Anda di halaman 1dari 52

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PPAT, AKTA PPAT, PENDAFTARAN

TANAH DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

2.1. Tinjauan Umum Tentang PPAT

2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT

Pejabat Pembuat Akta Tanah, disingkat PPAT, yang dalam bahasa Inggris,

disebut dengan land deed officials, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebgut

dengan land titles registrar, mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting

di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena Pejabat ini diberi kewenangan

oleh negara, untuk membuat akta-akta mengenai peralihan hak atas tanah.1 Di dalam

UUPA tidak diatur mengenai PPAT yang mempunyai tugas khusus untuk membuat

akta-akta mengenai tanah.

Penyebutan PPAT pertama kali disinggung dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961

No. 28) (selanjutnya disebut PP No. 10 Tahun 1961) disebutkan dengan istilah

“Penjabat”. Pada Pasal 19 Peraturan ini ditentukan “Setiap perjanjian yang

bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah,

menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan,

harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang

1
Salim HS I, op.cit. hal. 85
ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut :

penjabat). Akte tersebut ditetapkan oleh Menteri Agraria”.

Adapun ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri

Agraria Nomor 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta (selanjutnya disebut PMA No.

11 Tahun 1961) pada Pasal 1 yang dijabarkan bahwa : “Akta-akta yang dimaksudkan

dalam Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 harus dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah

dengan mempergunakan pormulir-pormulir (daftar-isian) yang contoh-contohnya

terlampir pada Peraturan ini”. Dari ketentuan tersebut dapat ditemukan istilah lengkap

Penjabat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Selain dalam Peraturan tersebut di atas, pengertian PPAT dimuat dalam

beberapa peraturan perundang-undangan yang juga menjadi dasar hukum jabatan

PPAT, antara lain:

1. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,

menetapkan “Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT,

adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan

hak atas tanah, akta pembebaban hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa

membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

2. Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, menetapkan “Pejabat
Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk

membuat akta-akta tanah”.

3. Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah sebagai Perubahan atas PP No. 10 Tahun 1961 tentang

Pendaftaran Tanah, menetapkan “Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya

disebut PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat

akta-akta tanah tertentu”.

4. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menetapkan “Pejabat Pembuat Akta

Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan

untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai

hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.

5. Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun

2006 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menetapkan “Pejabat

Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang

diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun”.

Apabila dikaji dari kelima definisi tentang PPAT di atas menunjukan bahwa

kedudukan PPAT adalah sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan membuat

akta-akta mengenai hak atas tanah. Awal mula PPAT dikategorikan sebagai pejabat
umum didasarkan pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

(selanjutnya disebut UUHT), namun baik di dalam UUHT maupun peraturan

perundang-undangan lainnya sebagaimana disebutkan di atas tidak memberikan

penjabaran mengenai konsepsi atau pengertian tentang pejabat umum.

Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare

Amtbtenaren yang terdapat dalam PJN dan dalam Pasal 1868 KUHPerdata

terjemahan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.2 Menurut kamus hukum salah satu

arti dari Ambtenaren adalah Pejabat. Dengan demikian Openbare Ambtenaren adalah

pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga

Openbare Ambtenaren diartikan sebagai pejabat publik.3 Khusus berkaitaan dengan

Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai

pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan

publik.4 Dalam PJN maupun Pasal 1868 KUHPerdata tersebut di atas mengatur

keberadaan Notaris tetapi tidak memberikan definisi mengenai pejabat umum,

demikian pula sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai pejabat umum bukan

hanya Notaris saja, PPAT dan Pejabat Lelang juga dikualifikasikan sebagai pejabat

umum.5

2
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), Cetakan
Kesatu, CV. Mandar Maju, Bandung (selanjutnya disingkat Habib Adjie II), hal. 15
3
Ibid. hal. 16
4
Ibid.
5
Ibid.
Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan pejabat umum adalah

seseorang yang diangkat oleh pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan

pelayanan kepada umum di bidang tertentu.6 Adapun unsur-unsur pejabat umum dari

definisi ini meliputi :

1. seseorang yang diangkat oleh pemerintah; dan

2. adanya tugas dan kewenangannya.

Tugas dan kewenangan pejabat umum yaitu memberikan pelayanan kepada

umum. Konsep umum pada definisi ini bukan pada semua bidang, tetapi hanya pada

bidang-bidang tertentu dan khusus, seperti pembuatan akta.7 Oleh karena itu PPAT

berwenang membuat akta dari pada perjanjian-perjanjian yang bermaksud

memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah atau

meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.8

Selaras dengan Boedi Harsono, Sri Winarsi menyatakan bahwa pengertian

pejabat umum mempunyai karakter yuridis, yaitu selalu dalam hukum publik. Sifat

publiknya dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian, dan kewenangan PPAT.9

PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia, tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, dan kewenangannya

adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau

6
Urip Santoso I, op.cit. hal. 326
7
Salim HS I, op.cit. hal. 88
8
Samun Ismaya, op.cit. hal.177
9
Urip Santoso I, loc.cit.
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.10 Dengan demikian menurut penulis pejabat

umum merupakan suatu jabatan yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka yang

diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan hal-hal khusus dalam bidang

tertentu, seperti pembuatan akta otentik mengenai hak atas tanah.

2.1.2. Klasifikasi PPAT

Berdasarkan Pasal 1 PP No. 37 Tahun 1997 ditentukan terdapat 3 (tiga)

macam PPAT, yaitu :

1. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta

otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun.

2. PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya

untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang

belum cukup terdapat PPAT.

3. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena

jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu

khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.

Atas dasar ketentuan tersebut maka di Indonesia PPAT dapat digolongkan menjadi 3

(tiga) macam, antara lain :

1. PPAT;

2. PPAT Sementara; dan

3. PPAT Khusus.
10
Ibid.
PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu dan diberhentikan oleh

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan PPAT Sementara

diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Provinsi yang mendapatkan limpahan kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia.11 Dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 37 Tahun 1998

ditentukan mengenai PPAT Sementara dan PPAT Khusus sebagai berikut :

Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum
cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam
pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di
bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus, yaitu:
a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara;
b. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan
masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara
sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Depatemen
Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.

Atas dasar ketentuan di atas, untuk memberikan pelayanan pada rakyat di

daerah-daerah terpencil yang tidak ada PPAT guna melaksanakan perbuatan hukum

peralihan hak atas tanah, Kepala Badan atau Kepala Kantor Wilayah sebagai delegasi

dari Kepala Badan dapat menunjuk PPAT Sementara. PPAT Sementara yang

ditunjuk adalah Pejabat Pemerintah yang menguasai keadaan daerah yang

bersangkutan, yaitu Camat atau Kepala Desa. Penunjukan Camat atau Kepala Desa

sebagai PPAT Sementara dilakukan oleh Kepala Badan berdasarkan letak desa yang

sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah yang sudah terdaftar di daerah tersebut.

PPAT Sementara dan PPAT Khusus adalah jabatan induk instansi pemerintah, jika
11
Urip Satoso I, op.cit. hal. 328
pejabat yang bersangkutan dimutasikan atau diganti oleh orang lain sehingga tidak

lagi menjabat Camat, Kepala Desa, Kepala Kantor Pendaftaran Tanah, maka secara

otomatis tidak berwenang membuat akta PPAT sejak tanggal keputusan pemindahan

atau penggantian pejabat yang bersangkutan.12

2.1.3. Tugas, Kewenangan dan Kewajiban PPAT

A. Tugas PPAT

Dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas pendaftaran hak atas tanah,

pemerintah memberikan kewenangan kepada pejabat lain untuk membantu BPN.

Keberadaan pejabat dalam tatanan ketatanegaraan sangat dibutuhkan karena pejabat

tersebut merupakan pelaksana tugas-tugas personifikasi negara.13 Dapat dikatakan

bahwa PPAT merupakan perpanjangan tangan dari BPN, yang khusus mengenai

pembuatan akta-akta hak atas tanah yang merupakan syarat formil dalam pendaftaran

di Kantor Pertanahan.

Dalam pelaksanaan tugas pendaftaran hak atas tanah, Pasal 6 ayat (2) PP No.

24 Tahun 1997 secara tegas menentukan : “dalam melaksanakan pendaftaran tanah,

Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan

pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut

Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.

