Anda di halaman 1dari 21

II .

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa


terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Senyawa
ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan yang
mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat. Farmakologi mempunyai
keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara membuat,
memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat. Farmakologi terutama
terfokus pada dua sub, yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik.
Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat.
Empat proses yang termasuk didalamnya adalah absorbsi, distribusi,
metabolisme ( atau biotransformasi), dan ekskresi (Joyce Kee, 2005).

B. Absorbsi

Absorbsi dan bioavailabilitas merupakan dua proses yang berkaitan

dalam farmakokinetik, meskipun kedua istilah ini memiliki arti yang

berbeda. Absorbsi adalah proses penyerapan obat dari tempat pemberian,

menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Sedangkan,

istilah bioavailabilitas menyangkut jumlah obat, dalam persen terhadap

dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif.

Secara klinik, lebih penting mengetahui bioavailabilitas daripada proses

absorbsi dari suatu obat. Karena tidak semua obat yang diabsorbsi dapat

sampai di sirkulasi sistemik (Amir, 2004).

Proses absorbsi obat di dalam tubuh melalui beberapa mekanisme

utama, yaitu melalui transport aktif, transport pasif, dan pinositosis.

Transpor aktif memerlukan energi dan transporter karena proses ini


melawan gradien konsentrasi, yaitu dari konsentrasi rendah ke konsentrasi

yang lebih tinggi. Transpor aktif memerlukan transporter atau karier

khusus yang berguna untuk beberapa zat yang penting bagi fungsi sel

termasuk obat, namun terlalu besar atau sangat tidak larut lemak, sehingga

tidak dapat menembus membran sel. Transporter dalam transpor aktif yaitu

kelompok transporter ABC (ATP binding casette). Kelompok ini

mencakup P-glikoprotein atau transporter multidrug-resistence type-1

(MRP1) melalui MRP5 (Katzung, 2002).

Absorbsi secara transpor aktif terjadi terutama di usus halus untuk zat-

zat makanan seperti glukosa, asam amino, basa purin dan pirimidin,

mineral serta vitamin C. Cara ini juga terjadi untuk obat-obat yang struktur

kimianya mirip dengan struktur zat makanan tersebut, missalnya levodopa,

metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-fluorourasil (Amir,2004).

Transpor pasif atau bisa disebut difusi air terjadi tanpa memerlukan

energi atau ATP. Difusi air terjadi dalam kompartemen air besar dalam

tubuh (ruang interstitial dan sitosol), membran epitel tight junction, serta

endotel pembuluh darah, melalui pori air yang mampu melewatkan

molekul dengan berat molekul yang cukup besar. Proses transpor pasif

tidak memerlukan energi karena obat diabsorbsi seperti proses difusi air

normalnya, yaitu mengikuti gradien konsentrasi, dari konsentrasi yang

tinggi berpindah ke konsentrasi yang rendah (Katzung, 2002). Absorbsi

obat dengan transpor pasif umumnya terjadi di saluran cerna, karena itu

obat mudah diabsorbsi jika dalam bentuk non ion dan larut lemak

(lipofilik). Absorbsi obat di usus halus jauh lebih cepat daripada di


lambung, karena epitel usus halus jauh lebih luas dari epitel lambung

(Amir, 2004).

Pinositosis merupakan proses penyerapan obat dengan cara obat

diteguk atau ditelan oleh sitoplasma sel. Pinositosis atau endositosis

biasanya terjadi pada molekul termasuk obat yang ukurannya terlalu besar

sehingga hanya bisa masuk sel dengan cara ini. Proses absorbsi dengan

endositosis yaitu substansi dicaplok oleh membran sel lalu di bawa masuk

sel dengan melesakkan vesikel yang baru terbentuk ke arah dalam

membran. Substansi lalu dilepaskan ke dalam sitosol dengan memecah

membran vesikel tersebut (Katzung, 2002). Proses absorbsi dengan

endositosis ini terjadi juga pada transportasi vitamin B12 dan besi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat yaitu :

