Pejabat Pembuat Akta Tanah, disingkat PPAT, yang dalam bahasa Inggris,
disebut dengan land deed officials, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebgut
dengan land titles registrar, mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting
di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena Pejabat ini diberi kewenangan
oleh negara, untuk membuat akta-akta mengenai peralihan hak atas tanah.1 Di dalam
UUPA tidak diatur mengenai PPAT yang mempunyai tugas khusus untuk membuat
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961
No. 28) (selanjutnya disebut PP No. 10 Tahun 1961) disebutkan dengan istilah
bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah,
menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan,
harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang
1
Salim HS I, op.cit. hal. 85
ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut :
Agraria Nomor 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta (selanjutnya disebut PMA No.
11 Tahun 1961) pada Pasal 1 yang dijabarkan bahwa : “Akta-akta yang dimaksudkan
dalam Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 harus dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah
terlampir pada Peraturan ini”. Dari ketentuan tersebut dapat ditemukan istilah lengkap
adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan
hak atas tanah, akta pembebaban hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa
berlaku”.
2. Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, menetapkan “Pejabat
Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
disebut PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat
Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.
Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun”.
Apabila dikaji dari kelima definisi tentang PPAT di atas menunjukan bahwa
kedudukan PPAT adalah sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan membuat
akta-akta mengenai hak atas tanah. Awal mula PPAT dikategorikan sebagai pejabat
umum didasarkan pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Amtbtenaren yang terdapat dalam PJN dan dalam Pasal 1868 KUHPerdata
terjemahan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.2 Menurut kamus hukum salah satu
arti dari Ambtenaren adalah Pejabat. Dengan demikian Openbare Ambtenaren adalah
pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga
pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan
publik.4 Dalam PJN maupun Pasal 1868 KUHPerdata tersebut di atas mengatur
demikian pula sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai pejabat umum bukan
hanya Notaris saja, PPAT dan Pejabat Lelang juga dikualifikasikan sebagai pejabat
umum.5
2
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), Cetakan
Kesatu, CV. Mandar Maju, Bandung (selanjutnya disingkat Habib Adjie II), hal. 15
3
Ibid. hal. 16
4
Ibid.
5
Ibid.
Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan pejabat umum adalah
seseorang yang diangkat oleh pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan
pelayanan kepada umum di bidang tertentu.6 Adapun unsur-unsur pejabat umum dari
umum. Konsep umum pada definisi ini bukan pada semua bidang, tetapi hanya pada
bidang-bidang tertentu dan khusus, seperti pembuatan akta.7 Oleh karena itu PPAT
memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah atau
pejabat umum mempunyai karakter yuridis, yaitu selalu dalam hukum publik. Sifat
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
6
Urip Santoso I, op.cit. hal. 326
7
Salim HS I, op.cit. hal. 88
8
Samun Ismaya, op.cit. hal.177
9
Urip Santoso I, loc.cit.
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.10 Dengan demikian menurut penulis pejabat
umum merupakan suatu jabatan yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka yang
diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan hal-hal khusus dalam bidang
1. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang
3. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu
Atas dasar ketentuan tersebut maka di Indonesia PPAT dapat digolongkan menjadi 3
1. PPAT;
3. PPAT Khusus.
10
Ibid.
PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu dan diberhentikan oleh
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Nasional Republik Indonesia.11 Dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 37 Tahun 1998
Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum
cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam
pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di
bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus, yaitu:
a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara;
b. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan
masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara
sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Depatemen
Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.
daerah-daerah terpencil yang tidak ada PPAT guna melaksanakan perbuatan hukum
peralihan hak atas tanah, Kepala Badan atau Kepala Kantor Wilayah sebagai delegasi
dari Kepala Badan dapat menunjuk PPAT Sementara. PPAT Sementara yang
bersangkutan, yaitu Camat atau Kepala Desa. Penunjukan Camat atau Kepala Desa
sebagai PPAT Sementara dilakukan oleh Kepala Badan berdasarkan letak desa yang
sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah yang sudah terdaftar di daerah tersebut.
PPAT Sementara dan PPAT Khusus adalah jabatan induk instansi pemerintah, jika
11
Urip Satoso I, op.cit. hal. 328
pejabat yang bersangkutan dimutasikan atau diganti oleh orang lain sehingga tidak
lagi menjabat Camat, Kepala Desa, Kepala Kantor Pendaftaran Tanah, maka secara
otomatis tidak berwenang membuat akta PPAT sejak tanggal keputusan pemindahan
A. Tugas PPAT
bahwa PPAT merupakan perpanjangan tangan dari BPN, yang khusus mengenai
pembuatan akta-akta hak atas tanah yang merupakan syarat formil dalam pendaftaran
di Kantor Pertanahan.
Dalam pelaksanaan tugas pendaftaran hak atas tanah, Pasal 6 ayat (2) PP No.
Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan
12
Adrian Sutedi I, op.cit. hal. 88
13
Widhi Handoko, op.cit. hal. 161
menyebutkan secara tegas kegiatan-kegiatan apa yang menjadi tugas PPAT dalam
lanjut dalam Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998. Di dalam ketentuan tersebut yang
Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 menentukan bahwa PPAT bertugas
sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud, didasarkan atas Pasal 19 ayat (1)
ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Lebih lanjut mengenai kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial Regitration) dan kegiatan
pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau Maintenance). Dari dua
macam kegiatan pendaftaran tanah tersebut yang menjadi tugas pokok PPAT adalah
B. Kewenangan PPAT
dalam bahasa Belanda, disebut dengan autoriteit atau gezag merupakan kekuasaan
yang diberikan oleh hukum kepada PPAT untuk membuat akta.14 Kewenangan itu,
berkaitan dengan :
Dalam PP No. 37 Tahun 1998 pada Pasal 3 diatur mengenai kewenangan PPAT,
yaitu :
yang disebut secara khusus dalam penunjukannya. Akta yang dibuatnya adalah :15
14
Salim HS I, op.cit. hal. 94
15
Urip Santoso I, op.cit. hal. 350
a. Pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat, seperti pensertifikatan
yang memerlukan adanya akta PPAT terlebih dahulu karena tanah yang
b. Pembuatan akta tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai
perbuatan hukum atas Hak Guna Usaha, terutama dalam hal mutasi, seperti adalah
PPAT dan PPAT Sementara hanya berwenang membuat akta otentik terhadap
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Daerah kerja PPAT adalah satu
Sementara adalah wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar
keberadaannya memiliki peran yang amat penting, karena pada dasarnya baik PPAT
(umum), PPAT Sementara dan PPAT Khusus bertugas membantu Kepala Kantor
16
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya,
hal. 186
C. Kewajiban PPAT
meliputi:
Kewajiban lain yang harus dilaksanakan oleh PPAT ditentukan dalam Pasal
19 PP No. 37 Tahun 1998 yaitu dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan
sumpah jabatan yaitu : a. menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan,
contoh paraf, dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah
II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya
(1). PPAT harus membuat satu buku daftar untuk semua akta yang dibuatnya.
(2). Buku daftar akta PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi setiap
hari kerja PPAT dan ditutup setiap akhir kerja dengan garis tinta yang
diparaf oleh PPAT yang bersangkutan.
(3). PPAT wajib mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya,
yang diambil dari buku daftar akta PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai
ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang berlaku
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
antara lain:
Baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (bagi para PPAT serta PPAT
Pengganti) ataupun dalam kehidupan sehari-hari, setiap PPAT diwajibkan
untuk :
a. Berkepribadian baik dan menjujung tinggi martabat dan kehormatan PPAT.
b. Senantiasa menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang berlaku serta
bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan, kode etik dan berbahasa
Indonesia secara baik dan benar
c. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara.
d. Memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan
nasional, khususnya dibidang hukum.
e. Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak
berpihak.
f. Memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang
memerlukan jasanya.
g. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang memerlukan
jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak
dan kewajiban sebagai warga negara dan anggota masyarakat.
h. Memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang
mampu secara cuma-cuma.
i. Bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam
suasana kekeluargaan dengan sesama rekan sejawat.
j. Menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korps PPAT atas dasar
rasa solidaritas dan sikap tolong menolong secara konstruktif.
k. Bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya
dengan pelaksanaan tugas jabatannya.
l. Menetapkan suatu kantor dan kantor tersebut merupakan satu-satunya
kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam menjalankan tugas jabatan
sehari-hari.
m. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai
kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas
pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam:
1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur Jabatan PPAT.
2. Isi Sumpah Jabatan.
3. Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusan-
keputusan lain yang telah ditetapkan oleh perkumpulan IPPAT,
misalnya :
Membayar iuran, membayar uang duka manakala ada seorang
PPAT atau mantan PPAT meninggal dunia.
Mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan yang dibuat
oleh dan mengikat setiap anggota Perkumpulan.
Kode Etik PPAT sehingga merupakan kaidah-kaidah moral yang ditentukan oleh
pelanggaran Kode Etik, dikenakan sanksi sebagaimana Pasal 6 ayat (1) Kode Etik
atas tanah, yaitu berdasarkan Pasal 40 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 “Selambat-
melaksanakan tugas dan kewenangannya, PPAT di tuntut untuk selalu berbuat adil
terhadap semua klien yang memerlukan jasanya dan bekerja sesuai dengan tuntunan
Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data
pendaftaran tanah, maka akta wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan
dasar yang kuat untuk pendaftaran peralihan maupun pembebanan hak yang
hukum mengenai hak atas tanah sebagaimana Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998,
namun tidak semua transaksi dapat dilakukan dalam arti dipenuhi oleh PPAT untuk
dibuatkan aktanya.
perbuatan hukum yang bersangkutan, seperti mencocokan data yang terdapat dalam
tidak dipenuhi, maka PPAT berwenang bahkan wajib menolak pembuatan akta
tersebut, jika terdapat alasan yang sah untuk itu sebagaimana ditentukan dalam Pasal
39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997. Apabila PPAT dalam melaksanakan tugasnya
Tahun 1961 sebagai pelaksana UUPA, ditentukan bahwa “Setiap perjanjian yang
bermaksud mengalihkan hak atas tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah
sebagai tanggungan, harus dibuktikan melalui suatu akte yang dibuat oleh dan
dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria”. Akta yang dimaksud harus
dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk khusus untuk itu, yaitu PPAT.
Adanya unsur absolut yang harus dipenuhi dalam mengalihkan hak atas tanah, yakni
Esensi akta PPAT dalam konsepsi ini, yaitu fungsi akta sebagai alat
pembuktian juga tentang akibat hukum PPAT. Akta PPAT dikatakan sah, apabila
akta yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
subjektif dalam sahnya perjanjian tidak dipenuhi, maka akta PPAT tersebut dapat
perjanjian tidak terpenuhi, maka akta yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum.
Selain itu di dalam konsepsi ini juga memuat tentang perbuatan hukum yang
dibatalkan sendiri oleh para pihak, sedangkan perbuatan hukum tersebut sudah
dengan membatalkan pendaftaran yang dimaksud, maka diperlukan alat bukti lainnya
yang berupa putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang
baru.17
2. Pasal 1 angka 4 PP No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1 angka 4 PKBPN No. 1 Tahun
2006 menetapkan “Akta PPAT adalah Akta tanah yang dibuat oleh PPAT sebagai
bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
17
Salim HS I, op.cit. hal. 68
Adapun Salim HS berpendapat dari definisi-definisi di atas, esensi akta PPAT
adalah sebagai alat pembuktian, dan tidak disajikan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan klausula-klausula atau aturan yang memuat dalam akta itu. Atas dasar hal
Surat tanda bukti, yang dibuat di muka dan di hadapan PPAT, yang memuat
tentang klausula-klausula atau aturan-aturan yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban para pihak, di mana pihak pertama berkewajiban untuk menyerahkan
hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun, dan Pihak Kedua
berkewajiban untuk menyerahkan uang dan menerima hak atas tanah dan/atau
hak milik atas satuan rumah susun”
1. Fungsi formil (formalitas causa) yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau
sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat
suatu akta, disini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan
hukum;
2. Fungsi alat bukti (probationis causa) bahwa akta itu dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari, sifat tertulisnya suatu
perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi
hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.
