Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA II

“ASKEP PADA ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS: NARAPIDANA”

OLEH:

KELOMPOK 7

AZRIATIWAHYU (18301006)
ENDANG NAIBAHO (18301011)
LUSI SEVIANI (18301015)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES PAYUNG NEGERI

PEKANBARU

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Sehingga penyusunan makalah ini dapat kami selesaikan.
Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Makalah Keperawatan Jiwa II yang berjudul
“Askep Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus: Narapidana”. Kami mengucapkan terima
kasih kepada dosen pengampun dan teman-teman program S-1 keperawatan Stikes Payung
Negeri Pekanbaru. Makalah ini belum sempurna. Kami harapkan kritik dan saran dari
pembaca.

Pekanbaru, Oktober 2020

Kelompok VII

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................3
1.3 Tujuan........................................................................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum.................................................................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Narapidana Atau Dipenjara......................................................................5
2.2 Masalah Kejiwaan Narapidana Yang Mungkin Muncul...........................................5
2.3 Faktor Yang Berkaitan Dengan Narapidana Atau Dipenjara.....................................8
2.4 Pengkajian Pada Anak Dengan Kubutuhan Khusus: Narapidana.............................10
2.5 Diagnosa Keperawatan Pada Anak Dengan Kubutuhan Khusus: Narapidana...........10
2.6 Intervensi Keperawatan Pada Anak Dengan Kubutuhan Khusus: Narapidana.........10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................14
3.2 Saran............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................15

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Peningkatan pertumbuhan penduduk di Indonesia saaat ini mengakibatkan
persaingan dalam dunia kerja semakin ketat, sehingga berdampak pada banyaknya
pengangguran. Berdasarkan data dari badan pusat statistik (2013), tingkat
pengangguran setiap bulan adalah sekita 5,92% dari jumlah angkatan kerja di Indonesia
yang mencapai 121,2 juta orang. Banyaknya pengangguran tersebut menyebabkan
beberapa dari mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan yang harus dipenuhi salah satunya adalah kebutuhan dasar yang dipenuhi
dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya yaitu kebutuhan untuk makan. Seseorang
dengan tingkat ekonomi menengah kebawah akan mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari. Tingkat ekonomi menengah kebawah
tersebut merupakan suatu hal yang mendasari perbuatan seseorang untuk memenuhi
dorongan sosial yang memerlukan dukungan finansial sehingga berpengaruh pada
kebutuhan hidup sehari-hari (Afrinanda, 2009).
Untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya demi meneruskan kebutuhan hidup, maka
mereka menghalalkan segala cara, seperti pencurian, pengeroyokan, dan pembunuhan.
Pelaku kejahatan pasti akan dijatuhi hukuman yang sesuai dengan berat atau ringannya
suatu pelanggaran yang dilakukan. Pelaku kejahatan yang telah menjalani persidangan
dan divonis hukuman pidana disebut dengan narapidana. Harsono (Siahaan, 2008)
mengatakan bahwa narapidana adalah seseorang yang telah dijatuhi vonis bersalah oleh
hokum dan harus menjalani hukuman atau sanksi, yang kemudian akan ditempatkan di
dalam sebuah bangunan yang disebut rutan, penjara atau lembaga pemasyarakatan.
Narapidana yang sedang menjalani hukuman pidana tidak hanya akan mengalami
hukuman secara fisik, tetapi juga mengalami hukuman secara psikologis seperti
kehilangan kebebasan dan kasih sayang dari pasangan, anak, maupun orang tuanya.
Frank (Siahaan, 2008) menambhakan bahwa dampak fisik dan psikologis yang dialami
narapidana dapat membuat narapidana merasakan perasaan tidak bermakna yang
ditandai dengan perasaan hampa, gersang, bosan dan penuh dengan keputusasaan.
Rahmawati (Shofia, 2009) melalui penelitiannya tentang kepercayaan diri
narapidana pasca hukuman pidana menyatakan bahwa pada dasarnya mantan narapidana
memiliki harga diri rendah dan konsep diri yang negative. Secara garis besar hal ini

