Anda di halaman 1dari 13

Setiap anak mengalami tahap-tahap perkembangan. Tahap-tahap perkembangan anak secara umum sama.

Pada setiap tahap perkembangan, setiap anak dituntut dapat bertindak atau melaksanakan hal-hal
(perilaku) yang menjadi tugas perkembangannya dengan baik.
Perilaku adalah segala sesuatu yang diperbuat oleh seseorang atau pengalaman. Kartono dalam Darwis
(2006: 43) mengemukakan bahwa ada dua jenis perilaku manusia, yakni perilaku normal dan perilaku
abnormal. Perilaku normal adalah perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya,
sedangkan parilaku abnormal adalah perilaku yang tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya,
dan tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Perilaku abnormal ini juga biasa disebut perilaku
menyimpang atau perilaku bermasalah.
Apabila anak dapat melaksanakan tugas perilaku pada masa perkembangannya dengan baik, anak tersebut
dikatakan berperilaku normal. Masalah muncul apabila anak berperilaku tidak sesuai dengan tugas
perkembangannya. Anak yang berperilaku diluar perilaku normal disebut anak yang berperilaku
menyimpang (child deviant behavior).
Perilaku anak menyimpang memiliki hubungan dengan peyesuaian anak tersebut dengan lingkungannya.
Hurlock (2004: 39) mengatakan bahwa perilaku anak bermasalah atau menyimpang ini muncul karena
penyesuaian yang harus dilakukan anak terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang baru. Berarti
semakin besar tuntutan dan perubahan semakin besar pula masalah penyesuaian yang dihadapi anak
tersebut.
Perilaku menyimpang adalah suatu persoalan yang harus menjadi kepedulian guru, bukan semata-mata
perilaku itu destruktif atau mengganggu proses pembelajaran, melainkan suatu bentuk perilaku agresif
atau pasif yang dapat menimbulkan kesulitan dalam bekerja sama dengan teman, yang merupakan
perilaku yang dapat menimbulkan masalah belajar anak dan hal itu termasuk perilaku bermasalah
(Darwis, 2006: 43). Guru perlu memahami perilaku bermasalah ini sebab anak yang bermasalah biasanya
tampak di dalam kelas dan bahkan dia menampakkan perilaku bermasalah itu di dalam keseluruhan
interaksi dengan lingkungannya.
Walaupun gejala perilaku bermasalah di sekolah itu mungkin hanya tampak pada sebagian anak, pada
dasarnya setiap anak memiliki masalah-masalah emosional dan penyesuaian sosial. Masalah itu tidak
selamanya menimbulkan perilaku bermasalah atau menyimpang yang kronis (darwis, 2006: 44).
Guru sering kali menanggapi perilaku anak yang bermasalah atau menyimpang dengan memberikan
perlakuan secara langsung dan drastis yang tidak jarang dinyatakan dalam bentuk hukuman fisik. Cara
atau pendekatan seperti ini sering kali tidak membawa hasil yang diharapkan karena perlakuan tersebut
tidak didasarkan kepada pemahaman apa yang ada dibalik perilaku bermasalah (Darwis, 2006: 44).
Sekalipun demikian pemahaman terhadap perilaku bermasalah bukanlah sesuatu yang mustahil untuk
dilakukan guru.
Bertolak dari paparan di atas, permasalahan dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut : apa saja
gejala-gelaja penyimpangan perilaku anak (Sekolah Menengah Pertama) SMP dan apa saja jenis-jenis
penyimpangan perilaku anak SMP. Tujuan yang ingin dicapai adalah memaparkan atau mendeskripsikan
gejala-gelaja penyimpangan dan jenis-jenis perilaku menyimpang anak SMP.

A. MASALAH-MASALAH SISWA DI SEKOLAH


Apakah yang dimaksud “masalah” (persoalan, problema)? Masalah ialah suatu yang menghambat,
merintangi, mempersulit bagi orang dalam usahanya mencapai sesuatu. Bentuk konkrit dari
hambatan/rintangan itu dapat bermacam-macam, misalnya godaan, gangguan dari dalam atau dari luar,
tantangan yang ditimbulkan oleh situasi hidup. Masalah yang timbul dalam kehidupan siswa di sekolah
beraneka ragam, diantaranya sebagai berikut:
1. Masalah Perkembangan Individu
Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa hereditas tertentu. Hal ini berarti bahwa
karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan dari pihak orang tuanya. Karakteristik tersebut
menyangkut fisik dan psikis atau sifat-sifat mental.
Hereditas merupakan aspek bawaan dan memiliki potensi untuk berkembang. Seberapa jauh
perkembangan individu itu terjadi dan bagaimana kualitas perkembangannya, bergantung kepada kualitas
hereditas dan lingkungan yang mempengaruhinya. Lingkungan merupakan factor penting disamping
hereditas yang menentukan perkembangan individu.
Perkembangan dapat berhasil dengan baik, jika factor-faktor tersebut bisa saling melengkapi. Untuk
mencapai perkembangan yang baik harus ada asuhan terarah. Asuhan dalam perkambangan dengan
melalui proses belajar sering disebut pendidikan.
Tugas-tugas perkembangan ini berkaitan dengan sikap, perilaku atau keterampilan yang seyogianya
dimiliki oleh individu, sesuai dengan usia atau fase perkembangannya. Hurlock (1982) mengemukakan
bahwa tugas-tugas perkembangan merupakan social expectations (harapan-harapan sosial masyarakat).
Dalam arti setiap kelompok budaya mengharapkan para anggotanya menguasai keterampilan tertentu
yang penting dan memperoleh pola perilaku yang disetujui bagi berbagai usia sepanjang rentang
kehidupan.
Munculnya tugas-tugas perkembangan bersumber pada faktor-faktor berikut.
Kematangan Fisik, misalnya
(1) belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki, dan
(2) belajar bergaul dengan lawan jenis kelamin yang berbeda pada masa remaja, karena kematangan
hormone seksual.
Tuntutan Masyarakat secara Kultural, misalnya
(1) belajar membaca,
(2) belajar menulis,
(3) belajar berhitung, dan
(4) belajar berorganisasi.
Tuntutan dari Dorongan dan Cita-cita Individu itu sendiri, misalnya
(1) memilih pekerjaan, dan
(2) memilih teman hidup.
Tuntutan Norma Agama, misalnya
(1) taat beribadah kepada Allah, dan
(2) berbuat baik kepada sesama manusia.

