secara tidak langsung dengan
merangsang peningkatan ekspresi MMP-2 dan MMP-9 oleh makrofag dan monosit
Produksi TGF-β1 meningkat sebagai respon pada kondisi cedera jaringan dan
dihasilkan oleh berbagai sel seperti makrofag alveolus, sel endotel, sel limfosit B
dan limfosit T. Pada penelitian oleh Tillie-Leblond dkk. (1999) diketahui bahwa
yang mengalami serangan asma. Penelitian oleh El-Sayed dkk. (2004) pada anak
penderita asma intermiten dan persisten yang mengalami serangan ringan, namun
tidak terdapat peningkatan kadar TGF-β1 serum pada penderita asma persisten yang
mengalami serangan berat. Perbedaan ini terjadi karena penderita asma persisten
kadar TGF-β1 serum. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa kadar TGF-β1
lain mendapatkan bahwa terdapat peningkatan ekspresi TGF-β1 pada saluran napas
penderita asma setelah paparan berulang dengan alergen yang berasal dari kucing,
bronkokonstriksi (Profita dkk., 2012). Pada serangan asma terjadi asidosis akibat
hipoksia jaringan dan produksi asam laktat (UKK Respirologi PP Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2015). Pada saluran napas juga terjadi peningkatan keasaman pada
saat serangan asma. Kondisi asidosis tersebut dapat memfasilitasi perubahan TGF-
2.6.2 Alergen
Alergen merupakan protein dengan berat molekul besar yang dapat berasal dari
hewan, makanan, dan enzim (protease dan amilase pada detergen). Alergen juga
dapat berupa protein dengan berat molekul yang kecil seperti obat-obatan (aspirin
dan β-blocker), logam (platinum, krom, nikel), dan isosianat (bahan cat). Aspirin
kucing di Swedia, tungau debu rumah di Australia, dan kecoa di Amerika Serikat,
serta tergantung pula pada musim seperti spora alternaria, cladosporium, dan serbuk
sari (pollen). Penderita akan mengalami serangan bila terpapar dengan alergen
dalam jumlah yang besar. Serangan asma pada anak sering muncul setelah
konsumsi makanan dan minuman seperti telur, ikan, kerang, susu, gandum, kacang,
Infeksi saluran napas oleh virus berhubungan dengan terjadinya serangan asma
pada 63,1% pasien dibandingkan dengan penderita asma yang terkontrol (RO 5,6;
paling banyak menyebabkan terjadinya serangan asma pada anak berusia 6-17
tahun (55%) dan bayi atau anak prasekolah (33%). Virus lain yang terdeteksi dan
berhubungan dengan kejadian serangan asma antara lain respiratory syncytial virus,
Gambar 2.2 Respon sel imun dan epitel saluran napas terhadap infeksi virus
epitel dengan memicu inflamasi yang bersifat sitotoksik. Sebagian besar virus pada
saluran napas bereplikasi di epitel saluran napas atas dan bawah. Virus menginduksi
sitokin proinflamasi seperti IL-1β dan IL-8 (Gambar 2.2) sehingga terjadi
kerusakan dan kematian sel epitel serta masuknya sel radang yang selanjutnya
terutama oleh neutrofil yang dirangsang oleh IL-17A dengan menginduksi IL-8
pada saluran napas. Mekanismenya berbeda dengan serangan asma yang umumnya
langsung pada epitel saluran napas (Seys dkk., 2013). Penelitian pada dewasa
menghasilkan neutrofil elastase yang menginduksi gen mucin pada sel goblet
Paparan yang persisten akan meningkatkan inflamasi yang diperantarai oleh sel T
helper 2 dan sel T helper 1. Gabungan aktivitas inflamasi oleh kedua jenis sel
nuclear factor-κB (Wark dan Gibson, 2006). Paparan asap rokok dapat diketahui
dengan mengukur kadar nikotin atau kotinin dalam darah. Nikotin mempunyai
waktu paruh selama 16 jam dan dieliminasi sempurna dari tubuh dalam 3 hari
water loss. Udara kering yang terhirup saat olah raga akan meningkatkan
otot polos bronkus sehingga terjadi bronkokonstriksi. Serangan dapat terjadi dalam
2 hingga 4 menit setelah olah raga, namun paling sering terjadi setelah 5-10 menit
sejak mulai olah raga. Serangan dapat terjadi paling lambat 4-10 jam setelah olah
2.7 Inflamasi
Beberapa komponen imun terlibat dalam proses ini yaitu sel B, sel T, eosinofil,
sel mast, dan epitel (Gambar 2.4). Sel T berperan dengan menghasilkan sitokin
Terdapat dua macam sel T regulatorik yaitu sel T regulatorik natural dan adaptif.