3
disebabkan karena masyarakat cenderung menolak kehadiran mereka dalam kehidupan
yang normal. Penolakan masyarakat terhadap narapidana dianggap sebagai masalah
yang harus diwaspadai.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan penjabaran latar belakang diatas dapat disimpulkan rumusan masalah
adalah “Bagaimana Askep Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus: Narapidana?”
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menjelaskan Askep Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus: Narapidana
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk Mengetahui Pengertian Narapidana Atau Dipenjara
2. Untuk Mengetahui Masalah Kejiwaan Narapidana Yang Mungkin Muncu
3. Untuk Mengetahui Faktor Yang Berkaitan Dengan Narapidana Atau
Dipenjara
4. Untuk Mengetahui Pengkajian Pada Anak Dengan Kubutuhan Khusus:
Narapidana
5. Untuk MengetahuiDiagnosa Keperawatan Pada Anak Dengan Kubutuhan
Khusus: Narapidana
6. Untuk Mengetahui Intervensi Keperawatan Pada Anak Dengan Kubutuhan
Khusus: Narapidana
7. Untuk Mengetahui Implementasi Keperawatan Pada Anak Dengan
Kubutuhan Khusus: Narapidana
8. Untuk Mengetahui Evaluasi Keperawatan Pada Anak Dengan Kubutuhan
Khusus: Narapidana

4
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Narapidana Atau Dipenjara
Narapidana adalah orang-orang sedang menjalani saksi kurungan atau saksi
lainnya, menurut perundang-undangan. Pengertian narapidana menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani
hukuman karena tindak pidana) atau terhukum.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 1995 tentang
Permasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Permasyarakatan. Selanjutnya Dirjosworo (dalam Lubis
dkk, 2014) narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya hanya karena
melanggar norma hukum yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk menjalani
hukuman.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 (dalam
Lubis dkk, 2014) tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang
menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Pasal
1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 (dalam Soraya, 2013) tentang
Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan demikian,
pengertian narapidana adalah seseorang yang melakukan tindak kejahatan dan telah
dinyatakan bersalah oleh hakim di pengadilan serta dijatuhi hukuman penjara.
2.2 Masalah Kejiwaan Narapidana Yang Mungkin Muncul
Narapidana yang terkucilkan dari masyarakat umum, akan mengalami berbagai
masalah kejiwaan narapidana kemungkinan akan muncul, diantaranya:
1. Harga Diri Rendah dan Konsep Diri yang Negative
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap
diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri,
merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri
(Keliat, 1998). Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang
diri atau kemampuan diri yang negative, dapat secara langsung atau tidak
langsung di ekspresikan. Seseorang yang dikatakan mempunyai konsep diri
negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak

5
berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak
menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang
dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap
kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Akan ada dua pihak yang
bisa disalahkannya, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau
menyalahkan orang lain (Rini, J.F, 2002).
Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini :
a) Citra Tubuh (Body Image)
Citra tubuh (Body Image) adalah kumpulan dari sikap
individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya.
Termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang
ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi. Yang secara
berkesinambungan dimodifikasi dengan persepsi dan pengalaman
yang baru (Stuart & Sundeen, 1998).
b) Ideal Diri (Self Ideal)
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia
harus berperilaku sesuai dengan standar, aspirasi, tujuan atau nilai
personal tertentu (Stuart & Sundeen, 1998). Sering juga disebut
bahwa ideal diri sama dengan cita-cita, keinginan, harapan tentang
diri sendiri.
c) Identitas Diri (Self Identifity)
Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian
yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan,
konsistensi, dan keunikkan individu (Stuart & Sundeen, 1998).
Pembentukan identitas dimulai pada masa bayi dan terus
berlangsung sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama
pada masa remaja.
d) Peran Diri (Self Role)
Serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan
sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok
sosial. Peran yang diterapkan adalah peran dimana seseorang tidak
mempunyai pilihan. Peran yang diterima adalah peran yang terpilih
atau dipilih oleh individu (Stuart & Sundeen, 1998).
e) Harga Diri (Self Esteem)
6
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal
yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku
seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah
perasaan yang berakar dalam penerimaan diri tanpa syarat,
walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, tetap merasa sebagai
seorang yang penting dan berharga (Stuart & Sundeen, 1998).
2. Risiko Bunuh
Diri Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian. Bunuh diri adalah pikiran untuk menghilangkan
nyawa sendiri. Jadi bunuh diri adalah suatu tindakan agresif yang merusak
diri sendiri dengan mengemukakan rentang harapan-harapan putus asa,
sehingga menimbukan tindakan yang mengarah pada kematian.
Rentang Respon Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara
ekspresi orang yang penuh stress Perilaku bunuh diri berkembang dalam
beberapa rentang. Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima
oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku,
sedangkan respon maladaptif merupakan respon yang dilakukan individu
dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-
norma sosial dan budaya setempat.
Respon maladaptif antara lain:
a) Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis: Individu yang tidak berhasil
memecahkan masalah akan meninggalkan masalah, karena merasa
tidak mampu mengembangkan koping yang bermanfaat sudah tidak
berguna lagi, tidak mampu mengembangkan koping yang baru serta
yakin tidak ada yang membantu.
b) Kehilangan, ragu-ragu: Individu yang mempunyai cita-cita terlalu
tinggi dan tidak realistis akan merasa gagal dan kecewa jika cita-
citanya tidak tercapai. Misalnya: kehilangan pekerjaan dan
kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan merasa gagal dan
kecewa, rendah diri yang semua dapat berakhir dengan bunuh diri.
c) Depresi: Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang
ditandai dengan kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri
terjadi pada saat individu ke luar dari keadaan depresi berat.

