DISUSUN OLEH:
NAMA:INDRA ARIANSYAH
NIM:1901012007
DHARMASRAYA
TAHUN
2020
ABSTRAK
Perilaku kekerasan adalah nyata melakukan kekerasan ditujukan pada diri sendiri atau orang
lain secara verbal maupun non verbal dan dan pada lingkungan (Depkes RI,2006).
Berdasarkan data yang didapat dari Rekam Medis Ruangan Merpati RSJ Prof. HB. Saanin
Padang didapatkan data jumlah pasien perilaku kekerasan yang dirawat pada bulan Maret
2017 sebanyak 21 orang. Tujuan penelitian ini adalah menerapkan asuhan keperawatan pada
pasien dengan perilaku kekerasan diruangan merpati Rumah Sakit Jiwa Prof. HB. Saanin
Padang tahun 2017.
Metode penelitian yang digunakan yaitu studi kasus dalam bentuk deskriptif. Penelitian
dilakukan pada 2 partisipan di Ruangan Merpati Rumah Sakit Jiwa Prof. HB. Saanin Padang.
Proses penyusunan dimulai dari bulan Januari sampai Juni 2017 dengan waktu penelitian
selama 10 hari. Analisa terhadap proses keperawatan yang dilakukan peneliti meliputi
pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan dibandingkan
dengan teori.
Hasil pengkajian didapatkan keluhan utama yaitu klien tidak mampu mengontrol cara
bicaranya yang kasar, klien merasa melihat ada dirinya nya yang lain, klien hanya mau
berinteraksi jika penting. Diagnosa keperawatan jiwa yang didapatkan yaitu perilaku
kekerasan, halusinasi, isolasi sosial, dan harga diri rendah. Rencana keperawatan jiwa yang
dilaksanakan sudah terstandar, semua rencana tindakan keperawatan jiwa dapat dilaksanakan
pada implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan terhadap diagnosa keperawatan
yang ditemukan dapat teratasi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran bagi perawat di Ruang Merpati Rumah
Sakit Jiwa Prof. HB. Saanin Padang dalam melakukan asuhan keperawatan dan
memaksimalkan implementasi yang dilakukan.
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat
Rumah Sakit Jiwa Prof. HB. Saanin Padang Tahun 2017. penulis
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga nantinya dapat membawa
INDRA ARIANSYAH
DAFTAR ISI
ABSTRAK..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................5
C. Tujuan Penulis.....................................................................................5
D. Manfaat Penulis...................................................................................6
A. Konsep Dasar...........................................................................................8
1. Pengertian..........................................................................................8
6. Mekanisme Koping............................................................................12
1. Pengkajian..........................................................................................14
2. Pohon masalah...................................................................................22
3. Masalah keperawatan.........................................................................22
4. Intervensi keperawatan......................................................................22
5. Implementasi keperawatan.................................................................23
6. Evaluasi keperawatan.........................................................................24
7. Dokumentasi keperawatan.................................................................25
BAB III DESKRIPSI KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi kasus.........................................................................................26
1. Pengkajian...........................................................................................27
2. Diagnosa keperawatan........................................................................27
3. Intervensi Keperawatan......................................................................28
4. Implementasi keperawatan.................................................................28
5. Evaluasi keperawatan.........................................................................29
B. Pembahasan.........................................................................................29
1. Pengkajian...........................................................................................29
2. Diagnosa keperawatan........................................................................30
3. Intervensi keperawatan.......................................................................30
4. Implementasi keperawatan.................................................................31
5. Evaluasi keperawatan.........................................................................32
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................33
B. Saran.........................................................................................................33
C. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................34
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut UU No. 18 Tahun 2014 Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu
dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan konstribusi untuk komunitasnya. Sehat jiwa merupakan suatu kondisi
mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang
utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia
(Badan PPSDM, 2013).
Ciri-ciri sehat jiwa yaitu seseorang mampu menghadapi kenyataan,mendapat kepuasan dari
usahanya, bebas dari rasa cemas, mengarahkan rasa bermusuhan pada penyelesaian yang
kreatif dan konstruktif (Herman Ade, 2011)
Orang dengan masalah kejiwaan adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial,
pertumbuhan dan perkembangan, dan atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko
mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa adalah respon maladaptif dari lingkungan internal
dan eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak sesuai dengan
norma lokal atau budaya setempat dan mengganggu fungsi sosial, pekerjaan dan atau fisik
(Ruti,dkk 2010).
Gangguan jiwa ditemukan di semua negara, pada perempuan dan laki-laki, pada semua tahap
kehidupan, orang miskin maupun kaya baik di pedesaan maupun perkotaan mulai dari yang
ringan sampai yang berat (Abdul,dkk 2013).
memperkirakan sebanyak 450 juta orang diseluruh dunia mengalami gangguan mental,
terdapat sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk di
perkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Gangguan
jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang
menjadi 25% di tahun 2030. Gangguan jiwa juga berhubungan dengan bunuh diri, lebih dari
90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat gangguan jiwa, ini termasuk
dampak dari gangguan jiwa yg mana dapat melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
(Badan PPSDM, 2012)
Penderita gangguan jiwa berat dengan usia diatas 15 tahun di Indonesia mencapai 0,4%. Hal
ini berarti terdapat lebih dari satu juta orang di indonesia yang mengalami gangguan jiwa
berat. Berdasarkan data tersebut diketahui 11,6% penduduk indonesia mengalami gangguan
mental emosional (Riskesdas, 2007).
Pada tahun 2013 jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 1,7% per 1000 penduduk
atau sekitar
400.000 jiwa (Riskesdas, 2013).
Begitu juga di Sumatera Barat Jumlah penderita gangguan jiwa pada tahun 2008 data Dinas
Provinsi Sumatera
Barat dari jumlah penduduk 3.198.726 orang ada 0,26 % yang menderita gangguan jiwa.