2. Masalah Perbedaan Individu


Keunikan Individu mengandung arti bahwa tidak ada 2 orang individu yang sama persis dalam aspek
pribadinya,baik aspek jasmani maupun rohaniah. Induvidu yang satu berbeda dengan individu lainya.
Timbulnya perbedaan individu ini dapat dikembalikan Kepada factor pembawaan dan lingkungan sebagai
komponen utamabagi terbentuknya kmeunikan individu. Perbedaan pembawaan akan memungkinkan
perbedaan individu, meskipun dengan lingkungan yang sama, sebaliknya lingkungan yang berbeda akan
memungkinkan timbulnya perbedaan individu, meskipun pembawaannya sama.
Di sekolah sering kali tampak masalah perbedaan individu ini, misalnya ada siswa yang sangat cepat dan
ada yang sangat lambat belajar. Ada yang menonjol dalam kecerdasan tertentu tapi kurang cerdas pada
bidang yang lain.Kenyataan ini akan membawa konsekuensi bagi pelayanan pendidikan, khususnya yang
menyangkut bahan pelajaran, metode mengajar,alat alat pelajaran, pelayanan lainnya. Siswa akan
menghadapi kesulitan dalam penyesuaian diri antara keunikan dirinya dengan dengan tuntutan dalam
lingkungannya. Hal ini di sebabkan karena pelayanan pada pada umumnya program pendidikan
memberikan pelayanan atas dasar ukuran pada umumnya atau rata-rata.
Mengingat bahwa yang menjadi tujuan pendidikan adalah perkembangan yang optimal dari setiap
individu, maka masalah perbedaan individu ini perlu mendapat perhatian dalam pelayanan pendidikan.
Dengan kata lain sekolah hendaknya memberikan pelayanan kepada para siswa secara individual sesuai
dengan keaunikan masing-masing. Usaha melayani siswa secara individual ini dapat diselenggarakan
melalui program bimbingan dan konseling.
Beberapa segi perbedaaan individual yang perlu mendapat perhatian diantaranya ialah perbedaan dalam :
- Kecerdasan
- Prestasi belajar
- Sikap dan kebiasaan belajar
- Motivasi belajar
- Temperamen
- Karakter
- Minat
- Ciri- ciri fisik
- Cita- cita
- Kemampuan dalam komunikasi atau berhubungan interpersonal
- Kemandirian
- Kedisiplinan, dan
- Tangung jawab
Untuk memahami karakteristik diatas, dapat dilakukan melalui teknik tes dan non tes. Teknik tes meliputi
psikotes dan tes prestasi belajar. Sementara teknik non-tes meliputi angket, wawancara, observasi,
sosiometri, autobiografi dan catatan anekdot. Data tentang keragaman atau perbedaan tersebut akan besar
sekali manfaatnya bagi usaha layanan bimbingan dan konseling.