7
d) Bunuh diri adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri
sendiri untuk mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping
terakhir individu untuk memecahkan masalah Yang dihadapi
2.3 Faktor Yang Berkaitan Dengan Narapidana Atau Dipenjara
a. Faktor ekonomi
1) Sistem ekonomi
Sistem ekonomi baru dengan produksi besar-besaran, persaingan bebas,
menghidupkan konsumsi dengan jalan periklanan, cara penjualan
modern dll, yaitu menimbulkan keinginan untuk memiliki barang dan
sekaligus mempersiapkan suatu dasar untuk kesempatan melakukan
penipuan-penipuan.
2) Pendapatan
Dalam keadaan kritis dengan banyak pengangguran dan gangguan
ekonomi nasional, upah para pekerja bukan lagi merupakan indeks
keadaan ekonomi pada umumnya. Maka dari itu perubahan-perubahan
harga pasar (market fluctuation) harus diperhatikan.
3) Pengangguran
Diantara faktr-faktor bik secara langsung atau tiak, memepengaruhi
terjadinya kriminalitas, terutama dalam wakt-waktu krisis,
pengangguran dianggap paling penting. Bekerja terlalu muda, tak ada
pengharapan maju, pengangguran berkala yang tetap, pengangguran
biasa, berpindahnya pekerja dari satu tempat ketempat lain, perubahan
gaji sehingga tidak mungkin membuat anggaran belanja, kurangnya
libur, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengangguran adalah faktor
yang paling penting.
b. Faktor mental
1) Agama
Kepercayaan hanya dapat berlaku sebagai suatu inti krimogemis bila
dihubungkan dengan pengertian dan perasaan moral yang lebih meresap
secara menyeluruh. Meskipun adanya faktor-faktor negatif, memang
merupakan fakta bahwa norma-norma etis yang secara teratur dajarkan
oleh bimbingan agama dan khususnya bersambung pada keyakinan
keagamaan yang sunggu, membangunkan secara khusus dorongan-

