Oleh:
AYU DEARMAS PURBA
NIM:3193331009
KELAS B
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa. yang telah memberikan berkat dan
karunia yang dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun
yang menjadi judul tugas saya adalah “Critical Journal Report ” .Tujuan saya menulis makalah
ini ialah untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah “STUDI MASYARAKAT INDONESIA”.
Jika dalam penulisan makalah saya terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan dalam
penulisannya, maka kepada para pembaca, saya memohon maaf sebesar-besarnya atas koreksi-
koreksi yang telah dilakukan. Hal tersebut semata-mata agar menjadi suatu evaluasi dalam
pembuatan mereview journal ini. Mudah-mudahan dengan adanya pembuatan tugas ini dapat
memberikan manfaat berupa ilmu pengetahuan yang baik bagi penulis maupun bagi para
pembaca
3 Kata kunci contemporary society, reformation order, media, communication & social
change
4 Abstrak here are 3 points to discuss the Indonesian contemporary society who lives
in reformation order. First is urban society with liberalism perspectives,
open dan information technology in their hand. Second is structuralist
society, who lives and willingness in patron – client/ leadership traits.
Third is marginal society with less access to education, health system and
powerless. In the development of reformation order, with new perspectives
anf interpertation, there are some changing in our society, rapidly moved.
What implication, also with communication perspectives? Also what is
going to happen next , are parts of the discussion in this article.
Dari sisi ini, peran media komunikasi di Indonesia telah melahirkan sikap
ambivalensia kalangan anak muda Indonesia dengan ideologi ganda, yaitu
mencintai Indonesia dengan membabi buta, namun menjadi pendukung
dari ideologi dunia (lain) yang bahkan mereka tak pernah kenal secara
nyata. Dengan kata lain mereka bersedia mati untuk Indonesia dan secara
simultan mereka bersedia mati pula untuk tokoh-tokoh favorit mereka di
dunia olah raga atau di panggung-panggung budaya populer.
6 Perubahan Kata yang pantas kita berikan kepada narasi masyarakat kontemporer
sosial seperti di atas adalah bahwa masyarakat Indonesia sedang “berubah”.
Perubahan sosial masyarakat Indonesia telah mendorong lahirnya new life
style terutama di kalangan generasi muda dengan sifatsifat posmodern. Hal
ini antara lain disebabkan karena:
Booming Media
Salah satu argumentasi yang kuat dari kalimat “telah terjadi booming
media” di Indonesia adalah data tentang tingkat belanja media masyarakat,
contohnya belanja pulsa telepon seluler di Indonesia menduduki ranking
nomor 2 setelah belanja beras masyarakat Indonesia pada tahun 2009.
Data ini tidak terlalu mengagetkan kita karena telah lama kita tahu bahwa
telah terjadi booming media di masyarakat Indonesia sebagai akibat dari
gelombang informasi yang terjadi sekitar 10-15 tahun terakhir ini.
Masyarakat Indonesia menjadi sangat boros menggunakan media terutama
seluler sebaliknya mereka tidak pernah sadar telah menjadi pasar kapitalis
yang mereka ciptakan sendiri.
Kehidupan bernegara terkesan bahwa rakyat kuat maka negara telah lemah,
politik telah menjadi raja di semua bidang kehidupan bernegara sementara
bidang ekonomi yang dulu menjadi raja saat ini menjadi sangat lemah.
Sensifitas Semu
Sifat lain dari masyarakat Indonesia adalah menjadi masyarakat yang
sensitif. Telah terjadi perilaku masyarakat yang luar biasa di dalam era
reformasi ini yaitu masyarakat yang gampang tersinggung, masyarakat
yang mudah di sulut kemarahannya, masyarakat yang mudah diadu-domba,
masyarakat yang gampang dikooptasi kepentinganya dan semacamnya.
Namun disisi lain pula terkesan bahwa sensitifitas masyarakat terhadap
lingkungan sosial, lingkungan hidup meningkat, kepedulian masyarakat
terhadap kehidupan bersama meningkat, namun secara substansial
sensifitas ini semu, karena ternyata kebanyakan tidak (jarang) kita temui
sifatnya ikhlas. Semua tindakan anggota masyarakat telah ditandai dengan
niat yang tidak ikhlas untuk mencari popularitas, untuk mendapat
kedudukan, untuk meraih status sosial, untuk memperoleh dukungan dan
sebagainya.
