Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MATA KULIAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

(KLB FILARIASIS)

DISUSUN OLEH :
IVANA DWI SHINTIA
NIM 1913351029
REG 1

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN SANITASI LINGKUNGAN


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG
2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. ii

KATA PENGANTAR ……………………..……………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………….……… 4


B. Rumusan Masalah ……………………………………………………… 5
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………………….. 6

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Definisi, Etiologi, dan Patofisiologi Filariasis …………………………. 6


B. KLB Filariasis ……………………………………………………..…… 7
C. Tahapan KLB Filariasis………………………………………..…..…… 8
D. Pra KLB……………………………………………………………..….. 8
E. Terjadinya KLB ……………………..…………….………………….. 10
F. Pasca KLB ………………………………………..……………….….. 11
G. Usaha Penanganan Sebagai Tenaga Kesehatan Lingkungan ……….... 12
H. Contoh Kasus KLB Filariasis..……………………………………..… 13
I. Penanggulangan KLB……………………………….………………... 15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………………... 19
B. Saran ……………………………………………………………… 19

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………... 20

2ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya
di akhirat.

Tidak lupa, Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas mata kuliah PBL dengan judul “Wabah
Filariasis”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat, sekian dan terima kasih.

Bandar Lampung, 7 Oktober 2020

Penulis

iii
3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB, adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada
suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada
terjadinya wabah.
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing
filariasis yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening yang ditularkan oleh berbagai jenis
nyamuk (Daniel, 2007; David, 2007). Tingkat endemis filariasis di Indonesia berdasarkan hasil
survey darah jari terakhir pada tahun 1999 masih tinggi dengan microfilaria (Mf) rate 3,15 (0,5-
19,64%). Sampai dengan tahun 2004 di Indonesia diperkirakan 6 juta orang terinfeksi filariasis
dan dilaporkan lebih dari 8.243 diantaranya menderita klinis kronis filariasis. Secara keseluruhan
jumlah kasus filariasis di Indonesia sampai tahun 2008 mengalami peningkatan 11.699 penderita.
Filariasis, biasa dikenal oleh masyarakat sebagai penyakit kaki gajah (elephantiasis),
merupakan penyakit yang perlu mendapat perhatian khusus. Filariasis terjadi disebabkan infeksi
cacing Nematoda famili Filarioidea yang ditularkan melalui nyamuk. Meskipun tidak sering
menyebabkan kematian, penyakit ini bersifat menahun (kronik) dan dapat menyebabkan cacat fisik
permanen pada setiap penderitanya. Akibatnya, penderita tidak dapat bekerja secara produktif dan
akan bergantung kepada orang lain dalam menjalankan aktivitasnya sehingga menjadi beban
keluarga, masyarakat dan negara
Menurut Kemenkes RI (2010), jumlah penderita filariasis akan meningkat setiap tahun dan
dampak jangka panjang yang timbul dari bertambahnya jumlah penderita diperkirakan akan
menyebabkan kerugian ekonomi negara mencapai 43 trilyun rupiah
Filariasis menjadi satu masalah kesehatan di beberapa negara di dunia. Dyah, dkk (2007)
melaporkan 60% atau 1,3 miliar penduduk di 83 negara di dunia yang mempunyai risiko tertular
filariasis berada di Asia Tenggara. Lebih dari 120 juta penduduk terinfeksi filariasis dan 43
penduduk menunjukkan gejala klinis pembengkakan anggota gerak (Lymphoedema). Filariasis
tersebar luas terutama di pedesaan dan dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak
maupun dewasa, laki-laki dan perempuan
Indonesia termasuk salah satu negara endemis filariasis. Menurut Depkes RI (2009), dari
tahun 2000-2009 dilaporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401
kabupaten/kota di Indonesia. Hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota
ditindak lanjuti dengan survei endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009 diketahui 337
kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota non endemis

4
Menurut ilmu epidemiologi penyakit menular, penyakit terjadi karena adanya interaksi
antara agen, host (pejamu) dan lingkungan yang diperantarai oleh vektor. Bila faktor lingkungan
membantu perkembangbiakan vektor, suatu penyakit akan mudah terjadi. 9 Demikian pula dalam
epidemiologi filariasis terdapat interaksi antara agen, pejamu dan lingkungan. Manusia sebagai
pejamu merupakan tempat berkembang biak agen (Cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi,
Brugia timori) yang ditemukan di Indonesia merupakan penyebab filariasis.
Penularan filariasis tergolong lambat dan hampir sepanjang tahun didapatkan penderita di
berbagai daerah. Gejala dan tanda yang timbul pada penderita membutuhkan waktu hingga
beberapa tahun. Filariasis terjadi tidak dipengaruhi keadaan musim di suatu daerah.
Lingkungan tempat tinggal masyarakat berpengaruh terhadap penularan filariasis pada
suatu wilayah. Karena merupakan tempat kelangsungan hidup pejamu yang akan berinteraksi
dengan agen penyebab penyakit. Lingkungan yang berupa dataran rendah, rawa dan sawah
merupakan tempat paling banyak ditemukannya cacing penular filariasis.
Intervensi filariasis dilakukan dengan pengobatan massal kepada masyarakat terutama
penderita. Pengobatan juga dilakukan untuk mencegah infeksi filariasis pada masyarakat yang
masih sehat. Program pengobatan massal yang dilakukan dari tahun 2005-2009 baru mencapai
28%-59,48%.11 Target pengobatan massal yang harus dicapai untuk memutus rantai penularan
adalah sebesar 85%. Hal ini tentunya masih jauh dari tujuan. Oleh karena itu, penting untuk
dilakukan analisis kejadian filariasis pada masyarakat di Kota Tangerang Selatan berdasarkan
distribusi orang, tempat dan waktu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi filariasis ?
2. Bagaimana etiologi dan patofisiologi filariasis ?
3. KLB Filariasis ?
4. Bagaimana tahapan KLB Filariasis (Pra KLB, Terjadinta KLB, Pasca KLB)?
5. Usaha usaha penanganan penyakit filariasis sebagai tenaga kesehatan lingkungan?
6. Contoh kasus KLB Filariasis ?
7. Penanganan KLB Filariasis ?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi filariasis
2. Mengetahui bagaimana etiologi dan patofisiologi filariasis
3. Mengetahui KLB Filariasis
4. Mengetahui bagaimana tahapan KLB Filariasis (Pra KLB, Terjadinta KLB, Pasca
KLB)
5. Mengetahui usaha usaha penanganan penyakit filariasis sebagai tenaga kesehatan
lingkungan
6. Mengetahui contoh kasus KLB Filariasis
7. Mengetahui penanganan KLB Filariasis

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Filariasis (penyakit kaki gajah/ elephantiasis) merupakan penyakit infeksi menular kronik
yang banyak ditemukan di wilayah beriklim tropis di seluruh dunia. Penyakit ini dapat
menyebabkan cacat fisik seumur hidup berupa pembesaran lengan, payudara (perempuan), buar
zakar dan tungkai. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening manusia. Infeksi
cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut atau kronik.
B. Etiologi
Filariasis atau penyakit kaki gajah disebabkan oleh berbagai jenis cacing Nematoda dari famili
Filariodiea yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ditularkan melalui perantara
yaitu nyamuk Culex quiquefactus. Anak cacing atau mikrofilaria dapat hidup di aliran darah tepi
manusia. Mikrofilaria umumnya dapat ditemukan dalam darah tepi manusia pada malam hari
Filariasis yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu:
 Wuchereria bancrofti
 Brugia malayi
 Brugia timori

C. Patofisiologi
Penyakit berawal dari gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 =
L3). Pada saat nyamuk menggigit manusia, larva stadium 3 akan keluar dari probosis nyamuk dan
menembus kulit manusia yang menjadi tempat gigitan nyamuk kemudian bergerak menuju aliran
kelenjar getah bening (limfe) manusia.
Larva stadium 3 Brugia malayi dan Brugia timori berkembang menjadi cacing dewasa
dalam waktu 3-6 bulan, sedangkan larva stadium 3 Wuchereria bancrofti berkembang dalam
waktu 6-12 bulan.
Infeksi filariasis umumnya disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan
Brugia timori. Ketiga spesies ini bersifat nocturnal periodicity karena mikrofilaria berada di aliran
darah tepi pada malam hari (pukul 21:00-02:00). Namun ada spesies yang bersifat diurnal
periodicity bila mikrofilaria di aliran darah tepi selama 24 jam dan terjadi peningkatan pada siang
atau malam hari.
Seseorang dapat terinfeksi filariasis bila digigit oleh nyamuk infektif yang mengandung
larva stadium III (L3). Nyamuk infektif akan mendapat mikrofilaria ketika menghisap darah
penderita filariasis yang mengandung mikrofilaria atau binatang reservoir yang mengandung

6
mikrofilaria. Kemudian nyamuk mulai menghisap darah orang yang sehat dan mikrofilaria masuk
ke aliran darah orang yang sehat.
Dibawah ini adalah gambar penularan cacing filariasis yangditularkan oleh vektor nyamuk
dan siklus hidup cacing filariasis di dalam tubuh manusia sampai terjadi infeksi filariasis.

D. KLB Filariasis
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk
mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit. Status Kejadian Luar Biasa
diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar
Biasa dijelaskan sebagai timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang
bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu munculnya penyakit di luar kebiasaan (base line
condition) yang terjadi dalam waktu relatif singkat serta memerlukan upaya penanggulangan
secepat mungkin, karena dikhawatirkan akan meluas, baik dari segi jumlah kasus maupun
wilayah yang terkena persebaran penyakit tersebut. Kejadian luar biasa juga disebut sebagai
peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih banyak daripada eksternal normal di suatu area
atau kelompok tertentu, selama suatu periode tertentu. Informasi tentang potensi KLB biasanya
datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan pasien (kasus indeks), keluarga pasien,

7
kader kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentang potensi KLB bisa juga
berasal dari petugas kesehatan, hasil analisis atau surveilans, laporan kematian, laporan hasil
pemeriksaan laboratorium, atau media lokal (Tamher. 2004).

 Karakteristik Penyakit Yang Berpotensi KLB

1. Penyakit yang terindikasi mengalami peningkatan kasus secara cepat.


2. Merupakan penyakit menular dan termasuk juga kejadian keracunan.
3. Mempunyai masa inkubasi yang cepat.
4. Terjadi di daerah dengan padat hunian.

E. Tahapan KLB Filariasis

1.Pra KLB

Ada tiga jenis parasit yang bisa menyebabkan filariasis, antara lain Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Tapi di antara ketiganya, W. bancrofti
adalah parasit yang paling sering menyerang manusia. Kira-kira ada sekitar 9 dari 10
pengidap filariasis limfatik yang disebabkan oleh parasit ini. Sedangkan B. malayi,
menjadi parasit penyebab filariasis nomor dua paling umum.

Parasit filariasis bisa masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk yang
sudah terinfeksi. Parasit ini kemudian akan tumbuh dewasa menjadi cacing dan bertahan
hidup selama 6 sampai 8 tahun, serta terus berkembang biak dalam jaringan limfa
manusia.

Pada kebanyakan kasus filariasis, infeksi cacing sudah dialami sejak masa kanak-kanak
dan menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik. Tapi sayangnya, filariasis seringkali
tidak disadari sampai akhirnya terjadi pembengkakan yang parah dan menyakitkan.
Pembengkakan tersebut berisiko membuat pengidap mengalami cacat permanen

 Gejala Klinis Filariasis


Gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik sangat
bervariasi. Dalam perjalanan penyakitnya, filariasis diawali dengan radang saluran getah
bening berulang dan berakhir dengan terjadinya gejala obstruksi menahun (kronis).

8
Perjalanan penyakit dari satu stadium ke stadium berikutnya dapat diketahui dalam
keterangan berikut ini:
1. Masa Prepaten
Periode larva infektif yang menginvasi manusia sampai terjadi mikrofilaremia dalam
waktu antara 3-7 bulan. Namun, hanya sebagian dari penduduk di daerah endemik yang
mengalami mikrofilaremik dan tidak semua kelompok penderita yang menderita
mikrofilaremik menunjukkan gejala klinis.
Dapat dikatakan bahwa kelompok yang tidak menunjukkan gejala klinis sebagai kelompok
asimptomatik amikrofilaremik dan asimptomatik mikrofilaremik.
2. Masa Inkubasi
Masa berkembangnya larva infektif di dalam tubuh manusia sampai terjadinya gejala klinis
dalam waktu antara 8-12 bulan setelah orang mengalami gigitan pertama dari nyamuk vector
3. Gejala Klinis Akut
Gejala klinis akut yang terjadi adalah radang pada saluran getah bening (limfadenitis dan
limfangitis) disertai demam yang dapat mencapai suhu 40,6 0C, menggigil, nyeri kepala,
mual, muntah. Kelenjar limfe yang terkena unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut
dapat amikrofilaremik atau mikrofilaremik.
Filariasis bancrofti sering menyerang saluran getah bening alat kelamin laki-laki kemudian
mengakibatkan orchitis, epididymitis atau funiculitis serta hidrokel yang di dalam cairan
hidrokel dapat ditemukan mikrofilaria. Saluran getah bening inguinal dan femoral dapat
terkena dan menunjukkan gejala klinis pembengkakan dari tungkai atas sampai kaki. Dapat
terbentuk abses yang bila pecah akan membentuk ulkus (landai).
Gejala klinis akut dapat sembuh spontan dalam 3-15 hari namun pada beberapa kasus terjadi
kekambuhan yang tidak teratur selama beberapa minggu sebelum keluhan membaik. 12
Filariasis jarang terjadi pada orang usia di bawah 20 tahun karena gejala klinis yang timbul
setelah beberapa tahun dari mulai infeksi pertama
4. Gejala Klinis Kronik
Gejala klinis kronik filariasis terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Pada
stadium ini mikrofilaria jarang ditemukan, tetapi gejala limfangitis mulai dapat terjadi.
Gejala klinis kronik akan menyebabkan kecacatan yang dapat mengganggu aktivitas
penderita.
Wuchereria bancrofti dan Brugia timori akan memberikan gejala klinis berbeda.
Limfaedema yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti terjadi pada payudara, tungkai
atas, tungkai bawah dan skrotum. Limfaedema yang disebabkan oleh Brugia timori hanya
terjadi pada lengan bawah dan tungkai bawah.

