Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MAKALAH

Komunikasi dalam Keperawatan II

“ Teknik Komunikasi Lansia pada Reaksi Penolakan”

Disusun Oleh:

Kelompok 3
Kelas A2

Derline Tiara Zoema 1911312044 Rahmi Eka Fajri 1911312017


Salma Nur Rahma Dany 1910312038 Vita Delfi Yanti 1911312023
Rachma Yulia Putri 1911312032 ariesta dwi putri 1911312047
Suci Faisal 1911312041 Ayyasa Amara 1911312029
Bunga Angrayni 1911312026 Regina Fatikahemas 1911312020
Mifthahur Rahmi 1911313034 M. Abdan Syakura 19113130

Dosen Pengampu; Ns. Bunga Permata Weny, M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKUTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

T.A 2020/2021

1
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah “Komunikasi Terapeutik pada Lansia” dengan
tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak bisa untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Makalah ini adalah sekumpulan materi tentang Kasus Lansia
dengan Masalah Reaksi Penolakan Fokus pada Teknik Komunikasi Lansia pada Reaksi
Penolakan yang dibuat untuk memenuhi tugas di mata kuliah Komunikasi
Keperawatan II.

Makalah ini tidak hanya diambil dari satu sumber saja, melainkan dari berbagai
sumber.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini, penulis mohon maaf.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada
dosen pembimbing dalam menyusun makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Padang, 7 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................... i


Daftar Isi .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2. Manfaat............................................................................................................ 2
1.3. Tujuan.............................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ................................................................... 3
2.1 Konsep Komunikasi Terapeutik ..................................................................... 3
2.1.1 Definisi komunikasi Terapeutik ..................................................................... 3
2.1.2 Karakteristik Komunikasi Terapeutik ............................................................ 4
2.1.3 Tahapan Komunikasi Terapeutik ................................................................... 5
2.2 Komunikasi pada Lansia ................................................................................. 6
2.2.1. Pengertian Lanjut Usia (Lansia) .................................................................... 6
2.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi pada Pasien Lansia ....................... 6
2.2.3. Sekilas Komunikasi ....................................................................................... 7
2.2.4. Teknik Umum untuk Berkomunikasi dengan Pasien Lansia ......................... 8
2.2.5. Tips untuk Komunikasi yang Efektif dengan Pasien Lansia ....................... 11
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................ 13
3.1. Komunikasi Terapeutik pada Lansia .......................................................... 13
3.2. Teknik Pendekatan dalam Perawatan .......................................................... 14
3.2.1. Teknik Pendekatan dalam Perawatan Lansia pada Konteks Komunikasi ... 14
3.2.2. Teknik Pendekatan dalam Perawatan Lansia pada Reaksi Penolakan......... 15
BAB IV PENUTUP .................................................................................................. 18
4.1.Kesimpulan ................................................................................................... 18
4.2. Saran ............................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan perubahan verbal
dan non verbal dari informasi dan ide. Komunikasi mengacu tidak hanya pada isi
tetapi juga pada perasaan dan emosi dimana individu menyampaikan hubungan
( potter & perry, 301 ).
Dalam Prasanti (2017) komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan pasien. Dalam dunia kesehatan, banyak kegiatan komunikasi
terapeutik yang terjadi. Menurut Heri Purwanto, komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang direncanakan secara sadar dan bertujuan, kegiatannya difokuskan
untuk kesembuhan pasien, dan merupakan komunikasi profesional yang mengarah
pada tujuan untuk penyembuhan pasien (dalam Mundakir, 2006). Komunikasi
terapeutik meningkatkan pemahaman dan membantu terbentuknya hubungan yang
konstruktif di antara perawat dengan klien. Tidak seperti komunikasi sosial,
komunikasi terapeutik mempunyai tujuan untuk membantu klien mencapai suatu
tujuan dalam asuhan keperawatan.
Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal pada pasien lanjut usia
tidak hanya bergantung pada kebutuhan biomedis akan tetapi juga tergantung dari
perhatian terhadap keadaan sosial, ekonomi, kultural dan psikologis pasien tersebut.
Walaupun pelayanan kesehatan secara medis pada pasien lanjut usia telah cukup
baik tetapi mereka tetap memerlukan komunikasi yang baik serta empati sebagai
bagian penting dalam penanganan persoalan kesehatan mereka. Komunikasi yang
baik ini akan sangat membantu dalam keterbatasan kapasitas fungsional, sosial,
ekonomi, perilaku emosi yang labil pada pasien lanjut usia (William et al., 2007).
Perawat harus waspada terhadap perubahan fisik, psikologi, emosi dan sosial
yang mempengaruhi pola komunikasi. Perubahan yang berhubungan dengan umur
dalam sistem auditoris dapat mengakibatkan kerusakan pada pendengaran.