Metroseksual-Technoseksual
Di kalangan masyarakat Indonesia liberal (MIL) kata-kata metroseksual
dan technoseksual ini menjadi populer, ini adalah salah satu dari gaya
hidup konsumerisme. Di wilayah MIL metroseksual dan technoseksual
menjadi gaya hidup bergengsi dan semua logika hidup di wilayah ini untuk
melayani sifat-sifat metroseksual dan technoseksual. Keadaan ini
diciptakan oleh kapitalisme untuk mengalienasi kehidupan masyarakat
pada kerja keras mereka dan penyaluran stres yang berlebihan. Kesadaran
semu yang diciptakan kepitalis adalah menjadikan manusia sebagai hamba
sahaya mate rialisme dan manusia tak sadar kalau mereka telah menjadi
subjek yang tak bisa keluar dari sistem produksi kapitalis ini, kecuali
melawan.
Social Networking
Salah satu hal yang telah berubah di masyarakat adalah interaksi sosial
masyarakat Indonesia karena didorong oleh perubahan perilaku
komunikasi mereka. Karena akses komunikasi lebih banyak di wilayah
MIL dan MIS, maka di dua masyarakat Indonesia ini yang paling banyak
berubah, sementara di wilayah MIM cenderung masih menggunakan pola
dan struktur hubungan-hubungan sosial lama.
Perubahan model-model social networking di masyarakat Indonesia
disebabkan karena perubahan di dunia komunikasi begitu cepat dan
perubahan di dunia komunikasi yang cepat karena disebabkan oleh
perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat.
Dari sisi model komunikasi, pada social networking lama, dominan bersifat
satu arah, dua arah atau timbal balik, namun pada model baru, social
networking cenderung berbentuk silang dan multi arah. Sedangkan dari sisi
kepentingan, kecenderungan social networking masyarakat Indonesia saat
ini cenderung bersifat fungsional dan sarat dengan kepentingan.
Masyarakat Transformer
Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia ini lebih dominan di
kendalikan oleh MIL sedangkan MIS dan MIM cenderung menjadi subjek
yang dikendalikan. Melihat keadaan ini maka proses transformer di
kalangan masyarakat Indonesia lebih banyak terjadi di MIL dan MIS
sementara MIM belum dapat sepenuhnya melakukan ini karena
keterbatasan mereka.
Ciri utama dari perubahan dan trans formasi di semua unsur kebudayaan
itu adalah pada nilai kapitalisme yang tertanam di dalam semua unsur
kebudayaan itu sehingga seakan-akan unsurunsur kebudayaan tidak akan
fungsional di dalam masyarakat apabila unsur itu tidak mampu
mentransformasi nilainilai lama yang konsumtif menjadi nilainilai baru
yang produktif. Jadi unsur kebudayaan apa saja harus dikapatalisasi agar
dapat mempertahankan hidupnya lebih lama.
2. Infotainment
Transformasi lain yang terjadi di masyarakat adalah media massa telah
menjadi masyakat Indonesia sebagai masyarakat infotainment. Pagi, siang,
sore, malam bahkan tengah malam, media menyiarkan informasiinformasi
tak berguna ini dalam acaraacara infotainment mereka. Terutama di kalang
perempuan Indonesia, acara ini menjadi penting dan informasi utama
mereka, mereka menjadi sangat khusu dan serius.
3. Masyarakat Tobacco
Salah satu keberhasilan lain dari pabrik-pabrik rokok di Indonesia adalah
mentransformasi kebiasaan merokok kepada seluruh lapisan masyarakat.
Bahkan keberhasilan ini juga diikuti dengan keberhasilan menangkal
informasi yang mengatakan bahwa merokok itu berbahaya dan sebagainya.
Tanpa disadari bahwa masyarakat Indonesia sampai hari ini menjadi
masyarakat perokok nomor 3 terbesar di dunia.
Dengan kata lain jumlah perokok Indonesia sekitar 27.6%. Artinya, setiap
4 orang Indonesia, terdapat seorang perokok. Angka persentase ini jauh
lebih besar dari Amerika saat ini yakni hanya sekitar 19% atau hanya ada
seorang perokok dari tiap 5 orang Amerika. Perlu diketahui bahwa pada
tahun 1965, jumlah perokok Amerika Serikat adalah 42% dari
penduduknya. Selama 40 tahun lebih Amerika berhasil mengurangi jumlah
perokok dari 42% hingga kurang dari 20% di tahun 2008 ini.