3. Masalah Kebutuhan Individu


Kebutuhan merupakan dasar timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku karena ada
dorongan untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan ini sifatnya mendasar bagi
kelangsungan hidup individu itu sendiri. Jika individu berhasil dalam memenuhi kebutuhannya, maka dia
akan merasa puas, dan sebaliknya kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini akan banyak menimbulkan
masalah baik bagi dirinya maupun bagi lingkungan.
Dengan berpegang kepada prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara dalam memenuhi
kebutuhannya, maka kegiatan belajar pada hakikatnya merupakan perwujudan usaha pemenuhan
kebutuhan tersebut. Sekolah hendaknya menyadari hal tersebut, baik dalam mengenal kebutuhan-
kebutuhan pada diri siswa, maupun dalam memberikan bantuan yang sebaik-baiknya dalam usaha
memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti telah dikatakan di atas, kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini
akan banyak menimbulkan masalah-masalah bagi dirinya.
Pada umumnya secara psikologis dikenal ada dua jenis kebutuhan dalam diri individu yaitu kebutuhan
biologis dan kebutuhan sosial/psikologis. Beberapa diantara kebutuhan-kebutuhan yang harus kita
perhatikan ialah kebutuhan:
-memperoleh kasih sayang;
-memperoleh harga diri;
-untuk memperoleh pengharapan yang sama;
-ingin dikenal;
-memperoleh prestasi dan posisi;
-untuk dibutuhkan orang lain;
-merasa bagian dari kelompok;
-rasa aman dan perlindungan diri;
-untuk memperoleh kemerdekaan diri.
Pengenalan terhadap jenis dan tingkat kebutuhan siswa sangat diperlukan bagi usaha membantu mereka.
Program bimbingan dan konseling merupakan salah satu usaha kearah itu.
Menurut Maslow, setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tersusun secara hirarki dari tingkat
yang paling mendasar sampai pada tingkat yang paling tinggi. Setiap kali kebutuhan pada tingkatan
paling bawah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lain yang lebih tinggi.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Abnormalitas dilihat dari sudut pandang biologis berawal dari pendapat bahwa patologi otak merupakan
faktor penyebab tingkah laku abnormal. Pandangan ini ditunjang lebih kuat dengan perkembangan di
abad ke-19 khususnya pada bidang anatomi faal, neurologi, kimia dan kedokteran umum.
Berbagai penyakit neurologis saat ini telah dipahami sebagai terganggunya fungsi otak akibat pengaruh
fisik atau kimiawi dan seringkali melibatkan segi psikologis atau tingkah laku. Akan tetapi kita harus
perhatikan bahwa kerusakan neurologis tidak selalu memunculkan tingkah laku abnormal, dengan kata
lain tidak selalu jelas bagaimana kerusakan ini dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang.
Fungsi otak yang kuat bergantung pada efisiensi sel saraf atau neuron untuk mentransmisikan suatu pesan
melalui synaps ke neuron berikutnya dengan menggunakan zat kimia yang disebut neurotransmiter.
Dengan ketidakseimbangan bio kimia otak inilah yang mendasari perspektif biologis munculnya tingkah
laku abnormal. Akan tetapi selain dari patologi otak sudut pandang biologis juga memandang bahwa
beberapa tingkah laku abnormal ditentukan oleh gen yang diturunkan.
Abnormalitas atau yang disebut juga perilaku abnormal adalah suatu bentuk perilaku yang maladaptif.
Ada juga yang menyebutnya mental disorder, psikopatologi, emotional discomfort, mental illness
(penyakit mental), ataupun insanity. Perilaku abnormal merupakan suatu istilah yang terutama banyak
berkembang di Amerika Serikat, yang timbul karena masyarakat negara tersebut lebih berdasarkan ilmu
pengetahuan, sikap hidup, dan umumnya pemikiran pada mahzab perilaku (behaviorisme).
Perilaku abnormal merupakan tampilan dari kepribadian seseorang, dan tampilan luar atau tampilan atas
kedua-duanya. Perilaku abnormal juga merupakan perilaku spesifik, phobia, atau pola-pola peilaku yang
lebih mendalam, misalnya skizofren. Perilaku abnormal juga merupakan sebutan untuk masalah-masalah
yang berkepanjangan atau bersifat kronis dan gangguan-gangguan yang gejala-gejalanya bersifat akut dan
temporer, seperti intoksinasi (peracunan obat-obatan), terutama narkoba yang kesemuanya itu diakibatkan
dari gaya hidup seseorang.
Istilah gaya hidup (lifestyle) sekarang ini kabur. Sementara istilah ini memiliki arti sosiologis yang lebih
terbatas dengan merujuk pada gaya hidup yang khas dari berbagai kelompok status tertentu, dalam
budaya konsumen kontemporer istilah ini mengkonotasikan “individualitas, ekspresi diri, serta kesadaran
diri yang semu. Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan dan minuman, rumah,
kendaraan, dan pilihan hiburan, dan seterusnya di pandang sebagai indikator dari individualitas selera
serta rasa gaya dari pemilik atau konsumen.” (Mike Featherstone, 63 : 2005).
Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat,
perilaku di depan , dan upaya membedakan statusnya dari
orang lain melalui lambang-lambang sosial. Gaya hidup atau life style. Penyebab perilaku abnormal dapat
ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah-masalah psikologis
bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat khususnya pada gaya hidup seseorang.
Dari permasalah tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa gaya hidup seseorang dapat menyebabkan
tingkah laku abnormal, dan untuk itu penulis tertarik untuk lebih lanjut menulis hal tersebut dalam
makalah ini.

C. PERMASALAHAN
Berpijak dari latar belakang di atas maka perumusan permasalahan yang akan penulis uraikan di dalam
penulisan makalah ini yatitu :
1. Pengertian Perilaku Abnormal
2. Model Perilaku Abnormal
3. Kriteria Perilaku Abnormal
4. Penyebab Perilaku Abnormal

D. TUJUAN DAN KEGUNAAN


1. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
a. Untuk mengetahui lebih luas tentang perilaku abnormal
b. Untuk memperoleh informasi tentang perilaku Abnormal
c. Untuk mengetahui ciri-ciri tanda dan gejala Abnormal
d. Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi siswa di sekolah.
e. Untuk mengetahui pendekatan-pendekatan umum dalam Bimbingan & Konseling.
f. Untuk mengetahui strategi pelaksanaan layanan Bimbingan dan Konseling.

2. Kegunaan Penelitian.
a. Sebagai suatu sumbangan pemikiran bagi pendidikan melalui bahasa ilmiah.
b. Sebagai salah satu syarat menyelesaikan tugas mata kuliah Prikologi Abnormal pada jurusan Ilmu
Pendidikan, Program Studi Psikologi Umum pada jurusan BK FKIP Universitas Syahkuala Banda Aceh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Perilaku Abnormal


Perilaku abnormal adalah kekalutan mental & melampaui titik kepatahan mental = dikenal sebagai
nervous breakdown. (get mental breakdown). Sepanjang sejarah budaya barat, konsep perilaku abnormal
telah dibentuk, dalam beberapa hal, oleh pandangan dunia waktu itu. Contohnya, masyarakat purba
menghubungkan perilaku abnormal dengan kekuatan supranatural atau yang bersifat ketuhanan. Para
arkeolog telah menemukan kerangka manusia dari Zaman Batu dengan lubang sebesar telur pada
tengkoraknya. Satu interpretasi yang muncul adalah bahwa nenek moyang kita percaya bahwa perilaku
abnormal merefleksikan serbuan/invasi dari roh-roh jahat.
Mungkin mereka menggunakan cara kasar yang disebut trephination--menciptakan sebuah jalur bagi jalan
keluarnya roh tertentu.
Pada abad pertengahan kepercayaan tersebut makin meningkat pengaruhnya dan pada akhirnya
mendominasi pemikiran di zaman pertengahan. Doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat meyakini
bahwa perilaku abnormal merupakan suatu tanda kerasukan oleh roh jahat atau iblis. Rupanya, hal seperti
ini masih dapat dijumpai di negara kita, khususnya di daerah pedalaman. Kita pernah saksikan tayangan
televisi yang mengisahkan tentang seorang ibu dirantai kakinya karena dianggap gila. Oleh karena
keluarga meyakini bahwa sang ibu didiami oleh roh jahat, maka mereka membawa ibu ini pada seorang
tokoh agama di desanya. Dia diberi minum air putih yang sudah didoakan. Mungkin inilah gambaran
situasi pada abad pertengahan berkaitan dengan penyebab perilaku abnormal.
Lalu apa yang dilakukan waktu itu? Pada abad pertengahan, para pengusir roh jahat dipekerjakan untuk
meyakinkan roh jahat bahwa tubuh korban yang mereka tuju pada dasarnya tidak dapat dihuni. Mereka
melakukan pengusiran roh jahat (exorcism) dengan cara, misalnya: berdoa, mengayun-ayunkan tanda
salib, memukul, mencambuk, dan bahkan membuat korban menjadi kelaparan. Apabila korban masih
menunjukkan perilaku abnormal, maka ada pengobatan yang lebih kuat, seperti penyiksaan dengan
peralatan tertentu.
Keyakinan-keyakinan dalam hal kerasukan roh jahat tetap bertahan hingga bangkitnya ilmu pengetahuan
alam pada akhir abad ke 17 dan 18.
Masyarakat secara luas mulai berpaling pada nalar dan ilmu pengetahuan sebagai cara untuk menjelaskan
fenomena alam dan perilaku manusia. Akhirnya, model-model perilaku abnormal juga mulai
bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif biologis, psikologis, sosiokultural, dan
biopsikososial. Di bawah ini adalah penjelasan-penjelasan singkatnya
a. Perspektif biologis
Seorang dokter Jerman, Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar
pada penyakit di otak. Pandangan ini cukup memengaruhi dokter Jerman lainnya, seperti Emil Kraepelin
(1856-1926) yang menulis buku teks penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883. Ia meyakini bahwa
gangguan mental berhubungan dengan penyakit fisik. Memang tidak semua orang yang mengadopsi
model medis ini meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari kerusakan biologis,
namun mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku abnormal tersebut dapat dihubungkan
dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat dikonseptualisasikan sebagai simtom-simtom dari
gangguan yang mendasarinya.
b. Perspektif psikologis
Sigmund Freud, seorang dokter muda Austria (1856-1939) berpikir bahwa penyebab perilaku abnormal
terletak pada interaksi antara kekuatan-kekuatan di dalam pikiran bawah sadar. Model yang dikenal
sebagai model psikodinamika ini merupakan model psikologis utama yang pertama membahas mengenai
perilaku abnormal.
c. Perspektif sosiokultural
Pandangan ini meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks-konteks sosial yang lebih luas di
mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari perilaku abnormal. Penyebab perilaku abnormal
dapat ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah-masalah
psikologis bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial,
diskriminasi ras, gender,gayahidup,dansebagainya.
d. Perspektif biopsikososial
Pandangan ini meyakini bahwa perilaku abnormal terlalu kompleks untuk dapat dipahami hanya dari
salah satu model atau perspektif. Mereka mendukung pandangan bahwa perilaku abnormal dapat
dipahami dengan paling baik bila memperhitungkan interaksi antara berbagai macam penyebab yang
mewakili bidang biologis, psikologis, dan sosiokultural.
2. Perilaku Abnormal
Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan suatu perilaku abnormal, antara lain :
a. Statistical infrequency
b. Unexpectedness
c. Violation of norms
d. Personal distress (M. Fakhrurrozi, 2012 : 2)
Lebih jelasnya tentang beberapa peilaku abnormal tersebut penulis uraiakan sebagai berikut :
a. Statistical infrequency
1) Perspektif ini menggunakan pengukuran statistik dimana semua variabel yang yang akan diukur
didistribusikan ke dalam suatu kurva normal atau kurva dengan bentuk lonceng. Kebanyakan orang akan
berada pada bagian tengah kurva, sebaliknya abnormalitas ditunjukkan pada distribusi di kedua ujung
kurva.
2) Digunakan dalam bidang medis atau psikologis. Misalnya mengukur tekanan darah, tinggi badan,
intelegensi, ketrampilan membaca, dsb.
3) Namun, kita jarang menggunakan istilah abnormal untuk salah satu kutub (sebelah kanan). Misalnya
orang yang mempunyai IQ 150, tidak disebut sebagai abnormal tapi jenius.
4) Tidak selamanya yang jarang terjadi adalah abnormal. Misalnya seorang atlet yang mempunyai
kemampuan luar biasa tidak dikatakan abnormal. Untuk itu dibutuhkan informasi lain sehingga dapat
ditentukan apakah perilaku itu normal atau abnormal.
b. Unexpectedness
Biasanya perilaku abnormal merupakan suatu bentuk respon yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya
seseorang tiba-tiba menjadi cemas (misalnya ditunjukkan dengan berkeringat dan gemetar) ketika berada
di tengah-tengah suasana keluarganya yang berbahagia. Atau seseorang mengkhawatirkan kondisi
keuangan keluarganya, padahal ekonomi keluarganya saat itu sedang meningkat. Respon yang
ditunjukkan adalah tidak diharapkan terjadi.
c. Violation of norms
1) Perilaku abnormal ditentukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dimana perilaku tersebut
terjadi.
2) Jika perilaku sesuai dengan norma masyarakat, berarti normal. Sebaliknya jika bertentangan dengan
norma yang berlaku, berarti abnormal.
3) Kriteria ini mengakibatkan definisi abnormal bersifat relatif tergantung pada norma masyarakat dan
budaya pada saat itu. Misalnya di Amerika pada tahun 1970-an, homoseksual merupakan perilaku
abnormal, tapi sekarang homoseksual tidak lagi dianggap abnormal.
4) Walaupun kriteria ini dapat membantu untuk mengklarifikasi relativitas definisi abnormal sesuai
sejarah dan budaya tapi kriteria ini tidak cukup untuk mendefinisikan abnormalitas. Misalnya pelacuran
dan perampokan yang jelas melanggar norma masyarakat tidak dijadikan salah satu kajian dalam