Data Dinas Kesehatan Kota Padang pada tahun 2009 dari jumlah penduduk di kota Padang
839.190 orang, yang mengalami gangguan jiwa di kota Padang sebanyak 0,75 %. World
Health Organisation (WHO) menyebutkan masalah utama gangguan jiwa di dunia adalah
skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguanpada otak dan pola pikir, skizofrenia mempunyai
karateristik dengan gejala positif dan negatif. Gejala positif antara lain : delusi, halusinasi,
waham,disorganisasi pikiran. Gejala negatif seperti : sikap apatis, bicara jarang, afek tumpul,
menarik diri dari masyarakat dan rasa tidak nyaman (Ruti,dkk 2010).
Menurut Stuart dan Sundeen,1995 dalam Fitria Nita 2012, salah satu gejala positif dari
skizofrenia yang sering muncul adalah Perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah suatu
bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun secara
psikologis (Keliat,dkk 2011). Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku
kekerasan secara verbal dan fisik. Setiap aktivitas bila tidak di cegah dapat mengarah pada
kematian.
Beberapa tanda dan gejala yang biasanya muncul pada pasien dengan perilaku kekerasan baik
secara verbal maupun secara fisik. Tanda dan gejala verbal yang muncul biasanya
mengancam, mengumpat dengan kata kata kotor, berbicara dengan nada keras, dan kasar
(Fitria Nita, 2012).
Sedangkan tanda dan gejala fisik nya dapat berupa mata melotot/pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, postur tubuh kaku, serta riwayat
melakukan perilaku kekerasan (Badan PPSDM, 2013).
Penyebab dari perilaku kekerasan yaitu kehilangan harga diri karena tidak dapat memenuhi
kebutuhan sehingga individu tidak berani bertindak, cepat tersinggung dan lekas marah.
Akibatnya frustasi tujuan tidak tercapai atau terhambat sehingga individu merasa cemas dan
terancam, individu berusaha mengatasi tanpa memperhatikan hak-hak orang lain, kebutuhan
aktualisasi diri yang tidak tercapai sehingga menimbulkan ketegangan dan membuat individu
cepat tersinggung. Dampak atau perubahan yang terjadi dapat berupa perasaan tidak sabar,
cepat marah, dari segi sosial kasar, menarik diri, dan agresif (Dalami, dkk 2009).
Melihat dampak dan kerugian yang ditimbulkan, maka penanganan pasien dengan perilaku
kekerasan perlu dilakukan secara cepat dan tepat oleh tenaga kesehatan yang profesional,
salah satunya yaitu keperawatan jiwa. Menurut Gail W.Stuart. 2006 Keperawatan jiwa adalah
proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien
yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. Sistem pasien atau klien dapat berupa individu,
keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. American Nurses Association (ANA),
mendefenisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu bidang spesialisasi praktik
keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri
yang bermanfaat sebagai kiatnya. Menurut Suliswati, dkk 2005 dalam Abdul, dkk 2013,
keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional di dasarkan pada ilmu perilaku,
ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial
yang mal adaptif yang disebabkan oleh gangguan bio psiko-sosial, dengan menggunakan diri
sendiri dan terapi keperawatan jiwa melalui pendekatan proses keperawatan untuk
meningkatkan, mencegah, mempertahankan, dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien.
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha untuk meningkatkan dan
mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh sebagai manusia. Hasil
penelitian Elita,dkk di Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekan Baru tahun 2010, mencatat bahwa
ada sebanyak 1.310 pasien dengan alasan dirawat di rumah sakit jiwa adalah dengan masalah
gangguan persepsi sensori: halusinasi sebesar 49,77%, gangguan proses pikir: waham sebesar
4,66%, perilaku kekerasan sebesar 20,92%, isolasi sosial sebesar 8,70%, gangguan konsep
diri: harga diri rendah sebesar 7,02%, defisit perawatan diri sebesar 3,66%, dan risiko bunuh
diri sebesar 5,27%. Berdasarkan hasil data rekam medik yang diperoleh maka dapat
disimpulkan bahwa persentase gangguan jiwa khususnya perilaku kekerasan memiliki
persentase tertinggi kedua setelah halusinasi, yaitu sebesar 20,92. Berdasarkan survey awal
didapatkan data dari medical record pada tahun 2016 di RS.Jiwa Prof. HB.
Data yg ditemukan di semua ruangan RSJ. Prof. HB Saanin Padang pada 3 bulan terakhir
ruangan yang memiliki pasien dengan perilaku kekerasan terbanyak yaitu di ruangan merpati
dengan 129 orang pasien perilaku kekerasan dari total 155 orang pasien yang dirawat di
ruangan tersebut, merupakan jumlah terbanyak dari semua ruangan yg ada. Hasil wawancara
dengan perawat pelaksana diruangan merpati RSJ. Prof. HB Saanin Padang di temukan
masalah asuhan keperawatan dari intervensi yang diberikan berupa strategi pelaksanaan pada
pasien perilaku kekerasan, dimana pasien masih kurang patuh dalam mengikuti dan atau
melaksanakan minum obat. Biasanya pasien menaruh obat dibawah lidah dan dimuntahkan
kembali, masalah ini ditemukan pada beberapa orang pasien.
Berdasarkan pemaparan yang telah di jelaskan di atas maka peneliti tertarik mengangkat
kasus tentang Penerapan Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan
di RSJ Prof. HB. Sa’anin Padang Tahun 2020.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui Penerapan asuhan Keperawatan Jiwa
pada Klien dengan Perilaku Kekerasan di RSJ Prof. HB. Sa’anin Padang.
2. Tujuan Khusus
e) Mampu mendeskripsikan hasil Evaluasi pada pasien dengan Gangguan Perilaku kekerasan
di RSJ. Prof. HB, Saanin Padang.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti Kegiatan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
penulis tentang penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan Gangguan Perilaku
Kekerasan Di Rumah Sakit Prof.HB.Saanin Padang.
2. Bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan masukan bagi
petugas kesehatan Rumah Sakit Prof. HB, Saanin Padang dalam meningkatkan mutu
pelayanan dan Profesionalitas khususnya dalam kasus Perilaku Kekerasan. Di samping itu
hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai data pembanding dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Gangguan Perilaku Kekerasan.
