Anda di halaman 1dari 115

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

TB Paru atau Tuberkulosis Paru merupakan salah satu penyakit

menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis.

Bakteri tersebut dapat menyebar lewat udara yang bersumber dari

percikan dahak seseorang yang sudah terdiagnosa TB Paru. Bakteri

tersebut menyerang sistem paru-paru sehingga pada bagian alveolus

terdapat bintil-bintil atau peradangan pada dinding alveolus dan akan

mengecil [ CITATION Wid17 \l 1033 ]. Adapun gejala TB Paru yang dapat

timbul sesuai dengan yang dijelaskan oleh Pusat Data dan Informasi

Kemenkes RI (2018), diantaranya berupa batuk berdahak selama 2

minggu atau lebih, disertai dengan badan lemas, nafsu makan menurun,

berat badan menurun, berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik,

serta timbul demam lebih dari satu bulan[ CITATION Kem19 \l 1033 ].

Didapatkan dari beberapa sumber data menjelaskan bahwa angka

kejadian TB Paru cukup tinggi. Tidak hanya angka kejadian saja yang

yang cukup tinggi, angka kematian akibat TB Paru ini pun terhitung

sangat banyak. Didapat dari hasil data WHO (2019), hasil penelitian yang

dilakukan pada tahun 2018, Indonesia menjadi salah satu Negara dengan

insiden kasus TB Paru tertinggi, dan Negara Indonesia menempati urutan

ketiga tetinggi setelah Negara India dan Cina. Laporan WHO dalam

Global Tuberculosis Report 2017, pada tahun 2016 diperkirakan 1,3 juta

orang meninggalakibat TB[ CITATION Kem19 \l 1033 ]. Sebagian besar

diperkirakan terjadi di wilayah Asia Tenggara (45%), Afrika (25%), dan

1
wilayah Pasifik Barat (17%). Proporsi yang lebih kecil terjadi di wilayah

Mediterania Timur (7%), Eropa (3%), dan Amerika (3%). Lima Negara

teratas, dengan 56% perkiraan kasus TB terjadi, termasuk negara

Indonesia. Sesuai dengan laporan WHO 2019, pada tahun 2018 terdapat

11,1 juta kasus insiden TB paru yang setara dengan 130 kasus per

100.000 penduduk. Adapun proporsi persentase persebaran kejadian TB

Paru di dunia yaitu sebanyak 27% terjadi di India, 9% terjadi di Cina, 8%

terjadi di Indonesia, Filipina sebanyak 6%, Pakistan sebanyak 5%, Nigeria

dan Bangladesh sebanyak 4% dan Afrika Selatan sebanyak 3%.

Secara global kasus TB Paru menjadi kasus yang menyita

perhatian dunia, bukan hanya sebagai kasus di Indonesia saja. Sejalan

dengan hasil yang dilakukan Kemenkes RI (2018), bahwa dari hasil

penelitian yang dilakukan didapatkan data bahwa TB Paru tersebut

menjadi penyakit dengan kasus kematian terbanyak kedua di

Indonesia[ CITATION Kem19 \l 1033 ]. Negara Indonesia terdiri dari

beberapa pulau, dan beberapa provinsi. Setiap provinsi memiliki angka

kejadian TB Paru. Termasuk provinsi yang menjadi tempat tinggal peneliti

yaitu provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat tidak lepas dengan kasus

kejadian TB Paru, tehitung cukup banyak yang terjadi di Provinsi jawa

Barat. Sesuai dengan hasil penelitian dari Kemenkes RI (2016),

didapatkan hasil data sebanyak 52.328 kejadian, dengan rincian kasus

kejadian berdasarkan jenis kelamin yaitu 29.429 kasus yang terjadi pada

laki-laki dan 22.899 kasus yang terjadi pada perempuan[ CITATION

Dep16 \l 1033 ].

2
Tabel 1.1
10 (Sepuluh) Diagnosa Medis Terbanyak di Rawat Jalan RSUD Cimacan

Tahun 2017 Tahun 2018 Tahun 2019


No Diagnosa Medis No Diagnosa Medis No Diagnosa Medis
1 Dental caries, 1 Dental caries, 1 Dental caries,
unspecified unspecified unspecified
2 Necrosis of pulp 2 Tuberculosis of lung, 2 Tuberculosis of lung,
confirmed by sputum confirmed by sputum
microscopy with or microscopy with or
without culture without culture
3 Supervision of other 3 Necrosis of pulp 3 Necrosis of pulp
normal pregnancy
4 Tuberculosis of lung, 4 Pulpitis 4 Pulpitis
confirmed by sputum
microscopy with or
without culture
5 Supervision of other 5 Care and examination 5 Care and examination
high-risk pregnancies immediately after immediately after
delivery delivery
6 Pulpitis 6 Disturbances in tooth 6 Disturbances in tooth
eruption eruption
7 Retained dental root 7 Retained dental root 7 Retained dental root
8 Attention to surgical 8 Supervision of other 8 Supervision of other
dressings and sutures high-risk pregnancies high-risk pregnancies
9 Disturbances in tooth 9 Periapical abscess 9 Periapical abscess
eruption without sinus without sinus
10 Diabetes mellitus 10 Chronic periodontitis 10 Chronic periodontitis
without complication

Sumber : Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) ICD 10

Berdasarkan Tabel 1.1, TB Paru menjadi salah satu Diagnosa

Medis paling banyak ditemukan di Rawat Jalan RSUD Cimacan dengan

urutan keempat pada tahun 2017. Pada tahun 2018, jumlah Diagnosa

Medis TB Paru yang ditemukan di Rawat Jalan RSUD Cimacan

meningkat menjadi urutan kedua. Pada tahun 2019, Diagnosa Medis TB

Paru tetap pada urutan kedua dari sepuluh Diagnosa Medis terbanyak

yang ditemukan di Rawat Jalan RSUD Cimacan.

3
Tabel 1.2
Data Pasien TB Paru Dengan Pengobatan TB Paru di Poli DOTS RSUD
Cimacan

Tahun
Bulan
2017 2018 2019
Januari 18 14 15
Februari 21 22 13
Maret 21 18 21
April 16 27 20
Mei 10 32 17
Juni 18 18 8
Juli 14 32 10
Agustus 18 16 15
September 18 18 5
Oktober 23 30 10
November 20 10 12
Desember 15 15 6
JUMLAH 212 252 152

Sumber : Catatan Tahuan Poli DOTS RSUD Cimacan

Berdasarkan Tabel 1.2, pada tahun 2017 ditemukan 212 pasien

TB Paru yang melakukan kunjungan sekaligus melakukan pengobatan TB

Paru rutin setiap bulan di DOTS RSUD Cimacan. Terjadi peningkatan

temuan jumlah kasus TB Paru, pada tahun 2019 menjadi 252 pasien TB

Paru yang melakukan kunjungan dan melakukan pengobatan rutin setiap

bulan di Poli DOTS RSUD Cimacan. Pada tahun 2019 terjadi penurunan

kasus TB Paru menjadi 152 pasien yang melakukan kunjungan dan

melakukan pengobatan rutin setiap bulan di Poli DOTS RSUD Cimacan.

Hal tersebut menjadi dikarenakan bukan semata-mata karena penurunan

kasus TB Paru di Poli DOTS RSUD Cimacan, dikarenakan regulasi

terbaru yang dikeluarkan oleh pihak BPJS Kesehatan yang mana setiap

pasien TB Paru yang didiagnosa TB Paru tanpa ada komplikasi yang

4
menggunakan BPJS Kesehatan dikembalikan kembali pengobatannya TB

Paru di Puskesmas terdekat dengan tempat tinggal. Hal tersebut

berdampak pada jumlah kinjungan dan pengobatan rutin di Poli DOTS

RSUD Cimacan.

Tabel 1.3
Data Pasien Putus Obat TB Paru di Poli DOTS RSUD Cimacan

Tahun
Bulan
2017 2018 2019
Januari 1 4 0
Februari 3 5 1
Maret 8 5 0
April 1 10 0
Mei 2 4 0
Juni 3 6 0
Juli 5 4 0
Agustus 2 4 2
September 2 4 0
Oktober - 4 0
November - 2 0
Desember 4 - 0
JUMLAH 31 52 3
Sumber : Catatan Tahuan Poli DOTS RSUD Cimacan

Berdasarkan Tabel 1.3, didapatkan data pasien yang mengalami

putus obat di Poli DOTS RSUD Cimacan tahun 2017 sebanyak 31 pasien

dan pada tahun 2018 terlihat terjadi peningkatan data pasien yang

mengalami putus obat TB yaitu menjadi 52 pasien. Pada tahun 2019,

jumlah putus obat di Poli RSUD Cimacan tercatat 3 pasien.

Dari angka kejadian TB Paru yang terjadi di wilayah seluruh

Indonesia, menjadikan pekerjaan rumah bagi pemerintah khususnya bagi

Kementerian Kesehatan agar dapat menurunkan angka kejadian TB

Paru. Pemerintah dan dalam hal ini yang berkaitan dengan kesehatan

yaitu Kementrian Kesehatan telah membuat program-program untuk

menekan angka kejadian TB Paru. Kementrian Kesehatan RI telah

menjalankan pengendalian kasus kejadian TB Paru. Kementrian

5
Kesehatan RI (2017), menjelaskan mengenai pengobatan TB Paru yang

menjadi strategi utama dalam pengendalian kasus kejadian TB Paru,

yang mana dalam strategi tersebut dapat memutuskan mata rantai

penularan TB Paru[ CITATION Dep17 \l 1033 ]. Diharapkan seluruh instansi

kesehatan di Indonesia khususnya dapat bekerja sama dan sejalan dalam

menjalankan strategi pengendalian TB Paru. Menurut Depkes RI (2016),

menjelaskan bahwa pengendalian TB Paru sudah dilakukan secara

Nasional yang dimulai dari tingkat pelayanan kesehatan primer yaitu

puskesmas[ CITATION Dep16 \l 1033 ]. Sejak tahun 2000 strategi

pengendalian TB di fasilitas pelayanan kesehatan telah dilakukan sampai

sekarang melalui strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-

Course). Lebih awal lagi, pengendalian TB Paru melalui strategi DOTS

telah direkomendasikan oleh WHO sejak tahun 1995. Dimana didalamnya

strategi tersebut memiliki beberapa komponen, salah satu komponennya

ialah dalam hal system pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.

Dimana OAT (Obat Anti TB) menjadi salah satu pengobatan yang

dianjurkan bagi penderita TB Paru. Penanggulangan TB Paru secara

Nasional dengan OAT dapat diberikan kepada penderita TB paru secara

gratis, dimulai dari tingkat pelayanan kesehatan primer sampai tingkat

pelayanan kesehatan di rumah sakit. Selain itu pengobatan TB Paru

dengan OAT memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 6-8 bulan

tergantung dari kondisi TB Paru yang diderita. Untuk itu setiap penderita

TB Paru perlu menumbuhkan kesadaran kepatuhan minum OAT secara

rutin dan tanpa putus setiap harinya. Sehingga nantinya tingkat

kesembuhan penderita TB Paru meningkat.

6
Petugas atau tenaga kesehatan perlu mengawasi pengobatan

yang dilakukan oleh penderita, dikarenakan hal tersebut akan menjadikan

angka keberhasilan pengobatan menjadi lebih baik. Menurut Kemenkes

RI (2018), menjelaskan sangat penting sekali bagi penderita TB Paru

untuk menyelesaikan program pengobatan tersebut. Segala sesuatu yang

harus dilakukan dalam mencapai tujuan pengobatan, salah satunya

adalah dengan kepatuhan akan minum obat secara benar dan rutin setiap

harinya[ CITATION Kem19 \l 1033 ]. Tetapi pada kenyataannya kasus TB

Paru masih terhitung cukup banyak, padahal pengendalian TB dengan

pengobatan OAT telah dilakukan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh

ketidakberhasilan pengobatan OAT tersebut. Tidak dapat dipungkiri

banyak penderita yang pada akhirnya tidak menyelesaikan pengobatan

TB Paru. Adapun salah satu penyebab utama dari ketidakberhasilan

pengobatan ialah dikarenakan penderita TB paru tidak patuh dalam

berobat. Murtiwi (2006, dalam Rahayu (2019:62)) menjelaskan bahwa

masalah kepatuhan tersebut harus segera diatasi, karena menyelesaikan

program pengobatan TB Paru merupakan prioritas yang sangat

penting[ CITATION Mar06 \l 1033 ]. Selain itu Perdana, dkk (2008 dalam

Rahayu (2019:62)) menyimpulkan bahwa jenis pekerjaan, penghasilan,

dukungan keluarga, tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap, jarak

fasyankes, peran PMO dan penyuluhan petugas menjadi beberapa faktor

yang berhubungan ddengan kepatuhan berobat pada penderita TB

Paru[ CITATION Per08 \l 1033 ].

Adapun beberapa penelitian yang terkait dengan faktor-faktor

yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan TB Paru, diantaranya

7
adalah penelitian yang dilakukan Suryadi, dkk dalam jurnalnya yang

berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat

Penderita TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Siko Kota Ternate”

(2019) menyimpulkan bahwa factor pengetahuan, efek samping OAT,

peran PMO. Dan peran petugas TB berhubungan dengan kepatuhan

berobat penderita TB Paru. Peneliti lain yang telah menerbitkan lewat

jurnalnya ialah Berliana, dkk (2020), yang mengambil judul penelitian

“Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Dengan Kepatuhan Minum Obat

Penderita TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Nipah Panjang” yang

menyimpulkan bahwa memberikan konseling dan memberikan

pemahaman kepada penderita TB Paru tentang penyakit TB Paru yang

mereka derita sehingga penderita memiliki pemahaman yang baik dan

dapat meningkatkan motivasi dalam kesembuhan penyakitnya terutama

kepatuhan minum obat.

Menurut Nurihsan (2007:20, dalam Simatupang (2019)),

menjelaskan bahwa konseling merupakan hubungan tatap muka yang

bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian

kesempatan dari konselor kepada klien. Pendapat lain mengatakan

bahwa konseling adalah upaya membantu individu melalui proses

interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan residen, agar residen

mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan

dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang telah diyakininya,

sehingga residen atau klien merasakan kebahagiaan dan efektif dalam

perilakunya (Simatupang, 2019). Konseling memiliki tahapan-tahapan

tertentu yang dimana tiap tahapan tersebut akan saling berhubungan satu

8
sama lain, sehingga akan menjadi proses konseling yang efektif dan

efisien. Diharapkan dengan konseling, penyebab utama ketidakberhasilan

pengobatan TB Paru tersebut dalam diatasi.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik melakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Metode

Konseling dengan Media Booklet Terhadap Kepatuhan Pasien Dalam

Pengobatan TB Paru Di Poli DOTS RSUD Cimacan Tahun 2020.”

B. Rumusan Masalah

“Bagaimana Pengaruh Pendidikan Kesehatan Metode Konseling dengan

Media Booklet Terhadap Kepatuhan Pasien Dalam Pengobatan TB Paru

Di Poli DOTS RSUD Cimacan?”

C. Tujuan

a. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh

pendidikan kesehatan metode konseling dengan media booklet

terhadap kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru di Poli

DOTS RSUD Cimacan.

b. Tujuan Khusus

Tujuan khususnya adalah:

1. Mengidentifikasi kepatuhan pasien dalam pengobatan

TB Paru sebelum diberikan pendidikan kesehatan

metode konseling dengan media booklet di Poli DOTS

RSUD Cimacan.

9
2. Mengidentifikasi kepatuhan pasien dalam pengobatan

TB Paru setelah diberikan pendidikan kesehatan

metode konseling dengan media booklet di Poli DOTS

RSUD Cimacan.

3. Untuk mengidentifikasi pengaruh pendidikan kesehatan

metode konseling dengan media booklet terhadap

kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru di Poli

DOTS RSUD Cimacan.

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Dapat dijadikan sumber acuan atau referensi dalam hal sistem

pendekatan bagi pasien dengan pengobatan yang berkala/rutin dan

sebagai proses pendekatan melalui intervensi-intervensi keperawatan

yang sesuai dengan kebutuhan penderita TB Paru yang sedang

berobat, dimananya nantinya akan terwujud tingkat kepatuhan dalam

pengobatannya.

b. Manfaat Praktik

1. Bagi Institusi Pendidikan (STIKes Budi Luhur Cimahi)

Dapat dijadikan sebagai salah satu sumber wawasan dan ilmu

pengetahuan yang kedepannya dapat dimasukan ke dalam materi

silabus mata kuliah yang mengangkat materi tentang motivasi.

2. Bagi Peneliti

Dijadikan digunakan sebagai acuan referensi peneliti dalam

meningkatkan motivasi pengobatan, khususnya pada pasien TB

10
Paru yang melakukan pengobatan agar dapat menjalannya dengan

rutin sesuai dengan intruksi pengobatannya.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Dapat digunakan sebagai perbandingan dalam meneliti sistem

pendekatan pasien dalam meningkatkan kepatuhan berobat rutin

dan memiliki waktu yang lama dalam proses pengobatannya.

4. Bagi Institusi Kesehatan (Rumah Sakit Umum Daerah Cimacan)

Pihak institusi kesehatan (Rumah Sakit) dapat menerapkan sistem

pelayanan baik terhadap pelayanan bagi penderita TB Paru yang

rutin setiap bulannya untuk berobat.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan Kesehatan

a. Pengertian Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan dalam arti pendidikan. secara

umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk

mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau

masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang

diharapkan oleh pelaku pendidikan atau promosi kesehatan.

Dan batasan ini tersirat unsure-unsur input (sasaran dan

pendidik dari pendidikan), proses (upaya yang direncanakan

untuk mempengaruhi orang lain) dan output (melakukan

apa yang diharapkan). [ CITATION Not12 \l 1033 ]Hasil yang

diharapkan dari suatu promosi atau pendidikan kesehatan

adalah perilaku kesehatan, atau perilaku untuk memelihara

dan meningkatkan kesehatan yang kondusif oleh sasaran

dari promosi kesehatan. (Notoadmojo, 2012)

b. Tujuan Pendidikan Kesehatan

Promosi kesehatan mempengaruhi 3 faktor penyebab

terbentuknya perilaku tersebut menurut Notoadmojo (2012)

yaitu :[ CITATION Not12 \l 1033 ]

12
1. Promosi kesehatan dalam faktor-faktor predisposisi

Promosi kesehatan bertujuan untuk mengunggah

kesadaran, memberikan atau meningkatkan pengetahuan

masyarakat tentang pemeliharaan dan penigkatan

kesehatan bagi dirinya sendiri, keluarganya

maupun masyarakatnya. Disamping itu, dalam konteks

promosi kesehatan juga memberikan pengertian tentang

tradisi, kepercayaan masyarakat dan sebagainya, baik

yang merugikan maupun yang menguntungkan

kesehatan. Bentuk promosi ini dilakukan dengan

penyuluhan kesehatan, pameran kesehatan, iklan-iklan

layanan kesehatan, billboard, dan sebagainya.

