Anda di halaman 1dari 14

KELAINAN KELENJAR SALIVA

Menurut Regezi, jenis-jenis kelainan saliva


dikelompokkan sebagai berikut

A. REACTIVE LESIONS: 2. Basal Cell Adenoma


3. Canalicular Adenoma
1. Mucocele
4. Myoepithelioma
2. Ranula
5. Oncocytic Tumors
3. Mucus Retention Cyst
6. Sebaceous Adenoma
(Obstructive Sialadenitis)
7. Ductal Papilloma
4. Maxillary Sinus Retention
Cyst/Pseudocyst D. MALIGNANT NEOPLASMS
5. Necrotizing Sialometaplasia
1. Mucoepidermoid Carcinoma
6. Adenomatoid Hyperplasia
2. Polymorphous Low-Grade
B. INFECTIOUS SIALADENITIS: Adenocarcinoma
3. Adenoid Cystic Carcinoma
1. Mumps
4. Clear Cell Carcinoma
2. Cytomegaloviral Sialadenitis
5. Acinic Cell Carcinoma
3. Bacterial Sialadenitis
6. Adenocarcinoma Not
4. Sarcoidosis
Otherwise Specified
5. Metabolic Conditions
6. Sjögren’s Syndrome E. RARE TUMORS
7. Salivary Lymphoepithelial
1. Carcinoma Ex-Mixed
Lesion
Tumor/Malignant Mixed
8. Scleroderma
Tumor/ Metastasizing Mixed
9. Xerostomia
Tumor
10. Taste Disturbances
2. Epimyoepithelial Carcinoma
11. Halitosis
3. Salivary Duct Carcinoma
C. BENIGN NEOPLASMS: 4. Basal Cell Adenocarcinoma
5. Squamous Cell Carcinoma
1. Mixed Tumor (Pleomorphic
Adenoma)
A. REACTIVE LESIONS:
1. MUCOCELE (Mucus Extravasation Phenomenon; Mucus Escape Reaction)
a. Etiologi dan Patogenesis
Mucocele atau mucus extravasasion phenomenon adalah suatu lesi
oral yang terbentuk karena adanya trauma lokal pada duktus kelenjar
saliva, sehingga mukus terekstravasasi ke dalam jaringan ikat di
sekitarnya. Selanjutnya, terjadi reaksi inflamasi ditandai dengan
berkumpulnya neutrofil dan makrofag di area tersebut. Jaringan granulasi
membentuk dinding di sekitar mukus, dan kelenjar saliva mengalami
perubahan karena reaksi inflamasi. Akhirnya, terbentuklah jaringan parut
di sekitar kelenjar saliva.
Gambar.

Kiri : Mucus Extravasation phenomenon. Terlihat adanya mucin di


submucosa
Kanan : Mucus retention cyst. Terlihat adanya mucin di tertahan di
duktus ekskretori karena terhalang oleh
adanya sialolith.

b. Gambaran Klinis
Sering terjadi di bibir bawah, tapi juga
bisa terjadi di mukosa bukal, permukaan
lidah bagian anterior-ventral, dasar mulut,
dan area retromolar. Biasanya berbentuk
massa yang tidak nyeri dengan permukaan
halus dan ukuran yang bervariasi mulai dari diameter beberapa mm
hingga 2 cm. Lesi berwarna biru dan letaknya superfisial. Lebih sering
terjadi di anak – anak dan remaja daripada dewasa. Apabila mucin terus di
produksi, dapat terjadi rekurensi. Ukuran maksimal dari lesi akan
terbentuk beberapa hari setelah trauma terjadi, apabila di lakukan aspirasi
akan ditemukan material yang kental.
Mucocele superfisial merupakan lesi variasi dari klasifikasi ini. Namun
etiologi mucocele ini disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan di
bagian terluar duktus eskretori. Lesi ini asimptomatik, banyak, dan sering
terbentuk di area retromolar, palatum mollae, dan mukosa bukal posterior.

