Anda di halaman 1dari 50

ANALISIS FAKTOR KETIDAKSTABILAN

TEKANAN DARAH AWAK MOBIL TANKI TERHADAP


PENINGKATAN RISIKO KECELAKAAN KERJA
DI PT. PERTAMINA (PERSERO) TERMINAL BBM
GORONTALO GROUP

PRA PROPOSAL
Diajukan sebagai syarat mata kuliah Seminar Keselamatan Dan Kesehatan Kerja

OLEH :

HENOK SINGA
811416046

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penanganan bahan kimia harus dilakukan dengan tepat mulai proses

penyiapan bahan, pengolahan, penyimpanan dan pengangkutannya. Pengangkutan

memegang peranan penting dalam penanganan bahan kimia kerena menurut

Dirjen Perhubungan Darat (2004), hal tersebut dikarenakan dalam pengangkutan

bahan kimia terdapat dampak negatif yang bisa timbul dari interaksi fisik, kimia

dan mekanik antara bahan berbahaya dan beracun dengan manusia, kendaraan lain

maupun dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu klasifikasi bahan kimia yang

berbahaya adalah bahan bakar minyak (BBM) yang mana bahan tersebut

merupakan suatu senyawa yang dibutuhkan dalam suatu pembakaran dengan

tujuan untuk mendapatkan energi. Sifat dari bahan ini adalah mudah terbakar.

Namun bahan ini menjadi kebutuhan yang menunjang berbagai aktifitas seperti

berkendara dan industri, (Ibrahim, 2014).

Demi menciptakan proses penyaluran yang aman, maka dibutuhkan

kerjasama dan komitmen dari berbagai pihak, salah satunya adalah pengemudi

yang bertugas menyalurkan bahan bakar tersebut. Pengemudi memegang peranan

penting karena selama di jalan raya ia bertanggung jawab atas apa yang

dibawanya. Potensi atau risiko kecelakaan pun mungkin saja bisa terjadi,

(Ibrahim, 2014).

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang - Undang No. 3 Tahun 1992 tentang

Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU Jamsostek) yang berbunyi “Kecelakaan kerja

adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk


penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang

terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke

rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.”

Kecelakaan merupakan salah satu risiko dalam proses pengangkutan bahan

bakar minyak. Berdasarkan data lakalantas PT. Elnusa Petrofin, kecelakaan yang

terjadi dari tahun 2010 hingga Maret 2013, yang meliputi kecelakaan sarana/

fasilitas dan kecelakaan lalu lintas mobil tangki. Tahun 2010 terdapat 13 kejadian

kecelakaan dan di tahun berikutnya turun menjadi 5 kejadian. Namun pada tahun

2012 terjadi peningkatan angka kejadian kecelakaan yakni 8 kejadian, Januari

hingga Maret 2013 telah terjadi 2 kecelakaan. Sedangkan untuk kecelakaan

sarana/fasilitas pada bulan Maret 2013 terjadi 2 kejadian. Terjadinya kecelakaan

tersebut, faktor manusia (human factor) merupakan penyebab paling besar baik

sebagai pengemudi maupun pengguna jalan lain. Selain itu, penyebab lainnya

adalah karena faktor eksternal saat berada di jalan raya, (Ibrahim, 2014).

Menurut Heinrich dalam Sumak’mur (2013), 88% Tindakan tidak aman

(unsafe act) berkontribusi terhadap kecelakaan kerja, 10% disebabkan oleh

kondisi tidak aman (unsafe conditions), dan 2% adalah hal yang tidak dapat di

hindari (anavoidable).

Terjadinya kecelakaan tersebut, faktor manusia (human factor) merupakan

penyebab paling besar baik sebagai pengemudi maupun pengguna jalan lain.

Selain itu, penyebab lainnya adalah karena faktor eksternal saat berada di jalan

raya. Adapun kecelakaan sarana dan fasilitas yang terjadi akibat pengemudi lalai
dalam tugasnya, tidak mengikuti tahap atau prosedur yang ada ketika berada

dalam depot pengisian, (Achmad, 2013).

Menurut Rizky (2009) dalam Rahma (2017), Ketidakdisiplinan seseorang

pada saat mengemudi dapat menyebabkan kecelakaan. Dari sekian banyak

kecelakaan yang terjadi di Indonesia, sebagian besarnya (90,3%) disebabkan oleh

faktor manusia. Lebih jauh lagi, dari 90,3% kecelakaan yang disebabkan oleh

faktor manusia tersebut, sebesar 86,8% disebabkan oleh kesalahan pengemudi.

Menurut ILO, setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh

penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian

terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit

akibat hubungan pekerjaan, dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat

hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya, (Depkes RI, 2007).

Hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah sistolik dan

diastolik dengan konsisten di atas 140/90 mmHg yang mengakibatkan angka

kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Hal tersebut dapat terjadi

karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan

oksigen dan nutrisi di dalam tubuh, (Ardita, 2017).

Tekanan darah paling tinggi terjadi ketika jantung berdetak/ berkontraksi

memompa darah disebut tekanan sistolik. Tekanan darah menurun saat jantung

rileks diantara dua denyut nadi disebut tekanan diastolik, (Fitriani, 2017).

Hipertensi tidak menimbulkan gejala seperti penyakit lain. Namun gejala

yang sering terjadi adalah sakit kepala/ rasa berat di tengkuk, pusing (vertigo),

jantung bedebar-debar, mudah lelah,penglihatan kabur, telinga berdenging, dan


mimisan. Kondisi hipertensi dapat menimbulkan penyakit diabetes mellitus, dan

berbagai penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah misalnya

arteroklerosis. Bahkan yang paling parah dapat berujung pada kematian dini,

(Ardita, 2017).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang yang berprofesi sebagai

sopir memiliki risiko yang lebih tinggi terkena hipertensi daripada pekerjaan

lain.7 Penelitian di Kerala Utara, India Selatanmenunjukkan tingginya prevalensi

hipertensi pada sopir yaitu 41,3%. Di Sokoto, Nigeria kejadian hipertensi pada

sopir lebih tinggi (35,5%) dari pada pekerja di garasi (21,1%).8 Sementara itu

penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia menunjukkan hasil yang sama,

prevalensi kejadian hipertensi pada sopir sebesar 66,7% dan penelitian serupa

yang meneliti hipertensi padapengemudi bus Trans Jakarta menunjukkan adanya

kejadian hipertensi sebesar 54,9%.5Hasil pemeriksaan tekanan darah pengemudi

tahun 2015 yang dilakukan di beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Tengah oleh

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, didapatkan hasil bahwa Kota Semarang

menduduki peringkat pertama untuk hipertensi sopir yaitu sebesar 36,4%, (Ardita,

2017).

Tingginya kejadian hipertensi pada sopir dipengaruhi oleh beberapa hal

seperti aktivitas fisik, stres akibat tekanan kerja, faktor lingkungan, dan gaya

hidup.Untuk meminimalisir risiko kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja serta

penyakit akibat hubungan pekerjaan, maka diperlukan kajian terkait aspek – aspek

yang dapat meningkatkan risiko kecelakaan kerja. Maka dari itu penulis tertarik

untuk membahas terkait “Analisis Faktor Ketidakstabilan Tekanan Darah Awak


Mobil Tanki Terhadap Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja Di PT. Pertamina

(Persero) Terminal BBM Gorontalo Group”.

1.2 Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi masalah pada penelitian ini yaitu sebagai barikut :

1. Masih rendahnya tingkat kepatuhan dan implementasi kebijakan SMK3

(Sistem Manajemen K3) terkait pencegahan peningkatan risiko kecelakaan

kerja di salah satu anak perusahaan PT. Pertamina yaitu PT. Elnusa Petrofin.

2. Adanya pekerja yaitu AMT (Awak Mobil Tanki) di PT. Pertamina yang

tetap bekerja/bertugas walau sedang mengalami Hipertensi dan Hipotensi.

3. Belum dilakukannya tindak pencegahan dan perlindungan terhadap tenaga

kerja khususnya AMT (Awak Mobil Tanki) PT. Pertamina guna untuk

meningkatkan derajat kesehatan pekerja yang setingi - tingginya.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti merumuskan masalah

sebagai berikut : Bagaimana Faktor Ketidakstabilan Tekanan Darah AMT (Awak

Mobil Tanki) Dapat Meningkatkan Risiko Kecelakaan Kerja Di PT. Pertamina

(Persero) Terminal BBM Gorontalo Group.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan identifikasi dan

analisis untuk memperoleh Analisis Terkait Faktor Ketidakstabilan Tekanan

Darah AMT (Awak Mobil Tanki) Terhadap Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja

Di PT. Pertamina (Persero) Terminal BBM Gorontalo Group.