9
2. Terjadinya KLB
Cara Mendiagnosis Penyakit Filariasis
Metode yang paling umum untuk mendiagnosis infeksi tersebut adalah dengan
melakukan pemeriksaan darah. Hal ini dapat mengidentifikasi cacing mikroskopis di
dalam tubuh. Walau begitu, hal ini belum tentu memiliki hasil yang pasti karena disebut-
sebut cacing tersebut bersirkulasi pada malam hari.
Maka dari itu, pengumpulan darah akan dilakukan pada malam hari
menyesuaikan dengan pola persebaran pada cacing tersebut. Selain itu, teknik serologis
juga dapat dilakukan sebagai alternatif untuk mendeteksi cacing tersebut agar filariasis
dapat diatasi. Walaupun gangguannya dapat dideteksi bertahun-tahun setelah infeksi
terjadi.
Penegakkan diagnosis untuk memastikan individu menderita penyakit kaki gajah
(filariasis) terdiri dari beberapa macam tipe diagnosis. Tentunya dilakukan pemeriksaan
untuk menentukan diagnosis banding jika ada penyakit lain. Diagnosis yang dilakukan
meliputi cara-cara berikut
a. Diagnosis Klinik
Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik
penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan kronik (Acute and Chronic Disease
Rate). Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis
filariasis adalah gejala dan riwayat mengalami limfadenopati regional, limfadenitis
berulang serta gejala menahun.

b. Diagnosis Parasitologik
Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan menemukan mikrofilaria pada pemeriksaan
darah jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari yaitu 30 menit setelah
pemberian dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria yang terdeteksi secara morfologis
dapat ditentukan spesies cacing filaria.
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada stadium prepaten, inkubasi, amikrofilaremia
dengan gejala kronik, occult filariasis, deteksi antibodi dan atau antigen dengan cara
immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis.
Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi akut dan infeksi kronik. Deteksi antigen
diantaranya deteksi metabolit, sekresi dan ekskresi parasit dapat menunjang diagnosis
parasitologik

c. Diagnosis Epidemiologik
Endemisitas filariasis pada suatu daerah diketahui dengan menentukan microfilarial rate
(mf rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa

10
sedikitnya 10% dari jumlah penduduk. Pendekatan praktis untuk menentukan daerah yang
termasuk endemis filariasis dapat dilakukan melalui penemuan penderita elefantiasis.
Dengan ditemukannya satu penderita elefantiasis dari 1000 penduduk yang ada,
diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 penderita yang mikrofilaremik.

3.Pasca KLB
a. Pencegahan
Pencegahan penyakit kaki gajah yang cukup efektif dengan menghindari gigitan
nyamuk dan mengatasi munculnya nyamuk pada lingkungan. Menjaga kebersihan
lingkungan terutama di daerah endemik sangat penting untuk dilakukan. Cara lainnya yang
dapat dilakukan untuk menghindari gigitan nyamuk adalah mengenakan baju dan celana
panjang, menggunakan losion anti nyamuk, dan membersihkan genangan air yang ada di
sekitar lingkungan. Tidak hanya masyarakat, pemerintah juga ikut melakukan pencegahan
terhadap kaki gajah, guna mewujudkan program Indonesia Bebas Kaki Gajah. Salah satu
program yang akan dilaksanakan adalah program BELKAGA (Bulan Eliminasi Kaki
Gajah) yang diadakan setiap bulan Oktober sejak tahun 2015.

Program ini berlangsung pada daerah-daerah di seluruh Indonesia yang menjadi


daerah endemik kaki gajah untuk serentak mengonsumsi obat pencegahan penyakit kaki
gajah melalui pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM). Pemberian obat
pencegahan kaki gajah juga dilakukan secara gratis oleh pemerintah agar Indonesia bebas
dari penyakit kaki gajah. Pengonsumsian obat pencegahan kaki gajah dapat dilaksanakan
mulai usia 2-70 tahun.Selain pemberian obat selama satu tahun sekali dalam waktu
minimal 5 tahun, pemerintah juga memiliki program penatalaksanaan pengidap kaki gajah
agar kondisi bisa pulih dan mampu beraktivitas dengan baik.

b. Pengobatan Filariasis
Pengobatan filariasis dilakukan dengan pemberian obat Dietilkarbamasin yang
merupakan satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun
malayi, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini aman dan tidak
menyebabkan resistensi obat, tetapi memberikan efek samping sistemik dan lokal yang
bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simptomatik. Namun, Dietilkarbamasin
tidak dapat digunakan kepada penderita sebagai kemoprofilaksis.

c. Pemberantasan Filariasis
Pemberantasan filariasis ditujukan sebagai langkah awal pemutusan rantai
penularan. Pemberantasan yang dilakukan yaitu dengan pengobatan untuk menurunkan
morbiditas dan mengurangi transmisi. Pemberantasan filariasis yang dilaksanakan oleh
Puskesmas di Indonesia bertujuan untuk:26
1. Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0%.

