Anda di halaman 1dari 18

LEMBAR TUGAS MANDIRI

Problem Based Learning 2


Pokok Bahasan : Tatalaksana Farmakologis dan Nonfarmakologis
Tuberkulosis
Nama : Kevin Fernando Suhardi
NPM : 1706029735
Kelas : PBL-3

Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. TB termasuk dalam sepuluh penyebab utama kematian yang disebabkan oleh agen infeksi
tunggal. Menurut data World Health Organization (WHO), pada tahun 2017, TB menyebabkan
kematian pada 1,3 juta orang dengan HIV negatif dan 300.000 orang pada TB dengan orang positif
HIV secara global. Indonesia menyumbang 11% dari populasi terinfeksi TB secara global atau sekitar
264.000 orang pada tahun yang sama.1. Tatalaksana utama dari penderita TB adalah penggunaan
antibiotik. Lini pertama farmakologis dari TB adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, dan
ethambutol. Durasi penggunaan antibiotik bergantung dari tingkat keparahan infeksi pada saluran
pernapasan dan komplikasi yang muncul. Terapi antibiotik berkisar antara 4-6 bulan. Pengobatan yang
lama dan tingginya penularan dari M. tuberculosis (MTB) merupakan penyebab masih tingginya
insidensi infeksi TB.2-9 Selain itu, ketidakpatuhan terapi antibiotik oleh pasien juga menyebabkan
munculnya strain bakteri yang resisten terhadap terapi farmakologis.2,10-11Selain terapi farmakologis,
pasien TB juga harus menjalani terapi nonfarmakologis, berupa asupan nutrisi. Lini terakhir dari
tatalaksana infeksi TB adalah bedah dan transplantasi paru.12-14

Isi
Algoritma Tatalaksana TB
Tatalaksana farmakologis merupakan lini pertama dari pasien yang disuspek infeksi TB.
Keputusan untuk memulai kemoterapi kombinasi antituberkulosis harus didasarkan pada informasi
epidemiologi, pemeriksaan klinis, patologis, penemuan radiologi, dan penemuan mikroskopik dari

1
acid-fast bacilli (AFB) pada sputum pasien (smears).2 Tes tuberkulin dapat dilakukan pada awal
evaluasi, namun hasil yang negatif tidak dapat mematahkan diagnosis TB aktif. Positif tuberkulin juga
dapat membantu diagnosis dari tuberkulosis inaktif atau laten. Ketika kecurigaan infeksi TB tinggi atau
pasien menunjukkan gejala-gejala trias TB (mengigil malam hari, demam berkepanjangan, dan sesak
napas), kombinasi kemoterapi harus segera dilakukan. Tatalaksana dapat dilakukan bahkan sebelum
hasil AFB smeart atau kultur mikobakterium keluar. Ketika AFB smear menunjukkan hasil posisitf atau
positif pada pemeriksaan molekuler, kecurigaan infeksi TB digolongkan TB. Apabila AF smear
menunjukkan hasil negatif namun positif pada tes tuberkulin (indurasi lebih dari 5 mm), kemoterapi
empiris tetap harus diberikan.2,7

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Farmakologis TB2


Empat obat utama dari tuberculosis adalah ethambutol (EMB), isoniazid (INH), pyrazinamide
(PYZ), dan rifampin (RIF).2-4 Pemberian obat-obatan diberikan secara kombinasi dalam waktu yang
lama. Apabila pada pasien dengan suspek tinggi TB, terapi inisial adalah dengan memberikan
kombinasi keempat obat. Apabila dalam dua bulan dan dilakukan tes radiologi dan ditemukan kavitas
pada foto toraks, kombinasi obat-obatan dilanjutkan dengan INH dan RIF selama dua bulan berikutnya.
Apabila foto toraks tidak menunjukkan adanya kavitas, kombinasi dapat dihentikan dan pasien
digolongkan TB inaktif. Pasien-pasien Latent tuberculosis infection (LTBI) adalah pasien yang
menunjukkan kultur negatif, tuberkulin tes positif, dan foto toraks negatif. Pasien LTBI memiliki tiga
cara pengobatan, yaitu (1) terapi INH selama 9 bulan; (2) terapi RIF dengan atau tana INH selama 4

2
bulan; (3) RIF dan PZA selama 2 bulan. Terapi inipun harus memperhatikan status pasien terutama
seperti disfungsi organ atau pasien HIV.2

Tujuan dan Efisiensi Terapi Farmakologis TB


Pengobatan tuberukulosis ditujukan untuk menyebuhkan dan secara masif mengurangi
persebaran bakteri. Untuk mencapai hal ini dilakukan diterapkan 3 misi utama, yaitu (1) obat-obat yang
digunakan harus dapat mengurangi populasi MTB dan mengintervensi transmisinya, (2) menghindari
seleksi alam dari strain-strain yang resisten; (3) dan mensterilkan lesi pada organ tubuh (untuk
mencegah reinfeksi dari MTB). Walaupun pengobatan farmakologis memiliki efikasi hingga 95%,
efektivitas dari tatalaksana farmako bervariasi di seluruh dunia, bergantung lokasi. Efektivitas ini
berkisar antara 50-90%. Hal ini dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu (1) kegagalan pengobatan, misalnya
pasien tidak melanjutkan pengobatan karena merasa sudah sehat; (2) pengobatan yang salah, misalnya
pasien hanya menggunakan sebagian dari obat-obat yang diberikan; (3) dan penggunaan obat-obatan
secara ireguler.5
Selain dari pengobatan, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas dari
pengobatan TB, antara lain (1) faktor pasien; (2) faktor organisme; (3) faktor tenaga kesehatan; (4) dan
faktor pengobatan. Faktor pasien berkaitan dengan status pasien, seperti umur, komorbiditas, status
imun, dan status nutrisi, dan gaya hidup. Selain itu, karakteristik genetik tertentu mempengaruhi
farmakokinetik dari obat yang diberikan. Faktor organisme bergantung pada seberapa para perjalananan
penyakit tersebut secara radiologis atau sensitivitasnya terhadap obat-obatan. Faktor tenaga kesehatan
berkaita dengan sistem pelayanan kesehatan dan jumlah tenaga kesehatan yang memadai.5
Tabel 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Terapi TB.5