c. Histopatologi
Ekstravasasi mukus menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi
dengan proses penyembuhan jaringan ikat. Terlihat adanya neutrofil,
makrofag dan jaringan granulasi disekitar mucin pool. Kelenjar saliva
minor yang terlibat tampak mengalami dilatasi duktus, inflamasi kronik,
degenerasi sel asini, dan fibrosis interstitial .

d. Diagnosis Banding
Walaupun riwayat trauma akan menyebabkan masa menjadi
berwana biru translusen di bawah bibir sebagai tanda adanya ekstravasasi
mukus, namun lesi lain yang serupa ada juga seperti neoplasma kelenjar
saliva (khususnya mucoepidermoid carcinoma), vascular malformation,
venous varix, dan neoplasma jaringan lunak seperti neurofibroma atau
lipoma. Mucocele jarang terjadi pada mukosa alveolar gingiva, apabila
terjadi maka diagnosis bandingnya adalah kista erupsi atau kista gingiva.

e. Tata laksana
Aspirasi cairan saja tidak cukup, penatalaksanaan mucocele yang
tepat adalah dengan eksisi, lebih baik lagi bila kelenjar minor yang
berdekatan dengan lesi dihilangkan (untuk mencegah lesi rekuren).
Superficial Mucocele tidak membutuhkan perawatan karena dapat pecah
dengan sendirinya dan durasinya singkat.
2. MUCUS RETENTION CYST (Obstructive Sialadenitis)
a. Etiologi dan Patogenesis
Mucus retention cysts terjadi karena
adanya obstruksi aliran saliva oleh stalolith.
Stalolith dapat ditemukan dimana saja pada
sistem duktus kelenjar saliva, mulai dari
kelenjar parenkim hingga orifis pada duktus
eksktretoris. Stalolith adalah pengendapan
garam kalsium (calcium carbonate dan
calcium phosphate) mengelilingi pusat
nidus dari celullar debris, mukus yang
kental, dan/atau bakteri. Faktor
predesposisinya diantaranya aliran saliva
tersumbat, sialadenitis kronik, dan gout
(radang sendi), periductal scar, dan impinging tumor.
b. Gambaran Klinis
Obstructive sialadenitis biasanya terjadi di kelenjar submandibula
(sekitar 80%) dan di kelenjar parotid (20%), jarang sekali terjadi di
kelenjar sublingual dan kelenjar minor (khususnya pada bibir atas). Biasa
terjadi pada orang dewasa.
Gejala utama kelainan ini adalah adanya pembengkakan yang
berulang dan nyeri yang semakin parah ketika makan. Bisa ditemukan
adanya infeksi. Mucin yang terdapat pada dasar mulut dapat berpenetrasi
ke otot diteruskan ke jaringan lunak pada leher dan menyebabkan plunging
ranula. Lesi kelenjar saliva minor biasanya bengkak asimptomatik dengan
ukurannya bervariasi dari 3-10mm dan fluktuatif. Mukosa tampak utuh
dan warnanya normal.

Secara radiografis, hampir 90% submandibular sialolith terlihat


radiopak sedangkan 90% calculi parotid terlihat radiolusen.

c. Histopatologi
Kavitas retensi mucus menyerupai kista dan di lapisi oleh epitel
duktus yang normal namun terkompresi. Sel epitel yang melapisi
bervariasi mulai dari pseudostratified hingga stratified squamose. Lumen
yang menyerupai kista berisi mucin yang terobstruksi akibat sialolith.
Jaringan ikat di sekitar lesi mengalami inflamasi yang minimal sementara
kelenjar yang bersangkutan mengalami perubahan akibat inflamasi
obstruksi.