1. Formulasi,

2. Stabilitas terhadap asam dan enzim,

3. Motalitas usus,

4. Makanan dalam lambung,

5. Derajat metabolisme lintas pertama,

6. Kelarutan dalam lemak,

7. Proporsi relatif.

Kelarutan obat dalam lemak sangat dipengaruhi oleh pK obat dan pH

lingkungan. Obat yang tidak terionisasi (dalam bentuk molekul) lebih

mudah larut lemak daripada yang terionisasi (Michael,2006)


C. Distribusi

Distribusi obat merupakan sebuah proses perpindahan suatu obat

secara reversible dari sirkulasi darah menuju ke interstisium dan/atau sel-

sel jaringan. Perpindahan obat dari plasma ke interstisial terutama

tergantung pada aliran darah, permeabilitas kapiler, derajat ikat obat

tersebut dengan protein plasma dan jaringan, dan sifat hidrofobik relative

obat tersebut (Richard, 2009)

Dilusi keruang interstisial jaringan terjadi cepat karena celah antarsel

endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di

otak. Obatyang mudah larut dalam lemak akan melintasi membransel dan

terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak

akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas

terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada

protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdilusi dan mencapai

keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh

afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dankadar proteinnya sendiri.

Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena

adanya defisiensi protein. Obat dapat terakumulasi dalam sel jaringan

karena ditransport secara aktif, atau lebih sering karena ikatannya dengan

komponen intrasel yaitu protein, foslolipid, atau nukleoprotein. Misalnya,

pada penggunaan kronik, kuinakrin akan menumpuk dalam sel hati.

Jaringan lemak dapat berlaku sebagai reservoar yang penting untuk obat

larut lemak, misalnya tiopental. Protein plasma juga merupakan reservoar

obat. Obat yang bersifat asam terutama terikat pada albumin plasma,
sedangkan obat yang bersifat basa pada asam α glikoprotein.Tulang dapat

menjadi reservoir untuk logam berat misalnya timbal (Pb) atau radium.

Cairan transeluler misalnya asam lambung, berlaku sebagai reservoar

untuk obat yang bersilat basa lemah akibat perbedaan pH yang besar

antara darah dan cairan lambung. Saluran cerna juga berlaku sebagai

reservoar untuk obat oral yang diabsorpsisecara lambat, misalnya obat

dalam sediaan lepas lambat (Syarif, 2001).

Faktor yg mempengaruhi distribusi obat (Olson, 2012):