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran untuk pengembangan
ilmu dalam penerapan Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien dengan Gangguan Perilaku
Kekerasan di RSJ. Prof. HB, Saanin Padang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah nyata melakukan kekerasan ditujukan pada diri sendiri atau orang
lain secara verbal maupun non verbal dan dan pada lingkungan. (Depkes RI,2006).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatau bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah tidak memiliki tujuan khusus, tapi
lebih merujuk pada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan
perasaan marah (Berkowitz, 1993 dalam Dermawan,Deden, 2013).
Menurut Keliat, dkk perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Keliat, dkk, 2011). Sedangkan, Stuart dan
Laraia (2005),
menyatakan bahwa perilaku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim atau ketakutan
sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik berupa ancaman serangan fisik ataupun
konsep diri.
2. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
a. Respon Adaptif
1) Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan ketenangan.
2) Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternative.
b. Respon Maladaptif
2) Agresif : Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi masih
terkontrol.
3) Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilang nya control.
Proses terjadinya perilaku kekerasan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi
Struart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi,
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Biologis
Meliputi adanya faktor herediter mengalami gangguan jiwa, riwayat penyakit atau trauma
kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA.
2) Faktor Psikologis
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap stimulus eksternal, internal
maupun lingkungan.
Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu menemui kegagalan atau
terhambat, seperti kesehatan fisik terganggu, hubungan social yang terganggu.
Salah satu kebutuhan manusia adalah “berprilaku” apabila kebutuhan tersebut tidak dapat
dipenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka yang akan muncul adalah individu tersebut
berperilaku destruktif.
3) Faktor Sosiokultural
Fungsi dan hubungan social yang terganggu disertai lungkungan social yang mengancam
kebutuhan individu, yang mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah.
Norma dan budaya dapat mempengaruhi individu untuk berperilaku asertif atau agresif.
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara lansung melalui proses sosialisasi, merupakan
proses meniru dari lingkungan yang menggunakan perilaku kekerasan sebagai cara
menyelesaikan masalah.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat
unik, berbeda satu orang dengan orang yang lain. Stressor tersebut dapat merupakan
penyebab yang bersifat faktor eksternal maupun internal dari individu.
Faktor internal meliputi keinginan yang tidak terpenuhi, perasaan kehilangan dan kegagalan
dalam kehidupan (pekerjaan, pendidikan, dan kehilangan orang yang dicintai), kekhawatiran
terhadap penyakit fisik.
Faktor eksternal meliputi kegiatan atau kejadian social yang berubah seperti serangan fisik
atau tindakan kekerasan, kritikan yang menghina, lingkungan yang terlalu ribut, atau
putusnya hubungan social/kerja/sekolah
Tanda dan gejala yang muncul pada klien dengan perilaku kekerasan menurut Rusdi (2013)
adalah sebagai berikut:
b. Pandangan tajam.
d. Mengepalkan tangan.
e. Biacara kasar.
5. Mekanisme Koping Menurut Eko Prabowo (2014) mekanisme koping yang dipakai pada
pasien perilaku kekerasan untuk melindungi diri antara lain:
a. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata masyarakat untuk suatu
dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal.
b. Proyeksi
c. Represi
d. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan melebihkan sikap dan
perilaku yang berlawanan dan menggunakan nya sebagai rintangan.
e. Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada objek yang tidak begitu
berbahaya seperti yang pada mulanya membangkitkan emosi.
6. Penatalaksanaan
Menurut Eko Prabowo (2014) penatalaksanaan pada klien dengan perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:
a. Terapi Farmakologi
Pasien dengan perilaku kekerasan perlu perawatan dan pengobatan yang tepat. Adapun
pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi contohnya:
Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat
digunakan dosis efektif rendah, contohnya Trifluoperazine estelasine, bila tidak ada juga
maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat antipsikotik seperti neuroleptika, tetapi
meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
b. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan pemberian pekerjaan
atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan mengembalikan kemampuan
berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala
bentuk kegiatan seperti membaca Koran, bemain catur. Terapi ini merupakan langkah awal
yang harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan
ditentukan nya program kegiatannya.
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan lansung pada
setiap keadaan pasien. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat
mencegah perilaku maladatif, menanggulangi perilaku maladaptive, dan memulihkan
perilaku maladaptif ke perilaku adaptif sehingga derajat kesehatan pasien dapat ditingkatkan
secara optimal.
d. Terapi somatic
Menurut Depkes RI (2000) menerangkan bahwa terapi somatik terapi yang diberikan kepada
pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi
perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,
tetapi target terapi adalah perilaku pasien.
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi yang
diberikan kepada pasien dengan menimbulkan kejang dengan mengalirkan arus listrik melalui
elektroda yang ditempatkan di pelipis pasien. Terapi ini awalnya untuk menangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 kali
sehari dalam seminggu (seminggu 2 kali).
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas
1) Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien tentang :
nama perawat, nama klien, tujuan, waktu, tempat pertemuan, topik yang akan dibicarakan.
b. Alasan Masuk
Biasanya alasan utama pasien untuk masuk ke rumah sakit yaitu pasien sering
mengungkapkan kalimat yang bernada ancaman,
kata-kata kasar, ungkapan ingin memukul serta memecahkan perabotan rumah tangga. Pada
saat berbicara wajah pasien terlihat memerah dan tegang, pandangan mata tajam,
mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan. Biasanya tindakan keluarga pada
saat itu yaitu dengan mengurung pasien atau memasung pasien. Tindakan yang dilakukan
keluarga tidak dapat merubah kondisi ataupun perilaku pasien
c. Faktor Predisposisi
d. Pemeriksaan Fisik
Biasanya saat melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan hasil tekanan darah
meningkat, nadi cepat, pernafasan akan cepat ketika pasien marah, mata merah, mata melotot,
pandangan mata tajam, otot tegang, suara tinggi, nada yang mengancam, kasar dan kata-kata
kotor, tangan menggepal, rahang mengatup serta postur tubuh yang kaku.
e. Psiokososial
1) Genogram
Biasanya menggambarkan tentang garis keturunan keluarga pasien, apakah anggota keluarga
ada yang mengalami gangguan jiwa seperti yang dialami oleh pasien.