d. Diagnosis Banding
Neoplasma kelenjar saliva, mucoceles, tumor jinak jaringan ikat,
kista dermoid (untuk lesi yang lokasinya di dasar mulut).
e. Tata Laksana
Untuk kelenjar saliva minor, perawatannya berupa penghilangan
mucus retention cyst dan kelenjar yang terkait untuk menghindari
terjadinya mucocele kembali. Lesi pada kelenjar mayor juga sama
prosedurnya, bila siaolith berada pada cekungan duktus kelenjar. Bila
sialolith berada pada bagian distal dari sistem duktus, maka sialolith dapat
dihilangkan dengan pembedahan melalui orifis duktus. Bila duktus
dibedah, harus menggunakan special precaution (marsupialisasi/cannula)
untuk melancarkan proses penyembuhan sehingga tidak terbentuk jaringan
parut.
3. MAXILLARY SINUS RETENTION CYST/ PSEUDOCYST
a. Etiologi dan Patogenesis
Retention cyst disebabkan oleh terblokirnya kelenjar antral
seromukosa menghasilkan duktus yang terlapisi epitelium dengan struktur
kista, berisi mucin. Sementara itu pseudocyst disebabkan oleh akumulasi
cairan di membran sinus akibat alergi atau infeksi. Toksik dari bakteri,
anoxia, dan faktor lainnya menyebabkan perembesan protein ke jaringan
lunak di sekitarnya. Hal ini membuat tekanan osmotic ekstravaskuler
meningkat kemudan cairan juga meningkat.

b. Gambaran Klinis
Sebagian besar lesi ini asimptomatik. Mungkin bisa teraba kelunakan
di area muccobucal fold bahkan bisa terasa ketika di palpasi pada bagian
bukal, namun jarang. Gambaran radiografnya memperlihatkan lesi yang
hemisfer, opaque homogen, dan tergambarkan dengan jelas. Lesi biasanya
berada di dasar antrum dan mungkin bilateral.
c. Histopatologi
Pada retention cyst, batas tepinya dikelilingin oleh pseudostratified
columnar epithelium, sedangkan pada pseudocyst tidak ditemukan sel-sel
epitel pada tepi-tepi lesinya, melainkan dikelilingi oleh jaringan ikat yang
terkompresi. Terlihat juga gambaran inflamasi campuran dengan adanya
dinding jaringan granulasi, mucus yang berisi makrofag dan genangan
mucin.
d. Diagnosis Banding
Polip inflamatori, hyperplasia lapisan sinus akibat infeksi odontogenik,
sinusitis, dan neoplasma pada jaringan lunak lapisan antral

e. Tata Laksana
Kista Antral Retention dan Pseudocyst biasanya tidak dilakukan
perawatan apapun karena secara spontan lesi ini akan pecah dan hilang
perlahan-lahan sehingga hanya dibutuhkan observasi secara periodik.

4. NECROTIZING SIIALOMETAPLASIA
a. Etiologi dan Patogenesis
Necrotizing sialometaplasia
adalah kondisi jinak yang terjadi pada
palatum yang disebabkan oleh iskemia
kelenjar saliva karena trauma lokalis,
manipulasi pembedahan, atau anestesi lokal. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya nekrosis pada jaringan.
b. Gambaran Klinis
Lesi ini tampak secara spontan di
palatum durum ataupun mollae. Pada
awal kemunculannya, lesi ini bengkak
lunak dan terdapat eritema di mukosa
yang melapisinya. Kemudian mukosa
tersebut akan rusak sehingga terbentul
ulser yang dalam dengan warna kuning
keabuan, dasar berlobular, berdiameter 1 – 3 cm. Lesi bisa terjadi
unilateral ataupun bilateral. Gejala yang timbul hanya nyeri ringan. Lesi
akan sembuh dalam waktu 6 – 10 minggu.
c. Histopatologi
Submucosa yang berdekatan dengan ulser memperlihatkan asdanya
nekrosis kelenjar saliva dan metaplasia epitel duktus yang sering salah
diinterpretasikan sebagai sel squamous karsinoma. Ketika metaplasia ini
terlihat di sisa kelenjar saliva yang masih berfungsi, dapat disalah
interpretasikan sebagai mukoepidermoid karsinoma

d. Diagnosis Banding
Gumma sifilis dan infeksi fungal karena lesinya sama – sama terletak
di palatum. Untuk menentukan diagnosis defenitifnya diperlukan
pemeriksaan serologi, biopsy, dan kultur. DD lainnya adalah subacute
necrotizing sialadenitis yang memiliki karakteristik sama dengan
necrotizing sialometaplasia, namun yang membedakan adalah tidak
adanya ulser atau komponen metaplasia dan pertumbuhannya terbatas.
e. Tata Laksana
Kondisi ini merupakan lesi jinak dan self-limiting, sehingga tidak
dibutuhkan intervensi bedah. Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biopsi. Proses penyembuhan berlangsung selama beberapa
minggu. Langkah yang dapat ditempuh antara lain adalah irigasi lesi
menggunakan obat kumur campuran air dan baking soda dan dapat
menggunakan obat analgesik bila dibutuhkan.
5. Adenomatoid Hyperplasia
a. Etiologi dan Patogenesis
Adenomatoid hyperplasia adalah pembengkakan kelenjar saliva
minor pada palatum durum. Penyebabnya masih belum diketahui, namun
trauma dapat berperan menyebabkan lesi ini.
b. Gejala Klinis
Lebih sering terjadi pada pria dengan rentang umur 24 – 63 tahun.
Gejala klinisnya terlihat adanya bengkak unilateral pada palatum durum
atau mollae. Lesi meluas, asimptomatik, mukosanya utuh dan tidak
berubah warna.
c. Histopatologi
Terlihat adanya lobul mukosa hiperplastik kelenjar saliva yang meluas
ke submucosa lalu ke lamina propia. Kelompok – kelompok asini terlihat
lebih besar dan banyak. Duktus terlihat lebih menonjol. Kondisi sitologi
dan morfologi duktus dan sel asini masih terlihat dalam batas normal.
Tidak ditemukan adanya sel inflamasi.
d. Diagnosis Banding
Tumor kelenjar saliva, lymphoma, perluasan penyakit sinonasal
atau nasofaringeal ke rongga mulut.
e. Tata Laksana
Bersifat jinak dan tidak perlu perawatan tertentu karena akan
sembuh dengan alami, hanya dibutuhkan pemeriksaan biopsy untuk
menegakkan diagnosis.

B. INFECTIOUS SIALADENITIS
Sialadenitis adalah infeksi bakteri dari glandula salivatorius, biasanya
disebabkan oleh batu yang menghalangi atau hyposecretion kelenjar. Proses inflamasi
yang melibatkan kelenjar ludah disebabkan oleh banyak faktor etiologi. Proses ini
dapat bersifat akut dan dapat menyebabkan pembentukan abses terutama sebagai
akibat infeksi bakteri. Keterlibatannya dapat bersifat  unilateral atau bilateral seperti
pada infeksi virus. Sedangkan Sialadenitis kronis nonspesifik merupakan akibat dari
obstruksi duktus karena sialolithiasis atau radiasi eksternal atau mungkin
spesifik,yang  disebabkan dari berbagai agen menular dan gangguan imunologi.
1. MUMPS
Merupakan infeksi yang sering menyerang kelenjar parotid. Seblum adanya
imunisasi, infeksi ini sangat sering terjadi. Mumps yang terjadi dalam bentuk non-
infeksi disebut dengan iodide mumps. Iodide mumps terlihat kontras seperti massa
yang mengandung iodide apabila dilihat dari gambaran radiograf. Kondisi ini
benign dan terbatas, bisa terjadi rekurensi apabila terekspos lagi dengan material
iodinate.
a. Etiologi dan Patogenesis
Infeksi disebabkan oleh Paramyxovirus. Masa intubasinya 2 – 3 minggu
kemudian dilanjutkan dengan munculnya gejala. Infeksi dapat ditransmisikan
melalui droplet saliva dan kontak langsung.
b. Gambaran Klinis
Gejalanya berupa demam, malaise, sakit kepala, nyeri preauricular.
70% kejadiannya bilateral, bengkak asimetris, dan akan mencapai ukuran
maksimumnya dalam waktu 2 – 3 hari dan akan menyusut setelah 10 hari.
Kadang terasa nyeri saat membuka dan menutup rahang ketika berbicara dan
makan. Duktus stensen bisa menutup sebagian akibat pembengkakan kelenjar.
Akan terjadi nyeri hebat ketika distimulasi dengan makanan atau minuman.
Mumps sering terjadi pada anak – anak dan remaja serta dapat memberikan
efek terhadap SSP, pancreas, liver, dan ginjal.
c. Tata Laksana
Penanganannya simptomatik, termasuk bed rest. Pada beberapa kasus
yang parah pasien dapat diberikan kortikosteroid dan analgesik. Penyakit ini
dapat dicegah dengan menggunakan vaksin.
2. CYTOMEGALOVIRAL SIALADENITIS
Kelainan ini merupakan kondisi langka yang mempengaruhi bayi baru lahir,
infeksi ini menyebar melalui transplasental. Bila menyerang orang dewasa yang
imunosupresan, maka infeksi ini akan men Kelainan sistemik dapat menyebabkan
kelemahan, keterlambatan perkembangan, dan kelahiran dini. Apabila mengenai
orang dewasa yang imunosupresif (HIV / riwayat transplantasi organ), infeksi
dapat menyebabkan demam, pembesaran kelenjar saliva, hepatosplenomegali,
pneumonitis, limfositosis, dan retinitis sebagai komplikasi. CMV bisa dideteksi
dengan biopsy jaringan yang terdapat pada lesi (oral apthous / ulser / dll). Pasien
dewasa yang imunokompeten juga bisa terinfeksi. Biasanya asimptomatik atau
gejala ringan seperti demam dan malaise.
3. BACTERIAL SIALADENITIS
a. Etiologi dan Patogenesis
Infeksi bakteri pada kelenjar saliva secara umum disebabkan oleh
pertumbuhan berlebih mikroba yang dipicu oleh reduksi aliran saliva karena
dehidrasi, postoperative states, tubuh lemah, penggunaan beberapa jenis obat
juga dapat menurunkan laju alir saliva sehingga mempengaruhi kelenjar saliva
mayor, terutama kelenjar parotid (parotitis), dan trauma atau penyebaran
infeksi hematogenus dari bagian tubuh lain. Penyakit ini biasanya umum
terjadi sebagai komplikasi postoperative setelah pembedahan karena adanya
hidrasi yang inadekuat. Submandibular sialadenitis jarang terjadi dibanding
parotid karena pada kelenjar submandibula salivanya kental dan memiliki
kemampuan bakterisidal yang tinggi sehingga bakteri lebih mudah menginvasi
ke kelenjar parotid yang salivanya lebih seros dan kekentalannya rendah.
Bakteri aerob yang terdapat pada infeksi ini antara lain Staphylococcus
aureus, Streptococcus viridans, Streptococcuss pneumoniae, Eschericia coli,
dan Haemophilus influenza sedangkan bakteri anaerob yang kadang
ditemukan adalah Porphyromonas gingivalis.
b. Gambaran Klinis
Gejala dari parotitis akut berupa pembengkakan dan nyeri pada fasial
bagian lateral, demam, lemas, dan sakit kepala. Kelenjar yang bersangkutan
akan terasa sangat lunak. Bisa terjadi trismus dan bisa juga ditemukan purulen
yang keluar dari orifis duktus ketika ditekan. Apabila infeksi tidak segera
diatasi, pus dapat menyebar melewati wilayah kelenjar parotid. Pada
pemeriksaan laboratorium juga ditemukan naiknya jumlah neutrofil sebagai
tanda bahwa telah terjadi infeksi akut. Biasanya pasien ditemukan mengalami
trismus, kelenjar saliva yang terinfeksi juga teraba lunak atau lembut, bila
ditekan atau palpasi maka bisa terdapat purulens pada orifis duktus.
c. Tata Laksana
Bacterial sialadenitis dapat ditangani dengan mengeliminasi organisme
kausatif dan dikombinasikan dengan rehidrasi pasien serta drainase purulens
(bila ada). Pemeriksaan kultur dan sensitifitas dari eksudat pada orifis duktus
dibutuhkan untuk perawatan menggunakan antibiotik.
Biopsi dan retrograde sialography harus dihindari, karena dapat
menyebabkan pembentukan sinus tract dan infeksi dapat menyebar dari
kelenjar ke sekitar jaringan lunak. Bila ditangani dengan segera dan tepat
maka akan mencegah terjadinya infeksi rekuren.
4. SARCOIDOSIS
a. Etiologi dan Patogenesis
Sarcoidosis adalah penyakit
multisistemik granulomatosa yang
sebabnya belum diketahui secara
spesifik, namun penyakit ini
merepresentasikan adanya infeksi
atau respon hipersensitifitas pada
tipe mikobakteria. Insiden
sarcoidosis dapat meningkat pada
pasien yang memiliki HLAs
(Human leokocyte antigen).

b. Gambaran Klinis
Penyakit ini dapat menyerang berbagai rentang usia. Sarcoidosis
biasanya bersifat jinak dan self-limiting. Keluhan pasien biasanya berupa
lethargy, lelah kronik, dan anoreksia. Pada oral mukosa ditemukan nodul-
nodul dan pembengkakan kelenjar saliva. Infeksi ini juga bermanifestasi pada
kulit pasien, biasanya terdapat skin plaques berwarna ungu gelap. Bila infeksi
ini sudah melibatkan okular dan disertai inflamasi pada uveal anterior tract
dan pembengkakan kelenjar saliva serta demam disebut dengan uveoparotid
fever atau Heerfordt’s syndrome. Bukan hanya kulit dan mata, penyakit ini
juga dapat melibatkan nodus limfe, liver, kulit, dan tulang.
Pemeriksaan yang dibutuhkan
antara lain pemeriksaa serum, studi
radiografis dan biopsi.
c. Histopatologi
Gambaran mikroskopis
menunjukan adanya granuloma
nonkaseosa yang berisi makrofag
epiteloid dan giant cell
multinukleus. Di sekitar granuloma
dapat terlihat infiltrasi limfositik.
Biopsi bibir dapat memperlihatkan
adanya keterlibatan sarcoid terhadap kelenjar saliva minor.

d. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari penyakit ini adalah tubercolosis, Crohn’s disease,
leprosy, cat-scratch disease, infeksi jamur (blastomycosis, coccidiodomycosis,
dan histoplasmosis) serta toxoplasmosis.
e. Tata Laksana
Tidak terdapat penanganan spesifik, pasien dapat diberikan
kortikosteroid atau immunomodulating agents.
5. METABOLIC CONDITIONS
Istilah yang digunakan untuk kelainan-kelainan metabolik yang dapat
menyebabkan pembesaran atau pembengkakkan kelenjar saliva adalah
sialadenosis atau sialosis. Kondisi ini biasanya memengaruhi kelenjar parotid
secara bilateral dan tidak disertai dengan tanda-tanda inflamasi.
Pembesaran kelenjar saliva dapat disebebkan oleh defisiensi protein, kronik
alcoholism, obesitas, diabetes melitus, hipertensi, bulimia, anoreksia, dan
hiperlipidemia.

Referensi:

Neville dan Regezi

Anda mungkin juga menyukai