Anda di halaman 1dari 38

ANALISIS SOAP RAWAT INAP DI RSUD BLAMBANGAN

SEBAGAI TUGAS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RSUD


BLAMBANGAN

DI SUSUN OLEH :

Reka Melda Tamara 192211101101

Aura Kamilah Anwar 192211101103

Evianti Takimpo 192211101106

M. Febrian Bachtiar 192211101107

Aisyah Rulina Safitri 192211101108

Desy Dwi Utami 192211101110

Lisa Yuhana 192211101111

Al Kautsar 192211101112

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2020
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. PNEUMONIA
1.1 DEFINISI
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim paru
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat
(Sudoyo,2005). Pnemunonia dibedakan menjadi dua yaitu pneumonia kominiti dan
pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang terjadi akibat
infeksi di luar rumah sakit, sedangkan pneumonia nosokomial adalah pneumonia
yang terjadi lebih dari 48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit (PDPI,2003).
Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling sering
ialah menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya pneumonia
(pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi pneumonia juga dapat
diklasifikasikan berdasarkan area paru yang terinfeksi (lobar pneumonia, multilobar
pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial pneumonia) atau agen kausatif.
Pneumonia juga sering diklasifikasikan berdasarkan kondisi yang mendasari pasien,
seperti pneumonia rekurens (pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan
penyakit paru kronik), pneumonia aspirasi (alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada
gangguan imun (pneumonia pada pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS)
(Dahlan,2009; Dunn2007).

1.2 ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia
rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan beberapa kota di
Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita komunitas adalah bakteri
gram negatif (PDPI,2003).
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan
nosokomial:
a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B
(Wunderink,2014).
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob
oral (Wilson,2012).

1.3 PATOGENESIS
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain.3 Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme
dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 1) Inokulasi
langsung; 2) Penyebaran melalui darah; 3) Inhalasi bahan aerosol, dan 4) Kolonosiasi
di permukaan mukosa (PDPI,2003). Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak
adalah dengan kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0
mikron melalui udara dapat mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya
terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung,
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi
paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu
tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai
obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang sanagt
tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk
antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan
leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut
kemudian terjadi proses fagositosis. pada waktu terjadi perlawanan antara host dan
bakteri maka akan nampak empat zona (Gambar 1) pada daerah pasitik parasitik
terset yaitu : 1) Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan
edema; 2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN dan
beberapa eksudasi sel darah merah; 3) Zona konsolidasi yang luas (grey
hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang
banyak; 4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri
yang mati, leukosit dan alveolar makrofag (PDPI,2003).

1.4 MANIFESTASI KLINIK


Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik
non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau
bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah
pasien lebih suka berbaring padayang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.
Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat
pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai
pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara
pernafasan bronkial, pleural friction rub (Dahlan,2009).
1.5 HOSPITAL ACQUIRED PNEUMONIA (HAP)
1.5.1 PENGERTIAN
Hospital Acquired Pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapatkna setelah
pasien menjalani rawat inap di rumah sakit. HAP termasuk juga pneumonia yg
disebabkan oleh Alkes selama pasien rawat inap (VAP) dan tindakan medis
(HCAP). Pneumonia nosokomial ini berkembang pada pasien selama di rumah
sakit > 48 jam dengan masa inkubasi minimal 2 hari.
1.5.2 TATA LAKSANA TERAPI
a. Terapi Empirik
1. Untuk pasien yang dirawat secara empiris untuk HAP, direkomendasikan
antibiotik dengan aktivitas terhadap S. Aureus
 Untuk pasien dengan HAP yang sedang dirawat secara empiris dan
memiliki faktor risiko untuk infeksi MRSA, penggunaan antibiotik
intravena sebelumnya dalam 90 hari, rawat inap di unit di mana >20%
isolat S. aureus tahan methicillin, atau prevalensi MRSA tidak
diketahui, atau yang berisiko tinggi terhadap kematian,
direkomendasikan untuk menggunakan antibiotik dengan aktivitas
terhadap MRSA.
 Untuk pasien dengan HAP dengan pengobatan empirik untuk MRSA,
direkomendasikan vancomycin atau linezolid dari pada antibiotik
alternative.
 Untuk pasien dengan HAP yang sedang dirawat secara empiris dan
tidak memiliki faktor risiko infeksi MRSA dan tidak berisiko tinggi
terhadap kematian, direkomendasikan untuk menggunakan antibiotik
dengan aktivitas melawan MSSA. Ketika perawatan empirik yang
mencakup cakupan untuk MSSA (dan bukan MRSA). Rejimenya
termasuk piperacillin-tazobactam, cefepime, levofloxacin, imipenem,
atau meropenem. Oksisilin, nafcillin, atau cefazolin lebih disukai
untuk pengobatan MSSA yang terbukti, tetapi tidak diperlukan untuk
empiric HAP jika salah satu agen di atasdigunakan
2. Untuk pasien dengan HAP yang sedang dirawat secara empiris, kami
merekomendasikan resep antibiotik dengan aktivitas terhadap P.
aeruginosa dan bacilli gram negatif lainnya.
 Untuk pasien dengan HAP yang sedang dirawat secara empiris dan
memiliki faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk
infeksi Pseudomonas atau infeksi gram negatif lainnya, sebelumnya
penggunaan antibiotik dalam 90 hari atau tingginya risiko kematian,
direkomendasikan antibiotik dari 2 kelas berbeda dengan aktivitas
melawan P. aeruginosa.
 Untuk pasien dengan HAP yang sedang dirawat secara empiris,
direkomendasikan untuk tidak menggunakan aminoglycoside sebagai
satu-satunya agen antipseudomonal.
b. Antibiotik Pengobatan untuk MRSA
MRSA HAP/VAP direkomendasikan terapi menggunakan vancomycin
atau linezolid daripada antibiotik lainnya atau kombinasi antibiotik Pilihan
antara vancomycin dan linezolid dapat dipandu oleh faktor-faktor khusus
pasien seperti hitung sel darah, resep bersamaan untuk inhibitor serotonin-
reuptake, fungsi ginjal, dan biaya
c. Antibiotik Pengobatan untuk P. Aeruginosa
Rekomendasi Untuk pasien dengan HAP/VAP karena P. aeruginosa,
lebih sarankan monoterapi aminoglycoside
d. Durasi pengobatam untuk Pasien dengan HAP yaitu selama 7 hari
1.6 COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP)
Terapi antibiotik empiris pada pasien yang menderita penumonia komunitas
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
1. Rawat Jalan
 Tanpa faktor modifikasi = golongan beta laktam + antibeta laktamase
 Dengan faktor modifikasi = golongan beta laktam + antibetalaktamase atau
fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin)
 Bila dicurigai penumonia atipik = makrolida baru (roksitromosin,
klaritromisin, azitromisin)
2. Rawat Inap
 Tanpa faktor modifikasi = golongan beta laktam + antibeta laktamase IV
atau sefalosporin G2, G3 IV atau fluorokuinolon respirasi IV
 Dengan faktor modifikasi = sefalosporin G2,G3 IV atau fluorokuinolon
respirasi IV
 Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolida baru
3. IGD
 Tidak ada faktor resiko infeksi Pseudomonas = sefalosporin G3 IV
nonpseudomonas ditambah makrolida atau fluorokuinolon respirasi IV
 Ada faktor resiko infeksi Pseudomonas
a. Sefalosporin antipseudomonas IV atau karbapenem IV ditambah
fluorokuinolon anti pseudomonas (siprofloksasin) IV atau
aminoglikosida IV
b. Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik sefalosporin
antipseudomonas IV atau karbapenem IV ditambah aminoglikosida IV
ditambah lagi makrolida baru atau fluorokuinolon respirasi IV
Setelah 24-72 jam terapi empiris, dilakukan evaluasi pengobatan apakah
menunjukkan hasil positif terhadap harapan kesembuhan pasien seperti pada
bagan di bawah ini:
Terapi simptomatik seperti antipiretik, obat batuk, dan lainnya dapat
diberikan jika diperlukan