psikologi abnormal.
d. Personal distress
1) Perilaku dianggap abnormal jika hal itu menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi individu.
2) Tidak semua gangguan (disorder) menyebabkan distress. Misalnya psikopat yang mengancam atau
melukai orang lain tanpa menunjukkan suatu rasa bersalah atau kecemasan.
3) Juga tidak semua penderitaan atau kesakitan merupakan abnormal. Misalnya seseorang yang sakit
karena disuntik.
4) Kriteria ini bersifat subjektif karena susah untuk menentukan setandar tingkat distress seseorang agar
dapat diberlakukan secara umum.
e. Disability
1) Individu mengalami ketidakmampuan (kesulitan) untuk mencapai tujuan karena abnormalitas yang
dideritanya. Misalnya para pemakai narkoba dianggap abnormal karena pemakaian narkoba telah
mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk menjalankan fungsi akademik, sosial atau pekerjaan.
2) Tidak begitu jelas juga apakah seseorang yang abnormal juga mengalami disability. Misalnya
seseorang yang mempunyai gangguan seksual voyeurisme (mendapatkan kepuasan seksual dengan cara
mengintip orang lain telanjang atau sedang melakukan hubungan seksual), tidak jelas juga apakah ia
mengalami disability dalam masalah seksual.
Dari semua kriteria di atas menunjukkan bahwa perilaku abnormal sulit untuk didefinisikan. Tidak ada
satupun kriteria yang secara sempurna dapat membedakan abnormal dari perilaku normal. Tapi sekurang-
kurangnya kriteria tersebut berusaha untuk dapat menentukan definisi perilaku abnormal. Dan adanya
kriteria pertimbangan sosial menjelaskan bahwa abnormalitas adalah sesuatu yang bersifat relatif dan
dipengaruhi oleh budaya serta waktu.
3. Kriteria Menentukan Perilaku Abnormal
Dalam pandangan psikologi, untuk menjelaskan apakah seorang individu menunjukkan perilaku abnormal
dapat dilihat dari tiga kriteria berikut :
a. Kriteria Statistik
Seorang individu dikatakan berperilaku abnormal apabila menunjukkan karakteristik perilaku yang yang
tidak lazim alias menyimpang secara signifikan dari rata-rata, Dilihat dalam kurve distribusi normal
(kurve Bell), jika seorang individu yang menunjukkan karakteristik perilaku berada pada wilayah ekstrem
kiri (-) maupun kanan (+), melampaui nilai dua simpangan baku, bisa digolongkan ke dalam perilaku
abnormal.
1. Perspektif ini menggunakan pengukuran statistik dimana semua variabel yang yang akan diukur
didistribusikan ke dalam suatu kurva normal atau kurva dengan bentuk lonceng. Kebanyakan orang akan
berada pada bagian tengah kurva, sebaliknya abnormalitas ditunjukkan pada distribusi di kedua ujung
kurva.
2. Digunakan dalam bidang medis atau psikologis. Misalnya mengukur tekanan darah, tinggi badan,
intelegensi, ketrampilan membaca, dsb.
3. Namun, kita jarang menggunakan istilah abnormal untuk salah satu kutub (sebelah kanan). Misalnya
orang yang mempunyai IQ 150, tidak disebut sebagai abnormal tapi jenius.
4. Tidak selamanya yang jarang terjadi adalah abnormal. Misalnya seorang atlet yang mempunyai
kemampuan luar biasa tidak dikatakan abnormal. Untuk itu dibutuhkan informasi lain sehingga dapat
ditentukan apakah perilaku itu normal atau abnormal.
b. Kriteria Norma
Banyak ditentukan oleh norma-norma yng berlaku di masyarakat,ekspektasi kultural tentang benar-salah
suatu tindakan, yang bersumber dari ajaran agama maupun kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat ,
misalkan dalam berpakaian, berbicara, bergaul, dan berbagai kehidupan lainnya. Apabila seorang individu
kerapkali menunjukkan perilaku yang melanggar terhadap aturan tak tertulis ini bisa dianggap sebagai
bentuk perilaku abnormal.
Kriteria ini mengakibatkan definisi abnormal bersifat relatif tergantung pada norma masyarakat dan
budaya pada saat itu. Misalnya di Amerika pada tahun 1970-an, homoseksual merupakan perilaku
abnormal, tapi sekarang homoseksual tidak lagi dianggap abnormal.
Dari semua kriteria di atas menunjukkan bahwa perilaku abnormal sulit untuk didefinisikan. Tidak ada
satupun kriteria yang secara sempurna dapat membedakan abnormal dari perilaku normal. Tapi sekurang-
kurangnya kriteria tersebut berusaha untuk dapat menentukan definisi perilaku abnormal. Dan adanya
kriteria pertimbangan sosial menjelaskan bahwa abnormalitas adalah sesuatu yang bersifat relatif dan
dipengaruhi oleh budaya serta waktu.
4. Penyebab Perilaku Abnormal
Menurut tahap – tahap berfungsinya, sebab – sebab perilaku abnormal dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Menurut Tahap Berfungsinya
1) Penyebab Primer ( Primary Cause )
Penyebab primer adalah kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan tidak akan muncul. Misalnya
infeksi sipilis yang menyerang system syaraf pada kasus paresis general yaitu sejenis psikosis yang
disertai paralysis atau kelumpuhan yang bersifat progresif atau berkembang secara bertahap sampai
akhirnya penderita mengalami kelumpuhan total. Tanpa infeksi sipilis gangguan ini tidak mungkin
menyerang seseorang.
2) Penyebab yang Menyiapkan ( Predisposing Cause )
Kondisi yang mendahului dan membuka jalan bagi kemungkinan terjadinya gangguan tertentu dalam
kondisi – kondisi tertentu di masa mendatang. Misalnya anak yang ditolak oleh orang tuanya (rejected
child) mungkin menjadi lebih rentan dengan tekanan hidup sesudah dewasa dibandingkan dengan orang –
orang yang memiliki dasar rasa aman yang lebih baik
3) Penyebab Pencetus ( Preciptating Cause )
Penyebab pencetus adalah setiap kondisi yang tak tertahankan bagi individu dan mencetuskan gangguan.
Misalnya seorang wanita muda yang menjadi terganggu sesudah mengalami kekecewaan berat
ditinggalkan oleh tunangannya. Contoh lain seorang pria setengah baya yang menjadi terganggu karena
kecewa berat sesudah bisnis pakaiannya bangkrut.
4) Penyebab Yang Menguatkan ( Reinforcing Cause )
Kondisi yang cenderung mempertahankan atau memperteguh tinkah laku maladaptif yang sudah terjadi.
Misalnya perhatian yang berlebihan pada seorang gadis yang ”sedang sakit” justru dapat menyebabkan
yang bersangkutan kurang bertanggungjawab atas dirinya, dan menunda kesembuhannya.
(Dyah Kusbiantari dalam http://kusbiantari.blogspot.com/2012 diakses tanggal 16 November 2012).
Dalam kenyataan, suatu gangguan perilaku jarang disebabkan oleh satu penyebab tunggal. Serangkaian
faktor penyebab yang kompleks, bukan sebagai hubungan sebab akibat sederhana melainkan saling
mempengaruhi sebagai lingkaran setan, sering menadi sumber penyebab sebagai abnormalitas. Misalnya
sepasang suami istri menjalani konseling untuk mengatasi problem dalam hubungan perkawinan mereka.
Sang suami menuduh istrinya senang berfoya – foya sedangkan sang suami hanya asyik dengan dirinya
dan tidak memperhatikannya. Menurut versi sang suami dia jengkel keada istrinya karena suka berfoya –
foya bersama teman – temannya. Jadi tidak lagi jelas mana sebab mana akibat.