8
dorongan yang kuat untuk melawan kecenderungan-kecenderungan
kriminal.
2) Bacaan dan film
Sering orang beranggapan bahwa bacaan jelek merupakan faktor
krimogenik yang kuat, mulai dengan roman-roman dari abad ke-18,
lalau dengan cerita-cerita dan gambar-gambar erotis dan pornografi,
buku-buku picisan lain dan akhirnya cerita-cerita detektif dengan
penjahat sebagai pahlawannya, penuh dengan kejaadian berdarah.
Pengaruh krimogenis yang lebih langsung dari bacaan demikian adalah
gambaran suatu kejahatan tertentu dapat berpengaruh langsung dan
suatu cara teknis tertentu kemudian dapat dipraktekkan oleh sipembaca.
c. Faktor pribadi
1) Umur
Meskipun umur penting sebagai faktor penyebab kejahatan, baik secara
yuridis maupun kriminal sampai suatu batas tertentu berhubungan dengan
faktor-faktor seks/kelamin dan bangsa, tetapi faktor-faktor tersebut pada
akhirnya merupakan pengertian-pengertian netral bagi kriminologi. Artinya
hanya dalam kerjasamanya dengan faktor-faktor lingkungan mereka baru
memperoleh arti bagi kriminologi. Kecen derungan untuk berbuat antisosial
bertambah selama masih sekolah dan memuncak antara umur 20 sampai 25,
menurun perlahan-lahan sampai umur 40, lalu meluncur dengan cepat untuk
berhenti sama sekali pada hari tua. Kurva atau garisnya tidak berbeda pada
garis aktivitas lain yang tergantung daru irama kehidupan manusia.
2) Alkohol
Dianggap faktor penting dalammengakibatkan kriminalitas, seperti
pelanggaran lalu lintas, kejahatan dilakuakan dengan kekerasan, pengemis,
kejahatan seks, dan penimbulan pembakaran, walaupun alkohol merupakan
tanda tanya, sampai berapa jauh pengaruhnya.
3) Perang
Memang sebagai akibat perang dan karena keadaan lingkungan, seringkali
terjadi bahwa orang yang tadinya patuh terhadap hukum, melakukan
kriminalitas. Kesimpulannya yaitu sesudah perang, ada krisis-krisis,
perpindahan rakyat kelingkungan lain, terjadi inflasi dan revolusi ekonomi.
Disamping kemungkinan orang jadi kasar karena perang, kepemilikan
9
senjata api menambah bahaya akan terjadinya perbuatan-perbuatan
kriminal.
2.4 Pengkajian Pada Anak Dengan Kubutuhan Khusus: Narapidana
a. Identitas klien meliputi Nama, umur, jenis kelamin, tanggal dirawat, tanggal
pengkajian, nomor rekam medis.
b. Faktor predisposisi merupakan faktor pendukung yang meliputi faktor biologis,
faktor psikologis, sosial budaya, dan faktor genetic.
c. Faktor presipitasi merupakan faktor pencetus yang meliputi sikap persepsi
merasa tidak mampu, putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal, merasa
malang, kehilangan, rendah diri, perilaku agresif, kekerasan, ketidak adekuatan
pengobatan dan penanganan gejala stress pencetus pada umunya mencakup
kejadian kehidupan yang penuh dengan stress seperti kehilangan yang
mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan
menyebabkan ansietas.
d. Psikososial yang terdiri dari genogram, konsep diri, hubungan social dan
spiritual.
e. Status mental yang terdiri dari penampilan, pembicaraan, aktifitas motorik,
alam perasaan, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat kosentrasi dan berhitung,
kemampuan penilaian, dan daya tilik diri.
f. Mekanisme koping: koping yang dimiliki klien baik adaptif maupun
maladaptive.
g. Aspek medik yang terdiri dari diagnosa medis dan terapi medis.
2.5 Diagnosa Keperawatan Pada Anak Dengan Kubutuhan Khusus: Narapidana
Diagnosa Keperawatan Berdasarkan data diatas, yang didapat melalui
observasi, wawancara atau pemeriksaan fisik bahkan melalui sumber sekunder,
maka perawat dapat menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien sebagai
berikut:
a. Risiko perilaku kekerasan
b. Harga Diri Rendah b.d Koping Individu Tidak Efektif
c. Isolasi Sosial
d. Defisit Perawatan Diri
2.6 Intervensi Keperawatan Pada Anak Dengan Kubutuhan Khusus: Narapidana
1. Dignosa keperawatan: Risiko perilaku kekerasan
10
Tujuan: klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Kriteria hasil:
- Klien mau membalas salam
- Klien mau berjabat tangan
- Klien mau menyebutkan nama
- Klien mau tersenyum
- Klien mau mengetahui nama perawat
Intervensi:
- Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi
- Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
- Bicara dengan sikap tenang, rileks, dan tidak menantang.
- Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
- Beri rasa aman dengan sikap empati.
- Lakukan kontak singkat tapi sering.
Implementasi:
- Bina hubungan saling percaya dengan: menyapa, memperkenalkan diri,
menanyakan nama, menunjukkan rasa empati dan menanyakan masalah
yang dihadapi.
- Bina hubungan terapeutik dengan: pendekatan dengan baik,
mengidentifikasi perasaan dan reaksi perawatan diri sendiri,
menyediakan waktu untuk bina hubungan, memberikan kesempatan
untuk merespon.
Evaluasi:
- Klien dapat membina hubngan saling percaya
- Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
- Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
- Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
- Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
2. Diagnosa keperawatan: Harga Diri Rendah b.d Koping Individu Tidak Efektif
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam Klien dapat
memiliki koping yang efektif.
Kriteria Hasil:
- Klien mengungkapkan perasaanya secara bebas.
11
- Klien dapat mengidentifikasi koping dan perilaku yang berkaitan
dengan kejadian yang dihadapi.
- Klien memodifikasi pola kognitif yang negatif.
- Klien berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkenaan
dengan perawatan dirinya.
- Klien termotivasi untuk aktif mencapai tujuan yang realistik.
Intervensi:
O:
- Identifikasi pemikiran negatif dan bantu untuk menurunkan melalui
interupsi atau substitusi.
- Identifikasi ketetapan persepsi klien yang tepat tentang penyimpangan
dan pendapatnya yang tidak rasional.
- Identifikasi koping yang pernah dipakai.
M:
- Bantu klien untuk meningkatkan pemikiran yang positif.
- Sediakan kertas dan alat tulis jika klien belum mau bicara.
- Bantu klien untuk menyadari nilai yang dimilikinya dan perubahan yang
terjadi.
- Bantu klien untuk menetapkan tujuan yang realistik. Fokuskan kegiatan
pada saat sekarang bukan pada masa lalu.
- Bantu klien untuk mengidentifikasi area situasi kehidupan yang dapat
dikontrolnya.
E:
- Motivasi klien untuk mempertahankan kegiatan tersebut.
- Motivasi klien untuk membuat jadwal aktivitas perawatan diri.
- Dorong untuk berpartisipasi dalam aktivitas tersebut dan berikan
penguatan positif untuk berpartisipasi dan pencapaiannya.
- Motivasi keluarga untuk berperan aktif dalam membantu klien
menurunkan perasaan tidak bersalah.
K:
- Diskusikan dengan klien alternatif koping yang tepat bagi klien.
- Diskusikan tentang masalah yang dihadapi klien.
- Libatkan klien dalam menetapkan tujuan perawatan yang ingin dicapai.
Implementasi
12
- Bina hubungan saling percaya dengan: menyapa, memperkenalkan diri,
menanyakan nama, menunjukkan rasa empati dan menanyakan masalah
yang dihadapi.
- Bina hubungan terapeutik dengan: pendekatan dengan baik,
mengidentifikasi perasaan dan reaksi perawatan diri sendiri,
menyediakan waktu untuk bina hubungan, memberikan kesempatan
untuk merespon.
- Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki dengan:
membantu mengidentifikasi dengan aspek yang positif, mendorong
berpenilaian positif, membantu mengungkapkan perasaannya.
Evaluasi
- Klien menjawab salam dan mengatakan selamat pagi, menyebutkan
nama dan alamat
- Klien mau berjabat tangan, duduk berdampingan dengan perawat,
mengutarakan masalahanya.
- Klien mampu merespon tindakan perawat
- Klien mengatakan cara penilaian positif tidak boleh berfikir jelek
terhadap orang lain, sopan santun dan ramah yang diutamakan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian narapidana
adalah seseorang yang melakukan tindak kejahatan dan telah dinyatakan bersalah
oleh hakim di pengadilan serta dijatuhi hukuman penjara. Karena terkucilkan dari