2. CORONAVIRUS
2.1 DEFINISI
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan
tidak bersegmen. Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga
Coronaviridae. Coronaviridae dibagi dua subkeluarga dibedakan berdasarkan
serotipe dan karakteristik genom. Terdapat empat genus yaitu alpha
coronavirus, betacoronavirus, deltacoronavirus dan gamma coronavirus.

2.2 KARAKTERISTIK
Coronavirus memiliki kapsul, partikel berbentuk bulat atau elips, sering
pleimorfik dengan diameter sekitar 50-200m.5 Semua virus ordo Nidovirales
memiliki kapsul, tidak bersegmen, dan virus positif RNA serta memiliki genom
RNA sangat panjang.12 Struktur coronavirus membentuk struktur seperti kubus
dengan protein S berlokasi di permukaan virus. Protein S atau spike protein
merupakan salah satu protein antigen utama virus dan merupakan struktur utama
untuk penulisan gen. Protein S ini berperan dalam penempelan dan masuknya
virus kedalam sel host (interaksi protein S dengan reseptornya di sel inang).

Gambar Struktur Coronavirus


Coronavirus bersifat sensitif terhadap panas dan secara efektif dapat
diinaktifkan oleh desinfektan mengandung klorin, pelarut lipid dengan suhu
56℃ selama 30 menit, eter, alkohol, asam perioksiasetat, detergen non-ionik,
formalin, oxidizing agent dan kloroform. Klorheksidin tidak efektif dalam
menonaktifkan virus.

2.3 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Kebanyakan Coronavirus menginfeksi hewan dan bersirkulasi di hewan.
Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan
kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada hewan seperti babi, sapi,
kuda, kucing dan ayam. Coronavirus disebut dengan virus zoonotik yaitu virus
yang ditransmisikan dari hewan ke manusia. Banyak hewan liar yang dapat
membawa patogen dan bertindak sebagai vektor untuk penyakit menular
tertentu.
Kelelawar, tikus bambu, unta dan musang merupakan host yang biasa
ditemukan untuk Coronavirus. Coronavirus pada kelelawar merupakan sumber
utama untuk kejadian severe acute respiratory syndrome (SARS) dan Middle
East respiratory syndrome (MERS). Namun pada kasus SARS, saat itu host
intermediet (masked palm civet atau luwak) justru ditemukan terlebih dahulu
dan awalnya disangka sebagai host alamiah. Barulah pada penelitian lebih lanjut
ditemukan bahwa luwak hanyalah sebagai host intermediet dan kelelawar tapal
kuda (horseshoe bars) sebagai host alamiahnya. Secara umum, alur Coronavirus
dari hewan ke manusia dan dari manusia ke manusia melalui transmisi kontak,
transmisi droplet, rute feses dan oral.
Berdasarkan penemuan, terdapat tujuh tipe Coronavirus yang dapat
menginfeksi manusia saat ini yaitu dua alphacoronavirus (229E dan NL63) dan
empat betacoronavirus, yakni OC43, HKU1, Middle East respiratory
syndrome-associated coronavirus (MERS-CoV), dan severe acute respiratory
syndrome-associated coronavirus (SARS-CoV). Yang ketujuh adalah
Coronavirus tipe baru yang menjadi penyebab kejadian luar biasa di Wuhan,
yakni Novel Coronavirus 2019 (2019-nCoV). Isolat 229E dan OC43 ditemukan
sekitar 50 tahun yang lalu. NL63 dan HKU1 diidentifikasi mengikuti kejadian
luar biasa SARS. NL63 dikaitkan dengan penyakit akut laringotrakeitis (croup).
Coronavirus terutama menginfeksi dewasa atau anak usia lebih tua,
dengan gejala klinis ringan seperti common cold dan faringitis sampai berat
seperti SARS atau MERS serta beberapa strain menyebabkan diare pada dewasa.
Infeksi Coronavirus biasanya sering terjadi pada musim dingin dan semi. Hal
tersebut terkait dengan faktor iklim dan pergerakan atau perpindahan populasi
yang cenderung banyak perjalanan atau perpindahan. Selain itu, terkait dengan
karakteristik Coronavirus yang lebih menyukai suhu dingin dan kelembaban
tidak terlalu tinggi.

