Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH LOKAL

SEJARAH LOKAL TRADISIONAL


Babad Ksatrya Taman Bali

Disusun oleh:
Arum Purwa Kusuma
Eriana Yudha Ningrum
Farahdiba Fauzana Arfa
Handoko Fincensius
Larasati Septariani
Marchiliarno Aditya Rinaldi
Muhamad Hanafi
M. Alfian Rasyid

PENDIDIKAN SEJARAH 2012 (A)


BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Sejarah Lokal merupakan studi Sejarah yang unik dan menantang karena
memberikan gambaran yang lebih ‘dekat’ dengan realitas para pelaku sejarah karena
memang dibuat khusus untuk suatu lokalitas. Namun meski terlihat sederhana
sesungguhnya Sejarah Lokal menuntut perhatian lebih dari penulis sejarah
mengingat kompleksnya subjek kajian Sejarah Lokal. Demikianlah, untuk
mempermudah pengkajian Sejarah Lokal dibagi menjadi lima tipologi yaitu sejarah
lokal tradisional, sejarah lokal diletantis, sejarah edukatif-inspiratif, sejarah lokal
kolonial, dan sejarah lokal kritis-analitis.
Diantara kelima tipe sejarah tersebut sejarah lokal tradisional bisa dianggap
tipe sejarah lokal yang pertama-tama muncul di Indonesia. Beberapa bentuk karya
seperti hikayat, lontara, tambo, dan babad dapat digolongkan ke dalam contoh dari
sejarah lokal tradisional. Kesemuanya memperlihatkan kemiripan pada penggunaan
alam pikiran masyarakat pada masa dibuatnya. Karya-karya tersebut mencakup asal
mula suatu lokalitas tertentu serta kisah-kisah yang dialami suatu lokalitas (etnik)
pada masa lampau dengan beberapa hal yang khas pada keempatnya.
Babad, sebagai bagian dari Sejarah Lokal Tradisional memuat kisah-kisah
yang dialami suatu lokalitas. Sebagai contoh dari Sejarah Lokal Tradisional, kita
dapat mengadakan analisa lebih dalam pada Babad untuk dapat memahami Sejarah
Lokal Tradisional.

II. Rumusan Masalah


- Apakah perbedaan antara Hikayat, Lontara, Tambo, dan Babad sebagai contoh
dari Sejarah Lokal Tradisional?
- Bagaimana babad dipandang dari sudut sejarah lokal tradisional?
- Bagaimana babad mencerminkan kearifan lokal di Taman Bali?
BAB II

PEMBAHASAN

Seperti yang telah kita ketahui, Sejarah lokal berarti sejarah dari suatu “tempat”, suatu
“locality”, yang batasannya ditentukan oleh “perjanjian” yang diajukan penulis sejarah.
Batasan geografisnya dapat suatu tempat tinggal suku bangsa, yang kini mungkin telah
mencakup dua-tiga daerah administratif tingkat dua atau tingkat satu (suku bangsa Jawa,
umpamanya) dan juga dapat pula suatu kota, atau malahan suatu desa. Dengan begini,
“sejarah lokal” dengan sederhana dapat dirumuskan sebagai kisah di kelampauan dari
kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada “daerah geografis” yang
terbatas.1
Sejarah lokal memiliki banyak bentuk yang dapat dikelompokkan ke dalam lima tipe
yaitu sejarah lokal tradisional, sejarah lokal diletantis, sejarah edukatif-inspiratif, sejarah
lokal kolonial, sejarah lokal kritis-analitis. Ditulis sebagai usaha yang bertujuan untuk
mengabadikan pengalaman-pengalaman masyarakat suatu lokalitas tertentu, sesuai dengan
alam pikiran masyarakat pada masanya.
Sejarah lokal tradisional bisa dikatakan muncul karena kesadaran ataupun kesatuan
dalam etnik, dan sudah muncul suatu sistem birokrasi tradisional yang dipimpin oleh seorang
penguasa (sultan atau raja). Sejarah lokal tradisional pun mempunyai karakteristik baik itu
kelebihan maupun kekurangan.
Adapun kelebihan dari sejarah lokal tradisional antara lain sifat lokalitasnya mudah
dimengerti, mencakup asal mula suatu lokalitas tertentu serta kisah-kisah yang dialami suatu
lokalitas (etnik) pada masa lampau dengan beberapa hal yang khas, dipengaruhi oleh faktor
budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis sehingga merupakan hasil kebudayaan
suatu masyarakat, sejarah lokal tradisional masih tetap bertahan, bukan saja sebagai warisan
masa lampau, tetapi terkadang isinya masih dipercaya sebagai gambaran sejarah masa lalu
jadi bersifat fungsional dalam kehidupan kelompok tersebut, dan misalnya dalam contoh
Babad, selain dipandang sebagai karya sejarah, juga dapat merupakan suatu cerita yang
dikarang oleh seorang pujangga atau pratisentana dari suatu klen yang mempunyai
kemampuan untuk mengarang cerita baik yang berhubungan dengan suatu kelompok (etnik),
kerajaan maupun jalannya pemerintahan.