2. Promosi kesehatan dalam faktor-faktor enabling (penguat)

Bentuk promosi kesehatan ini dilakukan agar

masyarakat dapat memberdayakan masyarakat agar

mampu mengadakan sarana dan prasarana kesehatan

dengan cara memberikan kemampuan dengan cara

bantuan teknik, memberikan arahan, dan cara-cara

mencari dana untuk pengadaan sarana dan prasarana.

3. Promosi kesehatan dalam faktor reinforcing (pemungkin)

Promosi kesehatan pada faktor ini bermaksud untuk

mengadakan pelatihan bagi tokoh agama, tokoh

masyarakat, dan petugas kesehatan sendiri dengan

tujuan agar sikap dan perilaku petugas dapat menjadi

13
teladan, contoh atau acuan bagi masyarakat tentang hidup

sehat.

c. Faktor – faktor yang mempengaruhi pendidikan kesehatan

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar pendidikan

kesehatan dapat mencapai sasaran (Saragih, 2010) yaitu :

1. Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat mempengaruhi cara pandang

seseorang terhadap informasi baru yang diterimanya.

Maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikannya, semakin mudah seseorang menerima

informasi yang didapatnya.

2. Tingkat Sosial Ekonomi

Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi seseorang,

semakin mudah pula dalam menerima informasi baru.

3. Adat Istiadat

Masyarakat kita masih sangat menghargai dan

menganggap adat istiadat sebagai sesuatu yang tidak

boleh diabaikan.

4. Kepercayaan Masyarakat

Masyarakat lebih memperhatikan informasi yang

disampaikan oleh orang-orang yang sudah mereka

kenal, karena sudah ada kepercayaan masyarakat

dengan penyampai informasi.

5. Ketersediaan waktu di masyarakat

14
Waktu penyampaian informasi harus memperhatikan

tingkat aktifitas masyarakat untuk menjamin tingkat

kehadiran masyarakat dalam penyuluhan.

d. Metode Pendidikan Kesehatan

Menurut Notoadmojo (2012), berdasarkan pendekatan

sasaran yang ingin dicapai, penggolongan metode pendidikan

ada 3 (tiga) yaitu:[ CITATION Not12 \l 1033 ]

1. Metode berdasarkan pendekatan perorangan

Metode ini bersifat individual dan biasanya digunakan

untuk membina perilaku baru, atau membina seorang

yang mulai tertarik pada suatu perubahan perilaku

atau inovasi. Dasar digunakannya pendekatan

individual ini karena setiap orang mempunyai masalah

atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan

penerimaan atau perilaku baru tersebut. Ada 2 bentuk

pendekatannya yaitu :

1) Bimbingan dan penyuluhan (Guidance and

Counceling)

2) Wawancara

2. Metode berdasarkan pendekatan kelompok

Penyuluh berhubungan dengan sasaran secara

kelompok. Dalam penyampaian promosi kesehatan

dengan metode ini kita perlu mempertimbangkan

besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan

15
formal dari sasaran. Ada 2 jenis tergantung besarnya

kelompok, yaitu:

1) Kelompok besar

2) Kelompok kecil

3. Metode berdasarkan pendekatan massa

Metode pendekatan massa ini cocok untuk

mengkomunikasikan pesan- pesan kesehatan yang

ditujukan kepada masyarakat. Sehingga sasaran dari

metode ini bersifat umum, dalam arti tidak membedakan

golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status social

ekonomi, tingkat pendidikan, dan sebagainya, sehingga

pesan-pesan kesehatan yang ingin disampaikan harus

dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh

massa.

e. Media Pendidikan Kesehatan

Media sebagai alat bantu menyampaikan pesan-pesan

kesehatan. Alat-alat bantu tersebut mempunyai fungsi sebagai

berikut (Notoadmojo, 2012) :

1. Menimbulkan minat sasaran pendidikan

2. Mencapai sasaran yang lebih banyak

3. Membantu dalam mengatasi banyak hambatan dalam

pemahaman

4. Menstimulasi sasaran pendidikan untuk meneruskan

pesan –pesan yang diterima oran lain

16
5. Mempermudah penyampaian bahan atau informasi

kesehatan

6. Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran/

masyarakat

7. Mendorong keinginan orang untuk mengetahui,

kemudian lebih mendalami, dan akhirnya mendapatkan

pengertian yang lebih baik

8. Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh

Dengan kata lain media ini memiliki beberapa tujuan yaitu

1) Tujuan yang akan dicapai

a) Menanamkan pengetahuan/pengertian, pendapat

dan konsep- konsep

b) Mengubah sikap dan persepsi

c) Menanamkan perilaku/kebiasaan yang baru

b. Tujuan penggunaan alat bantu

1) Sebagai alat bantu dalam

latihan/penataran/pendidikan

2) Untuk menimbulkan perhatian terhadap suatu

masalah

3) Untuk mengingatkan suatu pesan/informasi

4) Untuk menjelaskan fakta-fakta, prosedur, tindakan

Ada beberapa bentuk media penyuluhan antara lain (Notoadmojo,

2012):

17
1. Berdasarkan stimulasi indra

a) Alat bantu lihat (visual aid) yang berguna

dalam membantu menstimulasi indra penglihatan

b) Alat bantu dengar (audio aids) yaitu alat yang

dapat membantu untuk menstimulasi indra pendengar

pada waktu penyampaian bahan

pendidikan/pengajaran

c) Alat bantu lihat-dengar (audio visual aids)

2. Berdasarkan pembuatannya dan penggunaannya

a) Alat peraga atau media yang rumit, seperti film, film

strip, slide, dan sebagainya yang memerlukan listrik

dan proyektor

b) Alat peraga sederhana, yang mudah dibuat sendiri

dengan bahan- bahan setempat

3. Berdasarkan fungsinya sebagai penyalur media kesehatan

a) Media Cetak

a) Leaflet

Merupakan bentuk penyampaian

informasi kesehatan melalui lembaran yang

dilipat. Keuntungan menggunakan media ini

antara lain: sasaran dapat menyesuaikan dan

belajar mandiri serta praktis karena mengurangi

kebutuhan mencatat, sasaran dapat melihat

isinya disaat santai dan sangat ekonomis,

18
berbagai informasi dapat diberikan atau dibaca

oleh anggota kelompok sasaran, sehingga bisa

didiskusikan, dapat memberikan informasi yang

detail yang mana tidak diberikan secara lisan,

mudah dibuat, diperbanyak dan diperbaiki

serta mudah disesuaikan dengan kelompok

sasaran.

Sementara itu ada beberapa kelemahan

dari leaflet yaitu : tidak cocok untuk sasaran

individu per individu, tidak tahan lama dan mudah

hilang, leaflet akan menjadi percuma jika

sasaran tidak diikutsertakan secara aktif, serta

perlu proses penggandaan yang baik. (Lucie,

2005)

b) Booklet

Booklet adalah suatu media untuk

menyampaikan pesan-pesan kesehatan dalam

bentuk tulisan dan gambar. Booklet sebagai

saluran, alat bantu, sarana dan sumber daya

pendukungnya untuk menyampaikan pesan

harus menyesuaikan dengan isi materi yang

akan disampaikan.

Menurut Kemm dan Close dalam Aini

(2010) booklet memiliki beberapa kelebihan yaitu:

19
1) Dapat dipelajari setiap saat, karena disain

berbentuk buku.

2) Memuat informasi relatif lebih banyak

dibandingkan dengan poster.

Menurut Ewles dalam Aini (2010), media

booklet memiliki keunggulan sebagai berikut :

[ CITATION Ari15 \l 1033 ]

1) Klien dapat menyesuaikan dari belajar

mandiri.

2) Pengguna dapat melihat isinya pada saat

santai.

3) Informasi dapat dibagi dengan keluarga dan

teman.

4) Mudah dibuat, diperbanyak dan

diperbaiki serta mudah disesuaikan.

5) Mengurangi kebutuhan mencatat.

6) Dapat dibuat secara sederhana dengan

biaya relatif murah.

7) Awet

8) Daya tampung lebih luas

9) Dapat diarahkan pada segmen tertentu.

Manfaat booklet sebagai media komunikasi

pendidikan kesehatan adalah :

20
1) Menimbulkan minat sasaran pendidikan.

2) Membantu di dalam mengatasi banyak

hambatan.

3) Membantu sasaran pendidikan untuk belajar

lebih banyak dan cepat.

4) Merangsang sasaran pendidikan untuk

meneruskan pesan-pesan yang diterima

kepada orang lain.

5) Mempermudah penyampaian bahasa

pendidikan.

6) Mempermudah penemuan informasi oleh

sasaran pendidikan.

7) Mendorong keinginan orang untuk

mengetahui lalu mendalami dan akhirnya

mendapatkan pengertian yang lebih baik.

8) Membantu menegakkan pengertian yang

diperoleh.

c) Flyer (selembaran)

d) Flip chart (lembar balik)

Media penyampaian pesan atau

informasi kesehatan dalam bentuk buku di

mana tiap lembar berisi gambar peragaan dan

lembaran baliknya berisi kalimat sebagai pesan

kesehatan yang berkaitan dengan gambar.

Keunggulan menggunakan media ini antara lain:

21
mudah dibawa, dapat dilipat maupun digulung,

murah dan efisien, dan tidak perlu

peralatan yang rumit.

Sedangkan kelemahannya yaitu terlalu

kecil untuk sasaran yang berjumlah relatif besar,

mudah robek dan tercabik. (Lucie, 2005)

e) Rubrik (tulisan – tulisan surat kabar), poster, dan

foto

b) Media Elektronik

a) Video dan film strip

Keunggulan penyuluhan dengan

media ini adalah dapat memberikan

realita yang mungkin sulit direkam

kembali oleh mata dan pikiran sasaran,

dapat memicu diskusi mengenai sikap dan

perilaku, efektif untuk sasaran yang

jumlahnya relative penting dapat diulang

kembali, mudah digunakan dan tidak

memerlukan ruangan yang gelap.

Sementara kelemahan media ini yaitu

memerlukan sambungan listrik,

peralatannya beresiko untuk rusak, perlu

adanya kesesuaian antara kaset dengan

alat pemutar, membutuhkan ahli

professional agar gambar mempunyai

22
makna dalam sisi artistik maupun

materi, serta membutuhkan banyak biaya.

(Lucie, 2005)

b) Slide

Keunggulan media ini yaitu dapat

memberikan berbagai realita walaupun

terbatas, cocok untuk sasaran yang

jumlahnya relative besar, dan

pembuatannya relatif murah, serta

peralatannya cukup ringkas dan mudah

digunakan. Sedangkan kelemahannya

memerlukan sambungan listrik,

peralatannya beresiko mudah rusak dan

memerlukan ruangan sedikit lebih gelap.

(Lucie, 2005)

c) Media Papan

B. Konseling

a. Pengertian

a. Konseling berasal dari bahasa latin “Consilum” yang berarti

“dengan” atau bersama“ dan “mengambil” atau “memegang”.

Maka dapat dirumuskan sebagai memegang atau mengambil

bersama (Wardati, 2011).[ CITATION War11 \l 1033 ]

b. Konseling merupakan proses membantu seseorang untuk

belajar menyelesaikan masalah interpersonal, emosional, dan

23
memutuskan hal tertentu (Depkes, 2007).[ CITATION Dep07 \l

1033 ]

c. Konseling adalah suatu proses bantuan interaktif antara

konselor dan klien yang ditandai oleh elemen inti penerimaan,

empati, ketulusan, dan keselarasan. Hubungan ini terdiri dari

serangkaian interaksi sepanjang waktu, berupa konselor yang

melalui berbagai teknik aktif dan pasif, berfokus pada

kebutuhan, masalah atau perasaan klien yang telah

memengaruhi perilaku adaptif klien (Banks, 1992, dalam

Friedman 2010).[ CITATION Fri10 \l 1033 ]

d. Dapat disimpulan dari beberapa pengertian di atas, bahwa

konseling merupakan proses bantuan interaktif terhadap dua

pihak, yaitu pihak konselor dan pihak klien, dimana konselor

dalam hal ini membantu mengarahkan dan menyelesaikan

permsalahan klien.

b. Tujuan Konseling

Bidang keperawatan memiliki pandangan lain mengenai tujuan

bimbingan dan konseling yang akan dijelaskan melalui penjabaran

berikut:

1. Memberikan bantuan bagi pengembangan dan pemahaman

mengenai ilmu pengetahuan dan pemahaman klien terhadap

permasalahan kesehatan, seperti jenis dan tindakan medis

atau jenis dan tindakan keperawatan atau kebidanan.

2. Mengeksplorasi atau menunjukkan segala kemapuan atau

potensi atau kelemahan (bio-psiko-sosial-spiritual) yang

24
dimiliki klien untuk menghadapi permasalahan kesehatannya

berupa tindakan medis atau tindakan keperawatan dan

kebidanan.

3. Klien bertanggung jawab atas pilihan dan keputusannya baik

yang berdampak bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya.

Menurut Surya dalam buku Boy S. Dan Sutijono (2005), dalam

Priyanto (2009), dinyatakan bahwa terdapat beberapa tujuan

konseling yaitu sebagai berikut:[ CITATION Pri091 \l 1033 ]

1. Perubahan perilaku

Para ahli behaviorisme mengatakan orang yang bermasalah

adalah mereka yang mempunyai perilaku yang tidak diinginkan

oleh lingkungan, sehingga orang tersebut akan mengubah

perilaku yang bermasalah itu menjadi perilaku yang dapat

diterima oleh lingkungan.

2. Kesehatan mental yang positif

Umunya orang datang ke ruang konseling dengan

membawa “penyakit mental”, melalui terapo konseling diharapkan

klien akan dapat meningkatkan kesehatan mentalnya menuju

yang lebih positif. Selain untuk menyembuhkan gangguan fisik,

konseling juga dapat mencegah gangguan mental. Hanya saja

individu-individu yang dapat dilayani melalui konseling adalah

mereka-mereka yang masuk dalam kategori “orang normal”.

3. Pemecahan masalah

Sering terjadi kesalahpahaman mengenai siapa yang akan

memecahkan masalah. Apakah pemecahan masalah dilakukan

25
konselor atau oleh klien? sebagian klien datang ke ruang

konseling dengan tujuan meminta bantuan kepada konselor agar

dapat menyelesaikan masalahnya. Mereka beranggapan bahwa

setelah menceritakan masalahnya maka tugas konselorlah yang

menyelesaikannya. Bila ini terjadi, maka hal tersebut

menunjukkan bahwa klien bergantung kepada konselor, dan hal

ini tidak menumbuhkan kepribadian klien ke arah yang lebih

positif. Padahal dalam hubungan konseling yang diharapkan

dapat menyelesaikan masalah adalah klien sendiri.

4. Keefektifan personal

Keefektifan personal berhubungan erat dengan

pemeliharaan kesehatan mental. Blocher (dalam Soedarmadji,

Boy & Sutijono, 2005) menyatakan bahwa pribadi yang efektif

adalah pribadi yang sanggup memperhitungkan diri, waktu, dan

tenaganya serta bersedia memikul risiko-risiko ekonomis,

psikologis, dan fisik. Ia tampak memilki kompetensi untuk

mengenal, mendefinisikan, dan memecahkan masalah-masalah.

Ia juga tampak konsisten dalam perannya yang khas, sanggup

berpikir secara berbeda dan orisinil, yaitu dengan cara yang

kreatif. Akhirnya, ia sanggup mengontrol dorongan-dorongan dan

memberikan respons-respons yang layak terhadap frustasi,

perumusan, dan ambiguitas. Semakin efektif seseorang dalam

menghadapi permasalahannya, maka semakin mudah bagi

mereka untuk menjalani kehidupannya.

5. Pengambilan keputusan

26
Pengambilan keputusan merupakan suatu proses yang

paling sulit bagi setiap manusia. Banyak ahli berpendapat bahwa

tujuan konseling yang paling utama adalah pengambilan

keputusan (decision making). Maksudnya adalah para akhir

pertemuan konseling diharapkan klien dapat mebuat dan

mengambil keputusan sendiri.

c. Fase-Fase Proses Konseling

a. Persiapan (Preparation)

Proses konseling sebenarnya sudah dimulai sebelum

konselor dan klien bertemu. Klien sering kali belajar terlebih

dahulu untuk menyampaikan apa yang seharusnya dikatakan

kepada konselor. Klien tidak saja memiliki keinginan-keinginan

terhadap proses konseling, melainkan juga menginginkan

adanya pengertian dari konselor. Sering kali klien merasa

berat untuk datang dan melakukan pertemuan konseling. Hal

ini dikarenakan adanya rasa takut pada diri klien untuk

menyampaikan masalahnya kepada konselor. Begitupun

dengan konselor. Pada saat yang bersamaan, konselor juga

memiliki harapan-harapan atau keinginan-keinginan, dan

perasaan-perasaan pribadi terhadap pertemuan konseling.

Sementara itu, apa yang menjadi pemikiran dan harapan-

harapan konselor juga akan mempengaruhi sesi-sesi

pertemuan konseling.

b. Pembukaan (Preamble)

27
Kata preamble dapat diartikan sebagai proses pembukaan

dalam keseluruhan proses konseling. Pertemuan wal dalam

proses konseling menjadi saat yang sangat penting dan

menetukan. Klien akan mengamati sikap dan perilaku

konselor, pada saat inilah klien menilai konselor. Klien akan

menentukan sikap, apakah proses konseling bisa dilanjutkan

atau tidak. Disaat ini pula konselor diharapkan mampu

menciptakan hubungan yang baik (support) dengan klien.