Gambar. Ilustrasi transmisi Coronavirus


Semua orang secara umum rentan terinfeksi. Pneumonia Coronavirus
jenis baru dapat terjadi pada pasien immunocompromis dan populasi normal,
bergantung paparan jumlah virus. Jika kita terpapar virus dalam jumlah besar
dalam satu waktu, dapat menimbulkan penyakit walaupun sistem imun tubuh
berfungsi normal. Orang-orang dengan sistem imun lemah seperti orang tua,
wanita hamil, dan kondisi lainnya, penyakit dapat secara progresif lebih cepat
dan lebih parah. Infeksi Coronavirus menimbulkan sistem kekebalan tubuh yang
lemah terhadap virus ini lagi sehingga dapat terjadi re-infeksi.
Pada tahun 2002-2003, terjadi kejadian luar biasa di Provinsi
Guangdong, Tiongkok yaitu kejadian SARS. Total kasus SARS sekitar 8098
tersebar di 32 negara, total kematian 774 kasus. Agen virus Coronavirus pada
kasus SARS disebut SARS-CoV, grup 2b betacoronavirus.
Penyebaran kasus SARS sangat cepat total jumlah kasus tersebut
ditemukan dalam waktu sekitar 6 bulan. Virus SARS diduga sangat mudah dan
cepat menyebar antar manusia. Gejala yang muncul dari SARS yaitu demam,
batuk, nyeri kepala, nyeri otot, dan gejala infeksi saluran napas lain.
Kebanyakan pasien sembuh sendiri, dengan tingkat kematian sekitar 10-14%.
terutama pasien dengan usia lebih dari 40 tahun dengan penyakit penyerta
seperti penyakit jantung, asma, penyakit paru kronik dan diabetes.
Tahun 2012, Coronavirus jenis baru kembali ditemukan di Timur
Tengah diberi nama MERS-CoV (grup 2c β-coronavirus). Kasus pertama MERS
pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2015 ditemukan jumlah total 1143 kasus.
Berbeda dengan SARS, MERS cenderang tidak bersifat infeksius dibandingkan
SARS. Dalam 3 tahun ditemukan jumlah kasus 1143. MERS diduga tidak
mudah menyebar dari manusia ke manusia, namun SARS dapat dengan mudah
dan cepat menyebar dari manusia ke manusia. Namun, disisi lain MERS lebih
tinggi tingkat kematiannya, jika SARS sekitar 10%, tingkat kematian MERS
mencapai sekitar 40%.
Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. Virus
tidak bisa hidup tanpa sel host. Berikut siklus dari Coronavirus setelah
menemukan sel host sesuai tropismenya. Pertama, penempelan dan masuk virus
ke sel host diperantarai oleh Protein S yang ada dipermukaan virus. Protein S
penentu utama dalam menginfeksi spesies host-nya serta penentu tropisnya.
Pada studi SARS-CoV protein S berikatan dengan reseptor di sel host yaitu
enzim ACE-2 (angiotensin-converting enzyme 2). ACE-2 dapat ditemukan pada
mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit,
timus, sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel
enterosit usus halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos. Setelah berhasil
masuk selanjutnya translasi replikasi gen dari RNA genom virus. Selanjutnya
replikasi dan transkripsi dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan
perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan dan
rilis virus. Berikut gambar siklus hidup virus (gambar 3).
Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian
bereplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah
itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus
dari saluran napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel
gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul
penyakit sekitar 3-7 hari.

Gambar. Siklus hidup Coronavirus (SARS)


Studi pada SARS menunjukkan virus bereplikasi di saluran napas bawah
diikuti dengan respons sistem imun bawaan dan spesifik. Faktor virus dan sistem
imun berperan penting dalam patogenesis. Pada tahap pertama terjadi kerusakan
difus alveolar, makrofag, dan infiltrasi sel T dan proliferasi pneumosit tipe 2.
Pada rontgen toraks diawal tahap infeksi terlihat infiltrat pulmonar seperti
bercak-bercak. Pada tahap kedua, organisasi terjadi sehingga terjadi perubahan
infiltrat atau konsolidasi luas di paru. Infeksi tidak sebatas di sistem pernapasan
tetapi virus juga bereplikasi di enterosit sehingga menyebabkan diare dan luruh
di feses, juga urin dan cairan tubuh lainnya.
Studi terbaru menunjukkan peningkatan sitokin proinflamasi di serum
seperti IL1B, IL6, IL12, IFNγ, IP10, dan MCP1 dikaitkan dengan inflamasi di
paru dan kerusakan luas di jaringan paru-paru pada pasien dengan SARS. Pada
infeksi MERS-CoV dilaporkan menginduksi peningkatan konsentrasi sitokin
proinflamasi seperti IFNγ, TNFα, IL15, dan IL17. Patofisiologi dari tingginya
patogenitas yang tidak biasa dari SARS-CoV atau MERS-CoV sampai saat ini
belum sepenuhnya dipahami.

