Pendidikan mempunyai arti proses pengubahan sikap atau tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. Dalam arti singkat adalah proses atau cara dalam mendidik. Sedangkan kata
“buddhis” menurut KBBI artinya penganut buddhisme (ajaran Buddha Gautama). Jadi
pendidikan buddhis dapat diartikan sebagai suatu proses atau cara mendidik yang
berlandaskan pemahaman terhadap ajaran Buddha. Selanjutnya, dalam tulisan ini
pengertian pendidikan buddhis mengacu pada arti tersebut.
Pendidikan Agama adalah salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari di sekolah
formal yang bertujuan agar membuat peserta didik selain berkembang ilmu
pengetahuannya sekaligus berkembang pula spiritualnya. Konsep pendidikan dalam
Agama Buddha meliputi tiga tahap, ketiga tahapan tersebut yaitu:
a. Pariyatti
Pariyatti adalah proses belajar siswa yang menghasilkan pengertian
b. Patipati
Patipati adalah praktek yang dilakukan setelah siswa memperoleh pengertian
dari belajar
c. Pativedha
Pativedha adalah tujuan atau hasil akhir yang dicapai setelah siswa memiliki
pengertian dan melaksanakan praktek dari ajaran itu sendiri.
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan,
maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau
tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa mempelajari sesuatu
yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa
keadaan alam, benda-benda atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar. Tindakan
belajar dari suatu hal tersebut nampak sebagai perilaku belajar yang nampak dari luar.
Secara pasif makna kerukunan adalah menjaga agar hidup rukun, sedangkan secara
pasif berarti melakukan praktik atau usaha yang dapat mengakibatkan timbulnya
kerukunan. Makna secara aktif ini dapat dilakukan dengan kegiatan yang bersifat
sosial kemanusiaan, diskusi, dan musyawarah.
Hal ini menujukkan bahwa di mana telah terbina kerukanan hidup antar umat
beragama, maka di sana akan terwujud persatuan dan kesatuan dan selanjutnya
apabila persatuan dan kesatuan telah terwujud maka di situ akan dapat dibangun
sebuah kerajaan yang jaya.
Memahami arti pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama dan persatuan dan
kesatuan, maka dipandang perlu untuk diuraikan fakta sejarah perkembangan agama
Buddha dalam memberikan konstribusi bagi terwujudnya sebuah kerukunan.
3. Brahmavihara
BRAHMA VIHARA (Empat Sifat Luhur)
Brahma vihara adalah sifat batin yang luhur atau mulia atau tempat berdiamnya
makhluk Brahma (makhluk dewa yang telah mencapai kesucian batin). Sifat ini
terdapat dalam diri manusia baik yang jahat maupun yang baik. Manusia menurut
pandangan Buddhis terdapat 7 sifat terdiri dari :
2 sifat baik (keyakinan dan kebijaksanaan)
4 sifat tidak baik (serakah, kenafsuan, kebencian, mudah tersinggung)
1 sifat campuran dari 6 sifat diatas.
Perbuatan Baik Perbuatan Buruk
1. Metta: Cinta Kasih 1. Lobha: Keserakahan
2. Karun: Belas kasihan 2.Dosa: Kebencian/Kemarahan
Moha tidak sama dengan Avijja (kegelapan batin). Moha adalah orang yang malas
melakukan segala sesuatu, sedangkan Avijja adalah orang yang sudah mengerti
berpura-pura tidak mengerti. Lobha dapat dihilangkan dengan mengembangkan
Karuna, Dosa dapat dihilangkan dengan mengembangkan Metta, Moha dapat
dihilangkan dengan mengembangkan Panna (Kebijaksanaan), Irsia dapat dihilangkan
dengan mengembangkan Mudita. Bila manusia memiliki sifat terikat pada apa yang
disenangi, dan sifat menolak pada apa yang tidak disenangi dapat dihilangkan dengan
mengembangkan Upekkha.
Sifat luhur ini hendaknya dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari agar kita dapat
menjadi manusia yang mulia baik dalam tingkah laku, pikiran dan ucapan. Keempat
sifat luhur(baik) tersebut merupakan keadaan tanpa batas (appamana). Disebut
demikian karena tidak ada yang merintangi atau yang membatasi semua makhluk
termasuk dalam alam menyedihkan untuk mengembangkan sifat luhur tersebut.