1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi terkait kejadian Hipertensi dan Hipotensi pada AMT

(Awak Mobil Tanki) di PT. Pertamina (Persero) Terminal BBM Gorontalo

Group.

2. Mengetahui uraian risiko bahaya di tempat kerja di tinjau dari aktivitas kerja

serta langkah – langkah kerja dari AMT (Awak Mobil Tanki).

3. Menganalisis faktor langsung maupun tidak langsung ketidakstabilan

tekanan darah AMT (Awak Mobil Tanki) terhadap peningkatan risiko

kecelakaan kerja.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan data

terbaru terkait Analisis Faktor Ketidakstabilan Tekanan Darah AMT (Awak

Mobil Tanki) Terhadap Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja Di PT. Pertamina

(Persero) Terminal BBM Gorontalo Group.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam

kegiatan belajar mangeajar terkait Analisis Faktor Ketidakstabilan Tekanan Darah

AMT (Awak Mobil Tanki) Terhadap Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja Di

PT. Pertamina (Persero) Terminal BBM Gorontalo Group.

2. Manfaat Bagi Peneliti


Dapat menambah pengetahuan kepada peneliti terkait Analisis Faktor

Ketidakstabilan Tekanan Darah AMT (Awak Mobil Tanki) Terhadap Peningkatan

Risiko Kecelakaan Kerja Di PT. Pertamina (Persero) Terminal BBM Gorontalo

Group.

3. Manfaat Bagi Instansti Terkait

Dapat membantu dan memberikan informasi sebagai kajian bagi semua

pihak yang berkepentingan dalam hal penanganan dan pengendalian Penyakit

Akibat Hubungan Kerja khususnya Hipertensi dan Hipotensi pada pekerja.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK)

WHO dalam Buraena (2015), Mengelompokkan PAHK (Penyakit Akibat

Hubungan Kerja) yang bersumber multifaktor. Penyakit - penyakit ini dalam

faktor - faktor tempat kerja dapat dihubungkan kejadiannya tetapi tidak

membutuhkan faktor resiko pada tiap kasus.

2.1.1 Definisi dan Penyebab Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK)

Menurut Baskoro (2013), Pada simposium internasional mengenai penyakit

akibat hubungan pekerjaan yang diselenggarakan oleh ILO di Linz Austria

dihasilkan definisi Penyakit Yang Berhubungan Dengan Pekerjaan (Work Related

Disease) adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana

faktor pada pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor resiko lainnya

dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi yang kompleks.

Sedangkan Penyakit Yang Mempunyai Populasi Pekerja (Disease Of

Fecting Working Populations) adalah Penyakit yang terjadi pada populasi pekerja

tanpa adanya agen penyebab di tempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi

pekerjaan yang buruk bagi kesehatan, (Baskoro, 2013).

Menurut Sari (2014), Penyakit yang ditimbulkan karena hubungan kerja

dianggap sebagai kecelakaan kerja dan bisa terjadi secara tiba-tiba maupun

melalui proses dalam jangka waktu tertentu. Penyakit yang timbul akibat

hubungan kerja merupakan kecelakaan kerja yang dalam Pasal 1 Keppres Nomor

22 Tahun 1993 menyatakan bahwa setiap penyakit yang timbul karena hubungan

kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
Penyakit yang ditimbulkan akibat kerja yang terjadi pada pekerja menjadi

tanggung jawab perusahaan.

Work Related Disease (Penyakit Terkait Kerja) : penyakit yang

berhubungan /terkait dengan pekerjaan, namun bukan akibat karena pekerjaan,

(Sulaksmono, 2015).

Dalam Sulaksmono (2015), Peyebab terjadinya Penyakit Akibat Hubungan

Pekerjaan (Work Related Disease) adalah “maybe partially caused by adverse

working conditions. They maybe aggravated, accelerated or exacerbated by

workplace exposures and may impair working capacity. Personal characteristic,

environmental and socio cultural factors usually play a role as risk factors and

are often more common than occupational disease”. Yang memiliki arti

“mungkin sebagian disebabkan oleh kondisi kerja yang kurang baik. Penyakit

dapat diperberat, dipercepat atau kambuh oleh pemaparan di tempat kerja dan

dapat mengurangi kapasitas kerja. Sifat perorangan, lingkungan dan faktor sosial

budaya umumnya berperanan sebagai faktor resiko dan lebih umum dari pada

penyakit akibat kerja”.

2.1.2 Jenis – Jenis Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK)

Menurut Buraena (2015), Jenis – jenis Penyakit akibat hubungan kerja

adalah sebagai berikut :

1. Hipertensi/Hipotensi

2. Penyakit jantung ischaemik

3. Penyakit psikosomatik

4. Musculoskeletal Disorder (MSD)


5. Chronic non spesifik reproductive disease / bronchitis chronik

Pada penyakit - penyakit ini, pekerjaan dapat dihubungkan dengan

penyebabnya atau dengan mempelihatkan kondisi kesehatan sebelumnya (yang

sudah ada), (Buraena, 2015).

2.1.3 Perbedaan PAK dan PAHK

Menurut Sulaksmono (2015), Yang membedakan antara Penyakit Akibat

Kerja (PAK) dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK) ialah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Perbedaan PAK dan PAHK


Penyakit Akibat Kerja Penyakit Akibat Hubungan Kerja
(PAK) (PAHK)
Terjadi hanya diantara populasi
Terjadi juga pada populasi penduduk
pekerja
Penyebab spesifik Penyebab multi faktor
Adanya paparan di tempat kerja Pemaparan di tempat kerja mungkin
merupakan hal yang penting merupakan salah satu faktor
Tercatat dan mendapatkan ganti Mungkin tercatat dan mungkin dapat
rugi ganti rugi
Sumber : Sulaksmono, M, Tahun 2015.

2.2 Hipertensi dan Hipotensi

2.2.1 Tekanan Darah

Tekanan darah adalah tekanan dari aliran darah dalam pembuluh nadi arteri.

Jantung berdetak, lazimnya 60 hingga 70 kali dalam 1 menit pada kondisi istirahat

(duduk atau berbaring), darah dipompa menuju darah melalui arteri. Tekanan

darah paling tinggi terjadi ketika jantung berdetak/ berkontraksi memompa darah

disebut tekanan sistolik. Tekanan darah menurun saat jantung rileks diantara dua

denyut nadi disebut tekanan diastolik, (Fitriani, 2017).

Saat yang paling baik untuk mengukur tekanan darah adalah saat tenaga

kerja istrahat dan dalam keadaan duduk atau berbaring. Tekanan darah dalam
kehidupan seseorang bervariasi secara alami. Bayi dan anak - anak secara normal

memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah daripada dewasa. Tekanan darah

juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, dimana akan lebih tinggi pada saat

melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristrahat. Tekanan darah dalam satu

hari juga berbeda, paling tinggi di waktu pagi hari dan paling rendah pada saat

tidur malam hari. Bila tekanan darah diketahui lebih tinggi dari biasanya secara

terus menerus, maka orang tersebut dikatakan mengalami masalah darah tinggi.

Penderita darah tinggi sekurang-kurangnya mempunyai tiga bacaan tekanan darah

yang melebihi 140/90 mmHg saat istrahat, (Putri, 2018).

Tekanan darah merupakan faktor yang sangat penting pada sistem sirkulasi.

Terdapat dua macam kelainan tekanan darah yakni dikenal dengan hipertensi atau

tekanan darah tinggi dan hipotensi atau tekanan darah rendah. Hipertensi telah

menjadi penyakit yang menjadi perhatian di berbagai dunia, karena seringkali

menjadi penyakit tidak menular nomor satu di banyak Negara, (Fitriani, 2017).

Banyak faktor yang meningkatkan risiko atau kecenderungan seseorang

menderita hipertensi, diantaranya ciri-ciri individu seperti umur, jenis kelamin,

dan suku, faktor genetik, serta faktor lingkungan yang meliputi obesitas, stress,

konsumsi garam, merokok, konsumsi alkohol, dan sebagainya, (Fitriani, 2017).

Menurut Putri (2018), Tekanan darah dikatakan normal bila tekanan darah

sistolik menunjukkan kurang dari 140 mmHg dan diastolik kurang dari 90 mmHg.

Menurut Putri (2018) Nilai tekanan darah normal berdasarkan umur dapat

dilihat dalam tabel sebagai berikut :


Tabel 2.2 Nilai Tekanan Darah Normal Berdasarkan Umur
Usia Sistolik Diastolik
(Tahun) (mmHg) (mmHg)
15-29 90-120 60-80
30-49 110-140 70-90
>50 120-150 70-90
Sumber : Putri, R,S, Tahun 2018.

2.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah

Menurut Beavers (2008) dalam Putri (2018), Tekanan darah normal itu

sangat bervariasi tergantung pada :

1. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik dan kegiatan sehari-hari sangat mempengaruhi tekanan

darah. Semakin tinggi kegiatan fisik yang dilakukan maka semakin tinggi

pula tekanan darah.

2. Emosi

Perasaan takut, cemas, cenderung membuat tekanan darah meningkat.

3. Umur

Tekanan darah akan cenderung tinggi bersama dengan peningkatan usia.

Umumnya sistolik akan meningkat sejalan dengan peningkatan usia,

sedangkan diastolik akan meningkat sampai usia 55 tahun untuk

kemudian menurun lagi. Semakin tua umur seseorang tekanan sistoliknya

semakin meningkat. Biasanya dihubungkan dengan timbulnya

arteriosclerosis.

4. Jenis Kelamin

Pada umumnya pria lebih banyak dan muda terserang hipertensi

dibandingkan wanita. Hal ini dikarenakan pria lebih banyak mempunyai


faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya hipertensi seperti merokok,

kurang nyaman terhadap pekerjaan dan makan tidak terkontrol. Tekanan

darah pada perempuan sebelum menopause adala 5-10 mmHg lebih

rendah dibandingkan laki-laki seumurnya, tetapi setelah menopause

tekanan darahnya lebih meningkat. Biasanya wanita akan mengalami

peningkatan hipertensi setelah masa menopause. Pada masa menopause,

terjadi penurunan sekresi hormon estrogen. Salah satu fungsi estrogen

adalah untuk mempertahankan fleksibilitas pembuluh darah dan

memodulasi kerja hormone lain yang dapat berkontibusi meningkatkan

tekanan darah. Jadi seiring dengan penurunan estrogen, risiko

peningkatan darah pada wanita semakin meningkat.

5. Status Gizi (Obesitas)

Seseorang yang memiliki ukuran tubuh melebihi normal atau obesitas

sangat memungkinkan mengalami peningkatan tekanan darah. Indeks

Massa Tubuh (IMT) kurang dari 17,0 termasuk dalam kategori sangat

kurus, untuk IMT antara 17,0-18,5, termasuk kategori kurus, IMT di atas

18,5-25,0 termasuk dalam kategori normal, untuk IMT di atas 25,0-27,0

termasuk dalam kategori gemuk dan untuk IMT lebih dari 27,0 termasuk

dalam kategori sangat gemuk dan obesitas.

6. Meminum Alkohol

Meminum alkohol secara berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah

dan menyebabkan resistensi terhadap obat anti hipertensi. Beberapa studi

menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara konsumsi alkohol


dengan tekanan darah bahkan diantaranyamelaporkan bahwa efek

terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol

sebanyak 2-3 gelas perharinya.

7. Merokok

Pada saat merokok pembuluh darah dibeberapa bagian tubuh akan

mengalami penyempitan, dalam keadaan ini dibutuhkan tekanan yang

lebih tinggi supaya darah dapat mengalir ke seluruh tubuh dengan jumlah

yang tetap. Untuk itu jantung harus memompa darah lebih kuat, sehingga

tekanan pada pembuluh darah meningkat. Rokok yang dihisap akan

mngakibatkan vasokonstruksi pembuluh darah perifer dan pembuluh di

ginjal sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Merokok sebatang

setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 1025 mmHg dan

menambah detak jantung 5-20 kali per menit .

8. Stres

Keadaan pikiran juga sangat berpengaruh pada peningkatan tekanan

darah sewaktu mengalami pengukuran. Stres yang bersifat konstan dan

terus menerus akan berdampak pada penaikan tekanan darah bahkan

berujung pada penyakit hipertensi ini dikarenakan stres mempengaruhi

kerja kelenjar adrenal dan tiroid dalam memproduksi hormon. Adrenalin,

tiroksin, dan kortisol sebagai hormone utama stres akan naik jumlahnya

dan berpengaruh secara signifikan pada sistem homeostasis. Adrenalin

yang bekerja secara sinergis dengan saraf simpatis berpengaruh terhadap

kenaikan denyut jantung dan tekanan darah. Tiroksin selain menaikkan


Basal Metabolism Rate (BMR), juga menaikkan denyut jantung dan

frekuensi nafas. Namun pemaparan stres yang ringan atau sementara

tidak menyebabkan penyakit sistematik hanya menyebabkan peningkatan

tekanan darah sebagai proses homeostasis.

2.2.3 Definisi Penyakit Hipertensi

Penyakit darah tinggi atau hipertensi (hypertension) adalah suatu keadaan di

mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang

ditunjukkan oleh angka systolic (bagian atas) dan diastolik (angka bawah) pada

pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik yang

berupa alat cuff air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital lainnya,

(Eriana, 2017).

Penyakit darah tinggi merupakan suatu gangguan pada pembuluh darah dan

jantung yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang di bawah oleh darah

terhambat sampai kejaringan yang membutuhkannya, (Eriana, 2017).

Dalam Fitriani (2017), Klasifikasi tekanan darah di Indonesia pada tahun

2007 melakukan konsesus hipertensi yang dilakukn oleh Pehimpunan Hipertensi

Indonesia memiliki klasifikasi yang sama dengan JNC (The Joint National

Committee on the Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure) :

Tabel 2.3 Kategori Hipertensi Menurut Perhimpunan Hipertensi


Indonesia
Sistol Dan/ Diastole
Kategori
(mmHg) Atau (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre Hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi Tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi Tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
Sumber : Fitriani, N dan Neffrety Nilamsari, Tahun 2017.
Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung atau tidak

langsung. Pada metode langsung, katerter arteri dimasukkan ke dalam arteri.

Hasilnya sangat tepat namun, menimbulkan masalah kesehatan lain. Sedangkan

pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan

sphygmomanometer dan stetoskop. Sphygmomanometer tersusun atas manset yang

dapat di kembangkan dan alat pengukuran tekanan darah yang berhubungan

dengan rongga dalam manset. Alat ini dikalibrasi sedemikian rupa sehingga

tekanan yang terbaca pada manometer sesuai dengan tekanan dalam millimeter air

raksa yang dihantarkan oleh arteri brakialis, (Fitriani, 2017).

2.2.4 Patofisiologi Penyakit Hipertensi

Dimulai dengan atherosclerosis, gangguan struktur anatomi pembuluh

darah peripher yang berlanjut dengan kekakuan pembuluh darah. Kekakuan

pembuluh darah disertai dengan penyempitan dan kemungkinan pembesaran

plaque yang menghambat gangguan peredaran darah peripher. Kekakuan dan

kelambanan aliran darah menyebabkan beban jantung bertambah berat yang

akhirnya dikompensasi dengan peningkatan upaya pemompaan jantung yang

akhirnya memberikan gambaran peningkatan tekanan darah dalam sistem

sirkulasi, (Eriana, 2017).

2.2.5 Etiologi Penyakit Hipertensi

Dalam Eriana (2017), Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi

primer dan sekunder. Prevalensi hipertensi sekunder hanya sekitar 5-8% dari

seluruh penderita hipertensi.


1. Hipertensi Esensial (Primer)

Hipertensi primer atau esensial merupakan hipertensi yang belum

diketahui penyebabnya walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor

gaya hidup seperti obesitas, alkohol, merokok, kurang bergerak

(inaktivitas) dan pola makan. Tipe ini terjadi pada sebagian besar kasus

tekanan darah tinggi, sekitar 95%. Hipertensi primer biasanya timbul

pada usia 30-50 tahun, (Eriana, 2017).

2. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan/sebagai akibat

dari adanya penyakit lain. Tipe ini lebih jarang terjadi, hanya sekitar 5%

dari seluruh kasus tekanan darah tinggi. Beberapa hal yang menjadi

penyebab terjadinya hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal, kelainan

hormonal, obat – obatan, (Eriana, 2017).

2.2.6 Gejala Penyakit Hipertensi

Dalam Eriana (2017), Peningkatan tekanan darah kadang merupakan satu-

satunya gejala pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya

tekanan darah. Gejala yang timbul berbeda-beda. Kadang hipertensi esensial

berjalan tanpa gejala dan baru timbul keluhan setelah terjadi kompilasi yang

spesifik pada organ tertentu seperti ginjal, mata, otak dan jantung.

Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun-

tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi

kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala biasanya hanya bersifat

spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing. Akan tetapi, pada penderita hipertensi
berat biasanya akan timbul gejala antara lain : Sakit kepala, kelelahan, mual dan

muntah, sesak nafas, gelisah, pandangan menjadi kabur, mata berkunang-kunang,

mudah marah, telinga berdengung, sulit tidur, rasa berat ditengkuk, nyeri di

daerah bagian belakang, nyeri di dada, otot lemah, pembekakan pada kaki dan

pergelangan kaki, keringat berlebihan, kulit tampak pucat atau kemerahan, denyut

jantung menjadi kuat, cepat atau tidak teratur, impotensi, darah diurin, dan

mimisan (jarang dilaporkan), (Eriana, 2017).

2.2.7 Pencegahan Penyakit Hipertensi

Dalam Eriana (2017), Pengobatan hipertensi memang penting tetapi tidak

lengkap jika tanpa dilakukan tindakan pencegahan untuk menurunkan faktor

risiko penyakit hipertentensi . Upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi :

1. Memeriksakan tekanan darah secara teratur

2. Menjaga berat badan dalam rentang normal

3. Mengatur pola makan antara lain dengan mengonsumsi makanan berserat

, rendah lemak dan mengurangi garam

4. Menghentikan kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol

5. Tidur secara tratur

6. Mengurangi stres dengan melakukan rekreasi

2.2.8 Pengobatan Penyakit Hipertensi

Dalam Eriana (2017), Pengobatan hipertensi bertujan untuk mengurangi

morbiditas dan mortalitas serta mengontrol tekanan darah. Pengobatan hipertensi

dapat dilakukan dengan dua cara yaitu non farmakologi (perubahan gaya hidup)

dan farmakologi.
1. Non Farmakologi

Dalam Eriana (2017), Non farmakologi dapat dilakukan dengan cara

modifikasi gaya hidup diantaranya yaitu:

a. Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih: penderita hipertensi

yang obesitas dianjurkan untuk menurunkan berat badan, membatasi

asupan kalori, dan peningkatan pemakaian kalori dengan latihan fisik

yang teratur

b. Membatasi asupan garam tidak lebih dari (1/4 atau 1/2) sendok the

atau 6 gram/hari. Contohnya biskuit, crackers, keripik dan makanan

kering yang asin serta makanan dan minuman dalam kaleng (sarden,

sosis, kornet, sayuran serta buah-buahan dalam kaleng, soft drink)

c. Meningkatkan aktivitas fisik : orang yang aktivitasnya rendah berisiko

terkena hipertensi 30-50% daripada yang aktif. aktifitas fisik yang

dilakukan rutin selama 30-45 menit setiap hari dengan frekuensi 3-5

kali per minggu akan membantu mengontrol tekanan darah. Contoh

aktivitas fisik (olahraga) yang dapat dilakukan yaitu jalan, lari,

jogging, bersepeda.

d. Membatasi konsumsi kafein karena kafein dapat memacu jantung

untuk bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan

pada setiap detiknya.

e. Membatasi makan makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak,

ginjal, paru, minyak kelapa, gajih)


f. Menghindari alkohol: alkohol dapat meningkatkan tekanan darah dan

menyebabkan resitansi terhadap obat anti hipertensi. Penderita yang

minum alkohol sebaiknya membatasi asupan etanol sekitar satu ons

sehari.

2. Terapi Farmakologi

Dalam Eriana (2017), Terapi farmakologi yaitu obat anti hipertensi yang

dianjurkan oleh JNC VII yaitu :

a. Diuretika {tablet hydrochlorothiazide (HTC), Lasix (furosemide)}

merupakan golongan obat hipertensi dengan proses pengeluaran

cairan tubuh (natrium) via urin sehingga mengurangi volume cairan

dalam tubuh. Dengan turunnya kadar natrium maka tekanan darah

akan turun. Tetapi karena potassium kemungkinan terbuang dalam

cairan urin, maka pengontrolan konsumsi potassium harus dilakukan.

b. Obat Vasodilator dapat langsung mengembangkan dinding arteriol

sehingga daya tahan pembuluh perifer berkurang dan tekanan darah

menurun. Obat yang termasuk dalam jenis vasolidator adalah

hidralazine dan encarazine.

c. Antagonis kalsium, mekanisme obat antagonis kalsium adalah

menghambat pemasukan ion kalsium kedalam sel otot polos pembuluh

dengan efek vasodilitasi dan turunnya tekanan darah. Obat jenis

antagonis kalsium yang terkenal adalah nifedipin dan verapamil.

d. Obat penghambat ACE ini menurunkan tekan darah dengan cara

menghambat Angiontensin Converting enzyme yang berdaya


vasokontriksi kuat. Obat jenis antagonis kalsium yang terkenal adalah

Captopril (capoten) dan Enalapril.

2.2.9 Definisi Penyakit Hipotensi

Tekanan darah rendah adalah kondisi abnormal dimana tekanan darah

seseorang jauh lebih rendah dari biasanya yaitu dibawah 100/60 mmHg, tekanan

sistolik kurang dari 100 mmHg dan diastolik kurang dari 60 mmHg, yang

menyebab pusing atau tidak dapat berfikir secara jernih atau bergerak dengan

mantap (light headedness), (Putri, 2018).

2.2.10 Etiologi dan Gejala Penyakit Hipotensi

Penyebab tekanan darah rendah antara lain “hipotensi ortostatik”, yang

berarti bahwa pembuluh darah tidak menyesuaikan diri terhadap posisi berdiri,

sehingga terjadi penurunan tekanan darah, (Putri, 2018).

Penyebab lainnya adalah dehindrasi (kekurangan cairan), reaksi tubuh

terhadap panas, sehingga darah berpindah ke pembuluh darah di kulit, sehingga

memicu dehidrasi, gagal jantung, serangan jantung, perubahan irama jantung,

pingsan (stres emosional, takut, rasa tidak aman atau nyeri), anafilaksis (reaksi

alergi yang mengancam jiwa), donor darah, peredaran di dalam tubuh, kehilangan

darah, kehamilan dan atherosclerosis yaitu pengerasan dinding arteri, (Putri,

2018).

2.2.11 Pencegahan Penyakit Hipotensi

Menurut Situs Kesehatan Resmi Alodokter (2019), Ada beberapa cara yang

dapat dilakukan untuk mencegah atau mengurangi gejala hipotensi, yaitu:


1. Menghindari konsumsi minuman berkafein pada malam hari dan

membatasi konsumsi alkohol.

2. Makan dalam porsi kecil namun sering, dan tidak langsung berdiri

setelah makan.

3. Memposisikan kepala lebih tinggi ketika tidur (sekitar 15 cm).

4. Berdiri secara perlahan dari posisi duduk atau berbaring.

5. Menghindari terlalu lama berdiri atau duduk, dan menghindari duduk

bersila.

6. Tidak membungkuk atau mengubah posisi tubuh secara tiba-tiba.

7. Menghindari mengangkat beban berat.

2.2.12 Pengobatan Penyakit Hipotensi

Menurut Situs Kesehatan Resmi Alodokter (2019), Jika mengalami

hipotensi yang disertai gejala, tindakan pertama yang perlu dilakukan adalah

duduk atau berbaring. Posisikan kaki lebih tinggi dari jantung dan pertahankan

posisi tersebut selama beberapa saat. Jika gejala tidak juga mereda, maka perlu

dilakukan penanganan oleh dokter. Pengobatan hipotensi ditentukan berdasarkan

penyebab yang mendasarinya. Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan

tekanan darah, meredakan gejala yang muncul, dan mengobati kondisi yang

menyebabkan hipotensi.

Menurut Situs Kesehatan Resmi Alodokter (2019), Penanganan hipotensi

yang utama adalah perubahan pola makan dan gaya hidup, seperti :

1. Memperbanyak konsumsi makanan dengan kadar garam tinggi, karena

garam dapat meningkatkan tekanan darah.


2. Memperbanyak konsumsi cairan, karena cairan dapat meningkatkan

volume darah dan membantu mencegah dehidrasi.

3. Berolahraga secara teratur untuk meningkatkan tekanan darah.

4. Menggunakan stoking khusus pada tungkai (stoking kompresi) untuk

memperlancar aliran darah.

Jika hipotensi disebabkan oleh konsumsi obat-obatan tertentu, dokter akan

mengurangi dosisnya, atau mengganti jenis obat bila perlu. Hipotensi yang

disertai gejala syok merupakan kondisi yang membutuhkan penanganan darurat.