2) Konsep diri
a) Citra tubuh
Biasanya tidak ada keluhan mengenai persepsi pasien terhadap tubuhnya, seperti bagian
tubuh yang tidak disukai.
b) Identitas diri
Biasanya pasien dengan perilaku kekerasan merupakan anggota dari masyarakat dan
keluarga. Tetapi karena pasien mengalami gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan maka
interaksi antara pasien dengan keluarga maupun masyarakat tidak efektif sehingga pasien
tidak merasa puas akan status ataupun posisi pasien sebagai anggota keluarga dan
masyarakat.
c) Peran diri
Biasanya pasien dengan perilaku kekerasan kurang dapat melakukan peran dan tugasnya
dengan baik sebagai anggota keluarga dalam masyarakat.
d) Ideal diri
Biasanya pasien dengan perilaku kekerasan ingin diperlakukan dengan baik oleh keluarga
ataupun masyarakat sehingga pasien dapat melakukan perannya sebagai anggota keluarga
atau anggota masyarakat dengan baik.
e) Harga diri
Biasanya pasien dengan perilaku kekerasan memiliki hubungan yang kurang baik dengan
orang lain sehingga pasien merasa dikucilkan di lingkungan sekitarnya.
f. Hubungan social
Biasanya pasien dekat dengan kedua orang tuanya terutama dengan ibunya. Karena pasien
sering marah-marah, bicara kasar, melempar atau memukul orang lain, sehingga pasien tidak
pernah berkunjung ke rumah tetangga dan pasien tidak pernah mengikuti kegiatan yang ada
di lingkungan masyarakat.
g. Spiritual
1) Nilai keyakinan
Biasanya pasien meyakini agama yang dianutnya dengan melakukan ibadah sesuai dengan
keyakinannya.
2) Kegiatan ibadah
Biasanya pasien dengan perilaku kekerasan kurang (jarang) melakukan ibadah sesuai dengan
keyakinannya.
h. Status mental
Penampilan ,biasanya pasien berpenampilan kurang rapi, rambut acak-acakan, mulut dan gigi
kotor, badan pasien bau.
i. Pembicaraan
Biasanya pasien berbicara cepat dengan rasa marah, nada tinggi, dan berteriak (menggebu-
gebu).
j. Aktivitas Motorik
Biasanya pasien terlihat gelisah, berjalan mondar-mandir dengan tangan yang mengepal dan
graham yang mengatup, mata yang merah dan melotot.
k. Alam Perasaan
Biasanya pasien merasakan sedih, putus asa, gembira yang berlebihan dengan penyebab
marah yang tidak diketahui.
l. Afek
Biasanya pasien mengalami perubahan roman muka jika diberikan stimulus yang
menyenangkan dan biasanya pasien mudah labil dengan emosi yang cepat berubah. Pasien
juga akan bereaksi bila ada stimulus emosi yang kuat.
Biasanya pasien memperlihatkan perilaku yang tidak kooperatif, bermusuhan, serta mudah
tersinggung, kontak mata yang tajam serta pandangan yang melotot. Pasien juga akan
berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya.
n. Persepsi
Biasanya pasien mendengar, melihat, meraba, mengecap sesuatu yang tidak nyata dengan
waktu yang tidak diketahui dan tidak nyata.
Biasanya pasien berbicara dengan blocking yaitu pembicaraan yang terhenti tiba-tiba
dikarenakan emosi yang meningkat tanpa gangguan eksternal kemudian dilanjutkan kembali.
p. Isi Pikir
Biasanya pasien dengan perilaku kekerasan memiliki phobia atau ketakutan patologis atau
tidak logis terhadap objek atau situasi tertentu.
q. Tingkat Kesadaran
Biasanya pasien dengan perilaku kekerasan tingkat kesadarannya yaitu stupor dengan
gangguan motorik seperti kekakuan, gerakan yang diulang-ulang, anggota tubuh pasien
dalam sikap yang canggung serta pasien terlihat kacau.
r. Memori
Biasanya pasien dengan perilaku kekerasan tidak mampu berkonsentrasi, pasien selalu
meminta agar pernyataan diulang/tidak dapat menjelaskan kembali pembicaraan. Biasanya
pasien pernah menduduki dunia pendidikan, tidak memiliki masalah dalam berhitung
(penambahan maupun pengurangan).
t. Kemampuan penilaian
Biasanya pasien memiliki kemampuan penilaian yang baik, seperti jika disuruh untuk
memilih mana yang baik antara makan atau mandi terlebih dahulu, maka ia akan menjawab
mandi terlebih dahulu.
Biasanya pasien menyadari bahwa ia berada dalam masa pengobatan untuk mengendalikan
emosinya yang labil.
1) Makan
Biasanya pasien makan 3x sehari dengan porsi (daging, lauk pauk, nasi, sayur, buah).
2) BAB/BAK
3) Mandi
Biasanya pasien mandi 2x sehari dan membersihkan rambut 1x2 hari. Ketika mandi pasien
tidak lupa untuk menggosok gigi.
4) Berpakaian
Biasanya pasien mengganti pakaiannya setiap selesai mandi dengan menggunakan pakaian
yang bersih.
Biasanya pasien tidur siang lebih kurang 1 sampai 2 jam, tidur malam lebih kurang 8 sampai
9 jam. Persiapan pasien sebelum tidur cuci kaki, tangan dan gosok gigi.
6) Penggunaan obat
Biasanya pasien minum obat 3x sehari dengan obat oral. Reaksi obat pasien dapat tenang dan
tidur.
7) Pemeliharaan kesehatan
Biasanya pasien melanjutkan obat untuk terapinya dengan dukungan keluarga dan petugas
kesehatan serta orang disekitarnya.
Biasanya klien melakukan kegiatan sehari-hari seperti merapika kamar tidur, membersihkan
rumah, mencuci pakaian sendiri dan mengatur kebutuhan sehari-hari.
Biasanya klien melakukan aktivitas diluar rumah secara mandiri seperti menggunakan
kendaraan pribadi atau kendaraan umum jika ada kegiatan diluar rumah.
w. Mekanisme Koping
Biasanya data yang didapat melalui wawancara pada pasien/keluarga, bagaimana cara pasien
mengendalikan diri ketika menghadapi masalah:
1) Koping Adaptif
c) Teknik relaksasi
d) Aktifitas konstrutif
e) Olahraga, dll.