Dengan adanya hubungan yang baik tersebut, klien akan

merasa diterima dan tugas konselor selanjutnya adalah

menciptakan iklim yang kondusif serta memberikan rasa

kepercayaan klien untuk mengungkapkan masalahnya.

c. Memulai Proses (Getting Started)

Jika fase preamble dapat dilewati dengan baik, maka

permulaan proses konseling dapat dimulai. Kesiapan klien

untuk memulai proses konseling ditandai dengan sikap

duduknya yang santai, tidak menunjukkan kegugupan dalam

berbicara bahkan tidak menunjukkan kecemasan atau

ekspresi yang tegang. Untuk mengawali proses konseling,

konselor dapat memulainya dengan menanyakan perasaan

klien saat ini. Hal ini penting dilakukan guna mengetahui

bagaimana perasaan klien sebenarnya sehingga hal tersebut

akan memudahkan proses konseling. Selain itu juga dapat

menimbulkan perasaan merasa dipahami pada diri klien.

d. Mendengarkan dengan Aktif (Active Listening)

28
Mendengarkan mungkin sesuatu yang sangat sulit atau

bahkan membosankan, apalagi jika yang disampaikan adalah

suatu masalah yang perlu pemecahan. Mendengarkan yang

dimaksud bukan asal mendengarkan saja, akan tetapi

konselor harus dapat menjadi pendengar yang aktif, yang

berarti konselor selalu merespons apa yang disampaikan oleh

klien. Dalam proses konseling, klien tidak hanya

menyampaikan perasaan-perasaannya kepada konselor saja

tetapi juga meraba-raba bagaimana kesan konselor

sebenarnya.

e. Mengidentifikasi dan Mengklarifikasi Masalah (Problem

Identification and Clarification)

Konselor sebaiknya mencoba untuk mengidentifikasi dan

mengklarifikasi permasalahan yang telah disampaikan oleh

klien setelah melalui fase-fase tersebut. pada fase ini konselor

meringkas apa yang menjadi permasalahan klien dan

kemudian mencocokkan atau mengklarifikasi dengan apa

yang telah diringkas kepada klien. Apabila klien telah

membenarkan apa yang telah diringkas konselor, maka

konseling bisa memasuki fase proses konseling berikutnya.

f. Memfasilitasi Perubahan Perilaku (Facilitating Attitude

Change)

Pada fase proses konseling ini, konselor harus menjajaki

apakah klien telah memahami tentang perasaanya dan

permasalahannya. Jika memang sudah memahami, konselor

29
harus mempermudah klien untuk melakukan perubahan sikap.

Konselor mengajak klien untuk bersikap positif dan konstruktif

terhadap permasalahan yang dihadapinya. Dengan kondisi

seperti ini, keyakinan klien untuk bisa berubah perlu dimotivasi

dan ditumbuhkan. Sikap ini harus dijadikan sebagai modal

dan energi yang besar bagi klien untuk melakukan perubahan-

perubahan perilaku pada diri sendiri.

g. Mengeksplorasi Kemungkinan-Kemungkinan dan

Memfasilitasi Tindakan (Exploring Options and Facilitating

Action)

Dalam fase ini tugas konselor adalah membantu klien

untuk mengeksplorasi dirinya sendiri. Konselor mengajak klien

untuk menggali kemungkinan-kemungkinan positif yang

dimilikinya dalam menyelesaikan permasalahannya sendiri.

Hal ini dilakukan karena pada dasarnya yang bisa

menyelesaikan masalah klien adalah diri klien sendiri. Pada

waktu melakukan eksplorasi diri, perlu diperhatikan bahwa

dalam situasi ini klien tidak merasa tertekan dan diharapkan

klien bisa menikmati proses konseling. Apabila klien merasa

tertekan maka data-data yang telah terkumpul dan yang

nantinya akan dipaaki dalam penyelesaian masalah, menjadi

prematur, dan selanjutnya akan menghasilkan keputusan-

keputusan yang prematur pula. Pada fase ini diperlukan

situasi humoris yang bisa membuat klien rileks bukan situasi

yang penuh ketegangan atau keseriusan karena akan

30
membuat klien tidak bisa menggali kemampuan-

kemapuannya.

h. Terminasi (Termination)

Fase yang terakhir pada proses konseling adalah

mengakhiri pertemuan konseling. Sebelum proses konseling

diakhiri seharusnya konselor menyampaikan ringkasan dari

keseluruhan proses konseling yang telah dilakukan. Hal ini

perlu dilakukan agar klien merasa memiliki keputusan dan

klien merasa sadar bahwa ia telah mengambil keputusan

untuk dirinya sendiri. Usaha dalam mengakhiri proses

konseling ini diambil klien telah mengambil keputusan untuk

mengatasi permasalahannya. Konselor hendaknya melakukan

dengan cara-cara yang manusiawi dalam memutuskan proses

konseling.

d. Keterampilan Dasar Konseling

a. Keterampilan Mendegarkan

a. Attending

Attending adalah suatu sikap berupa pemberian

perhatian kepada klien. Keterampilan ini sangat

memerlukan pertimbangan kultural (budaya), norma-

norma, dan makna tentang pandangan mata, jarak duduk

antara konselor dengan klien. Setiap daerah mempunyai

penilaian yang berbeda-beda mengenai kontak mata, di

31
tempay tertentu kontak mata diperbolehkan, tetapi di

tempat lain dianggap melanggar norma-norma. Jarak

duduk yang dianggap baik dan memenuhi norma antara

konselor dengan klien yaitu ± 1 meter. Attending

mempunyai beberapa komponen. Adapun komponen-

komponen tersebut sebagai berikut:

1) Kontak melalui mata

2) Postur tubuh

3) Gerak tubuh atau gesture

4) Tingkah laku verbal konselor

b. Parafrase

Parafrase merupakan suatu metode untuk

menyatakan kembali pesan klien dengan kata-kata yang

lebih pendek dan benar. Parafrase mempunyai tujuan

untuk menguji pengertian konselor tentang apa yang

dikatakan klien dan juga untuk menyatakan pada klien

bahwa konselor mencoba mengerti pesan klien, jika

berhasil berarti konselor mengikuti apa yang disampaikan

oleh klien. Parafrase merupakan suatu bentuk atau

perwujudan dari sikap pengertian seorang konselor.

Konselor menerjemahkan apa yang disampaikan oleh klien

dalam bentuk kata-kata yang lebih tepat tanpa menambah

hal-hal baru. Sebaiknya konselor bertanya pada diri

sendiri, apakah pesan-pesan yang paling penting dari

pikiran dan perasaan klien yang tersampaikan. Konselor

32
harus mampu menekankan isi, inti, materi atau pikiran, dan

perasaan yang telah disampaikan oleh klien untuk

membentuk parafrase.

c. Menjelaskan

Sikap menjelaskan mempunyai tujuan untuk

mempertajam pertanyan-pertanyaan yang masih kurang

jelas atau semu. Dengan bersikap menjelaskan, konselor

telah membuat suatu terkaan tentang pesan pokok yang

disampaikan klien. Konselor juga boleh meminta

penjelasan kepada klien apabila belum bisa menangkap

pesan yang disampaikan.

b. Keterampilan Memimpin

a. Memimpin Secara Tidak Langsung

Keterampilan ini mempunyai tujuan pokok agar

klien memulai pembicaraan dan tetap bertanggung jawab

atas kelangsungan proses konseling. Biasanya teknik ini

dimanfaatkan untuk membuka suatu wawancara. Ciri-ciri

umum dari teknik keterampilan memimpin tidak langsung

adalah memberikan kesempatan pada klien untuk

memproyeksikan ide-idenya sendiri dan

mengungkapkannya dalam wawancara. Konselor kadang-

kadang diam sebentar dan melihat dengan penuh harap

pada klien.

b. Memimpin Langsung

33
Keterampilan ini adalah suatu teknik untuk

memusatkan perhatian klien pada satu topik. Teknik ini

mendorong klien utnuk mengamati, menjelaskan, atau

memberikan gambaran mengenai sesuatu yang sedang

mereka katakan. Biasanya terdapat unsur sugesti.

c. Memusatkan

Memusatkan pembicaraan pada suatu topik yang

menurut konselor akan memperlancar pemahaman, dapat

digunakan apabila klien menunjukkan ketidakpastian

dalam berbicara. Biasanya hal tersebut terjadi di tahap

awal, klien bicara berbelit-belit dan dengan topik yang

bermacam-macam. Bila dalam proses konseling klien

telah membicarakan sesuatu di luar topik utama

permasalahannya, maka konselor dapat menghentikan

klien dan memintanya untuk emusatkan pikirannya pada

topik tersebut.

d. Bertanya

Teknik bertanya dalam keterampilan memimpin

bertujuan untuk mengarahkan klien dan melakukan

eksplorasi lebih jauh. Bertanya bisa dilakukan dengan

dua bentuk, yaitu mengajukan pertanyaan terbuka dan

tertutup. Pertanyaan tersebut bukan pertanyaan yang

dipakai untuk memperoleh informasi atau bukan bentuk

pertanyaan yang harus dijawab dengan “Ya” atau “Tidak”.

Pada pertanyaan terbuka, konselor memberikan

34
kebebasan pada klien untuk mengadakan proses

konseling sesuai dengan keinginan mereka, sedangkan

pada pertanyaan tertutup, konselor tidak membutuhkan

penjelasan klien, karena yang dibutuhkan adalah

penegasan atau kepastian berupa jawaban “Ya” atau

“Tidak” dari klien.

c. Keterampilan memantulkan

a. Memantulkan perasaan

Memantulkan perasaan adalah menyatakan

dengan kata-kata sendiri mengenai perasaan klien yang

bertujuan untuk memperjelas perasaan yang samar-samar

menjadi lebih jelas dan disadari serta untuk membantu

klien “memiliki” perasaannya sendiri.

b. Memantulkan pengalaman

Pemantulan pengalaman merupakan feedback

hasil pengamatan yang luas dari konselor. Pemantulan ini

tidak hanya verbalisasi perasaan-perasaan tetapi juga

pengamatan terhadap peranan yang terkandung dalam

gerakan non-verbal klien.

c. Memantulkan isi

Memantulkan isi merupakan pengulangan ide-ide

penting yang disampaikan klien dengan kata-kata yang

lebih pendek atau suatu keterampilan memberikan kata-

kata kepada klien untuk menyatakan dirinya. Hal ini

35
digunakan untuk memperjelas ide-ide yang sulit dinyatakan

klien.

d. Keterampilan Merangkum

Merangkum ialah menyatukan beberapa ide dan perasaan

ke dalam satu pernyataan, biasanya dilakukan di akhir

pembicaraan atau interview. Penggunaan keterampilan ini

mengacu pada pesan yang disampaikan oleh kllien (isi), cara

klien menyatakannya (perasaannya), tujuan, waktu (timing),

dan efek dari pernyataan (proses) tersebut. merangkum

merupakan teknik yang lebih luas daripada parafrase.

e. Keterampilan Konfrontasi

a. Mengenal perasaan

Kecakapan seseorang atau konselor untuk

mengenal dan merespons terhadap perasaan klien

didasarkan pada kemampuan konselor mengenal dirinya

sendiri. Konselor harus menyadari perasaan sendiri yang

sering kali adalah reaksi dari pesan yang disampaikan

klien dan sebagai dasar konselor dalam bertindak.

b. Menggambarkan dan membagi perasaan

Membagi perasaan pribadi dengan klien

merupakan suatu cara pengungkapan diri yang lebih

bernilai dibandingkan dengan respons menjelaskan. Bagi

seorang konselor, menggambarkan perasaan pribadi

36
dapat dimanfaatkan untuk memperjelas perasaan

konselor pada saat itu. Hal ini dapat dijadikan suatu

model atau contoh bagi klien untuk mengenal dan

menyatakan perasaan-perasaannya.

c. Balikan dan pendapat

Salah satu keterampilan konfrontasi yang paling

bernilai adalah feedback atau balikan secara jujur

kepada klien, tentang sejauh mana klien mempengaruhi

konselor. Hubungan konseling hanya merupakan

kelanjutan dari proses ini dalam model lain. Feedback

atau balikan yang efektif dari orang lain yang dipercaya

dan menaruh perhatian terhadap klien dapat membantu

klien untuk menyadari tentang dirinya.

d. Meditasi

Meditasi merupakan suatu bentuk keterampilan

konfrontasi diri (self confrontation) orang-orang zaman

dulu. Makna pokok dari meditasi adalah menghentikan

aliran ide-ide dan tindakan, serta memberikan

kesempatan kepada klien untuk menghayati ide-ide

tersebut. manfaat meditasi adalah terbukanya jalan-jalan

baru untuk perasaan-perasaan klien dan kesadaran klien

dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungan.

e. Mengulang

Mengulang merupakan salah satu metode

konfrontasi dengan cara meminta klien untuk mengulang

37
sebuah kata, frase, atau kalimat pendek sebanyak satu

kali atau lebih. Konselor meminta klien untuk

memusatkan pada satu pernyataan yang dianggap

mempunyai makna yang berarti bagi klien, kemudian klien

diminta untuk mengulanginya dalam bentuk yang lebih

banyak disertai dengan perasaan-perasaannya yang

berkaitan dengan kata-kata tersebut.

f. Melakukan asosiasi

Keterampilan ini merupakan keterampilan

konfrontasi lain yang bisa digunakan untuk membuat klien

merasa lapang dengan mudah. Klien didorong untuk

bercerita atau menyampaikan segala sesuatu yang

terlintas dalam pikirannya. Hal ini bertujuan supaya klien

terlepas dari pernyataan-penyataan yang lebih mendetail

dan bersifat perasaan.

f. Keterampilan Menginterpretasi

Menginterpretasi adalah suatu proses atau kegiatan

menjelaskan arti mengenai peristiwa-peristiwa kepada klien,

sehingga klien mempunyai kemampuan melihat

permasalahannya dengan cara atau metode yang baru. Tujuan

pokok dari teknik ini adalah mengajarkan klien untuk

menginterpretasikan sendiri peristiwa-peristiwa dalam

kehidupannya. Interpretasi ini lebih banyak digunakan pada

psikoterapi formal dibandingkan bentuk-bentuk bantuan lain.

g. Keterampilan Memberikan Informasi

38
Keterampilan ini sudah terlalu umum sehingga tidak

meemrlukan pembiacaraan ecara mendetail. Keterampilan

memberikan informasi ini dapat dilakukan dengan melakukan

sharing realita-realita sederhana yang dimiliki konselor,

sehingga dapat membantu klien. Berikut ini adalah pedoman

yang dapat digunakan konselor dalam memberikan informasi:

1) Jangan menggunakan nasihat kecuali dalam bentuk saran-

saran yang bersifat sementara berdasarkan keilmuan.

2) Konselor sebaiknya mengetahui tentang berbagai informasi

dari bidang keahliannya.

3) Jangan menggunakan alat tes psikologi jika tidak

mempunyai keahlian.

e. Tahapan Proses Konseling

Lima langkah/tahapan dalam konseling adalah sebagai

berikut (YPKP, Depkes RI & IBI, 2006, dalam Taufik & Juliane,

2010):[ CITATION Tau10 \l 1033 ]

a. Membina hubungan melalui membangun rapport-tahap awal

Membina hubungan yang ramah, dapat dipercaya, dan

menjamin kerahasiaan.

a. Mengucapkan salam.

b. Mempersilahkan klien duduk.

c. Menciptakan situasi yang membuat klien merasa

nyaman.

b. Identifikasi masalah

39
Beberapa klien mungkin akan menyampaikan secara

langsung permasalahannya saat konselor menanyakan

maksud dan tujuan klien mendatangi konselor. Namun tidak

jarang, konselor harus menggunakan keterampilannya untuk

mampu menangkap permasalahan yang dihadapi dari

cerita/penjelasan klien. Selama identifikasi masalah,

konselor harus menjadi pendengar yang baik dan

mengamati tanda-tanda nonverbal.

c. Penyelesaian masalah

Berikan informasi setepat dan sejelas mungkin sesuai

dengan persoalan yang diajukan, termasuk berbagai

alternatif jalan keluar. Hindari memberikan informasi yang

tidak dibutuhkan klien.

d. Pengambilan keputusan

Mendorong dan membantu klien untuk menentukan jalan

keluar atas persoalan yang dihadapinya.

e. Menutup/menunda konseling

Bila klien terlihat puas, ucapkan salam penutup, bila diskusi

dengan klien belum selesai dan klien belum mampu

mengambil keputusan, tawarkan klien untuk mengatur

pertemuan selanjutnya.

40
Empati
Attending DEFINISI
Bertanya terbuka
TAHAP AWAL Refleksi MASALAH
Eksplorasi

Memimpin
Fokus
Mengarahkan
Menafsir
Memperjelas
TAHAP KERJA
Konfrontasi DENGAN DIFINISI
TAHAP Mendorong MASALAH
PERTENGAHAN Informasi
Nasihat
Menyimpulkan
sementara
Bertanya

Menyimpulkan
Mendorong
Merencana TAHAP
Menilai (evaluasi)
TAHAP AKHIR Mengakhiri proses/sesi TINDAKAN/ACTION
konseling

Gambar 2.1 Tahapan Proses Konseling (Willis, 2004, dalam Priyanto, 2009)

C. Kepatuhan

a. Pengertian

41
Ada beberapa macam terminologi yang biasa

digunakan dalam literatur untuk mendeskripsikan kepatuhan

pasien diantaranya compliance, adherence, dan persistence.

Compliance adalah secara pasif mengikuti saran dan

perintah dokter untuk melakukan terapi yang sedang dilakukan

(Osterberg & Blaschke dalam Nurina, 2012). Adherence

adalah sejauh mana pengambilan obat yang diresepkan oleh

penyedia layanan kesehatan. Tingkat kepatuhan (adherence)

untuk pasien biasanya dilaporkan sebagai persentase dari

dosis resep obat yang benar-benar diambil oleh pasien

selama periode yang ditentukan (Osterberg & Blaschke

dalam Nurina, 2012).

Di dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan

mengacu kepada situasi ketika perilaku seorang individu

sepadan dengan tindakan yang dianjurkan atau nasehat

yang diusulkan oleh seorang praktisi kesehatan atau

informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi lainnya

seperti nasehat yang diberikan dalam suatu brosur promosi

kesehatan melalui suatu kampanye media massa (Ian &

Marcus, 2011).

Para Psikolog tertarik pada pembentukan jenis-jenis

faktor-faktor kognitif dan afektif apa yang penting untuk

memprediksi kepatuhan dan juga penting perilaku yang tidak

patuh. Pada waktu-waktu belakangan ini istilah kepatuhan

telah digunakan sebagai pengganti bagi pemenuhan karena

42
ia mencerminkan suatu pengelolaan pengaturan diri yang

lebih aktif mengenai nasehat pengobatan (Ian & Marcus, 2011).

Menurut Kozier (2010) kepatuhan adalah perilaku

individu (misalnya: minum obat, mematuhi diet, atau

melakukan perubahan gaya hidup) sesuai anjuran terapi

dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari tindak

mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi

rencana.

Sedangkan Sarafino (dalam Yetti, dkk 2011)

mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat pasien

melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang

disarankan oleh dokternya. Dikatakan lebih lanjut, bahwa

tingkat kepatuhan pada seluruh populasi medis yang kronis

adalah sekitar 20% hingga 60%. Dan pendapat Sarafino

pula (dalam Tritiadi, 2007) mendefinisikan kepatuhan atau

ketaatan (compliance atau adherence) sebagai: “tingkat

pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang

disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain”.