3
Prinsip Terapi Farmakologis TB
Mycobacterium tuberculosis secara struktur resisten terhadap hampir semua antibiotik.
Dikarenakan sifatnya yang tumbuh secara lambat dibanding bakteri lain, antibiotik yang bekeja pada
sel yang tumbuh relatif cepat menjadi tidak efektif. Sel MTB juga dapat menjadi dorman atau menjadi
resisten terhadap banyak obat serta mati secara perlahan. Dinding sel MTB yang kaya akan lipid (asam
mikolat) tidak permeabel terhadap banyak agen.6 Spesies MTB merupakan patogen intraseluler karena
dapat dorman di makrofag saluran pernapasan. Ketika ia sudah masuk dalam makrofag, obat-obatan
sudah tidak lagi efektif terhadap bakteri ini. Hal yang paling menjadi permasalahan utama dari terapi
farmakologis adalah kemampuan MTB untuk memunculkan resistensi terhadap satu hingga lebih obat.
Maka dari itu, pemberian obat-obatan MTB selalui diberikan secara kombinasi dua atau lebih obat.
Namun, administrasi obat-obat kemoterapi MTB dalam waktu yang lama juga dapat menyebabkan
komplikasi-komplikasi disfungsi organ seperti liver dan ginjal.7
Tatalaksana farmakologis berdasar pada diagnosis dan tingkat progresi dari infeksi TB. Lini
pertama terapi ini ditujukan pada pasien-pasien TB aktif dimana kombinasi keempat obat (EMB, INH,
RIF, dan PYR) digunakan. Apabila pasien didiagnosis LTBI, maka kombinasi yang digunakan akan
berbeda. Pada beberapa pasien yang terinfeksi MTB dan sudah resisten terhadap obat konvensional,
terdapat obat lini kedua, seperti cycloserine, streptomycin, amikacin, capreomycin. Sifat obat lini
kedua adalah kurang efektif, lebih tokisk, dan belum secara ekstensi diteliti. 4 TB kadang terjadi pada
pasien-pasien yang terinfeksi HIV sehingga terapi disertai dengan antiretroviral. Perlu diingat pula
bahwa, tatalaksana farmakologis perlu memperhatikan komplikasi yang muncul. 6,7
Tabel 2. Rekomedasi Regimen Antituberkulosis Lini Pertama 7

Isoniazid, rifampin, pyrazinamid, dan ethambutol merupakan empat obat lini pertama. Dulu
streptomycin juga digunakan sebagai lini pertama, namun karena efektivitasnya yang kurang,
streptomycin digolongkan obat lini kedua.8 INH dan RIF merupakan obat paling aktif. Penggunaan

4
isoniazid-rifampin selama 9 bulan dapat menyembuhkan 95-98% kasus suspek TB. Penambahan
pyrazinamid pada kombinasi INH-RIF pada dua bulan pertama dapat mengurangi durasi terapi menjadi
6 bulan tanpa mengurangi efikasinya. Pada prakteknya, terapi biasanya dimulai dengan kombinasi
empat obat (EMB-INH-RIF-PYR) hingga diagnosis suspek dapat ditentukan. Penambahan obat-obatan
lain seperti ethmbutol dan streptomicn tidak dapat menambahkan efisiensi obat atau mengurangi durasi
terapi. Penambahan obat keempat hanya dilakukan untuk mengurangi kemungkinan adanya resistensi
terhadap tiga obat lainnya.3
Setiap obat antituberkulosis memiliki peran dominan pada pengontrolan populasi bakteri MTB.
Isoniazid penting dan fundamental pada terapi awal, karena aktivitas bakterisidalnya yang cepat dan
mampu menurunkan jumlah bakteri pada sputum. Target isoniazid adalah bakteri yang ada di kavitas
pulmonari aerobik. Pyrozinamide merupakan satu-satunya obat yang aktif di pH yang rendah sehingga
sangat cocok untuk membunuh bakteri di dalam nekrosis kaseosa. Hal ini menjelaskan mengapa
pyrazinamide tidak menunjukkan perbaikan setelah dua bulan pertama terapi. Rifampin penting
digunakan utnuk membunuh bakteri yang metabolismenya rendah dan membunuh bakteri dorman2,3
Isoniazid
Isoniazid (INH) merupakan obat paling aktif untuk pengobatan TB yang masih sensitif. Secara
struktur, isoniazid memiliki kemiripan dengan pyridoxin namun dengan penggantian empat rantai
utama dengan rantai -CO-NH-NH2 pada gugus yang berlawanan dengan nitrogen. Berat molekulnya
sekitar 137 dan larut dalam air. Pada in vitro, isoniazid dapat menghambat MTB, pada konsentrasi 0,2
mcg/mL dan bakterisida pada MTB yang secara aktif tumbuh. INH kurang efektif terhadap spesies
atipikal dari MTB. INH mampu menembus makrofag dan aktif terhadap MTB ekstraseluler maupun
intraseluler.2-4
INH mengambaht sintesis dari asam mikolat, yaitu penyusun utama dari dinding sel MTB.
Asam mikolat pada MTB dipercaya sebagai agen antifagositik yang dapat memicu endosomal
manipulation sehingga MTB dapat dorman di makrofag alveolar. INH meruapakan prodrug yang
diaktifkan oleh KatG, enzim katalase-peroksidase yang terdapat pada MTB. Ketika sudah diaktifkan,
INH akan membentuk kompleks kovalen dengan preoteien karir acyl (AcpM) dan KasA, karir sintase
protein beta-koacyl. Akibatnya, sintesis asam mikolat akan dihambat. Inhibisi dari produksi asam
mikolat akan berujung pada gangguan dinding sel bakteri. Isoniazid merupakan obat yang spesifik
terhadap MTB, walaupun M. kansasii juga sensitif terhadap isoniazid dalam konsentrasi yang tinggi.
Nontuberculosis mycobateria (NTM) resisten terhadap INH. 2-4