Dokter akan memberikan cairan infus, obat, hingga transfusi darah untuk

meningkatkan tekanan darah, sehingga mencegah kerusakan fungsi organ. Setelah

menstabilkan tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernapasan pasien,

dokter akan memberikan pengobatan untuk mengatasi penyebabnya. Misalnya,

memberikan obat antibiotik untuk mengatasi infeksi yang sudah masuk ke dalam

darah, (Alodokter, 2019).

2.3 Risiko/Potensi Bahaya Aktivitas Penyaluran BBM/BBK

Menurut Hermawan (2012), Aktivitas Penyaluran/Pendistribusian

BBM/BBK memiliki risiko/potensi bahayanya. Potensi bahaya tersebut

diantaranya adalah :

2.3.1 Potensi Bahaya Kebakaran

Potensi bahaya kebakaran yang ada pada proses pengangkutan (loading)

Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat disebabkan karena adanya kebocoran dan

tumpahan dari BBM saat dilakukannya pengisian BBM ke mobil tangki.

Kebocoran pada saat pengisian BBM ke mobil tangki dapat terjadi karena kurang
rapatnya pemasangan loading arm ke bottom load pada mobil tangki, sedangkan

terjadinya tumpahan BBM saat terjadinya pengisian disebabkan karena masih

adanya sisa BBM yang masih terdapat di loading arm. Hal tersebut jika dibiarkan

berlangsung terus menerus meskipun jumlah yang bocor dan tumpah sedikit,

maka akan dapat berpotensi untuk terjadinya kebakaran, (Hermawan, 2012).

2.3.2 Potensi Bahaya Terpeleset

Potensi bahaya terpeleset ini dapat terjadi karena pada saat pengisian tangki

mobil dengan BBM di area filling shed, sopir naik keatas tangki untuk membuka

tutup yang ada diatas tangki dengan tujuan untuk mengurangi tekanan yang ada

dalam tangki. Aktivitas dari sopir tangki tersebut sangat beresiko untuk terjadinya

kejadian terpeleset jika sopir tidak berhati hati saat berada di atas tangki tersebut,

(Hermawan, 2012).

2.3.3 Potensi Bahaya Kecelakaan Lalu Lintas

Selain bahaya diatas, bahaya yang tidak bisa lepas dari proses pengangkutan

(loading) BBM adalah bahaya kecelakaan yang bisa terjadi dijalan raya pada saat

mobil tangki dalam perjalanan mengantar BBM menuju SPBU (Stasiun Bahan

Bakar Umum) di kota – kota yang telah ditentukan oleh LO (loading order).

Bahaya kecelakaan ini dapat terjadi dikarenakan faktor kelelahan yang dialami

oleh para sopir, hal tersebut dapat diketahui dari hasil pengamatan seorang

peneliti kepada 47 orang sopir diketahui bahwa dari 47 orang sopir tersebut 43

orang diantaranya bekerja mendistribusikan BBM selama lebih dari 8 jam sehari,

sedangkan sisanya masih bekerja 8 jam sehari, (Hermawan, 2012).


2.4 Hierarki Pengendalian Risiko

Menurut Triyono (2014), Hierarki Pengendalian Risiko merupakan suatu

urutan - urutan dalam pencegahan dan pengendalian resiko yang mungkin timbul

yang terdiri dari beberapa tingkatan secara berurutan. Salah satunya dengan

membuat rencana pengendalian antara lain :

2.4.1 Eliminasi (Elimination)

Eliminasi merupakan suatu pengendalian resiko yang bersifat permanen dan

harus dicoba untuk diterapkan sebagai pilihan prioritas utama. Eliminasi dapat

dicapai dengan memindahkan obyek kerja atau sistem kerja yang berhubungan

dengan tempat kerja yang tidak dapat diterima oleh ketentuan, peraturan atau

standar baku K3 atau kadarnya melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yang

diperkenankan. Cara pengendalian yang baik dilakukan adalah dengan

eliminasi karena potensi bahaya dapat ditiadakan, (Triyono, 2014).

2.4.2 Substitusi (Substitution)

Cara pengendalian substitusi adalah dengan menggantikan bahan- bahan dan

peralatan yang lebih berbahaya dengan bahanbahan dan peralatan yang kurang

berbahaya atau yang lebih aman, (Triyono, 2014).

2.4.3 Rekayasa Teknik (Engineering Control)

Pengendalian rekayasa teknik termasuk merubah struktur obyek kerja untuk

mencegah seseorang terpapar potensi bahaya. Cara pengendalian yang dilakukan

adalah dengan pemberian pengaman mesin, penutup ban berjalan, pembuatan

struktur pondasi mesin dengan cor beton, pemberian alat bantu mekanik,
pemberian absorber suara pada dinding ruang mesin yang menghasilkan

kebisingan tinggi, dan lain-lain, (Triyono, 2014).

2.4.4 Isolasi (Isolation)

Cara pengendalian yang dilakukan dengan memisahkan seseorang dari

obyek kerja, seperti menjalankan mesin-mesin produksi dari tempat tertutup

(control room) menggunakan remote control, (Triyono, 2014).

2.4.5 Pengendalian Administrasi (Admistration Control)

Pengendalian yang dilakukan adalah dengan menyediakan suatu sistem

kerja yang dapat mengurangi kemungkinan seseorang terpapar potensi bahaya

yang tergantung dari perilaku pekerjanya dan memerlukan pengawasan yang

teratur untuk dipatuhinya pengendalian administrasi ini. Metode ini meliputi

penerimaan tenaga kerja baru sesuai jenis pekerjaan yang akan ditangani,

pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, rotasi kerja untuk mengurangi

kebosanan dan kejenuhan, penerapan prosedur kerja, pengaturan kembali jadwal

kerja, training keahlian dan training K3, (Triyono, 2014).

2.4.6 Alat Pelindung Diri (Personal Protective Equipment)

Alat pelindung diri yang digunakan untuk membatasi antara terpaparnya

tubuh dengan potensi bahaya yang diterima oleh tubuh, (Triyono, 2014).

2.5 Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)

2.5.1 Definisi Kecelakaan Kerja

Menurut Triyono (2014), Kecelakaan kerja menurut beberapa sumber,

diantaranya :
1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/Men/98 adalah suatu kejadian

yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat

menimbulkan korban manusia dan atau harta benda.

2. OHSAS 18001:2007 menyatakan bahwa kecelakaan kerja didefinisikan

sebagai kejadian yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat

menyebabkan cidera atau kesakitan (tergantung dari keparahannya),

kejadian kematian, atau kejadian yang dapat menyebabkan kematian.

3. Menurut AS/NZS 4801: 2001, kecelakaan adalah semua kejadian yang

tidak direncanakan yang menyebabkan atau berpotensial menyebabkan

cidera, kesakitan, kerusakan atau kerugian lainnya.

2.5.2 Penyebab Terjadinya Kecelakaan Kerja

Menurut Redjeki (2016), Setiap kecelakaan bukan peristiwa tunggal, namun

terjadi karena penyebab yang saling berkaitan yaitu kesalahan dari sisi

perusahaan, sisi pekerja, atau keduanya. Akibat yang ditimbulkan yakni trauma

bagi keduanya, bagi pekerja yaitu cedera yang dapat memengaruhi terhadap

pribadi, keluarga, dan kualitas hidup, sedangkan bagi perusahaan berupa kerugian

produksi, waktu yang terbuang untuk penyelidikan dan biaya untuk proses hukum.

Tindakan pencegahan kecelakaan bertujuan untuk mengurangi peluang terjadinya

kecelakaan hingga mutlak minimum.

Menurut Ridley (2008) dalam Redjeki (2016), Hal ini sesuai dengan teori

domino yang menggambarkan rangkaian penyebab kecelakaan sehingga

menimbulkan cedera atau kerusakan. Teori Domino Heinrich menyebutkan suatu

kecelakaan bukanlah suatu peristiwa tunggal, melainkan merupakan hasil dari


serangkaian penyebab yang saling berkaitan. Gambar berikut memberikan

ilustrasi terhadap rangkaian penyebab kejadian yang mengawali kecelakaan

sehingga menimbulkan cedera atau kerusakan.

Gambar 2.1 Ilustrasi Teori Domino Heinrich


Sumber : Redjeki, S. 2016. Modul Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

Jika satu domino jatuh maka domino tersebut akan menimpa domino-

domino lainnya hingga pada akhirnya akan terjadi kecelakaan pada saat domino

yang terakhir jatuh. Jika salah satu faktor penyebab kecelakaan dalam domino

tersebut dapat dihilangkan maka tidak akan terjadi kecelakaan. Domino yang

pertama adalah sistem kerja. Sistem kerja yang dikelola dengan baik seperti

pengendalian manajemen dan standar kerja yang sesuai akan membuat domino

tersebut terkendali dan tidak akan menimpa yang lainnya seperti kesalahan orang

dan seterusnya. Oleh karena domino-domino tersebut tetap terjaga maka

kecelakaan yang mengakibatkan cedera tidak akan terjadi, (Redjeki, 2016).

