Anda di halaman 1dari 7

Disusun oleh kelompok 5 :

1. Dyah Puspita Dewi (P1337420119075)


2. Nuzulul Adika Putri (P1337420119103)
3. Luqman Dava (P13374201190)

Kelas : 1 A2 reguler

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEMARANG POLITEKNIK


KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penyusun masih diberi
kesehatan sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah yang berjudul “Dilema Etik & Pengambilan Keputusan Etis dalam Keperawatan
Jiwa” ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Etika Keperawatan di Jurusan
Keperawatan Prodi D3 Keperawatan Semarang Poltekkes Kemenkes Semarang.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini dimasa
mendatang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan masyarakat pada
umumnya. Dan semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk menambah
pengetahuan para mahasiswa dan masyarakat dan pembaca.

                                                                                  Semarang, 18 Januari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1
B. Perumusan Masalah..............................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................2
A. Pengertian kode etik secara umum....................................................... 2
B. Pengertian kode etik keperawatan........................................................ 2
C. Kode etik menurut PPNI...................................................................... 3
D. Kode etik menurut ANA ......................................................................6
E. Kode etik menurut ICN........................................................................ 7
F. Fungsi kode etik keperawatan..............................................................8
G. Isi kode etik keperawatan.....................................................................9
BAB III PENUTUP..........................................................................................11
A. Kesimpulan...........................................................................................11
B. Saran.....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................12

ii
Dilema Etik vs. Kurangnya Otoritas

Dilema etik yang dihadapi perawat kesehatan jiwa berhubungan dengan masalah tindakan
perawat sebagai pembela pasien vs kurangnya otoritas. Staf perawat sadar bahwa mereka harus
membela pasien yang mengalami gangguan jiwa, namun kurangnya otoritas dalam
mengemukakan keberatan mereka atas apa yang dianggap terbaik bagi pasien. Namun demikian,
konflik ini kemungkinan terjadi bagi perawat junior karena kurangnya otoritas (Mcdonald, 1994;
Chaowalit, dkk, 2002).

Berdasarkan hasil penelitian Purba (2005) dan Lubis (2007), baik staf perawat maupun
mahasiswa perawat sering menghadapi dilema dalam hal pemberian informasi terkait kondisi
pasien kepada anggota keluarga jika mereka mendapat informasi yang tidak memadahi dari
sejawat, namun tidak memiliki otoritas. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa baik staf
perawat maupun mahasiswa perawat mempunyai kewajiban untuk menolong pasien gangguan
jiwa dengan segala keterbatasan mereka. Mereka menyadari bahwa mereka berkewajiban untuk
melakukan advokasi pada pasien gangguan jiwa. Mahasiswa perawat juga menyadari bahwa
advokasi merupakan peran penting perawat dalam memperhatikan pasien gangguan jiwa. Hal ini
disebabkan mereka mempunyai kewajiban untuk bertindak sebagai advokasi pasien (Beauchamp
& Childress, 2001; Mohr, 2003).

Sama halnya dengan staf perawat, mahasiswa perawat juga sering menghadapi masalah
ketika mereka bertindak sebagai advokasi pasien. Sebagai contoh, seorang pasien mungkin
merasa tertekan ketikaperawat memaksanya untuk minum obat ketika ia menolak untuk minum
obat, tetapi mereka tidak mempunyai otoritas untuk menolaknya. Hasil penelitian inipun relevan
dengan penelitian sebelumnyaoleh Kelly (1993), yang hasilnya menunjukkan bahwa mahasiswa
perawat yang lebih senior mempunyai pengalaman rasa bersalah ketika mereka tidak dapat
membantu pasien dan mereka merasa tidak puas dalam menjalankan praktik kliniknya.

Mahasiswa perawat juga berkeinginan untuk menjadi advokad dengan mengatasnamakan


pasien dalam meningkatkan kualitas keperawatan tetapi mereka tidak mempunyai otoritas dalam
melakukan itu. Fenomena yang sama juga dilaporkan oleh Madianos, Priami, Alevisopoulus,
Koukia, dan Rogakou (2005) bahwa mahasiswa perawat mengekspresikan perasaannya tentang

1
mempunyai otoritas yang terbatas dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangguan
jiwa karena statusnya sebagai mahasiswa di praktik klinik.