5
Resisten terhadap INH diasosiasikan dengan mutasi akibat overekspresi dari inhA, sebuah gen
yang mengkodekan enzim NADH-dependent acyl carrier protein reductase; mutasi atau delesi dari gen
katG; mutasi promoter ahpC, yang berhubungan dengan proteksi sel terhadap stress oksidatif; dan
mutasi kasA. Mutasi pada katG menyebabkan strain yang sangat resisten terhadap INH sedangkan
mutasi pada Mutasi ahpC, inhA, dan kasA jarang terjadi. TB yang diakibatkan MTB yang resisten
terhadap isoniazid diperkirakan mencapai 12,1% pada anak-anak dengan TB di regio Asia Tenggara
dan Pasifik Barat.9 Resisten terhadap isoniazid dapat memiliki reaksi silang dengan ethinamide. MTB
mutan yang resisten secara normal terdapat pada populasi MTB sebesar 1 dari 1 juta mikroba. Lesi
tuberkel biasanya mengandung lebih dari 100 juta basil. Akibatnya, akan ada sejumlah basil yang
terseleksi apabila pengobatan isoniazid diberikan pada sebagai agen tunggal. Penggunaan dua obat
dalam kombinasi menjadi lebih efektif. Probabilitas dari sebuah basil untuk mengembngkan
kemampuan resisten terhadap kedua obat berkisar 1 dalam 1 triliun. Maka dari itu, untuk mencegah
adanya seleksi strain yang resisten, terapi harus dilakukan minimal dua obat.2-4
Bentuk sediaan obat isoniazid adalah oral. Isoniazid dapat langsung diserap oleh saluran
gastrointestinal. Absorpsi isoniazid dapat terganggu apabila isoniazid dikonsumsi dengan makanan
yang tinggi lemak. Isoniazid dapat berdifusi dengan cairan tubuh dan jaringan. Administrasi 300 mg
dosis oral (5 mg/kg pada anak) dapat mencapai konsentrasi puncak pada 3-5 mcg/ml dalam 1-2 jam.
Isoniazid juga dapat berada pada cairan cerebrospinal dan memiliki konsentrasi yang sama dengan
konsentrasi serum. Isoniazid dimetabolisme oleh liver. N-acetyltransferase akan mengasetilasi dari
isoniazid. Metabolisme INH dengan enzim ini ditentukan oleh genetik. Konsentrasi rata-rata plasma
dari isoniazid pada rapid acetylators sekitar 1/3 hingga ½ daripada slow acetylators. Waktu paruhnya
jugga kurang dari 1-3 jam. Tidak ada pengaruh klinis yang signifikan dari variasi genetik ini apabila
konsumsi isoniazid dilkukan setiap hari. Akan terdapat pengaruh apabila pasien rapid acetylator
mengadministrasikan obat sekali seminggu atau mengalami malabsorpsi. Sisa metabolit isoniazid dan
sejumlah kecil obat yang tidak dimetabolisme akan diekskresikan lewat urin. Dosis obat ini tidak perlu
disesuaikan pada gagal ginjal.2-4
Dosis tipikal dari isoniazid adalah sekitar 5 mg/kg/hari atau pada dewasa 300 mg sehari.
Apabila pasien mengalami masalah pencernaan atau malabsorpsi, dosis akan dinaikkan sebesar
10mg/kg/hari. Pada administrasi dengan jadwal dua kali smingg, dosis dapat dinaikkan hingga 15
mg/kg/hari disertati kombinasi dengan agen kedua. Piridoksin diberikan untuk pasien yang memiliki
faktor predisposisi untuk neuropati. Isoniazid dapat diberikan secara parenteral dengan dosis yang
sama.2-4 Pada LTBI, isoniazid dapat diberikan sebagai tatalaksana tunggal selama 9 bulan.6,7