1
Taufik Abdullah , Sejarah Lokal di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1990, hlm 15
Selain kelebihan, sejarah lokal tradisional juga mempunyai kekurangan, diantaranya
belum berkembangnya kesadaran akan kesatuan antar etnik yang meliputi seluruh Indonesia,
penulis sejarah lokal tradisional jarang ditampilkan karena penonjolan individu dalam
masyarakat tradisional ini kurang dipentingkan, harus menggunakan sikap kritis yang tinggi
karena pada umumnya naskahnya tidak disusun secara ilmiah dan sering kali bercampur
dengan unsur mitos dan realitas serta sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali
bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.
Dari semua uraian sejarah lokal tradisional, dalam makalah ini penulis akan
memfokuskan dalam contoh sejarah lokal tradisional yaitu babad yang berjudul “Babad
Ksatrya Taman Bali”. Babad yang merupakan salah satu bentuk karya sastra yang dihasilkan
oleh para pujangga Bali. Tradisi penulisan babad di Bali memuncak pada zaman kerajaan
Gelgel pada masa pemerintahan Sri Waturenggong yang naik takhta sekitar tahun 1460 M2.

Hikayat, Lontara, Tambo dan Babad

Dalam latar belakang telah sedikit dijelaskan bahwa beberapa contoh dari Sejarah
Lokal Tradisional adalah hikayat, lontara, tambo dan babad. Secara singkat hikayat adalah
karya sastra lama Melayu berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah
bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat itu, dibaca untuk
pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta3. Lontara
adalah naskah dari lontar4 yang digunakan orang-orang Sulawesi sampai kira-kira abad ke-
16. Jadi dalam arti luas lontara melipui segala macam tulisan mengenai berbagai macam
bidang ilmu5. Tambo adalah uraian sejarah suatu daerah yg sering kali bercampur dengan
dongeng, membangkit-bangkit perkara yg sudah-sudah6. Babad adalah kisahan berbahasa
Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan Madura yg berisi peristiwa sejarah; cerita sejarah; riwayat
sejarah7.

2
I Wayan Sueta, Babad Ksatrya Taman Bali, Upada Sastra, Bali, 1993, hlm 1
3
http://kbbi.web.id/Hikayat (diakses tanggal 5 November 2013, pukul 20:01)
4
http://kbbi.web.id/Lontara (diakses tanggal 5 November 2013, pukul 20:05)
5
Andi Zainal Abidin, Seminar Sejarah Nasional II, Universitas Hasanuddin,1970
6
http://kbbi.web.id/Tambo (diakses tanggal 5 November 2013, pukul 20:08)
7
http://kbbi.web.id/Babad (diakses tanggal 5 November 2013, pukul 20:15)
Babad Dipandang dari Sudut Sejarah Lokal Tradisional

Babad, selain dipandang sebagai karya sejarah, juga dapat merupakan suatu cerita
yang dikarang oleh seorang pujangga atau pratisentana dari suatu klen yang mempunyai
kemampuan untuk mengarang cerita baik yang berhubungan dengan suatu kelompok (etnik),
kerajaan maupun jalannya pemerintahan.