Pendapat lain dikemukakan oleh Sacket (Dalam Neil

Niven, 2000) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai

“sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang

diberikan oleh professional kesehatan”. Pasien mungkin

tidak mematuhi tujuan atau mungkin melupakan begitu saja

atau salah mengerti instruksi yang diberikan.[ CITATION Niv02 \l

1033 ]

43
Kemudian Taylor (1991), mendefinisikan kepatuhan

terhadap pengobatan adalah perilaku yang menunjukkan

sejauh mana individu mengikuti anjuran yang berhubungan

dengan kesehatan atau penyakit. Dan Delameter (2006)

mendefinisikan kepatuhan sebagai upaya keterlibatan

aktif, sadar dan kolaboratif dari pasien terhadap perilaku yang

mendukung kesembuhan.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

perilaku kepatuhan terhadap pengobatan adalah sejauh

mana upaya dan perilaku seorang individu menunjukkan

kesesuaian dengan peraturan atau anjuran yang diberikan oleh

professional kesehatan untuk menunjang kesembuhannya.

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Kozier (2010), faktor yang mempengaruhi

kepatuhan adalah sebagai berikut:

a. Motivasi klien untuk sembuh

b. Tingkat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan

c. Persepsi keparahan masalah kesehatan

d. Nilai upaya mengurangi ancaman penyakit

e. Kesulitan memahami dan melakukan perilaku

khusus

f. Tingkat gangguan penyakit atau rangkaian terapi

g. Keyakinan bahwa terapi yang diprogramkan akan

membantu atau tidak membantu

h. Kerumitan , efek samping yang diajukan

44
i. Warisan budaya tertentu yang membuat

kepatuhan menjadi sulit dilakukan

j. Tingkat kepuasan dan kualitas serta jenis

hubungan dengan penyediaan layanan kesehatan

Sedangkan menurut Neil (2000), Faktor-faktor yang

mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat

bagian:

a. Pemahaman Tentang Instruksi

Tak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia

salah paham tentang instruksi yang diberikan

padanya. Lcy dan Spelman (dalam Neil, 2000)

menemukan bahwa lebih dari 60% yang

diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah

mengerti tentang instruksi yang diberikan pada

mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh

kegagalan professional kesehatan dalam memberikan

informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah

media dan memberikan banyak instruksi yang harus

diingat oleh pasien.

b. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan

pasien merupakan bagian yang penting dalam

menentukan derajat kepatuhan. Korsch & Negrete

(Dalam Neil, 2000) telah mengamati 800

45
kunjungan orang tua dan anak-anaknya ke rumah

sakit anak di Los Angeles. Selama 14 hari mereka

mewawancarai ibu-ibu tersebut untuk memastikan

apakah ibu-ibu tersebut melaksankan nasihat-nasihat

yang diberikan dokter, mereka menemukan bahwa

ada kaitan yang erat antara kepuasaan ibu

terhadap konsultasi dengan seberapa jauh mereka

mematuhi nasihat dokter, tidak ada kaitan antara

lamanya konsultasi dengan kepuasaan ibu. Jadi

konsultasi yang pendek tidak akan menjadi tidak

produktif jika diberikan perhatian untuk

meningkatkan kualitas interaksi.

c. Isolasi Sosial dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat

berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan

nilai kesehatan individu serta dapat juga

menentukan tentang program pengobatan yang

dapat mereka terima. Pratt (dalam Neil, 2012) telah

memperhatikan bahwa peran yang dimainkan

keluarga dalam pengembangan kebiasaan

kesehatan dan pengajaran terhadap anak-anak

mereka.

Keluarga juga memberi dukungan dan membuat

keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga

yang sakit.

46
d. Keyakinan, Sikap dan Keluarga

Becker (dalam Neil, 2012) telah membuat suatu

usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna

untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Mereka

menggambarkan kegunaan model tersebut dalam

suatu penelitian bersama Hartman dan Becker

(1978, dalam Neil (2012)) yang memperkirakan

ketidakpatuhan terhadap ketentuan untuk pasien

hemodialisa kronis. 50 orang pasien dengan gagal

ginjal kronis tahap akhir yang harus mematuhi

program pengobatan yang kompleks, meliputi diet,

pembatasan cairan, pengobatan, dialisa. Pasien-

pasien tersebut diwawancarai tentang keyakinan

kesehatan mereka dengan menggunakan suatu

model. Hartman dan Becker menemukan bahwa

pengukuran dari tiap-tiap dimensi yang utama dari

model tersebut sangat berguna sebagai peramal dari

kepatuhan terhadap pengobatan.

c. Cara-cara Mengurangi Ketidakpatuhan

Dinicola dan Dimatteo (dalam Neil, 2000) mengusulkan

rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien antara lain:

a. Mengembangkan tujuan dari kepatuhan itu sendiri,

banyak dari pasien yang tidak patuh yang memiliki

tujuan untuk mematuhi nasihat-nasihat pada

awalnya. Pemicu ketidakpatuhan dikarenakan jangka

47
waktu yang cukup lama serta paksaan dari tenaga

kesehatan yang menghasilkan efek negatif pada

penderita sehingga awal mula pasien mempunyai sikap

patuh bisa berubah menjadi tidak patuh.

b. Kesadaran diri sangat dibutuhkan dari diri pasien.

c. Perilaku sehat, hal ini sangat dipengaruhi oleh

kebiasaan, sehingga perlu dikembangkan suatu strategi

yang bukan hanya untu mengubah perilaku, tetapi juga

mempertahankan perubahan tersebut. Kontrol diri,

evaluasi diri dan penghargaan terhadap diri sendiri harus

dilakukan dengan kesadaran diri. Modifikasi perilaku harus

dilakukan antara pasien dengan pemberi pelayanan

kesehatan agar terciptanya perilaku sehat.

d. Dukungan sosial, dukungan sosial dari anggota

keluarga dan sahabat dalam bentuk waktu, motivasi

dan uang merupakan faktor-faktor penting dalam

kepatuhan pasien. Contoh yang sederhana, tidak memiliki

pengasuh, transportasi tidak ada, anggota keluarga

sakit, dapat mengurangi intensitas kepatuhan.

Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi

ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka

dapat menghilangkan godaan pada ketidaktaatan dan

mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung

untuk mencapai kepatuhan.

d. Cara-cara Meningkatkan Kepatuhan

48
Smet (1994) menyebutkan beberapa strategi yang dapat

dicoba untuk meningkatkan kepatuhan, antara lain:

a. Segi Penderita

Usaha yang dapat dilakukan penderita diabetes

mellitus untuk meningkatkan kepatuhan dalam menjalani

pengobatan yaitu:

a. Meningkatkan kontrol diri. Penderita harus

meningkatkan kontrol dirinya untuk

meningkatkan ketaatannya dalam menjalani

pengobatan, karena dengan adanya kontrol diri

yang baik dari penderita akan semakin

meningkatkan kepatuhannya dalam menjalani

pengobatan. Kontrol diri dapat dilakukan meliputi

kontrol berat badan, kontrol makan dan emosi.

b. Meningkatkan efikasi diri. Efikasi diri

dipercaya muncul sebagai prediktor yang penting

dari kepatuhan. Seseorang yang mempercayai diri

mereka sendiri untuk dapat mematuhi

pengobatan yang kompleks akan lebih mudah

melakukannya.

c. Mencari informasi tentang pengobatan.

Kurangnya pengetahuan atau informasi berkaitan

49
dengan kepatuhan serta kemauan dari penderita

untuk mencari informasi mengenai penyakitnya

dan terapi medisnya, informasi tersebut biasanya

didapat dari berbagai sumber seperti media

cetak, elektronik atau melalui program pendidikan

di rumah sakit. Penderita hendaknya benar-benar

memahami tentang penyakitnya dengan cara

mencari informasi penyembuhan penyakitnya

tersebut.

d. Meningkatkan monitoring diri. Penderita harus

melakukan monitoring diri, karena dengan

monitoring diri penderita dapat lebih mengetahui

tentang keadaan dirinya seperti keadaan gula

dalam darahnya, berat badan, dan apapun yang

dirasakannya.

b. Segi Tenaga Medis

Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar

penderita untuk meningkatkan kepatuhan dalam

menjalani pengobatan antara lain:

a. Meningkatkan keterampilan komunikasi para dokter.

Salah satu strategi untuk meningkatkan kepatuhan

adalah memperbaiki komunikasi antara dokter dengan

pasien. Ada banyak cara dari dokter untuk

menanamkan kepatuhan dengan dasar komunikasi

yang efektif dengan pasien.

50
b. Memberikan informasi yang jelas kepada pasien

tentang penyakitnya dan cara pengobatannya.

Tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah

orang yang berstatus tinggi bagi kebanyakan

pasien dan apa yang ia katakan secara umum

diterima sebagai sesuatu yang sah atau benar.

c. Memberikan dukungan sosial. Tenaga kesehatan

harus mampu mempertinggi dukungan sosial.

Selain itu keluarga juga dilibatkan dalam

memberikan dukungan kepada pasien, karena hal

tersebut juga akan meningkatkan kepatuhan, Smet

(1994) menjelaskan bahwa dukungan tersebut bisa

diberikan dengan bentuk perhatian dan memberikan

nasehatnya yang bermanfaat bagi kesehatannya.

d. Pendekatan perilaku. Pengelolaan diri yaitu

bagaimana pasien diarahkan agar dapat mengelola

dirinya dalam usaha meningkatkan perilaku

kepatuhan. Dokter dapat bekerja sama dengan

keluarga pasien untuk mendiskusikan masalah

dalam menjalani kepatuhan serta pentingnya

pengobatan.

e. Aspek-aspek Kepatuhan Pengobatan

Adapun aspek-aspek kepatuhan pengobatan sebagaimana

yang telah dikemukakan oleh Delameter (2006) adalah sebagai

berikut:

51
a. Pilihan dan tujuan pengaturan.

b. Perencanaan pengobatan dan perawatan.

c. Pelaksanaan aturan hidup.

f. Kuesioner MMAS-8
MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale)

merupakan skala kuesioner dengan pertanyaan sebanyak 8

butir menyangkut dengan kepatuhan minum obat. Kuesioner ini

telah tervalidasi pada hipertensi tetapi dapat digunakan pada

pengobatan lain secara luas.

1. Kepatuhan tinggi memiliki nilai 8

2. Kepatuhan sedang memiliki nilai 6-7

3. Kepatuhan rendah memiliki nilai 0-5

Tabel 2.1
Kuesioner MMAS-8 (The 8-item Morisky Medication Adherence Scale)

N The 8-Item Morisky Medication Adherence Scale Answer


o

1 Do you sometimes forget to take your tuberculosis YES/NO


medications?

2 Over the past 2 weeks, were there any days when YES/NO
you did not take your tuberculosis medicine?

3 Have you ever cut back or stopped taking your YES/NO


tuberculosis medicine without telling your doctor
because you felt worse when you took it ?

4 When you travel or leave home, do you sometimes YES/NO


forget to bring along your tuberculosis medications?

5 Did you take your tuberculosis medicine yesterday? YES/NO

6 When you feel like your cough is under control, do YES/NO


you sometimes stop taking your tuberculosis
medicine?

7 Taking medication everyday is a real inconvenience YES/NO

52
for some people. Do you ever feel hassled about
sticking to your tuberculosis treatment regimen?

8 How often do you have difficulty remembering to take


all your tuberculosis medication ?

a. Never
b. Rarely
c. Sometimes
d. Often
e. Always

Tabel 2.2
Kuesioner MMAS-8 (The 8-item Morisky Medication Adherence Scale)

No Kuesioner MMAS-8 Jawaban

1 Apakah anda kadang-kadang/pernah lupa minum YA/TIDAK


obat antituberculosis?

2 Kadang-kadang orang lupa minum obat karena alas YA/TIDAK


an tertentu (selain lupa). Coba ingat-ingat lagi,
apakah dalam 2 minggu, terdapat hari dimana Anda
tidak minum obat antituberculosis?

3 Jika anda merasa keadaan anda bertambah YA/TIDAK


buruk/tidak baik dengan meminum obat-obat
antituberculosis, apakah anda berhenti meminum
obat tersebut?

4 Ketika anda berpergian/meinggalkan rumah, apakah YA/TIDAK


kadang-kadang anda lupa membawa obat?

5 Apakah kemarin anda meminum obat YA/TIDAK


antituberculosis?

6 Jika anda merasa kondisi anda lebih baik, apakah YA/TIDAK


anda pernah menghentikan/tidak menggunakan obat
antituberculosis?

7 Minum obat setiap hari kadang membuat orang tidak YA/TIDAK


nyaman. Apakah anda pernah merasa terganggu
memiliki masalah dalam mematuhi rencana
pengobatan anda?

8 Seberapa sering anda mengalami kesulitan dalam


mengingat penggunaan obat ?

a. Tidak pernah/sangat jarang

53
b. Sesekali
c. Kadang-kadang
d. Biasanya
e. Selalu/sering

Keterangan: penilaian skala “YES/YA” = 0 dan

“NO/TIDAK” = 1 untuk pertanyaan nomor 1-7. Sedangkan

pertanyaan nomor 8 memiliki 5 point skala Likert (Morisky et al.,

2009). Kuesioner ini memiliki validitas dan reliabilitas yang baik

pada hipertensi. Meskipun demikian, kuesioner ini telah

tervalidasi pada beberpa penelitian. Morisky Medication

Adherence Scale (MMAS-8) adalah instrumen yang digunakan

untuk menilai kepatuhan terapi. Pada awalnya kuesioner ini

dibuat untuk membantu para praktisi memprediksi kepatuhan

pasien dalam pengobatan hipertensi. Kuesioner dengan 4

pertanyaan ini dapat mengukur ketidakpatuhan yang disengaja

maupun yang tidak disengaja antara lain lupa, kecerobohan,

menghentikan pengobatan karena merasa kondisi memburuk.

Morisky Medication Adherence Scale merupakan kuesioner

yang memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi. Beberapa

penelitian kemudian memperluas aplikasi dari instrumen ini

agar dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan pada

penyakit kronik lainnya seperti DM dan obstruksi saluran

pernafasan (Hasmi dkk., 2007)[ CITATION Hid07 \l 1033 ]. Tingkat

kepatuhan penggunaan obat berdasarkan self report pasien

yang dinilai dengan kuesioner MMAS-8 lebih bisa menangkap

hambatan yang berhubungan dengan kebiasaan kepatuhan

penggunaan obat.

54
g. CMAG (Case Management Adherence Guidlines)
Table 2.3
Kuadran tingkat kepatuhan dan rekomendasi intervensi menurut CMAG

Kuadran Rekomendasi Intervensi

Kuadran 1 a. Melakukan tanya jawab yang


(Pengatahuan Tinggi – Motivasi Rendah) bersifat motivasi
b. Memberikan edukasi secara spesifik
Kepatuhan rendah dan menjelaskan tentang
konsekuensi ketidakpatuhan
c. Memberikan edukasi terhadap
penilaian regimen (alasan yang
dibutuhkan pengobatan,
mendiskusikan jadwal terapi dengan
gaya hidup pasien, yang dilakukan
pasien Ketika lupa minum obat atau
terlambat, efek samping yang
mungkin terjadi, efek serius yang
terjadi yang harus dihindari)
d. Memberikan kesempatan pada
pasien untuk menjelaskan Kembali
edukasi yang telah dilakukan
e. Melakukan edukasi kepada
keluarga dekat pasien
Kuadran 2 a. Memberikan semangat motivasi
(Penegtahuan rendah – motivasi tinggi) b. Menguatkan pasien untuk mematuhi
rencana terapi
Kepatuhan variabel c. Memberikan edukasi secara spesifik
dan menjelaskan tentang
konsekuensi ketidakpatuhan
d. Memberikan edukasi terhadap
penilaian regimen (alasan yang
dibutuhkan pengobatan,
mendiskusikan jadwal terapi dengan
gaya hidup pasien, yang dilakukan
pasien Ketika lupa minum obat atau
terlambat, efek samping yang
mungkin terjadi, efek serius yang
terjadi yang harus dihindari)
e. Melakukan diskusi 2 arah
f. Memberikan kesempatan pada
pasien untuk menjelaskan Kembali
edukasi yang telah dilakukan
g. Melakukan edukasi kepada
keluarga dekat pasien
Kuadran 3 a. Melakukan tanya jawab yang
(Pengetahuan tinggi – motivasi rendah) bersifat motivasi
b. Memberikan edukasi terhadap
Kepatuhan variabel penggunaan “penginat minum obat”
seperti: alarm, personal digital
assistant, diary, kalender atau
pengingat minum obat lainnya
c. Memberikan penilaian motivasi
terhadap keluarga dekat

55
Kuadran 4 a. Melanjutkan pemberian semangat
(pengetahuan tinggi – motivasi tinggi) untuk meningkatkan pengetahuan
dan motivasi pasien
Kepatuhan tinggi b. Melakukan diskusi 2 arah tentang
antisipasi yang dilakukan pasien
Ketika situasi gaya hidup pasien
tersebut berubah dan dapat
mempengaruhi kepatuhan rencana
terapi

MMAS-8 merupakan pengembangan dari MMAS-4 yang

pada tahun 1980 ditemukan secara sederhana (CMSA, 2006).

Pertanyaan nomor 1,2,6 merupakan pertanyaan motivasi

meliputi kemampuan pasien untuk mengingat dan kemauannya

untuk mengonsumsi obat. Sedangkan pertanyaan nomor 3,4,5

merupakan pertanyaan pengetahuan yang mengukur

kemampuan pasien dalam menilai suatu manfaat yang didapat

Ketika mengonsumsi obat ataupun tidak dalam jangka panjang

(CMSA, 2006). Pasien memiliki motivasi rendah jika pertanyaan

nomor 1,2,6 memiliki skor 0-1 dan memiliki motivasi tinggi jika

pada nomer tersebut memiliki skor 2-3, sedangkan pasien

memiliki pengetahuan rendah jika pertantaan nomor 3,4,5

memiliki skor 0-1 dan memiliki pengetahuan tinggi jika pada

nomor tersebut memiliki skor 2-3. Jawaban “YA” memiliki skor 0

dan “TIDAK” memiliki skor 1 (CMSA, 2006).