13
masyarakat umum, berbagai masalah kejiwaan narapidana kemungkinan akan
muncul, diantaranya: harga diri rendah dan konsep diri yang negative, lalu risiko
bunuh diri. Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negative, dapat secara langsung atau tidak langsung
diekspresikan.
Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini : citra tubuh (Body
Image), ideal Diri (Self Ideal), identitas Diri (Self Identifity), peran Diri (Self
Role), harga diri (Self Esteem). Harga diri rendah sering disebabkan karena
adanya koping individu yang tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik
positif, kurangnya system pendukung kemunduran perkembangan ego,
pengulangan umpan balik yang negatif, difungsi system keluarga serta terfiksasi
pada tahap perkembangan awal.
3.2 Saran
Masyarakat diharapkan menghilang pendangan buruk terhadap narapidana
yang telah dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan, serta mampu menerima
dengan baik dan memperlakuan mantan narapidana dengan baik didalam
lingkungan agar mantan narapidana merasa diterima oleh masyarakat dan mantan
narapidana tersebut tidak akan mengulangi atau melanggar hukum kembali.
Pemerintah Pemerintah di harapkan memberikan bantuan program BPJS
kesehatan supaya kesehatan narapidana di lapas dapat di jamin atau mendapat
bantuan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Mareta, J. Rehabilitasi dalam Upaya Derradikalisasi Narapidana Terorisme.


Masalah-masalah Hukum, 47(4), 338-356.

https://www.scribd.com/document/327541806/askep-narapidana-1 dikutip pada 16


oktober 2019.

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt598d737413c6a/penggolongan
- penempatan-narapidana-dalam-satu-sel-lapas/dikutip pada 16 Oktober 2019.

https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/download/587/526 dikutip pada 16


Oktober 2019

15

Anda mungkin juga menyukai