Meskipun terdapat unsur-unsur sejarah dan sering kali digunakan sebagai sumber
sejarah, Babad awalnya tidak dipandang sebagai karya sejarah melainkan sebagai karya
sastra. Menurut I Wayan Sueta, meskipun dalam babad terdapat unsur-unsur sejarah, namun
babad tidaklah pertama-tama dapat dipandang sebaga karya sejarah, melainkan babad dapat
merupakan suatu cerita yang dikarang oleh seorang pujangga atau pratisentana dari suatu klen
yang mempunyai kemampuan untuk mengarang cerita baik yang berhubungan dengan suatu
kelompok, kerajaan maupun jalannya pemerintahan.8

Di antara banyak babad yang ada, kami mencoba mengkaji Babad ksatrya Taman Bali
yang berasal dari Bali. Babad ini menceritakan tentang kehidupan keluarga di Kerajaan
Taman Bali serta kisah-kisah atau peristiwa yang dialami di Kerajaan Taman Bali. Berikut
kutipan ringkasan ceritanya.

BABAD KSATRYA TAMAN BALI

Ringkasan

Kisah ini dimulai dari Pedanda Wawu Rauh yang menancapkan tongkat saktinya di
sebuah batu cadas sehingga keluar air yang sangat jernih berbau harum dan seorang gadis
yang kemudian diberi nama Ni Dewi Njung Asti. Air itu kemudian diberi nama Tirta Arum.
Keharuman air tersebut sampailah ke Antariksaghana, sehingga turunlah Sanghyang Wisnu
menuju Tirta Arum. Setibanya di sana, dijumpailah seorang gadis berwajah cantik.
Terpesonalah Sanghyang Wisnu sehingga kamanya keluar. Kama itulah kemudian diminum
oleh Ni Dewi Njung Asti, sehingga dia hamil. Setelah diketahui tentang asal-usulnya,
akhirnya Sanghyang Wisnu memperistri Ni Dewi Njung Asti tersebut.

8
I Wayan Sueta, Babad Ksatrya Taman Bali, Upada Sastra, Bali, 1993 hlm 2
Kemudian Bhatara Subali membangun sebuah Narmada yang bentuknya menyerupai
seperti yang ada di Majapahit, yang kemudian diberi nama Tamanbali. Beliau tidak
mempunyai putra. Karena itu, Bhatara Subali memohon seorang putra ke hadapan Sanghyang
Wisnu. Permohonan Bhatara Subali tersebut terkabul, beliau dianugrahi seorang bayi laki-
laki yang bernama Sang Angga Tirta. Nama putranya ini kemudian diganti menjadi Sang
Anom dan selanjutnya putranya (Sang Anom) dipelihara oleh salah seorang saudaranya yang
bernama Sanghyang Aji Jayarembat.

Sang Anom bertambah besar, berpesan sang ayahanda (Bhatara Subali) agar
memberikan penjelasan-penjelasan kepada para keturunan agar semua tetap mengokohkan
tentang kedudukan leluhur di dalam Piagam (sejarah), warganya yang disebut satrya
Tamanbali sampai kemudian nanti. Penjelasan itu nantinya akan berpengaruh dan dapat
menguasai negara dan mempunyai kemakmuran di negerinya. Jika meninggal nanti di dalam
melakukan upacara atiwa-tiwa (ngaben) berhak menyamai beliau dalem (papanda wauh rauh)
dengan upacara ke ksatryaan selengkapnya dan menggunakan Nagabanda. Dan bila ajaran itu
tidak dijalankan, bisa kena kutukannya. Beritahukan para keturunan agar tetap ingat pada asal
mula serta wangsanya (warga), sembahyang di Tirta Arum secara bergantian, yang masih
tetap merupakan (disebut) Ksatrya Taman bali

Selanjutnya diceritakan Sang Anom telah berkedudukan sebagai raja di Tamanbali.


Pemerintahannya dalam keadaan baik. Beberapa lama memerintah, Sang Anom
meninggalkan istrinya (I Dewa Ayu Mas) melakukan tapa ke tengah hutan (ngawana prasta).
Kemudian I Dewa Ayu Mas melahirkan seorang putra laki-laki berwajah sangat tampan yang
diberi nama I Dewa Garbhajata.