1
Perubahan pada telinga bagian dalam dan telingan menghalangi proses pendengaran
lansia sehingga tidak toleran terhadap suara. Berdasarkan hal - hal tersebut kami
menulis makalah ini yang berjudul “ komunikasi terapeutik pada lansia dengan
kasus reaksi penolakan “

1.2. Manfaat
1.2.1 Mahasiswa paham tentang komunikasi pada Lansia (lanjut usia).
1.2.2 Mahasiswa paham tentang konsep dasar keperawatan tentang komunikasi
terapeutik pada Lansia.
1.2.3 Mahasiswa paham tentang teknik komunikasi pada lansia dengan reaksi
penolakan

1.3. Tujuan

1.3.1. Untuk mengetahui tentang komunikasi pada lansia


1.3.2. Untuk mengetahui tentang konsep dasar keperawatan tentang komunikasi
terapeutik pada lansia
1.3.3. Untuk mengetahui tentang teknik komunikasi pada lansia dengan reaksi
penolakan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Komunikasi Terapeutik


2.1.1 Definisi Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal dengan titik
tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Tujuan hubungan
terapeutik diarahkan pada pertumbuhan pasien meliputi: realisasi diri, penerimaan
diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri. Sehingga komunikasi terapeutik
itu sendiri merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam komunikasi yang
dilakukan secara terencana dan dilakukan untuk membantu proses penyembuhan
pasien.
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang direncanakan secara
sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien dan
membina hubungan yang terapeutik antara perawat dan klien. Komunikasi
terapeutik juga dapat dipersepsikan sebagai proses interaksi antara klien dan
perawat yang membantu klien mengatasi stress sementara untuk hidup harmonis
dengan orang lain, menyesuaikan dengan sesuatu yang tidak dapat diubah dan
mengatasi hambatan psikologis yang menghalangi realisasi diri.
Komunikasi terapeutik dapat digunakan sebagai terapi untuk menurunkan
tingkat kecemasan pasien atau meningkatkan rasa percaya pasien terhadap
perawatnya. Dengan pemberian komunikasi terapeutik diharapkan dapat
menurunkan tingkat kecemasan pasien karena pasien merasa bahwa interaksinya
dengan perawat merupakan kesempatan untuk berbagi pengetahuan, perasaan dan
informasi dalam rangka mencapai tujuan perawatan yang optimal, sehingga proses
penyembuhan akan lebih cepat.

3
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), fungsi komunikasi terapeutik adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan tingkat kemandirian klien melalui proses realisasi diri,
penerimaan diri dan rasa hormat terhadap diri sendiri.
2. Identitas diri yang jelas dan rasa integritas yang tinggi.
3. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan saling
tergantung dan mencintai.
4. Meningkatkan kesejahteraan klien dengan peningkatan fungsi dan
kemampuan memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan personal yang
realistik.

Pelaksanaan komunikasi terapeutik bertujuan membantu pasien


memperjelas penyakit yang dialami, juga mengurangi beban pikiran dan perasaan
untuk dasar tindakan guna mengubah ke dalam situasi yang lebih baik. Komunikasi
terapeutik diharapkan dapat mengurangi keraguan serta membantu dilakukannya
tindakan efektif, memperat interaksi kedua pihak, yakni antara pasien dan perawat
secara profesional dan proporsional dalam rangka membantu penyelesaian masalah
pasien.