Dari pendapat Sudikno, akta yang mempunyai fungsi formil bukan untuk
sahnya perbuatan hukum, begitu pula dalam ketentuan PP No. 10 Tahun 1961 pada
Pasal 19 tidak menyebutkan akta PPAT sebagai syarat yang menentukan keabsahan
perjanjian pengalihan hak atas tanah, namun adanya akta tersebut dimaksudkan
18
Ibid. hal. 69-70
19
Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke -8, Cetakan
Pertama, Liberty, Yogyakarta (Sudikno Mertokusumo II), hal. 161-162
sebagai alat bukti sempurna tentang adanya pengalihan hak tersebut. 20 Mahkamah
No. 10 Tahun 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat
bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya
oleh Judith Law yang menyatakan essentials for the contract for sale :22
Apabila diterjemahkan (terjemahan bebas penulis), maksud dari Judith Law mengenai
dijamin tanpa sekaligus melibatkan PPAT. Akta PPAT berfungsi sebagai bukti
sempurna adanya perjanjian pengalihan hak atas tanah sehingga tanpa adanya akta
20
Herlin Budiono, 2015, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia), Cet. Ke-2, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 263
21
Adrian Sutedi I, op.cit. hal. 79
22
Judith Bray, 2010, Unlocking Land Law, Hodder Education, British, hal. 89
demikian sulit menyatakan bahwa perjanjian dimaksud adalah sah.23 Dari rumusan
tersebut, menurut penulis akta dibuat sebagai alat bukti yang fungsinya untuk
dengan pendapat Mariam, bahwa akta PPAT harus ditafsirkan bukan semata-mata
sebagai alat bukti melakukan pendaftaran, akan tetapi juga sebagai syarat mutlak
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik lagi selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
Hal demikian karena bentuk akta dan tata cara pengisian dibuat sesuai dengan
disempurnakan dan diubah, Pasal 96 ayat (2) mensyaratkan pembuatan akta harus
dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk yang ditentukan dan
Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 tentang
2012), menghapus ketentuan ayat (2) dan kemudian menambah ayat (4) yaitu :
23
Herlin Budiono, loc.cit.
24
Adrian Sutedi I, op.cit. hal. 87
“Penyiapan dan pembuatan akta sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh
Pengganti, Pejabat Pembuatan Akta Tanah Sementara, atau Pejabat Pembuat Akta
Tanah Khusus”. Penambahan ayat (4) tersebut merupakan suatu perkembangan bagi
jabatan PPAT yang awalnya menggunakan formulir yang disediakan oleh BPN
berhubungan dengan peralihan hak atas tanah sesuai dengan Lampiran PMNA/KBPN
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, mengenai akta PPAT sebagai akta yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang sebagai bukti telah terjadinya perbuatan hukum
tertentu mengenai peralihan hak atas tanah. Selain berlaku sebagai alat bukti, akta
PPAT juga berlaku sebagai dasar dilakukannya pendaftaran peralihan hak atas tanah
Sifat tertulis suatu perjanjian yang dituangkan kedalam suatu akta, wajib
memenuhi dasar sahnya perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yaitu :
Kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih dengan
25
Salim HS, 2013, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. Ke-8, Sinar Grafika,
Jakarta (selanjutnya disingkat Salim HS II), hal. 162
kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak, tidak mendapat suatu
Cakap bertindak, yakni kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk
melakukan perbuatan hukum.26 Orang cakap atau wenang adalah orang dewasa
(berumur 21 tahun atau sudah menikah), sedangkan orang yang tidak berwenang
perjanjian harus mempunyai objek tertentu, baik berupa barang atau jasa yang dapat
dinilai dengan uang.27 Dalam Pasal 1332 KUHPerdata ditentukan bahwa : “Hanya
perjanjian”, artinya dalam pokok perjanjian harus sesuatu yang dapat dinilai dengan
uang, yang apabila nantinya terjadi pelanggaran dalam perjanjian tersebut dapat
diganti rugi dengan uang atau benda yang dapat dinilai dengan uang. Selain itu, Pasal
suatu barang yang paling sedikit ditemukan jenisnya”, artinya barang yang
26
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi Pertama,
Cet. Ke-3, Kencana, Jakarta, hal. 225
27
Ibid. hal. 226
diperjanjikan paling tidak dapat ditentukan dengan cara mengukur, menimbang,
Sebab yang halal artinya, ada sebab-sebab hukum yang menjadi dasar
perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan, keamanan, kesusilaan dan ketertiban
umum dan sebagainya.28 Perjanjian yang dibuat karena sebab yang palsu atau sebab
termasuk ke dalam sebab yang tidak halal dan tidak mempunyai kekuatan.
subjektif karena menyangkut para subjek hukum yang mengadakan suatu perjanjian,
objek yang dijadikan suatu perjanjian. Adapun akta PPAT sebagaimana Pasal 3 ayat
(1) PP No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 3 ayat (1) PKBPN No. 1 Tahun 2006
menegaskan bahwa akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik.