Menjelang remaja, I Dewa Garbhajata mencari ayahnya kepertapaan (hutan Alas


Dawa). Setelah bertemu, I Dewa Garbhajata diberi petuah-petuah yang menjelaskan tentang
asal mula dirinya dan ayahnya dan petuah ini harus diturunkan pada generasi-generasi
selanjutnya. Lalu I Dewa Garbhajata diperintahkan oleh ayahnya untuk menjadi raja
(menggantikan) di Tamanbali. Pada waktu pemerintahannya, negara dalam keadaan baik
karena I Dewa Garbhajata selalu mencurahkan pikirannya demi kemakmuran rakyatnya.

Selanjutnya pemerintahan dipegang oleh salah seorang keturunannya yang bernama I


Dewa Gede Tangkeban (I Dewa Gede Tamanbali).
Pada waktu kekuasaan dipegang oleh I Dewa Gede Tangkeban, negara dalam keadaan
baik. I Dewa Gede Tangkeban menurunkan sembilan putra. Salah seorang putranya bernama
I Dewa Gede Anom Teka. Karena peristiwa yang menimpa dirinya, akhirnya I Dewa Gede
Tangkeban meninggal.

Terjadi percobaan pembunuhan terhadap I Dewa Gede Anom Teka oleh pesuruh
Kyayi Anglurah Praupan di Bangli, luka yang sangat parah membuah I Dewa Gede
Tangkeban sakit parah dan akhirnya meninggal. maka I Dewa Gede Anom Teka melakukan
pembalasan terhadap Kyayi Anglurah Praupan di Bangli, karena rasa cintanya kepada
ayahandanya (I Dewa Gede Tangkeban). Terjadilah perang sangat ramai, yang berakibat
terbunuhnya Kyayi Anglurah Praupan. Kemudian I Dewa Gede Anom Teka memerintahkan
salah seorang saudaranya berkedudukan di Bangli. Sedangkan I Dewa Gede Anom Teka
menggantikan kedudukan ayahandanya di Taman Bali.

Pada waktu pemerintahan I Dewa Gede Anom Teka, negara tetap dalam keadaan baik
karena masih menjalankan perintah leluhur untuk bersembahyang di Tirta Arum dan
mengingat akan asal mulanya. I Dewa Gede Anom Teka menurunkan dua orang putra. Salah
seorang putranya bernama I Dewa Gede Raka Tamanbali. Beberapa lama memerintah, I
Dewa Gede Anom Teka digantikan oleh putranya (I Dewa Gede Raka).

Pada waktu I Dewa Gede Raka memerintah, beliau selalu menggemari perihal tari-
tarian. Beliau kemudian meminjam pelatih ke Sukawati. Kemudian terjadilah rebutan pelatih
dengan saudaranya di Bangli. Timbullah perselisihan antara mereka bahkan terjadilah perang.
Dalam perang tersebut, akhirnya raja Bangli bersembunyi ke gunung Kehen. Merasa tidak
puas, maka I Dewa Gede Raka mencari raja Bangli ke gunung Kehen; namun tidak ada.
Akhirnya I Dewa Gede Raka kembali ke Tamanbali.

Setibanya di Tamanbli, I Dewa Gede Raka mendapat laporan perihal datangnya


pasukan Klungkung. Karena itu, I Dewa Gede Raka menyerang pasukan Klungkung.
Terjadilah perang damai, yang berakibat gugurnya Cokorda Dewa Agung Putra. Perihal
kematiannya tersebut, akhirnya Bhatara Dalem Sakti menjadi sangat murka. Kemudian
Tamanbali digempur oleh Klungkung bersama-sama dengan Bangli dan Gianyar. Terjadilah
perang dahsyat, yang berakibat hancurnya kerajaan Tamanbali.
Selanjutnya, para Ksatrya Tamanbali melarikan diri ke beberapa daerah. Seluruh
kekayaan yang ada di Tamanbali dibawanya ke Bangli dan akhirnya kerajaan Tamanbali
dibakar.