Dalam pasal ini hanya disebutkan “kegiatan-kegiatan tertentu”, namun tidak

12
Adrian Sutedi I, op.cit. hal. 88
13
Widhi Handoko, op.cit. hal. 161
menyebutkan secara tegas kegiatan-kegiatan apa yang menjadi tugas PPAT dalam

pendaftaran tanah untuk membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Pengaturan tugas pokok PPAT dalam pendaftaran tanah ditentukan lebih

lanjut dalam Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998. Di dalam ketentuan tersebut yang

menjadi tugas pokok PPAT, yaitu :

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah


dengan membuatkan akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), adalah sebagai
berikut :
a. Jual-beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan; dan
h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 menentukan bahwa PPAT bertugas

pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta

sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah.

Kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud, didasarkan atas Pasal 19 ayat (1)

UUPA, yaitu : “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-

ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Lebih lanjut mengenai kegiatan

pendaftaran tanah dijabarkan dalam PP No. 24 Tahun 1997, yaitu kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial Regitration) dan kegiatan
pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau Maintenance). Dari dua

macam kegiatan pendaftaran tanah tersebut yang menjadi tugas pokok PPAT adalah

kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah.

B. Kewenangan PPAT

Kewenangan dalam bahasa inggris disebut sebagai authority, sedangkan

dalam bahasa Belanda, disebut dengan autoriteit atau gezag merupakan kekuasaan

yang diberikan oleh hukum kepada PPAT untuk membuat akta.14 Kewenangan itu,

berkaitan dengan :

a. pemindahan hak atas tanah;

b. pemindahan hak milik atas satuan rumah susun;

c. pembebanan hak atas tanah (APHT); dan

d. surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT).

Dalam PP No. 37 Tahun 1998 pada Pasal 3 diatur mengenai kewenangan PPAT,

yaitu :

(1). Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2


seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
terletak di dalam daerah kerjanya.
(2). PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum
yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.

Kewenangan PPAT Khusus hanya membuat akta mengenai perbuatan hukum

yang disebut secara khusus dalam penunjukannya. Akta yang dibuatnya adalah :15

14
Salim HS I, op.cit. hal. 94
15
Urip Santoso I, op.cit. hal. 350
a. Pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat, seperti pensertifikatan

yang memerlukan adanya akta PPAT terlebih dahulu karena tanah yang

bersangkutan belum atas nama pihak yang menguasainya.

b. Pembuatan akta tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai

pertimbangan dari Departemen Luar Negeri.

A.P. Parlindungan menyatakan bahwa PPAT Khusus bertugas melaksanakan

perbuatan hukum atas Hak Guna Usaha, terutama dalam hal mutasi, seperti adalah

jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan, dan lelang. 16

PPAT dan PPAT Sementara hanya berwenang membuat akta otentik terhadap

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Daerah kerja PPAT adalah satu

wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sedangkan daerah kerja PPAT

Sementara adalah wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar

penunjukannya. Dalam hal demikian, keberadaan jabatan PPAT dalam sistem

ketatanegaraan sifatnyanya bukan struktural, melainkan fungsional dan

keberadaannya memiliki peran yang amat penting, karena pada dasarnya baik PPAT

(umum), PPAT Sementara dan PPAT Khusus bertugas membantu Kepala Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota mewujudkan tertib administrasi.

16
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya,
hal. 186
C. Kewajiban PPAT

Kewajiban PPAT ditentukan dalam Pasal 45 PKBPN No. 1 Tahun 2006

meliputi:

1. menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara


Kesatuan Republik Indonesia;
2. mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT;
3. menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada
a. Kepala Kantor Pertanahan;
b. Kepala Kantor Wilayah; dan
c. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
4. menyerahkan protokol PPAT;
5. membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang dibuktikan
secara sah;
6. membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti atau
hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja
Kantor Pertanahan setempat;
7. berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pengangkatan PPAT;
8. menyampaikan:
a. alamat kantornya;
b. contoh tanda tangan;
c. contoh paraf; dan
d. teraan cap/stempel jabatannya kepada:
1). Kepala Kantor Wilayah;
2). Bupati/Walikota;
3). Ketua Pengadilan Negeri; dan
4). Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja
PPAT.
Penyampaian keempat hal di atas, dilakukan bersangkutan dalam waktu 1
(satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan;
9. melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan;
10. memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan
ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan;
11. dan lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.

Kewajiban lain yang harus dilaksanakan oleh PPAT ditentukan dalam Pasal

19 PP No. 37 Tahun 1998 yaitu dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan
sumpah jabatan yaitu : a. menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan,

contoh paraf, dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah

Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat

II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya

meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan; b. melaksanakan jabatannya secara

nyata. Lebih lanjut dalam Pasal 26 PP tersebut ditegaskan bahwa :

(1). PPAT harus membuat satu buku daftar untuk semua akta yang dibuatnya.
(2). Buku daftar akta PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi setiap
hari kerja PPAT dan ditutup setiap akhir kerja dengan garis tinta yang
diparaf oleh PPAT yang bersangkutan.
(3). PPAT wajib mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya,
yang diambil dari buku daftar akta PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai
ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang berlaku
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.

Dalam Kode Etik PPAT pada Pasal 3 ditentukan kewajiban-kewajiban PPAT,

antara lain:

Baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (bagi para PPAT serta PPAT
Pengganti) ataupun dalam kehidupan sehari-hari, setiap PPAT diwajibkan
untuk :
a. Berkepribadian baik dan menjujung tinggi martabat dan kehormatan PPAT.
b. Senantiasa menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang berlaku serta
bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan, kode etik dan berbahasa
Indonesia secara baik dan benar
c. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara.
d. Memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan
nasional, khususnya dibidang hukum.
e. Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak
berpihak.
f. Memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang
memerlukan jasanya.
g. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang memerlukan
jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak
dan kewajiban sebagai warga negara dan anggota masyarakat.
h. Memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang
mampu secara cuma-cuma.
i. Bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam
suasana kekeluargaan dengan sesama rekan sejawat.
j. Menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korps PPAT atas dasar
rasa solidaritas dan sikap tolong menolong secara konstruktif.
k. Bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya
dengan pelaksanaan tugas jabatannya.
l. Menetapkan suatu kantor dan kantor tersebut merupakan satu-satunya
kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam menjalankan tugas jabatan
sehari-hari.
m. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai
kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas
pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam:
1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur Jabatan PPAT.
2. Isi Sumpah Jabatan.
3. Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusan-
keputusan lain yang telah ditetapkan oleh perkumpulan IPPAT,
misalnya :
 Membayar iuran, membayar uang duka manakala ada seorang
PPAT atau mantan PPAT meninggal dunia.
 Mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan yang dibuat
oleh dan mengikat setiap anggota Perkumpulan.

Hal-hal demikian di atas, merupakan kewajiban PPAT yang ditentukan dalam

Kode Etik PPAT sehingga merupakan kaidah-kaidah moral yang ditentukan oleh

Perkumpulan berdasarkan keputusan Kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan

diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terhadap anggota yang melakukan

pelanggaran Kode Etik, dikenakan sanksi sebagaimana Pasal 6 ayat (1) Kode Etik

PPAT, berupa : a. Teguran; b. Peringatan; c. Schorsing (pemecatan sementara) dari

keanggotaan IPPAT; d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan IPPAT; e.

Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT.


Adapun aturan yang bersifat lebih teknis berkaitan dengan pendaftaran hak

atas tanah, yaitu berdasarkan Pasal 40 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 “Selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditanda-tanganinya akta yang

bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-

dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar”. Dalam

melaksanakan tugas dan kewenangannya, PPAT di tuntut untuk selalu berbuat adil

terhadap semua klien yang memerlukan jasanya dan bekerja sesuai dengan tuntunan

undang-undang atau peraturan yang mendasari.

Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data

pendaftaran tanah, maka akta wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan

dasar yang kuat untuk pendaftaran peralihan maupun pembebanan hak yang

bersangkutan. PPAT berwenang membuat akta atas 9 (sembilan) macam perbuatan

hukum mengenai hak atas tanah sebagaimana Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998,

namun tidak semua transaksi dapat dilakukan dalam arti dipenuhi oleh PPAT untuk

dibuatkan aktanya.

PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya

perbuatan hukum yang bersangkutan, seperti mencocokan data yang terdapat dalam

sertipikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan. Apabila syarat-syarat

tidak dipenuhi, maka PPAT berwenang bahkan wajib menolak pembuatan akta

tersebut, jika terdapat alasan yang sah untuk itu sebagaimana ditentukan dalam Pasal

39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997. Apabila PPAT dalam melaksanakan tugasnya

mengabaikan kewajiban yang diberikan, maka terdapat sanksi-sanksi yang diberikan


kepada yang bersangkutan. Sanksi tersebut ditentukan dalam Pasal 62 PP No. 24

Tahun 1997 yang berupa : tindakan administrarif, teguran tertulis sampai

pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi

kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian

akibat diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.

2.2. Tinjauan Umum Tentang Akta PPAT

2.2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Akta PPAT

Dengan berlakunya UUPA dan atas dasar ketentuan Pasal 19 PP No. 10

Tahun 1961 sebagai pelaksana UUPA, ditentukan bahwa “Setiap perjanjian yang

bermaksud mengalihkan hak atas tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah

sebagai tanggungan, harus dibuktikan melalui suatu akte yang dibuat oleh dan

dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria”. Akta yang dimaksud harus

dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk khusus untuk itu, yaitu PPAT.

Adanya unsur absolut yang harus dipenuhi dalam mengalihkan hak atas tanah, yakni

akta yang dibuat oleh PPAT tersebut.

Secara konseptual, akta PPAT ditentukan dalam beberapa peraturan

perundang-undangan, antara lain :

1. Penjelasan Pasal 45 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997

Akta PPAT merupakan alat untuk membuktikan telah dilakukannya suatu


perbuatan hukum. Oleh karena itu apabila perbuatan hukum itu batal atau
dibatalkan, akta PPAT yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai bukti
perbuatan hukum tersebut. Dalam pada itu apabila suatu perbuatan hukum
dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan sedangkan perbuatan
hukum itu sudah didaftar di Kantor Pertanahan, maka pendaftaran tidak dapat
dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut pembatalan perbuatan
hukum itu harus didasarkan atas alat bukti lain, misalnya putusan Pengadilan
atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru.

Esensi akta PPAT dalam konsepsi ini, yaitu fungsi akta sebagai alat

pembuktian juga tentang akibat hukum PPAT. Akta PPAT dikatakan sah, apabila

akta yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1320 KUHPerdata). Apabila syarat

subjektif dalam sahnya perjanjian tidak dipenuhi, maka akta PPAT tersebut dapat

dimintakan pembatalan kepada pengadilan, dan apabila syarat objektif sahnya

perjanjian tidak terpenuhi, maka akta yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum.

Selain itu di dalam konsepsi ini juga memuat tentang perbuatan hukum yang

dibatalkan sendiri oleh para pihak, sedangkan perbuatan hukum tersebut sudah

didaftar di Kantor Pendaftaran, maka pendaftaran tidak dapat dibatalkan. Berkaitan

dengan membatalkan pendaftaran yang dimaksud, maka diperlukan alat bukti lainnya

yang berupa putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang

baru.17

2. Pasal 1 angka 4 PP No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1 angka 4 PKBPN No. 1 Tahun

2006 menetapkan “Akta PPAT adalah Akta tanah yang dibuat oleh PPAT sebagai

bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah

atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.

17
Salim HS I, op.cit. hal. 68
Adapun Salim HS berpendapat dari definisi-definisi di atas, esensi akta PPAT

adalah sebagai alat pembuktian, dan tidak disajikan tentang hal-hal yang berkaitan

dengan klausula-klausula atau aturan yang memuat dalam akta itu. Atas dasar hal

tersebut, menurut beliau pengertian akta PPAT perlu disempurnakan dengan

memberikan pengertian akta PPAT sebagai :18

Surat tanda bukti, yang dibuat di muka dan di hadapan PPAT, yang memuat
tentang klausula-klausula atau aturan-aturan yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban para pihak, di mana pihak pertama berkewajiban untuk menyerahkan
hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun, dan Pihak Kedua
berkewajiban untuk menyerahkan uang dan menerima hak atas tanah dan/atau
hak milik atas satuan rumah susun”

Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian akta secara umum, bahwa akta

mempunyai fungsi sebagai berikut :19

1. Fungsi formil (formalitas causa) yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau
sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat
suatu akta, disini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan
hukum;
2. Fungsi alat bukti (probationis causa) bahwa akta itu dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari, sifat tertulisnya suatu
perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi
hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.

Dari pendapat Sudikno, akta yang mempunyai fungsi formil bukan untuk

sahnya perbuatan hukum, begitu pula dalam ketentuan PP No. 10 Tahun 1961 pada

Pasal 19 tidak menyebutkan akta PPAT sebagai syarat yang menentukan keabsahan

perjanjian pengalihan hak atas tanah, namun adanya akta tersebut dimaksudkan

18
Ibid. hal. 69-70
19
Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke -8, Cetakan
Pertama, Liberty, Yogyakarta (Sudikno Mertokusumo II), hal. 161-162
sebagai alat bukti sempurna tentang adanya pengalihan hak tersebut. 20 Mahkamah

Agung dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 juga berpendapat bahwa Pasal 19 PP

No. 10 Tahun 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat

bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya

suatu jual-beli tanah.21

Pentingnya suatu perbuatan hukum dicatatkan dalam suatu akta dikemukakan

oleh Judith Law yang menyatakan essentials for the contract for sale :22

1. The contract for sale of land must be writing;

2. It must contain all the terms of agreement;

3. It must be sign by both the parties.

Apabila diterjemahkan (terjemahan bebas penulis), maksud dari Judith Law mengenai

hal yang penting dalam perjanjian jual beli adalah :

1. Perjanjian jual beli tanah harus tertulis;

2. Harus berisikan semua ketentuan perjanjian;

3. Harus ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Berdasarkan uraian di atas keabsahan perjanjian jual beli tidak mungkin

dijamin tanpa sekaligus melibatkan PPAT. Akta PPAT berfungsi sebagai bukti

sempurna adanya perjanjian pengalihan hak atas tanah sehingga tanpa adanya akta

20
Herlin Budiono, 2015, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia), Cet. Ke-2, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 263
21
Adrian Sutedi I, op.cit. hal. 79
22
Judith Bray, 2010, Unlocking Land Law, Hodder Education, British, hal. 89
demikian sulit menyatakan bahwa perjanjian dimaksud adalah sah.23 Dari rumusan

tersebut, menurut penulis akta dibuat sebagai alat bukti yang fungsinya untuk

memastikan suatu perbuatan hukum dengan tujuan menghindarkan sengketa. Sesuai

dengan pendapat Mariam, bahwa akta PPAT harus ditafsirkan bukan semata-mata

sebagai alat bukti melakukan pendaftaran, akan tetapi juga sebagai syarat mutlak

adanya perjanjian penyerahan.24

Akta PPAT tidak termasuk dalam asas kebebasan kontrak sebagaimana

dimaksud pada Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu :

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik lagi selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
Hal demikian karena bentuk akta dan tata cara pengisian dibuat sesuai dengan

lampiran peraturan yang terdapat dalam PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997

sebagaimana Pasal 96 ayat (1). Sebelum PMNA/KPBN No. 3 Tahun 1997

disempurnakan dan diubah, Pasal 96 ayat (2) mensyaratkan pembuatan akta harus

dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk yang ditentukan dan

disediakan oleh pemerintah, namun dengan keluarnya Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tanggal 27 Desember

Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 tentang

Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 (selanjutnya disebut PMNA/KBPN No. 8 Tahun

2012), menghapus ketentuan ayat (2) dan kemudian menambah ayat (4) yaitu :

23
Herlin Budiono, loc.cit.
24
Adrian Sutedi I, op.cit. hal. 87
“Penyiapan dan pembuatan akta sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh

masing-masing Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah

Pengganti, Pejabat Pembuatan Akta Tanah Sementara, atau Pejabat Pembuat Akta

Tanah Khusus”. Penambahan ayat (4) tersebut merupakan suatu perkembangan bagi

jabatan PPAT yang awalnya menggunakan formulir yang disediakan oleh BPN

berubah menjadi kewenangan untuk menyiapkan dan membuat akta-akta yang

berhubungan dengan peralihan hak atas tanah sesuai dengan Lampiran PMNA/KBPN

No. 8 Tahun 2012.