2.1.2 Karakterisktik Komunikasi Terapeutik


Menurut Arwani (2002), terdapat tiga ciri-ciri yang menjadi karakteristik
serta membedakan komunikasi terapeutik dengan komunikasi yang lain, yaitu:
1. Keikhlasan (genuiness)
Perawat harus menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki
terhadap keadaan klien. Perawat yang mampu menunjukkan rasa ikhlasnya
mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunyai terhadap klien sehingga
mampu belajar untuk mengkomunikasikan secara tepat.
2. Empati (empathy)
Empati merupakan perasaan pemahaman dan penerimaan perawat terhadap
perasaan yang dialami klien dan kemampuan merasakan dunia pribadi klien.
Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitif dan tidak dibuat-buat (objektif)

4
didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati cenderung bergantung
pada kesamaan pengalaman diantara orang yang terlibat komunikasi.
3. Kehangatan (warmth)
Dengan kehangatan, perawat akan mendorong klien untuk mengekspresikan
ide-ide dan menuangkannya dalam bentuk perbuatan tanpa rasa takut dimaki
atau dikonfrontasi. Suasana yang hangat, permisif dan tanpa adanya ancaman
menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap klien. Sehingga klien
akan mengekspresikan perasaannya secara lebih mendalam.

2.1.3 Tahapan Komunikasi Terapeutik


Menurut Stuart dan Sundeen (1995), tahapan-tahapan dalam pelaksanaan
komunikasi terapeutik, adalah sebagai berikut:
a. Fase Prainteraksi
Prainteraksi dimulai sebelum kontrak pertama dengan klien. Tahap ini
merupakan tahap persiapan perawat sebelum bertemu dan berkomunikasi
dengan pasien. Perawat perlu mengevaluasi diri tentang kemampuan yang
dimiliki.
b. Fase Orientasi
Fase ini dimulai ketika perawat bertemu dengan klien untuk pertama kalinya.
Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan klien minta pertolongan yang akan
mempengaruhi terbinanya hubungan perawat klien. Dalam memulai hubungan
tugas pertama adalah membina rasa percaya, penerimaan dan pengertian
komunikasi yang terbuka dan perumusan kontrak dengan klien.
c. Fase Kerja
Pada tahap kerja dalam komunikasi terapeutik, kegiatan yang dilakukan adalah
memberi kesempatan pada klien untuk bertanya, menanyakan keluhan utama,
memulai kegiatan dengan cara yang baik, melakukan kegiatan sesuai rencana.
Perawat memenuhi kebutuhan dan mengembangkan pola-pola adaptif klien.
Interaksi yang memuaskan akan menciptakan situasi/suasana yang

5
meningkatkan integritas klien dengan meminimalisasi ketakutan,
ketidakpercayaan, kecemasan dan tekanan pada klien.
d. Fase Terminasi
Pada tahap terminasi dalam komunikasi terapeutik kegiatan yang dilakukan
oleh perawat adalah menyimpulkan hasil wawancara, tindak lanjut dengan klien,
melakukan kontrak (waktu, tempat dan topik), mengakhiri wawancara dengan
cara yang baik.

2.2 Komunikasi pada Lansia


2.2.1. Pengertian Lanjut Usia (Lansia)
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke
atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides,
1994). Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik
dan struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan
mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4).
Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga
kelompok yakni : Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang
baru memasuki lansia, kelompok lansia (65 tahun ke atas), Kelompok lansia resiko
tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.
Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 katagori, yaitu :
• Usia lanjut : 60 – 74 tahun
• Usia tua : 75 -89 tahun
• Usia sangat lanjut : lebih dari 90 tahun.

2.2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi pada Pasien lanjut usia


Komunikasi dengan pasien lanjut usia dapat menjadi lebih sulit
dibandingkan dengan komunikasi pada populasi biasa sebagai akibat dari gangguan

