Anda di halaman 1dari 8

DOA

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh

Mengingat Kau penuh seluruh

Cahaya Mu panas suci

Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

Di pintu Mu aku bisa mengetuk

Aku tidak bisa berpaling

#6. YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku

Menggigir juga ruang di mana dia yang ku ingin

Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang


Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlaku beku

Sepi

Tambah ini menanti jadi mencekik

Memberat mencekung punda

Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertampik

Ini sepi terus ada. Dan menanti

#7. MAJU

Bagimu negeri

Menyediakan api

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas


Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju

Serbu

Serang

Terjang

#8. KEPADA KAWAN

Sebelum ajal mendekat dan menghianat


Mencengkam dari belakang ketika kita tidak melihat

Selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa

Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada

Tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam

Layar merah berkibar hilang dalam kelam

Kawan, mari kita putuskan kini di sini

Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan

Tembus jelajah dunia ini dan balikkan

Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu

Pilih kuda yang paling liar, pacu laju

Jangan tembatkan pada siang dan malam

Dan

Hancurkan lagi apa yang kau perbuat

Hilang sonder pusaka, sonder kerabat

Tidak minta ampun atas segala dosa

Tidak memberi pamit siapa saja

Jadi

Mari kita putuskan sekali lagi

Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi

Sekali lagi kawan, sebaris lagi


Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu..!!

#9. SENJA DI PELABUHAN KECIL

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

Di antara gudang, rumah tua, pada cerita

Tiang serta temali

Kapal, perahu tiada berlaut

Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam

Ada juga kelepak elang menyinggung muram

Desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan

Tidak bergerak dan kini tanah air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendirian.

Berjalan menyisir semenanjung

Masih pengap harap

Sekali tiba di ujung

Dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat

Sedu penghabisan bisa terdekap


Pena Lebih Tajam dari Pedang
21 Juli 2013   18:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:14  3607  1 0

Begitulah kata seorang kritikus sastra ketika peradaban sastra mencapai puncak di


dunia. Sebenarnya penempatan kata 'Pena' yang dimaksud adalah kata. Jadi yang lebih
tepat adalah 'Kata lebih tajam dari pedang'. Mungkin untuk membandingkan
ketajaman berdasarkan konteks benda, akibatnya kebanyakan orang mempersonifikasi
'kata'  dengan 'Pedang'. Tetapi, terlepas dari itu ada sebuah perumpamaan yang bagus,

"Jika sebuah pedang hanya dapat menusuk satu orang berbeda dengan kata
atau ucapan yang dapat membunuh atau menusuk ratusan bahkan ribuan
orang dengan lebih kejam."

Membunuh dengan memprovokasi hati individu manusia dengan menyalurkan ide-ide


kalimat atau sebuah buku untuk memancing naluri berontak atau bergejolak. Itulah
yang terjadi dengan arah perjuangan kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan. Kita
lihat bagaimana sajak-sajak para sastrawan kita seperti Chairil Anwar yang
pada puisi "AKU",

"..Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa


kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih perih Dan aku akan lebih tidak
perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi."

Bagaimana kerasnya pendirian chairil dalam tulisan puisinya ini. Dan bagaimana


tidak pemerintahan pada saat itu geram dengan sajaknya ini. Tulisan ini ketika itu
dinilai sebagai pembangkang. Tidak hanya chairil para akademis sastra, yaitu Soe
Hok Gie (Mahasiswa Sastra UI) juga begitu. Melalui tulisan-tulisan kritisnya
mengenai masa pemerintahan Soekarno, Gie pun akhirnya diburu oleh militer pada
saat itu. Nama-namanya disebut-sebut oleh militer akibat kritikannya terhadap sistem
demokrasi terpimpin Soekarno. Beliau juga menuliskan,

"Masih teralu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura
suci mengatasnamakan Tuhan"

Dan,
"lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan"

Bukan saja dua orang dia atas, masih banyak para jurnalis dan sastrawan ketika itu
yang mengkritik keras pemerintahan. Dengan kata-kata mereka mengguncang para
penguasa. Para penguasa terlihat takut ketika para sastrawan dan jurnalis menuliskan
sesuatu tentang kritikan sistem pemerintahan pada saat itu. Oleh sebab itu, salah satu
cara militer untuk membasminya adalah dengan menghilangkan para sastrawan dan
jurnalis atau dengan mengasingkan dan menjebloskan para seniman,sastrawan, dan
jurnalis ke penjara yang jauh dari kota roda pemerintahan. Contohnya Pramoedya
Ananta Toer, salah satu sastrawan terbaik bangsa ini menghabiskan separuh hidupnya
di penjara. Beliau dijebloskan diasingkan akibat tulisan-tulisannya yang terlalu
mengkritik tajam dan sangat berbahaya untuk pihak pemerintahan.