Sebagai mahasiswa perawat, mereka mungkin membuat keputusan untuk melakukan


advokasi atas nama pasien gangguan jiwa, tetapi mereka mempunyai keterbatasan melakukan
seperti yang dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional lainnya seperti dokter. Pada saat yang
bersamaan, mahasiswa perawat tidak mempunyai otoritas, pengalaman, pengetahuan, dan rasa
percaya diri (ahern & McDonald, 2002; Ham, 2004; Snowball, 1996). Fakta ini didukung oleh
Melrose dan Shapiro (1999) yang melaporkan bahwa mahasiswa perawat merasa cemas terhadap
kemampuan mereka dalam merawat pasien gangguan jiwa. Mahasiswa perawat mengekspresikan
penghargaan mereka terhadap pasien dan berkeinginan untuk melindungi pasien gangguan jiwa
dari risiko cidera dan stigma dari masyarakat tetapi tidak memiliki otoritas untuk melakukannya.
Selanjutnya, Han dan Ahn (2000) menyarankan bahwa advokasi pasien merupakan prioritas
utama tanggung jawab mahasiswa perawat sebagai calon perawat profesional di masa yang akan
datang.

Konflik dengan Teman Sejawat

Konfik merupakan adanya perbedaan dalam dua kepentingan yang berbeda. Konflik
menunjukkan perbedaan dalam inter-pribadi, antar-pribadi, antar-kelompok, atau ketiganya.
Dilema etik terkait konflik dengan teman sejawat merupakan dilema yang selalu ada dalam
praktik klinik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba (2005) menunjukkan bahwa konflik
dengan teman sejawat merupakan dilema etik yang sering dihadapi oleh perawat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Smith, Tutor, Philips (2001) yang menyatakan bahwa dalam instansi kesehatan
jiwa, perawat sering dihadapkan dengan masalah konflik dengan teman sejawat. Dilema etik ini
meliputi situasi ketika responden mempunyai konflik:

1. Penjelasan untuk tidak mengabaikan pasien, namun takut kehilangan hubungan dengan
kolega.
2. Meminta psikiatris mengunjungi pasien jika diperlukan, namun takut menghadapi konflik
dengan psikiatri.

2
3. Menghadapi konflik emosional jika teman sejawat tidak peduli dengan kebutuhan pasien
ketika memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.

Sebuah studi eksploratif terhadap 14 perawat kesehatan jiwa oleh Lutzen dan Nordin (1993)
ditemukan bahwa masalah utama yang dihadapi perawat kesehatan jiwa adalah pasien yang
menolak untuk mandi sendiri. Apakah perawat harus memaksa pasien untuk mandi merupakan
konflik bagi perawat, karena perawat tahu bahwa pasien tidak akan mengizinkan hal itu terjadi
jika ia sehat. Valente dan Saunders (2002) menyatakan bahwa konflik diantara perawat dapat
terjadi ketika tugas perawat dalam memberikan pelayanan yang aman bagi pasien dengan
masalah utama perilaku bunuh diri dipertanyakan.Dalam multidisiplin perwat mengalami konflik
dengan teman sejawat karena mereka gagal meyakinkan kolega tentang resiko bunuh diri pasien
Forchuk (1991) menambahkan adanya konflik dengan teman sejawat akan menghambat proses
pembuatan keputusan dalam mengatasi masalah pasien.

Hasil ini didukung oleh pendapat yang menyatakan bahwa konflik dengan teman sejawat
dapat memengaruhi/ menimbulkan frustasi dalam pekerjaan, tidak puas, marah, perlawanan yang
terus menerus dengan nilai-nilai yang lain seperti perbedaan nilai antara dokter dan perawat,
komunikasi yang terbatas dengan pasien, otoritas dokter, perasaan ketidakmampuan perawat
(Davis, Aroskar, Liaschenko & Drought, 1997).

Hasil penelitian Purba (2005) menunjukkan bahwa mahasiswa perawat sering menghadapi
dilema etik terkait penjelasan untuk tidak mengabaikan pasien, namun takut kehilangan
hubungan dengan kolega. Selanjutnya penelitian juga menunjukkan bahwa mahasiswa perawat
jarang menghadapi dilema etik yang berhubungan dengan kemauan menjalankan perintah teman
sejawat, walupun tidak setuju dengan mereka. Hal ini sesuai dengan kriteria kerja sama perawat
dengan sesama staf perawat yaitu harus dapat membina hubungan baik dengan teman sejawat
yang ada di lingkungan tempat kerjanya yang dilandasi adanya rasa saling menghargai, saling
memahami, dan menerima keilmuan masing-masing, memiliki citra diri positif, memiliki
kemantangan profesional yang setara, mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan atau
keinginan benegosiasi (Hanson & Spross, 1996) agar terwujudnya kualitas pelayanan
keperawatan yang baik bagi pasien. Adanya konflik dengan teman sejawat akan menghambat
proses pembuatan keputusan dalam bidang perawatan kesehatan jiwa (Forchuk, 1991).

3
4

Anda mungkin juga menyukai