Tabel 2.4
Kalibrasi MMAS 8 dengan Original Morisky Scale

The 8-Item Medication Adherence Scale Original Morisky Scale

1. Do you sometimes forget to take 1) Do you ever forget to take your


your tuberculosis medications? medications?
2. Over the past 2 weeks, were there 2) Are you careless at times about
any days when you did not take taking your medicine?
your tuberculosis medicine?
3. Have you ever cut back or stopped 3) Sometimes if you feel worse
taking your tuberculosis medicine when you take the medicine, do

56
without telling your doctor because you stop taking it?
you felt worse when you took it ?
4. When you travel or leave home, do 4) When you feel better do you
you sometimes forget to bring along sometimes stop taking your
your tuberculosis medications? medicine?
5. Did you take your tuberculosis
medicine yesterday?
6. When you feel like your cough is
under control, do you sometimes
stop taking your tuberculosis
medicine?
7. Taking medication everyday is a
real inconvenience for some people.
Do you ever feel hassled about
sticking to your tuberculosis
treatment regimen?
8. How often do you have difficulty
remembering to take all your
tuberculosis medication ?
a. Never
b. Rarely
c. Sometimes
d. Often
e. Always

D. Tuberkulosis (TBC)

a. Definisi Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosa adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium Tuberculosis. Sering dijumpai pada paru-paru, juga dapat

terjadi pada organ diseluruh tubuh antara lain : usus, kelenjar limfa

(kelenjar getah bening, tulang, kulit, otak, ginjal, dan lain-lain). (Utomo,

2005).[ CITATION Feb16 \l 1033 ]

Definisi lain Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi

menular yang disebabkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang

dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit ini bila

57
tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan

komplikasi berbahaya hingga kematian. (Kemenkes RI, 2015).[ CITATION

Kem15 \l 1033 ]

TB paru sangat berbahaya karena bisa menyebabkan seseorang

meninggal dan sangat mudah ditularkan kepada siapa saja dimana 1

orang pasien TB dengan Baksil Tahan Asam (BTA). Positif bisa

menularkan kepada 10 – 15 orang di sekitarnya setiap tahun (PPTI,

2010).

b. Etiologi

Sebagaimana telah diketahui, TB paru disebabkan oleh basil TB

(Mycobacterium tuberculosis humanis). Mycobacterium Tuberculosis

termasuk familie Mycobacteriaceae yang mempunyai berbagai genus,

satu di antaranya adalah Mycobacterium, yang satu spesiesnya adalah

Mycobacterium Tuberculosis.

Basil TB paru mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam,

sifat ini dimanfaatkan oleh Robert Koch untuk mewarnainya secara

khusus. Oleh karena itu, kuman ini disebut pula Basil Tahan Asam. Untuk

bakteri-bakteri lain hanya diperlukan beberapa menit sampai 20 menit

untuk mitosis, basil TB memerlukan waktu 12 sampai 24 jam. Hal ini

memungkinkan pemberian obat secara intermiten (dua-tiga hari sekali).

Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam

beberapa menit saja akan mati. Ternyata kerentanan ini terutama

terhadap gelombang cahaya ultra violet. Basil TB juga rentan terhadap

panas-basah, sehingga dalam dua menit saja basil TB yang berada

dalam lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100° C.

58
Basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alkohol

70%, atau lison 5%. (Danusantoso, 2000).[ CITATION Bud11 \l 1033 ]

c. Klasifikasi

Berdasarkan pemeriksaan, TBC dapat diklasifikasikan menjadi :

1. TBC paru BTA positif

Disebut sebagai TBC paru BTA positif apabila sekurang-kurangnya

dua dari tiga spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya

positif, atau 1 spesimen dahak SPS positif disertai pemeriksaan

radiologi paru menunjukkan gambaran TBC aktif.

2. TBC paru BTA negatif

Apabila dalam pemeriksaan tiga spesimen dahak SPS BTA negatif

dan foto radiologi dada menunjukkan gambaran TBC aktif. TBC paru

dengan BTA negatif dan gambaran radiologi positif dibagi berdasar

tingkat keparahan, bila menunjukkan keparahan yakni kerusakan luas

dianggap berat.

3. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh di luar paru, termasuk

pleura yakni yang menyelimuti paru, serta organ lain seperti selaput

otak, selaput jantung perikarditis, kelenjar limpa, kulit, persendian,

ginjal, saluran kencing, dan lain-lain. (Achmadi, 2008).[ CITATION

Per08 \l 1033 ]

d. Cara Penularan

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu

batuk atau bersin, pasien menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk

59
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar

3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana

percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat

mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat

membunuh bakteri. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam

keadaan yang gelap dan lembab.

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya

bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan

hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang

memungkinkan seseorang terpajan bakteri TB ditentukan oleh

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara

tersebut. (Kemenkes RI, 2011).[ CITATION Kem131 \l 1033 ]

Risiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan kualitas paparan

dengan sumber infeksi dan tidak berhubungan dengan faktor genetik atau

faktor penjamu lainnya. Risiko tertinggi berkembangnya penyakit yaitu

pada anak berusia dibawah 3 (tiga) tahun, risiko rendah pada masa

kanak-kanak, dan meningkat lagi pada masa remaja, dewasa muda, dan

usia lanjut. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran

pernapasan dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran

darah, pembuluh limfe, atau langsung ke organ terdekatnya.

Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang

lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular TBC adalah

17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya

keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa

(tidak serumah).

60
Seorang penderita dengan BTA (+) yang derajat positifnya tinggi

berpotensi menularkan penyakit ini. Sebaliknya, penderita dengan BTA (-)

dianggap tidak menularkan. Angka risiko penularan infeksi TBC di

Amerika Serikat adalah sekitar 10/100.000 populasi. Di Indonesia angka

ini sebesar 1-3% yang berarti diantara 100 penduduk terdapat 1-3 warga

yang akan terinfeksi TBC. Setengah dari mereka BTA-nya akan positif

(0,5%). (Widoyono, 2011).[ CITATION Ari15 \l 1033 ]

e. Perjalanan penyakit TB

1. TB Primer

Pada seseorang yang belum pernah kemasukan basil TB,

tes tuberculin akan negatif karena sistem imunitas seluler belum

mengenal basil TB. Bila orang ini mengalami infeksi oleh basil TB,

walaupun segera difagositosis oleh makrofag, basil TB tidak akan

mati, bahkan makrofagnya dapat mati. Dengan demikian, basil TB

ini lalu dapat berkembang biak secara leluasa dalam 2 (dua)

minggu pertama di alveolus paru, dengan kecepatan 1 basil menjadi

dua basil setiap 20 jam, sehingga pada infeksi oleh 1 basil saja,

setelah 2 (dua) minggu akan bertambah menjadi 100.000 basil.

(HOLM, 1970 dalam Danusantoso, 2000).

Selama 2 (dua) minggu ini, sel-sel limfosit T akan mulai

berkenalan dengan basil TB untuk pertama kalinya akan menjadi

limfosit T yang tersensitisasi. Dalam waktu kurang 1 (satu) jam

setelah berhasil masuk dalam alveoli, basil-basil Tb sebagian akan

terangkut aliran limfa ke dalam kelenjar-kelenjar limfa regional dan

61
sebagian malah dapat ikut masuk ke dalam aliran darah dan

tersebar ke organ lain. (Danusantoso, 2000).

2. TB Sekunder

Yang dimaksud dengan TB sekunder ialah penyakit TB

yang baru timbul setelah lewat 5 (lima) tahun sejak terjadinya infeksi

primer. Dengan demikian, mulai sekarang apa yang disebut TB post

primer, secara internasional diberi nama baru TB sekunder (Styblo,

1978 dalam Danusantoso, 2000).

Kemungkinan suatu TB primer yang telah sembuh akan

berkelanjutan menjadi TB sekunder tidaklah besar diperkirakan

hanya sekitar 10% (Roullion et al, 1976 dalam Danusantoso, 2000).

Sebaliknya juga suatu reinfeksi endogen atau eksogen, walaupun

semula berhasil menyebabkan seseorang menderita penyakit TB

sekunder, tidak selalu penyakitnya akan berkelanjutan terus secara

progresif dan berakhir kematian[ CITATION Asn02 \l 1033 ]. Hal ini

terutama ditentukan oleh efektivitas sistem imunitas seluler disatu

pihak dan jumlah serta virulensi basil TB dipihak lain.

Walaupun sudah sampai timbul TB, selama masih minimal,

masih ada kemungkinan bagi tubuh untuk menyembuhkan dirinya

sendiri, bila sistem imunitas seluler masih berfungsi dengan baik,

dengan meninggalkan bekas-bekas berupa jaringan parut (proses

fibrotik) dan bintik-bintik / bercak-bercak kapur. Dengan demikian,

dapat disimpulkan bahwa TB pada anak-anak pada umumnya

adalah TB primer, sedang TB pada orang dewasa adalah TB

sekunder karena reinfeksi endogen (Danusantoso, 2000).

62
f.Gejala dan Diagnosis

1. Gejala Tuberkulosis

a) Kehilangan nafsu makan, lidah kering, bibir kering, dan malas

bicara.

Seringkali batuk-batuk yang berkepanjangan disertai dahak

berwarna kuning, kadang-kadang bercampur darah.

b) Suhu badan menaik sampai 39° - 41°C.

c) Malam hari sering kali mengeluarkan banyak keringat.

d) Muka kelihatan pucat kebiru-biruan.

e) Nafas terasa sesak dan sakit.

f) Nyeri tulang, berat badan menurun.

g) Kelenjar getah bening regional di daerah hilus membengkak dan

mengalami perkejuan, mungkin disertai dengan erythema

nodosum (radang kulit akut, ditandai dengan benjol-benjol

merah, biasanya di tungkai, di leher dengan disertai rasa gatal

dan panas) dileher yang sakit bila di raba. (Utomo, 2005).

Sedangkan menurut Kemenkes RI (2011)[ CITATION

Dep11 \l 1033 ], Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak

selama dua-tiga minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala

tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,

badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih

dari satu bulan.

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada

penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,

63
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat

ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes

dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang yang

datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap

sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2. Diagnosis Tuberkulosis

Adapun diagnosis pastinya adalah melalui pemeriksaan kultur

atau biakan dahak. Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu

lama, hanya dilakukan bila diperlukan atas indikasi tertentu, dan tidak

semua unit-unit pelayanan memilikinya. Pemerintah melalui gerakan

terpadu nasional, memiliki upaya untuk meningkatkan kemampuan

puskesmas untuk melakukan diagnosis TBC berdasarkan

pemeriksaan BTA ini.

Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya tiga kali, yaitu

pengambilan dahak sewaktu penderita datang ketempat pengobatan

dan dicurigai menderita TBC, Kemudian pemeriksaan kedua

dilakukan keesokan harinya. Yang diambil adalah dahak pagi.

Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita

memeriksakan dirinya sambil membawa dahak pagi. Oleh sebab itu,

disebut pemeriksaan SPS-sewaktu-pagi-sewaktu. (Achmadi, 2008).

[ CITATION Par12 \l 1033 ]

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya bakteri TB. Pada program TB nasional, penemuan

BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis

64
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan

dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai

dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya

berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu

memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering

terjadi overdiagnosis. (Kemenkes RI, 2011).[ CITATION Kem13 \l 1033 ]

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan

lebih lanjut, yaitu rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.

Kalau dalam pemeriksaan radiologi, dada menunjukkan adanya

tanda-tanda yang mengarah kepada TBC maka yang bersangkutan

dianggap positif menderita TBC. Kalau hasil radiologi tidak

menunjukkan adanya tanda-tanda TBC, maka pemeriksaan dahak

SPS harus diulang. Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau

bakteriTBC, hanya dilakukan apabila sarana mendukung untuk itu.

(Achmadi, 2008).

g. Pencegahan

Perlindungan terbaik melawan tuberkulosis adalah diagnosis dan

pengobatan yang efisien untuk orang dengan infeksi aktif. Tuberkulosis

dalam segala bentuk merupakan penyakit yang harus dilaporkan di

Inggris. Orang yang berkontak erat dengan pasien penyakit paru harus

mendapatkan peninjauan status klinis dan status BCGnya, menjalani tes

kulit tuberculin (biasanya heaf), dan memerlukan penilaian secara

radiologis. (Mandal, dkk. 2008).

Menurut (Utomo, 2005) Pencegahan TBC yaitu :

65
1. Memberi imunisasi pada bayi-bayi yang baru lahir dengan BCG,

dan diulang pada umur 12 atau 16 bulan kemudian bila diperlukan.

2. Memberikan imunisasi keluarga yang terdekat, bila pemeriksaan

tes tuberculin negatif.

3. Jangan minum susu sapi yang mentah, harus dimasak dahulu.

4. Memberikan penerangan pada penderita untuk menutup mulut

dengan sapu tangan bila batuk serta tidak meludah/mengeluarkan

dahak di sembarang tempat dan menyediakan tempat ludah yang

diberi lisol atau bahan lain yang dianjurkan dan untuk mengurangi

aktivitas kerja serta menenangkan pikiran.

h. Pengobatan TB

1. Tujuan Pengobatan TB

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai

penularan terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti

Tuberkulosis (OAT).

Tabel 2.5
Pengelompokan OAT

Golongan dan Obat


Jenis
Golongan-1 Obat ■ Isoniazid (H) ■ Pyrazinamide
Lini ■ Ethambutol (E) (Z)
Pertama ■ Rifampicin (R)
■ Streptomycin (S)

Golongan-2 / Obat ■ Kanamycin (Km) ■ Amikacin (Am)


suntik/ Suntikan lini ■ Capreomycin (Cm)
kedua

Golongan-3 / ■ Ofloxacin (Ofx) ■ Moxifloxacin (Mfx)


Golongan ■ Levofloxacin (Lfx)
Floroquinolone

66
Golongan-4 / Obat ■ Ethionamide(Eto) ■ Para amino salisilat
bakteriostatik lini ■ Prothionamide (Pto) (PAS)
kedua ■ Cycloserine (Cs) ■ Terizidone (Trd)

Golongan-5 / Obat ■ Clofazimine (Cfz) ■ Thioacetazone


yang belum terbukti ■ Linezolid(Lzd) (Thz)
efikasinya dan tidak ■ Amoxilin- ■ Clarithromycin (Clr)
direkomendasikan Clavulanate (Amx- ■ Imipenem(Ipm).
oleh WHO Clv)

Tabel 2.6
Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama

Dosis yang
Jenis OAT Sifat direkomendasikan(mg/kg)
Harian 3xseminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)

Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)

Pyrazinamide Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)


(Z)
Streptomycin Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
(S)
Ethambutol (E) Bakteriostati 15 (15-20) 30 (20-35)
k

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip

sebagai berikut: OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi

beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai

dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal

(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)

lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin

kepatuhan pasien menelan obat, dilakuka n pengawasan

langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang

Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap

67
intensif dan lanjutan.

a) Tahap awal (intensif)

1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap

hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah

terjadinya resistensi obat.

2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan

secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular

dalam kurun waktu 2 (dua) minggu.

3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA

negatif (konversi) dalam 2 (dua) bulan.

b) Tahap Lanjutan

1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih

sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persister

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:

a) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

b) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat

sisipan (HRZE).

c) Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB

68
resisten obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu

Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide,

sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and

etambutol. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan

dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-

KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis

obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat

badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu

pasien.

d) Paket Kombipak

Paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,

Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam

bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk

digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek

samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk

memudahkan pemberian obat dan menjamin

kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu

(1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

3. Efek Samping Obat

Tabel 2.7
Efek Samping Ringan OAT
Efek Samping Penyeba Penatalaksanaan
b
Tidak ada nafsu makan, mual, Semua OAT diminum
sakit perut Rifampisin malam sebelum tidur
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin

69
Kesemutan s/d rasa terbakar di Beri vitamin B6 (piridoxin)
Kaki INH 100mg
per hari
Warna kemerahan pada air seni Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
(urine) Rifampisin perlu penjelasan kepada
pasien.

Tabel 2.8
Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Semua jenis Ikuti petunjuk


Gatal dan kemerahan kulit OAT penatalaksanaan

Streptomisin dihentikan, ganti


Tuli Streptomisin Etambutol.

Gangguan keseimbangan Streptomisin dihentikan, ganti


Streptomisin Etambutol.

Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua Hentikan semua OAT


OAT sampai ikterus
menghilang.
Bingung dan muntah-muntah Hampir semua Hentikan semua OAT,
(permulaan ikterus karena OAT segera lakukan tes fungsi
obat) hati.
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin.

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan

kemerahan kulit”: Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT

mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan

penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan

OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada

sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan

terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan

semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika

gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

(Kemenkes, 2011).[ CITATION Kem13 \l 1033 ]

70
4. TB Resintensi Obat

TB resintensi obat adalah dimana keadaan kuman Mycobacterium

Tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB

(OAT). Terdapat 5 kategori resistansi terhadap OAT yaitu :

1) Monoresistance: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya

resistan isoniazid (H).

2) Polyresistance: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain

kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan

isoniazid dan etambutol (HE), rifampisim etambutol (RE), isoniazid

etambutol dan streptomisin (HES), rifampisin etambutol dan

streptomisin (RES).

3) Multi Drug Resistance (MDR): resistan terhadap isoniazid dan

rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain,

misalnya resistan HR, HRE, HRES.

4) Extensively Drug Resistance (XDR): TB MDR disertai resistansi

terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu

dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).

5) TB Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap rifampisin

(monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi

menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa

resistan OAT lainya. (Kemenkes RI, 2014)

i. Komplikasi

1. Batuk Darah

Karena pada dasarnya proses TB adalah proses nekrosis,

kalau diantara jaringan yang mengalami nekrosis terdapat

71
pembuluh darah, besar kemungkinan penderita akan mengalami

batuk darah, yang dapat bervariasi dari jarang sekali sampai sering

atau hampir setiap hari. Variasi lainnya adalah jumlah darah yang

dibatukkan keluar mulai dari sangat sedikit (garis darah pada

sputum) sampai banyak sekali (profus), tergantung pada pembuluh

darah yang terkena.

Batuk darah baru akan membahayakan jiwa penderita bila

profus, karena dapat menyebabkan kematian oleh syok dan anemia

akut. Di samping itu, darah yang akan dibatukkan keluar dapat

menyangkut di trakea/larings dan akan menyebabkan asfiksia akut

yang dapat berakibat fatal. (Danusantoso, 2000)

2. Limfadinitis

Lokasi tersering penyakit ektraparu, penyakit dapat timbul dari

infeksi primer, penyebaran dari lokasi jauh, atau reaktivasi infeksi.

Kelenjar getah bening biasanya tidak nyeri dan pada awalnya dapat

digerakkan (mobile) namun menjadi terfiksasi sejalan dengan

waktu. Saat terjadi perkijuan dan pencairan (liquefaction),

pembengkakan menjadi berfluktuasi dan dapat mengeluarkan

sekret melalui kulit dengan pembentukan abses collarstud dan

pembentukan sinus.

3. Penyakit Gastrointestinal

Tuberkulosis dapat mengenai semua bagian usus dan pasien

dapat mengalami berbagai variasi gejala dan tanda. Penyakit

ileosekal menyebabkan separuh kasus tuberkulosis abdominal,

demam, keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat badan

72
biasanya jelas terjadi dan massa fosa iliaka kanan dapat teraba,

hingga 30% kasus mengalami abdomen akut.

4. Penyakit Perikadial

Penyakit terjadi dalam dua bentuk utama : efusi pericardial

Perikarditis konstriktif. Demam dan keringat malam jarang terjadi

dan manifestasinya bersifat perlahan dengan sesak nafas dan

pembengkakan abdomen. Diagnosis ditegakkan secara klinis,

radiologis, dan ekokardiografik. Efusi perikardial bercampur darah

85% kasus.