11
2. Menurunkan nf rate menjadi < 5%.
3. Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR).
4. Kegiatan pemberantasan nyamuk yang terdiri dari:
5. Pemberantasan nyamuk dewasa Anopheles: residual indoor spraying Aedes: aerial
spraying
6. Pemberantasan jentik nyamuk Anopheles: Abate 1%
7. Culex: minyak tanah
8. Mansonia: memusnahkan tanaman air tempat perindukan nyamuk.
9. Mencegah gigitan nyamuk
Pemberantasan kasus filariasis yang dilakukan diantaranya meliputi bagaimana cara
pencegahan, penanganan pada penderita dan penanggulangan wabah. Penjelasan tentang
bagaimana pemberantasan kasus filariasis berguna untuk menambah wawasan
masyarakat umum.

d. Penanganan pada Penderita Filariasis dan Lingkungan Sekitar


1. Masyarakat perlu melapor kepada sarana kesehatan tentang daerah endemis suatu
penyakit menular. Laporan dari masyarakat tentang informasi ditemukan mikrofilaria
memberikan gambaran luasnya trasmisi filariasis di suatu daerah.
2. Perlindungan penderita dari gigitan nyamuk penular penyakit.
3. Pengobatan dengan obat diethylcarbamazine citrate (DEC) dan Ivermectin yang
memberikan hasil sebagian atau seluruh mikrofilaria hilang dari darah, namun tidak
membunuh semua cacing dewasa. Mikrofilaria dapat muncul kembali setelah
pengobatan. Dengan demikian, pengobatan harus diulangi dalam waktu satu tahun.

e. Penanggulangan Wabah Filariasis


Pengendalian vektor penular agen filaariasis adalah upaya paling utama
penanggulangan filariasis. Pada daerah endemis dibutuhkan pengetahuan bionomik dari
vektor nyamuk, insidensi penyakit serta faktor lingkungan yang berperan dalam penularan.
Pengendalian vektor yang belum maksimal ternyata masih mampu mengurangi
insidensi dan penyebaran wabah filariasis, walaupun hasil yang diperoleh dalam waktu
lama karena masa inkubasi yang panjang.

 Usaha usaha penanganan penyakit filariasis sebagai tenaga kesehatan lingkungan


1. Melakukan penyuluhan tentang pengenalan penyakit filariasis kepada masyarakat endemis
penyakit ini.
2. Yaitu dengan menghindari gigitan nyamuk (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya
menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi dengan kasa nyamuk,
menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk, menggunakan
pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian berwarna gelap karena dapat
menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC dan Albendazol) secara
berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah endemis.
3. Memberantas nyamuk yang dapat menularkan penyakit filariasis dengan cara 3M.

12
Apabila telah tertularkan penyakit filariasis dapat dilakukan pengobatan secara rutin serta
rehabilitasi tubuh yang membesar tersebut dapat dilakukan dengan jalan operasi.

F. Contoh Kasus KLB Filariasis


Subyek dalam penelitian ini adalah penderita filariasis yang tercatat di Dinas Kesehatan tahun
2017. Data dikumpulan dengan melakukan mewawancara dengan penderita atau keluarganya,
observasi terhadap lingkungan, identifikasi spesies nyamuk, dan pemeriksaan darah subyek yang
tinggal serumah atau di sekitar penderita. Pada penelitian ini telah diwawancaraisebanyak 30
subyek penelitian. Kasus filariasis lebih banyak diderita perempuan (53,3%), sedang laki-laki
sebanyak 46,7%. Temuan penelitian ini berkebalikan bila dibandingkan dengan studi di Nepal
yang menunjukkan bahwa kejadian filariasis kronis tergantung pada usia dan jenis kelamin. Akan
tetapi, kejadian filariasis pada laki-laki umumnya lebih tinggi dibanding pada perempuan.7 Dilihat
dari aspek pendidikan, sebanyak 63,4% berpendidikan maksimal Sekolah Dasar. Rerata umur
penderita filariais adalah 48,7 tahun dengan umur minimal 18 dan maksimal 72 tahun. Sebagian
besar penderita filariasis bekerja sebagai pedagang/wiraswasta/ibu rumah tangga (70%).
 Identifikasi Spesies Nyamuk
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi spesies nyamuk dan deteksi
adanya cacing filaria dalam tubuh nyamuk. Sebelum dilakukan pembedahan, nyamuk dilakukan
holding selama 10-12 hari guna memberikan kesempatan perkembangan microfilaria menjadi
caling L3 yang bersifat infektif. Hasil identifikasi spesies dan pembedahan nyamuk seperti pada
tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar nyamuk yang tertangkap adalah Culex
quinquifasciatus (72,86%), disusul Aedes aegypti (16,27%), Culex vishnui(5,43%), Anopheles
barbirostris(3,87%), Anopheles vagus dan Mansonia uniformis masing masing (0,7%). Seperti
kondisi pada umumnya, pada wilayah endemis filariasis di Jawa Tengah kebanyakan nyamuk yang
ditemukan adalah jenis Culex.
Hal ini juga sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan
oleh Ike Windiastuti menemukan sebanyak 75% nyamuk dengan spesies Culex quinqufasciatus. .
Begitu juga hasil penelitian yang menemukan sebanyak 90,7% nyamuk dengan spesies Culex
quinqufasciatus. Satu penelitian lagi menemukan bahwa sebagian besar (90,88%) nyamuk yang
tertangkap dan dilakukan pembedahan adalah spesies Culex quinqufasciatus.