6
Efek samping utama dari penggunaan isoniazid adalah hepatitis. Hepatitis klinis dengan gejala
muntah, mual, kehilangan nafsu makan, jaudnice, dan nyeri RUQ terjadi pada 1% resipien isoniazid
terutama yang tidak ada penyesuaian dosis. Secara histopatologis, akan terlihat nekrosis sel hepar.
Resiko hepatitis bergantung pada umur. Hepatitis akibat isoniazd jarang terjadi pada umur dibawah 20
2-4
tahun. Resiko meningkat seiring pertambahan umur (0,3% pada 21-35; 1,2% pada 36-50; dan 2,3%
pada 50 tahun keatas).6 Resiko hepatitis juga meningkat pada pasien yang mengonsumsi alkohol atau
sedang hamil. Hepatitis akibat isoniazid perlu dibedakan dengan peningkatan aminotransferas liver
yang terjadi pada 10-20% pasien dan biasanya asimptomatik. Efek kedua yang terjadi adalah neuropati
perifer. Neuropati perifer terjadi pada 10-20% pasien dengan dosis INH lebih dari 5 mg/kg/d. Isoniazid
memicu eksresi pyrodixine (vitamin B6) sehingga menyebabkan neuropati perifer terutama pada pasien
dengan faktor predisposisi. Pasien dengan gejala neuropati perifer perlu diberikan asupan pyridoxine
sebesar 10 mg/d. Efek samping yang jarang terjadi adalah demam, kulit gatal, dan bahkan lupus
eritematosa (drug-induced)2-4
Rifampisin : rifampin, rifabutin, dan rifapentine.
Rifampin
Rifampin merupakan derivat dari rifamisn, sebuah antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces
mediterranei. Rifampin aktif secara invitro pada cocus gram-positif dan gram negatif, beberapa
entercoccus, chlamydiae, dan mycobateria. MTB dapat terinhibisi pada konsentrasi rifampin kurang
dari 1 mcg.mL. MTB mutan yang resisten terhadap rifampin terdapat pada 1 dari 1 juta organisme.
Rifampin tidak pernah digunakan sebagai agen tunggal pada tuberkulosis aktif. 2-4
Rifampin diaborpsi secara adekuat setelah administrasi oral. Distribusi dari rifampin terjadi
pada seluruh cairan tubuh dan organ. Konsentrasi CSF mencapai 10-20% dari konsentrasi serum.
Rifampin di metabolisme oleh liver dan mengalami enterohepatic recycling. Rifampin dapat
menginduksi enzim sitokrom P450 sehingga memiliki beberapa interaksi obat. Rifampin dapat
mengalami autoinduksi yang dapat menyebabkan waktu paruhnya lama pada dosis pertama, sekitar 1-2
minggu. Eliminasi dari rifampin dan metabolitnya utamnya lewat feses dan secara sekunder lewat urin.
Urin dan feses dapat muncul dengan warna oranye kemerahan. Rifampin dapat menginduksi enzim-
enzim fase 1 dan fase dua dari sitokrom p450 sehingga dapat mengurangi waktu paruh obat-obat yang
diadministraksikan bersamaan dengan rifampin. Dosis obat-obat yang dimetabolisme di sitokrom p450
yang diberikan bersama dengan rifampin harus ditingkatkan.2-4
Rifampin menempel pada subunit beta pada enzim DNA-dependent RNA polimerase sehingga
menginhibisi sintesis RNA. Rifampin bersifat baktersidal untuk mycobacteria intraseluler dan

7
ekstraseluer. Rifampin bersifat non selektif pada MTB, NTM seperti M. kansasii dan M. avium
complex (MAC). Rifampin juga sangat aktif terhadap M. leprae. Resisten dari rifampin terjadi akiabt
mutasi titik pada gene pengkode subunit Beta pada RNA polimerase, yaitu rpoB. Akibatnya, rifampin
tidak dapat menempel pada RNA polymerase. RNA polimerase manusia tidak dapat ditempeli oleh
rifampin sehingga tidak terinhibisi olehnya.2-4
Dosis rifampin yang digunakan pada pasien TB aktif adalah 600 mg/hari secara oral disertai
dengan isoniazid. Rifampin diberikan untuk mencegah adanya selesi strain yang resisten terhadap
isoniazid maupun sebaliknya. Kombinasi keduanya dapat diadministrasikan dua kali seminggu. Dengan
penambahan pyrainamide, durasi terapi dapat dikurangi hingga 6 bulan. Pada pasien LTBI yang
resisten terhadap isoniazid, rifampin merupakan obat alternatif untuk tatalaksana tunggal. Rifampin
juga dapat digunakan sebagai obat lepra dan infeksi bakteri di meninges. Profilaksis untuk
Haemophilus influenzae tipe b juga apat menggunakan rifampin. Rifampin dapat digunakan pada
sebagai agen lini kedua dari penyakit infeksi akibat staphylococcus.2-4
Efek samping dari rifampin yang paling terlihat adalah perubahan warna menjadi orange
kemerehan pada urin, feses, air mata, dan keringat. Efek samping lainnya meliputi gatal,
trombositopenia, dan nefritis. Rifampin juga dapat menyebabkan hepatitis dan jaundice. Selain itu,
penggunaan bersamaan dengan obat isoform sitokrom p450 meningkatkan eliminasinya, sehingga perlu
peningkatan dosis.2-4
Rifabutin
Rifabutin merupakan derivat rifamisin yang juga memiliki mekanisma kerja yang sama dengan
rifampin. Rifabutin digunakan pada pasien TB aktif dan sedang menjalani terapi HIV seperti protease
inhibitor atau non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs). Obat-obat ini memiliki
interaksi dengan rifampin. Sebenarnya rifabutin juga merupakan induser poten untuk CYP450 namun
memiliki efek yang lebih rendah dibanding rifampin (kurang dari 40%). Efek samping rifabutin sama
dengan rifmpin. TB aktif yang resisten terhadap rifampin biasana juga memiliki resisten silang dengan
rifabutin. 2-4
Rifapentine
Rifapentine merupakan analog dari rifampin dan memiliki mekanisme yang sama. Berbeda
dengan rifabutin, rifapentine memiliki efek interaksi yang sama dengan rifampin sehingga tidak dapat
diberikan pada pasien yang menjalani terapi HIV. Indikasi rifapentine adalah alternatif kombinasi
dengan isoniazid untuk pasien LTBI dan HIV negatif. 2-4 Rifapentine memiliki waktu paruh yang lebih
panjang dibandingkan rifampisin yang lain. Sebuah penelitian tahun yang dlakukan Sterling TR (2011)

8
et al, menunjukkan bahwa terapi isoniazide tunggal selama 9 bulan memiliki efek yang sama dengan
kombinasi isoniazide dan rifapentine selama 3 bulan pada pasien LTBI.10

Grafik 1. Penelitian dengan Terapi Isoniazid –Repentine terhadap Jumlah MTB dibandingkan
dengan Terapi Isoniazid Tunggal.10