4. Posmocrime
Transformasi lain di bidang kejahatan telah terjadi di dalam masyarakat
Indonesia. Kejahatan konvensional telah ditransformer menjadi
posmocrime, dimana kejahatan itu ada konstuksi sosial. Kejadian di dunia
internasional telah memberi gagasan transformatif terhadap berbagai
kejakatan yang terjadi di Indonesia. Lihat saja ketika Amerika
mengkonstruksi kejatahan kepada penguasa Taliban di Afganistan dan
Irak, bahwa di Afganistan ada penjahat-penjahat yang membom WTC di
Amarika. Begitu pula ada penjahat yang bernama Sadam Husein di Irak
yang membuat senjata biologis yang sangat membayakan umat manusia.
Terakhir dunia baru tahu ternyata semua itu adalah tipu-muslihat Amerika
dan temantemannya dengan motif untuk menguasai ladang-ladang minyak
di negara-negara itu, inilah yang disebut dengan posmocrime, dimana
kejahatan adalah konstruksi sosial yang dibuat untuk diberikan kepada
musuh-musuh mereka.
Di Indonesia hal ini telah berlangsung sejak lama, terutama sejak Orde
Reformasi ini. Berbagai kasus besar yang disiarkan media massa kepada
kita, hampir seluruhnya adalah posmocrime, bahwa kejahatan adalah
konstruksi sosial yang dibuat untuk mengkriminalkan musuh-musuh
mereka. Inilah kejahatan di atas kejahatan, orang yang tak bersalah dapat
disalahkan karena kejahatan yang dilakukan oleh sang konstruktor
kejahatan.
Negara juga dapat melakukan ini dimana ciri yang paling utama adalah; 1)
menciptakan kejahatan untuk diberikan kepada orang lain sebagai musuh-
musuh politik; 2) memunculkan sebanyak-banyaknya institusi yang
berkaitan dengan penegakan hu kum, lalu diamati kinerja mereka. Apabila
kinerja mereka merugikan konstruktor, maka lembaga itu dapat dikebiri
atau dilemahkan agar menjadi imun terhadap penegakan hukum
berikutnya; 3) Ciri lain adalah dengan cara mengambangkan hasil kinerja
berbagai institusi penegak hukum dan ciptakan isu-isu baru di bidang
penegakan hukum agar kasus yang lama dilupakan orang; 4) ciri terakhir
adalah menciptakan predator pada sesama penegak hukum, sehingga
tercipta konflik yang berkepanjangan dan akhirnya kasus-kasus hukum
yang sebenarnya dilupakan masyarakat.
Dunia semakin kecil bahkan lebih kecil dari daun kelor ketika seseorang
membuka dirinya terhadap transpormasi media komunikasi. Dunia semakin
mahal ketika akses komunikasi semakin murah sementara mereka yang
menjadi penguasa-penguasa jaringan informasikomunikasi menjadi
penguasa-penguasa dunia.
8 Daftar Pustaka Bungin, B. (2008). Konstruksi Realiti Sosial Media, Iklan Televisi dan
Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann. Jakarta: Prenada Media.
3 Pendahuluan Dalam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b), telah saya bahas dan tunjukkan
bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan
dengan cara membangun bertolak dari hasil perombakan terhadap keseluruhan
tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut
adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum
untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya
keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran
produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan
rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan
tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah ‘masyarakat multikultural Indonesia’
yang bercorak ‘masyarakat majemuk’ (plural society). Corak masyarakat
Indonesia yang ‘bhinneka tunggal ika’ bukan lagi keanekaragaman sukubangsa
dan kebudayaannya, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia
4 Konsep Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia
multikulturalisme untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, bagi orang Indonesia masa kini
dan multikulturalisme adalah sebuah konsep asing. Saya kira perlu ada lebih banyak
persebarannya tulisan oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media massa
daripada yang sudah ada selama ini. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat
disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan
sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme akan—harus mau tidak mau—mengulas pula berbagai
permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan
dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya
komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat
serta mutu produktivitas.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara
Eropah Barat sampai dengan Perang Dunia ke-2, masyarakat-masyarakat tersebut
hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang
Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat
tersebut dikategorikan sebagai minoritas dengan segala hakhak mereka yang
dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat, berbagai gejolak untuk persamaan hak
bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di
akhir tahun 1950-an. Puncaknya adalah pada tahun 1960-an dengan dilarangnya
perlakuan diskriminasi oleh orang kulit putih terhadap orang kulit hitam dan
berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan hak-hak sipil, dan dilanjutkannya
perjuangan hak-hak sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan
affirmative action. Kegiatan ini membantu mereka yang terpuruk dan minoritas,
untuk dapat mengejar ketinggalannya dari golongan kulit putih yang dominan di
berbagai posisi dan jabatan dalam beragam bidang pekerjaan dan usaha (lihat
Suparlan 1999).