4. Prasasti Asoka
“Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa
suatu dasar yang kuat. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-
dasar tertentu.
Dengan berbuat demikian kita telah membantu agama kita sendiri, untuk berkembang di
samping menguntungkan pula agama orang lain. Dengan berbuat sebaliknya kita telah
merugikan agama kita sendiri, di samping merugikan agama orang lain.
Oleh karena itu, barang siapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama orang
lain, semata-mata karena didorong oleh rasa bakti pada agamanya sendiri dengan
berpikir; bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri. Dengan berbuat demikian ia
malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan
dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia
mendengar ajaran orang lain”. (Proyek Bimbingan P4, 1983/1984,: 28, SM Rasyid,
1988).
5. Saraniyadhamma Sutta
6. Toleransi
Toleransi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai dua kelompok yang
berbeda kebudayaan yang bermakna ”Sifat atau sikap toleran”, (Tim penyusun, 2007:
1204). Sedangkan menurut Mukti toleransi adalah kesediaan untuk menerima
kehadiran orang yang berkeyakinan lain, menghormati keyakinan yang lain, walaupun
bertentangan dengan keyakinan sendiri dan tidak memaksakan suatu agama atau
kepercayaan kepada orang lain, (Mukti, 2003: 150). Sedangkan kata ”agama” dalam
buku Ensiklopedia Buddha Dhamma Keyakinan Umat Buddha lebih dikenal dengn
sebutan ”Sasana atau Dhamma”, yang secara harafiah berarti ”Kebenaran”, (Ing,
2008: 6). Hal tersebut mengandung arti bahwa ajaran yang menghantarkan seseorang
yang melaksanakan-Nya untuk dapat hidup berbahagia di dunia, sehingga dapat
mencapai tujuan akhir Nibbana. Berdasarkan kutipan tersebut, bahwa toleransi
beragama dapat memberikan kesejahteraan bagi umat beragama, dan tidak hanya
untuk kepentingan satu agama Buddha namun untuk semua umat beragama, sehingga
umat beragama merasa hidup dalam ketenangan dan keharmonisan serta dapat hidup
bahagia dan sejahtera secara berdampingan.
Proses kehidupan bertoleransi dapat dilihat dari adanya partisipasi seluruh umat
beragama, karena toleransi menjunjung tinggi kebebasan dan kesamaan yang
menyeluruh, yaitu tidak ada diskriminasi. Toleransi sebagai pandangan hidup manusia
menuntut manusia untuk menerapkan perilaku hormat menghormati pada setiap
tindakan dan aktivitasnya, sehingga akan tercipta suatu masyarakat yang memiliki
kultur toleransi. Masyarakat yang penuh dengan sikap toleransi adalah masyarakat
yang mempunyai perilaku hidup, baik dalam keseharian dan tindakan yang dilandasi
oleh unsur-unsur hidup bertoleransi. Penerapan sikap dan unsur-unsur toleransi pada
setiap tindakan sehari-hari meliputi: menghargai dan memahami keanekaragaman,
menghormati kebebasan, pelaksanaan musyawarah, dan mengakui persamaan.
Tegaknya toleransi sebagai sebuah tatanan kehidupan sosial yang penuh dengan sikap
hidup bertoleransi, yaitu sikap hidup berdampingan yang rukun dan harmonis diantara
banyak agama sangat bergantung kepada unsur penopang toleransi beragama itu
sendiri. Suatu tatanan kehidupan dikatakan penuh dengan toleransi hidup beragama
apabila dalam mekanisme kemasyarakatan yang pluralisme mewujudkan unsur-unsur
sikap hidup yang saling hormat menghormati antara sesama pemeluk agama. Menurut
pandangan Abdillah (dalam Rosyada, dkk, 2003: 122) unsur-unsur toleransi terdiri
dari persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Sementara itu, Inu Kencana merinci unsur
toleransi dari beberapa unsur yang telah dirinci salah satunya yaitu, musyawarah
(Rosyada dkk, 2003: 122).
Sumber:
http://iputugede54.blogspot.com/2014/02/makalah-hakikat-dan-dasar-pendidikan_20.html
http://green-sarijo.blogspot.com/2012/03/kerukunan-umat-beragama-dalam-
agama.html
http://pak-diyon.blogspot.com/2012/02/brahma-vihara.html