2.2.2. Keabsahan Akta PPAT

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, mengenai akta PPAT sebagai akta yang

dibuat oleh pejabat yang berwenang sebagai bukti telah terjadinya perbuatan hukum

tertentu mengenai peralihan hak atas tanah. Selain berlaku sebagai alat bukti, akta

PPAT juga berlaku sebagai dasar dilakukannya pendaftaran peralihan hak atas tanah

yang menjadi objek akta tersebut.

Sifat tertulis suatu perjanjian yang dituangkan kedalam suatu akta, wajib

memenuhi dasar sahnya perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata,

yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

Kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih dengan

pihak lainnya.25 Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, berarti

25
Salim HS, 2013, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. Ke-8, Sinar Grafika,
Jakarta (selanjutnya disingkat Salim HS II), hal. 162
kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak, tidak mendapat suatu

tekanan seperti paksaan, penipuan ataupun kekhilafan, yang mengakibatkan adanya

cacat hukum bagi perwujuan kehendak tersebut.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Cakap bertindak, yakni kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk

melakukan perbuatan hukum.26 Orang cakap atau wenang adalah orang dewasa

(berumur 21 tahun atau sudah menikah), sedangkan orang yang tidak berwenang

melakukan perbuatan hukum ditentukan dalam ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata,

meliputi : a. Orang-orang yang belum dewasa (minderjarigheid), b. Mereka yang

ditaruh dibawah pengampuan (curandus), c. Orang-orang perempuan (istri).

3. Suatu hal tertentu;

Hal tertentu adalah berkenaan dengan objek perjanjian, artinya suatu

perjanjian harus mempunyai objek tertentu, baik berupa barang atau jasa yang dapat

dinilai dengan uang.27 Dalam Pasal 1332 KUHPerdata ditentukan bahwa : “Hanya

barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu

perjanjian”, artinya dalam pokok perjanjian harus sesuatu yang dapat dinilai dengan

uang, yang apabila nantinya terjadi pelanggaran dalam perjanjian tersebut dapat

diganti rugi dengan uang atau benda yang dapat dinilai dengan uang. Selain itu, Pasal

1333 KUHPerdata menentukan “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok

suatu barang yang paling sedikit ditemukan jenisnya”, artinya barang yang

26
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi Pertama,
Cet. Ke-3, Kencana, Jakarta, hal. 225
27
Ibid. hal. 226
diperjanjikan paling tidak dapat ditentukan dengan cara mengukur, menimbang,

menghitung, menentukan kualitas dan menentukan batasnya.

4. Suatu sebab yang halal;

Sebab yang halal artinya, ada sebab-sebab hukum yang menjadi dasar

perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan, keamanan, kesusilaan dan ketertiban

umum dan sebagainya.28 Perjanjian yang dibuat karena sebab yang palsu atau sebab

yang dilarang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1335 KUHPerdata adalah

termasuk ke dalam sebab yang tidak halal dan tidak mempunyai kekuatan.

Syarat sahnya perjanjian sebagaimana ketentuan 1 dan 2, merupakan syarat

subjektif karena menyangkut para subjek hukum yang mengadakan suatu perjanjian,

sedangkan ketentuan 3 dan 4, merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan

objek yang dijadikan suatu perjanjian. Adapun akta PPAT sebagaimana Pasal 3 ayat

(1) PP No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 3 ayat (1) PKBPN No. 1 Tahun 2006

menegaskan bahwa akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik.

Dalam kedua peraturan tersebut tidak dijelaskan mengenai apa yang dimaksud

dengan akta otentik, oleh karena itu perlu untuk melihat aturan yang lebih umum

yaitu KUHPerdata. Akta otentik ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata “sebagai

suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh

atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana

28
Ibid.
akta dibuatnya”. Pasal 1868 KUHPerdata memberikan batasan unsur-unsur yang

dimaksud dengan akta otentik yaitu:29

1. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum;

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

3. Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat,

harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

Dalam hal ini, akan menimbulkan pertanyaan apakah akta PPAT merupakan

akta otentik atau bukan. Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata

maka dapat ditelusuri mengenai kedudukan akta PPAT sebagai akta otentik :

1. Unsur pertama suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta tersebut

secara tersurat ditentukan oleh undang-undang. Demikian pula, hal ini berlaku

bagi akta PPAT. Akta PPAT tidak ditentukan oleh undang-undang, melainkan

ditentukan oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Badan Pertanahan Nasional, yaitu :

a. Pasal 38 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 ditentukan bahwa bentuk, isi, dan

cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan;

b. Pasal 21 PP No. 37 Tahun 1998 ditentukan bahwa akta PPAT dibuat dengan

bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan;

29
Habib Adjie I, op.cit. hal. 6
c. Pasal 95 dan Pasal 96 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 jo. PMNA/KBPN No. 8 Tahun 2012

menetapkan bahwa macam dan bentuk akta yang dibuat oleh PPAT;

Dari ketiga peraturan di atas menunjukan bahwa akta PPAT bukan suatu akta

otentik, karena bentuknya tidak ditentukan oleh undang-undang melainkan

ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan peraturan menteri, meskipun akta

PPAT tersebut bentuknya baku dan dibuat oleh PPAT sebagai pejabat umum.

2. Unsur kedua, suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta tersebut

dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk itu.

Dalam PP No. 37 Tahun 1998 dan PKBPN No. 1 Tahun 2006 menentukan

bahwa PPAT sebagai pejabat umum yang diangkat dan diberhentikan oleh

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan diberikan

kewenangan untuk membuat akta pemindahan hak, pembebanan Hak

Tanggungan, pembagian hak bersama, dan pemberian kuasa membebankan Hak

Tanggungan mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

3. Unsur ketiga, akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta dibuat oleh pejabat

umum dalam daerah atau wilayah kerjanya. Berdasarkan PP No. 37 Tahun 1998

dan PKBPN No. 1 Tahun 2006 ditentukan bahwa PPAT sebagai pejabat umum

diberi kewenangan membuat akta didalam daerah (wilayah) kerjanya, yaitu suatu

wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Dari ketiga unsur tersebut, akta yang dibuat oleh PPAT tidak memenuhi unsur

sebagai akta otentik. Unsur pertama yang menentukan bahwa bentuk akta ditetapkan
oleh undang-undang tidak dipenuhi, karena bentuk akta PPAT ditetapkan oleh

Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, namun unsur kedua dan ketiga

terpenuhi yaitu PPAT merupakan pejabat umum dan PPAT mempunyai daerah

(wilayah) kerja tertentu.

2.3. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah

2.3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengatur pemanfaatan tanah serta

menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas bidang tanah

yang dimilikinya, sehingga tanah dapat berfungsi secara optimal untuk meningkatkan

kemakmuran bagi rakyat sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Kewajiban menjamin kepastian dan perlindungan hukum dilakukan oleh Pemerintah

melalui politik hukum pertanahan di bidang pendaftaran tanah. Di Indonesia

pendaftaran tanah di tata usahakan oleh Badan Pertanahan Nasonal sebagai

perwakilan negara.

Sebelum berlakunya UUPA, hanya bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum

Barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erpacht, Hak Opstal, dilakukan pendaftaran.

Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini,

meliputi kepastian hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak.
Dalam pendaftaran ini, menghasilkan sertipikat sebagai tanda bukti hak. Pendaftaran

ini dikenal dengan istilah Recht Kadaster.30

Adapun tanah yang tunduk pada hukum adat, seperti tanah yasan, tanah

gogolan tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalaupun dilakukan pendaftaran tanah

tujuannya adalah untuk menentukan wajib pajak atas tanah tersebut, bukan untuk

memberikan jaminan kepastian hukum. Pendaftaran tanah ini menghasilkan surat

tanda bukti pembayaran pajak atas tanah, bukti-bukti pajak tersebut biasanya berupa

pipil, pethuk, leter C/D dan lain-lain, sekarang bukti pembayaran pajak dikenal

dengan sebutan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan

(SPPT PBB). Pendaftaran tanah tersebut dikenal dengan istilah Fiscal Kadaster.

