Anda di halaman 1dari 4

Peningkatan suhu perairan sebesar 100C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh

organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar
oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen
bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi (Effendi 2003).

Pada percobaan kali ini digunakan ikan nila(Oreochromis niloticus). Pada perlakuan terhadap suhu
panas, ternyata suhu panas memberikan pengaruh terhadap perubahan bobot ikan dimana pada suhu
350C dan 400C ikan mengalami pertambahan bobot. Tetapi pada suhu 450C ikan justru mengalami
penurunan bobot. Berarti ikan masih dapat beradaptasi pada suhu 350C dan 400C tetapi pada suhu
450C ikan sudah tidak bisa beradaptasi lagi sehingga menyebabkan bobotnya turun. Hal ini disebabkan
karena suhu tinggi dapat menyebabkan kekeringan sel akibat penguapan, sehingga kekentalan
protoplasmanya meningkat (Effendi 2003).

Tingkah laku ikan nila pada suhu 350C, 400C, 450C cenderung aktif namun pada suhu 450C ikan banyak
yang kulitnya mengalami kerusakan dan ikan mendekati aerator. Kulit yang mengalami kerusakan
disebabkan karena pada suhu tersebut terjadi pengeringan sel pada ikan karena penguapan dan ikan
mendekati aerator karena kandungan oksigen terlarut di akuarium mulai berkurang sehingga ikan
mendekati aerator. Pada tabel 3 diketahui bahwa pada kontrol, suhu mortalitasnya sebesar 100%. Dari
data ini berarti diketahui bahwa kisaran toleransi suhu pada ikan yang mematikan adalah pada suhu
suhu tersebut. Pada suhu 350C kandungan oksigen terlarut sudah mulai sedikit dan tidak cukup untuk
kebutuhan ikan yang ada di akuarium sehingga ikan menjadi mati.

Pada perlakuan suhu panas terhadap ikan lele (Clarias batracus) suhu panas juga memberikan pengaruh
pertambahan bobot dimana pada kontrol dan gradual bobotnya bertambah sedangkan pada suhu 350C,
400C, dan 450C bobotnya tetap. Hal ini berarti ikan lele masih bisa beradaptasi pada suhu 400C
sekalipun dan bobotnya juga tidak turun. Tingkah laku ikan lele pada suhu panas masih bisa untuk
bergerak namun perlahan lahan bagian kulitnya ada yang rusak atau terluka. Pada suhu 450C ikan lele
mati dalam waktu kurang dari 1 menit. Selain itu pada suhu 400C ikan lele mati dalam waktu di atas 1
menit. Hal ini disebabkan adanya penguapan sehingga selnya menjadi kering dan oksigen terlarut yang
sudah sedikit akibat suhu yang panas sehingga menyebabkan ikan menjadi mati. Pada tabel 6 diketahui
bahwa pada kontrol dan suhu 350C kelangsungan hidup ikan lele sebesar 100%. Tapi pada suhu 400C
dan 450C mortalitasnya sebesar 100%. Pada gradual kelangsungan hidup sebesar 33,3% dan
mortalitasnya sebesar 66,6%. Hal ini menunjukkan bahwa kisaran toleransi suhu panas pada ikan lele
yaitu sebesar 400C. Bila dibandingkan dengan ikan mas, kisaran toleransi ikan lele lebih besar yakni 40%.
Hal ini disebabkan karena ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yaitu arboresen yang
menyebabkan ikan lele bisa beradaptasi pada kondisi yang lebih ekstrim dibandingkan dengan ikan mas
dan juga memiliki kisaran toleransi yang lebih baik.
Pada perlakuan suhu dingin memberikan pengaruh terhadap bobot ikan yang bisa dilihat pada tabel.
Bobot ikan mengalami penurunan akibat respon ikan terhadap lingkungannya yang baru dan adanya
aktivitas yang berlebihan dalam rangka beradaptasi terhadap lingkungan yang baru. Penurunan suhu
akan menghambat proses fisiologis bahkan menyebabkan hewan tidak aktif dan lebih jauh dapat
menyebabkan kematian karena proses fisiologis menurun maka kandungan air dalam tubuh berkurang
dan menyebabkan penurunan bobot tubuh ikan (Effendi 2003). Tingkah laku ikan pada suhu dingin lebih
banyak diam dan pingsan. Hal ini terjadi karena terhambatnya proses fisiologis ikan sehingga ikan lebih
banyak diam dan pingsan. Kelangsungan hidup pada kontrol, suhu 200C, dan gradual sebesar 100%
namun pada suhu 100C dan 50C mortalitasnya mencapai 100%. Hal ini berarti suhu 100C merupakan
kisaran toleransi yang mematikan untuk ikan.