2) Koping Maladaptif
a) Minum alkohol
b) Reaksi lambat/berlebihan
c) Bekerja berlebihan
d) Menghindar
e) Mencederai diri
Biasanya pasien dengan perilaku kekerasan memiliki masalah dengan psikososial dan
lingkungannya, seperti pasien yang tidak dapat berinteraksi dengan keluarga atau masyarakat
karena perilaku pasien yang membuat orang sekitarnya merasa ketakutan.
y. Aspek Medik
Biasanya pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat. Adapun
dengan pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi contohnya
Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat
digunakan dosis efektif rendah, contohnya Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada juga
tidak maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi
meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas dan anti agitasi.
4) Hambatan komunikasi
8) Distres spiritual
2. Diagnosa
a. Pohon Masalah Perilaku Kekerasan Menurut Prabowo Eko (2014) : Core Problem
b. Diagnosa Keperawatan
1) Perilaku Kekerasan
Mengidentifikasi perilaku kekerasan, dan melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan
cara fisik 1 & 2.
b) Menjelaskan dan melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 & 2.
a) Evaluasi cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara latihan fisik 1 & 2.
b) Menjelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat (6 benar).
d) Masukkan pada jadwal kegiatan harian minum obat (6 benar) 3) Strategi pelaksanaan (SP)
pertemuan 3 pada pasien
Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal yaitu: mengungkapkan,
cara meminta, dan menolak dengan benar.
a) Evaluasi cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara latihan fisik 1 & 2 dan minum
obat (6 benar)
b) Menjelaskan dan melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal:
mengungkapkan, meminta, dan menolak dengan benar.
e) Masukkan pada jadwal kegiatan harian mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal.
4) Strategi pelaksanaan (SP) pertemuan 4 pada pasien
e) Memasukkan pada jadwal kegiatan harian untuk latihan mengontrol perilaku kekerasan
dengan cara spiritual.
b) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala beserta proses terjadinya perilau kekerasan.
d) Melatih salah satu cara merawat perilaku kekerasan dengan cara latihan fisik 1 & 2.
e) Anjurkan keluarga membantu pasien sesuai jadwal dan memberi pujian. 2) Strategi
pelaksanaan (SP) pertemuan 2 pada keluarga
a) Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi serta merawat dan melatih pasien fisik 1
& 2.
d) Anjurkan keluarga membantu pasien dalam memberikan obat (6 benar) sesuai jadwal.
a) Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi serta merawat, melatih pasien fisik 1 & 2,
dan minum obat (6 benar).
c) Menjelaskan dan melatih keluarga cara membimbing pasien perilaku kekerasan dengan
cara verbal (mengungkapkan, meminta, dan menolak dengan baik).
d) Anjurkan keluarga melatih pasien dengan cara verbal sesuai jadwal. 4) Strategi
pelaksanaan (SP) pertemuan ke 4 pada keluarga
merawat, melatih pasien fisik 1 & 2, minum obat (6 benar), dan cara verbal.
b) Beri pujian atas upaya yang telah dilakukan keluarga.
c) Jelaskan follow up ke pelayanan kesehatan masyarakat, tanda kambuh, dan rujuk pasien
segera.
d) Anjurkan keluarga membantu pasien melakukan kegiatan sesuai jadwal dan berikan
pujian.
Implementasi Keperawatan
Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkerlanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan
pada klien. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola
pikir.
(S) merupakan respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat dikur dengan menanyakan “ bagaimana persaan ibuk setelah latihan fisik
nafas dalam ?” ,
(O) merupakan respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Dapat di ukur dengan mengobservasi prilaku klien pada saat tindakan dilakukan atau
menanyakan kembali apa yang telah diajarkan atau memberi umpan balik sesuai dengan hasil
observasi.
(A) merupakan analisis ulang atas data subjektif atau objektif utnuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau data kontra indikasi dengan maslah yang
ada. Dapat pula membandingkan hasil dan tujuan.
(P) merupakan perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon klien
yang terdiri dari tindak lanjut klien dan tindak lanjut oleh perawat.
Menurut Badan PPSDM (2013), evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah
dilakukan untuk pasien dan keluarga perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Pasien mampu
1) Menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasan, perilaku kekerasan yang
dilakukan, dan akibat dari perilaku kekerasan.
2) Mengontrol perilaku kekerasan sesuai jadwal:
d) Secara spiritual.
b. Keluarga mampu
1) Mengenal masalah yang dirasakan dalam merawat perilaku kekerasan (pengertian, tanda
dan gejala, dan proses terjadinya perilaku kekerasan).
5) Menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang mendukung pasien dalam mengontrol
perilaku kekerasan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil kasus asuhan keperawatan jiwa yang di lakukan pada Tn.J (Partisipan 1)
dan Tn.I (Partisipan 2) dengan Perilaku Kekerasan di ruangan merpati Rumah Sakit Jiwa
Prof. HB Saanin Padang, maka dalam bab ini penulis akan membahas kesenjangan antara
teori dan kenyataan yang diperoleh sebagai hasil pelaksanaan studi kasus. Penulis juga akan
membahas kesulitan yang di temukan dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap
Partisipan 1 dan Partisipan 2 dengan Perilaku Kekerasan, dalam penyusunan asuhan
keperawatan penulis melakukan suatu proses yang meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dengan uraian sebagai berikut:
1. Pengkajian Keperawatan
a. Keluhan utama
Penelitian yang dilakukan pada partisipan 1 ditemukan data pasien dirawat karena tidak mau
meminum obat, menghancurkan barang dirumah, marah-marah tanpa sebab, jalan-jalan tanpa
tujuan, berbicara dan tertawa sendiri. Sedangkan data yang ditemukan pada Partisipan 2
adalah memukul kedua orang tuanya, meninju kaca rumahnya, bicara dan tertawa sendiri,
pasien gelisah dan kebingungan. Keluhan utama yang ditemukan pada kedua Partisipan
sesuai dengan teori Dermawan (2013) yang menjelaskan bahwa pasien dengan perilaku
kekerasan pada awalnya bisa melakukan tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan
kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Berdasarkan data yang didapatkan pada
kedua partisipan sesuai dengan teori yang ada dan asumsi peneliti tidak terdapat perbedaan
antara teori dan kasus yang ditemukan selama penelitian.
b. Faktor predisposisi
Teori ini mengatakan bahwa pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan.
Perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila
keinginan individu untuk mencapai sesuatu menemui kegagalan atau terhambat (Badan
PPSDM, 2013).
Teori ini mengatakan bahwa kelainan struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel,
penurunan berat dan volume otak serta perubahan limbik dapat menyebabkan skizofrenia
(Muhith, 2015).
Disini sudah terdapat kesesuaian antara resume kasus dengan konsep teori, serta sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Elita,dkk di Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekan Baru
tahun 2010 mengatakan bahwa faktor predisposisi yang menyebabkan pasien perilaku
kekerasan adalah biologis, psikologis dan sosiokultural. Sedangkan faktor presipitasi yang
ditemukan pada Partisipan 1 dan Partisipan 2, meliputi stressor, keinginan yang tidak
terpenuhi serta putusnya atau hilangnya pekerjaan. Namun yang menjadi penyebab utama
pada kedua pasien yang mengalami gangguan jiwa adalah faktor biologis, karena ditemukan
riwayat penggunaan NAPZA dan stressor yang menyebabkan penggunaan alkohol dan
mengamuk yang menyebabkan pasien mengalami gangguan. Berdasarkan tanda dan gejala
yang ditemukan pada Partisipan 1 dan Partisipan 2 sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Fitria Nita (2012) bahwa biasanya tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan
perilaku kekerasan dapat berupa verbal dan fisik. Salah satu gejala positif dari skizofrenia
adalah perilaku kekerasan, teori ini dipaparkan oleh Stuart dan Sundeen di dalam bukunya.
Tidak ditemukan adanya faktor herediter pada kedua pasien yang diteliti. Pada konsep diri
kedua pasien juga sama-sama merasa ingin cepat berubah dari sikap yang telah dilakukan nya
selama ini dan ingin segera sembuh untuk memperlihatkan perubahan yang mungkin akan
dilakukan kepada keluarga masing-masing. Hal ini mungkin saja terjadi karena faktor
herediter tidak selal muncul pada pasien gangguan jiwa khususnya perilaku kekerasan.
c. Status Mental
Pada status mental terdapat beberapa perbedaan antara Partisipan 1 dan Partisipan 2 dimana
afek pada Partisipan 1 adalah afek tumpul, ini terjadi karena pasien kurang mampu
mengekspresikan perasaannya. Sedangkan pada Partisipan 2 afek nya luas karena semua
perasaan diekspresikan penuh.
Afek: adalah respons emosional saat sekarang, yang dapat dinilai lewat ekspresi wajah
pembicaraan, sikap dan gerak gerik tubuhnya (bahasa tubuh). Afek mencerminkan situasi
emosi sesaat. Saam Zulfan, dkk (2012)
Asumsi peneliti adalah tidak terdapat perbedaan antara teori dan praktek yang peneliti
temukan di lapangan. Peneliti menemukan bahwa faktor predisposisi yang menyebabkan
kedua pasien Tn.J dan Tn.I gangguan jiwa adalah faktor biologis dan faktor psikologis.
2. Diagnosa Keperawatan
Partisipan 1 dan Partisipan 2. Pada Partisipan 1 dengan Perilaku Kekerasan yaitu halusinasi
sebagai penyebab, perilaku kekerasan sebagai core problem, dan isolasi sosial sebagai akibat.
Partisipan 2 dengan perilaku kekerasan sebagai core problem, halusinasi sebagai penyebab,
dan harga diri rendah sebagai akibat.
Hal ini tidak sesuai dengan teori menurut Prabowo Eko (2014) pohon masalah pada pasien
dengan perilaku kekerasan yaitu harga diri yang rendah sebagai penyebab, perilaku kekerasan
sebagai core problem, dan resiko bunuh diri sebagai akibat.
Sementara itu prioritas diagnosa keperawatan yang pertama yaitu perilaku kekerasan. Data
yang memperkuat penulis mengangkat diagnosa perilaku kekerasan pada Partisipan 1 dan
Partisipan 2 yaitu dengan data objektif, subjektif, dan alasan masuk Rumah Sakit Jiwa
seperti pasien merusak barang atau benda, tidak mempunyai kemampuan mencegah atau
mengontrol perilaku kekerasan, berbicara kasar, pandangan tajam, dan mengancam secara
verbal dan fisik. Pernyataan dan respon pasien tersebut sesuai dengan teori menurut Rusdi
(2013) tentang tanda dan gejala perilaku kekerasan.
Prioritas kedua diagnosa keperawatan yang diambil pada Partisipan 1 dan Partisipan 2 yaitu
halusinasi. Data yang memperkuat penulis mengangkat diagnosa halusinasi yaitu data
subjektif seperti terkadang pasien mengatakan tidak tau dengan dirinya setelah menggunakan
NAPZA dan alkohol, merasa seperti dirinya ada 2 atau berbicara dengan dirinya yang lain.
Temuan peneliti pada diagnosa prioritas kedua sesuai dengan teori yang dikemukakan
Dermawan (2013) bahwa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
perilaku kekerasan salah satunya adalah gangguan persepsi sensori : halusinasi.
Prioritas ketiga diagnosa keperawatan yang diambil pada kedua pasien Partisipan 1 dan
Partisipan 2 terdapat perbedaan. Pada Partisipan 1 diagnosa prioritas ketiga adalah isolasi
sosial. Data yang memperkuat penulis mengangkat diagnosa ini adalah berdasarkan
pengakuan pasien dan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti. Pasien mengatakan
bahwa dia lebih nyaman berbicara dengan dirinya sendiri dan berinteraksi dengan orang lain
jika ada hal yang memang perlu untuk di bicarakan atau membicarakan hal yang penting-
penting saja. Pasien tampak banyak bermenung dan tidak mau berinteraksi dengan orang lain.
Partisipan 2 ditemukan rumusan diagnosa prioritas ketiga adalah harga diri rendah yang
disebabkan oleh perilaku yang dilakukan pasien selama berada dirumah dan dimasyarakat.