2.4 SARS-COV-2
Virus SARS-CoV-2 merupakan Coronavirus, jenis baru yang menyebabkan
epidemi, dilaporkan pertama kali di Wuhan Tiongkok pada tanggal 31 Desember
2019.1 Analisis isolat dari saluran respirasi bawah pasien tersebut menunjukkan
penemuan Coronavirus tipe baru, yang diberi nama oleh WHO COVID-19.
Pada tanggal 11 Februari 2020, WHO memberi nama penyakitnya menjadi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).3 Coronavirus tipe baru ini merupakan
tipe ketujuh yang diketahui di manusia. SARS-CoV-2 diklasifikasikan pada
genus betaCoronavirus. 5,18 Pada 10 Januari 2020, sekuensing pertama genom
SARS-CoV-2 teridentifikasi dengan 5 subsekuens dari sekuens genom virus
dirilis. Sekuens genom dari Coronavirus baru (SARS-CoV-2) diketahui hampir
mirip dengan SARS-CoV dan MERS-CoV. Secara pohon evolusi sama dengan
SARS-CoV dan MERS-CoV tetapi tidak tepat sama.
Kejadian luar biasa di Wuhan mirip dengan kejadian luar biasa SARS di
Guangdong pada tahun 2002. Keduanya terjadi di musim dingin. Apabila
dibandingkan dengan SARS, Pneumoni COVID-19 cenderung lebih rendah dari
segi angka kematian. Angka kematian SARS mencapai 10% dan MERS 37%.5
Namun, saat ini tingkat infektivitas virus pneumoni COVID-19 ini diketahui
setidaknya setara atau lebih tinggi dari SARS-CoV. Hal ini ditunjukkan oleh R0-
nya, dimana penelitian terbaru menunjukkan R0 dari virus pneumoni SARS-
CoV-2 ini adalah 4,08. Sebagai perbandingan, R0 dari SARS-CoV adalah 2,0.
Coronavirus jenis baru ini bersifat letal namun tingkat kematian masih belum
pasti, serta saat ini masih dapat dicegah dan dikontrol.
Gambar. Gambaran mikroskopik SARS-CoV-2 menggunakan transmission
electron microscopy
Evolusi group dari SARS-CoV-2 ditemukan di kelelawar sehingga diduga
host alami atau utama dari SARS-CoV-2 mungkin juga kelelawar. Coronavirus
tipe baru ini dapat bertransmisi dari kelelawar kemudian host perantara
kemudian manusia melalui mutasi evolusi. Ada kemungkinan banyak host
perantara dari kelelawar ke manusia yang belum dapat diidentifikasi.5
Coronavirus baru, memproduksi variasi antigen baru dan populasi tidak
memiliki imunitas terhadap strain mutan virus sehingga dapat menyebabkan
pneumonia. Pada kasus ini ditemukan kasus “super-spreader” yaitu dimana
virus bermutasi atau beradaptasi di dalam tubuh manusia sehingga memiliki
kekuatan transmisi yang sangat kuat dan sangat infeksius. Satu pasien
menginfeksi lebih dari 3 orang dianggap super-spreader, jika lebih dari 10 lebih
tepat lagi dikatakan super spreader.
Secara patofisiologi, pemahaman mengenai COVID-19 masih perlu studi
lebih lanjut. Pada SARS-CoV-2 ditemukan target sel kemungkinan berlokasi di
saluran napas bawah.2 Virus SARS-CoV-2 menggunakan ACE-2 sebagai
reseptor, sama dengan pada SARS-CoV. Sekuens dari RBD (Reseptor-binding
domain) termasuk RBM (receptor-binding motif) pada SARS-CoV-2 kontak
langsung dengan enzim ACE 2 (angiotensin-converting enzyme 2). Hasil residu
pada SARS-CoV-2 RBM (Gln493) berinteraksi dengan ACE 2 pada manusia,
konsisten dengan kapasitas SARS-CoV-2 untuk infeksi sel manusia. Beberapa
residu kritis lain dari SARS-CoV-2 RBM (Asn501) kompatibel mengikat ACE2
pada manusia, menunjukkan SARS-CoV-2 mempunyai kapasitas untuk
transmisi manusia ke manusia. Analisis secara analisis filogenetik kelelawar
menunjukkan SARS-CoV-2 juga berpotensi mengenali ACE 2 dari beragam
spesies hewan yang menggunakan spesies hewan ini sebagai inang perantara.
Pada penelitian 41 pasien pertama pneumonia COVID-19 di Wuhan ditemukan
nilai tinggi dari IL1β, IFNγ, IP10, dan MCP1, dan kemungkinan mengaktifkan
respon sel T-helper-1 (Th1).2 Selain itu, berdasarkan studi terbaru ini, pada
pasien-pasien yang memerlukan perawatan di ICU ditemukan konsentrasi lebih
tinggi dari GCSF, IP10, MCP1, MIP1A, dan TNFα dibandingkan pasien yang
tidak memerlukan perawatan di ICU. Hal tersebut mendasari kemungkinan
adanya cytokine storm yang berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. Selain
itu, pada infeksi SARS-CoV- 2 juga menginisiasi peningkatan sekresi sitokin T-
helper-2 (seperti IL4 dan IL10) yang berperan dalam menekan inflamasi, yang
berbeda dengan infeksi SARS-CoV.
Berdasarkan pohon filogeni 2020 menunjukkan semua sampel berkaitan
serta terdapat lima mutasi relatif terhadap induknya, membuktikan adanya
transmisi dari manusia ke manusia. Selain itu, filogeni menunjukkan adanya
indikasi infeksi pertama manusia pada November 2019 diikuti dengan bertahan
transmisi dari manusia ke manusia.19,20 (Gambar 5).

Gambar 5. Pohon filogenetik SARS-CoV-2

2.5 GEJALA KLINIS


Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau berat.
Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu >38⁰C), batuk dan
kesulitan bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat, fatigue,
mialgia, gejala gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran napas lain.
Setengah dari pasien timbul sesak dalam satu minggu. Pada kasus berat
perburukan secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok septik, asidosis
metabolik yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi
dalam beberapa hari. Pada beberapa pasien, gejala yang muncul ringan, bahkan
tidak disertai dengan demam. Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik,
dengan sebagian kecil dalam kondisi kritis bahkan meninggal.

