2. Filsafat Nilai
2. 1. Etika
Etika dalam ajaran Buddha tidak berlandaskan pada adat sosial yang berubah tetapi
pada hukum alam yang tidak berubah. Nilai-nilai etika dalam ajaran Buddha pada
hakikatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab-akibat moral (kamma).
Fakta sederhana bahwa etika dalam ajaran Buddha berakarkan hukum alam membuat
prinsip-prinsipnya bermanfaat dan dapat diterima oleh dunia modern. Walaupun kode
etika ajaran Buddha disusun lebih dari 2500 tahun yang lalu, keabadian sifatnya tidak
berkurang.
2. 2. Estetika
Estetika atau keindahan dalam Buddhisme dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
jasmani (eksternal) dan moral (spiritual) atau internal. Menurut Buddhisme,
keindahan eksternal merupakan keindahan yang mudah untuk dilihat. Misalnya,
kecantikan seorang wanita, bahwa kecantikan tersebut akan terlihat dari wajahnya
yang cantik, fisiknya yang indah, dan keindahan lain yang berasal dari jasmaninya.
Keindahan yang berasal dari dalam (spiritual) ini lah yang sulit dilihat langsung,
karena seseorang yang dari luar atau fisiknya cantik, belum tentu keindahan dari
dalamnya juga demikian. Keindahan internal seseorang akan terlihat dari moral yang
dimilikinya.
3. Filsafat Metafisika
Pada mulanya istilah metafisika digunakan di Yunani untuk merujuk pada karya-
karya tertentu Aristoteles (384-322 SM). Namun sebenarnya istilah metafisika
bukanlah dari Aristoteles, metafisika oleh Aristoteles disebut sebagai filsafat pertama
atau theologia, dalam pandangan Aristoteles, metafisika belum begitu jelas dibedakan
dengan fisika. Istilah metafisika yang kita kenal sekarang, berasal dari bahasa Yunani
ta meta ta physika yang artinya “yang datang setelah fisik”. Istilah tersebut diberikan
oleh Andronikos dari Rhodos (70 SM) terhadap karya-karya Aristoteles yang disusun
sesudah (meta) buku fisika. (Loren Bagus, Metafisika, (Jakarta: Gramedia, 1991),
hlm 18)
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Metaphysica mengemukakan beberapa
gagasannya tentang metafisika antara lain:
Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari
prinsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama.
Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada
(being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.
Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan
sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh keadaan, yang mana ilmu ini sering
disebut dengan theologia.
7. Mangala Sutta
Sutta ini sangat terkenal dan merupakan ringkasan yang singkat tetapi menyeluruh
mengenai etika Buddhis, secara individu maupun sosial. Tiga puluh delapan Berkah
Tertinggi yang terdapat di dalamnya merupakan penuntun yang pasti dalam
kehidupan manusia. Dimulai dengan “Janganlah berhubungan dengan orang yang
dungu” (dungu di sini tidak hanya berarti bodoh atau tidak berbudaya, tetapi juga
yang mempunyai kekejian dalam pikiran, perkataan dan perbuatan) yang penting
untuk kemajuan moral dan spiritual; diakhiri dengan pencapaian batin yang terbebas
dari nafsu, tak tergoncangkan dalam ketenangan. Sutta ini merupakan sutta yang
sangat sering dibacakan oleh umat Buddha dalam berbagai kesempatan yang
berbahagia seperti pada pernikahan, pemberkahan, pelantikan dan sebagainya.
Kata mangala berarti yang mendatangkan kebahagiaan dan kemakmuran (“which is
conducive to happiness dan prosperity”). Berasal dari : “Man” (keadaan yang tidak
menyenangkan), “ga” (pergi) dan “la” (memotong), kata itu berarti yang menghalangi
jalan menuju penderitaan (that which obstructs the way to states of misery”).
Dikisahkan pada suatu waktu terjadi perdebatan mengenai apa yang sebenarnya
disebut Berkah (Mangala). Ada yang menafsirkan bahwa mangala adalah sesuatu
yang indah dilihat misalnya pemandangan yang syahdu Anda pagi hari (seperti
seorang wanita dengan anaknya, anak laki-laki kecil , lembu jantan putih dan
sebagainya). Ada yang berpendapat bahwa mangala adalah suara yang indah didengar
seperti “penuh”, “keberuntungan” dan sebagainya. Lainnya lagi berpendapat bahwa
mangala adalah suatu pengalaman yang menyenangkan seperti bau harumnya bunga,
sentuhan ke tanah dan sebagainya.
