1. Globalisasi
Pengaruh Globalisasi Pada Persebaran Covid - 19 Di Dunia
Pasien dari luar kota di Rapit Tes oleh tim medis Puskesmas Winongan
kabupaten Pasuruan. Foto document kabarwarta.id
Covid - 19, atau virus corona adalah sebuah pandemi yang di waktu sekarang
mampu merubah tatanan kehidupan dunia pada titik keterpurukan, sampai
saat ini. penemuan vaksin, juga masih belum ditemukan, saya ibaratkan Covid
-19 bagaikan perang dunia ke 4, sebab, semua negara terkena dampaknya,
semua negara berlomba lomba untuk menemukan vasin dan berperang untuk
menghentikan persebaran virus ini.
Dalam perkembangannya, virus corona ini sudah menembus 200 negara yang
terinveksi dengan jumlah penduduk didunia lebih dari 4, 4 juta yang terinveksi
dengan seiring berkembanganya waktu, jumlah tersebut akan naik lagi. Ini
adalah bukti nyata bahwa globalisai mampu mendorong tersebarnya virus
corona. sebab, Perekonomian adalah bagian dari kehidupan sosial yang paling
banyak bersentuhan dengan globalisasi. Misalnya, perdagangan internasional
dan masuknya barang-barang impor ke Indonesia.
Yang terpenting saat situasi pandemi saat ini, tetaplah patuhi aturan
pemerintah, tetap jaga jarak , cuci tangan dan memakai masker dalam segala
aktivitas ,agar persebaran covid - 19 segera cepat menurun.
2. Modernisasi
"Saya harap ini tidak hanya sebatas banner, slogan namun ada di dalam diri
kita. Kalau orangnya amanah maka produknya terpercaya," ungkap Himawan.
Dia juga menekankan pentingnya mengomunikasikan capaian dan perbaikan
kinerja Kantor Pertanahan dan Kantor Wilayah BPN kepada masyarakat.
"Sampaikan dengan baik kepada masyarakat, kemas dengan baik, menarik dan
informatif, kehumasan itu bukan hanya tugas Kepala Bagian TU, melainkan
tugas seluruh jajaran dan juga tentunya pimpinan kantor," ujarnya.
3. Konsumerisme
Tindakan bebal dan berbahaya oleh sejumlah orang tersebut jelas membikin
geram berbagai pihak, khususnya bagi mereka yang selama hampir tiga bulan
dengan kesadaran penuh telah membatasi gerak demi mencegah penyebaran
virus.
Masyarakat seperti inilah yang dikritik oleh aliran teori kritis sekolah Frankfurt.
Sindhunata telah mengartikulasikan pertanyaan kritis Horkheimer –salah satu
tokoh kunci aliran teori kritis– secara jernih:
“apakah nilai yang bersifat ekonomis semata masih bisa disebut nilai dalam arti
sesungguhnya? Tidakkah nilai yang sifatnya ekonomis semata-mata telah
melupakan sesuatu yang lebih hakiki, yakni martabat manusia itu sendiri?”
(Sindhunata, 2019 : 129)
Mungkin bagi mereka, apalah arti hidup tanpa mengonsumsi? Apalah arti
lebaran tanpa pakaian baru? Atau apa ada yang lebih berharga daripada
diskon?
Menurut Horkheimer, dewasa ini ada satu tanda ketika orang telah kehilangan
sikap rasionalnya. Tanda itu adalah ketika individu tidak lagi menanyakan
apakah tuntutan-tuntutan yang telah dipasang di dalam masyarakat masih bisa
disebut rasional dan sesuai dengan hakikat kemanusiaan atau tidak.
(Sindhunata, 2019 : 147)
Aliran teori kritis mengajarkan kepada kita untuk dapat mempertanyakan dan
mempersoalkan nilai, tradisi dan pola pikir yang secara umum telah diterima
sebagai kewajaran. Ini adalah ciri hakiki akal budi, senantiasa mengajukan
pertanyaan untuk mendapatkan kejelasan.
Lagipula, hanya karena mayoritas orang mengamini suatu hal bukan berarti itu
otomatis membuat hal tersebut menjadi benar adanya. Itulah alasan
kenapa Argumentum Ad Populum tergolong sebagai salah satu logical
fallacy. Kita akan mengetahui hal tersebut hanya jika kita berpikir dengan kritis.
Individu memiliki potensi untuk dapat menjadi eksistensi yang aktif dan
menemukan esensinya yang luhur, bukan sekadar menjadi objek pasif yang
melulu menerima secara sukarela segala hal yang dilemparkan kepadanya.
Namun demikian, era kapitalisme terkini dengan segala teknologi dan metode
pemasarannya membuat hal ini menjadi tidak mudah. Kemanapun individu
menoleh, hampir pasti ia akan melihat komoditas yang dipasarkan.
Dari mulai billboard di pinggir jalan, rangkaian iklan pada tayangan televisi, pun
berbagai media sosial kini tak luput dari iklan dan pemasaran komoditas.
Bahkan banyak narasi-narasi di dalam film atau sinema elektronik yang turut
mendorong konsumerisme. Sejauh individu membuka matanya, ia takkan lepas
dari paparan nilai konsumerisme.
Kita tak pernah mengetahui telah sejauh dan sedalam apa nilai konsumerisme
masuk ke dalam alam pikir dan sistem pemaknaan kita. Di era yang penuh
distraksi dan manipulasi ini, sudah sepantasnya individu sadar untuk
senantiasa berusaha mengaktifkan akal budinya secara kritis.
Akal budi bukan lagi dianggap hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Melainkan lebih dari itu, individu harus berusaha mewujudkan kepenuhan
potensi akal budi. Yakni dengan mulai mengaktifkannya sebagai kesadaran
yang mandiri, reflektif, serta kritis dalam menerima segala nilai, tujuan dan
pemaknaan yang dilemparkan kepadanya.
4. Westernisasi