Menurut Ridley (2008) dalam Redjeki (2016), Contoh penyebab kecelakaan

untuk masing - masing faktor tersebut adalah :


1. Situasi Kerja

a. Pengendalian manajemen yang kurang.

b. Standar kerja yang minim.

c. Tidak memenuhi standar.

d. Perlengkapan yang tidak aman.

e. Tempat kerja yang tidak mendukung keamanan seperti getaran,

tekanan udara, ventilasi, penerangan dan kebisingan yang tidak aman.

f. Peralatan/bahan baku yang tidak aman.

2. Kesalahan Orang

a. Keterampilan dan pengetahuan minim.

b. Masalah fisik atau mental.

c. Motivasi yang minim atau salah penempatan.

d. Perhatian yang kurang.

3. Tindakan Tidak Aman

a. Tidak mengikuti metode kerja yang telah disetujui.

b. Mengambil jalan pintas.

c. Tidak menggunakan perlengkapan keselamatan kerja selama bekerja.

d. Bekerja dengan kecepatan berbahaya. Berikut ini adalah penyebab

tindakan tidak aman.

4. Kecelakaan

a. Kejadian yang tidak terduga.

b. Akibat kontak dengan mesin atau listrik yang berbahaya.

c. Terjatuh.
d. Terhantam mesin atau material yang jatuh dan sebagainya.

5. Cedera atau Kerusakan

a. Sakit dan penderitaan (pada pekerja).

b. Kehilangan pendapatan (pada pekerja).

c. Kehilangan kualitas hidup (pada pekerja).

d. Pabrik (pada perusahaan).

e. Pembayaran kompensasi (pada perusahaan).

f. Kerugian produksi (pada perusahaan).

g. Kemungkinan proses pengadilan (pada perusahaan).

Menurut Redjeki (2016), Teknik - teknik praktis pencegahan kecelakaan

diantaranya :

1. Nyaris

a. Membudayakan pelaporan kecelakaan yang nyaris terjadi.

b. Menyelidikinya untuk mencegah kecelakaan serius.

c. Menumbuhkan budaya ‘tidak saling menyalahkan.

2. Identifikasi Bahaya

a. Melakukan inspeksi keselamatan kerja dan patroli.

b. Laporan dari operator.

c. Laporan dari jurnal-jurnal teknis.

3. Pengeliminasian Bahaya

a. Adanya sarana-sarana teknis.

b. Mengubah material.

c. Mengubah proses.
d. Mengubah pabrik baik dari segi tata letak mesin maupun kondisi kerja

di pabrik.

4. Pengurangan Bahaya

a. Memodifikasi perlengkapan sarana teknis.

b. Alat Pelindung Diri (PPE).

5. Melakukan Penilaian Risiko

6. Pengendalian Risiko Residual

a. Dengan sarana teknis-alarm, pemutusan aliran (trips).

b. Sistem kerja yang aman.

c. Pelatihan para pekerja.

2.5.3 Klasifikasi Kecelakaan Kerja

Menurut Triyono (2014), Pengertian kejadian menurut standar (Australian

AS 1885, 1990) adalah suatu proses atau keadaan yang mengakibatkan kejadian

cidera atau penyakit akibat kerja. Ada banyak tujuan untuk mengetahui klasifikasi

kejadian kecelakaan kerja, salah satunya adalah dasar untuk mengidentifikasi

proses alami suatu kejadian seperti dimana kecelakaan terjadi, apa yang karyawan

lakukan, dan apa peralatan atau material yang digunakan oleh karyawan.

Penerapan kode - kode kecelakaan kerja akan sangat membantu proses investigasi

dalam meginterpretasikan informasi-informasi yang tersebut diatas. Ada banyak

standar yang menjelaskan referensi tentang kode-kode kecelakaan kerja, salah

satunya adalah standar Australia AS 1885-1 tahun 1990.


Menurut Triyono (2014), Berdasarkan standar tersebut, kode yang

digunakan untuk mekanisme terjadinya cidera/sakit akibat kerja dibagi sebagai

berikut :

1. Jatuh dari atas ketinggian.

2. Jatuh dari ketinggian yang sama.

3. Menabrak objek dengan bagian tubuh.

4. Terpajan oleh getaran mekanik.

5. Tertabrak oleh objek yang bergerak.

6. Terpajan oleh suara keras tiba-tiba.

7. Terpajan suara yang lama.

8. Terpajan tekanan yang bervariasi (lebih dari suara).

9. Pergerakan berulang dengan pengangkatan otot yang rendah.

10. Otot tegang lainnya.

11. Kontak dengan listrik.

12. Kontak atau terpajan dengan dingin atau panas.

13. Terpajan radiasi.

14. Kontak tunggal dengan bahan kimia.

15. Kontak jangka panjang dengan bahan kimia.

16. Kontak lainnya dengan bahan kimia.

17. Kontak dengan, atau terpajan faktor biologi.

18. Terpajan faktor stress mental.

19. Longsor atau runtuh.

20. Kecelakaan kendaraan/Mobil.


21. Lain-lain dan mekanisme cidera berganda atau banyak.

22. Mekanisme cidera yang tidak spesifik.

2.5.4 Cidera Akibat Kecelakaan Kerja

Pengertian cidera berdasarkan Heinrich et al. (1980) dalam Triyono (2014),

adalah patah, retak, cabikan, dan sebagainya yang diakibatkan oleh kecelakaan.

Bureau of Labor Statistics, U.S. Department of Labor (2008) dalam Triyono

(2014), menyatakan bahwa bagian tubuh yang terkena cidera dan sakit terbagi

menjadi :

1. Kepala; mata.

2. Leher.

3. Batang tubuh; bahu, punggung.

4. Alat gerak atas; lengan tangan, pergelangan tangan, tangan selain jari,jari

tangan.

5. Alat gerak bawah; lutut, pergelangan kaki, kaki selain jari kaki, jarikaki.

6. Sistem tubuh.

Banyak bagian Tujuan menganalisa cidera atau sakit yang mengenai

anggota bagian tubuh yang spesifik adalah untuk membantu dalam

mengembangkan program untuk mencegah terjadinya cidera karena kecelakaan,

sebagai contoh cidera mata dengan penggunaan kaca mata pelindung. Selain itu

juga bisa digunakan untuk menganalisis penyebab alami terjadinya cidera karena

kecelakaan kerja.
2.5.5 Klasifikasi Jenis Cidera Akibat Kecelakaan Kerja

Menurut Triyono (2014), Jenis cidera akibat kecelakaan kerja dan tingkat

keparahan yang ditimbulkan membuat perusahaan melakukan pengklasifikasian

jenis cidera akibat kecelakaan. Tujuan pengklasifikasian ini adalah untuk

pencatatan dan pelaporan statistik kecelakaan kerja. Banyak standar referensi

penerapan yang digunakan berbagai oleh perusahaan, salah satunya adalah standar

Australia AS 1885-1 (1990)1.

Menurut Triyono (2014), Berikut adalah pengelompokan jenis cidera dan

keparahannya :

1. Cidera fatal (fatality) Adalah kematian yang disebabkan oleh cidera atau

penyakit akibat kerja.

2. Cidera yang menyebabkan hilang waktu kerja (Loss Time Injury) adalah

suatu kejadian yang menyebabkan kematian, cacat permanen, atau

kehilangan hari kerja selama satu hari kerja atau lebih. Hari pada saat

kecelakaan kerja tersebut terjadi tidak dihitung sebagai kehilangan hari

kerja.

3. Cidera yang menyebabkan kehilangan hari kerja (Loss Time Day) adalah

semua jadwal masuk kerja yang mana karyawan tidak bisa masuk kerja

karena cidera, tetapi tidak termasuk hari saat terjadi kecelakaan. Juga

termasuk hilang hari kerja karena cidera yang kambuh dari periode

sebelumnya. Kehilangan hari kerja juga termasuk hari pada saat kerja

alternatif setelah kembali ke tempat kerja. Cidera fatal dihitung sebagai


220 kehilangan hari kerja dimulai dengan hari kerja pada saat kejadian

tersebut terjadi.