6
sensori yang terkait usia dan penurunan memori. Orang ketiga juga dapat menjadi
bagian dari interaksi, karena pasien lanjut usia seringkali ditemani oleh anggota
keluarga yang dicintai yang aktif terlibat pada perawatan pasien dan berpartisipasi
dalam kunjungan. Ada banyak faktor lain yang mempengaruhi efektivitas
komunikasi dengan pasien lanjut usia. Pasien lanjut usia sering hadir dengan
masalah yang kompleks dan beberapa keluhan utama, yang memerlukan waktu
untuk menyelesaikannya. Untuk setiap dekade kehidupan setelah usia 40 tahun,
pasien kemungkinan mengalami satu penyakit kronik baru. Sehingga pada usia 80
tahun, orang kemungkinan memiliki paling tidak 4 penyakit kronis (Vieder et al.,
2002). Faktor lain adalah bahwa pasien lanjut usia umumnya lebih sedikit bertanya
dan menunggu untuk ditanya sesuai kewenangan dokter (Haug & Ory, 1987;Greene
et al.,1989). Masalah usia atau dikenal dengan istilah ageism juga merupakan hal
yang lazim dijumpai pada perawatan kesehatan dan secara tidak sengaja berperan
terhadap buruknya komunikasi dengan pasien lanjut usia (Ory et al., 2003).

2.2.3. Sekilas Komunikasi


2.2.3.1. Kegunaan Komunikasi
Komunikasi berguna untuk pertukaran informasi dan untuk membina
hubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain komunikasi merupakan aspek
dasar pada hubungan antar manusia dan merupakan sarana untuk berhubungan
dengan orang lain. Pada pasien lanjut usia berbagai bentuk dari penyakit dan
ketidakmampuan dapat berpengaruh terhadap proses komunikasi dan perawatan
kesehatannya, sehingga diperlukan cukup perhatian dan sikap yang baik untuk
proses komunikasi tersebut Sering kali terjadi bahwa baik pihak keluarga
maupun medis melupakan atau tidak memperhatikan berbagai hambatan yang
ada untuk tercapainya komunikasi yang efektif pada pasien lanjut usia yang
akhirnya dapat mengakibatkan interpretasi yang keliru terhadap pesan yang
disampaikan maupun yang diterima oleh mereka (Smith & Buckwalter, 1993).

7
2.2.3.2. Komponen pada proses komunikasi
a. Pembicara:
Yaitu, orang yang menyampaikan pesan.
b. Pendengar
Yaitu, Orang yang menerima pesan.
c. Pesan verbal
Merupakan kata-kata yang secara aktual diucapkan atau disampaikan.
d. Pesan nonverbal
Ialah pesan yang ditangkap saat kata kata tersebut diucapkan termasuk
ekspresi wajah, tekanan suara, postur dan sikap tubuh dan pilihan kosa kata
yang digunakan.
e. Umpan Balik
Merupakan respon berupa tanggapan baik verbal maupun non verbal.
f. Konteks
Adalah fisik dan lingkungan sosial atau pengaturan dalam pesan yang
dikirim.
g. Persepsi
Merupakan kemampuan untuk memilih, mengatur, dan menafsirkan
informasi indrawi menjadi dimengerti dan bermakna.
h. Evaluasi
Adalah kemampuan untuk menganalisa informasi yang diterima,
berdasarkan pengalaman dan pengetahuan masa lalu.
i. Transmisi
Adalah ekspresi yang sebenarnya dari informasi dari pengirim kepada
penerima (pesan lisan dan pesan nonverbal) (Smith & Buckwalter, 1993).

8
2.2.4. Teknik Umum untuk Berkomunikasi dengan Pasien lanjut usia
2.2.4.1. Menunjukkan Hormat dan Keprihatinan
Komunikasi pasien yang baik didasarkan pada respect atau hormat
kepada pasien dan memahami serta mengapresiasi setiap pasien sebagai sosok
manusia yang unik. Untuk menunjukkan rasa hormat, anda harus menghadapi
pasien secara formal dan menyapa dengan “Bapak” atau “Ibu”, kecuali pasien
sebelumnya telah meminta anda untuk memanggil dengan nama pertamanya, dan
hindarkan menggunakan istilah yang merendahkan seperti “manisku”,
“sayangku”, ‘cintaku”. Berkomunikasi yang saling bertatap mata dengan duduk
di kursi dan langsung menatap pasien. Dengan melakukan hal ini, anda
menunjukkan perhatian sejati dan aktif mendengarkan, serta membantu pasien
untuk mendengar dan memahami anda secara lebih baik. Sentuhan lembut di
tangan, lengan, atau pundak pasien akan menyampaikan rasa turut prihatin dan
perhatian (Adelman et al., 2000).

2.2.4.2. Memastikan bahwa Pasien Didengar dan Dipahami


Mempertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan
mendengarkan adalah kunci komunikasi efektif antara pasien lanjut usia dan
dokter (Adelman et al., 2000 ; Ory et al., 2003). Membiarkan pasien lanjut usia
untuk berbicara beberapa menit tentang masalahnya tanpa interupsi akan
memberikan lebih banyak informasi daripada riwayat pendukung yang
terstruktur cepat. Merasa sedang diburu-buru akan menyebabkan mereka merasa
bahwa mereka sedang Tidak didengarkan atau dipahami (Adelman et al., 2000).
Penelitian menunjukkan bahwa pasien lanjut usia dan dokter sering tidak
sepaham tentang tujuan dan masalah medis yang dihadapi. Komunikasi yang
buruk dapat mengganggu pertukaran informasi serta menurunkan kepuasan
pasien (Greene et al., 1989).
Pada umumnya, anda harus berbicara pelan, jelas, dan keras tanpa
berteriak, menggunakan bahasa dan kalimat yang singkat dan sederhana. Karena
pasien lanjut usia umumnya lebih sedikit bertanya dan menunggu untuk ditanya

9
sesuai kewenangan dokter, khususnya penting untuk sering merangkum dan
memancing pertanyaan (Adelman et al., 2000;Robinson et al., 2006).
Strategi Umum Tambahan untuk Memperbaiki Komunikasi dengan
Pasien Lanjut Usia :
• Menggabungkan data pendahuluan sebelum perjanjian untuk bertemu, karena
pasien pasien lanjut usia khas memiliki berbagai masalah kesehatan yang
kompleks. Meminta pasien menceritakan keluhannya hanya sekali (yaitu tidak
bercerita dulu kepada perawat atau asisten kemudian baru kepada anda) untuk
meminimalkan frustasi dan kelelahan pasien.
• Menghindarkan jargon medis.
• Menyederhanakan dan menuliskan instruksi.
• Menggunakan diagram, model, dan gambar.
• Menjadwalkan pasien lanjut usia terlebih dahulu, karena mereka umumnya
lebih siap dari
• segi waktu dan secara klinis cenderung kurang sibuk.
Sumber : Adelman et al., 2000;Robinson et al., 2006

2.2.4.3. Menghindari Ageism


Salah satu hal terpenting yang harus diingat ketika berkomunikasi
dengan pasien lanjut usia adalah menghindarkan ageism. Ageism, suatu istilah
yang pertama disampaikan oleh Robert Butler, direktur pertama the National
Institute on Aging, adalah systematic stereotyping dan diskriminasi terhadap
seseorang karena mereka berusia lanjut (Butler, 1969). Ageism adalah hal yang
lazim pada perawatan kesehatan dan dapat direfleksikan dalam tindakan seperti
meremehkan masalah medis, menggunakan bahasa yang bersifat merendahkan,
hanya memberikan sedikit edukasi tentang regimen preventif, menawarkan
sedikit pengobatan untukmasalah kesehatan mental, menggunakan panggilan
yang bernada menghina, menghabiskan lebih sedikit masalah psikososial, dan
membuat stereotype orang tua (Ory et al., 2003).

10
Untuk menghindarkan ageism, mulailah mengenal pasien lanjut usia
sebagai satu pribadi dengan riwayat dan penyelesaian yang jelas. Pendekatan ini
memungkinkan anda untuk menemui setiap pasien lanjut usia sebagai individu
yang unik dengan pengalaman seumur hidup yang berharga bukan orang tua yang
tidak produktif dan lemah (Roter, 2000). Juga penting untuk tidak
mengasumsikan bahwa semua pasien lanjut usia adalah sama. Bisa saja dijumpai
“orang berjiwa muda” dengan usia 85 tahun serta “orang berjiwa tua” dengan
usia 60 tahun. Setiap pasien dan setiap masalah harus diperlakukan dengan unik.

