Selama ini kita mengetahui bahwa recovery sama halnya dengan kembali sehat atau
sembuh terhadap suatu penyakit, tetapi dalam kesehatan jiwa kita sepakati bahwa recovery
memiliki arti yang berbeda. Recover Model pada kesehatan jiwa tidak berfokus pada
pengobatan, tetapi sebagai gantinya lebih menekankan dapat hidup beradaptasi dengan sakit
jiwa yang sifatnya kronis. Pada model ini lebih menekankan kepada hubungan sosial,
pemberdayaan, strategi koping, dan makna hidup.
Peplau (1952 dalam Varcarolis 2013) menciptakan teori bahwa pentingnya hubungan
interpersonal terapeutik, model recovery berubah dari hubungan nurse-patient menjadi
nurse-partner. Berdasarkan penelitian Hanrahan et al (2011 dalam Varcarolis 2013)
menyatakan pentingnya meningkatkan peran individu dan keluarga dalam proses recovery.
Caldwell et al (2010 dalam Varcarolis 2013) menegaskan perawat jiwa harus mengajarkan
tenaga kesehatan lain tentang konsep recovery dan menyarankan cara memberdayakan
pasien dan memajukan proses recovery.
3 perawat dalam pemberian obat pada pasien. Prof. Katja Taxis dari University of
Groningen mengungkapkan hal tersebut pada mahasiswa ilmu keperawatan Fakultas
Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM (FK-KMK UGM) di
Auditorium gedung Ismangoen (19/10).
Dalam kuliahnya, Taxis menyampaikan peran-peran perawat dalam farmakologi, salah satunya
menjelaskan mengenai good prescribing. Karena audien adalah mahasiswa keperawatan tingkat
pertama sehingga hal tersebut merupakan pengetahuan yang baru bagi mereka. Dia
menuturkan good prescribing pastinya efektif, sesuai dengan terapinya, cost effectiveness, dsb.
Perawat merupakan tenaga kesehatan yang mendampingi pasien selama 24 jam. “Hal yang
sering terjadi adalah kesalahan pada pemberian terapi karena beban terlalu tinggi sehingga
mata agak ‘tricky’,” ujar Taxis. Dia tidak setuju bahwa kesalahan terapi dikarenakan oleh dokter,
perawat, maupun farmasis yang tidak memperhatikan. Menurutnya, “pertama, walaupun sudah
memperhatikan dengan baik tetapi karena beban terlalu tinggi maka mata menjadi agak ‘tricky’.
Alasan kedua, tidak hanya dokter, perawat dan farmasis yang dituntut tetapi juga ada perbaikan
sistem.”
Taxis juga menyarankan untuk meminimalisir kesalahan maka perawat 1) punya good
knowledge, harus tahu apa obatnya, kapan diberikan, dan apa efek sampingnya, 2) membangun
sistem yang baik, jangan sampai terjadi medication error, ada alert system/warning system jika
obat salah diberikan kepada pasien, dan 3) komunikasi konseling, menyampaikan secara tepat
kepada pasien.