1. Permeabilitas membran
Untuk dapat bekerja pada suatu organ, obat harus melewati
membran yang memisahkan organ dengan media tempat obat
didistribusikan. Sebagai contoh, benzodiazepines, merupakan obat
yang sangat lipofilik, sehingga dapat menembus dinding usus, dinding
kapiler, dan sawar darah-otak. Oleh karena itu, benzodiazepines
didistribusikan ke otak dengan cepat dan sangat bermanfaat dalam
mengatasi kegelisahan dan kejang. Sebaliknya, beberapa antibiotik
dapat menembus dinding usus, tetapi tidak dapat menembus sawar
darah-otak.
2. Ikatan protein plasma
Dalam darah, obat dapat berikatan dengan protein plasma,
albumin misalnya. Obat yang tidak berikatan dengan protein plasma
disebut obat bebas. Obat bebas inilah yang akan berdifusi ke organ.
Berkurangnya obat bebas dalam darah, berarti berkurang pula obat
yang dapat digunakan oleh organ.
3. Cadangan obat
Obat lipofilik seperti obat penenang thiopental akan terkumpul di
dalam sel lemak. Obat ini akan dilepaskan perlahan ke peradaran
darah dari sel lemak. Obat terikat kalsium seperti antibiotik
tetracycline, terakumulasi dalam tulang dan gigi.
D. Metabolisme
Metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang
terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul
obat diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan
kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal.
Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi
sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat (Ganiswarna, 2001).
Reaksi metabolisme atau biotransformasi obat dapat dibagi menjadi
dua fase, yaitu reaksi fungsionalisasi sebagai fase 1 dan reaksi konjugasi
sebagai fase 2. Sistem enzim yang terlibat dalam proses biotransformasi
obat kebanyakan berada di hati, walaupun tiap jaringan yang diperiksa
juga memilki aktivitas metabolisme (Brunton, 2011).
Yang termasuk reaksi fase I ialah oksidasi, reduksi, dan hidrolisis.
Reaksi fase I ini mengubah.obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang
dapat bersifat inaktif, kurang aktif, atau lebih aktil daripada bentuk
aslinya. Reaksi fase ll, yang disebut juga reaksi sintetik, merupakan
konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan substrat endogen
misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat, atau asam amino. Hasil konjugasi
ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah
diekskresi. Metabolit hasil konjugasi biasanya tidak aktif kecuali untuk
prodrug tertentu. Tidak semua obat dimetabolisme melalui kedua fase
reaksi tersebut; ada obat yang mengalami reaksi fase I saja (satu atau
beberapa macam reaksi) atau reaksi fase ll saja (satu atau beberapa macam
reaksi). Tetapi, kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa reaksi
sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit
(Ganiswara, 2001).
Reaksi oksidasi fase I dikatalisis oleh superfamili CYP,
monooksigenase yang mengandung flavin
(fauincontainingmonooxigenase [FMO]) dan epoksida hidrolase (EH).
CYP dan FMO merupakan superfamili yang memiliki berbagai gen.
Enzim-enzim fase 2 mencakup beberapa superfamili enzim pengonjugasi,
seperti glutation-S transferase (GST), UDP-glukuronosiltransferase
(UGT), sulfotransferase (SULT), N asetiltransferase (NAT), dan
metiltransferase (MT) (Brunton, 2011).
Enzim pemetabolisme-xenobiotik diekspresikan di hampir semua
jeringan dalam tubuh, kadar tertinggi ditemukan di saluran gastrointestinal
(GI) (contohnya, hati, usus halus, dan kolon). Konsentrasi enzim
pemetabolisme-xenobiotik yang tinggi di epitel GI memperantarai tahap
awal proses metabolisme kebanyakan obat oral dan merupakan ternpat
awal untuk metabolisme lintas pertama obat. Selanjutnya, obat yang
diabsorpsi masuk ke dalam sirkulasi portal dan transit di dalam hati, yang
merupakan tempat pembersih metabolik utama untuk senyawa endogen
(contohnya, kolesterol, hormon steroid, asam lemak, dan protein) dan
xenobiotik (Brunton, 2011).

E. Ekskresi

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam

bentuk metabolit hasil biotranslormasi atau dalam bentuk asalnya. Obat

atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak,

kecuali pada ekskresi melalui paru. Organ terpenting untuk ekskresi obat

adalah ginjal. Obat diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh

maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi melaui ginjal melibatkan 3 proses,

yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal dan reabsorpsi

pasif di sepanjang tubulus (Syarif Amir, 2011)

Proses eliminasi obat melalui ginjal (Richard, 2009) :


1. Filtrasi glomerulus

Obat-obatan masuk ke ginjal melalui a.renalis yang

bercabang membentuk suatu pleksus kapiler glomerulus. Obat

bebas (tidak terikat albumin) mengalir melalui celah kapiler

menuju ruang Bowman sebagai bagian filtrasi glomerulus

2. Sekresi tubulus proksimal

Sekresi terutama terjadi pada tubulus proksimal melalui 2

sistem transport aktif yang membutuhkan energi, satu untuk anion

dan satu lagi untuk kation. Setiap sistem transport menunjukan

spesifitas yang rendah dan dapat mentranspor banyak senyawa.

3. Reabsorbsi tuulus distal

Begitu suatu obat bergerak melalui tubulus kontortus distal,

konsentrasinya meningkat dan melampaui konsentrasi di dalam

ruang perivaskular. Obat tersebut, jika tidak bermuatan, dapat

berdifusi ke luar lumen nefron, kembali ke dalam sirkulasi

sistemik.