4. Tidak mampu bekerja atau cidera dengan kerja terbatas (Restrictedduty)

Adalah jumlah hari kerja karyawan yang tidak mampu untuk

mengerjakan pekerjaan rutinnya dan ditempatkan pada pekerjaan lain

sementara atau yang sudah di modifikasi. Pekerjaan alternatif termasuk

perubahan lingungan kerja pola atau jadwal kerja.

5. Cidera dirawat di rumah sakit (Medical Treatment Injury) Kecelakaan

kerja ini tidak termasuk cidera hilang waktu kerja, tetapi kecelakaan kerja

yang ditangani oleh dokter, perawat, atau orang yang memiliki

kualifikasi untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan.

6. Cidera ringan (first aid injury) Adalah cidera ringan akibat kecelakaan

kerja yang ditangani menggunakan alat pertolongan pertama pada

kecelakaan setempat, contoh luka lecet, mata kemasukan debu, dan lain-

lain.

7. Kecelakaan yang tidak menimbulkan cidera (Non Injury Incident) Adalah

suatu kejadian yang potensial, yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja

atau penyakit akibat kerja kecuali kebakaran, peledakan dan bahaya

pembuangan limbah.
2.6 Kerangka Berfikir

2.6.1 Kerangka Teori

Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK)

Kelelahan Kepala
Sakit kepala Hipertensi Hipotensi Pusing
Mudah Marah Lelah,
Nyeri di Daerah Letih, Lesu
Bagian Belakang Kulit Pucat
Mual Dan Muntah Curah Jantung

Kecepatan Isi Sekuncup Tahanan


Denyut Jantung Perifer

Usia

Jenis Kelamin

Aktivitas Fisik

Emosi

Status Gizi
Merokok
Meminum Jumlah Rokok
Alkohol Lama Menghirup
Rokok
Perilaku
Merokok

Stres Kerja

Peningkatan Risiko
Kecelakaan

Gambar 2.2 Kerangka Teori


Sumber : Arjatno, T dan Hendra, U, Tahun 2001. Adril, B, Tahun 2004. Gayton, A,
Tahun 2002. Mangku, S, Tahun 1997. Putri, R,S, Tahun 2018. Eriana, I, Tahun
2017. Hermawan, R, Tahun 2012. Buraena, S. 2015.
2.6.2 Kerangka Konsep

Variabel Independen :
Ketidakstabilan Tekanan Darah
Hipertensi
Kelelahan
Sakit kepala Variabel Dependen :
Mudah Marah
Nyeri Di Daerah Bagian Belakang
Mual Dan Muntah
Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja

Hipotensi
Kepala Pusing
Lelah, Letih, Lesu
Kulit Pucat

2.7 Hipotesis Penelitian

H0

2.7.1 Ada Pengaruh Faktor Ketidakstabilan Tekanan Darah AMT (Awak Mobil

Tanki) Terhadap Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja Di PT. Pertamina

(Persero) Terminal BBM Gorontalo Group.

2.7.2 Ada Pengaruh Kejadian Hipertensi Pada AMT (Awak Mobil Tanki)

Terhadap Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja Di PT. Pertamina (Persero)

Terminal BBM Gorontalo Group.

2.7.3 Ada Pengaruh Kejadian Hipotensi Pada AMT (Awak Mobil Tanki)

Terhadap Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja Di PT. Pertamina (Persero)

Terminal BBM Gorontalo Group.


Ha

2.7.4 Tidak Ada Pengaruh Faktor Ketidakstabilan Tekanan Darah AMT (Awak

Mobil Tanki) Terhadap Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja Di PT.

Pertamina (Persero) Terminal BBM Gorontalo Group.

2.7.5 Tidak Ada Pengaruh Kejadian Hipertensi Pada AMT (Awak Mobil Tanki)

Terhadap Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja Di PT. Pertamina (Persero)

Terminal BBM Gorontalo Group.

2.7.6 Tidak Ada Pengaruh Kejadian Hipotensi Pada AMT (Awak Mobil Tanki)

Terhadap Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja Di PT. Pertamina (Persero)

Terminal BBM Gorontalo Group.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi Penelitian

PT. Pertamina (Persero) Terminal BBM Gorontalo Group dengan alamat

Jln. Yos Sudarso No.6, Kel. Tenda, Kec. Hulonthalangi, Kota Gorontalo.

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada rentan waktu Januari 2020 sampai

Februari 2020.

3.2 Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunaakan pada penelitian ini adalah metode

penelitian kuantitatif yang dapat diartikan sebagai metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi

atau sampel tertentu, teknik pengambilan sempel pada umumnya dilakukan secara

random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data

bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah

ditetapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi atau

gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat, serta

hubungan antara fenomena yang diselidiki. Ada dua instrumen yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu menggunakan wawancara, dan angket metode tertutup.

Indikator – indikator untuk kedua variabel tersebut kemudian dijabarkan oleh

penulis menjadi sejumlah pertanyaan – pertanyaan sehingga diperoleh data

primer. Data ini akan dianalisis dengan menggunakan uji statistika yang relevan
untuk menguji hipotesis. Sedangkan teknik ukuran yang digunakan yaitu teknik

Skala Likert, (Sugiyono, 2013).

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik yaitu penelitian

yang menjelaskan adanya pengaruh antara variabel-variabel melalui pengujian

hipotesis yang telah di rumuskan sebelumnya, (Suryabrata, 2003).

11111Berdasarkan pendekatannya, penelitian ini mengguanakan pendekatan cross

sectional, survey cross sectional merupakan penelitian untuk mempelajari

dinamika korelasi antara faktor – faktor risiko dengan efek, dengan model

pendekatan atau observasi sekaligus pada satu saat, atau point approach. Dengan

pendekatan “satu saat” bukan dimaksudkan semua objek diamati tepat pada saat

yang sama, melainkan tiap subyek hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran

dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan,

(Ahmad, 2011).

Dimana data yang mencakup variabel bebas dan terikat akan dikumpulkan

dan diukur dalam waktu yang bersamaan, (Notoadmojo, 2012).

3.3 Variabel Penelitian

Variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri yang dimiliki oleh

anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh

kelompok yang lain, (Yusuf. 2015). Variabel penelitian ini di bagi atas dua yaitu :

3.3.1 Variabel Independen

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi

sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat atau dependen, (Sugiyono,

2004).
Variabel independen atau variabel bebas (disebut juga varibel pengaruh,

variabel perlakuan, klausa, treatment dan sebagainya) adalah variabel yang bila

dalam suatu saat berada bersama dengan variabel lain, variabel yang terakhir ini

berubah (atau diduga berubah) dalam variasinya, (Ahmad, 2011).

Adapun variabel independen dalam penelitian ini adalah “Ketidakstabilan

Tekanan Darah Awak Mobil Tanki”.

3.3.2 Variabel Dependen

Variabel terikat adalah variabel yang di pengaruhi karena adanya variabel

bebas. Variabel dependen atau variabel terikat, variabel yang berubah karena

variabel bebas tersebut dinamai variabel tergantung, variabel tak bebas, efek dan

sebagainya, (Ahmad, 2011).

Adapun variabel dependen penelitian ini adalah “Peningkatan Risiko

Kecelakaan Kerja”.

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan

karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan

observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena,

(Hidayat, 2007).

3.4.1 Ketidakstabilan Tekanan Darah

Tekanan darah bisa berubah setiap saat, tekanan darah yang tinggi

menandakan adanya ketidakstabilan didalam peredaran darah tubuh.

Alat Ukur : Tensi Meter

Skala : Ordinal
Skala 1 : Ya

Skala 2 : Tidak

Kriteria Objektif :

a. Tekanan Darah Tinggi jika Hasil Tensi = ≥130/90

b. Tekanan Darah Rendah jika Hasil Tensi = < 100/60

3.4.2 Hipertensi

Penyakit darah tinggi atau hipertensi (hypertension) adalah suatu keadaan di

mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang

melampaui (130/90).

Alat Ukur : Tensi Meter

Skala : Ordinal

Skala 1 : Ya

Skala 2 : Tidak

Kriteria Objektif :

a. Tekanan Darah Responden = ≥130/90

3.4.3 Hipotensi

Tekanan darah rendah adalah kondisi abnormal dimana tekanan darah

seseorang jauh lebih rendah dari biasanya yaitu dibawah 100/60 mmHg, tekanan

sistolik kurang dari 100 mmHg dan diastolik kurang dari 60 mmHg.