Setelah berlakunya UUPA maka politik hukum yang dualistis dihapuskan dan

diganti dengan hukum tanah yang bersifat unifikasi hukum. Pendaftaran tanah

dilaksanakan berdasarkan UUPA dengan tujuan menjamin kepastian dan

perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, agar dengan mudah dapat

membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan,

menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan untuk

terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.31

Meskipun UUPA mengatur mengenai pendaftaran tanah, namun tidak

memberikan konsepsi apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah, begitu pula

dengan PP No. 10 Tahun 1961. Menurut A.P. Parlindungan, pendaftaran tanah

30
Urip Santoso I, op.cit. hal. 2
31
Samun Ismaya, op.cit. hal. 82
berasal dari kata Cadaster (Bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu

record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas

hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa Latin “Capistratum”

yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah

Romawi (Capotatio Terrens). Dalam arti tegas, Cadastre adalah record pada lahan-

lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan.

Dengan demikian, Cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan

identifikasi dari tersebut dan juga sebagai Continuous recording (rekaman yang

berkesinambungan) dari hak atas tanah.32

Douglass J. Willem berpendapat bahwa pendaftaran tanah merupakan

pekerjaan yang berkesinambungan dan konsistem atas hak-hak seseorang atas tanah

sehingga nantinya akan memberikan informasi dan data administrasi atas bagian-

bagian tanah yang didaftarkan, lengkapnya disebutkan :33

The register consists of individual grant, sertificate of folios contained whitin it


at anygiven time added to these are documents that may bedeemed to be
embodied in the register upon registration. Together these indicated the parcel
of land in particular title, the personen entitle to interst there in and the nature
and extent of these interests. There are also ancillary register wich assist in the
orderly administration of the system such as a parcel index, a nominal index
losting registrated proprietors an a day book in wich documents are entered
pending final registration.

32
Urip Santoso I, op.cit. hal. 12
33
Douglass J. Whillan, 1982, The Torren System in Australia, Sydney, hal. 18
Apabila diterjemahkan pendapat dari Douglass J. Whillan mengenai pendaftaran

tanah adalah :

Register (daftar) terdiri dari hibah individu, sertifikat folio yang terkandung di
dalamnya pada waktu tertentu ditambahkan ke register ini adalah dokumen yang
dapat dianggap dapat dimasukkan ke dalam register setelah pendaftaran.
Bersama dengan ini menunjukkan sebidang tanah dalam bentuk tertentu, orang
tersebut berhak atas hak di dalamnya sesuai dengan sifat dan tingkat
kepentingan tersebut. Ada juga daftar tambahan yang membantu dalam sistem
tertib administrasi seperti indeks bidang, indeks nominal yang mencatat daftar
pemilik yang terdaftar dalam buku harian di mana dokumen yang dimasukkan
menunggu pendaftaran akhir.

Adapun pengertian pendaftaran tanah dalam peraturan perundang-undangan

baru dimuat dalam PP No. 24 Tahun 1997 pada Pasal 1 angka 1, yaitu :

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah


secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Kegiatan-kegiatan pendaftaran tanah meliputi pengumpulan data, pengolahan

data, penyimpanan data, kemudian penyajian data. Penyimpanan data dapat berupa

tulisan, gambar atau peta, angka-angka di atas kertas, mikro film, atau dengan

bantuan komputer. Penyajian termasuk penerbitan dokumen informasi kepada pihak

yang memintanya, berdasarkan data yang dihimpun. Atas dasar data-data yang

dihimpun, diterbitkan surat tanda bukti haknya. Dalam pengumpulan sampai

penyajian data yuridis, bukan tanahnya yang didaftar, melainkan hak-hak atas tanah
yang menentukan status hukumnya serta hak-hak lain yang membebani hak-hak yang

bersangkutan.34

Hak atas tanah adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUPA. Hak

atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan,

demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan

untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam

batas-batas menurut Undang-Undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih

tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA). Hak-hak atas tanah ialah hak milik, hak guna usaha,

hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil

hutan (Pasal 16 ayat (1) UUPA), hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut

di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya

sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah

pertanian (Pasal 53 ayat (1) UUPA).

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat diketahui bahwa dasar hukum

pendaftaran tanah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA), yang dimuat dalam beberapa Pasal, yaitu :

1.1. Pasal 19 UUPA, yang merupakan tugas dari pemerintah

(1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan


pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2). Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :

34
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,Edisi Revisi, Cet. Ke-10, Djambatan, Jakarta, hal. 73
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.

1.2. Pasal 23 UUPA, ditujukan kepada pemegang Hak Milik, yang menentukan:

(1). Hak milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan


pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud Pasal 19.
(2). Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan
pembebanan hak tertentu.

1.3. Pasal 32 UUPA, ditujukam kepada pemegang Hak Guna Usaha (HGU),

yang menentukan :

(1). Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian


juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud Pasal 19.
(2). Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha,
kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

1.4. Pasal 38 UUPA, ditujukan kepada pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) :

(1). Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian


juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2). Pendaftaran dimaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang
kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan
hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir.

2. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; dan

3. PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 jo PMNA/KBPN No. 8 Tahun 2012 tentang

Pelaksana PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.


2.3.2. Tujuan Pendaftaran Tanah

Mengenai tujuan pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun

1997, yang disebut secara rinci, yaitu:

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang

hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar

agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang

bersangkutan.

Untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertipikat hak atas tanah

sebagai surat tanda buktinya (Pasal 4 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997). Inilah yang

merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan

oleh Pasal 19 UUPA. Maka memperoleh sertifikat bukan sekedar fasilitas, melainkan

merupakan hak dari pemegang hak atas tanah yang dijamin undang-undang.35

Sertipikat sebagaimana dimaksud, berisi buku tanah dan surat ukur. Adapun yang

dimaksud dengan buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data

yuridis dan data suatu fisik objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya (Pasal 1

angka 19 PP No. 24 Tahun 1997). Data fisik adalah keterangan mengenai letak tanah,

batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk

keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis

adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang

didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang

membebaninya. Sehingga dengan pendaftaran tanah, pemerintah menjamin kepastian


35
Boedi Harsono, op.cit. hal. 472
hukum mengenai : a. Kepastian hukum mengenai orang/Badan Hukum yang menjadi

pemegang hak atas tanah; b. Kepastian hukum bidang tanah mana yang dimilikinya;

c. Kepastian hukum mengenai hak atas tanahnya.36

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah

dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk terselenggaranya

tertib administrasi pertanahan.

Untuk penyajian data tersebut, diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota tata usaha pendaftaran tanah dalam apa yang dikenal sebagai daftar

umum, yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan

daftar nama. Para pihak yang berkepentingan terutama calon pembeli atau calon

kreditor sebelum melakukan suatu perbuatan hukum mengenai suatu bidang tanah

atau satuan rumah susun tertentu, perlu dan karenanya mereka berhak mengetahui

data yang tersimpan dalam daftar-daftar di Kantor Pertanahan tersebut.37

Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik, merupakan dasar dan

perwujudan tertib administrasi dibidang pertanahan. Untuk mencapai tertib

administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk peralihan

pembebanan dan hapusnya wajib didaftar (Pasal 4 ayat (3) PP No. 24 Tahun 1997).38

36
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit. hal. 175
37
Boedi Harsono, op.cit. hal. 473
38
Ibid. hal. 474
Tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah sebagaimana telah diuraikan di

atas adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kepastian hukum

mengenai tanah yang dimilikinya. Atas hal tersebut, maka perbuatan hukum terhadap

tanah dapat diselenggarakan secara sederhana, cepat, murah, dan aman.39

2.3.3. Asas Pendaftaran Tanah

Dalam Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997, Pendaftaran tanah dilaksanakan

berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.

a. Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan

pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak

yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

b. Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu

diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan

jaminan kepastian hukum sesuai tujuannya pendaftaran tanah itu sendiri.

c. Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang

memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan

golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka

penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang

memerlukan.

d. Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya

dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus

menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban


39
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit. hal. 176
mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari.

Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan yang

terjadi dikemudian hari.40 Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data

pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data

yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di

lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang

benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula asas terbuka.

e. Asas terbuka maksudnya adalah proses pendaftaran tanah harus terbuka untuk

umum. Artinya proses pendaftaran tanah dengan asas ini mengharapkan bahwa

pendaftaran tanah tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau secara

tertutup.41

2.3.4. Sistem Pendaftaran Tanah dan Sistem Publikasi dalam Pendaftaran

Tanah

A. Sistem Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah mempunyai sistem yang berbeda antara negara yang satu

dengan negara yang lainnya. Didunia ini dikenal ada dua model atau jenis sistem

pendaftaran tanah. Pertama, disebut dengan sistem pendaftaran akta atau "registration

of deeds", dan kedua, sistem pendaftaran hak atau "registration of title".42

40
Eli Wuria Dewi, 2014, Mudahnya Mengurus Sertifikat Tanah dan Segala Perizinannya,
Buku Pintar, Yogyakarta, hal. 71
41
Ibid.
42
Boedi Harsono, op.cit. hal. 76
Dalam sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftar oleh pejabat

pendaftar tanah, pejabat pendaftaran adalah bersifat pasif. Ia tidak melakukan

pengujian kebenaran data yang disebutkan pada akta yang didaftar. Setiap kali terjadi

perubahan, wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Data yuridis dalam sistem ini yang

diperlukan, harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan.43

Cacat hukum dalam suatu akta dapat mengakibatkan tidak sahnya perbuatan

hukum yang dibuktikan dengan akta yang dibuat kemudian. Untuk memperoleh data

yuridis harus dilakukan dengan apa yang disebut “title search”, yang bisa memakan

waktu dan biaya, karena untuk title search diperlukan bantuan ahli.44

Adapun Robert Richard Torrens menciptakan sistem pendaftaran hak karena

terdapat kesulitan dalam sistem pendaftaran akta. Beliau menciptakan sistem baru

yang lebih sederhana dan memungkinkan orang memperoleh keterangan dengan cara

yang lebih mudah, tanpa harus mengadakan title search pada akta-akta yang ada.

Dalam sistem ini, setiap penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang

menimbulkan perubahan kemudian, juga harus dibuktikan dengan suatu akta, tetapi

dalam penyelenggaraan pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftar melainkan

haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya yang terjadi tersebut

disediakan suatu daftar isian yang disebut register atau buku tanah (Pasal 10 PP No.

10 Tahun 1961).45

43
Ibid. hal.76
44
Ibid. hal. 77
45
Ibid. hal. 77-78
Akta hanya merupakan sumber data, berfungsi sebagai sumber data yuridis

untuk mendaftar hak yang diberikan dalam buku tanah. Demikian juga akta

pemindahan dan pembebanan hak berfungsi sebagai sumber data untuk mendaftar

perubahan-perubahan pada haknya dalam buku tanah dan pencatatan perubahan

kemudian, oleh pejabat pendaftaran tanah dilakukan pengujian kebenaran data yang

dimuat dalam akta yang bersangkutan, sehingga Pejabat Pendaftaran Tanah bersikap

aktif. Sertipikat diterbitkan sebagai tanda bukti hak, yang merupakan salinan register

atau buku tanah, sehingga jika terjadi perubahan kemudian, tidak dibuatkan sertipikat

baru melainkan perubahannya dicatat pada salinan buku tanah tersebut dan dilakukan

perubahan terhadap sertpikat itu.46

B. Sistem Publikasi dalam Pendaftaran Tanah

Pada dasarnya dikenal 2 (dua) jenis sistem publikasi dalam pendaftaran tanah,

yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Pengertian sistem

publikasi positif (stelsel positif) mencakup ketentuan bahwa apa yang sudah terdaftar

dijamin kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah

meneliti kebenaran datanya sebelum data tersebut dimasukan ke dalam daftar umum

dan dalam daftar buku tanahnya.47 Dalam sistem publikasi positif, negara menjamin

kebenaran data yang disajikan, pendaftaran menciptakan suatu hak yang tidak dapat

diganggu gugat (indefeasible title) dan untuk memastikan adanya suatu hak dan

46
Ibid. hal. 78
47
J. Andy Hartanto, op.cit. hal. 56
pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya (the register is everything).48 Artinya

semua kegiatan yang dibuatkan aktanya disimpan dalam buku tanah sehingga yang

menjadi alat bukti adalah buku tanah dengan seritifikat sebagai rangkuman dari buku

tanah.

Kemudian dalam sistem publikasi negatif (stelsel negatif), negara tidak

menjamin kebenaran data yang disajikan dalam daftar umum dan dalam sertifikat hak

atas tanah.49 Menurut asas nemo plus yuris, perlindungan diberikan kepada pemegang

hak yang sebenarnya, maka dengan asas ini dimungkinkan adanya gugatan kepada

pemilik terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemilik yang sesungguhnya atas

tanah tersebut.50 Dalam sistem ini memungkinkan pemegang hak terdaftar dapat

diganggu gugat, maka alat pembuktian yang utama dalam pemeriksaan di pengadilan

adalah akta peralihan hak atas tanah yang bersangkutan.

Di Indonesia sistem pendaftaran tanah yang dianut dapat dilihat dan

dibuktikan melalui beberapa pasal antara lain ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c,

Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, yang berisikan

bahwa pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat. Surat tanda bukti (sertifikat) merupakan alat pembuktian yang

kuat terkandung dalam sistem publikasi positif (stelsel positif), namun dalam Pasal 32

PP No. 24 Tahun 1997 disebutkan juga bahwa pihak lain yang merasa mempunyai

48
Ibid. hal. 57
49
Ibid.
50
Ibid.
hak atas tanah dimungkinkan adanya gugatan kepada pemilik terdaftar dari orang

yang merasa sebagai pemilik yang sesungguhnya atas tanah tersebut.

Atas dasar paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem publikasi

pendaftaran yang digunakan oleh Indonesia adalah sistem negatif yang mengandung

unsur positif.51 Sistem publikasi negatif untuk membuktikan hak yang sebenarnya

melalui gugatan dan dapat dilawan dengan bukti lawan contohnya dengan

menyelidiki surat-surat bukti hak, yang umumnya berupa akta-akta dibawah tangan

yang dibuat dimasa lampau atau surat-surat keputusan pemberian hak, pendaftaran

pemindahan hak dan juga didasarkan pada akta-akta yang dibuat oleh pejabat yang

berwenang, sedangkan unsur positif bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang lebih

kuat dari alat bukti lainnya. Hal-hal tersebut, bukanlah berarti bahwa pemerintah

tidak memberikan perlindungan hukum kepada pemilik sertifikat, karena berdasarkan

Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 dengan adanya ketentuan waktu, artinya

dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat hak atas tanah tidak

ada pihak lain yang mengajukan gugatan maka sertifikat hak atas tanah mempunyai

kekuatan pembuktian mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.52

Di Indonesia dapat dikatakan menganut sistem yang saling bergandengan

antara pendaftaran hak (stelsel positif) dan pendaftaran akta (stelsel negative). Hal

demikian karena pendaftaran hak atas tanah dilakukan berdasarkan pendaftaran hak

dengan perantara pendaftaran akta. Pada negara lain yang murni menganut sistem

51
Boedi Harsono, op.cit. hal. 82
52
J. Andy Hartanto, op.cit. hal. 39
pendaftaran akta, tidak ada sertipikat sebagai tanda buktinya kepemilikan haknya,

tetapi hanya akta. Di Indonesia, akta digunakan sebagai salah satu syarat formil untuk

dapat melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah, guna mendapatkan sertipikat

sebagai tanda bukti hak, sehingga sertipikat merupakan hasil akhir dari suatu proses

pendaftaran tanah. Di dalam sertifikat itu sendiri terkandung suatu riwayat

penguasaan atau pemilikan tanah yang hasilnya menjadi alas hak pada pendaftaran

tanah, yang telah diselidiki dan proses peralihan haknya dilakukan dengan akta

PPAT.53

2.3.5. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali (initial registration) dan pemeliharaan data (maintenance) (Pasal

11 PP No. 24 Tahun 1997). Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah

kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang

belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang

Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini (Pasal 1 angka 9 PP No. 24 Tahun

1997). Adapun objek dari pendaftaran untuk pertama kali adalah tanah negara dan

tanah bekas hak milik adat.54

Dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali ini, dilaksanakan melalui

pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Menurut

Pasal 1 angka 10 PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah secara sistematik adalah

53
Adrian Sutedi II, op.cit. hal. 193
54
Adrian Sutedi I, op.cit. hal. 136
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang

meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau

bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik

diselenggarakan atas prakarsa Pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja

jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan

oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/ keluarahan belum

ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik, pendaftarannya

dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik.55

Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah

atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1

angka 11 PP No.24 Tahun 1997). Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan

atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek

pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya.