Bobot ikan mengalami penurunan kemungkinan terjadi karena aktivitas ikan yang semakin meningkat.
Ketika suhu dinaikkan, maka metabolisme tubuh ikan meningkat pula. Hal ini didukung oleh pendapat
Dumairy (1992) dalam Mulyadi (1999), yang menyatakan bahwa air yang hangat pada umumnya akan
memacu metabolisme. Sehingga ikan memerlukan energi untuk melakukan pergerakan, sedangkan di
lain pihak ikan tidak mendapat asupan energi dari luar (misalnya : pakan). Akibatnya energi yang
tersedia di dalam tubuh ikan habis dan tidak cukup untuk mempertahankan hidup hingga akhirnya ikan
mati. Selain itu, kemungkinan lain adalah karena ketersediaan oksigen yang terlarut di dalam air sedikit.
Sehingga proses metabolisme tubuh ikan yang membutuhkan oksigen tidak berlangsung efektif.
Peristiwa ini terjadi karena ketika suhu dinaikkan maka DO akan semakin sedikit. Hal ini didukung oleh
pendapat Lesmana (2001) yang menyebutkan bahwa makin tinggi suhu maka makin sedikit oksigen
dapat larut. Akhirnya ikan-ikan yang berada dalam akuarium kekurangan oksigen, metabolisme
terhambat, bobot tubuh berkurang.

Tingkah laku ikan pada kondisi suhu kontrol 27oC maupun 35oC terlihat normal. Hal ini dikarenakan
kondisi suhu perairan yang sesuai dengan habitat hidup ikan. Sehingga segala aktivitas masih berjalan
normal. Hal ini didukung oleh pendapat Lesmana (2002) yang menyebutkan bahwa penurunan atau
kenaikan suhu yang terjadi perlahan-lahan tidak akan terlalu membahayakan ikan. Ikan. Berbeda halnya
ketika ikan diberi perlakuan suhu 40oC, 45oC bahkan perlakuan gradual. Ikan mengalami stress,
kemudian mengalami suffocation bahkan mati. Perisitwa ini dimungkinkan karena ikan stress ketika
menghadapi kondisi suhu perairan yang berbeda dengan kondisi habitat aslinya. Metabolisme tubuh
yang meningkat pula menyebabkan konsumsi oksigen juga semakin bertambah, sehingga DO menjadi
rendah. Hal ini didukung oleh pendapat Lesmana (2002) bahwa suhu makin naik maka reaksi kimia akan
makin cepat, sedangkan konsentrasi gas dalam air akan makin turun, termasuk oksigen. Akibatnya, ikan
akan membuat reaksi toleran atau tidak toleran (sakit sampai mati). Selain itu, diakibatkan karena ikan
stress, ketika kondisi perairan berubah ekstrim dan mendadak. Sehingga ikan akhirnya mati. Alasan ini
didukung oleh Arinardi (1989) dalam Mulyadi (1999) yang menggambarkan bahwa kenaikan
temperature 2-3oC akan mengakibatkan organisme perairan mengalami stress.