2.2.4.4. Mengenal Kultur dan Budaya


Mengenal latar belakang kultur dan budaya pasien untuk kemudian
mengaplikasikannya dalam komunikasi dokter-pasien lanjut usia juga
merupakan hal penting dalam mempengaruhi persepsi pasien terhadap baik dan
berkualitasnya pelayanan kesehatan yang diberikan dokter (Ong et al., 1995).

2.2.5. Tips untuk Komunikasi yang Efektif dengan Pasien lanjut usia
2.2.5.1. Strategi Umum
a. Persiapkan lingkungan ruang pemeriksaan, memperbanyak penerangan dan
menurunkan kebisingan (mempertimbangkan kemungkinan berkurangnya
penglihatan dan pendengaran)
b. Memanggil pasien dan anggota keluarga dengan sebutan “Bapak” atau “Ibu”
dan menghindarkan sebutan “manis”, “sayang”, atau “cintaku”
c. Bicaralah dengan pelan, jelas, tanpa berteriak, menggunakan nada yang kalem
dan ekspresi yang menyenangkan.
d. Gunakan sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan, lengan, atau
bahu.
e. Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa, membiarkan pasien selama
beberapa menit untuk mengekspresikan masalahnya jika mampu
f. Memastikan bahwa agenda pasienlah yang anda hadapi

11
g. Meminta pasien lanjut usia untuk mengulang kembali setiap instruksi yang
penting
h. Memberikan instruksi tertulis paling tidak dengan huruf berukuran 14.
i. Ingatlah pentingnya masalah psikososial ketika merawat pasien lanjut usia.

2.2.5.2. Gangguan Kognitif Pasien


a. Jangan mengabaikan pasien.
b. Bertanyalah dengan pertanyaan sederhana yang hanya memerlukan jawaban
“ya” atau “tidak” dan bahasa tubuh sederhana.
c. Ketika melakukan pemeriksaan, berikan instruksi satu persatu.

2.2.5.3. Pertemuan dengan Keterlibatan Pihak Ketiga.


a. Persiapkan lingkungan ruang pemeriksaan dengan 3 kursi dalam bentuk
segitiga.
b. Pada mulanya berikan pertanyaan kepada pasien, kemudian mintalah masukan
dari pendamping pasien.
c. Mintalah pasien dan pendamping pasien untuk mengulang kembali setiap
instruksi yang penting.

12
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Komunikasi Terapeutik pada Lansia


Komunikasi terapeutik adalah hubungan kerja sama yang ditandai dengan
tukar menukar perilaku, perasaan, fikiran dan pengalaman dalam membina
hubungan intim terapeutik (Stuart dan Sundeen).
Komunikasi dengan lansia harus memperhatikan faktor fisik, psikologi,
lingkungan dalam situasi individu harus mengaplikasikan ketrampilan komunikasi
yang tepat. disamping itu juga memerlukan pemikiran penuh serta memperhatikan
waktu yang tepat.
Berdasarkan usianya, organisasi kesehatan dunia (WHO) mengelompokan
usia lanjut menjadi empat macam meliputi:
a. Usia pertengahan (middle age) kelompok usia 45 samapai 59 tahun
b. Usia lanjut (elderly) kelompok usia antara 60 samapai 70 tahun
c. Usia lanjut usai (old) kelompok usia antara 75 sampai 90 tahun
d. Usia tua (veryold)kelompk usia di atas 90 tahun
Meskipun batasan usia sangat beragam untuk menggolongkan lansia namun
perubahan-perubahan akibat dari usai tersebut telah dapat di identifikasi, misalnya
perubahan pada aspek fisik berupa perubahan neurologi dan sensorik, perubahan
visual, perubahan pendengaran. Perubahan- perubahan tersebut dapat menghambat
proses penerimaan dan interprestasi terhadap maksud komunikasi. Perubahan ini
juga menyebabkan klien lansia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Belum
lagi perubahan kognetif yang berpengaruh pada tingkat intelegensi, kemampuan
belajar, daya memori dan motivasi klien.
Perubahan emosi yang sering terlihat adalah berupa reaksi penolakan terhadap
kondisi yang terjadi. Gejala-gejala penolakan tersebut misalnya:
a. Tidak percaya terhadap diagnose, gejala, perkembangan serta keterangan
yang di berikan petugas kesehatan

13
b. Mengubah keterangan yang di berikan sedemikian rupa, sehinga di terima
keliru
c. Menolak membicarakan perawatanya di rumah sakit
d. Menolak ikut serta dalam perawatan dirinya secara umum khususnya
tindakan yang mengikut sertakan dirinya
e. Menolak nasehat-nasehat misalnya, istirahat baring, berganti posisi tidur,
terutama bila nasehat tersebut demi kenyamanan klien.