Ethambutol
Ethambutol merupakan merupakan komponen sintetik, larut air, dan stabil terhadap temperatur.
MTB yang sensitif akan terinhibisi dengan dosis ethambutol 1-5 mcg/mL. Ethambutol diaborspi
langsung pada saluran GI. Setelah administrasi oral dengan dosis 25mg/kg, konsentrasi serum
ethambutol dapat mencapai 2-5 mcg/mL setelah 2-4 jam. Ethambutol hanya dapat menembus blood-
brain barrier dalam keadaan inflamasi di meninges sehingga konsentrasinya di CSF minimal. Sekitar
20% ethambutol eksresikan lewat feses sedangkan sisanya lewat urin dalam bentuk tidak
termetabolisme.2-4
Ethambutol bekerja dengan menginhibisi enzim arabinosyl transferase yang berfungsi pada
pembentukan arabinoglikan, komponen dinding sel pada mycobacterium. Arabynosyl transferase
dikodekan oleh gen embCAB operon. Resisten ethambutol terjadi akibat overekspresi gen emb atau
embB. Resisten terjadi ketikan ethambutol dipakai sebagai obat tunggal. 24
Dosis Ethambutol hydrochloride sebesar 15-25 mg/kg dalam sediaan oral diberikan dalam
bentuk kombinasi dengan isoniazid atau rifampin pada TB aktif. Dosis yang lebih tinggi dapat
digunakan pada pengobatan meningitis tuberkulosis. Ethambutol merupakan obat keempat dari terapi
TB aktif pada dua bulan pertama. Pemberian ethambutol dilanjutkan apabila pasien terdiagnosis TB

9
2-4
resisten terhadap isoniazid. Efek samping utama dari ethambutol adalah retrotbulbar neuritis, yang
menyebabkan gangguan penglihatan dan buta warna hijau-merah. Efek ini terjadi ketika dosis 25 mg/kg
dilanjutkan dalam beberapa bulan. Ethambutol dikontraindkasi dengan pasien anak untuk menghindari
hilangnya akuitas visual.6
Pyrazinamide
Pyrazinamide merupakan obat yang memiliki kekerabatan dengan nicotinamide dan digunakan
hanya untuk TB. Pyrazinamide stabil dan larut dalam air. Pyrazinamid akan aktif pada pH 5.5
menginhibisi basil tuberkel dengan konsentrasi 20 mcg/mL. Dalam paru, pyrazinamid akan bekerja
pada MTB intraseluler dan bekerja akibat lingkungan asam oleh lisosom. Pyrainamid diserap baik oleh
saluran GI dan didistribusikan ke cairan tubuh, termasuk meninges yang terinflamasi. Konsentrasi 30-
50 mcg/mL dapat tercapai setelah 1-2 jam administrasi oral dengan dosis 25 mg/kg/d. Waktu paruhnya
adalah 8-11 jam. Bentuk prodrug pyrazinamid dimetabolisme oleh liver sedangkan metabolitnya oleh
ginjal.2-4 Pada pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisis, PZA harus diadministrasikan 25-
35mg/kg dan dikonsumsi tiga kali seminggu.5
Pyrazinamid akan diubah menjadi asam pirazinoat oleh enzim mycobavterial pyrazinamidase
yang dikodekan oleh pncA. Asam pirazinoat akan mengganggut metabolisme membran sel dan fgsi
transpor. Resistensi terjadi ketika ada mutasi pada pncA sehingga pyrazinamide tidak dapat diubah
menjadi bentuk aktifnya. Pyrazinamide digunakan sebagai lini pertama dari pengobatan TB aktif untuk
durasi singkat. Dengan kombinasi rifampin-isoniazid, terapi TB dapat dikurangi hingga 6 bulan setelah
terapi dua bulan kombinasi empat obat. Efeks samping dari obat ini adalah hepatoksisitas (1-5%), mual,
muntah, dan hiperuricemia. 3

Tatalaksana Lini Kedua


Tatalaksana lini kedua TB diberikan pada beberapa kondisi, antara lain : (1) pasien resisten
terhadap agen lini pertama; (2) kegagalan terhadap terapi konvesioonal; (3) dan pasien sedang
menjalani terapi konvensional yang serius dan memiliki interaksi dengan obat lini pertama.
Dibandingkan obat lini pertama, obat lini kedua lebih tidak efektif dan lebih toksik. 8
Fluoroquinolon
Fluoroquinolon digunakan pada banyak penyakit akibat bakteri gram positif dan bakteri gram
negatif. Mekanisme utamanya adalah dengan menginhibisi sintersis DNA dengan blokade enzym DNA
gyrase (topoisomerase II) dan topoisomerase IV. Inhibisi ini dapat mencegah relaksasi dari supercoiled
DNA yang dibutuhkan untuk transkripsi dan replikasi. Inhibisi topoisomerase IV mencegah pemisahan

10
saat replikasi DNA. Dua fluorokuinolon utama yang digunakan untuk TB adalah moxifloxacin dan
levofloxacin. Fluoroquinolon dapat mencegah pertumbuhan MTB pada konsentrasi 2 mcg/mL. Obat ini
juga sensitif terhadap NMT. Moxifloxacin merupakan agen yang paling aktif dibandingkan
levofloxacin. Fluoroquinol dipakan sebagai alternatif ketika terdapat infeksi MTB yang resisten
terhadap agen lini pertama. MTB juga dapat resisten terhadap fluoroquinolon akibat mutasi dari gyrase
A. Dosis c moxifloxacin yang digunakan sebesar 400 mg/hari sedangkan levofloxacin 500-750 mg/
hari.3,6
Streptomycin
Streptomycin dihasilkan oleh streptomyces griseus. Mekanisme kerjanya sama dengan
aminoglikosida, yaitu inhibitor sintesis protein secara ireversibel. Obat kemudian akan menempel pada
subunit 30s pada ribosom. Ada tiga cara penempelan ini menginhibisi sintesis protein; (1)
mengintervensi formasi peptida kompleks; (2) salah baca mRNA sehingga dihasilkan asam amino yang
salah; (3) pemecahan polisome menjadi monosom yang tidak fungsional. Streptomycin digunakan
dalam dosis 0,5-1 g/hari secara intramuskuler atau intavena. Indikasinya adalah apabila MTB resisten
terhadap obat lini pertama lain Streptomycin hanya bekerja pada MTB, MAC, dan M. kansasii. Pada
konsentrasi streptomycin 10-100 mcg/mL terdapat 1 dari 100 juta basil yang resisten terhadap
streptomisin. Resisten terjadi akibat mutasi gen rpsl.Streptomisin hanya bekerja pada MTB
ekstraseluler karena sulit menembus membran sel. Efek samping penggunaan obat ini adalah ototoksik
dan nefrotoksik.3,4