Ikan-ikan mengalami penurunan bobot tubuh ketika diberi perlakuan suhu rendah mungkin karena ikan
mengalami kekurangan oksigen. Ketika suhu lingkungan diturunkan, maka kerja fisiologis di dalam tubuh
ikan terganggu, detak jantungnya menurun, sehingga kemampuan Hb mengikat oksigen menurun,
akhirnya metabolisme tubuh terganggu. Akibatnya ikan tidak mampu bertahan hidup. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lesmana (2002), yang menyatakan bahwa pengaruh suhu rendah terhadap ikan
adalah rendahnya kemampuan mengambil oksigen. Kemampuan rendah ini disebabkan oleh
menurunnya detak jantung. Pengaruh lain ialah proses osmoregulasi terganggu. Pada suhu yang turun
mendadak akan terjadi degenerasi sel darah merah sehingga proses respirasi (pernapasan atau
pengambilan oksigen) terganggu.

Tingkah laku ikan yang tidak normal, bahkan mati ketika ditempakan di suhu air yang rendah akan
menyebabkan aktifitas fisiologis di dalam tubuh ikan terhambat. Aktifitas ikan menurun, ikan menjadi
tidak aktif bahkan tidak mau berenang. Daya tahan tubuh ikan menurun ketika suhu diturunkan
sehingga ikan pingsan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lesmana (2002) bahwa suhu rendah dapat
menyebabkan ikan tidak aktif, bergerombol, serta tidak mau berenang dan makan. Selain itu,
metabolisme dalam tubuh ikan tergantung pada suhu lingkungannya, termasuk kekebalan tubuhnya.
Namun ketika ikan diberi perlakuan denga suhu 20oC ikan tidak ada yang pingsan, hal ini dimungkinkan
karena ikan nila masih mampu mentolerir penurunan suhu tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat
Effendi (2001) yang menyatakan bahwa ada ikan yang mampu mentolerir perubahan lingkungan
tersebut, bahkan yang mendadak sekalipun, tetapi adapula yang tidak. Ikan diberi perlakuan gradual
pada saat suhu air diturunkan menjadi 5oC langsung menyebabkan ikan pingsan. Hal ini juga
dimungkinkan karena ikan mengalami stress. Hal ini sesuai dengan pendapat Cech (2005) dalam Cordova
(2008) yang menyebutkan bahwa perubahan suhu secara ekstrim dapat mematikan biota.

Brotonidjoyo, M.D. 2001. Zoologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

Anonim. 2011. http://www.duniakam pus.co.cc/11/. Diakses pada April 2013.

Arinardi, O. H. 1989. Pengaruh Curah Hujan Terhadap Pertumbuhan Fitoplankton di Teluk Jakarta Pada
Tahun 1978. dalam Penelitian Oseanologi Perairan Indonesia Buku I: Biologi, Geologi, Lingkungan &
Oseanologi. LIPI. Jakarta Cech (2005) dalam Cordova (2008)

Cahyono, Bambang. (2001). Budi Daya Ikan di Perairan Umum. Yogyakarta: Kanisius.

Djarijah, AS. 1995. Nila Merah Pembenihan dan Pembesaran Secara Intensif. Kanisius. Yogyakarta.
Effendie, M. I. 1997. Biologi perkanan. Yayasan Pustaka nusantara. Yogyakarta. 163 hal.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.
Jakarta.

Junaidi, Wawan. 2009. Media Pembelajaran: Definisi mortalitas. http://wawan-junaidi.blogspot.com.


Diakses pada April 2013.

Lesmana Darti S. 2002. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rukmana R.1997.Ikan Nila. Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius. Yogyakarta.

Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta. Bandung.

Suyanto, SR. 1994. Nila. penebar swadaya. jakarta.

Suyanto, A. 1998. Mammals of Flores. Dalam Herwint Simbolon (Ed.): The Natural Resources of Flores
Island, pp. 78-87. Research and Development Centre for biology, The Indonesian Institute of Sciences,
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai