Anda di halaman 1dari 10

IPTEK DAN SENI

1. Filsafat Ilmu Pengetahuan


Pengertian Ilmu Pengetahuan (sains) adalah “suatu sistem pengetahuan yang
berhubungan dengan dunia fisik beserta fenomena-fenomenanya yang memerlukan
suatu pengamatan yang tidak didasari prasangka apapun melainkan berdasarkan
eksperimen yang sistematik. Secara umum, sains melibatkan penggunaan kebenaran-
kebenaran umum atau bekerjanya hukum-hukum yang mendasar untuk memahami
corak fenomena” (Encyclopedia Britannica).

2. Filsafat Nilai
2. 1. Etika
Etika dalam ajaran Buddha tidak berlandaskan pada adat sosial yang berubah tetapi
pada hukum alam yang tidak berubah. Nilai-nilai etika dalam ajaran Buddha pada
hakikatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab-akibat moral (kamma).
Fakta sederhana bahwa etika dalam ajaran Buddha berakarkan hukum alam membuat
prinsip-prinsipnya bermanfaat dan dapat diterima oleh dunia modern. Walaupun kode
etika ajaran Buddha disusun lebih dari 2500 tahun yang lalu, keabadian sifatnya tidak
berkurang.

2. 2. Estetika
Estetika atau keindahan dalam Buddhisme dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
jasmani (eksternal) dan moral (spiritual) atau internal. Menurut Buddhisme,
keindahan eksternal merupakan keindahan yang mudah untuk dilihat. Misalnya,
kecantikan seorang wanita, bahwa kecantikan tersebut akan terlihat dari wajahnya
yang cantik, fisiknya yang indah, dan keindahan lain yang berasal dari jasmaninya.
Keindahan yang berasal dari dalam (spiritual) ini lah yang sulit dilihat langsung,
karena seseorang yang dari luar atau fisiknya cantik, belum tentu keindahan dari
dalamnya juga demikian. Keindahan internal seseorang akan terlihat dari moral yang
dimilikinya.

3. Filsafat Metafisika
Pada mulanya istilah metafisika digunakan di Yunani untuk merujuk pada karya-
karya tertentu Aristoteles (384-322 SM). Namun sebenarnya istilah metafisika
bukanlah dari Aristoteles, metafisika oleh Aristoteles disebut sebagai filsafat pertama
atau theologia, dalam pandangan Aristoteles, metafisika belum begitu jelas dibedakan
dengan fisika. Istilah metafisika yang kita kenal sekarang, berasal dari bahasa Yunani
ta meta ta physika yang artinya “yang datang setelah fisik”. Istilah tersebut diberikan
oleh Andronikos dari Rhodos (70 SM) terhadap karya-karya Aristoteles yang disusun
sesudah (meta) buku fisika. (Loren Bagus, Metafisika, (Jakarta: Gramedia, 1991),
hlm 18)
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Metaphysica mengemukakan beberapa
gagasannya tentang metafisika antara lain:
 Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari
prinsip-prinsip fundamental  dan penyebab-penyebab pertama.
 Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada
(being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.
 Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan
sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh keadaan, yang mana ilmu ini sering
disebut dengan theologia.

4. Iman, Ilmu, dan amal sebagai kesatuan


Albert Einstein memberi penghormatan kepada ajaran Buddha saat ia berkata dalam
otobiografinya : 
“Religion without science is blind. Science without religion is lame. The religion of
the future will be a cosmic religion. It should transcend a personal god and avoid
dogmas and theology. Covering both the natural and the spiritual it should be based
on a religious sense arising from the experience of all things, natural and spiritual as
meaningful unity. Buddhism answers this description.”
“ Agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta. Ilmu pengetahuan tanpa agama tidak
bisa berjalan / lumpuh. Agama di masa mendatang adalah agama kosmik. Agama
tersebut seharusnya melampaui konsep Tuhan yang bersifat pribadi dan menghindari
dogma-dogma dan teologi. Dengan mencakup bidang alam dan spiritual, agama itu
harus didasari pada makna agama yang lahir dari pengalaman terhadap segala
fenomena alam, spiritual sebagai suatu kesatuan yang bermakna. Ajaran Buddha
menjawab deskripsi ini.”
Bila ada agama yang dapat mengatasi kebutuhan pengetahuan modern, agama
tersebut adalah agama Buddha. Ajaran Buddha tidak memerlukan revisi untuk
membuatnya up to date dengan penemuan ilmiah modern. Ajaran Buddha tidak
menyerahkan pandangannya kepada ilmu pengetahuan karena ajaran Buddha
mencakup dan melampaui ilmu pengetahuan. Ajaran Buddha adalah jembatan antara
pemikiran religius dan ilmiah, dengan memicu manusia untuk menemukan potensi-
potensi laten dalam dirinya sendiri dan lingkungannya. Ajaran Buddha tidak lekang
oleh waktu. 
5. Kewajiban menuntut Ilmu dan Mengamalkan Ilmu
6. Tanggung Jawab Terhadap Alam dan Lingkungan
Buddhhisme menganggap bahwa alam dan sekitarnya sebagai Dharmadhatu, yaitu
suatu kesatuan mutlak (totalitas), dimana suatu peristiwa yang terjadi di jagad raya ini
akan berpengaruh baik secara langsung terjadi maupun tidak langsung terhadap
komponen lainnya. Oleh karenanya secara umum alam adalah segala sesuatu yang
dapat ditanggapi oleh panca indera atau perasaan dan pikiran manusia walaupun
masih dalam keadaan samar-samar. Dalam agama Buddha, alam dibagi menjadi enam
lapisan, alam dewa, alam manusia, alam binatang, alam roh lapar, alam roh cemburu,
dan alam apaya atau alam neraka.
Sang Buddha bersabda: “segala sesuatu itu selalu berubah” . Demikian juga dengan
alam. Alam selalu mengalami perubahan dan berproses secara seimbang. Segala
sesuatu yang berkondisi bersifat tidak kekal (anicatta), tidak memuaskan (dukkhata)
dan tanpa inti yang kekal (anattata). Segala sesuatu yang berkondisi juga memiliki
sifat anicca, dukkha dan anatta (konsep tilakkhana). Menurut ajaran Buddha, semua
fenomena yang terjadi di alam merupakan sebab‐musabab yang saling berkaitan. Hal
ini dirumuskan dalam Hukum Paticca Samuppada yang telah diringkaskan sebagai
berikut: Dengan adanya ini, maka terjadilah itu; dengan timbulnya ini, maka
timbullah itu. Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu; dengan lenyapnya ini,
maka lenyaplah itu. Dari prinsip inilah maka kita dapat melihat bahwa segala sesuatu
tidak lebih dari sekedar hubungan (relation). Semua yang ada di bumi ini saling
bergatung satu sama lainnya untuk saling mempertahankan eksistensinya dan tetap
sadar bahwa di dunia ini tidak ada yang permanen. Manusia dengan makhluk lainnya
mesti saling melindungi dan tidak saling merusak.
Dunia ini seakan telah mengalami kekacauan yang sangat berat.  Nilai etika tidak lagi
berada di tempat yang sesuai. Namun, siapapun yang peduli dengan dirinya sendiri,
budayanya merupakan landasan awal menuju kehidupan akhir tertinggi setiap
Buddhis. Setiap individu diharapkan mengupayakan pembebasanya sendiri dengan
pemahaman dan usaha. Keselamatan umat Buddha adalah hasil pengembangan moral
orang itu sendiri tanpa perantara orang lain.
Jika kita melihat yang ada di sekitar kita, lingkungan yang semakin tak berbentuk.
Sampah dimana-mana, beterbangan dijalan yang dapat menambah polusi udara,
menyumbat saluran air yang akan berakkibat pada banjir, tanah longsor dan bencana
alam lainnya yang sebenarnya jika kita dapat menganalisis dapat dengan mudah kita
cegah. Semua ini adalah bagian dadri kebersihan lingkungan yang memang telah
sangat meresahkan masyarakat, masa depan kita, anak dan cucu kita. Dalam
Buddhisme, hal ini telah diberikan contoh dari ajaran-ajaran para Bikkhu dan
Bikkhuni dalam aturan yang sangat jelas, 
"Seorang bhikshu harus belajar untuk tidak membuang air kecil, air besar, atau
meludah ke dalam air..."
Dari kutipan di atas telah jelas bahwa air adalah bagian dari lingkungan kita, bahkan
air adalah suatu benda yang sangat penting dalam kehidupan kita. Tanpa air, kita tak
akan hidup seperti yang kita alami ini. Buddhisme juga mengecam perusakan hutan
dan lingkungan, seperti permasalahan pembalakan liar atau penebangan pohon
sembarangan yang dapat mengakibatkan bencana alam lainnya seperti banjir, polusi
udara maupun pemanasan global. Sebagaimana tercantum dalam potongan ayat di
bawah ini:
"Samana Gotama (maksudnya Buddha – penulis) tidak merusak biji-bijian yang
masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan."
Dari kutipan di atas, maka Buddhisme mengajarkan kita untuk mencintai alam ini dan
tidak merusaknya. Lebih jauh lagi dalam aturan kebiaraan (vinaya) bagian Prayascitta
nomor 60, yang berbunyi sebagai berikut:
"Jika seorang bhikshu menyebabkan tumbuh-tumbuhan tercabut dari
tempatnya tumbuh, maka ia melakukan pelanggaran."
Demikianlah, ternyata ditinjau dari sudut pandang Buddhisme, terdapat ajaran untuk
menghargai dan menjaga kelestarian alam ini, tetapi mengapa hal tersebut masih
sering dilanggar? Penulis akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Apabila kita
menganalisa secara mendalam, maka eksploitasi terhadap alam berakar pada
keserakahan. Sifat serakah tersebutlah yang membutakan manusia akan bahaya
penebangan dan perusakan hutan secara berlebihan. Buddhisme memang
mengajarkan bahwa salah satu dari tiga akar kejahatan adalah keserakahan (lobha)
dan ini hanya dapat diatasi dengan latihan-latihan spiritual tertentu, misalnya dengan
mempraktekkan athasila (delapan aturan kemoralan), sebagaimana yang telah
disinggung pada bagian terdahulu. Selanjutnya, kita juga patut mengakui bahwa para
pemuka agama jarang membicarakan tema-tema semacam ini. Oleh karenanya, kita
harus merubah kebiasaan ini, dimana para pemuka agama harus lebih rajin
mengkampanyekan pelestarian lingkungan. Bila dirasa perlu, dapat diadakan
seminar-seminar yang berhubungan dengan hal tersebut. Kita dapat pula membentuk
lembaga swadaya masyarakat yang berkeliling ke desa-desa untuk memberikan
penyuluhan dengan disertai pemuka agama setempat. Kita dapat pula menggerakkan
masyarakat untuk bersama-sama menghijaukan kembali hutan, dengan mengatakan
bahwa tindakan tersebut juga bagian dari ibadah.
Permasalahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan di seluruh negara
berkembang, dimana kesadaran terhadap wawasan ekologis masih sangat kurang.
Banyak industri yang membuang begitu saja limbahnya ke sungai, tanpa penanganan
yang memadai. Limbah tersebut seharusnya dinetralisir terlebih dahulu kandungan
zat-zat berbahayanya (misalnya logam berat) sebelum dibuang. Proses penetralisiran
ini memang membutuhkan biaya, sehingga para pemilik pabrik enggan
melakukannya. Marilah kita telaah akibat-akibat buruk dari pencemaran lingkungan
yang terjadi. Akibat pertama adalah matinya makhluk-makhluk hidup penghuni
lingkungan yang telah tercemar itu. Makhluk-makhluk hidup yang mati (misalnya
ikan) dapat menimbulkan bau busuk yang sangat menganggu, ini efek langsung dari
peristiwa tersebut. Efek tidak langsung dapat dilihat dari terganggunya rantai
makanan, sebagai akibat dari kematian hewan-hewan itu. Jika air sungai yang telah
tercemar diminum atau dipakai mandi oleh manusia, maka dapat mengakibatkan
timbulnya penyakit mematikan seperti misalnya kanker. Buddhisme menganjurkan
untuk tidak membunuh makhluk apapun. Ada lima peraturan kemoralan (disebut
dengan Pancasila Buddhis) yang perlu dijalankan oleh umat awam, dimana aturan
pertama berisi anjuran untuk menahan diri dari pembunuhan. Buddhisme
mengajarkan prinsip hukum karma atau sebab akibat, yang berbunyi sebagai berikut:
"Sebagaimana benih yang ditabur, maka itulah buah yang akan dituai. Pelaku
kejahatan akan menuai kejahatan, sebaliknya pelaku kebajikan akan menuai
kebajikan."
Jadi kesimpulannya, apabila seseorang dengan sengaja melakukan kejahatan pada
alam, maka cepat atau lambat ia akan menuai akibatnya. Oleh karena itu, agar dapat
hidup berbahagia di muka bumi, maka kita harus senantiasa melakukan kebajikan,
termasuk kebajikan pada alam. Salah satu bentuk kebajikan pada alam adalah dengan
bertekad untuk tidak merugikan atau menyakiti makhluk hidup lainnya, yakni
sebagaimana yang dituangkan dalam kitab Metta Sutta di bawah ini:
"Tidak melakukan apapun yang dicela oleh para bijaksana. Semoga semua
makhluk bahagia dan damai. Semoga hati mereka penuh kebajikan. Makhluk
hidup apa pun juga yang ada, yang lemah atau kuat, tinggi, gemuk, atau sedang,
pendek, kecil atau besar, tanpa kecuali, yang terlihat atau tidak terlihat, yang
tinggal jauh maupun dekat, yang sudah lahir atau pun yang akan lahir, semoga
semua makhluk bahagia!Bagaikan seorang ibu mau melindungi anaknya yang
tunggal dengan mengorbankan kehidupannya sendiri, demikian pula hendaklah
ia mengembangkan hati yang tak terbatas kepada semua makhluk.Hendaklah
pikirannya dipenuhi cinta kasih yang tak terbatas, menyelimuti seluruh dunia.
Ke atas, ke bawah dan ke sekeliling, tanpa rintangan, tanpa kebencian, tanpa
rasa permusuhan apapun."
Seseorang yang menjalankan prinsip-prinsip dalam Metta Sutta di atas, tidak akan
dengan sengaja dan sadar mencemari lingkungannya, karena ia mengetahui bahwa hal
itu akan melukai, menyakiti, serta membunuh makhluk lainnya. Kini kita telah
memahami bahwa apabila agama dijalankan serta dipahami dengan benar, maka tidak
akan ada pencemaran lingkungan. Kita dapat hidup dalam harmoni nan indah dengan
alam sekitar kita. Salah satu program yang dapat dijalankan adalah mengundang para
pengusaha dan penentu kebijaksanaan perusahaan untuk berdialog. Yang juga perlu
hadir dalam dialog itu adalah para ahli lingkungan hidup, yang mewakili kalangan
cendekiawan, dan kaum agamawan. Kita mencoba membangkitkan pengertian untuk
menciptakan bidang usaha yang ramah lingkungan, meskipun itu berarti pengeluaran
ekstra. Uang yang dikeluarkan tidaklah sebanding dengan manfaat yang
ditimbulkannya.

7. Mangala Sutta
Sutta ini sangat terkenal dan merupakan ringkasan yang singkat tetapi menyeluruh
mengenai etika Buddhis, secara individu maupun sosial. Tiga puluh delapan Berkah
Tertinggi yang terdapat di dalamnya merupakan penuntun yang pasti dalam
kehidupan manusia. Dimulai dengan “Janganlah berhubungan dengan orang yang
dungu” (dungu di sini tidak hanya berarti bodoh atau tidak berbudaya, tetapi juga
yang mempunyai kekejian dalam pikiran, perkataan dan perbuatan) yang penting
untuk kemajuan moral dan spiritual; diakhiri dengan pencapaian batin yang terbebas
dari nafsu, tak tergoncangkan dalam ketenangan. Sutta ini merupakan sutta yang
sangat sering dibacakan oleh umat Buddha dalam berbagai kesempatan yang
berbahagia seperti pada pernikahan, pemberkahan, pelantikan dan sebagainya.
Kata mangala berarti yang mendatangkan kebahagiaan dan kemakmuran (“which is
conducive to happiness dan prosperity”). Berasal dari : “Man” (keadaan yang tidak
menyenangkan), “ga” (pergi) dan “la” (memotong), kata itu berarti yang menghalangi
jalan menuju penderitaan (that which obstructs the way to states of misery”).
Dikisahkan pada suatu waktu terjadi perdebatan mengenai apa yang sebenarnya
disebut Berkah (Mangala). Ada yang menafsirkan bahwa mangala adalah sesuatu
yang indah dilihat misalnya pemandangan yang syahdu Anda pagi hari (seperti
seorang wanita dengan anaknya, anak laki-laki kecil , lembu jantan putih dan
sebagainya). Ada yang berpendapat bahwa mangala adalah suara yang indah didengar
seperti “penuh”, “keberuntungan” dan sebagainya. Lainnya lagi berpendapat bahwa
mangala adalah suatu pengalaman yang menyenangkan seperti bau harumnya bunga,
sentuhan ke tanah dan sebagainya.
Perdebatan itu tidak mencapai kata sepakat dan berlangsung terus dan meluas bahkan
sampai ke alam dewa. Para dewa, yang tidak merasa puas sebelum masalah ini
terpecahkan, menemui pemimpin mereka, yaitu Dewa Sakka. Sebagai dewa yang
bijaksana, Dewa Sakka memerintahkan seorang dewa untuk menanyakan hal tersebut
kepada Sang Buddha yang pada saat itu sedang berdiam di Vihara Anathapindika di
Jetavana dekat Savatthi. Lalu, Sang Buddha pun mengkhotbahkan Mangala Sutta.
S. Tachibana dalam bukunya “The Ethics of Buddhism” menyatakan : “Maha
Mangala Sutta menunjukkan bahwa ajaran Sang Buddha tidaklah selalu diberikan
dalam bentuk negatif, tidak selalu dalam bentuk seri klasifikasi dan analisis atau
berkaitan semata-mata dengan moralitas kebhikkhuan. Dalam sutta ini kita jumpai
moralitas keluarga yang dinyatakan dalam syair-syair yang paling indah. Kita dapat
membayangkan kehidupan rumah tangga yang penuh kebahagiaan yang dicapai
sebagai hasil pelaksanaan ajaran ini”.

EVAMME SUTAM, 
EKAM SAMAYAM BHAGAVA, SAVATTHIYAM VIHARATI, JETAVANE
ANATHAPINDIKASSA ARAME. ATHA KHO ANATHARA DEVATA,
ABHIKKANTAYA RATTIYA ABHIKKANTAVANNA KEVALAKAPPAM
JETAVANAM OBHASETVA. YENA BHAGAVA TENUPASANKAMI,
UPASANKAMITVA BHAGAVANTAM ABHIVADETVA EKAMANTAM
ATTHASI, EKAMANTAM THITA KHO SA DEVATA BHAGAVANTAM
GATHAYA AJJHABASI:

Demikianlah telah kudengar: 


Pada suatu ketika Sang Bhagava menetap di dekat Savatthi, dihutan Jeta di Vihara
Anathapindika. Maka datanglah dewa, ketika hari menjelang pagi, dengan cahaya
yang cemerlang menerangi seluruh hutan Jeta menghampiri Sang Bhagava,
menghormat Beliau lalu berdiri di satu sisi. Sambil berdiri disatu sisi, dewa itu
berkata kepada Sang Bhagava dalam syair ini:

BAHU DEVA MANUSSA CA 


MANGALANI ACINTAYUM 
AKANKHAMANA SOTTHANAM 
BRUHI MANGALAMUTTAMAM 

ASEVANA CA BALANAM 
PANDITANANCA SEVANA 
PUJA CA PUJANIYANAM 
ETAMMANGALAMUTTAMAM

PATIRUPADESAVASO CA 
PUBBE CA KATAPUNNATA 
ATTASAMMAPANIDHI CA 
ETAMMANGALAMUTTAMAM 

BAHUSACCAN CA SIPPAN CA 


VINAYO CA SUSIKKHITO 
SUBHASITA CA YA VACA 
ETAMMANGALAMUTTAMAM 

MATAPITU UPATTHANAM 
PUTTADARASSA SANGAHO 
ANAKULA CA KAMMANTA 
ETAMMANGALAMUTTAMAM 

DANANCA DHAMMACARIYA CA 


NATAKANANCA SANGAHO 
ANAVAJJANI KAMMANI 
ETAMMANGALAMUTTAMAM 

ARATI VIRATI PAPA 


MAJJAPANA CA SANNAMO 
APPAMADO CA DHAMMESU 
ETAMMANGALAMUTTAMAM 

GARAVO CA NIVATO CA 


SANTUTTHI CA KATANNUTA 
KALENA DHAMMASAVANAM 
ETAMMANGALAMUTTAMAM 

KHANTI CA SOVACASSATA 
SAMANANANCA DASSANAM 
KALENA DHAMMASAKACCHA 
ETAMMANGALAMUTTAMAM 

TAPO CA BRAHMACARIYANCA 
ARIYASACCANA DASSANAM 
NIBBANASACCHIKIRIYA CA 
ETAMMANGALAMUTTAMAM 

PHUTTHASSA LOKADHAMMEHI 
CITTAM YASSA NA KAMPATI 
ASOKAM VIRAJAM KHEMAM 
ETAMMANGALAMUTTAMAM 

ETADISANI KATVANA 
SABBATTHAMAPARAJITA 
SABBATTHA SOTTHIM GACCHANTITAN
TESAM MANGALAMUTTAMAM` TI.

Banyak Dewa dan manusia 


Berselisih paham tentang berkah 
Yang diharapkan membawa keselamatan;
Terangkanlah, apa Berkah Utama itu?

Tidak bergaul dengan orang yang tidak bijaksana 


Bergaul dengan mereka yang bijaksana. 
Menghormat mereka yang patut dihormat,
Itulah Berkah Utama

Hidup di tempat yang sesuai 


Berkat jasa-jasa dalam hidup yang lampau 
Menuntun diri ke arah yang benar 
Itulah Berkah Utama 

Memiliki pengetahuan dan keterampilan 


Terlatih baik dalam tata susila 
Ramah tamah dalam ucapan 
Itulah Berkah Utama 

Membantu ayah dan ibu 


Menyokong anak dan isteri 
Bekerja bebas dari pertentangan 
Itulah Berkah Utama 

Berdana dan hidup sesuai dengan Dhamma 


Menolong sanak keluarga 
Bekerja tanpa cela 
Itulah Berkah Utama 

Menjauhi, tidak melakukan kejahatan 


Menghindari minuman keras 
Tekun melaksanakan Dhamma 
Itulah Berkah Utama 
Selalu menghormat dan rendah hati 
Merasa puas dan berterima kasih 
Mendengarkan Dhamma pada saat yang sesuai 
Itulah Berkah Utama 

Sabar, rendah hati bila diperingatkan 


Mengunjungi para pertapa 
Membahas Dhamma pada saat yang sesuai 
Itulah Berkah Utama 

Bersemangat dalam menjalankan hidup suci 


Menembus Empat Kesunyataan Mulia 
Serta mencapai Nibanna 
Itulah Berkah Utama 

Meski tergoda oleh hal-hal duniawi 


Namun batin tak tergoyahkan, 
Tiada susah, tanpa noda, penuh damai 
Itulah Berkah Utama 

Karena dengan mengusahakan hal-hal itu 


Manusia tak terkalahkan di mana pun juga 
Serta berjalan aman ke mana juga 
Itulah Berkah Utama.

8. Sekhiya Sila
9. Keselarasan antara perkembangan IPTEK dan Moral
Pengertian Ilmu Pengetahuan (sains) adalah “suatu sistem pengetahuan yang
berhubungan dengan dunia fisik beserta fenomena-fenomenanya yang memerlukan
suatu pengamatan yang tidak didasari prasangka apapun melainkan berdasarkan
eksperimen yang sistematik.
Teknologi adalah cara dan keterampilan untuk membuat sesuatu. Yang dimaksudkan
adalan sains terapan. Sains membutuhkan ; pengamatan atau observasi.
Buddha bersabda: “... Oleh karena itu, warga suku kalama, janganlah percaya begitu
saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang sudah
merupakan tradisi, atau sesuatu yang di desas desuskan. Janganlah percaya begitu
saja apa yang ditulis di dalam kitab-kitab suci, juga apa yang dikatakan sesuai logika
atau kesimpulan belaka, juga apa yang dikatakannya telah direnungkan dengan
seksama, juga apa yang cocok dengan pandanganmu atau karena ingin menghormat
seorang pertapa yang menjadi gurumu... Tetapi terimalah kalau engkau sudah
membuktikannya sendiri” (Kalama sutta).
Kaitan Sains dengan Moral IPTEK dipandang tidak mampu membuat manusia
menjadi lebih baik atau bermoral. Egoisme dan keserakahan manusia, berpotensi
merendahkan martabat bahkan menghancurkan. Menurut Buddha, pengetahuan bagi
si dungu membawa kesengsaraan, menghancurkan kebaikannya, dan membelah
kepalanya sendiri (Dhp. 72). Perkembangan IPTEK telah menjadi agenda agama
pula, khususnya menyangkut etika dan moral.

Sumber:

http://hendrath-jmr.blogspot.com/2009/12/filosofi-ajaran-buddha.html

http://littlehokages.blogspot.com/2011/04/ekologi-dalam-buddhisme.html

http://indonesiaindonesia.com/f/34592-mangala-sutta-sutta-berkah-utama/

http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/vinaya-upasaka-vinaya-kebhikkhuan/

Anda mungkin juga menyukai