Perdebatan itu tidak mencapai kata sepakat dan berlangsung terus dan meluas bahkan
sampai ke alam dewa. Para dewa, yang tidak merasa puas sebelum masalah ini
terpecahkan, menemui pemimpin mereka, yaitu Dewa Sakka. Sebagai dewa yang
bijaksana, Dewa Sakka memerintahkan seorang dewa untuk menanyakan hal tersebut
kepada Sang Buddha yang pada saat itu sedang berdiam di Vihara Anathapindika di
Jetavana dekat Savatthi. Lalu, Sang Buddha pun mengkhotbahkan Mangala Sutta.
S. Tachibana dalam bukunya “The Ethics of Buddhism” menyatakan : “Maha
Mangala Sutta menunjukkan bahwa ajaran Sang Buddha tidaklah selalu diberikan
dalam bentuk negatif, tidak selalu dalam bentuk seri klasifikasi dan analisis atau
berkaitan semata-mata dengan moralitas kebhikkhuan. Dalam sutta ini kita jumpai
moralitas keluarga yang dinyatakan dalam syair-syair yang paling indah. Kita dapat
membayangkan kehidupan rumah tangga yang penuh kebahagiaan yang dicapai
sebagai hasil pelaksanaan ajaran ini”.
EVAMME SUTAM,
EKAM SAMAYAM BHAGAVA, SAVATTHIYAM VIHARATI, JETAVANE
ANATHAPINDIKASSA ARAME. ATHA KHO ANATHARA DEVATA,
ABHIKKANTAYA RATTIYA ABHIKKANTAVANNA KEVALAKAPPAM
JETAVANAM OBHASETVA. YENA BHAGAVA TENUPASANKAMI,
UPASANKAMITVA BHAGAVANTAM ABHIVADETVA EKAMANTAM
ATTHASI, EKAMANTAM THITA KHO SA DEVATA BHAGAVANTAM
GATHAYA AJJHABASI:
ASEVANA CA BALANAM
PANDITANANCA SEVANA
PUJA CA PUJANIYANAM
ETAMMANGALAMUTTAMAM
PATIRUPADESAVASO CA
PUBBE CA KATAPUNNATA
ATTASAMMAPANIDHI CA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
MATAPITU UPATTHANAM
PUTTADARASSA SANGAHO
ANAKULA CA KAMMANTA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
KHANTI CA SOVACASSATA
SAMANANANCA DASSANAM
KALENA DHAMMASAKACCHA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
TAPO CA BRAHMACARIYANCA
ARIYASACCANA DASSANAM
NIBBANASACCHIKIRIYA CA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
PHUTTHASSA LOKADHAMMEHI
CITTAM YASSA NA KAMPATI
ASOKAM VIRAJAM KHEMAM
ETAMMANGALAMUTTAMAM
ETADISANI KATVANA
SABBATTHAMAPARAJITA
SABBATTHA SOTTHIM GACCHANTITAN
TESAM MANGALAMUTTAMAM` TI.
8. Sekhiya Sila
9. Keselarasan antara perkembangan IPTEK dan Moral
Pengertian Ilmu Pengetahuan (sains) adalah “suatu sistem pengetahuan yang
berhubungan dengan dunia fisik beserta fenomena-fenomenanya yang memerlukan
suatu pengamatan yang tidak didasari prasangka apapun melainkan berdasarkan
eksperimen yang sistematik.
Teknologi adalah cara dan keterampilan untuk membuat sesuatu. Yang dimaksudkan
adalan sains terapan. Sains membutuhkan ; pengamatan atau observasi.
Buddha bersabda: “... Oleh karena itu, warga suku kalama, janganlah percaya begitu
saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang sudah
merupakan tradisi, atau sesuatu yang di desas desuskan. Janganlah percaya begitu
saja apa yang ditulis di dalam kitab-kitab suci, juga apa yang dikatakan sesuai logika
atau kesimpulan belaka, juga apa yang dikatakannya telah direnungkan dengan
seksama, juga apa yang cocok dengan pandanganmu atau karena ingin menghormat
seorang pertapa yang menjadi gurumu... Tetapi terimalah kalau engkau sudah
membuktikannya sendiri” (Kalama sutta).
Kaitan Sains dengan Moral IPTEK dipandang tidak mampu membuat manusia
menjadi lebih baik atau bermoral. Egoisme dan keserakahan manusia, berpotensi
merendahkan martabat bahkan menghancurkan. Menurut Buddha, pengetahuan bagi
si dungu membawa kesengsaraan, menghancurkan kebaikannya, dan membelah
kepalanya sendiri (Dhp. 72). Perkembangan IPTEK telah menjadi agenda agama
pula, khususnya menyangkut etika dan moral.
Sumber:
http://hendrath-jmr.blogspot.com/2009/12/filosofi-ajaran-buddha.html
http://littlehokages.blogspot.com/2011/04/ekologi-dalam-buddhisme.html
http://indonesiaindonesia.com/f/34592-mangala-sutta-sutta-berkah-utama/
http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/vinaya-upasaka-vinaya-kebhikkhuan/