Pasien mengatakan bahwa dia merasa dikucilkan dan merasa tidak bisa membahagiakan
siapapun termasuk orang tuanya. Pasien mengatakan dia sering jadi bahan pembicaraan oleh
masyarakat dan ia merasa sedih, sedangkan teman-teman nya tidak ada lagi yang mau bergaul
dengan dirinya karna penyakit yang dideritanya, membuatnya merasa tidak berguna dan ingin
tinggal ditempat lain.
Asumsi peneliti adalah terdapat perbedaan antara teori dan praktek yang
Penulis temukan di lapangan. Perbedaan terdapat pada penyebab dan akibat dari perilaku
kekerasan, yaitu halusinasi sebagai penyebab, isolasi sosial dan harga diri rendah sebagai
akibat yang ditimbulkan.
3. Rencana Keperawatan
kekerasan, halusinasi, isolasi sosial dan harga diri rendah. Peneliti tidak
melampirkan strategi pelaksanaan pada pasien dan keluarga pada Partisipan 1 dan
Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan pada perilaku kekerasan terdiri dari empat yaitu,
pada strategi pelaksanaan 1 pasien, perawat membina hubungan saling percaya dan perawat
menjelaskan dan melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara latihan fisik 1 dan
2, membantu pasien melatih cara mengontrol perilaku kekerasan. Strategi pelaksanaan 2
pasien, perawat melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara 6 benar minum obat.
Strategi pelaksanaan 3 pasien, perawat melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan
cara verbal: mengungkapkan, meminta, dan menolak dengan baik dan benar. Strategi
pelaksaan 4 pasien, perawat melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara
spiritual: beribadah, mengaji, berdzikir, berdoa.
Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada pasien terdiri dari
empat, yaitu pertama perawat membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara
mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik
halusinasi, kedua perawat melatih pasien minum obat secara teratur, ketiga perawat melatih
pasien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap bersama orang lain, keempat perawat
melatih pasien mengontrol halusinasi dengan melakukan aktivitas terjadwal.
Diagnosa keperawatan prioritas ketiga pada Partisipan 1 isolasi sosial, sedangkan pada
Partisipan 2 di dapatkan diagnosa Harga diri rendah. Strategi pelaksanaan pasien Partisipan 1
diagnosa prioritas ketiga nya adalah isolasi sosial terdiri dari empat, yaitu pada strategi
pelaksanaan 1 pasien, perawat membina hubungan saling percaya, membantu pasien
menyadari masalah isolasi sosial, melatih bercakap-cakap secara bertahap antara pasien dan
anggota keluarga.
Strategi pelaksanaan 2 pasien, perawat melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien
dengan 2 orang lain), latihan bercakap-cakap. Strategi pelaksanaan 3 pasien, perawat melatih
pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 4-5 orang), latihan bercakap-cakap.
Strategi pelaksanaan 4 pasien, perawat mengevaluasi kemampuan berinteraksi, melatih cara
bicara saat melakukan kegiatan sosial.
Diagnosa keperawatan prioritas ketiga pada Partisipan 2 adalah harga diri rendah. Strategi
pelaksanaan tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada pasien terdiri dari empat, yaitu
pertama perawat membantu pasien memilih beberapa kegiatan yang dapat dilakukannya, pilih
salah satu kegiatan yang dapat dilatih saat ini, kedua yaitu perawat membantu pasien memilih
kegiatan kedua, latih kegiatan kedua, ketiga yaitu perawat membantu pasien memilih
kegiatan ketiga, latih kegiatan ketiga, keempat yaitu perawat membantu pasien memilih
kegiatan keempat, latih kegiatan keempat. Penyusunan rencana keperawatan pada Partisipan
1 dan Partisipan 2 telah sesuai dengan rencana teoritis menurut Keliat & dkk (2013).
Namun tetapdisesuaikan kembali dengan kondisi pasien sehingga tujuan dan kriteria hasil
yang diharapkan dapat tercapai. Penulis juga mengikuti langkah-langkah perencanaan yang
telah disusun mulai dari menentukan prioritas masalah sampai dengan kriteria hasil yang
diharapkan. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Faizah (2013) yang
menyatakan bahwa perencanaan dilakukan berdasarkan teori dan disesuaikan kembali
dengan kondisi pasien demi tercapainya tujuan penulis. Dalam perencanaan tidak terdapat
kesenjangan antara teori dan praktek dalam memprioritaskan masalah dan perencanaan
tindakan keperawatan.
Disini peneliti berusaha memprioritaskan masalah sesuai dengan pohon masalah yang telah
ada baik itu dari penyebab maupun akibat yang muncul.
4. Tindakan Keperawatan
Hasil penelitian pada Partisipan 1 dan Partisipan 2 dengan perilaku kekerasan terdapat
beberapa tindakan keperawatan yang sudah dilakukan diantaranya: strategi pelaksanaan 1
sampai dengan 4 perilaku kekerasan, strategi pelaksanaan 1 sampai dengan 4 halusinasi,
strategi pelaksanaan 1 sampai dengan 4 isolasi sosial untuk Partisipan 1, dan strategi
pelaksanaan 1 sampai dengan 4 harga diri rendah untuk Partisipan 2. Penulis hanya berfokus
kepada masalah pasien karena strategi pelaksanaan keluarga tidak bisa dilakukan disebabkan
tidak ada keluarga yang mengunjungi Partisipan 1 dan Partisipan 2. Dalam pemberian
implementasi perawat juga memberikan reinforcement positif kepada pasien. Dengan itu
pasien tampak lebih bersemangat dalam melakukan strategi pelaksanaan yang dilakukan.
Reinforcement posistif memiliki power atau kemampuan yang jika di beri secara berulang
oleh pelaku tindakan tanpa adanya paksaan akan memberikan dampak positif (Ngadiran,
2010). ).
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Faizah (2013) dimana reinforcement
positif dapat memudahkan perawat dalam melakukan tindakan keperawatan dan dapat
memberikan memotivasi pada pasien. Penulis tidak menemukan kesulitan dalam pelaksanaan
tindakan keperawatan terhadap Partisipan 1 dan Partisipan 2, pasien kooperatif dan mau
bekerjasama dengan perawat dalam pelaksanaan tindakan.
5. Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang digunakan untuk
menilai keberhasilan asuhan keperawatan atas tindakan yang diberikan. Pada teori maupun
kasus dalam membuat evaluasi disusun berdasarkan tujuan dan kriteria hasil yang ingin
dicapai. Dimana pada kasus penulis melakukan evaluasi dari tindakan keperawatan yang
dilakukan selama 9 hari. Ketiga masalah Partisipan 1 dan Partisipan 2 dapat teratasi. Menurut
Trimelia (2011), evaluasi dilakukan dengan berfokus pada perubahan perilaku klien setelah
diberikan tindakan keperawatan. Evaluasi yang penulis lakukan meliputi hubungan saling
percaya antara perawat dan klien tercapai ditandai dengan klien bersedia duduk berhadapan
dengan penulis, klien bersedia berkenalan dan menjabat tangan penulis, klien bersedia
menyebutkannama dan nama panggilan yang disukai yaitu Tn.J (Partisipan 1) dan Tn.I
(Partisipan 2), klien bersedia menceritakan tentang masalah yang dialaminya, selain itu klien
juga bersedia diajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan, klien juga mampu
memperagakan ulang cara yang dilatih dengan benar dan mampu melakukan nya secara
mandiri. Evaluasi yang dilakukan pada Partisipan 1 pada diagnosa isolasi sosial, pasien
menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Pasien mau berinteraksi dengan orang lain,
pasien sudah mau bercakap-cakap dengan 4-5 orang atau lebih selama penulis melakukan
evaluasi. Tetapi pasien masih banyak bermenung. Sedangkan hasil evaluasi pada diagnosa
halusinasi Partisipan 1 menunjukkan kemajuan, pasien mengetahui cara mengontrol
halusinasi dengan baik dan benar serta mengetahui penyebab halusinasi yang dialaminya.
Pasien mengatakan halusinasi lebih sering timbul ketika pasien mengkonsumsi alkohol dan
pasien menjadi lupa diri dan merasa berbicara dengan dirinya sendiri. Hasil evaluasi
Partisipan 2 dari diagnosa keperawatan harga diri rendah pasien juga menunjukkan
perbaikan yang cukup signifikan. Pasien tidak lagi malas melakukan kegiatan sehari-hari
yang bisa ia lakukan. Sedangkan pada diagnosa keperawatan halusinasi juga menunjukkan
kemajuan pasien mengatakan merasa tenang, pasien juga mampu memperagakan ulang
cara yang dilatih dengan benar sehingga diharapkan halusinasi tidak terjadi. Penelitian yang
dilakukan oleh Kurniawan (2015) mengatakan bahwa pasien mampu melakukan semua
strategi pelaksanaan dengan mandiri namun pasien masih membutuhkan observasi lebih
lanjut. Sikap pasien yang sangat kooperatif merupakan faktor pendukung bagi penulis
dalam menilai perkembangan pasien. Penulis tidak menemukan adanya faktor penghambat
dalam melakukan evaluasi keperawatan, ini dikarenakan kedua pasien sangat kooperatif.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan dan hasil dari pembahasan pada Partisipan 1
dan Partisipan 2 dengan Perilaku Kekerasan di RSJ Prof. HB Saanin Padang tahun 2017,
maka di dapatkan kesimpulan sebagai berikut:
Diagnosa yang muncul pada pada kedua pasien berbeda. Pada Partisipan 1 ditemukan
diagnosa keperawatan perilaku kekerasan sebagai masalah utama, halusinasi sebagai
penyebab, dan isolasi sosial sebagai akibat. Sedangkan Partisipan 2 perilaku kekerasan
sebagai masalah utama, halusinasi sebagai penyebab, dan harga diri rendah sebagai akibat.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara teori dan kasus yang ditemukan, karena
pada teori dikatakan bahwa biasanya diagnosa yang muncul adalah perilaku kekerasan
sebagai masalah utama, harga diri rendah sebagai penyebab, dan resiko bunuh diri sebagai
akibat.
3. Intervensi keperawatan
Pada perencanaan berdasarkan core problem pada teori adalah perilaku kekerasan, sedangkan
pada kasus Partisipan 1 dan Partisipan 2 core problem yg ditemukan adalah perilaku
kekerasan. Jadi dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang muncul antara teori dan kasus
yang ditemukan pada kedua pasien.
4. Implementasi keperawatan
Tahap ini tindakan keperawatan disesuaikan dengan perencanaan yang telah penulis susun
pada asuhan keperawatan terlampir dan teori. Pelaksanaan keperawatan yang dilakukan pada
Partisipan 1 adalah diagnosa perilaku kekerasan, halusinasi, dan isolasi sosial. Sedangkan
pada Partisipan 2 pelaksanaan keperawatan yang dilakukan adalah pada diagnosa perilaku
kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Pada tahap pelaksanaan ini penulis menemukan
hambatan berupa tidak terlaksananya strategi pelaksanaan kepada keluarga karena tidak
adanya kunjungan keluarga selama Partisipan 1 dan Partisipan 2 dirawat di ruang merpati
RSJ Prof. HB, Saanin Padang. Penulis tidak menemukan adanya kesenjangan antara teori
dan kasus yang ditemukan.
5. Evaluasi keperawatan
Pada tahap evaluasi ini semua tujuan telah tercapai, Partisipan 1 danPartisipan 2 sudah
mampu mengontrol perilaku kekerasan nya dengan latihan yang telah diajarkan dan yang
dilakukan sesuai dengan strategi 4 strategi pelaksanaan pada pasien dengan perilaku
kekerasan.
SARAN
1. Bagi penulis Menambah wawasan dan pengalaman penulis dalam melakukan asuhan
pada pasien jiwa secara optimal sesuai SOAP yang telah ada.
2. Rumah sakit Diharapkan pada rumah sakit khususnya perawat ruangan agar dalam
keperawatan jiwa.
4. Pembuat studi kasus berikutnya Dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam membuat studi
kasus selanjutnya yang berkaitan dengan perilaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA