Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan suatu sindrom atau pola perilaku yang secara
klinis berhubungan dengan distress atau penderitaan serta menimbulkan
gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia. Fenomena
gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan,
setiap tahun di berbagai belahan dunia, jumlah penderita gangguan jiwa terus
bertambah. Berdasarkan data dari WHO, ada sekitar 450 juta orang di dunia
mengalami gangguan jiwa. WHO menyatakan, setidaknya ada satu dari empat
orang di dunia telah mengalami masalah mental, serta masalah gangguan
kesehatan jiwa yang ada di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat
serius (Yosep, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian, prevalensi masalah kesehatan jiwa di
Indonesia sebesar 6,55%. Angka tersebut tergolong sedang dibandingkan
Negara lainnya. Data dari 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang ada di Indonesia,
menyebutkan hingga kini jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5
juta orang. Penderita gangguan jiwa berat dengan usia di atas 15 tahun di
Indonesia mencapai 0,46%, sedangkan pada tahun 2013 jumlah penderita
gangguan jiwa mencapai 1,7 juta (Yosep, 2013).
Prevalensi gangguan jiwa berat atau istilah dalam medis dikenal dengan
skizofrenia, di daerah pedesaan ternyata lebih tinggi disbanding daerah
perkotaan. Di daerah pedesaan, proporsi rumah tangga dengan minimal salah
satu anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat dan pernah
dipasung mencapai 18,2%. Sementara di daerah perkotaan gangguan jiwa
proporsinya hanya mencapai 10,7% (Yosep, 2013)
Fenomena yang terjadi saat ini, jika ada seorang anggota keluarga yang
dinyatakan sakit jiwa, maka anggota keluarga lain dan masyarakat pasti akan
menyarankan untuk dibawa ke RS Jiwa atau psikolog, dan lebih parahnya lagi
orang sakit jiwa tersebut diasingkan atau dipasung supaya tidak menjadi aib
bagi keluarga. Tindakan memasung ini akan berdampak buruk pada pasien,
selain itu nantinya akan sulit untuk sembuh dan dapat mengalami
kekambuhan yang sangat sering (Keliat, 2013).
Hal ini perlu adanya dukungan dari keluarga dalam proses penyembuhan.
Peran serta keterlibatan keluarga dalam proses penyembuhan dan perawatan
bagi pasien gangguan jiwa sangatlah penting, karena peran keluarga sangat
mendukung dalam proses pemulihan pasien gangguan jiwa. Keluarga dapat
memengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, dan perilaku anggota keluarga. Di
samping itu, keluarga mempunyai fungsi dasar seperti memberi kasih saying,
rasa aman, rasa memiliki, dan menyiapkan peran dewasa individu di
masyarakat. Keluarga merupakan suatu sistem, maka jika terdapat gangguan
jiwa pada salah satu anggota keluarga, dapat menyebabkan gangguan pada
anggota kelurga lainnya (Keliat, 2011)
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah “Bagaimana Manajemen Pelayanan Keperawatan
Jiwa Professional Klinik dan Komunitas?”.

1.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mendeskripsikan manajemen pelayanan keperawatan jiwa
professional klinik dan komunitas.
b. Tujuan Khusus
1) Untuk mendeskripsikan pengertian kesehatan jiwa masyarakat.
2) Untuk mendeskripsikan peningkatan kesehatan jiwa masyarakat.
3) Untuk mendeskripsikan area keperawatan kesehatan jiwa di
masyarakat.
4) Untuk mendeskripsikan masalah kesehatan jiwa di masyarakat.
5) Untuk mendeskripsikan upaya kesehatan jiwa di masyarakat.
6) Untuk mendeskripsikan keperawatan kesehatan jiwa masyarakat.
7) Untuk mendeskripsikan proses keperawatan kesehatan jiwa pada
cmhn (pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi).
2.4. Masalah Kesehatan Jiwa di Masyarakat
Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di
perkotaan (urban mental health) meliputi: kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), kasus perceraian, anak remaja putus sekolah, kasus kriminalitas
anak remaja, masalah anak jalanan, promiskuitas, penyalahgunaan Napza dan
dampaknya (hepatitis C, HIV/AIDS dan lain-lain), gelandangan psikotik serta
kasus bunuh diri.
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan dalam rumah tangga adalah tiap perbuatan terhadap seseorang
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual,
psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (definisi dalam UU No.23
tahun 2004 tentang penghapusan KDRT). Dampak kekerasan dalam rumah
tangga meliputi gangguan kesehatan fisik non-reproduksi (luka fisik,
kecacatan), gangguan kesehatan reproduksi (penularan penyakit menular
seksual, kehamilan yang tidak dikehendaki), gangguan kesehatan jiwa
(trauma mental), kematian atau bunuh diri.

2. Anak Putus Sekolah


Laporan Organisai Buruh Internasional (ILO) tahun 2005 menyatakan
bahwa sebanyak 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia tidak bersekolah
dan sebagainya menjadi “pekerja anak” perwakilan ILO di Indonesia
menyatakan bahwa banyaknya anak putus sekolah dan menjadi pekerja
anak disebabkan karena biaya pendidikan di Indonesia masih dianggap
terlalu mahal dan tak terjangkau oleh sebagian kalangan masyarakat.
Angka partisipasi kasar (APK) program wajib belajar 9 tahun yang dirilis
Depdiknas menunjukan baru mencapai 88,68% dari target 95% partisipasi
anak usia sekolah yang diharapkan.

3. Masalah Anak Jalanan


Masalah anak jalan di Indonesia seperti kekerasan pada anak, masalah
anak jalanan, penelantaran anak dan sebagainya masih cukup tinggi.
Berdasarkan data dari Departemen Sosial tahun 2005, jumlah anak jalanan
di Indonesia adalah sekitar30.000 anak dan sebagian besarnya berada di
jalan-jalan di DKI Jakarta. Selain itu baru terdapat 12 daerah di Indonesia
yang memiliki perda tentang anak jalanan. Padahal para anak-anak jalanan
tersebut jelas rentan terhadap berbagai tindak kekerasan, penyimpangan
perlakuan, pelecehan seksual bahkan dilibatkan dalam berbagai tindak
kriminal oleh orang dewasa yang menguasainya.

4. Kasus Kriminalitas Anak Remaja


Data Direktorat Jenderal Kemasyarakatan Dephukham dan komnas
pelindungan anak (PA) menujukan bahwa pada tahun 2005 di Indonesia
terdapat 2.179 tahanan anak dan 802 narapidana anak, 7 diantaranya anak
perempuan. Tahun 2006 angkanya menjadi 4.130 tahanan anak serta 1.325
narapidana anak, dimana 34 diantaranya adalah anak perempuan. Menurut
survey Komnas PA penyebab anak masuk LP Anak adalah 40% karena
terlibat kasus Narkoba (Napza), 20% karena perjudian sedangkan sisanya
karena kasus lain-lain. Kira-kira 20% tindak kekerasan seksual pada tahun
2006 pelakunya adalah anak remaja, 72% anak remaja pelaku kekerasan
seksual mengaku terinspirasi Tayangan TV, setelah membaca media cetak
porno dan nonton film porno.

5. Masalah Narkoba, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza)


serta dampaknya (Hepatitis C, HIV/AIDS, dan lain-lain)
Narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) tergolong
dalam zat psikoaktif yang bekerja mempengaruhi kerja sistem penghantar
sinyal saraf (neurotransmiter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) sehingga
meyebabkan terganggunya fungsi kognitif (pikiran), persepsi, daya nilai
(judgment) dan perilaku serta dapat menyebabkan efek ketergantungan,
baik fisik maupun psikis. Penyalahgunaan Napza di Indonesia sekarang
sudah merupakan ancaman yang serius bagi kehidupan bangsa dan negara.
Pengungkapan kasusnya di Indonesia meningkat rata-rata 28,9 % per
tahun. Tahun 2005 pabrik extasi terbesar ke 3 di dunia terbongkar di
Tangerang, Banten. Di Indonesia diprediksi terdapat sekitar 1.365.000
penyalahgunaan Napza aktif dan data perkiraan estimasi terakhir
menyebutkan bahwa pengguna Napza di Indonesia mencapai 5.000.000
jiwa.

6. Gangguan Psikotik dan Gangguan Jiwa Skizofrenia


Ganguan jiwa berat ini merupakan bentuk gangguan dalam fungsi alam
pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran yang ditandai
antara lain oleh gejala gangguan pemahaman (delusi waham) gangguan
persepsi berupa halusinasi atau ilusi serta dijumpai daya nilai realitas yan
terganggu yang ditunjukan dengan perilaku-perilaku aneh (bizzare).
Gangguan ini dijumpai rata-rata 1-2% dari jumlah seluruh penduduk di
suatu wilayah pada setiap waktu dan terbanyak mulai timbul (onset) nya
pada usia 15-35 tahun. Bila angkanya 1 dari 1.000 penduduk saja yang
menderita gangguan tersebut, di Indonesia bisa mencapai 200-250 ribu
orang penderita dari jumlah tersebut bila 10% nya memerlukan rawat inap
di rumah sakit jiwa berarti dibutuhkan setidaknya 20-25 ribu tempat tidur
(hospital bed). Rumah sakit jiwa yang ada saat ini hanya cukup merawat
penderita gangguan jiwa tidak lebih dari 8.000 orang. Jadi perlu dilakukan
upaya diantaranya porgram intervensi dan terapi yang implentasinya
bukan di rumah sakit tetapi dilingkungan masyarakat (community based
psyciatric services) penambahan jumlah rumah sakit jiwa bukan lagi
merupakan prioritas utama karena paradigma saat ini adalah
pengembangan program kesehatan jiwa masyarakat
(deinstitutionalization). Terlebih saat ini telah banyak ditemukan obat-
obatan psikofarmaka yang efektif yang mampu mengendalikan gejala
gangguan penderitanya. Artinya dengan pemberian obat yang tepat dan
memadai penderita gangguan jiwa berat cukup berobat jalan.
7. Kasus Bunuh Diri
Data WHO menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 800.000 orang di seluruh
dunia melakukan tindakan bunuh diri setiap tahunnya. Laporan di India
dan Sri Langka menunjukkan angka sebesar 11-37 per 100 ribu orang,
mungkin di Indonesia angkanya tidak jauh dari itu. Menurut Dr. Benedetto
Saraceno dari departemen kesehatan jiwa WHO, lebih dari 90% kasus
bunuh diri berhubungan dengan masalah gangguan jiwa seperti depresi,
psikotik dan akibat ketergantungan zat (Napza). Yang mengkhawatirkan
adalah dijumpainya pergeseran usia orang yang melakukan tindak bunuh
diri. Kalau dahulu sangat jarang anak yang usianya kurang dari 12 tahun
melakukan tindak bunuh diri, tetapi sekarang bunuh diri pada anak usia
kurang dari 12 tahun semakin sering ditemukan. Ini menunjukkan
kegagalan orang tua di rumah, guru di sekolah dan tokoh panutan di
masyarakat membekali keterampilan hidup (life skill) untuk mengatasi
tantangan maupun kesulitan hidupnya. Kasus bunuh diri sudah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang serius terutama bila dikaitkan dengan
dampak kehidupan moderen. Oleh karena itu WHO memandang bunuh
diri sebagai peyebab utama kematian dini yang dapat dicegah. Kondisi lain
yang perlu mendapat perhatian adalah altruistic suicide atau bunuh diri
karena loyalitas berlebihan yang antara lain bentuk “bom bunuh diri”.
Banyak ahli mengaitkan hal tersebut sebagi manifestasi dari akumulasi
kekecewaan, perlakuan tidak adil atau tersisihkan. Mengatasi altruistic
suicide tidak mudah dan memerlukan pendekatan multi disiplin antara
berbagai pihak terkait seperti aspek kesehatan jiwa, pendekatan agama,
penegakan hukum dan sosial.
BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan

3.2. Saran
Sehubungan dengan trend masalah kesehatan dan pelayanan kesehatan
jiwa secara global, maka fokus pelayanan keperawatan jiwa sudah saatnya
berbasis pada komunitas (Community Based Cared) yang memberikan
penekanan pada upaya preventif dan promotif. Dengan adanya makalah ini,
diharapkan dapat memahami tentang manajemen pelayanan keperawatan jiwa
professional dan klinik, sehingga mampu dalam memberikan asuhan
keperawatan yang tepat pada klien dengan gangguan jiwa di masyarakat
maupun komunitas. Tentunya dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
kesalahan, sehingga kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
untuk pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, B.A., Akemat, Helena, N.C.D., dan Nurhaeni, H. (2011). Keperawatan
Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Courese). Jakarta: EGC.
Stuart, G.W.T., Keliat B.A., Pasaribu J. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan
Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi Indonesia 10. Mosby: Elsevier (Singapore)
Pte Ltd
Suliswati, (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Yosep, Iyus. (2013). Keperawatan Jiwa. Jakarta: PT. Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai