Saya termasuk pengagum Recep Tayyib Erdogan, Presiden Turki. Lebih dari 20 kolom
tentang Turki dan Erdogan telah saya tulis. Saya menyebutnya sebagai Turki Erdogani,
sebuah istilah merujuk pada masa 17 tahun kekuasaan AKP (Partai Keadilan dan
Pembangunan) yang dipimpin Erdogan.
AKP adalah Erdogan. Sosok karismatik ini merupakan pendiri dan sekaligus pengendali
partai berhaluan Islam itu. Sejak 2002 AKP selalu menang pemilu. Kemenangan tersebut
kemudian mengantarkan Erdogan menjadi perdana menteri (PM) selama 12 tahun, lalu
presiden sejak 2014 hingga sekarang.
Beberapa media Arab menyebut AKP dan Erdogan sebagai contoh kemenangan Islam politik
(al-Islam as-siyasi), bukan hanya di Turki melainkan juga di dunia Islam. Tidak
mengherankan bila banyak orang Islam yang ngefan berat terhadap Erdogan, termasuk di
Indonesia. Bahkan, Turki Erdogani pun dijadikan role model bagi mereka yang
memperjuangkan Islam politik.
Di sektor pariwisata, misalnya, jumlah turis asing yang sebelumnya hanya 4 juta orang
melonjak menjadi lebih dari 40 juta turis per tahun. Penghasilan per kapita yang tadinya di
bawah 4.000 dolar naik menjadi di atas 12 ribu dolar per tahun.
Bersamaan dengan perbaikan ekonomi, pemerintahan Erdogan pun membenahi bidang lain.
Terkait dengan peran militer yang sering mengudeta kekuasaan sipil, misalnya, ia bersiasat
Turki penting menjadi anggota Masyarakat Eropa (ME) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara
(NATO).
Ia tahu syarat utama menjadi anggota di dua organisasi ini, sebuah negara harus
menerapkan demokrasi. Prasyarat demokrasi adalah tidak adanya campur tangan
militer dalam urusan politik. Inilah yang sukses dilakukan Erdogan. Kini peran militer
sebatas pertahanan negara alias kembali ke barak.
Sementara itu, untuk memberantas korupsi, Erdogan pada awal pemerintahannya
sangat keras terhadap dirinya dan partainya sebelum memberlakukannya ke pihak
lain. Ia tak segan-segan menghukum orang-orang partainya apabila terlibat korupsi.
Hasilnya, pemerintahan Erdogan dikenal sangat bersih. Bersamaan dengan itu ia pun
memangkas birokrasi panjang warisan pemerintahan sebelumnya.
Terkait dengan busana Muslimah alias jilbab, Erdogan tampaknya sadar betul bahwa
ia memerintah di negara sekuler. Menurut undang-undang Turki, busana Muslimah
dilarang dikenakan di kantor-kantor dan institusi pemerintahan.
Untuk mengubah undang-undang itu, ia pun menggunakan dalih hak asasi manusia
yang menjamin kebebasan berpakaian. Begitu pula ketika membatasi minuman
keras. Alasan yang ia gunakan adalah melindungi anak-anak. Ia tak pernah
menggunakan undang-undang syariah.
Berbagai kebijakan Erdogan itu ternyata disambut baik seluruh masyarakat Turki.
Sambutan baik itu terwujud di kotak suara ketika pemilu diselenggarakan, yang
selalu memenangkan AKP.
Di sinilah kemudian muncul persoalan. Para lawan politik menuduh Erdogan sebagai
ambisius, haus kekuasaan, dan otoriter. Mereka mengatakan perubahan konstitusi
dari sistem parlemen menuju sistem presidensial hanyalah untuk memenuhi ambisi
pribadi Erdogan agar tetap berkuasa.
Tuduhan miring itu sebenarnya sudah mulai muncul ketika Erdogan menyingkirkan
tokoh-tokoh partai yang bersama-sama Erdogan membesarkan AKP, seperti halnya
Abdullah Gul. Ia lalu menggantikan mereka dengan kader-kader yang lebih loyal
kepadanya.
Bersamaan dengan itu, ekonomi Turki pun terus memburuk. Salah satu penyebabnya
menteri-menterinya tidak profesional. Mereka dipilih lebih karena loyalitas dan
kekerabatan. Pemerintahan Erdogan juga dituduh korup.
Puncaknya tahun lalu, ketika inflasi mencapai 25 persen dan mata uang lira terjun
bebas hingga 40 persen. Popularitas Erdogan pun kalah dengan kenyataan hidup.
Hasil kerjanya yang hebat selama 17 tahun seolah dilupakan. Padahal, perbaikan di
sektor ekonomi inilah yang membuat AKP dan Erdogan terpilih dan terpilih lagi.
Lihatlah, rakyat Turki kini sepertinya menghukum Erdogan. Dalam pilkada serentak
empat bulan lalu, calon-calon AKP kalah di empat kota besar meskipun secara
umum mereka masih menang. Namun, empat kota besar—Ankara, Istanbul, Izmir,
dan Antalya—ini merupakan kunci, terutama Istanbul. "Siapa yang menang di
Istanbul akan memenangkan Turki," kata Erdogan yang pernah terpilih menjadi Wali
Kota Istanbul.
Dalam pemilihan ulang di kota ekonomi ini pun calon dari AKP tetap kalah.
Pemenangnya adalah Ekrem Imamoglu, calon dari Partai Rakyat Republik (CHP)
yang berhaluan sekuler. Padahal, calon yang dipasang AKP merupakan anak emas
Erdogan, Binali Yildirim. Ia merupakan PM terakhir sebelum Turki berganti ke sistem
presidensial.
Perkembangan Turki tentu sangat menarik untuk terus diikuti. Namun, saya tak lagi
mengagumi Erdogan. Alasan utamanya karena ia ingin lebih lama berkuasa dengan
segala cara, termasuk cara-cara yang otoriter sekalipu
Berita Terpopuler
Home
About Us
Contact Us
Dari Redaksi
Privacy Policy
Disclaimer
Pedoman Siber
Karir
© 2019 republika.co.id - All Rights Reserved.