2.6 KLASIFIKASI KLINIS


Berikut sindrom klinis yang dapat muncul jika terinfeksi.
1. Tidak berkomplikasi
Kondisi ini merupakan kondisi teringan. Gejala yang muncul berupa gejala
yang tidak spesifik. Gejala utama tetap muncul seperti demam, batuk, dapat
disertai dengan nyeri tenggorok, kongesti hidung, malaise, sakit kepala, dan
nyeri otot. Perlu diperhatikan bahwa pada pasien dengan lanjut usia dan
pasien immunocompromises presentasi gejala menjadi tidak khas atau
atipikal. Selain itu, pada beberapa kasus ditemui tidak disertai dengan
demam dan gejala relatif ringan. Pada kondisi ini pasien tidak memiliki
gejala komplikasi diantaranya dehidrasi, sepsis atau napas pendek.
2. Pneumonia ringan
Gejala utama dapat muncul seperti demam, batuk, dan sesak. Namun tidak
ada tanda pneumonia berat. Pada anak-anak dengan pneumonia tidak berat
ditandai dengan batuk atau susah bernapas atau tampak sesak disertai napas
cepat atau takipneu tanpa adanya tanda pneumonia berat.
3. Pneumonia berat
Pada pasien dewasa:
 Gejala yang muncul diantaranya demam atau curiga infeksi saluran nafas
 Tanda yang muncul yaitu takipnea (frekuensi napas: > 30x/menit),
distress pernapasan berat atau saturasi oksigen pasien <90% udara luar.
 Kriteria definisi Severe Community-acquired Pneumonia (CAP) menurut
Diseases Society of America/American Thoracic Society.
2.7 TERAPI FARMAKOLOGI
Pemberian terapi oksigen segera kepada pasien dengan SARI, distress
napas, hipoksemia atau syok. Terapi oksigen pertama sekitar 5l/menit dengan
target SpO2 ≥90% pada pasien tidak hamil dan ≥ 92-95% pada pasien hamil.
Tidak ada napas atau obstruksi, distress respirasi berat, sianosis sentral, syok,
koma dan kejang merupakan tanda gawat pada anak. Kondisi tersebut harus
diberikan terapi oksigen selama resusitasi dengan target SpO2 ≥ 94%, jika tidak
dalam kondisi gawat target SpO2 ≥ 90%. Semua area pasien SARI ditatalaksana
harus dilengkapi dengan oksimetri, sistem oksigen yang berfungsi, disposable,
alat pemberian oksigen seperti nasal kanul, masker simple wajah, dan masker
dengan reservoir. Perhatikan pencegahan infeksi atau penularan droplet atau
peralatan ketika mentataksana atau memberikan alat pemberian oksigen kepada
pasien.
a. Segera beri terapi oksigen tambahan kepada pasien SARI dan gawat
pernapasan, hipoksaemia atau renjatan dan target SpO2 > 94%.
 Catatan untuk pasien dewasa: Pasien dewasa yang menunjukkan tanda-
tanda darurat (pernapasan terhalang atau apnea, gawat pernapasan,
sianosis sentral, renjatan, koma, atau kejang) perlu menerima
tatalaksana saluran pernapasan dan terapi oksigen untuk mencapai
SpO2 ≥ 94%. Mulai berikan terapi oksigen 5 L/menit dan atur titrasi
untuk mencapai target SpO2 ≥ 93% selama resusitasi; atau gunakan
sungkup tutup muka dengan kantong reservoir (dengan tingkat 10-15
L/min) jika pasien dalam kondisi kritis. Setelah pasien stabil, targetnya
adalah > 90% SpO2 pada pasien dewasa tidak hamil dan ≥ 92-95%
pada pasien hamil
 Catatan: Semua area di mana perawatan pasien SARI dilakukan harus
dilengkapi oksimeter denyut, sistem oksigen sekali pakai yang
berfungsi, antarmuka pengantaran oksigen sekali pakai (kanula hidung,
prong hidung, masker wajah sederhana, dan sungkup tutup muka
dengan kantong reservoir)
b. Pantau dengan teliti tanda-tanda pemburukan klinis pada pasien COVID-19,
seperti kegagalan pernapasan progresif cepat dan sepsis dan segera beri
intervensi perawatan suportif.
 Catatan 1: Tanda-tanda vital pasien COVID-19 di rumah sakit perlu
dimonitor secara berkala dan, jika memungkinkan, perlunya
menggunakan skor peringatan dini medis (mis., NEWS2) yang
memfasilitasi pengenalan dini dan eskalasi perawatan pasien yang
memburuk (26) perlu diamati.
 Catatan 2: Uji laboratorium hematologi dan biokimia dan ECG harus
dilakukan saat pasien masuk rumah sakit dan saat diperlukan menurut
indikasi klinis guna memonitor komplikasi, seperti cedera liver akut,
cedera ginjal akut, cedera jantung akut, atau renjatan. Pelaksanaan
terapi suportif yang tepat waktu, efektif, dan aman adalah bagian
penting dalam terapi pasien yang menunjukkan manifestasi berat
COVID-19.
c. Perhatikan kondisi komorbid pasien untuk menyesuaikan tatalaksana
penyakit kritis.
 Tentukan terapi kronis mana yang perlu dilanjutkan dan terapi mana
yang harus dihentikan sementara. Monitor interaksi obat.
d. Gunakan tatalaksana cairan konservatif pada pasien SARI jika belum ada
bukti renjatan.
 Perawatan pasien SARI dengan cairan intravena harus hati-hati
dilakukan, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk
oksigenasi, terutama di mana ventilasi mekanis terbatas. Hal ini berlaku
untuk perawatan pasien anak dan pasien dewasa (WHO, 2020).

2.8 TERAPI NON-FARMAKOLOGI


Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan untuk mendukung kesembuhan
pasien adalah:
 Isitirahat
 Mengkonsumsi makanan kaya-kalori dan asupan cairan yang cukup
 Perbaikan nutrisi untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan memperbaiki
fungsi sistem imun agar tubuh mampu melawan infektor penyebab patologi
tersebut.
 Rutin mengukur suhu tubuh
 Selalu menjaga diri agar tidak tertular atau menularkan infeksius kepada
orang lain, dengan cara selalu memakai masker, rajin mencuci tangan
dengan sabun dan air megalir, menjaga jarak, menerapkan etika batuk, dan
menggunakan alat makan pribadi.

3. DIABETES MELITUS
3.1 PENGERTIAN
Diabetes melitus adalah peningkatan kadar glukosa darah yang berkaitan
dengan tidak ada atau kurang memadainya sekresi insulin pankreas, dengan atau
tanpa gangguan efek insulin (Kennedy MS, 2014). Berbagai keluhan juga dapat
ditemukan pada penyandang diabetes yang sering disebut keluhan klasik atau
triaspoli DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan,
kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada wanita (PERKENI, 2011).

3.2 TIPE DIABETES MELITUS


Tipe diabetes Melitus dibagi menjadi 4 yaitu:
1. DM tipe 1, adalah kerusakan selektif sel beta (sel B) dan defisinsi insulin
yang parah atau absolut yang disebabkan kausa imun atau kausa idiopatik
sehingga terapi sulih insulin dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan.
2. DM tipe 2, ditandai oleh resistensi jaringan terhadap efek insulin
dikombinasikan dengan defisiensi relatif sekresi insulin. Meskipun insulin
masih dproduksi, jumlahnya masih kurang memadai untuk mengatasi
resistensi dan glukosa darah tinggi.
3. DM tipe lain, dise babkan berbagai kausa spesifik lain peningkatan kadar
glukosa darah: pankreatektomi, pankreatitis, penyakit non-pankreas,
pemberian obat, dsb.
4. Diabetes Kehamilan/ Gestasional, didefinisikan sebagai setiap kelainan
dalam kadar glukosa yang diketahui pertama kali sewaktu kehamilan