Banyak sekali catatan perjalanan para sastrawan yang melalui tulisan-tulisan mereka,
dapat membungkam atau mengguncang kenyamanan para posisi pemerintahan pada
saat itu. Memang pantas untuk menyebutkan 'Pena Lebih Tajam Dari Pedang'.

Cara Kerja Pena itu Membunuh

Kata mengguncang dunia, kata mengguncang gejolak sistem pemerintahan, kata


mempengaruhi suatu kelompok atau komunitas untuk melakukan sesuatu dan kata
dapat menjadi ancaman terhadap suatu kelompok. Bagaimana sistem ini bekerja
dengan lebih keji daripada membunuh dengan pedang?

Alasan dibalik mengapa kata dapat mengancam adalah karena sistem kata bekerja
dengan cara doktrin dan mencoba pengaruh satu sama lain. Apabila suatu kata atau
tulisan tersebut sudah dibaca oleh seorang individu, maka proses selanjutnya adalah
berhubungan dengan intelektual atau lebih tepatnya memproses kata-kata tersebut
yang kemudian dianalisis dan terakhir adalah kesimpulan. Dalam membuat
kesimpulan dari suatu kata atau tulisan, seorang individu bisa terpengaruh 2 faktor,
yaitu diri sendiri dan lingkungan.

Yang dimaksud dengan diri sendiri adalah seseorang mengambil suatu kesimpulan
terhadap hasil pemikirannya sendiri (dapat juga berdasarkan intuisinya) atau tingkat
intelektualitas dari seseorang. Tentu saja hal ini berhubungan erat dengan tingkat
pendidikan yang didapat. Kemudian, yang dimaksud dengan faktor lingkungan adalah
dimana seseorang mengambil suatu kesimpulan dengan didukung dengan faktor
lingkungan sekitar, mendengarkan kesimpulan-kesimpulan orang lain dan kemudian
mengikutinya.
Dan kebanyakan yang terjadi adalah para sastrawan atau kritikus berusaha untuk
mengajak para masyarakat untuk melihat realitas yang sedang terjadi. Ketika para
sastrawan atau kritikus telah berhasil mengajak masyarakat melihat realitas,
selanjutnya langkah doktrinasi pun diambil untuk mempengaruhi suatu kelompok atau
kumpulan masyarakat. Dan kemudian terjadilah pergolakan atau gejolak
pembangkang yang akan berakhir dengan perlawanan atau biasa disebut dengan
Restorasi ke arah perubahan.

Adakah diantara pembaca yang masih ingat dengan penyair ulung yang tidak terlalu
terekspose karya-karyanya, yaitu Wiji Thukul? Penyair kurus dan bajunya seperti
tidak pernah dicuci ini telah mengguncang pemerintahan Soeharto melalui sajak-sajak
yang mengandung sarkasme. Keberanian Thukul menaklukan ketakutannya terhadap
pemerintahan Soeharto dilakukan melalui tulisan-tulisan puisinya. Beliau dianggap
mengganggu pemerintahan soeharto karena Thukul dianggap menjadi provokator
yang membangkitkan demonstrasi besar-besar yang dilakukan para buruh. Salah satu
sajak yang membuat kuping pemerintahan Soeharto panas adalah Puisi
"Peringatan" yang terkenal dengan "Hanya satu kata : Lawan!!"

Jika rakyat pergi ketika penguasa pidato, kita harus hati-hati barangkali


mereka putus asa

kalau rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya


sendiri penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan


penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa


alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu
kata: lawan!!

Setelah membacakan puisi ini, beliau langsung menjadi buronan dan target yang
dicari-cari oleh pemerintah. Tetapi pria kelahiran 26 agustus 1963 ini tetap terus
menulis puisinya yang berjudul "Para Jendral Marah-Marah". Setelah itu, beliau
bersembunyi dan berlari dari kejaran pemerintahan Soeharto. Dan sampai sekarang,
batang hidung pria kelahiran solo ini tidak tampak. Lenyap begitu saja.
Kita dapat lihat bagaimana proses kata melalui pena-pena yang dituangka dalam suatu
puisi seperti Wiji Thukul ini dapat membunuh lebih keji dan menentang orang-orang
yang berani mengambil hak hidup orang banyak. Dan memang benar, bahwa "Pena
lebih kejam dari Pedang"

Dan terakhir untuk membangkitkan semangat kita agar tetap berkata melalui tulisan,
mari kita renungkan puisi Wiji Thukul yang berjudul,

"Penyair"

jika tak ada mesin ketik aku akan menulis dengan tangan jika tak ada tinta
hitam aku akan menulis dengan arang jika tak ada kertas aku akan menulis
pada dinding jika aku menulis dilarang aku akan menulis dengan tetes
darah! (1988)

Anda mungkin juga menyukai