Alat Ukur : Tensi Meter

Skala : Ordinal

Skala 1 : Ya

Skala 2 : Tidak
Kriteria Objektif :

a. Tekanan Darah Responden = <100/60

3.4.4 Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja

Risiko adalah kemungkinan potensi terjadinya sesuatu yang menimbulkan

kerugian. Sementara, kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan

yang dapat mengganggu proses produksi/operasi, merusak harta benda/aset,

mencederai manusia, atau merusak lingkungan.

Instrumen : Kuesioner

Skala : Interval

Skala 1 : Tidak Setuju

Skala 2 : Setuju

Skala 3 : Sangat Setuju

Kriteria Objektif :

a. Tidak Berisiko Jika Rata – Rata Hasil = <50%

b. Cukup Berisiko Jika Rata – Rata Hasil = 50% - 75%

c. Sangat Berisiko Jika Rata – Rata Hasil = >75%

3.5 Populasi Dan Sampel

3.5.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan olehg peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya, (Sugiyono, 2016).


Populasi dalam penelitian ini adalah 40 orang AMT (Awak Mobil Tanki)

yang bertugas mengoperasikan Mobil Tanki di PT. Pertamina (Persero) Terminal

BBM Gorontalo Group Tahun 2019.

3.5.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut. Pengukuran sampel merupakan suatu langkah untuk

menentukan besarnya sampel yang diambil dalam melaksanakan penelitian suatu

objek. Untuk menentukan besarnya sampel bisa dilakukan dengan statistik atau

berdasarkan eatimasi penelitian. Pengambilan sampel ini harus dilakukan

sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang benar – benar dapat berfungsi

atau dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya, dengan istilah lain

harus representative (mewakili), (Sugiyono, 2016).

Sampel dalam penelitian ditentukan dan dipilih peneliti berdasrakan kriteria

bahwa sampel yang akan diteliti adalah AMT (Awak Mobil Tanki) yang

menderita Hipertesi ataupun Hipotensi.

3.6 Teknik Sampling

Menurut Sugiyono (2016), terdapat dua teknik sampling yang dapat

digunakan, yaitu :

1. Probability Sampling

Probability Sampling adalah teknik pengambilan sampel yang

memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (Anggota) populasi

untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik ini meliputi, simple


random sampling, proportionate stratified random sampling,

disproportionate stratifies random sampling, sampling area (cluser).

2. Non Probability Samping

Non probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak

memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota

populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik sampel ini meliputi,

sampling sistematis, kuota, aksidental, purposive, jenuh, snowball.

Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan yaitu non probability

sampling dengan teknik purposive sampling.

Purposive Samplimg adalah teknik pegambilan sampel sumber data dengan

pertimbangan tertentu, (Sugiyono, 2016).

Alasan menggunakan teknik Purposive Sampling adalah tidak semua

sampel memiliki kriteria yang sesuai dengan fenomena yang diteliti. Oleha karena

itu, peneliti memilih tekni Purposive Sampling dengan jenis inklusi yang

menetapkan pertimbangan – pertimbangan atau kriteria – kriteria tertentu yang

harus dipenuhi oleh sampel – sampel yang digunakan dalam penelitian ini.

3.7 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses

pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian

(Nursalam, 2008). Adapun data menurut sumbernya sebagai berikut :

3.7.1 Data Primer

Data primer merupakan materi atau kumpulan fakta yang dikumpulkan

sendiri oleh peneliti pada saat penelitian berlangsung, (Chandra, 2008).


3.7.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti dari pihak lain,

(Chandra, 2008).

3.7.3 Instrumen Penelitian

Adapun instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara terpadu, kuisioner dan observasi.

3.8 Analisis Data

Analisis data penelittian merupakan media untuk menarik kesimpulan dari

seperangkat data hasil pengumpulan. Analisis data dibedakan menjadi 2 macam

menurut Notoadmojo (2012), yaitu :

3.8.1 Analisis Univariat

Analisa unvariat yakni analisa yang dilakukan untuk memperoleh gambaran

setiap variabel, distribusi frekuensi berbagai variabel yang diteliti baik variabel

dependen maupun variabel indenpenden dengan menggunakan distribusi

frekuensi yang disajikan dalam bentuk tabel dan menggunakan rumus,

(Machfoedz, 2010).

f
p= =x 100 %
N

Keterangan :

p = Presentase

f = Jumlah Skor

N = Jumlah soal

100% = Bilangan konstanta


3.8.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui

karakteristik atau distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan analisis bivariat.

Analisis bivariat dilakukan terhadap variabel yang diduga berhubungan atau

berkolerasi, (Notoadmojo, 2012).

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji bivariat karena

untuk mengetahui korelasi antara pengaruh variabel x (Ketidakstabilan Tekanan

Darah) terhadap y (Peningkatan Risiko Kecelakaan Kerja).


DAFTAR PUSTAKA

Achmad, M. 2013. Gambaran Pengetahuan Pengemudi Mobil Tangki Terhadap


Kesehatan Dan Keselamatan Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM)
Di PT. Pertamina (Persero) TBBM Makassar. Makassar : Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar.
Ardita, P, G, dkk. 2017. Gambaran Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Hipertensi Pada Sopir Angkutankota (Studi Pada Angkutan Bus Kecil C 10
Rute Trayek Sub Terminal Rejomulyo– Jalan Tawang Kota Semarang).
Semarang : UNDIP.
Baskoro, W,D. 2013. Perlindungan Hukum Keselamatan Kerja Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaaan
Terhadap Tenaga Kerja Di PT. X Surabaya, [Skripsi]. Surabaya :
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Buraena, S. 2015. Modul 3 Penyakit Akibat Kerja. Makassar : Universitas
Hasanuddin Makassar.
Chandra, B. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : EGC.
Depkes RI. 2007. Kecelakaan di Industri. Jakarta : Departemen Kesehatan.
Eriana, I. 2017. Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Hipertensi Pada
Pegawai Negeri Sipil UIN Alauddin Makassar Tahun 2017, [Skripsi].
Makassar : UIN Alauddin Makassar.
Fitriani, N dan Neffrety Nilamsari. 2017. Faktor - Faktor Yang Berhubungan
Dengan Tekanan Darah Pada Pekerja Shift Dan Pekerja Non-Shift Di PT.
X Gresik, [Jurnal]. Surabaya : Universitas Airlangga.
Hermawan, R. 2012. Praktek Keselamatan Kerja Pada Pengangkutan (Loading)
Bahan Bakar Minyak (BBM) Di Instalasi Surabaya Group (ISG), PT.
Pertamina (Persero), [Jurnal]. Surabaya : Universitas Airlangga.
Hidayat, A,A. 2007. Metode Penelitian dan Teknik Analisis Data. Jakarta :
Salemba Medika.
Ibrahim, H. 2014. Gambaran Pengetahuan Pengemudi Mobil Tangki Terhadap
Kesehatan Dan Keselamatan Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di
PT. Pertamina (Persero) TBBM Makassar, [Jurnal]. Makassar : UIN
Alauddin Makassar.
Machfoedz, M. 2010. Komunikasi Pemasaran Modern. Yogyakarta : Cakra Ilmu.
Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Putri, R,S. 2018. Hubungan Stres Kerja Dengan Tekanan Darah Pada Pekerja
PT. Pertamina (Persero) DPPU Hasanuddin Tahun 2018, [Skripsi].
Makassar : Universitas Hasanuddin.
Rahma, S,A. 2017. Perilaku Aman Berkendara Pengemudi Truk Tangki BBM
(Studi Kualitatif Di Perusahaan Distribusi Bbm PT. X Kota Semarang).
Semarang : Universitas Diponegoro.
Redjeki, S. 2016. Modul Bahan Ajar Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta
Selatan : Pusdik SDM Kesehatan.
Sari ,M,S. 2014. Penyelesaian Dan Pemberian Ganti Kerugian Kepada Pekerja
Terhadap Penyakit Yang Timbul Akibat Kerja Di Pabrik Rokok PT. Mitra
Adi Jaya, [Jurnal]. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian. Bandung : Alfabeta.
________. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta.
________. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitataif dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung : Alfabeta.
Sulaksmono, M. 2015. Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Akibat Hubungan
Kerja [PAK & PAHK]. Surabaya : Universitas Airlangga.
Suryabrata, S. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Rajawali.
Triyono, B. 2014. Buku Ajar Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3).
Yokyakarta : TIM K3 FT UNY.
Yusuf, S.F. 2015. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Padangsidimpuan: Darmais
Press.
Undang – Undang No.3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU
Jamsostek). Jakarta.
Alodokter. 2019. Hipotensi. https://www.alodokter.com/hipotensi (Diakses Pada
Hari Senin Tanggal 23 September 2019 Pukul 12.46 PM).

Anda mungkin juga menyukai