3.2. Teknik Pendekatan dalam Perawatan Lansia


3.2.1. Teknik Pendekatan dalam Pearawatan Lansia pada Koteks Komunikasi
3.2.1.1. Pendekatan fisik
Mencari informasi tentang kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian,
yang dialami, peruban fisik organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa di
capai dan di kembangkan serta penyakit yang dapat di cegah progresifitasnya.
Pendekatan ini relative lebih mudah di laksanakan dan di carikan solusinya
karena riil dan mudah di observasi.

3.2.1.2. Pendekatan psikologis


Karena pendekatan ini sifatnya absrak dan mengarah pada perubahan
prilaku, maka umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Untuk
melaksanakan pendekatan ini perawat berperan sebagai konselor, advokat,
supporter, interpreter terhadap sesuatu yang asing atau sebagai penampung
masalah-masalah yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab bagi klien.

3.2.1.3. Pendekatan social


Pendekatan ini di lakukan untuk meningkatkan keterampilan
berinteraksi dalam lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita,
bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok merupakan
implementasi dari pendekatan ini agar klien dapat berinteraksi dengan sesama
klien maupun dengan petugas kesehatan.

14
3.2.1.4. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa membeikan kepuasan batin dalam hubunganya
dengan Tuhan atau agama yang dianutnya terutama ketika klien dalam keadaan
sakit.

3.2.2. Teknik Pendekatan dalam Perawatan Lansia pada Reaksi Penolakan


Penolakan adalah ungkapan ketidakmampuan sesorang untuk mengakui
secara sadar terhadap pikiran, keiinginan, perasaan atau kebutuhan pada kejadian
nyata sesuatu yang merupakan reaksi ketidaksiapan lansia menerima perubahan
yang terjadi pada dirinya.
Ada beberapa langkah yang bisa di laksanakan untuk menghadapi klien
lansia dengan penolakan antara lain:
3.2.2.1. Kenali Segera Reaksi Penolakan Klien.
Yaitu membiarkan lansia bertingkah laku dalam tenggang waktu
tertentu. Hal ini merupakan mekanisme penyesuaian diri sejauh tidak
membahayakan klien, orang lain serta lingkunganya. Langkah – langkah yang
dapat di lakukan sebagai berikut :
a. Identifikasi pikiran yang paling membahayakan dengan cara observasi
klien bila sedang mengalami puncak reaksinya.
b. Ungkapakan kenyataan yang di alami klien secara perlahan di mulai dari
kenyataan yang merisaukan.
c. Jangan menyongkong penolakan klien, akan tetapi berikan perawatan yang
cocok bagi klien dan bicarakan sesering mungkin jangan sampai menolak.

3.2.2.2. Orientasikan klien lansia pada pelaksanaan perawatan sendiri.


Langkah ini bertujuan mempermudah proses penerimaan klien
terhadap perawatan yang akan di lakukan serta upaya untuk memandirikan
klien, antara lain:
a. Libatkan klien dalam perawatan dirinya, misalnya dalam perencanaan
waktu, tempat dan macam, perawatan.

15
b. Puji klien lansia karena usahanya untuk merawat dirinya atau mulai
mengenal kenyataan.
c. Membantu klien lansia untuk mengungkapkan keresahaan atau perasaan
sedihnya dengan mempergunakan pertanyaan terbuka, mendengarkan dan
menluangkan waktu bersamanya.