Dalam kedua peraturan tersebut tidak dijelaskan mengenai apa yang dimaksud
dengan akta otentik, oleh karena itu perlu untuk melihat aturan yang lebih umum
yaitu KUHPerdata. Akta otentik ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata “sebagai
suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh
atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana
28
Ibid.
akta dibuatnya”. Pasal 1868 KUHPerdata memberikan batasan unsur-unsur yang
1. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum;
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
3. Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat,
Dalam hal ini, akan menimbulkan pertanyaan apakah akta PPAT merupakan
akta otentik atau bukan. Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata
maka dapat ditelusuri mengenai kedudukan akta PPAT sebagai akta otentik :
1. Unsur pertama suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta tersebut
secara tersurat ditentukan oleh undang-undang. Demikian pula, hal ini berlaku
bagi akta PPAT. Akta PPAT tidak ditentukan oleh undang-undang, melainkan
a. Pasal 38 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 ditentukan bahwa bentuk, isi, dan
Badan Pertanahan;
b. Pasal 21 PP No. 37 Tahun 1998 ditentukan bahwa akta PPAT dibuat dengan
Pertanahan;
29
Habib Adjie I, op.cit. hal. 6
c. Pasal 95 dan Pasal 96 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 jo. PMNA/KBPN No. 8 Tahun 2012
menetapkan bahwa macam dan bentuk akta yang dibuat oleh PPAT;
Dari ketiga peraturan di atas menunjukan bahwa akta PPAT bukan suatu akta
PPAT tersebut bentuknya baku dan dibuat oleh PPAT sebagai pejabat umum.
2. Unsur kedua, suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta tersebut
dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk itu.
Dalam PP No. 37 Tahun 1998 dan PKBPN No. 1 Tahun 2006 menentukan
bahwa PPAT sebagai pejabat umum yang diangkat dan diberhentikan oleh
Tanggungan mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
3. Unsur ketiga, akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta dibuat oleh pejabat
umum dalam daerah atau wilayah kerjanya. Berdasarkan PP No. 37 Tahun 1998
dan PKBPN No. 1 Tahun 2006 ditentukan bahwa PPAT sebagai pejabat umum
diberi kewenangan membuat akta didalam daerah (wilayah) kerjanya, yaitu suatu
Dari ketiga unsur tersebut, akta yang dibuat oleh PPAT tidak memenuhi unsur
sebagai akta otentik. Unsur pertama yang menentukan bahwa bentuk akta ditetapkan
oleh undang-undang tidak dipenuhi, karena bentuk akta PPAT ditetapkan oleh
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, namun unsur kedua dan ketiga
terpenuhi yaitu PPAT merupakan pejabat umum dan PPAT mempunyai daerah
menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas bidang tanah
yang dimilikinya, sehingga tanah dapat berfungsi secara optimal untuk meningkatkan
kemakmuran bagi rakyat sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
perwakilan negara.
Sebelum berlakunya UUPA, hanya bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum
Barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erpacht, Hak Opstal, dilakukan pendaftaran.
Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini,
meliputi kepastian hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak.
Dalam pendaftaran ini, menghasilkan sertipikat sebagai tanda bukti hak. Pendaftaran
Adapun tanah yang tunduk pada hukum adat, seperti tanah yasan, tanah
tujuannya adalah untuk menentukan wajib pajak atas tanah tersebut, bukan untuk
tanda bukti pembayaran pajak atas tanah, bukti-bukti pajak tersebut biasanya berupa
pipil, pethuk, leter C/D dan lain-lain, sekarang bukti pembayaran pajak dikenal
dengan sebutan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan
(SPPT PBB). Pendaftaran tanah tersebut dikenal dengan istilah Fiscal Kadaster.
Setelah berlakunya UUPA maka politik hukum yang dualistis dihapuskan dan
diganti dengan hukum tanah yang bersifat unifikasi hukum. Pendaftaran tanah
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, agar dengan mudah dapat
memberikan konsepsi apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah, begitu pula
30
Urip Santoso I, op.cit. hal. 2
31
Samun Ismaya, op.cit. hal. 82
berasal dari kata Cadaster (Bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu
record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas
hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa Latin “Capistratum”
yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah
Romawi (Capotatio Terrens). Dalam arti tegas, Cadastre adalah record pada lahan-
lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan.
Dengan demikian, Cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan
identifikasi dari tersebut dan juga sebagai Continuous recording (rekaman yang
pekerjaan yang berkesinambungan dan konsistem atas hak-hak seseorang atas tanah
sehingga nantinya akan memberikan informasi dan data administrasi atas bagian-
32
Urip Santoso I, op.cit. hal. 12
33
Douglass J. Whillan, 1982, The Torren System in Australia, Sydney, hal. 18
Apabila diterjemahkan pendapat dari Douglass J. Whillan mengenai pendaftaran
tanah adalah :
Register (daftar) terdiri dari hibah individu, sertifikat folio yang terkandung di
dalamnya pada waktu tertentu ditambahkan ke register ini adalah dokumen yang
dapat dianggap dapat dimasukkan ke dalam register setelah pendaftaran.
Bersama dengan ini menunjukkan sebidang tanah dalam bentuk tertentu, orang
tersebut berhak atas hak di dalamnya sesuai dengan sifat dan tingkat
kepentingan tersebut. Ada juga daftar tambahan yang membantu dalam sistem
tertib administrasi seperti indeks bidang, indeks nominal yang mencatat daftar
pemilik yang terdaftar dalam buku harian di mana dokumen yang dimasukkan
menunggu pendaftaran akhir.
baru dimuat dalam PP No. 24 Tahun 1997 pada Pasal 1 angka 1, yaitu :
data, penyimpanan data, kemudian penyajian data. Penyimpanan data dapat berupa
tulisan, gambar atau peta, angka-angka di atas kertas, mikro film, atau dengan
yang memintanya, berdasarkan data yang dihimpun. Atas dasar data-data yang
penyajian data yuridis, bukan tanahnya yang didaftar, melainkan hak-hak atas tanah
yang menentukan status hukumnya serta hak-hak lain yang membebani hak-hak yang
bersangkutan.34
Hak atas tanah adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUPA. Hak
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam
tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA). Hak-hak atas tanah ialah hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil
hutan (Pasal 16 ayat (1) UUPA), hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah
34
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,Edisi Revisi, Cet. Ke-10, Djambatan, Jakarta, hal. 73
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
1.2. Pasal 23 UUPA, ditujukan kepada pemegang Hak Milik, yang menentukan:
1.3. Pasal 32 UUPA, ditujukam kepada pemegang Hak Guna Usaha (HGU),
yang menentukan :
1.4. Pasal 38 UUPA, ditujukan kepada pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) :
hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.
Untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertipikat hak atas tanah
sebagai surat tanda buktinya (Pasal 4 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997). Inilah yang
oleh Pasal 19 UUPA. Maka memperoleh sertifikat bukan sekedar fasilitas, melainkan
merupakan hak dari pemegang hak atas tanah yang dijamin undang-undang.35
Sertipikat sebagaimana dimaksud, berisi buku tanah dan surat ukur. Adapun yang
dimaksud dengan buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data
yuridis dan data suatu fisik objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya (Pasal 1
angka 19 PP No. 24 Tahun 1997). Data fisik adalah keterangan mengenai letak tanah,
batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk
keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis
adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang
didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang
pemegang hak atas tanah; b. Kepastian hukum bidang tanah mana yang dimilikinya;
Kabupaten/Kota tata usaha pendaftaran tanah dalam apa yang dikenal sebagai daftar
umum, yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan
daftar nama. Para pihak yang berkepentingan terutama calon pembeli atau calon
kreditor sebelum melakukan suatu perbuatan hukum mengenai suatu bidang tanah
atau satuan rumah susun tertentu, perlu dan karenanya mereka berhak mengetahui
administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk peralihan
pembebanan dan hapusnya wajib didaftar (Pasal 4 ayat (3) PP No. 24 Tahun 1997).38
36
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, op.cit. hal. 175
37
Boedi Harsono, op.cit. hal. 473
38
Ibid. hal. 474
Tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah sebagaimana telah diuraikan di
mengenai tanah yang dimilikinya. Atas hal tersebut, maka perbuatan hukum terhadap
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang
memerlukan.
Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan yang
e. Asas terbuka maksudnya adalah proses pendaftaran tanah harus terbuka untuk
umum. Artinya proses pendaftaran tanah dengan asas ini mengharapkan bahwa
tertutup.41
Tanah
Pendaftaran tanah mempunyai sistem yang berbeda antara negara yang satu
dengan negara yang lainnya. Didunia ini dikenal ada dua model atau jenis sistem
pendaftaran tanah. Pertama, disebut dengan sistem pendaftaran akta atau "registration
40
Eli Wuria Dewi, 2014, Mudahnya Mengurus Sertifikat Tanah dan Segala Perizinannya,
Buku Pintar, Yogyakarta, hal. 71
41
Ibid.
42
Boedi Harsono, op.cit. hal. 76
Dalam sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftar oleh pejabat
pengujian kebenaran data yang disebutkan pada akta yang didaftar. Setiap kali terjadi
perubahan, wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Data yuridis dalam sistem ini yang
Cacat hukum dalam suatu akta dapat mengakibatkan tidak sahnya perbuatan
hukum yang dibuktikan dengan akta yang dibuat kemudian. Untuk memperoleh data
yuridis harus dilakukan dengan apa yang disebut “title search”, yang bisa memakan
waktu dan biaya, karena untuk title search diperlukan bantuan ahli.44
terdapat kesulitan dalam sistem pendaftaran akta. Beliau menciptakan sistem baru
yang lebih sederhana dan memungkinkan orang memperoleh keterangan dengan cara
yang lebih mudah, tanpa harus mengadakan title search pada akta-akta yang ada.
Dalam sistem ini, setiap penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang
menimbulkan perubahan kemudian, juga harus dibuktikan dengan suatu akta, tetapi
disediakan suatu daftar isian yang disebut register atau buku tanah (Pasal 10 PP No.
10 Tahun 1961).45
43
Ibid. hal.76
44
Ibid. hal. 77
45
Ibid. hal. 77-78
Akta hanya merupakan sumber data, berfungsi sebagai sumber data yuridis
untuk mendaftar hak yang diberikan dalam buku tanah. Demikian juga akta
pemindahan dan pembebanan hak berfungsi sebagai sumber data untuk mendaftar
kemudian, oleh pejabat pendaftaran tanah dilakukan pengujian kebenaran data yang
dimuat dalam akta yang bersangkutan, sehingga Pejabat Pendaftaran Tanah bersikap
aktif. Sertipikat diterbitkan sebagai tanda bukti hak, yang merupakan salinan register
atau buku tanah, sehingga jika terjadi perubahan kemudian, tidak dibuatkan sertipikat
baru melainkan perubahannya dicatat pada salinan buku tanah tersebut dan dilakukan
Pada dasarnya dikenal 2 (dua) jenis sistem publikasi dalam pendaftaran tanah,
yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Pengertian sistem
publikasi positif (stelsel positif) mencakup ketentuan bahwa apa yang sudah terdaftar
dijamin kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah
meneliti kebenaran datanya sebelum data tersebut dimasukan ke dalam daftar umum
dan dalam daftar buku tanahnya.47 Dalam sistem publikasi positif, negara menjamin
kebenaran data yang disajikan, pendaftaran menciptakan suatu hak yang tidak dapat
diganggu gugat (indefeasible title) dan untuk memastikan adanya suatu hak dan
46
Ibid. hal. 78
47
J. Andy Hartanto, op.cit. hal. 56
pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya (the register is everything).48 Artinya
semua kegiatan yang dibuatkan aktanya disimpan dalam buku tanah sehingga yang
menjadi alat bukti adalah buku tanah dengan seritifikat sebagai rangkuman dari buku
tanah.
menjamin kebenaran data yang disajikan dalam daftar umum dan dalam sertifikat hak
atas tanah.49 Menurut asas nemo plus yuris, perlindungan diberikan kepada pemegang
hak yang sebenarnya, maka dengan asas ini dimungkinkan adanya gugatan kepada
pemilik terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemilik yang sesungguhnya atas
tanah tersebut.50 Dalam sistem ini memungkinkan pemegang hak terdaftar dapat
diganggu gugat, maka alat pembuktian yang utama dalam pemeriksaan di pengadilan
dibuktikan melalui beberapa pasal antara lain ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c,
Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, yang berisikan
bahwa pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Surat tanda bukti (sertifikat) merupakan alat pembuktian yang
kuat terkandung dalam sistem publikasi positif (stelsel positif), namun dalam Pasal 32
PP No. 24 Tahun 1997 disebutkan juga bahwa pihak lain yang merasa mempunyai
48
Ibid. hal. 57
49
Ibid.
50
Ibid.
hak atas tanah dimungkinkan adanya gugatan kepada pemilik terdaftar dari orang
Atas dasar paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem publikasi
pendaftaran yang digunakan oleh Indonesia adalah sistem negatif yang mengandung
unsur positif.51 Sistem publikasi negatif untuk membuktikan hak yang sebenarnya
melalui gugatan dan dapat dilawan dengan bukti lawan contohnya dengan
menyelidiki surat-surat bukti hak, yang umumnya berupa akta-akta dibawah tangan
yang dibuat dimasa lampau atau surat-surat keputusan pemberian hak, pendaftaran
pemindahan hak dan juga didasarkan pada akta-akta yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang, sedangkan unsur positif bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang lebih
kuat dari alat bukti lainnya. Hal-hal tersebut, bukanlah berarti bahwa pemerintah
Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 dengan adanya ketentuan waktu, artinya
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat hak atas tanah tidak
ada pihak lain yang mengajukan gugatan maka sertifikat hak atas tanah mempunyai
kekuatan pembuktian mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.52
antara pendaftaran hak (stelsel positif) dan pendaftaran akta (stelsel negative). Hal
demikian karena pendaftaran hak atas tanah dilakukan berdasarkan pendaftaran hak
dengan perantara pendaftaran akta. Pada negara lain yang murni menganut sistem
51
Boedi Harsono, op.cit. hal. 82
52
J. Andy Hartanto, op.cit. hal. 39
pendaftaran akta, tidak ada sertipikat sebagai tanda buktinya kepemilikan haknya,
tetapi hanya akta. Di Indonesia, akta digunakan sebagai salah satu syarat formil untuk
dapat melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah, guna mendapatkan sertipikat
sebagai tanda bukti hak, sehingga sertipikat merupakan hasil akhir dari suatu proses
penguasaan atau pemilikan tanah yang hasilnya menjadi alas hak pada pendaftaran
tanah, yang telah diselidiki dan proses peralihan haknya dilakukan dengan akta
PPAT.53
untuk pertama kali (initial registration) dan pemeliharaan data (maintenance) (Pasal
11 PP No. 24 Tahun 1997). Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah
kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang
Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini (Pasal 1 angka 9 PP No. 24 Tahun
1997). Adapun objek dari pendaftaran untuk pertama kali adalah tanah negara dan
pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Menurut
Pasal 1 angka 10 PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah secara sistematik adalah
53
Adrian Sutedi II, op.cit. hal. 193
54
Adrian Sutedi I, op.cit. hal. 136
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang
meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau
oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/ keluarahan belum
pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah
atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1
atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek
Pendaftaran tanah secara sistematik diutamakan, karena melalui cara ini akan
bertambah banyak permintaan untuk mendaftar secara individual dan massal yang
55
Boedi Harsono, op.cit. hal. 474
diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, yang akan makin meningkatkan
kegiatannya.56
Dalam hal perbuatan hukum berupa jual beli hak atas tanah yang belum
pendaftaran tanah, maka jual belinya harus dibuat dengan akta PPAT. 57 Sejak PP No.
24 Tahun 1997 berlaku efektif pada tanggal 8 Oktober 1997, jual beli hak atas tanah
yang belum bersertipikat yang tidak dituangkan dalam akta otentik yang dibuat oleh
PPAT, maka permohonan pendaftaran akan di tolak oleh Kepala Kantor Pertanahan.58
Oleh karena itu, untuk dapat dilakukan jual beli terhadap hak atas tanah yang belum
bersertipikat, maka terlebih dahulu terhadap hak-hak lama yang bersumber pada
hukum perdata barat maupun hukum adat perlu dilakukan penyesuaian terhadap
Hukum Agraria Nasional yang dikenal dengan sebutan konversi. Jadi, apabila jual
beli hak atas tanah yang belum bersertipikat dilakukan sebelum berlakunya PP No. 24
Tahun 1997, maka jual belinya cukup melalui akta di bawah tangan yang dibuat oleh
para pihak dan dibenarkan dalam arti diketahui dan ditandatangani serta dicatat dalam
buku mutasi hak atas tanah oleh Kepala Desa/Lurah, sedangkan jika jual beli hak atas
tanah yang belum bersertipikat tersebut dilakukan setelah berlakunya Peraturan ini
maka pembuktian adanya jual beli hak atas tanah harus dibuat dengan akta PPAT. 59
56
Ibid. hal. 475
57
J. Andy Hartanto, op.cit. hal. 109
58
Ibid.
59
Ibid.