5. Penyakit Sistem Saraf Pusat

Hingga saat ini bentuk paling penting dari tuberkulosis sistem

saraf pusat adalah penyakit meningeal. Penyakit ini dapat

menyebabkan komplikasi pada tuberkulosis primer atau postprimer.

Penyakit ini dapat mengancam nyawa dan menjadi fatal dengan

cepat bila tidak didiagnosis sejak awal.

6. Penyakit Tulang dan Sendi

Semua tulang dan sendi dapat terinfeksi namun yang paling

sering adalah tulang belakang dan panggul. Tuberkulosis tulang

belakang dengan gejala nyeri punggung kronik dan biasanya

mengenai tulang belakang torakal bagian bawah dan lumbai.

Keterlibatan diskus merupakan manifestasi pertama yang diikuti

oleh penyebaran sepanjang ligamen spinal untuk mengenai korpus

73
vertebra anterior didekatnya sehingga menyebabkan angulasi

vertebra dan kifosis.

7. Penyakit Saluran Kemih dan Kelamin

Penyakit ginjal jarang terjadi dan seringkali sangat perlahan

dengan gejala konstitusional minimal. Pada pria, tuberkulosis

saluran kemih dan kelamin dapat timbul sebagai epididimis atau

prostatitis. Pada wanita, infertilitas akibat endometritis atau nyeri

dan pembengkakan pelvis akibat salpingitis atau abses tuboovarium

dapat terjadi namun jarang. (Mandal, dkk. 2008).

E. Teori Keperawatan

Teori Keperawatan yang saat ini dikembangkan dan diterapkan

dalam keperawatan baik untuk keperluan pedidikan maupun praktek

keperawatan menggunakan empat model. Semua model tersebut

menggambarkan konsep yang sama yaitu antara lain:

1. Orang yang menerima asuhan keperawatan

2. Lingkungan (masyarakat)

3. Kesehatan (sehat/sakit, kesehatan, dan penyakit)

4. Keperawatan dan peran perawat (tujuan/sasaran, peran dan fungsi)

Menurut Budiono (2016), menjelaskan bahwa teori keperawatan

berperan dalam membedakan keperawatan dengan disiplin ilmu lainnya

yang bertujuan menggambarkan, menjelaskan, memperkirakan dan

mengontrol hasil asuhan keperawatan atau pelayanan keperawatan yang

dilakukan[ CITATION Bud11 \l 1033 ]. Teori-teori keperawatan yang ada saat

74
ini semuanya dibangun atas empat konsep yang menghasilkan suatu

model keperawatan. Model keperawatan tersebut digunakan dalam

praktik, penelitian ataupun pengajaran. Adapun beberapa model

konseptual keperawatan, antara lain:

1. Florence Nightingale

2. Complementary Supplementary dari Henderson

3. Self Care Model dari Orem

4. Interpersonal Process Model dari Peplau

5. Health Care System Model dari Betty Newman

6. Adaptation Model dari Roy

7. Philosophy of Caring dari Jean Watson

8. Cultural Care Theory dari Madeline Leninger

Dari beberapa model konseptual di atas, pada penelitian ini peniliti

melakukan proses intervensi berupa konseling. Dimana konseling

termasuk kegiatan komunikasi terapeutik, sekaligus dalam konseling

perawat berperan menjadi konselor. Dalam penelitian ini, peneliti merujuk

pada model konseptual dari Peplau yaitu Interpersonal Process Model.

Tujuan dari Peplau tersebut adalah memberikan pemenuhan kebutuhan

bagi klien dan mengembangkan kepribadian klien melalui hubungan

interpersonal yang mendidik. Peplau pun membahas mengenai salah

satu peran perawat dalam penerapan model konseptualnya yaitu

berperan sebagai konselor, yang mana perawat berperan dalam

mengatur tujuan dan proses interaksi personal dengan pasien/klien yang

75
bersifat partisipasif, sedangkan pasien/klien sendiri harus dapat

mengenali isi dari tujuan dari peran perawat tersebut.

F. Kerangka Teori

Strategi penanggulangan

TB Paru Meningkatkan
angka
keberhasilan
pengobatan
TB Paru OAT dan
Meningkatkan
1. Definisi angka
2. Etiologi kesembuhan
penderita
76 TB
3. Tanda dan gejala Paru
Konsumsi OAT selama 6-8
4. Pengobatan TB
bulan
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

a. Paradigma Penelitian

77
Definisi Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular

yang disebabkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang dapat

menyerang berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak

diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan

komplikasi berbahaya hingga kematian (Kemenkes RI, 2015).

[ CITATION Kem15 \l 1033 ]

Menurut Kemenkes RI (2017), menjelaskan bahwa pengobatan

dalam kasus TB ini merupakan salah satu strategi utama dalam

pengendalian jumlah kasus TB, karena pengobatan tersebut dapat

memutus mata rantai penularan.[ CITATION Dep17 \l 1033 ]

Tetapi pada kenyataanya kesadaran masyarakat terhadap

pemanfaatan pelayanan kesehatan dinilai sangat kurang. Mengecek

kondisi kesehatan diri sendiri pun masih dinilai kurang. Mayoritas

masyarakat beranggapan jika terkena sakit, pasti dihubungkan dengan

gejala masuk angin. Jika sudah parah, baru dibawa ke fasilitas

pelayanan kesehatan. Termasuk penyuluhan tentang penyakit di

masyarakat yang begitu kurang. Paparan akan informasi mengenai

suatu penyakit, termasuk dari tanda gejala dan penyebab, hal tersebut

perlu diberikan kepada masyarakat.

Terkait dengan kasus TB Paru, sebagian besar masyarakat tidak

mengetahui cara penyebaran penyakit tersebut, dan selain itu

pengobatan yang harus dilakukan secara rutin terkadang masih tidak

dipatuhi dikarenakan berbagai macam alasan terkait sarana prasana,

akses ke fasyankes, sampai faktor ekonomi. Peran petugas disini

sangat diperlukan untuk mengatasi hal tersebut. Petugas kesehatan

78
mulai untuk memberikan penyuluhan berupa pendidikan kesehatan

mengenai bagaimana cara memperoleh pengobatan OAT bagi

penderita TB Paru.

VARIABEL
INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Pendidikan Kesehatan
Kepatuhan pasien dalam
Berupa Konseling
pengobatan TB Paru di Poli
dengan media Booklet
DOTS RSUD Cimacan

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

b. Rancangan Penelitian

Desain atau rancangan penelitian merupakan kerangka acuan

bagi peneliti untuk mengkaji hubungan antar variabel dalam suatu

penelitian. Desain penelitian dapat menjadi petunjuk bagi peneliti untuk

mencapai tujuan penelitian dan juga sebagai penuntun bagi peneliti

dalam seluruh proses penelitian (Riyanto, 2011).[ CITATION Riy11 \l 1033

Dalam penelitian kali ini, peneliti mengambil desain penelitian pre-

experimental design, dimana penelitian ini merupakan salah satu

bentuk penelitian eksperimen yang memanipulasi independent

variable, pemilihan subjek penelitian dilakukan secara non random,

dan tidak memiliki control grup atau comparison group (Carmen G.

Loiselle et al., 2010). Jenis penelitian ini menggunakan The one group

pretest posttest design. Penelitian ini sama seperti single group,

79
namun sebelum dan setelah perlakuan dilakukan pengukuran atau

observasi (pre and posttest design).

O X O

Compare

Gambar 3.2 A before-after pre-experimental study (Varkessiver et al., 2003)

Keterangan:

O : Pre Test

X : Intervensi

O : Post Test

c. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan masalah yang ada, maka peneliti merumuskan hipotesis

sebagai jawaban sementara, yaitu:

Ho : Tidak Ada pengaruh pendidikan kesehatan metode konseling

dengan media booklet terhadap kepatuhan pasien dalam

pengobatan TB Paru di Poli DOTS RSUD Cimacan.

Ha : Ada pengaruh pendidikan kesehatan metode konseling

dengan media booklet terhadap kepatuhan pasien dalam

pengobatan TB Paru di Poli DOTS RSUD Cimacan.

d. Variabel Penelitian

80
Variabel adalah suatu sifat yang akan diukur atau dimana yang

nilainya bervariasi antara satu objek ke objek lainnya dan terukur

(Riyanto, 2011). Variabel penelitian ini adalah:[ CITATION Riy11 \l 1033 ]

1. Variabel Dependen

Variable dependen merupakan variabel yang dipengaruhi oleh

variabel lain (Riyanto, 2011). Variabel dependen dalam penelitian ini

adalah kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru di Poli DOTS

RSUD Cimacan.

2. Variabel Independen

Variabel independen merupakan variabel yang mempengaruhi

variabel lain (Riyanto, 2011). Variabel independen dalam penelitian

ini adalah pengaruh pendidikan kesehatan metode konseling

dengan media booklet.

e. Definisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional Penelitian

Variabel Definisi Definisi Alat Hasil Sk


Konseptual Operasional Ukur ala
Independen: Konseling Pendidikan Standar - -
Pengaruh merupakan suatu Kesehatan Operasio
pendidikan proses untuk berupa nal
kesehatan membantu konseling Prosedur.
metode keluarga dalam dengan media
konseling mengatasi booklet
dengan masalah mereka dilakukan pada
media sendiri secara pasien TB paru
booklet efektif, dan dalam
menggunakan pengobatannya
kompetensi merupakan
sumber lain serta pemberian
secara optimal informasi yang
(Friedman, efektif dalam
2010). pemahaman
suatu kondisi
yang dirasakan
oleh pendertia
TB Paru di Poli

81
DOTS RSUD
Cimacan
Dependen: Menurut Kozier Kepatuhan Morisky Skor=8 Rat
Kepatuhan (2010) yang didasari Medicatio ( kepatuh io
pasien dalam kepatuhan pada tindakan n an tinggi)
pengobatan adalah perilaku atau perilaku Adherenc
TB Paru di individu pasien terhadap e Scale Skor= <
Poli DOTS (misalnya: pengobatan TB (MMAS)- 6:
RSUD minum obat, Paru secara 8 (kepatuh
Cimacan mematuhi diet, rutin di Poli an
atau melakukan DOTS RSUD rendah)
perubahan gaya Cimacan
hidup) sesuai Skor 6 -
anjuran terapi <8=(kepa
dan kesehatan. tuhan
Tingkat sedang)
kepatuhan dapat
dimulai dari
tindak
mengindahkan
setiap aspek
anjuran hingga
mematuhi
rencana.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek (manusia, binatang,

percobaan, data laboratorium, dan lain-lain) yang akan diteliti dan

memenuhi karakteristik yang ditentukan (Riyanto, 2011). Populasi

yang sudah ditentukan oleh peneliti yaitu penderita TB Paru yang

berobat ke Poli DOTS RSUD Cimacan yaitu sebanyak 152 responden.

b. Sampel

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang diharapkan dapat

mewakili atau representatif populasi. Sampel sebaiknya memenuhi

kriteria yang dikehendaki, sampel yang dikehendaki merupakan bagian

dari populasi target yang akan diteliti secara langsung, kelompok ini

meliputi subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (Riyanto,

82
2011). Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan teknik

pengambilan sampling berupa Purposive Sampling. Dimana dalam

Riyanto (2011) menjelaskan, bahwa teknik Purposive Sampling

tersebut merupakan teknik pengambilan sampel berdasarkan

pertimbangan tertentu yang telah dibuat oleh peneliti, berdasarkan ciri

atau sifat-sifar populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Pada penelitian ini, peneliti sudah menetapkan sampel dan kriteria

responden yang dikehendaki peneliti untuk diteliti. Peneliti

menyesuaikan dengan rancangan penelitian yang akan dilakukan,

peneliti akan mengambil sampel penelitian sebanyak 10 (sepuluh)

responden. Menurut Sugiyono (2010), untuk penelitian pre-

eksperimental dengan penelitian sederhana yang menggunakan

kelompok eksperimen semu dan kelompok kontrol anggota sampel

masing-masing antara 10 sampai 20. Peneliti pun sudah menetapkan

kriteria inklusi dan eksklusi. Menurut Dharma (2011), untuk mencegah

kejadian dropout pada sampel penelitian, besar sampel ditambah 10%

sehingga besar sampel minimal dapat dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

n1
n 2=
1−f

Keterangan:

n2 = Besar sampel yang dihitung

n1 = Besar sampel perhitungan awal

f = Perkiraan proporsi dropout (10%)

Berdasarkan rumus di atas perhitungan sampel dalam penelitian ini

adalah

83
10
n 2=
1−10 %

10
n 2=
0,9

n2 = 11,11 = 11 responden

Berdasarkan perhitungan rumus di atas, sampel dalam penelitian ini

sebanyak 11 responden. Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini

yaitu:

1. Kriteria Inklusi

1) Pasien yang sudah didiagnosa positif TB Paru (termasuk TB

paru Klinis dan TB Paru Bakteriologis).

2) Penderita TB Paru yang melakukan pengobatan rutin ke Poli

DOTS RSUD Cimacan.

3) Penderita TP Paru yang sudah berobat setelah kunjungan

bulan pertama.

4) Dapat berkomunikasi dan dapat mengikuti konseling dari awal

sampai akhir dengan baik.

5) Dapat membaca dan menulis dengan mengisi kuesioner yang

telah diberikan.

2. Kriteria Eksklusi

1) Pasien yang didiagnosa TB Ekstraparu.

2) Penderita TB Paru yang datang pertama melakukan

pengobatan.

3) Penderita TB paru dengan kondisi kritis.

84
C. Pengumpulan Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Adapun tahapan peneliti dalam mengumpulkan data, diantaranya:

1. Meminta izin kepada kepala ruangan rawat jalan, dokter, dan

perawat pelaksana yang sedang bertugas di Poli DOTS RSUD

Cimacan.

2. Mengidentifikasi responden yang memenuhi kriteria inklusi yang

sudah ditetapkan.

3. Memberikan penjelasan kepada responden mengenai tujuan dari

penelitian tersebut.

4. Memberikan lembar persetujuan kepada responden dan meminta

responden untuk menandatangani lembar persetujuan tersebut.

5. Menjelaskan prosedur atau proses penelitian yang akan dilakukan

oleh peneliti kepada responden dalam mengumpulkan data

penelitian.

6. Peneliti mengukur kepatuhan dengan menggunakan kuesioner

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)-8 sebelum dilakukan

intervensi.

7. Memberikan intervensi konseling pada penderita TB Paru sesuai

dengan panduan SOP yang telah dibuat peneliti. Konseling

dilakukan selama satu sesi dengan durasi 30 menit sampai 60

menit, dengan diselingi durasi istirahat selama 5 menit.

8. Setelah dilakukan intervensi, peneliti kembali mengukur kepatuhan

dengan menggunakan kuesioner Morisky Medication Adherence

Scale (MMAS)-8.

85
9. Mendokumentasikan data penelitian.

b. Instrumen Penelitian

1. Kuesioner

Kuesioner yang disediakan peneliti yaitu kuesioner untuk

mengetahui sejauh mana tingkat kepatuhan responden. Pada

penelitian kali ini, peneliti menggunakan kuesioner kepatuhan yang

sudah baku yaitu Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)-8.

Menurut Lee, et al (2012) MMAS-8 sudah divalidasi dan digunakan

di berbagai Negara sebagai instrument/lembar kuesioner untuk

melihat kepatuhan. Sensitifitas sebesar 48,7% dan spesitifitas

69,1%. Nilai α reliabilitas 0,66.

2. Standar Operasional Prosedur

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan intervensi sebagai

salah satu variabel penelitian yang telah ditetapkan. Intervensi yang

akan dilakukan berupa konseling. Maka peneliti sudah menyusun

Standar Operasional Prosedur Konseling yang dapat menunjang

proses penelitian tersebut.

c. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, dikarenakan peneliti menggunakan kuesioner

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)-8 yang sudah baku

dalam menilai tingkat kepatuhan, yang artinya kuesioner tersebut

sebelumnya sudah dilakukan validasi maupun reliabilitas. Jadi peneliti

tidak melakukan validitas dan reliabilitas secara empirik kembali dalam

kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)-8. Menurut

Lee, et al (2012) MMAS-8 sudah divalidasi dan digunakan di berbagai

86
Negara sebagai instrument/lembar kuesioner untuk melihat kepatuhan.

Sensitifitas sebesar 48,7% dan spesitifitas 69,1%. Nilai α reliabilitas

0,66.

Dalam Heryana (2012), menjelaskan bahwa kriteria keputusan

apabila Cronbach Alpha > 0,6 maka instrument dinyatakan reliable.

Jika reliabilitas nilai Cronbach Alpha semakin mendekati angka 1,

maka instrument tersebut memiliki reliabilitas yang sangat tinggi.

[ CITATION Sut10 \l 1033 ]

D. Prosedur Penelitian

a. Tahap persiapan

1. Persiapan materi dan konsep yang mendukung jalannya penelitian.

2. Mengajukan surat permohonan untuk mengambil data awal atau

studi pendahuluan dan izin penelitian kepada RSUD Cimacan.

3. Menerima surat balasan untuk pengambilan data awal atau studi

pendahuluan dan izin penelitian dari RSUD Cimacan.

4. Melakukan studi pendahuluan untuk mendapatkan data primer dan

data sekunder dalam menunjang penelitian.

5. Menyusun proposal penelitian.

6. Seminar proposal penelitian

7. Revisi proposal penelitian.

b. Tahap pelaksanaan

1. Mendapatkan izin melakukan penelitian di Poli DOTS RSUD

Cimacan.

2. Memilih responden yang sesuai dengan kriteria inklusi.

87
3. Melakukan inform consent kepada responden bersedia menjadi

responden dengan mempersiapkan lingkungan yang nyaman.

4. Memberikan kuesioner pre-test MMAS-8 sebelum dilakukan

intervensi.

5. Melaksanakan konseling selama 30 menit dengan media booklet ke

setiap responden sesuai dengan kriteria di Poli DOTS RSUD

Cimacan.

6. Melakukan pengumpulan data keusioner sebelum intervensi selama

5 hari.

7. Melakukan post-test pada pertemuan ke-2 (minggu ke-2) saat

responden kembali ke Rumah Sakit untuk kontrol dengan

memberikan kuesioner post-test MMAS-8 kepada responden.

8. Waktu pelaksanaan dilakukan selama 2 minggu dengan rincian

minggu pertama dilakukan pre-test dan konseling, dan selanjutnya

di minggu kedua dilakukan post-test.