3.2.2.3. Libatkan keluarga atau pihak terdekat dengan tepat.


Langkah ini bertujuan untuk membantu perawat atau petugas
kesehatan memperolah sumber informasi atau data klien dan mengefektifkan
rencana atau tindakan dapat terealisasi dengan baik dan cepat. Upaya ini dapat
di laksanakan dengan cara – cara sebagai berikut :
a. Melibatkan keluarga atau pihak terkait dalam membantu klien lansia
menentukan perasaannya.
b. Meliangkan waktu untuk menerangkan kepada mereka yang bersangkutan
tentang apa yang sedang terjadi pada klien lansia serta hal – hal yang dapat
di lakukan dalam rangka membantu.
c. Hendaknya pihak – pihak lain memuji usaha klien lansia untuk menerima
kenyataan.
d. Menyadarkan pihak lain akan pentingnya hukuman (bukan hukuman fisik)
apabila klien lansia mempergunakan penolakan atau denial.

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi pada lansia

a. Menunjukkan rasa hormat, seperti “bapak”, “ibu”, kecuali apabila sebelumnya


pasien telah meminta anda untuk memanggil panggilan kesukaannya.
b. Hindari menggunakan istilah yang merendahkan pasien
c. Pertahankan kontak mata dengan pasien
d. Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan mendengarkan adalah kunci
komunikasi efektif
e. Beri kesempatan pasien untuk menyampaikan perasaannya

16
f. Berbicara dengan pelan, jelas, tidak harus berteriak, menggunakan bahasa dan
kalimat yang sederhana.
g. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti pasien
h. Hindari kata-kata medis yang tidak dimengerti pasien.
i. Menyederhanakan atau menuliskan instruksi
j. Mengenal dahulu kultur dan latar belakang budaya pasien
k. Mengurangi kebisingan saat berinteraksi, beri kenyamanan, dan beri penerangan
yang cukup saat berinteraksi.
l. Gunakan sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan. Lengan, atau bahu.
m. Jangan mengabaikan pasien saat berinteraksi

17
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal dengan titik
tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Tujuan hubungan
terapeutik diarahkan pada pertumbuhan pasien meliputi: realisasi diri, penerimaan
diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri. Sehingga komunikasi terapeutik itu
sendiri merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam komunikasi yang dilakukan
secara terencana dan dilakukan untuk membantu proses penyembuhan pasien.
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas
(Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides,
1994). Komunikasi dengan pasien lanjut usia dapat menjadi lebih sulit dibandingkan
dengan komunikasi pada populasi biasa sebagai akibat dari gangguan sensori yang
terkait usia dan penurunan memori.
Teknik Umum untuk Berkomunikasi dengan Pasien lanjut usia yaitu: a)
menunjukkan hormat dan keprihatinan, b) memastikan bahwa pasien didengar dan
dipahami, c) menghindari ageism yaitu adalah hal yang lazim pada perawatan
kesehatan dan dapat direfleksikan dalam tindakan seperti meremehkan masalah medis,
menggunakan bahasa yang bersifat merendahkan, d) Mengenal Kultur dan Budaya
Ada beberapa langkah yang bisa di laksanakan untuk menghadapi klien lansia
dengan reaksi penolakan, antara lain : 1) Kenali segera reaksi penolakan klien, 2)
Orientasikan klien lansia pada pelaksanan perawatan diri sendiri, 3) Libatkan
keluarga atau pihak keluarga terdekat dengan tepat

18
4.2. Saran
Setelah kita membahas materi tentang Teknik Komunikasi Lansia Pada
Reaksi Penolakan kami berharap agar pembaca mampu memahi tentang Teknik
Komunikasi Lansia Pada Reaksi Penolakan. Dan kami berharap para pembaca
diharapkan dapat memberikan kami saran dan tanggapan karena makalah ini masilah
belum sempurna. Juga diharapkan pembaca dapat mengambil tindakan yang tepat
pada lansia dengan reaksi penolakan .

19
DAFTAR PUSTAKA

Arwani. 2002. Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta: EGC.

Cangara, Hafied. (2014). Perencanaan dan Strategi Komunikasi. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.

Damayanti, M. 2010. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan.PT. Refika


Aditama : Bandung.

Stuart dan Sundeen. 1995. Buku Keperawatan. Jakarta: EGC.

20

Anda mungkin juga menyukai