F. Pengaruh penuaan

Proses penuaan merupakan proses fisiologis umum yang akan terjadi


pada setiap mahluk hidup ketika mencapai usia tertentu. Proses tersebut
ditandai dengan banyak hal yang unik dan kompleks. Umumnya,
perubahan fisiologi yang ada berupa penurunan fungsi organ-organ tubuh
dimana dengan adanya penurunan fungsi organ tersebut pastinya akan
memengaruhi proses-proses farmakokinetik yang ada.
Pada usia lanjut umumnya terjadi berbagai perubahan fisiologik yang
meliputi perubahan fisik maupun psikologik. Perubahan fisiologi selama
proses penuaan akan menyebabkan perubahan respons organ / sel terhadap
stimuli endogen dan eksogen. Perubahan respons terhadap stimuli eksogen
salah satunya adalah perubahan respons terhadap obat, sehingga terjadi
perubahan efek obat yang dapat menyebabkan terapi tidak adekuat dan
atau mudah timbul efek samping. Pada umumnya perubahan efek obat
disebabkan karena perubahan farmakokinetik dan atau farmakodinamik
obat. Perubahan farmakokinetik biasanya karena perubahan struktur dan
fungsi dari berbagai organ yang berperan pada proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi obat, sehingga kadar obat bebas yang beredar di
dalam darah dan di tempat kerjanya berubah dapat meningkat atau
menurun (Karyono, 2007).
Geriatri didefinisikan sebagai individu berusia di atas 60 tahun dan
sering kali perubahan-perubahan yang terjadi pada geriatri dibandingkan
dengan keadaannya pada usia produktif dikaitkan dengan terjadinya proses
penuaan (WHO, 2013).
Massa ginjal menurun sejalan dengan penuaan. Hal tersebut
mencerminkan pengurangan nefron. Perubahan vaskular intra-renal juga
terjadi, yang terdiri dari hialinisasi berkas pembuluh darah yang
menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam arterioles aferen di korteks
ginjal. Terjadi penurunan aliran plasma ginjal maupun laju filtrasi
glomerular pada kondisi penuaan tetapi penurunan tersebut tidak seragam
atau konsisten. Meskipun terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, tidak
ada peningkatan pada kreatinin plasma karena terjadi kehilangan massa
otot yang berkaitan dengan usia. Keseimbangan asam-basa terjadi
penurunan respon yang ditunjukkan dengan ketidakmampuan untuk
menangani beban asam, yang dikarenakan kerusakan sekresi tubular ginjal
oleh ion amonium, terjadi ketidakseimbangan garam dalam tubuh.
(Mangoni,et all, 2003).
Pengaruh penuaan terlihat pada proses :
1. Absorbsi
Studi farmakokinetik tentang pengaruh penuaan pada absorpsi
obat telah memberikan hasil yang bertentangan. Sementara
beberapa penelitian tidak menunjukkan perbedaan signifikan
berkaitan usia dengan tingkat penyerapan obat yang berbeda,
penyerapan vitamin B12, zat besi dan kalsium melalui mekanisme
transpor aktif berkurang sedangkan penyerapan levodopa
meningkat. Beberapa perbedaan dalam hasil yang diperoleh dari
penelitian ini mungkin disebabkan karena metode yang berbeda
untuk menilai absorpsi obat (Mangoni,et all, 2003).
2. First-pass metabolisme dan bioavailabilitas
Penuaan dikaitkan dengan penurunan first-pass metabolisme.
Ini disebabkan oleh penurunan massa hati dan aliran darah dalam
hati. Akibatnya, ketersediaan hayati obat yang melalui first-pass
metabolisme seperti propranolol dan labetalol dapat secara
signifikan meningkat. Di sisi lain, beberapa ACE inhibitor seperti
enalapril dan perindopril yang merupakan pro-drug, memerlukan
aktivasi di hati. Oleh karena itu, aktivasi first-pass mereka mungkin
diperlambat atau dikurangi dengan bertambahnya umur (Hilmer et
al., 2007).
3. Distribusi obat
Sebagai konsekuensi dari perubahan yang berkaitan dengan
usia dalam komposisi tubuh, obat yang bersifat polar atau larut
dalam air cenderung memiliki volume distribusi (V) yang lebih
kecil, sehingga menghasilkan tingkat serum lebih tinggi pada
geriatri. Gentamicin, digoxin, etanol, teofilin, dan cimetidine
termasuk dalam kategori ini. Loading dose digoxin perlu dikurangi
untuk mengakomodasi perubahan ini.(Mangoni, et all, 2003).
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan bahan


1. Alat :
a. Tabungreaksidanraktabung
b. Pipettetes
c. Pipetukur
d. Beker glass
e. Klemataupegangantabungreaksi
2. Bahan :
a. KF 0,3 gr dalamkapsul
b. Larutan KI 1%
c. Larutan NaOh2 10%
d. Larutan H2SO4 dilutus
e. Larutanamilum 1%
3. Binatang percobaan : tikus

B. Cara kerja
1. Timbang tikus, kemudian letakan pada papan lilin
2. Ambil larutan KI sesuai dosis yang telah diukur sesuai berat badan
tikus dan tambahkan 2 tetes aquades
3. Masukan larutan KI ke dalam mulut tikus dengan menggunakan
sonde lambung
4. Tunggu selama 30 menit hingga tikus mengeluarkan urin dan cek
setiap 15 menit sekali
5. Kumpulkan urin (digunakan sebagai urin sampel) urin dan reaksikan
dengan beberapa larutan yang telah ditetapkan

Reaksi yang dikerjakan:

1. KI 1% (1ml) + amilum 1% (1ml) amati perubahan warna yang


terjadi.
2. KI 1% (1ml) + NaOH2 10% (2-3 tetes) + H2SO4dilutus (2-3
tetes) + amilum 1% (1 tetes) amati perubahan warna yang
terjadi.
3. Urin (1ml) + NaOH2 10% (2-3 tetes) + H2SO4dilutus (2-3 tetes)
+ amilum 1% (1 tetes)
4. Saliva (1 ml) + NaOH2 10% (2-3 tetes) + H2SO4dilutus (2-3
tetes) + amilum 1% (1 tetes) amati perubahan warna yang
terjadi.

Hasil pengamatan (semi kuantitatif) dinyatakan dengan tanda-tanda:

1. negatif (-)
2. positifsatu (+)
3. positifdua (++)
4. danseterusnya
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Yang dipraktikumkan:

Zat yang dicampurkan Perubahan yang terjadi


KI 1%(1ml) + amilum (1ml) Tidak berubah warna (bening)
KI 1%(1ml) + amilum (1ml) + Warna berubah menjadi hitam
H2SO4 dilutus + NaOH2

Yang gagal dipraktikumkan:

Zat yang dicampurkan Perubahan yang terjadi


Saliva (1ml) + NaOH2 10% (2- Putih keruh dan berbusa
3tetes) + H2SO4 dilutus (2-3
tetes) + amilum 1% (1 tetes)
Urin (1ml) + NaOH2 10% (2-3 Kuning berbusa disertai uap
tetes) + H2SO4 dilutus (2-3 tetes)
+ amilum 1% (1 tetes)

B. Pembahasan

Reaksi KI dan amilum tidak memberikan perubahan warna karena


tidak ada oksidator yang memecah KI untuk berekasi dengan amilum.
Ketika ditambahkan NaOH maka NaOH akan bertindak sebagai oksidator
yang akan memecah KI menjadi K+ dan I-. I- akan bereaksi dengan
amilum yang menghasilkan kompleks yang berwarna biru. H2SO4
berfungsi untuk mencegah penguapan KI.

Berdasarkan hasil percobaan, tidak ditemukan urin pada tikus. Hal tersbut
dapat disebabkan oleh:

1. Kesalahan dalam memberikan dosis obat


Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat akurasi dosis yang tidak
dapat ditegakkan dengan baik.Spuit tidak memiliki garis penunjuk volume
yang mendetail sehingga kekurangan/kelebihan dosis amat mungkin
terjadi.Selain dari faktor spuit, kesalahan praktikan dalam memasukkan
dosis obat ke dalam spuit juga dapat terjadi.Hal ini bisa disebabkan mata
praktikan yang tidak sejajar dengan garis penanda volume pada spuit atau
karena praktikan yang tidak cermat dan tergesa-gesa.
2. Kesalahan dalam melakukan teknik pemberian obat
Kesalahan tersebut dapat disebabkan ketidakterampilan praktikan dalam
melakukan prosedur pemberian obat, dimana hal ini terkait pengalaman
praktikan yang belum terbiasa melakukan prosedur tersebut.Selain itu,
gerakan dari binatang percobaan yang cukup kuat membuat praktikan
kesulitan melakukan prosedur secara lege artis. Hal lain yang
mempengaruhi tatalaksana prosedur yang tidak baik adalah praktikan yang
terlalu tergesa-gesa di dalam melakukan prosedur pemberian obat.
3. Kurangnya waktu dalam eksperimen
Beberapa cara pemberian obat belum sempat menunjukkan keseluruhan
respon efek obat (misalkan, hanya terhenti di respon kedua, karena waktu
yang sudah habis). Hal ini dapat menyebabkan praktikan tidak dapat
dengan cermat melakukan prosedur, selain itu praktikan tidak dapat
mengamati seluruh proses timbulnya respon efek obat hingga selesai (hal
ini terjadi pada cara pemberian obat secara intravena dan enteral).Namun
hal ini seharusnya dapat menjadi tantangan bagi praktikan agar dalam
praktikum selanjutnya dapat melakukan praktikum dengan lebih sigap,
cermat, dan tepat sehingga waktu tidak terbuang percuma dan dapat
mengerjakan setiap komponen praktikum dengan baik.
V. KESIMPULAN

1. Farmakokinetik obat meliputi empat proses, yaitu absorbsi, distribusi,

metabolisme, dan ekskresi.

2. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi absorbsi obat diantaranya

adalah kemampuan difusi obat dalam melintasi membrane sel yang dituju,

konsentrasi obat, sirkulasi pada tempat absorbs, bentuk sediaan obat, cara

pemakaian obat, serta peningkatan metabolism seseorang ( seperti pada saat

berkativitas maupun tidur).

3. Proses distribusi merupakan proses penyebaran obat ke jaringan dan ke

reseptor untuk menjalankan terapi melalui sirkulasi sistemik. Sebagian

obat akan terikat protein plasma dalam darah dan menjadi tidak aktif dan

sebagian lainnya merupakan obat bebas yang dapat bekerja secara

langsung.

4. Proses metabolisme adalah proses merombak obat supaya menjadi lebih

polar dan mudah diekskresi. Proses ini meliputi reaksi fase I (oksidasi,

reduksi, dan hidrolisis) dan II (konjugasi). Hati merupakan organ utama

dalam proses metabolisme obat.

5. Proses ekskresi adalah proses mengeluarkan obat yang merupakan benda

asing. Ginjal adalah organ utama dalam proses ini, karena sebagian besar

obat akan dikeluarkan bersama urin, namun terdapat juga melalu kulit

melalu air keringat dan melalui pembuangan saat bernapas.


DAFTAR PUSTAKA

Barber, Paul. 2013. Intisari Farmakologi untuk Perawat. Jakarta: EGC

Brunton, L.L, Keith L. Parker, Donald K. Blumenthal, L.O. Buxton. 2011.


Goodman & Gilman : Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta : EGC.

Ganiswarna, S.G, Rianto Setiabudy, Frans D. Suyatna, Purwantyastuti, Nafrialdi.


2001. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Gaya Baru.

Harvey, Richard A., Champe, Pamela C. 2009. Farmakologi Ulasan Bergambar.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

 Hilmer, S.N., McLachlan, A.J. and LeCouteur, D.G. 2007. Clinical


Pharmacology in The Geriatric Patient. Fundamental & Clinical
Pharmacology.21: 217–230.Kee, J,L., Hayes, E.R. 2005. Farmakologi. EGC
: Jakarta

Karyono, Setyawati S ., 2007. Pengaruh Penuaan Terhadap Respon Reseptor


Adrenergik- β dan Kholinergik Muskarinik Pada Saluran Nafas . ADLN.
Pages 1-10.