Gambar 2. Mekanisme Kerja Streptomycin3


Amikacin
Amikacin diguanakn pada berbagai MDR-TB karena prevalensi amikacin masih rendah (kurang dai
5%). Amikacin tergolong dalam aminoglikosida. MTB akan terinhibisi pada konsentrasi 1 mcg/mL
Amikacin juga digunakan pada mycobacteria atipikal.3

11
Tabel 3. Obat-obat Antituberkulosis Lini Kedua4

Tatalaksana Tuberkulosis dan Komorbiditas


Ada beberapa komorbid dan komplikasi yang dapat timbul dan harus diperhatikan pada terapi
pasien TB. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, komplikasi utama dari pengobatan TB adalah
resiko hepatitis. Hepatitis dapat siebebakan oleh hampir semua obat lini pertama TB. Pasien-pasien
dengan riwayat hepatitis, transplantasi liver perlu melakukan monitor alanine aminotransferase (ALT)
dan aspratate aminotransferase, dan bilirubn setiap 1-4 minggu pada 2-3 bulan pertama. Pada pasien
kronik dan stabil serta asimptomatik, apabila level ALT kurang dari tiga kali limit normal, terapi TB
tidak perlu disesuikan. Pada ALT yang lebih dari 3 kali ULN, RHE (rifampin, isoniazid, dan
ethammbutol) harus digunakan selama dua bulan pada fase intesif dan fase maintenacenya hanya 7
bulan dengan RH saja. Begitu pula selanjutnya.5
Tabel 4. Panduan Terapi TB dengan Gangguan Liver5

Kondisi Klinis Penyesuaian


Asimptomatik, stable liver disease, ALT < 3 ULN Tidak berubah
Asimptomatik, stable liver disease, ALT > 3 ULN Fase intesif : RHE (2 bulan)
Fase penjagaan : RH (7 bulan)
Simptomatik, ALT > 3ULN Fase intesif : HRES (2 bulan); HRE (2 bulan)
Fase penjagaan : HE (6 bulan); HE (6 bulan)

12
Sirosis RE + fluoroquinolon atau cyclocerine atau
ofloxacin (12-18 bulan)
Hepatitis akut Terapi ditundah hingga hepatitis disembuhkan,
namun apabila tidak memungkinkan maka
terapinya
Fase intesif : SE (3 bulan)
Fase penjagaan RH 96 bulan) diikuti ofloxacin
Note : R=rifampin; H=isoniazid; E:pyrozinamide; S=Ethambutol
Beberapa keadaan komorbid seperti diabetes, immunosupression, kehamilan, dan gagal ginjal
juga memerlukan penyesuaian. Pada pasien diabetes yang bergantung pada insulin, regimen RHZE
dapat diperpanjang hingga 9 bulan. Pada diabetes yang tidak bergantung dengan insulin, regimen tidak
berubah namun harus disertai dengan profilaksis pyridoxine.5 Seperti yang terlah disebutkan
sebelumnya, rifampin memiliki interaksi dengan obat-obat anti HIV.3 Oleh karena itu, perlu
penyesuaian dosis atau dapat digunakan obat lini kedua seperti rifabutin atau rifapentine. Apabila tidak
tesedia, maka terapi ART (antiretroviral therapy) harus dimulai setelah dua minggu terapi
antituberkulosis. Pada pasien wanita hamil, regimen RHZE tetap dengan dosis biasa. Walaupun obat
RHZE dapat menembus plasenta, namun obat ini tidak teratogen. Begitupula pada ibu yang sedang
menyusui. Namun, pyridoxine (50 mg/day) direkomendasikan karena resiko neonatus untuk kejang-
kejang. 5
Pada pasien dengan gagal ginjal dan TB, prognosis menjadi buruk. Rifampin dan isoniazid tidak
dimetabolisme di ginjal. Begitu juga dengan pyrazinamide, namun metabolit pyrazinamida dapat
terakumulasi pada pasien dengan gagal ginjal. Hampir 80% ethambutol dimetabolisme di ginjal
sehingga perlu penyesuaian. Rekomendasi penggunaanya kedua obat ini adalah 3 kali seminggu. Belum
ada penelitian yang menyebutkan tentang pengaruh konsentrasi anti TB pada pasien hemodialisis.
Regimen teraman untuk pasien gagal ginjal adalah RHZ selama dua bulan yang diikuti RH selama 4
bulan (CCR antara 30-50 mL/menit). Pada pasien dengan CCR yang lebih rendah, dosis isoniazid
adalah 300 mg/hari atau 900 mg tiga kali seminggu; rifampin 600 mg/hari dalam tiga kali seminggu;
pyrazinamide dosis 25-35 mg/kg dalam tiga kali seminggu5

Resistensi Tuberculosis
2-4
Penyebab utama dari resistensi MTB terhadap obat-obatan adalah mutasi gen. Mutasi gen
dapat terjadi setiap saat dan muncul pada jumlah yang bakteri yang kecil. Pada penggunaan obat-obatan

13
yang tidak adekuat atau penggunaan obat lini pertama tunggal, bakteri mutan yang resisten terhadap
obat tersebut akan tetap hidup meskipun administrasi obat dalam jangka panjang. Akibatnya bakteri
mutan akan mendominasi ketika ia sudah mulai bereplikasi dan berjumlah banyak. Penyebab-penyebab
dari hal ini adalah ketaatan pasien dalam meminum obat dan monoterapi. 11

