Disusun Oleh :
Kelompok 4
Oktaviona 2018.C.10a.0980
Sused 2018.C.10a.0986
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena dengan rahmat
dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Keperawatan Anak II ini.
Adapun Laporan Pendahuluan yang sederhana ini membahas tentang “Laporan
Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Dengan Diagnosa Medis Systemic Lupus Erythematous
(SLE) pada anak” Laporan Pendahuluan ini kami susun agar pembaca dapat memperluas ilmu
tentang Asuhan KeperawatanSystemic Lupus Erythematous (SLE), yang kami sajikan dengan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber, walau sedikit ada rintangan namun dengan
penuh kesabaran dan pertolongan dari Tuhan akhirnya Laporan Pendahuluan ini dapat
terselesaikan.
Semoga laporan kami dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada para pembaca .Demi perbaikan laporan ini, kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan.
Penyusun
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan.............................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................1
2.1 Konsep Penyakit ...............................................................................................4
2.1.1 Definisi SLE............................................................................................4
2.1.2 Anatomi Fisologi.....................................................................................4
2.1.3 Etiologi..................................................................................................10
2.1.4 Klasifikasi..............................................................................................11
2.1.5 Fatosiologi (WOC) ...............................................................................12
2.1.6 Manifestasi Klinis .................................................................................13
2.1.7 Komplikasi ...........................................................................................13
2.1.8 Pemerikasaan Penunjang ......................................................................14
2.1.9 Penatalaksanaan Medis .........................................................................15
2.2 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia (Oksigenasi) ..........................................16
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan ..................................................................21
2.3.1 Pengkajian Keperawatan ........................................................................21
2.3.2 Diagnosa Keperawatan ...........................................................................25
2.3.3 Intervensi Keperawatan ..........................................................................25
2.3.4 Implementasi Keperawatan ....................................................................27
2.3.5 Evaluasi Keperawatan ............................................................................27
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit yang menyebabkan
peradangan atau inflamasi multisistem yang disebabkan banyak faktor dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibody yang berlebihan. Lupus hingga saat ini menyerang paling sedikit sekitar 5 juta
orang di dunia. Di Amerika hingga saat ini tercatat 1,5 juta orang menderita penyakit
lupus,Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit
untuk didiagnosis.Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminant atau
kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody didalam
tubuh .
Menurut World Health Organization (WHO) penderita lupus di Indonesia pada tahun 1998
tercatat 586 kasus, ternyata setelah tahun 2005 telah mencapai 6.578 penderita. Penderita yang
meninggal mencapai sekitar 100 orang. Pada tahun 2008, tercatat 8.693 penderita lupus dan 43
orang meninggal. Kemudian, sampai dengan April 2009, tercatat 8.891 penderita lupus dan 15
meninggal (Djoerban 2007, dalam Judha, dkk, 2015). Peningkatan kasus lupus kini signifikan.
Mulai Januari 2015, pasien lupus yang datang berobat ke RSUD dr. Moewardi mencapai 15-20
orang per hari. Peningkatan tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya 1-3 pasien.
Meningkat signifikan, terutama mulai Januari 2015 (Ciptati, dalam RRI Post, 2015).
Faktor yang meningkatkan risiko penyakit lupus yakni jenis kelamin, wanita usia produktif
lebih berisiko terkena penyakit ini. Lupus paling umum terdiagnosis pada mereka yang berusia
diantara 15-40 tahun. Ras Afrika, Hispanics dan Asia lebih berisiko terkena lupus. Paparan sinar
matahari juga menjadi faktor risiko lupus. Jenis kelamin, usia, ras, paparan sinar matahari,
konsumsi obat tertentu, infeksi virus Epstein-Barr, paparan zat kimia seperti rokok juga menjadi
faktor risiko penyakit lupus, , memaparkan bahwa seiring dengan peningkatan usia,
kemungkinan terjadi kerusakan respon imun semakin tinggi. Sehingga, kerentanan terhadap
infeksi semakin meningkat juga. Peningkatan usia juga berpengaruh terhadap respon vaksin
dalam tubuh. Respon vaksin menjadi tidak mencukupi dan kadar kelainan autoimun juga
meningkat. Penyakit SLE menyerang penderita usia produktif yaitu 15-64 tahun. Meskipun
6
begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin.