9. Melakukan pengolahan data dan analisa data.

10. Pendokumentasian hasil penelitian.

c. Tahap akhir

1. Menyusun laporan hasil penelitian

2. Presentasi hasil penelitian.

3. Pendokumentasian hasil penelitian.

88
E. Pengolahan dan Analisa Data

a. Pengolahan data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan perangkat komputer, baik

perangkat keras maupun perangkat lunak (software). Dalam hal ini

peneliti memperhatikan kualitas data, agar tidak ada data yang

menjadi sampah. Untuk itu peneliti, melalui beberapa tahap-tahap

(Notoatmodjo, 2010):[ CITATION Not101 \l 1033 ]

1. Editing

Hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan

harus dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara

umum editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan dan

perbaikan isian formulir atau kuesioner tersebut:

1) Apakah formulir lengkap, dalam arti semua pertanyaan sudah

terisi.

2) Apakah jawaban atau tulisan masing-masing pertanyaan cukup

jelas atau terbaca.

3) Apakah jawabannya relevan dengan pertanyaannya.

4) Apakah jawaban-jawaban pertanyaan konsisten dengan jawaban

pertanyaan yang lainnya.

2. Koding

Memberikan kode dalam hubungan dengan pengolahan data.

Adapun pemberian kode sebagai berikut:

89
Tabel 3.2
Koding Untuk Pertanyaan Nomor 1 – 7 MMAS-8

Pertanyaan Koding
Ya Tidak
Nomor 1 0 1
Nomor 2 0 1
Nomor 3 0 1
Nomor 4 0 1
Nomor 5 0 1
Nomor 6 0 1
Nomor 7 0 1

Tabel 3.3

Koding Untuk Pertanyaan Nomor 8 Kuesioner MMAS-8

Pertanyaan Koding
Nomor 8
a. Tidak pernah/sangat jarang 1
b. Sesekali 0
c. Kadang-kadang 0
d. Biasanya 0
e. Selalu/sering 0

3. Scoring

Tahap ini meliputi nilai untuk masing-masing pernyataan dan

penjumlahan hasil scoring dari semua pernyataan.

4. Tabulating

Mengelompokan data ke dalam suatu data tertentu menurut sifat

yang dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian.Langkah-langkahnya

adalah:

1) Membuat dummy table (tabel kosong).

2) Memastikan data yang telah diolah sesuai kebutuhan

analisanya.

3) Entry data.

90
Memasukan data yang telah dilakukan koding ke dalam program

komputer.

5. Data Entry atau Processing

Jawaban-jawaban dari masing-masing responden dimasukkan

ke dalam program atau software komputer. Dalam penggunakan

perangkat lunak, peneliti menggunakan perangkat lunak yang dapat

menunjang penelitian yaitu dengan menggunakan program SPSS

for Windows.

6. Pembersihan data (Cleaning)

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden

selesai dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat

kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan,

ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan

pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut pembersihan data

(data cleanning).

b. Analisa data

Data yang diperoleh dan dianalisis dengan menggunakan komputer

(hardware) dan aplikasi atau software pengolahan data dengan

menggunakan SPSS.

1. Analisa Univariat

Menganalisa data yang diperoleh dari setiap variabel dari hasil

penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti mengidentifikasi gambaran

hasil ukur kepatuhan responden sebelum (pre-test) dan sesudah

(post-test) dilakukan perlakuan atau intervensi. Sehingga nantinya

91
dapat diketahui distribusi frekuensi dan disajikan dalam bentuk

tabel.

Adapun dalam mengukur kepatuhan tersebut, peneliti

menggunakan “Mean”, jika nantinya tidak terdapat nilai yang ekstrim

dan distribusi data normal, dapat menggunakan rumus “Mean”

berikut (Riyanto, 2011):

∑ Xi
Ẋ=
n

Keterangan:
X (X bar) = Mean
∑Xi = Jumlah tiap data
n = Jumlah data

2. Analisa Bivariat

Dalam analisis data yang dilakukan peneliti ini telah

disesuaikan dengan judul yang sudah ditentukan peneliti

sebelumnya. Peneliti menggunakan uji statistik yang sesuai yaitu Uji

t Dependen, dimana tujuan dari pengujian tersebut adalah untuk

menguji perbedaan mean antara dua kelompok data dependen

(subjeknya sama diukur dua kali) (Eko Budiarto, 2020).

1
[r− n]
2
U=
1
√n
2

92
Keterangan:

U = Nilai Dependen

r = Korelasi

n = Jumlah data

Dalam penelitian kesehatan, uji signifikan dilakukan dengan

menggunakan batas kemaknaan (alpha) = 0,05% dan 95%

Confidence Interval, dengan ketentuan bila:

a. P value ≤ 0,05, berarti Ho ditolak (P value ≤ α). Uji statistik

menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan.

b. P value > 0,05, berarti Ho gagal ditolak (P value > α). Uji statistik

menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan.

F. Etika Penelitian

Secara garis besar, dalam melaksanakan sebuah penelitian ada empat

prinsip yang harus dipegang teguh (Milton, 1999 dalam Bondan Palestin,

dalam Notoatmodjo, 2010), yakni:[ CITATION Not101 \l 1033 ]

a. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk

mendapatkan informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian

tersebut. Di samping itu, peneliti juga memberikan kebebasan kepada

subjek untuk memberikan informasi atau tidak memberikan informasi

(berpartisipasi). Sebagai ungkapan, peneliti menghormati harkat dan

93
martabat subjek penelitian, peneliti seyogianya mempersipkan formulir

persetujuan subjek (inform concent) yang mencakup:

1. Penjelasan manfaat penelitian.

2. Penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang

ditimbulkan.

3. Penjelasan manfaat yang didapatkan.

4. Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang

diajukan subjek berkaitan dengan prosedur penelitian.

5. Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek

penelitian kapan saja.

6. Jaminan anonimitas dan kerahasiaan terhadap identitas dan

informasi yang diberikan oleh responden.

b. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for

privacy and confidentiality)

Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi

dan kebebasan individu dalam memberikan informasi. Setiap orang

berhak untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang

lain. Oleh sebab itu, peneliti tidak boleh menampilkan informasi

mengenai identitas dan kerahasiaan identitas subjek. Peneliti

seyogianya cukup menggunakan coding sebagai pengganti identitas

responden.

c. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (respect for justice an

inclusiveness)

Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan

kejujuran, keterbukaan, dan kehati-hatian. Untuk itu, lingkungan

94
penelitian perlu dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan,

yakni dengan menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini

menjamin bahwa semua subjek penelitian memperoleh perlakuan dan

keuntungan yang sama, tanpa membedakan gender, agama, etnis,

dan sebagainya.

d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harms and benefits)

Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal

mungkin bagi masyarakat pada umumnya, dan subjek penelitian pada

khususnya. Peneliti hendaknya berusaha meminimalisasi dampak

yang merugikan bagi subjek. Oleh sebab itu, pelaksanaan penelitian

harus dapat mencegah atau paling tidak mengurangi rasa sakit,

cedera, stres, maupun kematian subjek penelitian.

G. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Poli DOTS RSUD Cimacan. Waktu

penelitian yang dibutuhkan oleh peneliti dalam mengumpulkan data

penelitian di Poli DOTS RSUD Cimacan yaitu sekitar 2 minggu dan waktu

yang dibutuhkan dalam pengolahan dan analisa data penelitian tersebut

yaitu sekitar 1 minggu.

Tabel 3.4
Rencana Kegiatan Penelitian

No. Kegiatan Bulan


Februari Maret April Mei Juni Juli Agt Sept
1. Studi Pendahuluan
2. Penyusunan Proposal
3. Seminar Proposal
4. Pengambilan Data,
Pengolahan Data,
Analisa Data

95
5. Penyusunan Laporan
Hasil Penelitian
(Skripsi)
6. Sidang

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juli 2020 dengan

judul penelitian “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Metode Konseling dengan

Media Booklet Terhadap Kepatuhan Pasien Dalam Pengobatan TB Paru Di

Poli DOTS RSUD Cimacan”, dengan jumlah sampel sebesar 11

responden. Data hasil penelitian ini diperoleh dengan pengamatan dan

observasi mengunakan angket. Observasi yang menghasilan data

kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru ini dilakukan untuk mengetahui

pengaruh pendidikan metode konsling dengan media booklet. Hasil

penelitian ini dianalisa dalam bentuk analisa Univariat dan analisa

Bivariat. Analisa Univariat dilakukan untuk melihat gambaran demografi

responden berupa usia jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan, serta

analisa univariat menggambarkan kepatuhan pasien dalam pengobatan tb

paru sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehata metode konsling

dengan media booklet di RSUD Cimacan. Sedangkan analisa bivariat dalam

penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan metode

konseling dengan media booklet terhadap kepatuhan pasien dalam

pengobatan TB paru di Poli DOTS RSUD Cimacan. Hasil analisa univariat

dan bivariat disajikan dalam bentuk table distribusi sebagai berikut :

96
1. Hasil Anlisa Univariat

a. Gambaran Usia Pasien TB Paru di Poli DOTS RSUD Cimacan

Hasil penelitian diperoleh data usia pasien TB paru di Poli DOTS

RSUD Cimacan, tertera pada tabel 4.1 berikut ini :

Tabel 4.1 Distribusi Rata-rata Usia Pasien TB paru di Poli DOTS


RSUD Cimacan.

Variabel Mean Std. Minimal Maksimal N


Deviation
Usia 41,6 12.75 25 62 11
Sumber : Data Primer 2020

Berdasarkan tabel 4.1 di atas diperoleh hasil penelitian usia

responden yaitu rata-rata usia 41,6 tahun dengan standar deviasi

12,7, usia terendah 25 hari dan tertinggi 62 tahun.

b. Gambaran Jenis Kelamin pasien TB paru di Poli DOTS RSUD

Cimacan

Hasil penelitian diperoleh data jenis Kelamin pasien TB paru di Poli

DOTS RSUD Cimacan, tertera pada tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pasien TB Paru di


Poli DOTS RSUD Cimacan.
Jenis kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki 6 54.5
Perempuan 5 45.5
Total 11 100.0
Sumber : Data Primer 2020

97
Berdasarkan tabel tabel 4.2 di atas diperoleh hasil analisa data

jenis kelamin bahwa sebagian besar yaitu 6 orang (54,5%) jenis

kelamin laki-laki, dan hampir setengahnya yaitu 5 orang (45,5%)

perempuan.

c. Gambaran Pendidikan Pasien TB Paru di Poli DOTS RSUD Cimacan

Hasil penelitian diperoleh data pendidikan pasien TB paru di Poli

DOTS RSUD Cimacan, tertera pada tabel 4.3 berikut ini :

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Pasien TB paru di Poli


DOTS RSUD Cimacan.

Pendidikan Frekuensi Persentase (%)


SMA 3 27.3
SMP 6 54.5
SD 2 18,2
Total 11 100.0
Sumber : Data Primer 2020

Berdasarkan tabel 4.3 di atas diperoleh hasil analisa data

pendidikan responden bahwa sebagian besar yaitu 6 orang (54,5%)

berpendidikan SMP, dan hampir setengahnya yaitu 3 orang (27,3%)

berpendidikan SMA, serta sebagian kecil yaitu 2 orang (18,2%)

berpendidikan SD.

d. Gambaran Kepatuhan Pasien Dalam Pengobatan TB Paru di Poli

DOTS RSUD Cimacan Sebelum Diberikan Pendidikan Kesehatan

Metode Konseling dengan Media Booklet (Berdasarkan Kategori)

Hasil penelitian diperoleh data gambaran kepatuhan pasien dalam

pengobatan TB Paru di Poli DOTS RSUD Cimacan sebelum diberikan

98
pendidikan kesehatan metode konseling dengan media booklet

(berdasarkan kategori) seperti tertera pada tabel 4.4 berikut ini:

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Pasien Dalam Pengobatan


TB Paru Sebelum Diberikan Pendidikan Kesehatan Metode
Konseling Dengan Media Booklet di Poli DOTS RSUD
Cimacan (berdasarkan kategori).
Kepatuhan Frekuensi Persentase (%)
Rendah 11 100.0
Sedang 0 0,0
Tinggi 0 0,0
Total 11 100.0
Sumber : Data Primer 2020

Berdasarkan tabel tabel 4.4 di atas diperoleh hasil analisa data

tentang kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru di Poli DOTS

RSUD Cimacan sebelum diberikan pendidikan kesehatan metode

konseling dengan media booklet (berdasarkan kategori) bahwa

seluruhnya yaitu 11 orang (100,0%) tingkat kepatuhan rendah, dan

tidak seorangpun 0% yang tingkat kepatuhannya sedang maupun

tinggi.

e. Gambaran Kepatuhan Pasien Dalam Pengobatan TB Paru di Poli

DOTS RSUD Cimacan Setelah Diberikan Pendidikan Kesehatan

Metode Konseling dengan Media Booklet (berdasarkan kategori)

Hasil penelitian diperoleh data gambaran kepatuhan pasien dalam

pengobatan TB paru di Poli DOTS RSUD Cimacan setelah diberikan

pendidikan kesehatan metode konseling dengan media booklet

(berdasarkan kategori), seperti tertera pada tabel 4.5 seperti berikut

ini :

99
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Pasien Dalam Pengobatan
TB Paru Setelah Diberikan Pendidikan Kesehatan Metode
Konseling dengan Media Booklet Di Poli DOTS RSUD
Cimacan (berdasarkan kategori).
Kepatuhan Frekuensi Persentase (%)
Rendah 0 0.0
Sedang 7 63,6
Tinggi 4 36,4
Total 11 100.0
Sumber : Data Primer 2020

Berdasarkan tabel tabel 4.5 di atas diperoleh hasil analisa data

tentang kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru di Poli DOTS

RSUD Cimacan setelah diberikan pendidikan kesehatan metode

konseling dengan media booklet (berdasarkan kategori) bahwa

seluruhnya bahwa sebagian besar yaitu 7 orang (63,6%) memiliki

tingkat kepatuhan sedang, dan hampir setengahnya yaitu 4 oarnag

(36,4%) memiliki tingkat kepatuhan tinggi, serta tidak seorangpun 0%

yang tingkat kepatuhannya rendah.

f. Gambaran Kepatuhan Pasien Dalam Pengobatan TB Paru Sebelum

Diberikan Pendidikan Kesehatan Metode Konseling dengan Media

Booklet di Poli DOTS RSUD Cimacan.

Gambaran kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru

sebelum diberikan pendidikan kesehatan metode konseling dengan

media booklet di Poli DOTS RSUD Cimacan, seperti tertera pada

tabel 4.6 berikut ini :

100
Tabel 4.6 Distribusi Rata-rata Kepatuhan Pasien Dalam Pengobatan
TB Paru Sebelum Diberikan Pendidikan Kesehatan Metode
Konseling dengan Media Booklet di Poli DOTS RSUD
Cimacan.

Variabel Mean Std. Minimal Maksimal N


Deviation
Kepatuhan 2,73 0.905 1 4 11
Sumber : Data Primer 2020

Dari tabel 4.6 di atas diperoleh hasil analisa data tentang

kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru sebelum pendidikan

kesehatan metode konseling dengan media booklet di Poli DOTS

RSUD Cimacan, yaitu rata-rata 2,73 dengan Standar Deviasi 0,905,

nilai terendah 1 dan tertinggi 4.

g. Gambaran Kepatuhan Pasien Dalam Pengobatan TB Paru Sebelum

Diberikan Pendidikan Kesehatan Metode Konseling Dengan Media

Booklet di Poli DOTS RSUD Cimacan.

Gambaran kepatuhan pasien dalam pengobatan tb paru

setelah diberikan pendidikan kesehatan metode konseling dengan

media booklet di Poli DOTS RSUD Cimacan, seperti tertera pada

tabel 4.7 berikut ini :

Tabel 4.7 Distribusi Gambaran Rata-rata Kepatuhan Pasien Dalam


Pengobatan TB Paru Setelah Diberikan Pendidikan
Kesehatan Metode Konseling dengan Media Booklet di Poli
DOTS RSUD Cimacan.

Variabel Mean Std. Minimal Maksimal N


Deviation
Kepatuhan 7,36 0.505 7 8 11
Sumber : Data Primer 2020

101
Dari tabel 4.7 di atas diperoleh hasil analisa data tentang

kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru setelah pendidikan

kesehatan metode konseling dengan media booklet di Poli DOTS

RSUD Cimacan, yaitu rata-rata 7,36 dengan Standar Deviasi 0,505,

nilai terendah 7 dan tertinggi 8.

2. Hasil Analisa Bivariat

Untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan maka sebelum dianalisa

bivariat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas distribusi data. Data yang

diuji distribusi normalitas adalah data kepatuhan pasien sebelum dan setelah

diberikan pendidikan kesehatan metode konseling dengan media booklet, Uji

normalitas distribusi data dalam pelitian ini menggunakan ratio skewness

dengan hasil table 4.8 seperti berikut :

Tabel 4.8 Tabel Hasil Uji Normalitas Distribusi Data

Data Kepatuhan Skewness SE Ratio Distribusi


Skewness Skewnes Data
s
Kepatuhan Sebelum -0.344 0.661 -0,52 Normal
Kepatuhan Setelah 0.661 0.661 1,0 Normal
Sumber : Data Primer 2020

Berdasarkan table 4.8 di atas diperoleh hasil uji normalitas distribusi

data kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru di Poli DOTS RSUD

sebelum diberikan pendidikan kesehatan metode konseling dengan media

booklet dengan ratio skewness yaitu -0.344 / 0,661 = -0,52, maka dinyatakan

data berdistribusi normal, dan data kepatuhan setelah diberikan pendidikan

kesehatan metode konseling dengan media booklet yaitu 0,661/0,661 = 1,0

102
maka dianyatakan data berdistribusi normal, dimana hasil ratio tersebut tidak

lebih dari -2 s.d 2.

Berdasarkan hasil uji normalitas distibusi di atas maka uji statistic

untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan metode konseling

dengan media booklet terhadap kepatuhan pasien dalam pengobatan tb

paru di Poli DOTS RSUD Cimacan digunakan uji statistic paramaterik dua

kelompok berpasangan yaitu Dependet Simple T Test, dengan hasil seperti

pada tabel 4.9 seperti berikut :

Tabel 4.9 Tabel Distrubusi Rata-rata Kepatuhan Pasien Dalam


Pengobatan TB Paru sebelum dan setelah Pendidikan Kesehatan Metode
Konseling dengan Media Booklet di Poli DOTS RSUD Cimacan.

Kepatuhan Mean Standard Standard p N


Deviasi Error Mean
Sebelum 2,73 0,905 0. ,273 0,000 11
Konseling 11
Setelah Konseling 7,36 0,505 0. 152
Sumber : Hasil Penelitian 2020

Berdasarkan tabel table 4.9 di atas diperoleh data hasil analisis

tentang pengaruh pendidikan kesehatan metode konseling dengan media

booklet terhadap kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru di Poli DOTS

RSUD Cimacan yaitu sebelum diberikan pendidikan kesehatan metode

konseling dengan media booklet yaitu nilai Mean kepatuhan 2,73 dengan

Standar Deviasi 0,905, dan setelah diberikan pendidikan kesehatan metode

konseling dengan media booklet yaitu tingkat mean kepatuhan menjadi 7,36

dengan Standar Deviasi 0,505.

103
Hasil Uji Statistik Dependen Sample T Test diperoleh hasil nilai p

sebesar 0,000. Nilai p (0,000) < α (0.05), maka Ho ditolak, dengan demikian

disimpulkan terdapat pengaruh pendidikan kesehatan metode konseling

dengan media booklet terhadap kepatuhan pasien dalam pengobatan TB

paru di Poli DOTS RSUD Cimacan.

B. Pembahasan

1. Kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru sebelum diberikan

pendidikan kesehatan metode konseling dengan media booklet di

Poli DOTS RSUD Cimacan

Pada penelitian ini, peneliti melakukan identifikasi mengenai

kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru sebelum diberikan

pendidikan kesehatan metode konseling dengan media booklet di

Poli DOTS RSUD Cimacan. Sebelum dilakukan intervensi, peneliti

membagikan kuesioner kepada responden untuk diisi sesuai dengan

pemikiran responden tanpa ada bantuan dari pihak manapun dan

tanpa paksaan. Kemudian peneliti mengumpulkan hasil kuesioner

(pre-test), dan hasil kuesioner tersebut akan dilakukan analisa.

Berdasarkan Tabel 4.9, diketahui nilai Mean kepatuhan 2,73

dengan Standar Deviasi 0,905. Nilai tersebut merupakan nilai dari

kuesioner kepatuhan yang diisi oleh responden sebelum dilakukan

pendidikan kesehatan metode konseling dengan media booklet. Dari

hasil analisa nilai Mean kepatuhan tersebut dapat dimasukkan atau

dibandingkan ke dalam nilai indeks kepatuhan (MMAS). Jika nilai

Mean kepatuhan 2,73, dapat diinterpretasikan bahwa responden

104
pada penelitian tersebut mengalami kepatuhan rendah. Dalam

interpretasi indeks kepatuhan menurut MMAS, dikategorikan memiliki

kepatuhan rendah, jika indeks kepatuhannya kurang dari 6.

Adapun kuesioner yang peneliti gunakan dalam menilai

kepatuhan responden yaitu dengan menggunakan MMAS-8 (Morisky

Medication Adherence Scale). Kuesioner MMAS-8 tersebut

merupakan skala kuesioner dengan pertanyaan sebanyak 8 butir

menyangkut dengan kepatuhan dan kuesioner ini telah tervalidasi.

Adapun kategori dari hasil kuesioner MMAS-8 yaitu Kepatuhan tinggi

memiliki nilai 8; Kepatuhan sedang memiliki nilai 6-7; dan Kepatuhan

rendah memiliki nilai 0-5.

Sebelum diberikan intervensi berupa pendidikan kesehatan

metode konseling dengan media booklet, sebagian besar responden

menyatakan bahwa ketika meminum obat setiap hari kadang

responden merasa tidak nyaman dan merasa terganggu sehingga

responden kadang berpikir pula untuk tidak mematuhi aturan

pengobatan TB Paru. Kemudian hampir seluruh responden kadang-

kadang mengalami kesulitan dalam mengingat pengobatan TB Paru

(OAT).

2. Kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru setelah diberikan

pendidikan kesehatan metode konseling dengan media booklet di

Poli DOTS RSUD Cimacan

Setelah diberikan pendidikan kesehatan metode konseling dengan

media booklet di Poli DOTS RSUD Cimacan, peneli mengumpulkan

105
kembali hasil kuesionernya (post-test) dan peneliti melakukan analisa

kembali. Peneliti mendapatkan hasil, berdasarkan Tabel 4.9,

diketahui nilai Mean kepatuhan 7,36 dengan Standar Deviasi 0,505.

Nilai tersebut merupakan nilai dari kuesioner kepatuhan yang diisi

oleh responden setelah dilakukan pendidikan kesehatan metode

konseling dengan media booklet. Dari hasil analisa nilai Mean

kepatuhan tersebut dapat dimasukkan atau dibandingkan ke dalam

nilai indeks kepatuhan (MMAS).

Jika nilai Mean kepatuhan 7,36, dapat diinterpretasikan bahwa

responden pada penelitian tersebut mengalami kepatuhan sedang.

Dalam interpretasi indeks kepatuhan menurut MMAS, dikategorikan

memiliki kepatuhan sedang, jika indeks kepatuhannya memiliki skor 6

sampai <8.

Setelah diberikan intervensi berupa pendidikan kesehatan

metode konseling dengan media booklet, seluruh responden

mnengatakan tidak pernah mengalami kesulitan dalam menghapal

dan mengingat pengobatan TB Paru (OAT). Hampir sebagian besar

responden pun mengatakan tidak pernah lupa melakukan

pengobatan TB Paru. Jadi, peneliti dapat menginterpretasikan

kembali bahwa seluruh responden berada pada keadaan kepatuhan

sedang setelah dilakukan pendidikan kesehatan metode konseling

dengan media booklet.

106
3. Pengaruh pendidikan kesehatan metode konseling dengan media

booklet terhadap kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru di

Poli DOTS RSUD Cimacan

Peneliti telah melakukan penelitian sesuai dengan rancangan

penelitian sebelumnya. Peneliti melakukan pre-test dan post-test

kepada responden yang telah dipilih sesuai dengan kriteria penelitian.

Dalam menentukan hasil pengaruh dari penelitian ini, peneliti

melakukan analisa data yang terdiri dari hasil kuesioner pre-test dan

post-test.

Pada variabel pre-test (sebelum diberikan pendidikan kesehatan

metode konseling dengan media booklet), didapatkan nilai Skewness

sebesar -0,344 dan Standar Error sebesar 0,661, maka

-0,344/0,661= -0,52. Kemudian pada variabel post-test (setelah

diberikan pendidikan kesehatan metode konseling dengan media

booklet), didapatkan hasil Skewness sebesar 0.661 dan Standar

Errornya sebesar 0,661. Maka 0.661/0,661=1,00, hasil dari

perhitungan nya yaitu 1,00 < 2. Dapat disimpulkan bahwa pada

kedua variabel tersebut (pre test dan post test) distribusi data normal.

Setelah mengetahui kenormalan distribusi data dari setiap

variabel diatas, peneliti melakukan pengolahan data dengan

menggunakan Uji T Dependen. Swarjana (2015) menjelaskan

mengenai uji parametrik (Uji T Dependen) yang mana apabila

ketentuan uji T dependen yang memenuhi syarat (didapatkan data

yang berdistribusi normal).

107
Berdasarkan Tabel 4.9, didapatkan hasil uji statistik Dependen

Sample T Test diperoleh hasil nilai p sebesar 0,000. Nilai p (0,000) <

α (0.05), maka Ho ditolak, dengan demikian disimpulkan bahwa

terdapat pengaruh pendidikan kesehatan metode konseling dengan

media booklet terhadap kepatuhan pasien dalam pengobatan TB

paru di Poli DOTS RSUD Cimacan. Dapat diinterpretasikan Ho

ditolak, uji statistik menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan.

Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan perubahan dari hasil

kuesioner yang diisi oleh responden sebelum dan setelah dilakukan

intervensi berupa pendidikan kesehatan metode konseling dengan

media booklet. Sebelum dilakukan intervensi hampir seluruh

responden kadang-kadang mengalami kesulitan dalam mengingat

pengobatan TB Paru (OAT). Kemudian setelah dilakukan intervensi,

seluruh responden mnengatakan tidak pernah mengalami kesulitan

dalam menghapal dan mengingat pengobatan TB Paru (OAT).

Dapat disimpulkan dari seluruh hasil pengolahan data yang

dilakukan, bahwa pendidikan kesehatan metode konseling dengan

media booklet berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan

pasien dalam pengobatan TB paru di Poli DOTS RSUD Cimacan.

Menurut Berliana, dkk (2020), yang mengambil judul penelitian

“Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Dengan Kepatuhan Minum Obat

Penderita TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Nipah Panjang”

yang menyimpulkan bahwa memberikan konseling dan memberikan

pemahaman kepada penderita TB Paru tentang penyakit TB Paru

yang mereka derita sehingga penderita memiliki pemahaman yang

108
baik dan dapat meningkatkan motivasi dalam kesembuhan

penyakitnya terutama kepatuhan minum obat.

Selain itu hasil penelitian yang telah diteliti oleh Perdana, dkk

(2008 dalam Rahayu (2019:62)) menyimpulkan bahwa jenis

pekerjaan, penghasilan, dukungan keluarga, tingkat pendidikan,

pengetahuan, sikap, jarak fasyankes, peran PMO dan penyuluhan

petugas menjadi beberapa faktor yang berhubungan dengan

kepatuhan berobat pada penderita TB Paru.[ CITATION Per08 \l 1033 ]

109
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian eksperimen dua kelompok berpasangan

yaitu pengaruh pendidikan kesehatan metode konseling dengan media

booklet terhadap kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru di Poli DOTS

RSUD Cimacan, dengan jumlah sampel 11 responden, disimpulkan

mengenai gambaran kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru sebelum

dan setelah diberikan pendidikan kesehatan metode konseling dengan media

booklet di Poli DOTS RSUD Cimacan. Serta simpulan pengaruh pendidikan

kesehatan metode konseling dengan media booklet terhadap kepatuhan

pasien dalam pengobatan TB paru di Poli DOTS RSUD Cimacan, sebagai

berikut :

1. Diperoleh hasil analisa data tentang rata-rata kepatuhan pasien dalam

pengobatan TB Paru sebelum pendidikan kesehatan metode konseling

dengan media booklet di Poli DOTS RSUD Cimacan, yaitu rata-rata 2,73

dengan Standar Deviasi 0,905, atau seluruhnya yaitu 11 orang (100,0%)

tingkat kepatuhan rendah.

2. Diperoleh hasil analisa data tentang rata-rata kepatuhan pasien dalam

pengobatan TB paru setelah pendidikan kesehatan metode konseling

dengan media booklet di Poli DOTS RSUD Cimacan, yaitu rata-rata 7,36

dengan Standar Deviasi 0,505, atau sebagian besar yaitu 7 orang

(63,6%) memiliki tingkat kepatuhan sedang.

3. Terdapat pengaruh pendidikan kesehatan metode konseling dengan

media booklet terhadap kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru di

110
Poli DOTS RSUD Cimacan, dengan nilai Nilai p = 0,000 pada tingkat

signifikansi 0.05.

B. SARAN

1. Bagi Institusi Pendidikan STIKes Budi Luhur Cimahi.

Dapat dijadikan sebagai referensi dan informasi baru tentang

pengaruh pendidikan kesehatan metode konseling dengan media booklet

terhadap kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru di Poli DOTS

RSUD Cimacan, dan sebagai salah satu bentuk dari referensi dalam

program pengabdian masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya.

2. Bagi RSUD Cimacan

Bagi RSUD Cimacan diharapkan hasil penelitian dapat digunakan

sebagai masukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di

lingkungan RSUD, khususnya di Poli DOTS RSUD Cimacan. Bagi

Pelayanan kesehatan diharapkan informasi ini dapat digunakan sebagai

bahan untuk meningkatkan upaya preventif dan promotif kepada pasien

yang berkunjung ke RSUD Cimacan.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan untuk peneliti selanjutnya agar dapat melanjutkan penelitian

dengan menggunakan metode yang lain, yang belum diteliti ataupun yang

belum dicari seain metode booklet untuk mengetahui pengaruhnya atau

perbedaannya terhadap kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru.

111
DAFTAR PUSTAKA

1. Determinan Kejadian Multi Drug Resistant Tuberculosis di Rumah Sakit Dr. Sardjito
Yogyakarta. Widiastuti, Subronto and Promono. Yogyakarta : Berita Kedokteran
Masyarakat, 2017, Vol. 33 (7).

2. Kemenkes RI. Data dan Infromasi Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019.

3. Depkes, Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.


Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyakit Lingkungan, 2016.

4. —. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Direktorat Jenderal


Penanggulangan Penyakit dan Penyakit Lingkungan, 2017.

5. Keberadaan Pengawas Minum Obat (PMO) Pada Tuberkulosis Paru Di Indonesia.


Martiwi. Jakarta : FIK UI, 2006, Vol. 10.

6. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Pendertia TB Paru di Puskesmas


Kecamatan Ciracas. Perdana. Jakarta : FIIK Universitas Pembangunan Nasional, 2008.

7. Notoatmodjo. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan (Edisi Revisi). Jakarta : PT


Rineka Cipta, 2012.

8. Ariani, Rattu and Ratag. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keteraturan


Minum Obat Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Modayag
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Sulawesi : JIKMU, 2015. 01.

9. Wardati, Jauhan. Implementasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta : Prestasi


Pustakaraya, 2011.

10. Depkes, Republik Indonesia. Pusat Data dan Informasi. Jakarta : Depkes RI, 2007.

11. Friedman, Marilyn M. Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset, Teori, dan Praktik.
Jakarta : EGC, 2010.

12. Priyanto, Agus. Komunikasi dan Konseling: Aplikasi Dalam Sarana Pelayanan
Kesehatan Untuk Perawat dan Bidan. Jakarta : Salemba Medika, 2009.

13. Taufik and Juliane. Komunikasi Terapeutik dan Konseling dalam Praktik Kebidanan.
Jakarta : Salemba Medika, 2010.

14. Niven. Psikologi Kesehatan Pengantar Untuk Perawat dan Profesi. Jakarta : EGC,
2002.

112
15. Hidayat, Aziz Alimul. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.
Jakarta : Salemba Medika, 2007.

16. Hubungan Motivasi Kesembuhan Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien
Tuberkulosis Pada Dewasa di RS Khusus Paru Respira Yogyakarta. Febryanto and
Ngapiyem. Yogyakarta : Jurnal Kesehatan, 2016, Vol. 04.

17. Kemenkes RI. Survei Prevalensi Tuberkulosis Tahun 2013-2014. Jakarta :


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015.

18. Budiman, Mauliku and Angraeni. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kepatuhan Minum Obat Pasien TB Paru Pada Fase Intensif Di Rumah Sakit Umum
Cibabat Cimahi. Cimahi : RSU Cibabat, 2011.

19. Kemenkes RI. Pedoman Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan


Obat. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013.

20. Asnawi. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB


Paru di Kota Jambi Tahun 2001. Jakarta : FKM UI, 2002.

21. Depkes, Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta :


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyakit Lingkungan, 2011.

22. Hubungan Antara Pekerjaan, PMI, Pelayanan Kesehatan, Dukungan Keluarga dan
Diskriminasi dengan Perilaku Berobat Pasien TB Paru. Pare. Makassar : Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin, 2012.

23. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Tatalaksana Tuberkulosis.


Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013.

24. Riyanto, Agus. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika,
2011.

25. Sutanti and Gurdani, Yogi. Biostatistik (Untuk Ilmu Keperawatan, Kebidanan,
Kesehatan dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Lainnya). Bandung : CV Cakra, 2010.

26. Notoatmodjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2010.

27. Aditama, Tjandra Yoga and Dr. Priyanti. Tuberculosis Diagnosis, Terapi dan
Masalahnya. Jakarta : Lab. Mikrobiologi RSUP Persahabatan, 2000.

28. Arsyad. Media Pembelaaran. Jakarta : PT Raja Grafindo Permai, 2009.

29. Artini, Friza Rahmi, Arina Amalia and Purwanti, Okti Sri. Perbedaan Pengaruh
Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Leaflet Dengan Booklet Terhadap Tingkat

113
Pengetahuan Masyarakat Tentang Chikungunya Di Desa Trangsan Gatak Sukoharjo.
Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014.

30. Budiman and Riyanto, Agus. Kapita Selekta Kuesioner. Jakarta : Salemba Medika,
2013.

31. Depkes, Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis.


Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyakit Lingkungan, 2015.

32. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di


Puskesmas Nuntoronadi 1 Kabupaten Wonogiri. Dewanty, Haryanti and Kurniawan.
Wonogiri : s.n., 2016.

33. Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Pasien, dan Dukungan Keluarga Dengan
Kepatuhan Minum Obat Pasien TB Paru di BPKM Pati. Dewi, Armiyanti and Suriyono.
Pati : s.n., 2011.

34. Dharma, K Kusuma. Metodologi Penelitian Keperawatan: Panduan Melaksanakan


dan Menerapkan Riset Penelitian Cetakan Pertama. Jakarta : CV Trans Info Media, 2011.

35. Determinant Factors of Drop Out Among Multi Drugs Resistance Tuberculosis
Patients at Jakarta Province. Farihatun and Machmud. Jakarta : Indonesia Journal of
Tropical and Infectious Disease, 2018, Vol. 7(3).

36. Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tuberkulosis Paru. Fitri, Marlindawani and
Purba. Jakarta : Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2018, Vol. 07.

37. Friedman, Marilyn M. Famili Nursing: Theory And Assessment (5th ed). Connectiot :
Appleton Century Crofts, 2002.

38. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Pengobatan TB di BKPM Pati.


Gendhis, Yunie and Mamat. Pati : s.n., 2011.

39. Hidayat, Aziz Alimul. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta : Salemba Medika, 2013.

40. Fajar, Ibnu and Isnaeni. Statistika Untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu,
2009.

41. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta : Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia, 2014.

42. Subaris, Heru and Yasril. Teknik Sampling Untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta :
Graha Ilmu, 2009.

114
43. Motivasi dan Dukungan Sosial Keluarga Mempengaruhi Kepatuhan Berobat Pada
Pasien TB Paru di Poli Paru BP4 Pamekasan. Muna, Soleha. Madura : s.n., 2014.

44. Notoatmodjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2005.

45. Komunikasi Dalam Pelayanan Terapeutik Perawat dan Pasien di Puskesmas Antang
Perumnas Makassar. Nurrahmah. Makassar : Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar, 2016.

46. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika, 2014.

47. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di


Kota Cirebon. Rohmana, Suhartini and Suhenda. Cirebon : s.n., 2014.

48. Sastroasmoro, et al., et al. Dasar-Dasar Metodologi Peneltian Klinis. Jakarta : Sagung
Seto, 2002.

49. Sitepu. Penulisan Buku Teks Pengajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2012.

50. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R & D. Bandung : Alfabeta, 2010.

51. —. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R & D. Bandung : Alfabeta, 2015.

52. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan Pada Pasien


Tuberkulosis Paru Dengan Resistensi Obat Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah. Tirtana
and Musrichan. Jawa Tengah : s.n., 2011.

53. Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Faktor Pengawas
Menelan Minum Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru Dalam
Pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009. Zuliana. Medan :
FKM Universitas Sumatera Utara, 2009.

115

Anda mungkin juga menyukai