Pendaftaran tanah secara sistematik diutamakan, karena melalui cara ini akan

dipercepat perolehan data mengenai bidang-bidang tanah yang akan didaftar

ketimbang melalui pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara

sporadik akan ditingkatkan pelaksanaanya, karena dalam kenyataannya akan

bertambah banyak permintaan untuk mendaftar secara individual dan massal yang

55
Boedi Harsono, op.cit. hal. 474
diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, yang akan makin meningkatkan

kegiatannya.56

Dalam hal perbuatan hukum berupa jual beli hak atas tanah yang belum

bersertipikat dan tujuannya untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan melalui

pendaftaran tanah, maka jual belinya harus dibuat dengan akta PPAT. 57 Sejak PP No.

24 Tahun 1997 berlaku efektif pada tanggal 8 Oktober 1997, jual beli hak atas tanah

yang belum bersertipikat yang tidak dituangkan dalam akta otentik yang dibuat oleh

PPAT, maka permohonan pendaftaran akan di tolak oleh Kepala Kantor Pertanahan.58

Oleh karena itu, untuk dapat dilakukan jual beli terhadap hak atas tanah yang belum

bersertipikat, maka terlebih dahulu terhadap hak-hak lama yang bersumber pada

hukum perdata barat maupun hukum adat perlu dilakukan penyesuaian terhadap

Hukum Agraria Nasional yang dikenal dengan sebutan konversi. Jadi, apabila jual

beli hak atas tanah yang belum bersertipikat dilakukan sebelum berlakunya PP No. 24

Tahun 1997, maka jual belinya cukup melalui akta di bawah tangan yang dibuat oleh

para pihak dan dibenarkan dalam arti diketahui dan ditandatangani serta dicatat dalam

buku mutasi hak atas tanah oleh Kepala Desa/Lurah, sedangkan jika jual beli hak atas

tanah yang belum bersertipikat tersebut dilakukan setelah berlakunya Peraturan ini

maka pembuktian adanya jual beli hak atas tanah harus dibuat dengan akta PPAT. 59

56
Ibid. hal. 475
57
J. Andy Hartanto, op.cit. hal. 109
58
Ibid.
59
Ibid.
Lebih lanjut, pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan

pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta

pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan

perubahan-perubahan yang terjadi kemudian (Pasal 1 angka 12 PP No.24 Tahun

1997). Perubahan itu misalnya terjadi sebagai akibat beralihnya, dibebaninya atau

berubahnya nama pemegang hak yang telah didaftar, hapusnya atau diperpanjangnya

jangka waktu hak yang sudah berakhir, pemecahan, pemisahan, dan penggabungan

bidang tanah yang haknya sudah didaftar. Agar data yang tersedia di Kantor

Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang mutakhir, dalam Pasal 36 ayat (2) PP

No. 24 Tahun 1997, ditentukan bahwa pemegang hak yang bersangkutan wajib

mendaftarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor

Pertanahan.

Indonesia yang pendaftaran tanahnya didasarkan kepada filosofi hukum adat

(milik bersama) berakibat kepada tujuan pendaftaran tanah yang didapat. Awalnya

pendaftaran tanah bukan merupakan hal penting untuk dilakukan, sebab yang menjadi

prioritas adalah fungsi haknya yakni bagaimana agar dapat memberikan manfaat bagi

seluruh anggota keluarga sekawasan yang hidup di atas tanah. Namun, akibat

perkembangan kehidupan manusia yang semakin terindividualisasikan menjadi milik

privat, tidak mungkin ditahan untuk menjadi benda/barang milik yang tidak dapat

dialihkan dan beralih dari kepemilikan tersebut.60 Lembaga pendaftaran tanah

menjadi alat yang paling utama dan mendasar untuk menegakkan individualisasi
60
Adrian Sutedi II, op.cit. hal. 202
kepemilikan hak atas tanah tersebut. Pendaftaran tanah dapat mengamankan hak-hak

atas tanah perseorangan atau milik sekelompok masyarakat atau badan hukum, karena

pendaftaran tanah pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kepastian hak

kepada pemilik tanah.61

Terbitnya sertipikat merupakan pemberi rasa aman kepada pemilik tanah akan

haknya pada tanah tersebut. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para

pemegang hak atas tanah. Sertipikat tanah merupakan bukti yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di

dalamnya.

2.4. Tinjauan Umum Tentang Peralihan Hak Atas Tanah

2.4.1. Pengertian dan Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah

Pada dasarnya semua hak atas tanah dapat beralih dan di alihkan. Beralih

adalah pindahnya hak atas tanah karena hukum, dengan sendirinya tanpa ada

perbuatan hukum yang sengaja untuk mengalihkan hak itu kepada pihak lain. Salah

satu contoh dari pindahnya hak atas tanah ini yaitu terjadi karena pewarisan. Dengan

meninggalnya pemilik tanah maka dengan sendirinya, menurut hukum tanah tersebut

akan pindah kepada ahli warisnya.62 Di alihkan mengandung makna bahwa

pindahnya hak atas tanah itu kepada pihak lain karena ada perbuatan hukum yang

61
Ibid. hal. 203
62
Erna Sri Wibawanti, dan R. Murijiyanto, op.cit. hal. 119
disengaja agar hak atas tanah itu pindah kepada pihak lain.63 Peralihan hak atas tanah

dapat terjadi karena jual-beli, hibah, tukar menukar, atau perbuatan hukum lain yang

bersifat mengalihkan hak atas tanah.

Menurut Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997, ditentukan bahwa “Peralihan hak

atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar,

hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,

kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan

dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”. Dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan

mengenai apa yang dimaksud dengan beralih dan di alihkan, tetapi hanya diatur

tentang peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

Secara teoritis berdasarkan ketentuan dalam hukum kebendaan, suatu hak atas

kebendaan dikatakan “beralih” yaitu suatu proses berpindahnya hak atas tanah dari

pemegang hak yang lama kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal

dunia.64 Peralihan hak tersebut terjadi karena hukum yang tidak dilakukan secara

sengaja, artinya dengan meninggalnya seorang pemegang hak, maka secara otomatis

hak atas tanah tersebut beralih kepada ahli warisnya, sehingga ahli waris memperoleh

peralihan hak atas tanah karena suatu peristiwa hukum tertentu, bukan karena

perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah selaku subjek

hukum.

63
Ibid.
64
J. Andy Hartanto, op.cit. hal. 66
Adapun suatu hak atas tanah “di alihkan” apabila hak atas tanah tersebut

dipindahkan dari/oleh pemegang hak selaku subjek hukum kepada pihak lain karena

suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut

memperoleh hak atas tanah yang dialihkan.65 Dalam hal ini, peralihan hak atas tanah

terjadi karena memang disengaja melalui suatu perbuatan hukum antara pemegang

hak lama dengan pihak ketiga yang akan menjadi penerima hak (pemegang hak baru).

Berdasarkan paparan di atas, maka peralihan hak atas tanah adalah pindahnya

hak atas tanah dari pemegang hak kepada penerima hak, baik dengan adanya

peristiwa hukum maupun perbuatan hukum. Mengenai peralihan hak atas tanah yang

terjadi karena peristiwa hukum, penulis akan membahas tentang pewarisan sedangkan

peralihan hak atas tanah karena perbuatan hukum yang akan penulis gunakan untuk

membahas akta PPAT adalah jual-beli hak atas tanah.

Peralihan hak karena pewarisan yaitu dengan meninggalnya pemegang hak

atas tanah, maka hak atas tanah tersebut dengan sendirinya (karena hukum) akan

beralih kepada ahli warisnya. Peralihan hak tersebut kepada ahli waris, serta berapa

bagian masing-masing dan bagaimana cara pembagiannya diatur oleh Hukum Waris

Almarhum pemegang hak yang bersangkutan, bukan diatur oleh hukum tanah

(hukum agraria). Hukum Agraria memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah

yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti

pemilikannya oleh para ahli warisnya.66 Ketika peralihan hak terjadi dengan

65
Ibid.
66
Erna Sri Wibawanti, dan R. Murijiyanto, op.cit. hal. 120
sendirinya karena hukum, maka pewarisan tanpa wasiat tidak perlu dibuatkan akta

oleh PPAT, hanya saja peralihan hak atas tanah ini harus didaftarkan di Kantor

Pertanahan. Untuk bisa didaftar di Kantor Pertanahan, maka para ahli waris harus

dapat menunjukan bukti diri sebagai ahli waris, seperti surat keterangan ahli waris

dan bukti-bukti pendukung lainnya.