Prevalensi SLE berbeda-beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika-Amerika mempunyai prevalensi
sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina sebesar 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000
populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New
Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000
populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Hasdianah, dkk,
2016)Sebesar 20% penderita lupus akan mempunyai saudara yang akan menderita lupus. Sekitar
5% anak yang lahir dari individu yang terkena lupus, akan menderita penyakit lupus, apabila
kembar identik maka salah satu dari bayi kembar tersebut akan menderita lupus. Sebesar 10%
penderita lupus, mengalami kelainan pada lebih dari satu jaringan tubuh. Kelainan jaringan
tersebut dikenal dengan istilah “overlap syndrom” atau “mixed connective tissue disease” (Lupus
Foundation of America, 2015). Penelitian Komalig, dkk (2008), menyatakan bahwa perempuan
lebih banyak menderita lupus (94,5%), kelompok umur terbanyak pada usia 25-34 tahun (45%),
suku terbanyak yang sakit lupus berasal dari suku Jawa (33,7%), penderita lupus paling banyak
tidak bekerja (32,2%), penderita lupus paling banyak tamat akademi/perguruan tinggi (58,4%),
penyakit ISPA lebih banyak ditemukan pada penderita lupus sebelum sakit, jenis obat yang
sering dikonsumsi sebelum sakit yakni golongan ampisilin/amoksilin (63,1%), penderita lupus
tidak merokok (88,1%), menggunakan kontrasepsi (44%),melakukan aktivitas sehari-hari di luar
rumah (22,2%), sering mengalami stres (85,6%), pelayanan kesehatan yang paling banyak yakni
rumah sakit (62,8%), dan paling banyak responden tidak mengenal istilah LES sebelum sakit
(58,9%). Penelitian Washio, dkk (2006), diperoleh hasil bahwa perokok dan mantan perokok
lebih berisiko terkena SLE daripada orang yang bukan perokok (p< 0,001). Paparan rokok tidak
hanya didapat karena menghisap rokok, menjadi perokok pasif juga berisiko terkena berbagai
macam penyakit, diantaranya kanker, sakit jantung (penyakit kardiovaskular), pneumonia pada
anak, risiko terkena BBLR bagi ibu hamil, dan lain-lain (Stoppler, 2011). Hal tersebut
menunjukkan bahwa ada peran lingkungan terhadap kesehatan. Asap rokok merupakan salah
satu dari radikal bebas. Menurut Hyde (2009), radikal bebas dapat menyerang molekul penting
seperti DNA, protein dan lipid. Radikal dapat memperbanyak diri dan dapat menciptakan
kerusakan yang signifikan. Selain radikal bebas, metabolit nikotin dapat membentuk ikatan pada
basa nitrogen DNA dan menyebabkan mutas.
7
BAB 2
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
2.1.1 Definisi
Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit yang menyebabkan
peradangan atau inflamasi multisistem yang disebabkan banyak faktor dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibody yang berlebihan. Lupus hingga saat ini menyerang paling sedikit sekitar 5 juta
orang di dunia. Di Amerika hingga saat ini tercatat 1,5 juta orang menderita penyakit
lupus,Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit
untuk didiagnosis.Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminant atau
kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody didalam
tubuh.
Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda yang semuanya siap
bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit penyakit seperti virus, bakteri, mikroba,
10
parasit dan polutan. Sebagai contoh adalah cytokines yang mengarahkan sel-sel imun ke tempat
infeksi, untuk melakukan proses penyembuhan.
Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut
oksigenyang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga menyuplai jaringan tubuh
dengannutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun
sistemimun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Hormon-hormon
darisystem endokrin juga diedarkan melalui darah.. Darah manusia berwarna merah, antara
merahterang apabila kaya oksigen sampai merah tua apabila kekurangan oksigen. Warna merah
padadarah disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan (respiratory protein) yang
mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan tempat terikatnya molekul-molekul
oksigen.
Manusia memiliki sistem peredaran darah tertutup yang berarti darah mengalir
dalam pembuluh darah dan disirkulasikan oleh jantung. Darah dipompa oleh jantung menuju
paru-paruuntuk melepaskan sisa metabolisme berupa karbon dioksida dan menyerap oksigen
melalui pembuluh arteri pulmonalis, lalu dibawa kembali ke jantung melalui vena pulmonalis.
Setelah itudarah dikirimkan ke seluruh tubuh oleh saluran pembuluh darah aorta. Darah
mengedarkanoksigen ke seluruh tubuh melalui saluran halus darah yang disebut pembuluh
kapiler. Darahkemudian kembali ke jantung melalui pembuluh darah vena cava superior dan
vena cava inferior.
Darah juga mengangkut bahan bahan sisa metabolisme, obat-obatan dan bahan kimia
asingke hati untuk diuraikan dan ke ginjal untuk dibuang sebagai air seni.
Organ –Organ dalam Sistem Imun (Organ Limfoid) Berdasarkan fungsinya :
1. Organ Limfoid Primer :
11
organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel imun, yaitu kelenjar timus dan susmsum
tulang.
Organ yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses-proses reaksi imun. Misalnya
nodus limfe, limpa, the loose clusters of follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated
Lymphoid Tissue), tonsil.
2.1.3 Etiologi
Sampai saat penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum diketahui,
Didugaadabeberapainfeksidanlingkunganikutberperan pada patofisiologi SLE (Sistemik Lupus
Eritematosus).Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel
dan jaringantubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibodi
secaraterus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga
mencetuskanpenyakitinflamasiimunsistemik dengan
kerusakanmultiorgandalamfatogenesismelibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self
tolerance bersama aktifitas sel B,hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
1. Infeksi
2. Antibiotik
3. Sinar ultraviolet
12
2.2.5 Fatofisiologi
SLE
(Sistemic Lupus Eritematosus)
B1
B2 B3 B4 B5 B6
Pneumonitis
Rusaknya
Peritonitis Deposisi
jaringan
Disfungsi lupus autoantibodi dan
serebelum Sindrom kompleks imun
dan nefrotik
Adanya infiltrate
hipotalamus
diaarea etelektasis
papa pemeriksaan Antigen
melawan Vasculitis usus
sinar-X
permukaan sel Peningkatan
unsur darah Edema
Sekresi ADH autoantibodi
Disfungsi
kognitif Retensi Urin Mual muntah
Arthritis Ruam
ringan intermitem
Leukopenia Anemia malar
Kadar amylase
Hipoksia meningkat Pembengkakan
Antikoagulan Aktivita fisik
funiform sendi Hilangnya
Lupus tidak turum
rambut kepala
bekerja
dengan baik
Kejang Peradangan Miopati
Pasien lemah kelenjar liur inflamatorik
Lesi kulit
Perdarahan vaskulitik
Resiko Nekrosis
Keletihan Penurunan Ketidakseimbangan iskemik
Perfusi Nutrisi Kurang Dari tulang
Resiko Infeksi Kebutuhan Tubuh Gangguan
Jaringan Otak
Citra Diri
Nyeri Akut
2.1.6 Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak
disertaidengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun
dengangejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem
imun.
Padatipemenahunterdapatremisidaneksaserbsi.Remisinyamungkinberlangsungbertahu
n-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti
kontakdengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai
gejalaumum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan
menurun,dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai
menggigil.
1. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa
artritis(93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti
oleh lutut,pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain
pembekakandan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi.
Artritisbiasanyasimetris,tanpamenyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis.
Adakala terdapat nodul reumatoid.Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai
tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid
dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
2. Gejala mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE.
Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut,
diskoid dan livido retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong
dalam mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-
rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh
yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit
subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan
atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik
keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
terbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai
yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis,
suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang
jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis, petekie dan
purpura. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap
kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan
setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika
penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum
dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi.
Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas
penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.
3. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering
ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan
ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan
kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus
dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan
kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik,
hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE
membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan
fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau
lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis
kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu
penyebab kematian SLE kronik.
4. Kardiovaskular
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).
5. Paru
Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral.
Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang
dengan pemberian terapi yang adekuat.
Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor
lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
6. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual
(muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan
sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan
oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang
mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
7. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang
disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal.
8. Kelenjer Getah Bening
Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa
limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-
kadang disangka sebagai limfoma.
9. Kelenjer Parotis
Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.
10. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.
Biasanya bersifat sementara
11. Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis
organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan
dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala
delusi/ halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak seperti disorientasi,
sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah
dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak
dapat dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya baru
dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai.
Psikosis penyakit SLE membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis
steroid sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain
yang mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia karena mielitis
transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan
susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor - faktor yang memegang peran antara
lain vaskulitis, deposit gamaglobulin di pleksus koroideus.
2.1.7 Komplikasi
Lupus dapat mengakibatkan anemia, peningkatan risiko perdarahan, dan pembekuan darah.
Peradangan pada ginjal yang diakibatkan oleh lupus yang terjadi dalam waktu
memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit ginjal yang lebih serius, dan
memerlukan untuk pengidapnya melakukan cuci darah rutin. Komplikasi ini disebut
dengan lupus nefritis.
Jika lupus menyerang otak, gejala yang dirasakan adalah sakit kepala, pusing,
perubahan perilaku, halusinasi, bahkan kejang dan stroke. Beberapa orang juga
dapat mengalami gangguan pada ingatan.
2. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan
memperberat LES,akantetapibila kadarnyarendahtidak
akanmembahayakanpenyakitnya.Padapenderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau
tromboflebitis jangan menggunakanobat yang mengandung estrogen.
3. Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul. Pada
keluhanyang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi
nonsteroidnamun tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping
terhadap system gastrointestinal, hepardan ginjal harusdiperhatikan, dengan
pemeriksaan
kreatininserumsecaraberkala.Pemberiankortikosteroiddosisrendah15mg,setiappagi.
Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian besar
sunscreentopikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan
esternya,benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A
dan B atausteroid topikalberkekuatan sedang, misalnya betametason valerat
dantriamsinolonasetonid.
4. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5
mg/kgBB/hari,sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan
prednison 1-1,5mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram
atau 15 mg/kgBBselama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
glukokortikoid oral dosis tinggi,kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5
mg/kgBB/ hari.
Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut :
a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai
bersamakortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
d. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikangejala
artritis.
e. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort )
atautriamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
f. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria,
sepertihidroksikolorokuin sulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.
g. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan
mencegaheksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang
berhubungan dengansistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis
lupus, faskulitis dangangguan pada SSP. (Kowalak, Welsh, Mayer . 2018).
2.1.9 Penatalaksanaan
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihans ecara penurunan berat
badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium
megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin
tetapi tidak memastikan diagnostik.
a) Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang
pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk
SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderitadengan
penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis
bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat
meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya
mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.
b) Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain. ANA
adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana
cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95%
penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan
dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian
terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena
harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test
posotof maka sebaiknya dilakukan test laboratorium yang lain tetapi jika hasil test
negativ maka sebaiknya dilakukan test serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa
bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti SM ).
Anti RNP/antiribonukleo protein.
c) Test laboratorium lain
Test laboratorium lainya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring tetapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, urinalisis, serum kreatinin, test fungsi hepar.
2.2 ManajemenAsuhanKeperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian
Pengkajian merupakan proses pengumpulan data yang dilakukan secara sistemik
mengenai kesehatan. Pasien mengelompokkan data menganalisis data tersebut sehingga dapat
pengkajian adalah memberikan gambaran secara terus menerus mengenai keadaan pasien
.Adapun tujuan utama dari pada pengkajian adalah memberikan gambaran secara terus-
menerus mengenai keadaan pasien yang mungkin perawat dapat merencanakan asuhan
keperawatan. (Arif mutaaq 2013).
Pengkajian pada laparatomu meliputi identitas klien keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit psikososial.
2.2.2 Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan MRS, nomor register, dan diagnosis
medis.
2.2.3 Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri pada
abdomen.
1) Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit
a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan.R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di
bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
c. Gunting kuku secara teratur.R/: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan
risiko kerusakan dermal.
d. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.R/: dapat mengurangi kontaminasi bakteri,
meningkatkan proses penyembuhan.
INTERVENSI/TINDAKAN RASIONAL
MANDIRI
3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
b. Tinjau ulang cara penularan penyakit.R/: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi,
meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.
c. Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien. R/: merangsang
pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
d. Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi R/: memberi
kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.
INTERVENSI RASIONAL
Auskultasi bunyi napas . Catat adanya Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
bunyi napas misalnya mengi, krekels, ronchi. dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tak
dimanifestasikan adanya bunyi napas adventisius.
Misalnya penyebaran , krekels basah (bronkitis);
bunyi napas redup dengan ekspirasi mengi
(emfisema); atau tak adanya bunyi napas (asma
berat).
2.2.9Evaluasi keperawatan
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
I. Anamnesa
Pengkajian Tanggal 13 Oktober 2020. Pukul 16.00 WIB
1. Identitas pasien
Nama Klien : An. D
TTL : Palangka Raya, 19 Mei 2017
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Suku : Dayak
Pendidikan : Belum sekolah
Alamat : A. Yani, Palangka Raya
Diagnosa medis : Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
2. Identitas penanggung jawab
Nama Klien : Ny. B
TTL : Palangka Raya, 28 Maret 1994
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Dayak
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS
Alamat : A. Yani, Palangka Raya
Hubungan keluarga : Ibu
3. Keluhan utama
Orang tua klien mengatakan bahwa keluhan utama klien adalah merasa tidak nyaman
dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher.
4. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Klien datang ke RS dengan orang tuanya, orang tua klien menenjelaskan bahwa An. D
sering menangis, seperti tidak merasa nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi
dan leher, awalnya kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut bertambah lebar,
demam, dan nafsu makan pada An. D menurun. Pada pemeriksaan fisik diperoleh ruam
pada pipi dengan batas tegas, peradangan pada siku, lesi pada daerah leher, malaise.