Sel T regulatorik natural terbentuk di timus dan merupakan sel T CD4+ dan CD25+.
Sel T adaptif bekerja terutama dengan menghasilkan sitokin seperti IL-10, IL-4, IL-
13, IL-5, dan TGF-β. Interleukin-5 selanjutnya akan merangsang eosinofil untuk
melalui kontak langsung dan tidak menghasilkan IL-10 maupun TGF-β. Sel mast
leukotriene, IL-4, IL-5, IL-13, TNF, dan TGF-β. Sel T juga merangsang sel B untuk
Obat yang termasuk golongan ini antara lain adalah salbutamol, terbutalin, dan
menit. Salbutamol oral diberikan dengan dosis 0,1-0,15 mg/kg/kali setiap 6 jam.
Fenoterol oral diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg/kali setiap 6 jam. Terbutalin oral
diberikan dengan dosis 0,05-0,1 mg/kg/kali setiap 6 jam. Pemberian dengan cara
inhalasi memiliki mula kerja yang lebih cepat yaitu 1 menit, dengan efek puncak
2.8.2 Kortikosteroid
kondisi terapi agonis β2 kerja cepat gagal mencapai perbaikan, serangan asma tetap
controller, dan digunakan pada serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan
fungsi paru, serta memperbaiki respon bronkodilatasi yang ditimbulkan oleh agonis
β2. Preparat oral yang diberikan antara lain prednisone, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1-2 mg/kg/hari sebanyak 2-3 kali sehari selama 3-5 hari
jaringan paru yang lebih baik, efek antiinflamasi yang lebih besar, serta efek
adalah 1 mg/kg diberikan setiap 4-6 jam. Hidrokortison intravena diberikan dengan
dosis 4 mg/kg setiap 4-6 jam. Deksametason diberikan secara bolus intravena
dengan dosis ½ - 1 mg/kg, dilanjutkan 1 mg/kg/hari, diberikan setiap 6-8 jam. Pada
pasien yang intoleran terhadap prednison oral, diberikan steroid inhalasi dosis
sehingga tidak terjadi deposisi kolagen dan akumulasi miofibroblas (Miller dkk.,
2006).
2.8.3 Antikolinergik
bila diberikan sendiri. Kombinasi ini diberikan bila 1 kali nebulisasi agonis β2 tidak
memberikan respons. Dosis pemberiannya 0,1 ml/kg setiap 4 jam (Supriyanto dan
Makmuri, 2013).
inhibitor selain bekerja pada jalur leukotriene, juga mempunyai efek antiinflamasi
karena menurunkan kadar eosinofil pada saluran napas dan darah serta mempunyai
efek steroid-sparing. Leukotriene inhibitor efektif pada asma kronis (Renzi, 1999).
inhalasi, namun mempunyai efek samping yang lebih banyak dan batas
garam fisiologis diberikan dalam 20-30 menit. Pasien yang sudah mendapat
aminofilin berbeda-beda sesuai usia yaitu 0,5 mg/kg/jam (usia 1-6 bulan), 1
mg/kg/jam (usia 6-11 bulan), 1,2-1,5 mg/kg/jam (usia 1-9 tahun), dan 0,9
2.8.6 Epinefrin
Epinefrin merupakan beta adrenergic kerja pendek. Obat ini diberikan bila
tidak ada obat agonis β2 selektif. Epinefrin dapat diberikan dengan injeksi subkutan
atau inhalasi aerosol. Pemberian subkutan (epinefrin 1:1000) dengan dosis 0,01
ml/kg (maksimum 0,3 ml) dapat diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 20
menit. Mula kerjanya 5-15 menit dengan durasi efeknya 2-3 jam. Epinefrin bekerja
pada reseptor β1, β2, dan α, sehingga akan menimbulkan efek samping sakit kepala,
2013).
dan nebulisasi berulang dengan β2 agonis dan aminofilin. Efek bronkodilator obat
ini diperoleh melalui perannya pada regulasi kompleks adenyl cyclase pada reseptor
β2, yaitu suatu kofaktor enzim yang mengatur keluar masuknya Na dan K melalui
membrane sel. Obat ini juga bekerja sebaga penghambat kanal kalsium,
mast. Dosis magnesium sulfat adalah 25-50 mg/kg intravena diberikan selama 1
jam. Efek samping obat ini antara lain kelemahan otot, penurunan reflex tendon
dalam, hipotensi, takikardia, mual, muntah, flushing kulit, dan disritmia jantung