Lebih lanjut, pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta
pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan
1997). Perubahan itu misalnya terjadi sebagai akibat beralihnya, dibebaninya atau
berubahnya nama pemegang hak yang telah didaftar, hapusnya atau diperpanjangnya
jangka waktu hak yang sudah berakhir, pemecahan, pemisahan, dan penggabungan
bidang tanah yang haknya sudah didaftar. Agar data yang tersedia di Kantor
Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang mutakhir, dalam Pasal 36 ayat (2) PP
No. 24 Tahun 1997, ditentukan bahwa pemegang hak yang bersangkutan wajib
mendaftarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
(milik bersama) berakibat kepada tujuan pendaftaran tanah yang didapat. Awalnya
pendaftaran tanah bukan merupakan hal penting untuk dilakukan, sebab yang menjadi
prioritas adalah fungsi haknya yakni bagaimana agar dapat memberikan manfaat bagi
seluruh anggota keluarga sekawasan yang hidup di atas tanah. Namun, akibat
privat, tidak mungkin ditahan untuk menjadi benda/barang milik yang tidak dapat
menjadi alat yang paling utama dan mendasar untuk menegakkan individualisasi
60
Adrian Sutedi II, op.cit. hal. 202
kepemilikan hak atas tanah tersebut. Pendaftaran tanah dapat mengamankan hak-hak
atas tanah perseorangan atau milik sekelompok masyarakat atau badan hukum, karena
Terbitnya sertipikat merupakan pemberi rasa aman kepada pemilik tanah akan
haknya pada tanah tersebut. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para
pemegang hak atas tanah. Sertipikat tanah merupakan bukti yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya.
Pada dasarnya semua hak atas tanah dapat beralih dan di alihkan. Beralih
adalah pindahnya hak atas tanah karena hukum, dengan sendirinya tanpa ada
perbuatan hukum yang sengaja untuk mengalihkan hak itu kepada pihak lain. Salah
satu contoh dari pindahnya hak atas tanah ini yaitu terjadi karena pewarisan. Dengan
meninggalnya pemilik tanah maka dengan sendirinya, menurut hukum tanah tersebut
pindahnya hak atas tanah itu kepada pihak lain karena ada perbuatan hukum yang
61
Ibid. hal. 203
62
Erna Sri Wibawanti, dan R. Murijiyanto, op.cit. hal. 119
disengaja agar hak atas tanah itu pindah kepada pihak lain.63 Peralihan hak atas tanah
dapat terjadi karena jual-beli, hibah, tukar menukar, atau perbuatan hukum lain yang
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar,
hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
mengenai apa yang dimaksud dengan beralih dan di alihkan, tetapi hanya diatur
tentang peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Secara teoritis berdasarkan ketentuan dalam hukum kebendaan, suatu hak atas
kebendaan dikatakan “beralih” yaitu suatu proses berpindahnya hak atas tanah dari
pemegang hak yang lama kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal
dunia.64 Peralihan hak tersebut terjadi karena hukum yang tidak dilakukan secara
sengaja, artinya dengan meninggalnya seorang pemegang hak, maka secara otomatis
hak atas tanah tersebut beralih kepada ahli warisnya, sehingga ahli waris memperoleh
peralihan hak atas tanah karena suatu peristiwa hukum tertentu, bukan karena
perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah selaku subjek
hukum.
63
Ibid.
64
J. Andy Hartanto, op.cit. hal. 66
Adapun suatu hak atas tanah “di alihkan” apabila hak atas tanah tersebut
dipindahkan dari/oleh pemegang hak selaku subjek hukum kepada pihak lain karena
suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut
memperoleh hak atas tanah yang dialihkan.65 Dalam hal ini, peralihan hak atas tanah
terjadi karena memang disengaja melalui suatu perbuatan hukum antara pemegang
hak lama dengan pihak ketiga yang akan menjadi penerima hak (pemegang hak baru).
Berdasarkan paparan di atas, maka peralihan hak atas tanah adalah pindahnya
hak atas tanah dari pemegang hak kepada penerima hak, baik dengan adanya
peristiwa hukum maupun perbuatan hukum. Mengenai peralihan hak atas tanah yang
terjadi karena peristiwa hukum, penulis akan membahas tentang pewarisan sedangkan
peralihan hak atas tanah karena perbuatan hukum yang akan penulis gunakan untuk
atas tanah, maka hak atas tanah tersebut dengan sendirinya (karena hukum) akan
beralih kepada ahli warisnya. Peralihan hak tersebut kepada ahli waris, serta berapa
bagian masing-masing dan bagaimana cara pembagiannya diatur oleh Hukum Waris
Almarhum pemegang hak yang bersangkutan, bukan diatur oleh hukum tanah
yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti
pemilikannya oleh para ahli warisnya.66 Ketika peralihan hak terjadi dengan
65
Ibid.