3.3 PENENTUAN KRITERIA DIAGNOSA DM


Untuk mengetahui seseorang terdiagnosis Diabetes Mellitus terdapat
kriterianya. Kriteria seseorang dapat terdiagnostik Diabetes Melitus yaitu:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegak-kan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus (PERKENI, 2011)

3.4 PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS


Tujuan pengobatan diabetes melitus adalah meringankan gejala,
mengurangi resiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, mengurangi
kematian dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Penatalaksaan pada pasien
diabetes menurut Perkeni (2015) dibedakan menjadi dua yaitu terapi
farmakologis dan non farmakologi:
1. Terapi farmakologi
Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola makan
dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat oral dan obat
suntikan, yaitu:
a. Obat antihiperglikemia oral
Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola
makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat
oral dan obat suntikan, yaitu:
1. Pemacu sekresi insulin: Sulfonilurea dan Glinid
Efek utama obat sulfonilurea yaitu memacu sekresi insulin oleh sel
beta pancreas. cara kerja obat glinid sama dengan cara kerja obat
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama yang dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2. Penurunan sensitivitas terhadap insulin:
Metformin dan Tiazolidindion (TZD)Efek utama metformin yaitu
mengurangi produksi glukosa hati (gluconeogenesis) dan
memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan efek dari Tiazolidindion
(TZD) adalah menurunkan resistensi insulin dengan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan glukosa di perifer.
3. Penghambat absorpsi glukosa:
Penghambat glukosidase alfa Fungsi obat ini bekerja dengan
memperlambat absopsi glukosa dalam usus halus, sehingga
memiliki efek menurunkan kadar gula darah dalam tubunh sesudah
makan.
4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV) Obat golongan
penghambat DPP-IV berfungsi untuk menghambat kerja enzim
DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon sesuai
kadar glukosa darah (glucose dependent).
b. Kombinasi obat oral dan suntikan insulin
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang
diberikanpada malam hari menjelang tidur. Terapi tersebut biasanya
dapat mengendalikan kadar glukosa darah dengan baik jika dosis
insulin kecil atau cukup. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-
10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi
dosis tersebut dengan melihat nilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Ketika kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian
obat antihiperglikemia oral dihentikan(Perkeni, 2015).

2. Terapi non Farmakologi


Terapi non farmakologi menurut Perkeni, (2015) yaitu:
a. Edukasi Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup
menjadi sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan dan
bisa digunakan sebagai pengelolaan DM secara holistic.
b. Terapi nutrisi medis (TNM) Pasien DM perlu diberikan pengetahuan
tentang jadwal makan yang teratur, jenis makanan yang baik beserta
jumlah kalorinya, terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun
glukosa darah maupun insulin.
c. Latihan jasmani atau olahraga Pasien DM harus berolahraga secara
teratur yaitu 3 sampai 5 hari dalam seminggu selama 30 sampai 45
menit, dengan total 150 menit perminggu, dan dengan jeda antar latihan
tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Jenis olahraga yang dianjurkan
bersifat aerobic dengan intensitas sedang yaitu 50 sampai 70% denyut
jantung maksimal seperti: jalan cepat, sepeda santai, berenang,dan
jogging. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara: 220 – usia
pasien.
BAB III
PEMBAHASAN

Pharmaceutical Care Plan


I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. U
Umur : 47 tahun BB:- TB:-
Tanggal MRS : 18 April 2020
Tanggal KRS : 30 April 2020
Diagnosis : Pneumonia, PDP (Pasien Dalam Pantauan) Covid-19

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien : panas 2 hari, batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan

2.2. Riwayat Penyakit : Rujukan dari Rumah Sakit Yasmin dan Rapid Test Covid-
19 (+)
2.3. Riwayat Pengobatan :

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial : -

2.5. Alergi Obat : -


III.OBJEKTIF
A. Tanda-tanda vital

Nilai Tanggal Interpretasi


Paramete
Norma
r 18/4 19/4 20/4 21/4 22/4 23/4 24/4 25/4 26/4 27/4 28/4 29/4 30/4
l
Peningkatan
suhu
menunjukkan
Suhu (C) 37 38,4 - - - - - - 36,9 - - - - - kemungkinan
terjadinya
tanda – tanda
infeksi
Tekanan
150/
darah 120/80 Stabil - - - - - 127/79 - - - - -
94
(mmHg)
Nadi Peningkatan
80 92 - - - - - - 100 - - - - -
(x/menit) nadi
menunjukkan
RR kemungkinan
20 20 - - - - - - 26 - - - - -
(x/menit) terjadinya
pneumonia

B. Tanda-tanda klinik

Tanggal
Gejala fisik
18/4 19/4 20/4 21/4 22/4 23/4 24/4 25/4 26/4 27/4 28/4 29/4 30/4
GCS - 456 456 - - - 456 - 456 456 456 456
KU - - Baik Baik Baik Baik Baik Baik Cukup - Cukup
Keluhan - - - - - - -
Batuk -
Sesak -
Spontan Spontan
Nafas
RA RA
C. Data laboratorium

Laboratorium / Tanggal Nilai Normal 13/04/2020 18/04/2020 25/04/2020 28/04/2020 29/04/2020 Interpretasi
HEMATOLOGI
WBC 4.00-10.00 x 11.87x10^3/µ 9.8x10^3/µL 8.3x10^3/µL Pada saat
10^3/µL L awal masuk
WBC
menunjukkan
kemungkinan
adanya
infeksi
LYM 20-40% 43 42.4 Peningkatan
limfosit
menunjukkan
adanya
infeksi
MIX 0,8-10,8 % 3.1 9.1
NEU 73,7-89,7% 53.9 48.5 Peningkatan
limfosit
menunjukkan
adanya
infeksi
ALC 3.5
RBC 3.50-5.00 x 5.23x10^6/µL 5.11x10^6/µL 5.06x10^6/µ Peningkatan
10^6/µL L RBC,
MCV 80-100 fL 71.6 73.9 penurunan
MCH 26-34 pg 23.1 23.5 MCV dan
MCHC 32-36 g/dL 32.2 31.8 MCH
menunjukkan
terjadinya
hipoksia
Hemoglobin 11.0-15.0 g/dL 12.9 11.8 11.9
Trombosit 150-450x10^3/µL 219x10^3/µL 271x10^3/µL 359 x10^3/µL
Hematokrit 35-47 % 36.6 37.4
KIMIA KLINIK
GDA < 140 mg/dL 240.0 180 110 82 Peningkatan
GDA
menunjukkan
terjadinya
peningkatan
gula darah
pasien
BUN 7-24 mg/dL Tanpa Reduksi 8.76
Creatinin 0.4-1.1 mg/dL 0.51
SGOT < 40 U/L 28.5
SGPT < 40 U/L 34.1

IV. TERAPI PASIEN


Dosis & Tanggal
Nama Obat
rute 18/04 19/04 20/04 21/04 22/04 23/04 24/04 25/04 26/04 27/04
Inf.
1x750mg √ √ √ √ √ Stop - - - -
Levofloxacin
Inj. Santagesik 3 x 1 (prn) √ √ √ Stop - - - - - -
Inf. Paracetamol Bila suhu
√ √ √ Stop - - - - - -
1000mg >38.5
1 x 400 dg
Inj. Vit C √ √ √ √ √ Stop - - - -
PZ 100 ml
Sansulin 0-0-10ml √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Codein 10 mg 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Inj. Omeprazole
2x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
40 mg
Glimepiride 2
1-0-0 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
mg
Vit C 3x1 √ √ √ √ √
Becom Z 1x1 √ √ √ √ √

V. ANALISIS SOAP

Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring


Medis Obyektif
Pneumonia Subyektif - PZ - Infus PZ diberikan untuk - Plan :
- panas 2 hari menaikkan kadar elektrolit Terapi tetap dilanjutkan
- batuk (-) tubuh pada pasien seperti untuk mengontrol kadar
- pilek (-) natrium dan klorida. elektrolit pasien.
- nyeri
tenggoroka - Inj. Santagesik - Santagesik merupakan - Plan :
n golongan obat Menghentikan metamizol
Obyektif antiinflamasi non-steroid saat nyeri sudah tidak
- TD: 150/94 (OAINS) yang dirasakan.
- Suhu : 38,4 didalamnya mengandung
- RR : 20 metamizole sodium Monitoring:
- Nadi : 92 anhidrat Memonitoring efek samping
- Test Rapid Mekanismenya dan nyeri
(+) Menginhibisi
- Limfositosi siklooksifenase-3 (COX
s 3) pusat dan pada aktivasi
- Neutrofil sistem kanabinoid dan
(↓) opiodergik.
Dosis :
Secara oral diberikan 0,5-
4 g setiap hari dalam dosis
terbagi. Dapat juga
diberikan melalui IM/IV
atau supp
- Inj. Levofloxacin Interaksi : Plan :
- Levofloxacin merupakan Berinteraksi Hentikan levofloxacin jika
fluorokuinolon generasi dengan insulin pemakaian sudah 5 hari.
ketiga mempunyai glargine dan
aktifitas yang lebih luas glimepiride yang Monitoring :
mencakup gram positif dapat Monitoring kadar gula darah
dan patogen atypical. mempengaruhi pasien
Fluorokuinolon bekerja kadar glukosa
menghambat darah yang dapat
topoisomerase II (DNA menyebabkan
gyrase) dan topoisomerase hipoglikemi
IV yang diperlukan oleh (Drugs.com)
bakteri untuk replikasi
DNA. Obat ini
membentuk ikatan
kompleks dengan enzim
dan DNA bakteri.
Dosis :
Bisa diberikan secara oral
dan iv 500 mg per hari
selama 7 sampai 14 hari,
atau dosis 750 mg per hari
- Inj. Omeprazole selama 5 hari (DIH, 2009) - Dosis terlalu Plan : memberikan
tinggi ( rekomendasi kepada dokter
Pemberian untuk melakukan
- Injeksi omeprazole omeprazole penyesuaian dosis
diberikan untuk mengatasi dengan dosis DIH: profilaksis stress ulcer
mual pada pasien, selain tinggi yaitu 2 x oral 40 mg sekali sehari
itu pemberian pompa 40 mg i.v) Monitoring:
proton inhibitor digunakan  Kadar magnesium,
untuk profilaksis stress vitamin B12 (Terapi
ulcer pada pasien dengan Jangka Panjang)
resiko tinggi. Mekanisme  Kondisi pasien dan
kerjanya Pompa Proton tanda tanda efek
Inhibitor bekerja dengan samping obat
cara menghambat / (Drugs.com)
menekan sekresi asam
lambung dan menghambat
aktivitas transporter
H+/K+/Atepase (pompa
proton) pada permukaan
kelenjer sel parietal
gastrik.
- Dosis : DIH: profilaksis
stress ulcer oral 40 mg
sekali sehari

- Codein - Pemberian Plan : mengkonfirmasi


- Berdasarkan pedoman codein perlu kepada dokter terkait
NICE tentang penangan dipertimbangk Pemberian codein
Covid-19, pada pasien an mengingat disini pasien
Covid-19 yang hanya jika tidak ada keluhan batuk.
pasien mengalami batuk
yang parah bisa diberikan
tablet codein fosfat 15
mg - 30 mg 4 kali sehari
(National Institute for
Health and Care
Excellence (NICE), 2020).
Pada kasus ini pasien
tidak memiliki keluhan
batuk sehingga pemberian
codein perlu
dipertimbangkan. Hal ini
mengingat beragam efek
samping konstipasi hingga
risiko ketergantungan oleh
kodein ini