Gambar 3. Skema Patogenesis Resistensi Antibiotik MTB11


Pada mutasi genom prokariota, mutasi DNA, eror, delesi, insersi, dan duplikasi dapat tejadi
setiap saat. Mutasi ini disebut mutasi spontan. Sekitar 0,0033 mutasi/replikasi DNA dapat terjadi.
Mutasi ini dapat bervariasi tergantung gennya. Hal ini dipengaruhi oleh sekuens DNA lokal. Pada mTB
terdapat beberapa gen yang rentan untuk mengalami mutasi sehingga menyebabkan resistensi.
Resistensi isoniazid merupakan yang paling banyak diteliti karena mutasi gen pada MTB resisten
isoniazid lebih banyak, yaitu katC, inhA, OxyR, ahpC, dan furA dan tiap gen memiliki pengkode
protein masing-masing yang berperan. Resiko mutasi tiap antibiotik berbeda-beda. Secara berurutan,
resiko mutasi tiap obat, rifampin, isoniazid, streptomycin, dan ethambutol sekitar 3,32 x 10 -9, 2,56 x 10-
8
, 2,29 x 10-8 dan ethambutol 1,0 x 10-7 tiap divisi sel.11
Kompartementalisasi infeksi menyebabkan pasien rentan untuk mengalami terapi inadekuat.
Terapi inadekuat dapat terjadi akibat dosis yang inadekuat dan obat yang inadekuat. Keberadaan
kavitas paru menyebabkan bakteri tumbuh dan terlindungi oleh penetrasi agen antituberkulosis pada
konsentrasi adekuat. Contoh pada empiema pus, pH yang rendah menyebabkan aktivitas obat menjadi

14
turun. Infeksi HIV juga dapat menyebabkan MDR meskipun mekanismenya belum diketahun.
Hipotesis utama adalah ketidakmampuan pasien melokalisasi lesi (nekrosis kaseosa) karena kondisi
immunosupresan sehingga menyebabkan bakteri mudah tumbuh. Semakin banyak bakteri yang muncul,
semakin besar kemungkinan mutasi gen yang berujung pada resistensi, terutama resisten isoniazid.11

Gambar 4. Data Epidemiologi MTB yang Resisten terhadap Isoniazid9


Pada daerah yang memiliki insidensi tinggi TB, MTB dapat menginfeksi individu pada awal
kehidupan dan menimbulkan imunitas serta pembentukan granuloma. Hal ini diikuti dengan periode
laten yang panjang hingga muncul reaktivasi. Periode ini asimptomatik dan sangat panjang bahkan
tanpa disadari oleh pasien. Hal ini memungkinkan strain individu MTB untuk berinteraksi dan menukar
informasi genetik dengan organisme sekitarnya. Contohnya organisme yang menginfeksi nasofaring
atau traktus gastrointestinal. Pada lokasi ini, bakteri lain dapat mentransimsikan determinan resisten
antibiotik lewat transposon, plasmid melalui transduksi.11

Tatalaksana Nonfarmakologis
Nutrisi
Intervensi nutrisi dan konseling termasuk dalam rekomendasi kuat pada pasien-pasien TB.
Alasannya adalah TB lebih sering terjadi pada orang dengan sosioekonomi yang dibawah rata-rata dan
pasien malnutrisi. Selain itu, menurut data WHO tahun 2012 sekitar 13% pasien TB merupakan pasien
HIV yang sangat rentan malnutrisi. Walaupun begitu, belum ada penelitian yang pasti menunjukkan

15
pengaruh nutrisi terhadap perbaikan kondisi TB. Nutrien esensial meruakan substans yang dibutuhkan
untuk tetap hidup, tumbuh, dan sehat untuk melangsungkan fungsi tubuh. Nutrisi terdiri dari
makronutrisi dan mikronutrisi.12-14
Undernutrition merupakan kondisi dimana status nutrisi seseorang suboptimal sehingga
kesehatan dan pertumbuhan menjadi terbatas. Kondisi TB dapat memperparah undernutrition.
Undernutrition dapat memperlemah imunitas yang dapat menyebabkan reaktivasi TB latent. Hampir
semua individu dengan TB aktif berada dalam state katabolik dan mengalami penurunan berat badan,
serta menunjukkan defisiensi mineral dan vitamin. Penurunan berat badan dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti penurunan asupan makanan akibat hilangnya nafsu makan, mual dan nyeri
perut, muntah dan diaer, dan perubahan metabolik akibat penakit. 12 BMI yang renda (kurang dari 18,5)
dan infeksi TB meningkatkan resiko kematian hingga 9,24 % dan reaktivasi TB sebesar 25,26%. Hal
lain seperti munculnya komplikasi dan ketidakefektifan terapi juga dapat terjadi.13
Seperti penyakit infeksi lainnya, TB aktif akan meningkatkan kebutuhan energi. Studi
menunjukkan pasien TB yang diberikan suplemen makanan cenderung kenaikan beraat badan
dibandingkan yang tidak walaupun tidak ada hubungan dengan efektivitas pengobatan. Belum ada
rekomendasi proporsi makronutien (protein karbohidrat dan lemak) yang pasti untuk penederita TB.
Penderita direkomendasikan untuk mengonsumsi makronutrien yang cukup dengan proporsi 15-30%
protein, 25-30% lemak, dan 45-65% karbohidrat. Penelitian menunjukkan adanya fenomena anabolic
shock pada pasien TB, dimana ada kegagalan untuk merubah protein makanan menjadi protein
endogen. Hal ini juga menyumbang pada penurunan berat badan pada penderita TB. 12-14
Defisiensi mikronutrien merupakan salahh satu komplikasi yang dapat terjadi pada penederita
infeksi dan immunodefisiensi. Adapun mikronutrien yang harus dipenuhi adalah seng, vitamin A,
vitamin D, Vitamin E, Vitamin C, selenium, dan besi. Defiensi seng dapat mengaggu imunitas tubuh.
Hal ini dapat mengurangi fagositosis dan jumlah sel T yang bersirkulasi. Hal ini dapat menyebabkan
reaktivitas sel T yang rendah. Banyak studi yang menunjukkan bahwa pada pasien tuberculosis terdapat
jumlah seng yang lebih rendah dibandingkan pada kelompok kontrol. Pada pasien yang sudah
menjalani terapi lewat enam bulan, plasma zinc kmbali normal. Defisiensi seng dapat terjadi akibat
redistribusi seng dari plasma ke jaringan lain atau peningkatan metallohtinein pada hati. Pada terapi dua
bulan pertama, seng akan turun karena makrofag akan bekerja untuk membunuh MTB. Selain itu,
ethambutol dapat meningkatkan eksresi seng lewat urin. 12-14
Vitamin A menginhibisi multiplikasi dari MTB. Vitamin A juga berperan dalam proliferasi
limfosit dan menjaga fungsi jaringa epitel. Vitamin A esensial untuk aktivasi limfosit B dan limfosit T