66
Erna Sri Wibawanti, dan R. Murijiyanto, op.cit. hal. 120
sendirinya karena hukum, maka pewarisan tanpa wasiat tidak perlu dibuatkan akta
oleh PPAT, hanya saja peralihan hak atas tanah ini harus didaftarkan di Kantor
Pertanahan. Untuk bisa didaftar di Kantor Pertanahan, maka para ahli waris harus
dapat menunjukan bukti diri sebagai ahli waris, seperti surat keterangan ahli waris
menggunakan dasar hukum adat yaitu jual beli yang bersifat, tunai, terang, dan nyata
(riil).67 Menurut Boedi Harsono, bahwa jual beli bersifat tunai, artinya dengan
dilakukannya perbuatan hukum tersebut hak atas tanahnya berpindah kepada pihak
lain. Terang artinya dilakukannya perbuatan hukum dihadapan PPAT, jadi perbuatan
yang dilakukan tidak secara “gelap” atau sembunyi-sembunyi, sedangkan nyata (riil)
bahwa akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata perbuatan jual
(UUPA) menganur sistem pendaftaran hak, dalam jual beli hak atas tanah didasarkan
pada hukum adat, di mana jual beli bersifat tunai, maka saat beralihnya hak kepada
pembeli adalah pada saat beralihnya hak kepada pembeli adalah pada saat dilakukan
67
Ibid. hal. 124
68
Boedi Harsono, op.cit. hal. 330
pendaftaran terlebih dahulu, karena yang wajib diketahui oleh pihak ketiga adalah apa
yang tercantum pada buku tanah dan sertipikat hak yang bersangkutan.69
Dengan dilakukannya jual-beli hak atas tanah di hadapan PPAT, telah terjadi
peralihan hak dari penjual kepada pembeli dengan disertai pembayaran harga
(dipenuhi syarat tunai) membuktikan secara nyata perbuatan hukum jual-beli yang
bersangkutan telah dilaksanakan oleh para pihak. Menurut Subekti, jual beli adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan
hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
diperjanjikan.70
Sifat dari tata usaha PPAT adalah tertutup untuk umum, maka pembuktian
mengenai berpindahnya hak tersebut berlaku terbatas pada para pihak yang
melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan (dan para ahli waris). Baru setelah
didaftarkan, diperoleh alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang berlaku
terhadap pihak ketiga, karena tata usaha pendaftaran tanah Kantor Pertanahan adalah
terbuka untuk umum. Hal demikian selaras dengan pendapat Subekti bahwa dengan
telah ditandatanganinya akta PPAT hak atas tanah telah beralih kepada pembeli, yang
menurut beliau disebut sebagai penyerahan secara nyata (feitelijk levering), kemudian
akta PPAT tersebut harus disertai dengan penyerahan yuridis (juridische levering)
Akta PPAT belum berlaku terhadap pihak ketiga, karena yang wajib diketahui oleh
69
Adrian Sutedi II, op.cit. hal. 131
70
Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta (selanjutnya disingkat Subekti II), hal.
79
pihak ketiga adalah apa yang tercantum pada buku tanah dan sertipikat hak yang
bersangkutan.
Mengalihkan hak atas tanah, maksudnya memindahkan hak atas tanah yang
dimilki kepada pihak lain, dengan pemindahan dimaksud maka haknya berpindah.
Hak (right) yang dimaksud, adalah hubungan hukum yang melekat sebagai pihak
terminologi hukum kata-kata “right” diartikan hak yang legal, atau dasar untuk
Peralihan hak atas tanah tidaklah sama dengan peralihan benda-benda lainnya,
yang dapat dilakukan secara dibawah tangan bahkan secara lisan. Untuk peralihan
hak atas tanah, pemerintah telah mengaturnya, yaitu harus dengan akta yang dibuat
oleh PPAT. Agar perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dapat dilakukan
dibuat dengan akta yang dibuat oleh dan ditandatangani dihadapan PPAT.
Terkait dengan peralihan hak atas tanah, dilihat dari karakteristik hak dan
proses peralihan haknya, memiliki unsur hukum berbeda, terutama yang terkait
dengan syarat formil dan materiil, maupun mekanisme yang sangat ditentukan oleh
sifat atau keadaan subjek dan objek hak. Syarat materiil dalam jual-beli hak atas
71
J. Andy Hartanto, op.cit. hal. 73
72
Adrian Sutedi I, op.cit. hal. 77-78
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;
Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak wajib memenuhi syarat untuk
memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak tidaknya pembeli
memperoleh hak atas tanah yang dibelinya, tergantung pada hak apa yang melekat
pada tanah tersebut, seperti apakah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai.
Hanya pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang berhak menjual tanah.
Apablia pemilik dari hak atas tanah tersebut hanya seorang maka ia berhak
menjual sendiri tanah itu, namun apabila pemilik hak atas tanah tersebut adalah
lebih dari seorang maka yang berhak menjual adalah orang-orang itu secara
bersama-sama.
Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam
UUPA yaitu Hak Milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan
Sementara itu, syarat formil merupakan akta yang menjadi bukti perjanjian
jual-beli serta pejabat yang berwenang untuk membuat akta itu, sebagaimana yang
ditentukan PP No. 24 Tahun 1997 guna mewujudkan kepastian hukum dalam setiap
peralihan hak atas tanah, setiap perjanjian dengan maksud memindahkan hak atas
tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT.73
73
Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Hukum tentang Hukum Tanah, Alumni,
Bandung, hal. 23
Jual-beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA
berlandaskan pada Hukum Adat yaitu konkret, kontan dan nyata, namun demikian,
untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas
tanah, PP No. 24 Tahun 1997 telah menentukan setiap perjanjian yang bermaksud
memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh
Dengan demikian legalitas peralihan hak atas tanah sangat ditentukan oleh
syarat formil maupun materiil, prosedur, dan kewenangan bagi pihak-pihak terkait,
demikian, syarat utama adalah harus adanya alat bukti kepemilikan hak atas tanah
peralihan hak atas tanah, dan ketika semua persyaratan lengkap, maka sertipikat
dengan daftar buku tanah di Kantor Pertanahan, akan kemungkinan adanya catatan
Apabila terdapat kecocokan antara sertipikat hak dengan data yang berada di
Kantor Pertanahan, maka PPAT memanggil kembali para pihak, guna dibuatkan dan
ditandatanganinya akta peralihan hak atas tanah. Pembuatan akta peralihan harus
74
Adrian Sutedi I, op.cit. hal 78
75
Ibid. hal. 74
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, yang memenuhi syarat sebagai saksi (Pasal 38 PP
No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998). Bagi yang memerlukan
persetujuan pasangan kawin, maka yang bersangkutan harus turut hadir menghadap
dan menandatangani akta, atau jika tidak dapat hadir dapat membuat surat pertujuan
yang nantinya dimuat dalam komparisi akta, dan asli dari surat persetujuan dilekatkan
dalam minuta akta. Di hadapan para pihak itulah PPAT membacakan isi dari akta