b. Menurut Sumber Asalnya


Berdasarkan sumber asalnya, sebab-sebab perilaku abnormal dapat digolongkan sedikitnya menjadi tiga
yaitu :
1) Faktor Biologis
Adalah berbagai keadaan biologis atau jasmani yang dapat menghambat perkembangan ataupun fungsi
sang pribadi dalam kehidupan sehari – hari seperti kelainan gen, kurang gizi, penyakit dsb. Pengaruh –
pengaruh faktor biologis lazimnya bersifa menyeluruh. Artinya mempengaruhi seluruh aspek tingkah
laku, mulai dari kecerdasan sampai daya tahan terhadap stress.
2) Faktor – faktor psikososial
a) Trauma Di Masa Kanak – Kanak
Trauma Psikologis adalah pengalaman yang menghancurkan rasa aman, rasa mampu, dan harga diri
sehingga menimbulkan luka psikologis yang sulit disembuhkan sepenuhnya. Trauma psikologis yang
dialami pada masa kanak – kanak cenderung akan terus dibawa sampai ke masa dewasa.
b) Deprivasi Parental
Tiadanya kesempatan untuk mendapatka rangsangan emosi dari orang tua, berupa kehangatan, kontak
fisik,rangsangan intelektual, emosional dan social.
c) Hubungan orang tua – anak yang patogenik
Hubungan patogenik adalah hubungan yang tidak serasi, dalam hal ini hubungan antara orang tua dan
anak yang berakibat menimbulkan masalah atau gangguan tertentu pada anak.
d) Struktur keluarga yang patogenik
Struktur keluarga sangat menentukan corak komunikasi yang berlangsung diantara para anggotanya.
Struktur keluarga tertentu melahirkan pola komunikasi yang kurang sehat dan selanjutnya muncul pola
gangguan perilaku pada sebagian anggotanya. Ada empat struktur keluarga yang melahirkan gangguan
pada para anggotanya:
e) Keluarga yang tidak mampu mengatasi masalah sehari-hari.
Kehidupan keluarga karena berbagai macam sebab seperti tidak memiliki cukup sumber atau karena
orang tua tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan secukupnya.
f) Stress berat
Stress adalah keadaan yang menekan khususnya secara psikologis. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh
berbagai sebab
3) Faktor – faktor Sosiokultural
Meliputi keadaan obyektif dalam masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang dapat berakibat
menimbulkan tekanan dalam individu dan selanjutnya melahirkan berbagai bentuk gangguan seperti:
a) Suasana perang dan suasana kehidupan yang diliputi oleh kekerasan,
b) Terpaksa menjalani peran social yang berpotensi menimbulkan gangguan, seperti menjadi tentara yang
dalam peperangan harus membunuh.
c) Menjadi korban prasangka dan diskriminasi berdasarkan penggolongan tertentu seperti berdasarkan
agama, ras, suku dll.
B. PEMBAHASAN
Makalah ini membahas tentang gejala-gejala penyimpangan perilaku anak SMP dan jenis-jenis
penyimpangan perilaku pada anak SMP. Penjelasan mengenai hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Gejala-gejala penyimpangan perilaku pada anak SMP


