Anda di halaman 1dari 5

Contradictory: Kelapa Sawit, Deforestasi, dan Pembangunan

Berkelanjutan
Wacana deforestasi masih saja kencang terdengar hingga sekarang. Dan saat ini salah satu
tersangkanya, siapa lagi kalau bukan perkebunan kelapa sawit. Kalau data resmi luas
perkebunan kelapa sawit di kisaran 13 juta ha, misalnya dengan deviasi +/- 10%, berarti
sekitar 14 juta ha. Katakanlah 15 juta ha. Berapa persen sebenarnya dibandingkan luas
hutan yang secara resmi dikeluarkan pemerintah? Statistik Kehutanan 2014 menyebutkan
luas hutan 126,3 juta ha (plus perairan), sekitar 12%. Meskipun banyak pihak meyakini,
secara de facto luas hutannya lebih kecil dari angka de jure yang dikeluarkan Pemerintah.
Banyak bagian hutan yang telah dirambah untuk pemukiman dan perkebunan, masih juga
dikurangi peruntukan lainnya. Bila usaha sebagian kawan tentang hutan adat dan hutan
desa membuahkan hasil, tentu saja luasannya menjadi berkurang lagi. Beda luas hutan,
beda lagi luas tutupan lahan. Kalau release data luas hutan berdasarkan tata batas,
setidaknya pada peta indikatif. Nah kalau tutupan lahan adalah menghitung luas tutupan
kanopi pohon. Jadi mau itu hutan, kebun, taman, halaman rumah atau lainnya, ya tetep saja
dihitung. Data Global Forest Watch (http://www.globalforestwatch.org/country/IDN),
tahun 2000, tutupan lahan Indonesia seluas 161 juta ha. Kemudian pada rentang tahun
2000-2015, terjadi pengurangan sebesar +/- 20,6 juta ha, dan pada periode tahun 2000-
2012 terjadi penambahan tutupan lahan seluas 6,9 juta ha. Dengan laju pembangunan yang
membutuhkan lahan baru hingga saat ini, konversi hutan masih saja terjadi. Jadi
sebenarnya berapakah luas tutupan lahan Indonesia, secara de facto? Itungan gampangnya,
bila perkebunan sawit memanfaatkan 75% dari konsesinya dari  15 juta ha, atau seluas
11,25 juta ha, maka didapat tutupan lahan seluas 149,75 juta hektar. Bener apa enggak,
yang ahli pemetaan akan lebih bisa menjelaskan. Bisa jadi itungan saya salah. Oke lupakan
sejenak angka-angka yang bisa membuat dahi kita mengernyit. Kembali ke wacana
deforestasi, dalam hal ini konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Banyak
pertanyaan muncul terkait dampak lingkungan. Benarkah pertumbuhan kelapa sawit
merusak lingkungan? Wikipedia mendefinisikan Kerusakan lingkungan adalah deteriorasi
(kemunduran) lingkungan dengan hilangnya sumber daya air, udara, dan tanah; kerusakan
ekosistem dan punahnya fauna liar. Kerusakan lingkungan adalah salah satu dari sepuluh
ancaman yang secara resmi diperingatkan oleh High Level Threat Panel dari PBB. The
World Resources Institute (WRI), UNEP (United Nations Environment Programme), UNDP
(United Nations Development Programme), dan Bank Dunia telah melaporkan tentang
pentingnya lingkungan dan kaitannya dengan kesehatan manusia, pada tanggal 1 Mei 1998.
Ya, per definisi, konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, apalagi dalam skala luas,
tentu saja menimbulkan dampak lingkungan. Ada banyak sumber daya air terdampak,
begitu juga kelembaban yang menurun, kesuburan tanah juga dimungkinkan berubah
karena penggunaan pupuk kimia, dan sangat mungkin banyak fauna liar punah (bisa jadi
mati atau bermigrasi ke tempat lain). Dari semua itu, yang paling tampak adalah perubahan
ekosistem, dari sebelumnya hutan, menjadi perkebunan kelapa sawit. Bahkan di beberapa
tempat, dimana tidak ada kriteria kawasan lindung sesuai Kepres No 32 Tahun 1990, maka
ekosistemnya sangat mungkin 100% berubah. Pertanyaan selanjutnya adalah, berapa
prosentase perubahan hingga kemudian perubahan tersebut dinyatakan sebagai
kerusakan. Apakah dengan sempadan sungai 25 meter dikategorikan rusak? Atau cukup 49
meter, meskipun untuk kategori sungai kecil sempadan diatur selebar 50 meter.
Bagaimana bila ketentuan perundangan dipenuhi menjadi 50 meter atau lebih. Atau
bilamana terjadi pengurangan populasi harimau satu ekor saja, maka telah terjadi
kerusakan lingkungan. Dalam skala perkebunan, minimal 2 ha milik masyarakat atau 6.000
ha milik perusahaan sebagai luas minimum membangun pabrik, skala perubahan hingga
dinyatakan merusak lingkungan, tentu harus didefinisikan. Penilaian masing-masing
parameter perlu ada. Hingga saat ini, parameter kebijakan pengendalian lingkungan pada
perkebunan kelapa sawit didefinisikan pada Peraturan Menteri Pertanian No 19 Tahun
2011, yang selanjutnya direvisi dalam Peraturan Menteri Pertanian No 11 Tahun 2015
tentang Indonesia Sustainable palm Oil (ISPO). Dalam peraturan tersebut, pembatasan atau
minimalisasi kerusakan lingkungan diantaranya adalah kepatuhan terhadap Kepres No 32
Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang tidak memperbolehkan adanya
perubahan dan kewajiban perlindungan pada ekosistem rentan. Diantaranya adalah
gambut dengan kedalaman ≥ 3 meter, daerah resapan air, sempadan sungai, sempadan
danau dan sempadan pantai, dan masih panjang lagi daftarnya. Tidak berhenti disitu,
perusahaan juga diwajibkan membuat assessment atas keanekaragaman hayati kawasan
sebelum ditanam dan monitoring berkala saat kebun beroperasi. Assessment ini pada
dasarnya merujuk pada UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya dan aturan pelaksana di bawahnya, dimana bila dijumpai flora-
fauna, khususnya berstatus dilindungi atau berstatus konservasi tinggi, maka harus ada
perlakuan lanjutan untuk memastikan kelestariannya. Perusahaan juga masih harus
bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkan. Aturan acuannya adalah UU No 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tentu saja beserta aturan
pelaksana di bawahnya. Kewajiban lainnya juga terselesaikannya batas yang jelas wilayah
operasi, yang kemudian menelurkan Hak Guna Usaha (HGU) kebun. Tanggung jawab
corporate social responsibility (CSR), pengalokasian 20% dari ijin usaha yang diperoleh
untuk kemitraan/plasma, zero burning, aturan ketenagakerjaan, pengupahan dan masih
banyak lainnya. Tidak selesai di atas juga, pertanyaan berikutnya adalah, seberapa efektif
aturan perundangan dijalankan pada skala tapak? Banyak hal terkait yang harus dipenuhi
sehingga perkebunan kelapa sawit bukanlah sebuah proses produksi atau entitas, tunggal.
Dengan demikian, menjadi fair melihat industri perkebunan kelapa sawit dari sudut
pandang lain, aset pembangunan. Sebagai konsekwensi pertumbuhan populasi manusia,
naiknya permintaan atas barang atau bahan mentah. Tentu sudut pandang ini akan
berbeda secara konsep dan implementasi. Bahwa dalam setiap pembangunan, kebutuhan
akan lahan adalah keniscayaan. Termasuk juga dalam pertumbuhan industri perkebunan
kelapa sawit, dengan produk akhirnya Crude Palm Oil (CPO). Setelah memasuki era
industri, kebutuhan lahan untuk perkebunan kelapa sawit meningkat tajam. Mungkin
hingga beberapa tahun mendatang, sebelum akhirnya produksi CPO melebihi permintaan,
harga menurun, dan industri CPO tidak lagi menguntungkan. Atau ditemukannya industri
sejenis lain, yang lebih kompetitif. Kalau sekedar moratorium, apalagi pada hutan primer,
sepertinya kurang efektif implementasinya pada jangka panjang. terlalu banyak celah bisa
digunakan untuk mengesahkannya. Nah, sebelum ditemukan bahan yang lebih murah dari
CPO sebagai minyak goreng dan katalis belasan produk rumah tangga, maka
menguntungkan tidaknya industri CPO, juga ditentukan harganya oleh para broker di
Eropa sana. Jadi tidak heran, produsen pasta gigi, sabun mandi, kosmetik, hingga biodisel,
masih juga menggunakan minyak sawit sebagai salah satu bahan dasar produksinya. Dan
kita sebagai konsumen akhir produk mereka, masih bisa membelinya. Apakah tidak ada
substitusi produk lainnya yang lebih murah.? Mungkin ada. Mungkin. Kalau sekedar
minyak goreng, maka banyak pilihan lain; minyak kelapa, zaitun, jagung, bunga matahari,
dan sebagainya. Bagaimana pengelolaan pada skala tapak terhadap berbagai industri
minyak goreng di atas? Kalau sudah dalam skala industri, kemungkinan besar bernasib
sama dengan kelapa sawit, atau malah lebih parah. Namanya juga industri, di Indonesia
lagi. Di internet banyak bertebaran tulisan pembanding antara industri kelapa sawit
dengan berbagai industri minyak atau kelapa lainnya; financially, ecologically,politically,
and so on.... Hanya butuh kemauan dan kuota internet untuk mengetahui lebih lanjut
bagaimana industri ini dijalankan. Kembali lagi ke konteks awal, benarkah deforestasi
menjadi perkebunan kelapa sawit merusak lingkungan..?? Masih menjadi polemik, ada
yang pro, ada juga yang kontra. Opini yang pro seringkali berdasarkan pada kenyataan
berkurang atau hilang atau punahnya keanekaragaman hayati (seringkali spesies kunci
seperti orangutan, gajah atau harimau, dll), menurunnya fungsi hutan sebagai penyerap
polutan di atmosfir sebagai pemicu pemanasan global, menurunnya fungsi dan volume
daerah tangkapan air, berubahnya iklim mikro kawasan setempat lebih panas, penurunan
kualitas tanah karena penggunaan pupuk kimia pemicu produksi buah dan herbisida,
hingga munculnya berbagai macam konflik tanah, konflik sosial dan budaya. Argumentasi
tersebut tidak dapat dipungkiri, meskipun dengan kenyataan luas perkebunan kelapa sawit
yang memicu perubahan tutupan lahan, tidak mencapai 50% (lihat data global forest
watch). Dari kacamata di atas, deforestasi memang menimbulkan dampak terhadap
lingkungan alam, sosial, budaya dan ekonomi asli setempat. Kembali pada kacamata
pembangunan, yang mengusung argumentasi kontra, peningkatan kesejahteraan,
optimalisasi ekonomi lahan, tumbuhnya sumber ekonomi baru, munculnya infrastruktur
dan fasilitas sosial, meningkatnya pendidikan, terbukanya akses informasi dan
pengetahuan, devisa negara, pendapatan asli daerah hingga pemerataan pembangunan,
menjadi alasan utama konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, dibenarkan.
Dalam konteks ini, pertumbuhan industri kelapa sawit, adalah pemicu pembangunan di
daerah. Hitungan matematis untung/rugi atas kedua argumentasi yang pro maupun yang
kontra menjadi sangat debatable, panjang, dan sejujurnya, melelahkan. Lalu, dimanakah
sebenarnya asal muasal perdebatan itu muncul..?? Sebagian berargumentasi pada
kenyataan disahkannya undang-undang otonomi daerah, yang membuka peluang
pertumbuhan ekonomi dari daerah setinggi-tingginya sesuai potensi setempat. Dengan
demikian, maka kepala daerah memiliki wewenang luas untuk mengatur atau merubah
kawasannya, termasuk kawasan berhutan (bukan kawasan hutan), menjadi berbagai
peruntukan; infrastruktur, pemukiman, industri, pelabuhan, tambang, atau perkebunan
kelapa sawit yang hingga sekarang tidak dikategorikan sebagai tanaman kehutanan. Pada
sudut pandang ini, pertanyaannya adalah, bagaimana proses dan justifikasi penyusunan
RTRW-nya. Sebagian lain berargumentasi, deforestasi sebenarnya dimulai saat
ditetapkannya pelepasan kawasan hutan, dilanjutkan dengan disetujuinya RTRW propinsi
dan Kabupaten, yang pada akhirnya memunculkan status lahan Area Penggunaan Lain
(APL). Dengan status APL, meskipun sebetulnya merupakan kawasan berhutan, bisa saja
dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, atau peruntukan lain seperti contoh di atas.
Dalam argumentasi ini, muncul lagi argumentasi kebijakan atas suatu kawasan tertentu.
Pada sudut pandang ini, pertanyaannya adalah bagaimana penilaian atas kawasan hutan
dilakukan sehingga layak dikonversi menjadi kawasan non hutan. Masih ada argumentasi
lain, yaitu saat terjadi lobi antara pengusaha dengan tokoh politik tentang investasi dan
keuntungan ekonomi. Pada kondisi ini, rumor lebih banyak berkembang. Hanya sedikit
orang yang memiliki kedekatan atau akses terhadap kekuasaan yang dapat mengetahuinya.
Tidak sedikit orang yang terjebak pada gosip bisnis dan politik dibanding kemampuan
membuktikannya. Ya, bisnis dan politik berada di wilayah remang-remang, sehingga sangat
memungkinkan munculnya berbagai macam interpretasi, memunculkan gosip dan rumor,
kadangkala malah fitnah. Ya apalagi bila bukan untuk menyerang lawan politiknya. Dilihat
dari sisi kebijakan dalam bentuk aturan perundangan, sebenarnya meskipun suatu
kawasan berhutan yang dikonversi untuk peruntukan lainnya, masih ada aturan
perundangan lain yang membatasi agar dampak atas lingkungan (alam, sosial, budaya,
ekonomi dsb.), diminimalisir. Seperti sudah ditulis di atas, sebut saja UU No 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, Kepres No 32 Tahun 1990
tentang Kawasan Lindung, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 18 Tahun
2004 tentang Perkebunan, UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan beberapa UU lain, belasan Peraturan Pemerintah,
puluhan Peraturan dan/atau Keputusan Menteri, Peraturan Daerah hingga peraturan desa
atau adat. Lalu, bagaimana dengan implementasinya..? Bagi yang tinggal atau berasal dari
Sumatera, Kalimantan, Sumawesi dan Papua, dampak yang ditimbulkan atas adanya
industri perkebunan kelapa sawit, sangat mudah dijumpai. Atas keduanya; dampak positif
dan dampak negatif sekaligus. Di daerah pelosok, sebelum masuk ke area perkebunan,
maka dapat dilihat muncul banyak sekali infrastruktur pembangunan. Paling mudah
dijumpai adalah jalan dan jembatan yang menghubungkan desa dan kecamatan, beserta
sarana transportasinya. Begitu pula listrik yang sebenarnya menjadi tanggung jawab PLN,
seringkali disuplai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sekolah, perdagangan, jasa-
jasa, sampai dengan pusat hiburan muncul di sekitarnya. Banyak yang dipersyaratkan
bersamaan dengan pembangunan kebun, ada pula yang muncul sesudah perkebunan
beroperasi. Pada saat yang bersamaan, tinggal sebutkan aturan perundangan yang relevan,
maka dengan mudah pula dijumpai pelanggaran. Dari pelanggaran sempadan
sungai/danau/mata air, limbah pabrik, konflik lahan, ketenagakerjaan, dan banyak lainnya.
Berbagai macam aturan dibuat untuk menjadi koridor menjalankan usaha atau penataan
ruang, termasuk salah satunya bertujuan meminimalisir dampak atas lingkungan, kawasan
hutan atau kawasan berhutan. Berbagai aturan sekaligus membatasi gerak bisnis dan
kebijakan politik di daerah agar tercapai kondisi seperti yang dikonsepsikan dalam 3 pilar
pembangunan berkelanjutan; lingkungan, sosial dan ekonomi. Dalam konteks pilar utama
penyusunnya, ketiganya saling bergantung satu sama lain. Namun sebagian pendapat
mengatakan, lingkungan menjadi pondasi utama karena pembangunan membutuhkan
sumber daya utama yang berasal dari lingkungan. Selain karena sifatnya yang irreversible,
juga mensyaratkan kondisi lingkungan optimal untuk generasi masa kini dan generasi
masa mendatang. Adapun pilar sosial mensyaratkan minimalisasi kerentanan sosial dan
hubungan yang adil atas sebuah proses pembangunan. Sedangkan pilar ekonomi
mensyaratkan adanya pertumbuhan optimal, dimana sumber daya finansial yang
dihasilkan digunakan untuk membiayai pembangunan, termasuk dampak sosial dan
lingkungan. Dari ketiganya, pilar pembangunan berjalan dalam segitiga pertumbuhan
optimal, bukan maksimal. Optimal menurut daya dukung sumber daya (lingkungan dan
sosial) dan optimal keuntungan diperoleh (ekonomi dan sosial).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mazbarkah/contradictory-kelapa-sawit-
deforestasi-dan-pembangunan-berkelanjutan_590ac2d51fafbdf2193a9e57

Anda mungkin juga menyukai