16
serat makrofag. Pada pasien TB, kadar vitamin A lebih rendah. Hal ini diduga karena kurangnya asupan
makanan dan infeksi itu sendiri. Jumlah vitamin A yang dibuang lewat urin meningkat pada pasien
dengan demam. Selain vitamin A, vitamin D, vitamin E, dan vitamin C juga menurun pada pasien
TB.12-14
Bedah
Walaupun tuberkulosis umumnya disembuhkan dengan obat-obatan, pada beberapa kasus
spesifik memerlukan bedah. Kasus seperti resisten obat multipel dan komplikasi pulmo yang kronik
memerlukan tidndakan bedah. Indikasi dari bedah adalah endobronchial tuberculosis, hemoptysis
parah, empiema, pneumothorax, dan bronchpleural fistula. Pada tuberkulosis sequale, intevensi bedah
dapat dilakukan untuk mengangkat fungus ball, symptomatic pulmonary residue, dan hemoptysis. 5

Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pasien laki-laki 24 tahun dengangejala
TB memiliki kemungkinan untuk mengalami infeksi TB resisten karena ketidaktaatan terapi obat
selama 6 bulan. Pasien tersebut harus memulai terapi TB dengan menggunakan regimen RHZE,
meliputi rifampin, isoniazid, pyrazinamid, dan ethambutol pada fase intesif (2 bulan). Obat-obatan lini
kedua , seperti streptomycin, amikacin, atau bedaquiline dapat digunakan apabila pasien terbukti MDR
(multidrug resistance)-TB. Pengobatan dapat dilanjutkan dengan fase penjagaan (4 bulan) dengan
regimen RHZ (rifampin, isoniazid dan pyrazinamid) dan penggunaan obat lini kedua jika diperlukan.
Terapi farmakologis tetap memperhatikan komplikassi dan gejala yang muncul pada pasien. Intervensi
nutrisi pada pasien dapat dilakukan dengan asupan makronutrien yang adekuat dan mikronutrien yang
ditingkatkan seperti suplementasi seng, zat besi, vitamin A, D, C, dan E.

Referensi
1. Global tuberculosis report 2018. Geneva: World Health Organization; 2018.p.38-9
2. Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA, eds. Murray and Nadel’s. Textbook of
Respiratory Medicine. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2000.p.567-80
3. Katzung BG, Trevor AJ. Basic & clinical pharmacology. 13th ed. Philadelphia : McGraw-Hill
Education; 2015.p.815-23

17
4. Whalen K, Finkel R, Panavlil TA. Lippincott ilustrated reviews : pharmacology. 6 th ed.
Philadelphia : Wolters Kluwer; 2015. P.525-33
5. Rabahi MF, Silva JL, Ferreira AC, Tannus-Silva DG, Conde MB. Tuberculosis treatment. J
Bras Pneumol. 2017;43(5):472-486.
6. Egelund EF, Alsultan A, Peloquin CA. Optimizing the clinical pharmacology of tuberculosis
medications. Clin Pharmacol Ther. 2015;98(4):387-93
7. Sotgiu G, Centis R, D’ambrosio L, Migliori GB. Tuberculosis treament and drug regimens.
Cold Spring Harb Perspect Med. 2015;5(2):67-80
8. Guidelins for treatment of drug-suspectible tuberculosis and patient care, 2017 update. Geneva :
World Health Organization; 2017.p.7-8
9. Yuan CM, Jenkins HE, Rodriguez CA, Keshavjae S, Becerra MC. Global and regional burden
of isoniazid-resistant tuberculosis. Pediatrics. 2015;136(1):50-9.
10. Sterling TR, Villarino E, Borisov AS, Shang N, Gordin F, Hackman J, et al. Three months of
rifapentine and isoniazid for latent tuberculosis infection. N Engl J Md. 2011;365(23):2155-66
11. Gillespie SH. Evolution of drug resistance in Mycobacterium tuberculosis : clinical and
molecular perspective. Antimicrob Agents Chemother. 2002;46(2):267-74
12. Gupta KB, Gupta R, Atreja A, Verma M, Vishvkarma S. Tuberculosis and nutrition. Lung Inia.
2009;26(1):9-16.
13. Nutritional care and support for patients with tuberculosis. Geneva: World Health Organization;
2013.p.9-10
14. Grobler L, Gaplal S, Sudarsanam TD, Sinclair D. Nutritional supplements for people being
treated for active tuberculosis (review). Conchrane : John Wiley & Sons, Ltd; 2016.p.55-60

18

Anda mungkin juga menyukai