Keterangan :
: Hubungan keluarga
: Tinggal serumah
: :Laki-laki
: Perempuan
: Klien
V. Data penunjang
Pemeriksaan pada 13 Oktober 2020
No. Pemeriksaan Hasil Nilai normal
1. Hemoglobin 8,4 g/Dl 11,5-16,5 g/dL
2. Trombosit 34.000/mm3 150.000–400.000/mm3
3. Leukosit 1.800/mm3 4.000 – 12.000/mm3
4. Hematokrit 36 % 33 -38%
DO :
- Klien tampak lesu,
lemas, dan pucat
- Tampak kemerahan
pada leher
- Tampak kemerahan
pada pipi
- Klien tampak gelisah
- Klien menangis pada
saat merasa tidak
nyaman
- TTV
TD :100/70 mmHg
N :100x/menit
S :36,60C
RR :24 x/menit
DATA SUBYEKTIF KEMUNGKINAN
MASALAH
DAN DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS : Nafsu makan menurun Defisit Nutrusi
- Orang tua klien
Kebutuhan metabolisme
mengatakan bahwa nafsu
meningkat
makan An. D menurun
Defisit Nutrusi
DO :
- Berat badan menurun
10% di bawah rentang
ideal
- Tidak mau makan
- Klien tampak lesu,
lemas, dan pucat
- TTV
TD : 100/70 mmHg
N : 100x/menit
S :36,60C
RR : 24 x/menit
DATA SUBYEKTIF KEMUNGKINAN
MASALAH
DAN DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS : Kurang terpapar Defisit Pengetahuan
Keluarga mengatakan informasi
1. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit yang di tandai dengan orang
tua klien mengatakan bahwa keluhan utama klien adalah merasa tidak nyaman dengan kulit
memerah pada daerah pipi dan leher, klien tampak lesu, lemas, dan pucat, tampak
kemerahan pada leher, tampak kemerahan pada pipi, klien tampak gelisah, klien menangis
pada saat merasa tidak nyamandan TTV : TD : 100/70 mmHg, N : 100x/menit, S :
36,60C, dan RR : 24 x/menit.
16.20 WIB 2. Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan lebih nyaman pada pipi dan leher
memperingan nyeri.
O:
3. Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa
- Masih tampak kemerahan pada leher
nyeri.
- Masih tampak kemerahan pada pipi
4. Memberikan teknik nonfarmakologis
- TTV
5. Mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk
TD : 100/70 mmHg
mengurangi rasa nyeri Kelompok 4
N : 100x/menit
6. Mengkolaborasikan dengan dokter pemberian
S :36,60C
analgetik, jika perlu.
RR : 24 x/menit
P = Intervensi
dihentikan
BAB 4
PENUTUP
4.1Kesimpulan
4.1 Saran
4.1.1 Manfaat Untuk Mahasiswa
Mengedukasi pembaca agar lebih memahami dan menjadi bahan referensi bagi perawat
dalam memberikan pendidikan pentingnya pengetahuan tentang asuhan keperawatan yang
komprehensif pada pasien dengan gangguan Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
4.1.2Untuk Klien Dan Keluarga
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi atau wawasan bagi pasien dan
Keluarga pada pasien PenyakitSystemic Lupus Erithematosus (SLE)
4.1.3 Untuk Institusi (Pendidikan dan Rumah Sakit)
Laporan kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
4.1.4 Untuk IPTEK
Hasil dari laporan kasus ini diharapkan dapat bermanfaat bagii ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya dalam bidang kesehatan terutama untuk fisioterapi
DAFTAR PUSTAKA
Akua, N. (2015). Exercising with lupus. UK: Lupus UK Youtube Chanel
(http://lupusuk.org.uk/) diakses tanggal 23 Maret 2017.
Bello, G. A., & dkk. (2016). Development and validation of a simple lupus severity index
using ACR criteria for classification of SLE. Lupus Science & Medicine.
Judha, M., & Setiawan, D. I. (2015). Apa dan Bagaimana Penyakit Lupus ? (Sistemik
Lupus Eritematosus). Yogyakarta: Gosyen Publising.
Kertia, N. (2007). The lupus book: Panduan lengkap bagi penderita lupus dan
keluarganya. Yogyakarta: B-First.
Suselo, Y. H., Balgis, & Indarto, D. (2016). Ekspresi CD3 dan CD26 pada Limfosit T
sebagai BiomarkerPotensial Penyakit Systemic Lupus Erythematosus. MKB.
Tonello, M., & dkk. (2016). Maternal autoantibody profiles at risk for autoimmune
congenital heart block: a prospective study in high-risk patients. Lupus Science
& Medicine.
Wallace, D. J., & dkk. (2016). Systemic lupus erythematosus and primaryfibromyalgia
can be distinguished by testing for cell-bound complement activation products.
Lupus Science & Medicine.