- Inf. Paracetamol Plan : Terapi dilanjutkan


- Paracetamol merupakan apabila suhu >38.5
obat analgesik dan
antipiretik serta aktivitas Monitoring : Suhu
antiinflamasi. Paracetamol
digunakan untuk
menghilangkan nyeri
ringan sampai sedang dan
kondisi demam ringan
(Sweetman, 2009).
Paracetamol pada kasus
ini digunakan sebagai
terapi simptomatik untuk
menurukan demam, pada
penelitian Thomas et al
(2017), menyatakan
bahwa infus parasetamol 1
g memiliki efek antipiretik
yang cepat dan
berkelanjutan untuk
demam akibat infeksi.
Jumlah dosis maksimal
parasetamol untuk dewasa
adalah 1 gram (1000 mg)
per dosis dan 4 gram
(4000 mg) per hari
(drug.com).
PDP - Inj. Vit C - Vitamin C adalah agen Interaksi : Tidak Plan :
pereduksi dan antioksidan ada interaksi Terapi sudah tepat
kuat yang berfungsi dalam Monitoring :
melawan infeksi bakteri, -
dalam reaksi detoksifikasi,
dan dalam pembentukan
kolagen di jaringan
fibrosa, gigi, tulang,
jaringan ikat, kulit, dan
kapiler. (Maggini 2017).
Fungsi vitamin C sebagai
antioksidan yaitu
membatasi kerusakan dari
radikal bebas (oksigen dan
nitrogen) yang dihasilkan
selama metabolisme sel
normal dan membantu
aktivasi neutrofil sebagai
respons terhadap bakteri,
virus, dan racun. Vitamin
C merangsang pergerakan
neutrofil ke tempat infeksi
sebagai respons terhadap
kemoatraktan,
meningkatkan fagositosis
dan pembentukan oksidan,
yang dapat membunuh
patogen (Carr 2017).
Dosis : Profilaktik, 25-75
mg tiap hari; terapeutik
tidak kurang dari 250 mg
tiap hari dalam dosis
terbagi.Dosis maksimum
500mg per hari

- Becom Z P/O - Becom Z Memiliki Interaksi : Tidak Plan :Terapi sudah tepat
kandungan Vitamin B ada interaksi Monitoring : -
kompleks, vitamin C,
Vitamin E dan Zinc
Berfungsi untuk
memelihara daya tahan
tubuh dan mempercepat
pemulihan setelah sakit.
Dosis: 1 x 1 kaplet

Diabetes Subyektif (-) - Glimepiride 2 mg - Glimepirid merupakan obat Pemberian Plan :


Melitus Obyektif P/O antidiabetes golongan kombinasi Konfirmasi kepada dokter
- GDA : 180 sulfonilurea. Mekanisme glimepirid dan mengenai pemberian
kerja Glimepiride yaitu insulin pada sansulin dan glimepirid
dengan merangsang sekresi pasien ini mengingat kadar GDA
insulin dikelenjar pankreas, meningkatkan pasien sudah dalam rentang
sehingga hanya efektif pada resiko normal
penderita diabetes yang sel- hipoglikemia Monitoring :
sel ß pankreasnya masih mengingat kadar Monitoring kadar gula darah
berfungsi dengan baik GDA pasien secara teratur.
(Dipiro, 2008). sudah dalam
Dosis : rentang normal
Awal : 1-2 mg sekali sehari
Pemeliharaan : 1-4 mg
sekali sehari, peningkatakn
2 mg dengan interval 1
hingga 2 minggu
berdasarkan respon glukosa
darah pasien hingga
maksimum 8 mg sekali
sehari. Jika terapi tidak
adekuat dapat
dipertimbangkan
dikombinasikan dengan
metformin
Kombinasi dengan Insulin
- untuk memulai terapi
kombinasi pada kadar
gula darah puasa
>150mg/dl.
- Dosis awal : 8 mg
sekali sehari.
- Penyesuaian : setelah
memulai dengan insulin
dosis rendah,
penyesuaian insulin
dapat dilakukan kira –
kira setiap minggu
dengan melakukan
pengukuran glukosa
darar puasa. Setelah
stabil pasien, pasien
dengan terapi
kombinasi harus
memantau kadar
glukosa darah
kapilernya (DIH, 2009)

- Sansulin Sansulin mengandung insulin


glargine yang digunakan untuk Plan :Konfirmasi kepada
pasien yang membutuhkan dokter mengenai pemberian
insulin pada penderita diabetes sansulin dan glimepirid
melitus. Mekanisme kerjanya mengingat kadar GDA
dengan mengatur metabolisme pasien sudah dalam rentang
karbohidrat, protein dan lemak normal
dengan menghambat produksi
glukosa dan lipolisis hepatik
dan meningkatkan
pembuangan glukosa perifer.
Dosis:
Pasien belum pernah mendapat
insulin : 10 unit 1 x sehari
Pasien penah mendapat insulin:
Insulin NPH 1 x sehari ke
insulin glargine : dosis awal
tidak berubah
Insulin NPH 2 x sehari ke
insulin Glargine 1 x sehari :
dosis total harian dikurangi 20
% dan disesuaikan dengan
respon pasien
DAFTAR PUSTAKA

Andre C. Kalil,1,a Mark L. Metersky,2,a Michael Klompas,3,4 John Muscedere,5


Daniel A. Sweeney,6 Lucy B. Palmer,7 Lena M. Napolitano,8 Naomi P.
O’Grady,9 John G. Bartlett,10 Jordi Carratalà,11 Ali A. El Solh,12 Santiago
Ewig,13 Paul D. Fey,14 Thomas M. File Jr,15 Marcos I. Restrepo,16 Jason A.
Roberts,17,18 Grant W. Waterer,19 Peggy Cruse,20 Shandra L. Knight,20 and
Jan L. Brozek21. Management of Adults With Hospital-acquired and Ventilator-
associated Pneumonia: 2016 Clinical Practice Guidelines by the Infectious
Diseases Society of America and the American Thoracic Society. Clinical
Infectious Diseases IDSA GUIDELINE. CID 2016:63 (1 September)
Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia.
Dunn, L. Pneumonia : Classification, Diagnosis and Nursing Management. Royal
Collage of Nursing Standard Great Britain. 2007. 19(42). hal :50-54.
PDPI. 2003. Pneumonia komuniti-pedoman diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2020. Pneumonia Covid-19 : Diagnosis &
Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta : PDPI.
Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK
UI
WHO. 2020. Tatalaksana Klinis Infeksi Saluran Pernapasan Akut Berat (SARI) Suspek
Penyakit COVID-19. Onlline. https://www.who. int/publications-detail/home-
care-for-patients-with- suspected- ... therapeutics-for-COVID-19.pdf?ua=1.
Diakses 25 Oktober 2020
Wilson LM. Penyakit pernapasan restriktif dalam Price SA, Wilson LM. 2012.
Patofisiologi: konsep klinis prosses-proses penyakit E/6 Vol.2. Jakarta:EGC.
Hal:796-815
Wunderink RG, Watever GW. 2014. Community-acquired pneumonia. N Engl J
Med.2014;370:543-51.

Anda mungkin juga menyukai