Perbuatan hukum jual beli menurut hukum agraria nasional adalah

menggunakan dasar hukum adat yaitu jual beli yang bersifat, tunai, terang, dan nyata

(riil).67 Menurut Boedi Harsono, bahwa jual beli bersifat tunai, artinya dengan

dilakukannya perbuatan hukum tersebut hak atas tanahnya berpindah kepada pihak

lain. Terang artinya dilakukannya perbuatan hukum dihadapan PPAT, jadi perbuatan

yang dilakukan tidak secara “gelap” atau sembunyi-sembunyi, sedangkan nyata (riil)

bahwa akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata perbuatan jual

beli tersebut dengan dihadiri dan disaksikan oleh saksi-saksi.68

Demikian juga pendapat Maria Sumardjono, Hukum Agraria Nasional

(UUPA) menganur sistem pendaftaran hak, dalam jual beli hak atas tanah didasarkan

pada hukum adat, di mana jual beli bersifat tunai, maka saat beralihnya hak kepada

pembeli adalah pada saat beralihnya hak kepada pembeli adalah pada saat dilakukan

di hadapan PPAT. Namun demikian, untuk mengikat pihak ketiga termasuk

pemerintahm setelah dilakukan jual beli di hadapan PPAT, harus dilakukan

67
Ibid. hal. 124
68
Boedi Harsono, op.cit. hal. 330
pendaftaran terlebih dahulu, karena yang wajib diketahui oleh pihak ketiga adalah apa

yang tercantum pada buku tanah dan sertipikat hak yang bersangkutan.69

Dengan dilakukannya jual-beli hak atas tanah di hadapan PPAT, telah terjadi

peralihan hak dari penjual kepada pembeli dengan disertai pembayaran harga

(dipenuhi syarat tunai) membuktikan secara nyata perbuatan hukum jual-beli yang

bersangkutan telah dilaksanakan oleh para pihak. Menurut Subekti, jual beli adalah

suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan

hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah

diperjanjikan.70

Sifat dari tata usaha PPAT adalah tertutup untuk umum, maka pembuktian

mengenai berpindahnya hak tersebut berlaku terbatas pada para pihak yang

melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan (dan para ahli waris). Baru setelah

didaftarkan, diperoleh alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang berlaku

terhadap pihak ketiga, karena tata usaha pendaftaran tanah Kantor Pertanahan adalah

terbuka untuk umum. Hal demikian selaras dengan pendapat Subekti bahwa dengan

telah ditandatanganinya akta PPAT hak atas tanah telah beralih kepada pembeli, yang

menurut beliau disebut sebagai penyerahan secara nyata (feitelijk levering), kemudian

akta PPAT tersebut harus disertai dengan penyerahan yuridis (juridische levering)

yang harus memenuhi formalitas undang-undang sehingga mengikat pihak ketiga.

Akta PPAT belum berlaku terhadap pihak ketiga, karena yang wajib diketahui oleh

69
Adrian Sutedi II, op.cit. hal. 131
70
Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta (selanjutnya disingkat Subekti II), hal.
79
pihak ketiga adalah apa yang tercantum pada buku tanah dan sertipikat hak yang

bersangkutan.

2.4.2. Prosedur Pembuatan Akta Peralihan Hak Atas Tanah

Mengalihkan hak atas tanah, maksudnya memindahkan hak atas tanah yang

dimilki kepada pihak lain, dengan pemindahan dimaksud maka haknya berpindah.

Hak (right) yang dimaksud, adalah hubungan hukum yang melekat sebagai pihak

yang berwenang atau berkuasa untuk melakukan tindakan hukum. Di dalam

terminologi hukum kata-kata “right” diartikan hak yang legal, atau dasar untuk

melakukan sesuatu tindakan secara hukum.71

Peralihan hak atas tanah tidaklah sama dengan peralihan benda-benda lainnya,

yang dapat dilakukan secara dibawah tangan bahkan secara lisan. Untuk peralihan

hak atas tanah, pemerintah telah mengaturnya, yaitu harus dengan akta yang dibuat

oleh PPAT. Agar perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dapat dilakukan

pendaftaran peralihannya di kantor Pertanahan, maka peralihan hak tersebut harus

dibuat dengan akta yang dibuat oleh dan ditandatangani dihadapan PPAT.

Terkait dengan peralihan hak atas tanah, dilihat dari karakteristik hak dan

proses peralihan haknya, memiliki unsur hukum berbeda, terutama yang terkait

dengan syarat formil dan materiil, maupun mekanisme yang sangat ditentukan oleh

sifat atau keadaan subjek dan objek hak. Syarat materiil dalam jual-beli hak atas

tanah, antara lain sebagai berikut:72

71
J. Andy Hartanto, op.cit. hal. 73
72
Adrian Sutedi I, op.cit. hal. 77-78
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;

Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak wajib memenuhi syarat untuk

memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak tidaknya pembeli

memperoleh hak atas tanah yang dibelinya, tergantung pada hak apa yang melekat

pada tanah tersebut, seperti apakah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai.

b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;

Hanya pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang berhak menjual tanah.

Apablia pemilik dari hak atas tanah tersebut hanya seorang maka ia berhak

menjual sendiri tanah itu, namun apabila pemilik hak atas tanah tersebut adalah

lebih dari seorang maka yang berhak menjual adalah orang-orang itu secara

bersama-sama.

c. Tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak dalam sengketa;

Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam

UUPA yaitu Hak Milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan

(Pasal 35), dan hak pakai (Pasal 41).

Sementara itu, syarat formil merupakan akta yang menjadi bukti perjanjian

jual-beli serta pejabat yang berwenang untuk membuat akta itu, sebagaimana yang

ditentukan PP No. 24 Tahun 1997 guna mewujudkan kepastian hukum dalam setiap

peralihan hak atas tanah, setiap perjanjian dengan maksud memindahkan hak atas

tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT.73

73
Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Hukum tentang Hukum Tanah, Alumni,
Bandung, hal. 23
Jual-beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA

berlandaskan pada Hukum Adat yaitu konkret, kontan dan nyata, namun demikian,

untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas

tanah, PP No. 24 Tahun 1997 telah menentukan setiap perjanjian yang bermaksud

memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh

dan di hadapan PPAT.74

Dengan demikian legalitas peralihan hak atas tanah sangat ditentukan oleh

syarat formil maupun materiil, prosedur, dan kewenangan bagi pihak-pihak terkait,

baik kewenangan mengalihkan maupun kewenangan pejabat untuk bertindak. Namun

demikian, syarat utama adalah harus adanya alat bukti kepemilikan hak atas tanah

secara tertulis (formil) yang berupa sertipikat.75

PPAT akan memeriksa kelengkapan syarat-syarat untuk dilakukannya

peralihan hak atas tanah, dan ketika semua persyaratan lengkap, maka sertipikat

tersebut harus diajukan permohonan pengecekan terlebih dahulu di Kantor

Pertanahan. Pengecekan sertipikat ini dimaksudkan untuk mencocokan kesesuaiannya

dengan daftar buku tanah di Kantor Pertanahan, akan kemungkinan adanya catatan

khusus seperti sita ataupun blokir

Apabila terdapat kecocokan antara sertipikat hak dengan data yang berada di

Kantor Pertanahan, maka PPAT memanggil kembali para pihak, guna dibuatkan dan

ditandatanganinya akta peralihan hak atas tanah. Pembuatan akta peralihan harus

74
Adrian Sutedi I, op.cit. hal 78
75
Ibid. hal. 74
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, yang memenuhi syarat sebagai saksi (Pasal 38 PP

No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998). Bagi yang memerlukan

persetujuan pasangan kawin, maka yang bersangkutan harus turut hadir menghadap

dan menandatangani akta, atau jika tidak dapat hadir dapat membuat surat pertujuan

yang nantinya dimuat dalam komparisi akta, dan asli dari surat persetujuan dilekatkan

dalam minuta akta. Di hadapan para pihak itulah PPAT membacakan isi dari akta

tersebut dan menjelaskan maksudnya, selanjutnya akta ditandatangani oleh pihak-

pihak yang bersangkutan, saksi-saksi dan PPAT.

Anda mungkin juga menyukai