Katzung, Bertram G., Susan B. Masters., Anthony J. Trevor. 2013. Farmakologi


Dasar dan Klinik. EGC. Edisi 12. Vol.1.

Mangoni, A. A. andJackson, S. H. D. 2003. Age-Related Changes in


Pharmacokinetics and Pharmacodynamics. Basic Principles and Practical
Applications. Br J Clin Pharmacol. 57 (1): 6 – 14.

Nael, Michael J. 2006. At Glance : Farmakologi Medis, Ed.6. Jakarta:Erlangga.

Olson, James. 2012.Clinical Pharmacology Made Ridiculously Simple. Seattle:


MedMaster.
Syarif, Amir, dkk. 2004. Farmakologi dan Terapi, Ed.4. Jakarta:FKUI.

WHO.2013. Definition of an Older or Elderly Person. (cited 2013 December,


29th).Available from: http://www.who.int
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI KEDOKTERAN
BLOK PENGANTAR ILMU KLINIS
FARMAKOKINETIK

ASISTEN :
Rahayu Nurmala Fauziah
G1A012020

Oleh :
Kelompok 12
Lailatuh Masruroh (G1A014018)
Mia Octavia Medisa Panjaitan (G1A014032)
Tiara Zakiah Drjat (G1A014037)
Sofia Nur Atalina (G1A014040)
Aulia Syisma Aghnesi (G1A014049)
R M Rizky Radityo (G1A014052)
Kirana Sitaresmi (G1A014062)
Muhammad Sidiq (G1A014067)
Domas Shifa Yudi A (G1A014090)
Azhar Naufaldi Saputra (G1A014116)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN
FARMAKOKINETIK

Oleh :
Kelompok 12
Lailatuh Masruroh (G1A014018)
Mia Octavia Medisa Panjaitan (G1A014032)
Tiara Zakiah Drjat (G1A014037)
Sofia Nur Atalina (G1A014040)
Aulia Syisma Aghnesi (G1A014049)
R M Rizky Radityo (G1A014052)
Kirana Sitaresmi (G1A014062)
Muhammad Sidiq (G1A014067)
Domas Shifa Yudi A (G1A014090)
Azhar Naufaldi Saputra (G1A014116)

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Farmakologi


Kedokteran blok Pengantar Ilmu Klinis pada Fakultas Kedokteran dan Jurusan
Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Diterima dan disahkan


Purwokerto, Mei 2015

Asisten

Rahayu Nurmala Fauziah


G1A012020
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obat merupakan semua zat kimia yang dapat berpengaruh baik atau buruk
pada proses fisiologi tubuh manusia. Tujuan dari pemberian terapi obat adalah
untuk memunculkan pengaruh baik yang berguna dalam mencegah,
menyembuhkan dan mengendalikan berbagai stadium penyakit. Untuk
mencapai tujuan tersebut obat harus sampai ke jaringan target agar bereaksi
dengan reseptor dan memunculkan efek biologis.
Keputusan dokter mengenai cara pemberian obat, jumlah dan frekuensi
masing-masing dosis serta interval dosis memerlukan pengetahuan mengenai
bagaimana obat diproses dalam tubuh. Kerja farmakologi, seperti halnya
toksikologi obat, terutama terkait dengan konsentrasi obat di dalam plasma.
Oleh sebab itu, dokter harus mengtahui kecepatan awitan kerja obat, intensitas
efek obat, dan durasi kerja obat yang bersandar pada empat jaras fundamental
pergerakan dan modifikasi obat dalam tubuh. Jaras fundamental tersebut
dirangkum dalam ilmu farmakokinetik yang membicarakan absorbs, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi obat.

B. Tujuan

Mengetahui respon/kerja tubuh terhadap obat

C. Manfaat

Farmakokinetik bermanfaat untuk menentukan rute pemberian obat, dosis, dan


jenis obat yang diberikan untuk mendapatkan efek terapi yang maksimal

Anda mungkin juga menyukai