13
Tabel 1. Hasil identifikasi dan bedah nyamuk di Kelurahan Sumber Agung
No. Spesies nyamuk Jumlah nyamuk Micro
dibedah filaria
1 Culex 94 Negatif
quinquifasciatus
2 Culexvishnui 7 Negatif
3 Aedes aegypti 21 Negatif
4 Anopheles 5 Negatif
barbirostris
5 Anopheles vagus 1 Negatif
6 Mansoniauniformis 1 Negatif
Jumlah 129

Berdasarkan hasil bedah nyamuk, penelitian ini tidak menemukan nyamuk yang mengandung
cacing filaria di Kelurahan Sumber Agung (mf rate=0%). Hasil ini dimungkinkan karena
beberapa hal: 1) terbatasnya jumlah nyamuk yang ditangkap, 2) probabilitas menemukan
nyamuk positip cacing filaria secara teoritis dan empiris memang kecil, 3) spesifitas dalam
pemeriksaan laboratorium untuk cacing filariasis.
Selain keberadaan nyamuk yang diduga sebagai vektor filariasis, pada penelitian ini juga
dilakukan pengamatan terhadap kondisi lingkungan yang dimungkinkan berperan sebagai
habitat nyamuk. Faktor lingkungan mempunyai peran penting dalam pengendalian penyakit
menular termasuk filariasis. Kondisi lingkungan dalam dan luar rumah dapat menjadi media
perkembangbiakan nyamuk vektor filariasis. Kondisi lingkungan yang cocok sangat potensial
mendukung penularan dan penyebaran penyakit filariasis.
Pengumpulan data lingkungan dilakukan dengan obserbasi di sekitar rumah penderita. Hasil
observasi dapat dilihat bahwa sebanyak 40,0% rumah penderita filariasis ditemukan breeding
places nyamuk berupa genangan air. Angka ini relatif sedikit karena pada saat survei dilakukan
kondisi musim sedang masa kemarau panjang. Keberadaan genangan air merupakan tempat
perindukan yang potensial untuk kehidupan nyamuk yang diduga sebagai vektor filariasis.
Selain itu, pada lokasi penelitian juga dilakukan observasi terhadap keberadaan resting places
(tempat peristirahatan nyamuk) di sekitar rumah kasus. . Hasil penelitian menemukan bahwa
sebagian besar rumah kasus (83,3%) ditemukan adanya tempat peristirahatan nyamuk. Tempat
peristirahatan ini berupa semak-semak yang ada di kebun maupun di pinggiran saluran air
selokan

 Distribusi epidemiologi filariasis tahun 2008-2012

Tahun Frekuensi Persentase


2008 2 10
2009 3 15
2010 7 35
2011 5 25
2012 3 15

Total 20 100

14
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa selama 5 tahun (2008- 2012) kejadian
filariasis paling tinggi tahun 2010, setelah itu tahun 2012 kejadian filariasis cenderung turun.
Hal ini dimungkinkan karena Program Pengobatan Massal oleh Dinas Kesehatan.

 PENANGGULANGAN KLB/WABAH
Penanggulangan KLB/wabah meliputi penyelidikan epidemiologi dan surveilans;
penatalaksanaan penderita; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab penyakit;
penanganan jenazah akibat wabah; penyuluhan kepada masyarakat; dan upaya penanggulangan
lainnya.
1. Penyelidikan epidemiologi dan surveilans.
Penyelidikan epidemiologi dilaksanakan sesuai dengan perkembangan penyakit dan kebutuhan
upaya penanggulangan wabah. Tujuan dilaksanakan penyelidikan epidemiologi setidaknya-
tidaknya untuk :
a. Mengetahui gambaran epidemiologi wabah;
b. Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam penyakit wabah;
c. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit wabah termasuk sumber
dan cara penularan penyakitnya; dan
d. Menentukan cara penanggulangan wabah.
Penyelidikan epidemiologi dilaksanakan sesuai dengan tatacara penyelidikan epidemiologi
untuk mendukung upaya penanggulangan wabah, termasuk tata cara bagi petugas penyelidikan
epidemiologi agar terhindar dari penularan penyakit wabah.
Surveilans di daerah wabah dan daerah-daerah yang berisiko terjadi wabah dilaksanakan lebih
intensif untuk mengetahui perkembangan penyakit menurut waktu dan tempat dan dimanfaatkan
untuk mendukung upaya penanggulangan yang sedang dilaksanakan, meliputi kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
a. Menghimpun data kasus baru pada kunjungan berobat di pos-pos kesehatan dan unit-unit
kesehatan lainnya, membuat tabel, grafik dan pemetaan dan melakukan analisis kecenderungan
wabah dari waktu ke waktu dan analisis data menurut tempat, RT, RW, desa dan
kelompokkelompok masyarakat tertentu lainnya.
b. Mengadakan pertemuan berkala petugas lapangan dengan kepala desa, kader dan
masyarakat untuk membahas perkembangan penyakit dan hasil upaya penanggulangan wabah
yang telah dilaksanakan.
c. Memanfaatkan hasil surveilans tersebut dalam upaya penanggulangan wabah. Hasil
penyelidikan epidemiologi dan surveilans secara teratur disampaikan kepada kepala dinas

15
kesehatan kabupaten/kota, kepala dinas kesehatan provinsi dan Menteri up. Direktur Jenderal
sebagai laporan perkembangan penanggulangan wabah.
2. Penatalaksanaan penderita (pemeriksaan, pengobatan, perawatan, isolasi penderita,
dan tindakan karantina).
Penatalaksanaan penderita meliputi penemuan penderita, pemeriksaan, pengobatan, dan
perawatan serta upaya pencegahan penularan penyakit. Upaya pencegahan penularan penyakit
dilakukan dengan pengobatan dini, tindakan isolasi, evakuasi dan karantina sesuai dengan jenis
penyakitnya. Penatalaksanaan penderita dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan atau tempat
lain yang sesuai untuk kebutuhan pelayanan kesehatan penyakit menular tertentu.
Penatalaksanaan penderita dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit,
puskesmas, pos pelayanan kesehatan atau tempat lain yang sesuai untuk penatalaksanaan
penderita. Secara umum, penatalaksanaan penderita setidak-tidaknya meliputi kegiatan sebagai
berikut :
a. Mendekatkan sarana pelayanan kesehatan sedekat mungkin dengan tempat tinggal penduduk
di daerah wabah, sehingga penderita dapat berobat setiap saat.
b. Melengkapi sarana kesehatan tersebut dengan tenaga dan peralatan untuk pemeriksaan,
pengobatan dan perawatan, pengambilan spesimen dan sarana pencatatan penderita berobat serta
rujukan penderita.
c. Mengatur tata ruang dan mekanisme kegiatan di sarana kesehatan agar tidak terjadi
penularan penyakit, baik penularan langsung maupun penularan tidak langsung. Penularan tidak
langsung dapat terjadi karena adanya pencemaran lingkungan oleh bibit/kuman penyakit atau
penularan melalui hewan penular penyakit.
d. Penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan berperan aktif dalam
penemuan dan penatalaksanaan penderita di masyarakat.
e. Menggalang kerja sama pimpinan daerah dan tokoh masyarakat serta lembaga swadaya
masyarakat untuk melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat.

Apabila diperlukan dapat dilakukan tindakan isolasi, evakuasi dan karantina.


a. Isolasi penderita atau tersangka penderita dengan cara memisahkan seorang penderita agar
tidak menjadi sumber penyebaran penyakit selama penderita atau tersangka penderita tersebut
dapat menyebarkan penyakit kepada orang lain. Isolasi dilaksanakan di rumah sakit, puskesmas,
rumah atau tempat lain yang sesuai dengan kebutuhan.
b. Evakuasi dengan memindahkan seseorang atau sekelompok orang dari suatu lokasi di daerah
wabah agar terhindar dari penularan penyakit. Evakuasi ditetapkan oleh bupati/walikota atas
usulan tim penanggulangan wabah berdasarkan indikasi medis dan epidemiologi.

16
c. Tindakan karantina dengan melarang keluar atau masuk orang dari dan ke daerah rawan
wabah untuk menghindari terjadinya penyebaran penyakit. Karantina ditetapkan oleh
bupati/walikota atas usulan tim penanggulangan wabah berdasarkan indikasi medis dan
epidemiologi.

3. Pencegahan dan pengebalan.


Tindakan pencegahan dan pengebalan dilakukan terhadap orang, masyarakat dan
lingkungannya yang mempunyai risiko terkena penyakit wabah agar jangan sampai terjangkit
penyakit. Orang, masyarakat, dan lingkungannya yang mempunyai risiko terkena penyakit wabah
ditentukan berdasarkan penyelidikan epidemiologi.
Tindakan pencegahan dan pengebalan dilaksanakan sesuai dengan jenis penyakit wabah serta
hasil penyelidikan epidemiologi, antara lain:
a. Pengobatan penderita sedini mungkin agar tidak menjadi sumber penularan penyakit,
termasuk tindakan isolasi dan karantina.
b. Peningkatan daya tahan tubuh dengan perbaikan gizi dan imunisasi.
c. Perlindungan diri dari penularan penyakit, termasuk menghindari kontak dengan penderita,
sarana dan lingkungan tercemar, penggunaan alat proteksi diri, perilaku hidup bersih dan sehat,
penggunaan obat profilaksis.
d. Pengendalian sarana, lingkungan dan hewan pembawa penyakit untuk menghilangkan
sumber penularan dan memutus mata rantai penularan.