Secara garis besarnya, etika (ethics) dapat dilihat sebagai ‘pedoman yang
berisikan aturanaturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam
sebuah profesi’. Di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan
nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si
pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya. Peranan
etika dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses
masukan menjadi keluaran yang bermutu (Magnis-Suseno 1987; Bertens 2001).
Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya
etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan
sebagainya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita dapat melihat berbagai
pedoman etika—yang ada atau tidak ada—dalam berbagai struktur kehidupan
atau pengelolaan sumber-sumber daya yang lebih khusus, misalnya pembahasan
mengenai ‘Akbar Tanjung dan Etika Politik’ sebagaimana dikemukakan oleh
Alfian (2002).
Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia
yang multikultural adalah sangat kompleks. Apakah kita, para ahli Antropologi,
sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di Indonesia
ini juga telah siap untuk itu? Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau
bahwa seyogianya kita semua melakukan refleksi diri mengenai kesiapan tersebut.
Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita cukup mampu untuk
melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri
masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani? Apakah
kita juga akan mampu membuat semacam blueprint untuk mengubahnya menjadi
masyarakat bercorak multikultural? Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita
mempersiapkan diri melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya
untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita, dan mempertajam
konsepkonsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai ungkapan-
ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Jika diperlukan, sebaiknya
pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk
bersama untuk membicarakan isu-isu penting berkenaan dengan peranan
antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi. Pembicaraan
para pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk mengembangkan
kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang sesuai dengan itu
Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian
etnografi yang tradisional, yang bercorak butterfly collecting yang selama ini
mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian dosen dan mahasiswa untuk skripsi,
sebaiknya ditinjau kembali untuk diubah sesuai dengan perkembangan
antropologi dewasa ini, dan sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat
Indonesia menuju masyarakat multikultural. Penelitian etnografi bercorak
penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari, dan diganti dengan penelitian
etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang
tersembunyi di balik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang
akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Kegiatan-
kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk memperoleh respons dari
responden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk
dan mengenai multikulturalisme ini. Kajian seperti ini hanya akan mampu
menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti,
bersifat superfisial, dan menyembunyikan banyak kebenaran yang seharusnya
dapat diungkapan melalui dan dalam suatu kegiatan penelitian. Pendekatan
kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada
angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-
metode yang baku seperti yang terdapat dalam buku yang disunting oleh Denzin
dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan
obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang
ditelitinya. Untuk itu perlu juga dikaji tulisan Guba (1990) dan sejumlah penulis
yang diedit oleh Denzin dan Lincoln (2000), yang menunjukkan kelemahan dari
filsafat positivisme yang menjadi landasan utama dari metodologi kuantitatif.
Ketiga, sebaiknya berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan
masyarakat multikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi dapat
pula menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi
dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari
berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersamasama melihat,
mengembangkan, memantapkan, dan menciptakan model-model penerapan
multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia menurut perspektif dan keahlian
akademik masingmasing. Dengan demikian, secara bersama-sama, tetapi melalui
dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju
masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif
berhasil dilaksanakan.
Di samping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan
yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-ahli
Antropologi, dan terutama pimpinan Jurusan Antropologi, sebaiknya mulai
memikirkan untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme pada
berbagai lembaga, badan, dan organisasi pemerintahan yang kebijaksanaannya—
secara langsung atau tidak langsung—berkaitan dengan masalah
multikulturalisme. Hal yang sama sebaiknya dilakukan pula terhadap sejumlah
LSM dan tokohtokoh masyarakat atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan
atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi,
seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial
yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita
reformasi, bila mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan
konsep-konsep yang berkaitan dengan itu. Mereka dapat juga menentang
multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka
tidak memahaminya, atau merasa tidak berkepentingan untuk turut melakukan
reformasi
Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya
sebagai acuan bertindak, sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi
yang terserap dalam hak dan kewajiban pelakunya dalam berbagai struktur
kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya
pemberantasan KKN secara hukum.
7 Daftar pustaka Alfian, M. 2002 ‘Akbar Tanjung dan Etika Politik’, Harian Media Indonesia. 19
Maret.
Denzin, N.K. dan Y.S. Lincolns (peny) 2000 Handbook of Qualitative Research.
Second Edition. London: Sage