Anda di halaman 1dari 13

I.

 PENDAHULUAN

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada
pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad
dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga
sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan
masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu
pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.
Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk
menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks
problematikanya.

Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam


hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan
Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat,
dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah
tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang
terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel,
cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula,
syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika
kehidupan yang semakin kompleks.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian ijtihad

2. Pengertian hukum dan macam-macam hukum

3. Kriteria mujtahid

4. Masalah taqlid

5. Ittiba’

6. Talfiq

1
III. PEMBAHASAN

1. Pengertian ijtihad

Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala


kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa,
ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala
perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan
ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani
mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna
mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara
istinbat (mengambil kesimpulan hukum.

Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah


mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang
bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari
tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan
batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad
sempurna).

Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh


mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum
melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum
dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh
mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber
hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan
bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-
sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari
berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa
menjadi pedoman bagi orang banyak.

Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi


tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih
akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi
komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu
keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan
faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.

2
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan
seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan
istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul.
Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap
kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh
pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai
oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku
dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa
ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad
ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang
memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).

3
2. Pengertian hukum

Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu


agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh
berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum
biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari
kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan
hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal
keduniaan semata. Sedangkan Joseph Schacht mengartikan hukum
Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat
Islam dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan ritual,
politik dan hukum.

Terkait tentang sumber hukum, kata-kata sumber hukum Islam


merupakan terjemahan dari lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata
tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis
oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti
sumber hukum Islam, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah.
Penggunaanmashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini,
tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-
Syar’iyyah.

Yang dimaksud Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum syara


yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum.
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para
ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber
hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits,
Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil
tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).

Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di


kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah
istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘uruf, madzhab as-Shahabi,
syar’u man qablana.

Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh,


empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang

4
diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum
yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan
yang ketujuh adalah ad-dzara’i. Sebagian ulama menyebutkan enam
sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum
bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai
metode ijtihad.

Hukum Islam mengalami perkembangan yang pesat di periode


Nabi Muhammad di mana tradisi Arab pra-Islam yang berhubungan
dengan akidah dihilangkan, sedangkan tradisi lokal Arab yang
berhubungan dengan muamalah–sejauh masih sejalan dengan nilai-
nilai Islam, dipertahankan dan diakulturasikan. Namun dalam
perjalanannya, hukum Islam mengalami pergolakan dan kontroversi
yang luar biasa ketika dihadapkan dengan kondisi sosio-kultural dalam
dimensi tempat dan waktu yang berbeda. Menurut hemat penulis,
hukum Islam meliputi syariat (al-Qur’an dan sunnah) sebagai sumber
primer dan fiqh yang diambil dari syariat yang pada dasarnya
digunakan sebagai landasan hukum.

Adapun spesifikasi dari macam-macam hukum Islam, fuqaha


memberi formulasi di antaranya wajib, sunnah, haram, makruh dan
mubah.

a. Wajib

Ulama memberikan banyak pengertian mengenainya,


antara lain suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan
kalau tidak berdosa. Atau Suatu ketentuan jika ditinggalkan
mendapat adzab. Contoh, Shalat subuh hukumnya wajib,
yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika
tidak berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk menetapkan
pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah
swt:Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari sampai malam
telah gelap dan bacalah Al Qur’an di waktu Fajar,
sesungguhnya membaca Al Qur’an di waktu Fajar disaksikan
(dihadiri oleh Malaikat yang bertugas di malam hari dan yang
bertugas di siang hari).

b. Sunnah

5
Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan
jika ditinggalkan tidak berdosa. Atau bisa anda katakan
sebagai suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak
wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa.

c. Haram
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh
dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.

d. Makruh

Arti makruh secara bahasa adalah dibenci. Suatu ketentuan


larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada
dilakukan. Atau meninggalkannya lebih baik dari pada
melakukannya.

e. Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut
halal. Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan
bagi orang yang mengerjakannya atau tidak
mengerjakannyaatau segala sesuatu yang diidzinkan oleh
Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa
dikenakan siksa bagi pelakunya

6
3. Kriteria mujtahid

Seseorang yang menggeluti bidang fiqh tidak bisa sampai ke


tingkat mujtahid kecuali dengan memenuhi beberapa syarat, sebagian
persyaratan itu ada yang telah disepakati, dan sebagian yang lain
masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati
adalah:

a. Mengetahui al-Quran

Al-Qur’an adalh sumber hukum Islam primer di mana


sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang
mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam.
Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia
tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Qur’an
tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat
bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat
hukum. Misalnya al-Ghazali memberi syarat seorang
mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500
ayat.

- Mengetahui Asbab al-nuzul

Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah


satu syarat mengatahui al-Qur’an secara komprehensif,
bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui
secara sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-
sebab turunnya ayat akan memberi analisis yang
komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks
Quran tersebut kepada manusia.

Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqaat


mengatakan bahwa mengetahui sebab turunnya ayat adalah
suatu keharusan bagi orang yang hendak memahami al-
Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda
pengertiannya menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak
mengetahui sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam
keraguan dan kesulitan dan juga bisa membawa pada
7
pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir
sehingga sering menimbulkan perselisihan.

- Mengetahui nasikh dan mansukh

Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar


jangan sampai berdalih menguatkan suatu hukum dengan
ayat yang sebenarnya telah dinasikhkan dan tidak bisa
dipergunakan untuk dalil.

b. Mengetahui as-sunnah

Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-


Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan,
perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.

- Mengetahui ilmu diroyah hadits

Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah


mengetahui riwayat dan memisahkan hadis yang shahih
dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari hadis
yang ditolak. Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-
pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para
perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab
ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata dalam menetapkan
adil dan cacatnya seorang perawi hadis, dan lain hal-hal
yang tercakup dalam ilmu hadis, kemudian
mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan
hadis sebagai dasar hukum.

- Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh

Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini


dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai
berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus
hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis
yang membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut
sudah dinasakh secara pasti oleh hadis-hadis lain.

- Mengetahui asbab al-wurud hadis


8
Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang
seharusnya menguasai asbab al-nuzul, yakni mengetahui
setiap kondisi, situasi, lokus, serta tempus hadis tersebut
ada.

c. Mengetahui bahasa Arab

Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam


rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih
mendalam, teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab.
Hal ini tidak lepas dari bahwa teks otoritatif Islam itu
diturunkan menggunakan bahasa Arab.

d. Mengetahui tempat-tempat ijma’

Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum


yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak
terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil
ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil
guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash
tersebut.Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid
bisa bertentangan dengan ijma’ para ulama selama hasil
ijtihadnya maslahat bagi manusia.

e. Mengetahui ushul fiqh

Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah


ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh
para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk
mengambil istimbat hukum dari nash dan mencocokkan cara
pengambilan hukum yang tidak ada nash hukumnya. Dalam
ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas
sebagai modal pengambilan ketetapan hukum.

f. Mengetahui maksud dan tujuan syariah

Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi


dan memelihara kepentingan manusia. Pemeliharaan ini
dikategorikan dalam tiga tingkatan maslahat, yakni
dlaruriyyat (apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama,
9
harta, akal, dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup,
missal memberi rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat
(pelengkap yang terdiri dari kebiasaan dan akhlak yang baik).

g. Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya

Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan


zamannya, masyarakat, problemnya, aliran ideologinya,
politiknya, agamanya dan mengenal hubungan
masyarakatnya dengan masyarakat lain serta sejauh mana
interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.

h. Bersifat adil dan taqwa

Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah


diformulasikan oleh mujtahid benar-benar proporsional
karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam
istinmbat hukumnya.

i. Adapun ketentuan-ketentuan yang masih dipersilihkan adalah


mengetahui ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, dan mengetahui
cabang-cabang fiqh.

4. Taqlid

Dalam bahasa yang sederhana, taqlid adalah sebuah masa atau


tindakan di mana ijtihad dilarang untuk dilakukan. Dan pada masa ini
lebih memberikan aspek legal-formal pada ulama-ulama yang telah
memberikan produk hukumnya masing-masing. Sehingga pada periode
ini, Islam lebih terpetak-petak dalam madzab-madzab tertentu yang
menjadi panutan.

Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad 4 H atau


abad 10 M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor
politik, intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan
umat islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan
hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan.
Gerakan ijtihad dan upaya perumusan undang-undang sudah berhenti.
Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah
mati. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai
10
sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan
cara bertaqlid. Semua pengaruh yang mendatang itu menolak
kemerdekaan berpikir dan menyeretnya kepada taqlid, menjadi
pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik, pengikut asy syafi’i atau pengikut
Ahmad saja.

Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-


madzhab itu. Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-
lafad dan perkataan imam-imam saja, bukan lagi untuk mmahami nash-
nash itu sendiri. Oleh karenanya berhentillah masa tasyri’ dan bekulah
masa pembinaan hukum, padahal masa selalu terus berputar, setiap
detik baru terjadi transisi, setiap transisi membawa peristiwa yang
menimbulkan masalah baru yang membutuhkan hukum.

5. Ittiba’

Menurut ulama ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti


semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah
SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam
sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Definisi
lainnya, ittiba’ ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang
menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba’
ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan taqlid.

Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang


tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa
ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja,
tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan
berittiba’ kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama
waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).

6. Talfiq

Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari


suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai
macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal
ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah
tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa
saksi.

11
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan
melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat
yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan
mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya
untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang
paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq
semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada
niat.

IV. KESIMPULAN

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh


dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah
ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad
dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena
permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana
membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika
tersebut. Jenis-jenis ijtihad adalah ijma’, qiyas, istiqsan, maslahah
mursalah, istishab, syar’u man qoblana, ‘urf, dan lain sebagainya.

V. PENUTUP

Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah Ushul Fiqh II yang diampu
oleh bapak Musahadi HAM, yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan.
Pemakalah sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh
pembelajaran, untuk itu pemakalah mengharapkan kritik serta saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah saya. Harapan pemakalah
semoga makalah ini dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita
semua. Amien.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan,


dan Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990

Basyir, Ahmad Azhar, dkk, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Penerbit


Mizan, 1988

Lismanto dalam Pembaharuan Hukum Islam Berbasis Tradisi: Upaya


Meneguhkan Universalitas Islam dalam Bingkai Kearifan Lokal

Qardawi,Yusuf, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang,


1987

Ramadan, Said, Islamic Law, It’s Scope and Equity, alih bahasa Badri


Saleh dengan judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum
Islam (Jakarta: Firdaus, 1991)

Schacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law (Oxford: The Clarendon


Press, 1971)

Syafe’i, Rachmat dalam Ilmu Ushul Fiqih

Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009

13

Anda mungkin juga menyukai