Gejala penyimpangan perilaku anak merupakan tanda-tanda munculnya perilaku menyimpang pada anak.
Gejala-gejala penyimpangan perilaku anak merupakan perbuatan atau atau perilaku anak SMP yang dapat
menunjukkan bahwa anak tersebut mengalami penyimpangan perilaku anak SMP yang bersangkutan.
Secara umum gejala ini berasal dari dalam diri anak dan dari lingkungan sekitar. Gejala penyimpangan
perilaku dari dalam diri anak SMP muncul akibat ketidakmampuan anak tersebut untuk menyesuaikan
diri terhadap lingkungan di mana ia berada. Hal tersebut juga akan mengakibatkan anak berperilaku
mundur ke perilaku yang sebelumnya ia lalui (Hurlock, 2004: 39). Sedangkan gejala penyimpangan
perilaku pada anak yang berasal dari lingkungan sekitar menurut Hurlock (2004: 288) antara lain
pandangan orang tua dan guru terhadap perilaku anak, pola perilaku sosial yang buruk yang berkembang
di rumah, lingkungan rumah kurang memberikan model perilaku untuk ditiru, kurang motivasi untuk
belajar melakukan penyesuaian sosial, dan anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup
dalam proses belajar.
Pandangan orang tua dan guru terhadap perilaku anak bermakna bahwa para orang tua dan guru sering
menganggap perilaku normal yang mengganggu ketenangan di rumah atau kelancaran sekolah sebagai
perilaku bermasalah. Bila mereka beranggapan seperti itu si anak mungkin akan mengembangkan sikap
yang tidak menyenangkan terhadap mereka dan terhadap situasi di mana perilaku itu terjadi (Hurlock,
2004: 39). Akibatnya ialah si anak mengembangkan perilaku yang merupakan masalah yang serius,
misalnya berbohong, berbuat licik atau merusak sebagai cara membalas dendam.
Pola perilaku sosial yang buruk yang berkembang di rumah merupakan hal yang menjadikan anak akan
menemui kesulitan untuk melakukan penyesuaian sosial yang baik di luar rumah, meskipun dia diberikan
motivasi kuat untuk melakukannya. Hurlock (2004: 288) memberikan contoh bahwa, anak yang diasuh
dengan metode otoriter, misalnya, sering mengembangkan sikap benci terhadap semua figur berwenang.
Contoh yang lain adalah pola asuh yang serba membolehkan di rumah, anak akan menjadi orang yang
tidak mau memperhatikan keinginan orang lain, merasa dia dapat mengatur dirinya sendiri.
Kurangnya motivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial merupakan hal yang sering timbul dari
pengalaman sosial awal yang tidak menyenangkan baik di rumah atau di luar rumah (Hurlock, 2004:
288). Sebagai contoh, anak yang selalu digoda atau diganggu oleh saudaranya yang lebih tua, atau yang
diperlakukan sebagai orang yang tidak dikehendaki dalam permainan mereka, tidak akan memiliki
motivasi kuat untuk berusaha melakukan penyesuaian sosial yang baik di luar rumah.
Anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar. Hurlock (2004: 288)
menyatakan bahwa meskipun anak memiliki motivasi yang kuat untuk belajar melakukan enyesuaian
sosial yang baik, anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar itu.
Sebagai contoh apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan dapat “menguasai” agresivitasnya setelah
bertambah dewasa dan mengalami hubungan sosial yang lebih banyak, anak itu tidak akan
mengasosiasikan agresivitasnya dengan penolakan teman sebaya yang dialaminya dan, akibatnya dia
tidak akan berusaha untuk mengurangi agresivitasnya.

2. Jenis-jenis atau bentuk-bentuk perilaku menyimpang pada anak SMP


Salah satu tujuan memahami perilaku bermasalah ialah karena perilaku tersebut muncul untuk
menghindar atau mempertahankan diri. Dalam psikologi perilaku ini disebut mekanisme pertahanan diri
yang disebabkan oleh karena anak menghadapi kecemasan dan tidak mampu menghadapinya (Darwis,
2006: 43). Kecemasan pada dasarnya adalah ketegangan psikologis sebagai akibat dari ketidakpuasan
dalam pemenuhan kebutuhan. Disebut mekanisme pertahanan diri, karena dengan perilaku tersebut
individu dapat mempertahankan diri atau menghindar dari situasi yang menimbulkan ketegangan.
Bentuk-bentuk atau jenis-jenis perilaku menyimpang atau mekanisme pertahanan diri ini antara lain
rasionalisasi, sifat bermusuhan, menghukum diri sendiri, refresi/penekanan, konformitas, dan sinis
(Darwis, 2006 : 44). Adapun bentuk-bentuk atau jenis-jenis perilaku menyimpang anak SMP dijelaskan
pada paparan berikut ini.
a. Rasionalisasi
Rasionalisasi dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut “memberikan alasan”. Memberikan alasan yang
dimaksud adalah memberikan penjelasan atas perilaku yang dilakukan oleh individu dan penjelasan
tersebut biasanya cukup logis dan rasional tetapi pada dasarnya apa yang dijelaskan itu bukan merupakan
penyebab nyata karena dengan penjelasan tersebut sebenarnya individu bermaksud menyembunyikan
latar belakang perilakunya (Darwis, 2006: 44).
b. Sifat Bermusuhan
Sikap individu yang menganggap individu lain sebagai musuh/saingan. Menurut Darwis (2006: 45) sikap
bermusuhan ini tampak dalam perilaku agresif, menyerang, mengganggu, bersaing dan mengancam
lingkungan.
c. Menghukum diri sendiri
Perilaku menghukum diri sendiri terjadi karena individu merasa cemas bahwa orang lain tidak akan
menyukai dia sekiranya dia mengkritik orang lain. Orang seperti ini memiliki kebutuhan untuk diakui dan
disukai amat kuat (Kartadinata, 1999: 196).
d. Refresi/penekanan
Refresi ditunjukkan dalam bentuk menyembunyikan dan menekan penyebab yang sebenarnya ke luar
batas kesadaran. Individu berupaya melupakan hal-hal yang menimbulkan penderitaan hidupnya.
e. Konformitas
Perilaku ini ditunjukkan dalam bentuk menyelamatkan diri dari perasaan tertekan atau bersalah terhadap
pemenuhan harapan orang lain. Tujuan anak melakukan hal ini agar ia terhindar dari perasaan cemas.
f. Sinis
Perilaku ini muncul dari ketidak berdayaan individu untuk berbuat atau berbicara dalam kelompok.
Ketidak berdayaan ini membuat dirinya khawatir dan cenderung menghindar dari penilaian orang lain.
Semua perilaku mekanisme pertahanan diri di atas mempunyai karakteristik (darwis, 2006: 45).
Karakteristik tersebut antara lain:
(a) menolak, memalsukan, atau mengacaukan kenyataan,
(b) dilakukan tanpa menyadari latar belakang perilaku tersebut.
Pola perilaku pertahanan diri ini cenderung kepada pengurangan kecemasan dan bukan pemecahan
masalah yang menjadi dasar penyebab kecemasan itu.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Perlunya layanan bimbingan di sekolah adalah berlatarbelakangkan tiga aspek. Pertama adalah aspek
lingkungan, khususnya lingkungan. sosial kultural, yang secara langsung ataupun tidak langsung
mempengaruhi individu siswa sebagai subjek didik, dan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai
akibat dari lingkungan pengaruh sosial-kultural ini, maka individu memerlukan adanya bantuan dalam
perkembangannya, dan sekolahpun memerlukan pendekatan khusus. Bantuan dan pendekatan yang
diperlukan adalah layanan bimbingan dan konseling.
Aspek yang kedua adalah lembaganya itu sendiri yaitu pendidikan yang mempunyai tanggung jawab
untuk mengembangkan kepribadian subjek didik. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
dilaksanakan secara tuntas baik dalam proses kegiatannya maupun tindak dan para pelaksana nya yaitu
guru sebagai pendidik. Untuk menuntaskan pendidikan, diperlu kan adanya layanan bimbingan dan
konseling.
Aspek ketiga adalah yang menyangkut segi subjek didik sebagai pribadi yang unik, dinamik dan
berkembang, memerlukan pendekatan dan bantuan yang khusus melalui layanan bimbingan dan
konseling.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aspek lingkungan (sosial kultural) pendidikan, dan siswa
(psikologis) merupakan latar belakang perlunya layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Gejala perilaku menyimpang pada anak SMP dapat muncul dari dalam diri anak tersebut dan dari
lingkungan sekitarnya. Gejala yang muncul dari dalam dirinya adalah perilaku anak yang mundur ke
perilaku yang sebelumnya ia lalui. Sedangkan gejala yang muncul dari luar diri anak atau muncul dari
lingkungan sekitar anak antara lain pandangan orang tua dan guru terhadap perilaku anak, pola perilaku
sosial yang buruk yang berkembang di rumah, lingkungan rumah kurang memberikan model perilaku
untuk ditiru, kurang motivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial, dan anak tidak mendapatkan
bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar.
Jenis-jenis atau bentuk-bentuk perilaku menyimpang anak SMP merupakan mekanisme pertahanan diri
anak tersebut yang disebabkan oleh karena anak menghadapi kecemasan dan tidak mampu
menghadapinya. Adapun jenis-jenis penyimpangan perilaku anak SMP antara lain rasionalisasi, sifat
bermusuhan, menghukum diri sendiri, refresi/penekanan, konformitas, dan sinis.

B. SARAN
Untuk menciptakan pelayanan bimbingan secara bermutu, maka para pembimbing, guru, dan personel
sekolah lainnya perlu mendapatkan penambahan, perluasan, atau pendalaman tentang konsep-konsep atau
keterampilan-keterampilan tertentu tentang bimbingan, sesuai dengan deskripsi pekerjaan (kinerja)
masing-masing. Bentuk pengembangan staf ini bisa dilaksanakan melalui seminar atau lokakarya. Melalui
kegiatan pengembangan ini diharapkan personel sekolah memiliki kompetensi atau kemampuan sesuai
dengan deskripsi kerja
(kinerja) masing-masing.
Selain itu, konselor perlu melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan guru, orang tua, staf sekolah
lainnya, dan pihak instansi di luar sekolah (pemerintah dan swasta) untuk memberikan layanan bimbingan
dan konseling secara akurat dan bijaksana, dalam upaya memfasilitasi individu atau peserta didik
mengembangkan npotensi dirinya secara optimal, untuk memperoleh informasi, dan umpan balik tentang
layanan bantuan yang telah diberikannya kepada para siswa, menciptakan lingkungan sekolah yang
kondusif bagi perkembangan siswa, melakukan referal, serta meningkatkan kualitas program layanan
bimbingan dan konseling.
DAFTAR PUSTAKA :
Yusuf, Syamsu., dan A. Juntika Nurihsan. 2008. Landasan Bimbingan & Konseling. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Winkel, W.S. 1982. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah Menengah. Jakarta: PT Gramedia
Sudrajat, Akhmad. (2010). Strategi Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling.
Darwis, Abu. 2006. Perilaku Menyimpang Murid. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan
Hurlock, Elizabeth. B. 2004. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Kartadinata, Sunaryo. 1999. Bimbingan Di Sekolah Dasar. Bandung: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek
Pendidikan Guru Sekolah Menengah.

LAMPIRAN-LAMPIRAN :
IJIN OBSERVASI :
DAFTAR PHOTO :

Anda mungkin juga menyukai