Kearifan Lokal dalam Babad Ksatrya Taman Bali

Setiap manusia yang berada dalam kelompok atau komunitas tertentu dalam suatu
masyarakat akan memiliki kearifan lokal masing-masing. Kearifan lokal itu sendiri dalam
pengertiannya adalah:

Menurut Keraf (2002), kearifan lokal atau kearifan tradisional yaitu semua bentuk
keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis9.

Nilai terpenting dalam kearifan lokal adalah kebenaran yang sudah menjadi kebiasaan
atau ajeg dalam suatu daerah.

Kearifan lokal pertama yang jelas terlihat ketika Sang Anom bertambah besar,
ayahnya (Bhatara Subali) berpesan kepadanya agar memberikan penjelasan-penjelasan
kepada para keturunan agar semua tetap mengokohkan tentang kedudukan leluhur di dalam
Piagam (sejarah), warganya yang disebut satrya Tamanbali sampai kemudian nanti dan tetap
ingat pada asal mula serta warganya, sembahyang di Tirta Arum secara bergantian. Pesan ini
akan berpengaruh, dapat menguasai negara, dan mempunyai kemakmuran di negerinya. Jika
meninggal nanti di dalam melakukan upacara atiwa-tiwa (ngaben) berhak menyamai beliau
dalem (papanda wauh rauh) dengan upacara ke ksatryaan selengkapnya dan menggunakan
Nagabanda. Dan bila ajaran itu tidak dijalankan, bisa kena kutukannya. Beritahukan para
keturunan agar tetap ingat pada asal mula serta wangsanya (warga), sembahyang di Tirta
Arum secara bergantian, yang masih tetap merupakan (disebut) Ksatrya Taman bali.
Singkatnya, bahwa kita sebagai generasi selanjutnya harus saling memelihara dan
mengingatkan asal mula darimana kita berasal karena sudah merupakan kewajiban kita
sebagai masyarakat di daerah tersebut yaitu Tamanbali agar selalu menjaga Tirta Arum. Dan
upacara ngaben untuk upacara kematian yang sudah menjadi adat kebiasaan dari zaman
kerajaan Tamanbali.

9
http://www.deptan.go.id/dpi/detailadaptasi3.php (diakses tanggal 5 November 2013, pukul 21:23)
Dalam Babad Ksatrya Taman Bali tersebut menggambarkan Nafsu sebagai awal dari
suatu masalah kecil maupun besar. Terlihat dalam Babad hanya karena perebutan pelatih tari
saja dapat menimbulkan perang. Sehingga Babad ini menceritakan sebuah peringatan atau
nasehat bahwa hidup tidaklah “Saya ditambah Dunia” saja tetapi “Saya dan Dia dan Mereka
ditambah Dunia”. Sebuah perumpamaan tentang kebersamaan.

Kearifan lokal juga ditandai dengan kekhasan alam pikiran orang-orang Taman Bali
mengenai kejadian manusia yang tidak selalu harus dilahirkan dari seorang wanita. Manusia
bisa saja lahir dari laki-laki atau mati sekalipun, bahkan tanpa melewati tahapan-tahapan
pertumbuhan manusia yang seharusnya. Kisahan tersebut dibuat untuk menegaskan bahwa
tokoh tersebut bukan orang sembarangan dan pasti punya keistimewaan-keistimewaan yang
tidak boleh disamakan dengan manusia biasa. Hal ini dicontohkan dalam kelahiran Ni Dewi
Njung Asti, cikal bakal penguasa Taman Bali.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Abidin, Andi Zainal. 1970. Seminar Sejarah Nasional II: Lontara “sebagai sumber sedjarah
terpendam masa 1500-1800. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Sueta, I Wayan. 1993. Babad Ksatrya Taman Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Widja, I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://kbbi.web.id/Babad (diakses tanggal 5 November 2013, pukul 20:15)


http://kbbi.web.id/Hikayat (diakses tanggal 5 November 2013, pukul 20:01)
http://kbbi.web.id/Lontara (diakses tanggal 5 November 2013, pukul 20:05)
http://kbbi.web.id/Tambo (diakses tanggal 5 November 2013, pukul 20:08)
http://www.deptan.go.id/dpi/detailadaptasi3.php (diakses tanggal 5 November 2013, pukul
21:23)

Anda mungkin juga menyukai