4. Pemusnahan penyebab penyakit.


a. Tindakan pemusnahan penyebab penyakit wabah dilakukan terhadap bibit penyakit/kuman
penyebab penyakit, hewan, tumbuhan dan atau benda yang mengandung penyebab penyakit
tersebut.
b. Pemusnahan bibit penyakit/kuman penyebab penyakit dilakukan pada permukaan tubuh
manusia atau hewan atau pada benda mati lainnya, termasuk alat angkut, yang dapat menimbulkan
risiko penularan sesuai prinsip hapus hama (desinfeksi) menurut jenis bibit penyakit/kuman.
Pemusnahan bibit penyakit/kuman penyebab penyakit dilakukan tanpa merusak lingkungan hidup.
c. Pemusnahan hewan dan tumbuhan yang mengandung bibit penyakit/kuman penyebab
penyakit dilakukan dengan cara yang tidak menyebabkan tersebarnya penyakit, yaitu dengan
dibakar atau dikubur sesuai jenis hewan/tumbuhan. Pemusnahan hewan dan tumbuhan merupakan
upaya terakhir dan dikoordinasikan dengan sektor terkait di bidang peternakan dan tanaman.

17
5. Penanganan jenazah
Terhadap jenazah akibat penyakit wabah, perlu penanganan secara khusus menurut jenis
penyakitnya untuk menghindarkan penularan penyakit pada orang lain. Penanganan jenazah yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Penanganan jenazah secara umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1) Harus memperhatikan norma agama, kepercayaan, tradisi, dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2) Pemeriksaan terhadap jenazah dilakukan oleh petugas kesehatan.
3) Penghapushamaan bahan-bahan dan alat yang digunakan dalam penanganan jenazah
dilakukan oleh petugas kesehatan.

6. Penyuluhan kepada masyarakat


Penyuluhan kepada masyarakat dilakukan oleh petugas kesehatan dengan mengikutsertakan
instansi terkait lain, pemuka agama, pemuka masyarakat, lembaga swadaya masyarakat
menggunakan berbagai media komunikasi massa agar terjadi peningkatan kewaspadaan dan peran
aktif masyarakat dalam upaya penanggulangan wabah.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Filariasis ( penyakit kaki gajah ) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah suatu
infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam saluran limfe
dan kelenjar limfe manusia yang ditularkan oleh nyamuk.
2. Gejala klinis berupa demam berulang 3-5 hari, pembengkakan kelenjar limfe,
pembesaran tungkai, buah dada, dan skrotum.
3. Mekanisme penularan penyakit filariasis yaitu ketika nyamuk yang mengandung larva
infektif menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria. Tahap selanjutnya di
dalam tubuh manusia, larva memasuki sistem limfe dan tumbuh menjadi cacing
dewasa. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan
pembuluh limfe. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe, tungkai, dan alat
kelamin.
4. Penyebab terjadinya penyakit filarisis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah
) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk
5. Usaha-usaha penanganan penyakit filariasis sebagai tenaga kesehatan
lingkungan Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk
dan melakukan 3M. Pengobatan menggunakan DEC dikombinasikan dengan
Albendazol dan Ivermektin selain dilakukan pemijatan dan pembedahan. Upaya
rehabilitasi dapat dilakukan dengan operasi.

B. Saran
Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani kasus filariasis karena
penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik sehingga akan menjadi beban
keluarga, masyarakat dan Negara.

19
DAFTAR PUSTAKA

 Daniel, A Boakye. 2007. Monitoring Lymphatic Filariasis Interventions: Adult Mosquito


Sampling, And Improved Pcr – Based Pool Screening Method For Wuchereria Bancrofti
Infection In Anopheles Mosquitoes. Filaria Journal, 6: 13
 Komariah, Seftiani. Pengendalian Vektor Filariasis. Palembang: Pasca Sarjana
Kesehatan Masyarakat STIKES Bina Husada, 2009.
 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1501/MENKES/PER/X/2010 TENTANG JENIS PENYAKIT
MENULAR TERTENTU YANG DAPAT MENIMBULKAN WABAH DAN
UPAYA PENANGGULANGAN
 Yohannie, Raini. Penelitian Upaya Pencegahan Primer Filariasis di
Kabupaten Bandung tahun 2010. Bandung: FK UNPAD, 2011.
 Made, Nurdjana. Aspek Epidemiologi Penanggulangan Filariasis di Indonesia. Jakarta:
Badan Litbang Kesehatan Depkes RI, 2009
 Depkes RI. Epidemiologi Filariasis. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan: Jakarta, 2006.
 Hariyono, S. Penelitian Filariasis; Program Pendidikan Magister Ilmu Kedokteran
Tropik. Surabaya: Universitas Airlangga, 2010
 Depkes RI,Ditjen PPM & PL- Direktorat P2B2 Subdit Filariasis & Schistosomiasis,
2002, Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah (Filariasis), Jakarta.
http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html
(diakses pada kamis,11 Desember 2014)
 http://www.resep.web.id/kesehatan/filariasis-penyakit-kaki-gajah.html
(diakses pada kamis,11 Desember 2014)
 www.google.com/filariasis-pdf.com
(diakses pada kamis,11 Desember 2014)

20

Anda mungkin juga menyukai