Anda di halaman 1dari 50

1

LAPORAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS


SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS (SLE) PADA ANAK

Disusun Oleh :
Kelompok 4

Bella Azsaria 2018.C.10a.0960

Lala Veronica 2018.C.10a.0974

Octavia Maretanse 2018.C.10a.0979

Oktaviona 2018.C.10a.0980

Sused 2018.C.10a.0986

Thomas Erick Helvin 2018.C.10a.0988

Trisia Veronika 2018.C.10a.0990

Windy Widiaya 2018.C.10a.0991

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena dengan rahmat
dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Keperawatan Anak II ini.
Adapun Laporan Pendahuluan yang sederhana ini membahas tentang “Laporan
Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Dengan Diagnosa Medis Systemic Lupus Erythematous
(SLE) pada anak” Laporan Pendahuluan ini kami susun agar pembaca dapat memperluas ilmu
tentang Asuhan KeperawatanSystemic Lupus Erythematous (SLE), yang kami sajikan dengan
berdasarkan pengamatan  dari berbagai sumber, walau sedikit ada rintangan namun dengan
penuh kesabaran dan pertolongan dari Tuhan akhirnya Laporan Pendahuluan ini dapat
terselesaikan.
          Semoga laporan kami dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada para pembaca .Demi perbaikan laporan ini, kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan.

Palangkaraya, 13 Oktober 2020

   
                                                                       Penyusun
3

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan.............................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................1
2.1 Konsep Penyakit ...............................................................................................4
2.1.1 Definisi SLE............................................................................................4
2.1.2 Anatomi Fisologi.....................................................................................4
2.1.3 Etiologi..................................................................................................10
2.1.4 Klasifikasi..............................................................................................11
2.1.5 Fatosiologi (WOC) ...............................................................................12
2.1.6 Manifestasi Klinis .................................................................................13
2.1.7 Komplikasi ...........................................................................................13
2.1.8 Pemerikasaan Penunjang ......................................................................14
2.1.9 Penatalaksanaan Medis .........................................................................15
2.2 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia (Oksigenasi) ..........................................16
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan ..................................................................21
2.3.1 Pengkajian Keperawatan ........................................................................21
2.3.2 Diagnosa Keperawatan ...........................................................................25
2.3.3 Intervensi Keperawatan ..........................................................................25
2.3.4 Implementasi Keperawatan ....................................................................27
2.3.5 Evaluasi Keperawatan ............................................................................27

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN .................................................................28


3.1 Pengkajian ...................................................................................................28
4

3.2 Diagnosa ......................................................................................................41


3.3 Intervensi .....................................................................................................42
3.4 Implementasi ...............................................................................................46
3.5 Evaluasi .......................................................................................................46
BAB 4 PENUTUP ................................................................................................49
4.1 Kesimpulan .................................................................................................49
4.2 Saran ............................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA
5

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit yang menyebabkan
peradangan atau inflamasi multisistem yang disebabkan banyak faktor dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibody yang berlebihan. Lupus hingga saat ini menyerang paling sedikit sekitar 5 juta
orang di dunia. Di Amerika hingga saat ini tercatat 1,5 juta orang menderita penyakit
lupus,Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit
untuk didiagnosis.Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminant atau
kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody didalam
tubuh .
Menurut World Health Organization (WHO) penderita lupus di Indonesia pada tahun 1998
tercatat 586 kasus, ternyata setelah tahun 2005 telah mencapai 6.578 penderita. Penderita yang
meninggal mencapai sekitar 100 orang. Pada tahun 2008, tercatat 8.693 penderita lupus dan 43
orang meninggal. Kemudian, sampai dengan April 2009, tercatat 8.891 penderita lupus dan 15
meninggal (Djoerban 2007, dalam Judha, dkk, 2015). Peningkatan kasus lupus kini signifikan.
Mulai Januari 2015, pasien lupus yang datang berobat ke RSUD dr. Moewardi mencapai 15-20
orang per hari. Peningkatan tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya 1-3 pasien.
Meningkat signifikan, terutama mulai Januari 2015 (Ciptati, dalam RRI Post, 2015).
Faktor yang meningkatkan risiko penyakit lupus yakni jenis kelamin, wanita usia produktif
lebih berisiko terkena penyakit ini. Lupus paling umum terdiagnosis pada mereka yang berusia
diantara 15-40 tahun. Ras Afrika, Hispanics dan Asia lebih berisiko terkena lupus. Paparan sinar
matahari juga menjadi faktor risiko lupus. Jenis kelamin, usia, ras, paparan sinar matahari,
konsumsi obat tertentu, infeksi virus Epstein-Barr, paparan zat kimia seperti rokok juga menjadi
faktor risiko penyakit lupus, , memaparkan bahwa seiring dengan peningkatan usia,
kemungkinan terjadi kerusakan respon imun semakin tinggi. Sehingga, kerentanan terhadap
infeksi semakin meningkat juga. Peningkatan usia juga berpengaruh terhadap respon vaksin
dalam tubuh. Respon vaksin menjadi tidak mencukupi dan kadar kelainan autoimun juga
meningkat. Penyakit SLE menyerang penderita usia produktif yaitu 15-64 tahun. Meskipun
6

begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin.
Prevalensi SLE berbeda-beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika-Amerika mempunyai prevalensi
sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina sebesar 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000
populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New
Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000
populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Hasdianah, dkk,
2016)Sebesar 20% penderita lupus akan mempunyai saudara yang akan menderita lupus. Sekitar
5% anak yang lahir dari individu yang terkena lupus, akan menderita penyakit lupus, apabila
kembar identik maka salah satu dari bayi kembar tersebut akan menderita lupus. Sebesar 10%
penderita lupus, mengalami kelainan pada lebih dari satu jaringan tubuh. Kelainan jaringan
tersebut dikenal dengan istilah “overlap syndrom” atau “mixed connective tissue disease” (Lupus
Foundation of America, 2015). Penelitian Komalig, dkk (2008), menyatakan bahwa perempuan
lebih banyak menderita lupus (94,5%), kelompok umur terbanyak pada usia 25-34 tahun (45%),
suku terbanyak yang sakit lupus berasal dari suku Jawa (33,7%), penderita lupus paling banyak
tidak bekerja (32,2%), penderita lupus paling banyak tamat akademi/perguruan tinggi (58,4%),
penyakit ISPA lebih banyak ditemukan pada penderita lupus sebelum sakit, jenis obat yang
sering dikonsumsi sebelum sakit yakni golongan ampisilin/amoksilin (63,1%), penderita lupus
tidak merokok (88,1%), menggunakan kontrasepsi (44%),melakukan aktivitas sehari-hari di luar
rumah (22,2%), sering mengalami stres (85,6%), pelayanan kesehatan yang paling banyak yakni
rumah sakit (62,8%), dan paling banyak responden tidak mengenal istilah LES sebelum sakit
(58,9%). Penelitian Washio, dkk (2006), diperoleh hasil bahwa perokok dan mantan perokok
lebih berisiko terkena SLE daripada orang yang bukan perokok (p< 0,001). Paparan rokok tidak
hanya didapat karena menghisap rokok, menjadi perokok pasif juga berisiko terkena berbagai
macam penyakit, diantaranya kanker, sakit jantung (penyakit kardiovaskular), pneumonia pada
anak, risiko terkena BBLR bagi ibu hamil, dan lain-lain (Stoppler, 2011). Hal tersebut
menunjukkan bahwa ada peran lingkungan terhadap kesehatan. Asap rokok merupakan salah
satu dari radikal bebas. Menurut Hyde (2009), radikal bebas dapat menyerang molekul penting
seperti DNA, protein dan lipid. Radikal dapat memperbanyak diri dan dapat menciptakan
kerusakan yang signifikan. Selain radikal bebas, metabolit nikotin dapat membentuk ikatan pada
basa nitrogen DNA dan menyebabkan mutas.
7

Berdasarkan masalah tersebut, kami tertarik untuk memberikan informasi yang


komprehensif tentang “Asuhan Keperawatan Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
Pada Anak “
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE) Pada
Anak “
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan dan memberikan tentang asuhan keperawatanPenyakit
Systemic Lupus Erithematosus (SLE) Pada Anak “
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar Penyakit Systemic Lupus Erithematosus
(SLE)?
1.3.2.2 Mahasiswa mampu menjelaskan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada pasien dengan
PenyakitSystemic Lupus Erithematosus (SLE)?
1.3.2.3 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan padapasien dengan
PenyakitSystemic Lupus Erithematosus (SLE)?
1.3.2.4 Mahasiswa mampu menentukan dan menyusun intervensi keperawatan pada
PenyakitSystemic Lupus Erithematosus (SLE)?
1.3.2.5 Mahasiswa mampu melaksanakan implementasi keperawatanPenyakitSystemic Lupus
Erithematosus (SLE)?
1.3.2.6 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan padaPenyakitSystemic Lupus
Erithematosus (SLE)?
1.3.2.7 Mahasiswa mampu menyusun dokumentasi keperawatan padaPenyakitSystemic Lupus
Erithematosus (SLE)?
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat Untuk Mahasiswa
Mengedukasi pembaca agar lebih memahami dan menjadi bahan referensi bagi perawat
dalam memberikan pendidikan pentingnya pengetahuan tentang asuhan keperawatan yang
komprehensif pada pasien dengan gangguan Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
8

1.4.2 Untuk Klien Dan Keluarga


Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi atau wawasan bagi pasien dan
Keluarga pada pasien PenyakitSystemic Lupus Erithematosus (SLE)
1.4.3 Untuk Institusi (Pendidikan dan Rumah Sakit)
Laporan kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
1.4.4 Untuk IPTEK
Hasil dari laporan kasus ini diharapkan dapat bermanfaat bagii ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya dalam bidang kesehatan terutama untuk fisioterapi
9

BAB 2
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
2.1.1 Definisi
Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit yang menyebabkan
peradangan atau inflamasi multisistem yang disebabkan banyak faktor dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibody yang berlebihan. Lupus hingga saat ini menyerang paling sedikit sekitar 5 juta
orang di dunia. Di Amerika hingga saat ini tercatat 1,5 juta orang menderita penyakit
lupus,Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit
untuk didiagnosis.Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminant atau
kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody didalam
tubuh.

(Gambar 2.1.1 Systemic Lupus Erithematous)

2.1.2 Anatomi Dan Fisiologi


Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem pertahanan manusia sebagai
perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus,
bakteri, protozoa dan parasit.

Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda yang semuanya siap
bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit penyakit seperti virus, bakteri, mikroba,
10

parasit dan polutan. Sebagai contoh adalah cytokines yang mengarahkan sel-sel imun ke tempat
infeksi, untuk melakukan proses penyembuhan.
Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut
oksigenyang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga menyuplai jaringan tubuh
dengannutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun
sistemimun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Hormon-hormon
darisystem endokrin juga diedarkan melalui darah.. Darah manusia berwarna merah, antara
merahterang apabila kaya oksigen sampai merah tua apabila kekurangan oksigen. Warna merah
padadarah disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan (respiratory protein) yang
mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan tempat terikatnya molekul-molekul
oksigen.
Manusia memiliki sistem peredaran darah tertutup yang berarti darah mengalir
dalam pembuluh darah dan disirkulasikan oleh jantung. Darah dipompa oleh jantung menuju
paru-paruuntuk melepaskan sisa metabolisme berupa karbon dioksida dan menyerap oksigen
melalui pembuluh arteri pulmonalis, lalu dibawa kembali ke jantung melalui vena pulmonalis.
Setelah itudarah dikirimkan ke seluruh tubuh oleh saluran pembuluh darah aorta. Darah
mengedarkanoksigen ke seluruh tubuh melalui saluran halus darah yang disebut pembuluh
kapiler. Darahkemudian kembali ke jantung melalui pembuluh darah vena cava superior dan
vena cava inferior.
Darah juga mengangkut bahan bahan sisa metabolisme, obat-obatan dan bahan kimia
asingke hati untuk diuraikan dan ke ginjal untuk dibuang sebagai air seni.
Organ –Organ dalam Sistem Imun (Organ Limfoid) Berdasarkan fungsinya :
1. Organ Limfoid Primer :
11

(Gambar 2.1.2 Organ Limfoid Primer)

organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel imun, yaitu kelenjar timus dan susmsum
tulang.

2. Organ Limfoid Sekunder :

(Gambar 2.1.2 Organ Limfoid Sekunder)

Organ yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses-proses reaksi imun. Misalnya
nodus limfe, limpa, the loose clusters of follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated
Lymphoid Tissue), tonsil.

2.1.3 Etiologi
Sampai saat penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum diketahui,
Didugaadabeberapainfeksidanlingkunganikutberperan pada patofisiologi SLE (Sistemik Lupus
Eritematosus).Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel
dan jaringantubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibodi
secaraterus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga
mencetuskanpenyakitinflamasiimunsistemik dengan
kerusakanmultiorgandalamfatogenesismelibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self
tolerance bersama aktifitas sel B,hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
1. Infeksi
2. Antibiotik
3. Sinar ultraviolet
12

4. Stress yang berlebihan


5. Obat-obatan yang tertentu
6. Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.Lupus
bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15kali sering
ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang menyebabkan wanita seringterserang penyakit
lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masasebelum menstruasi atau
selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormone(terutama esterogen) mungkin
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kadang-kadangobat jantung tertentu dapat
menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan menghilangbila pemakaian obat dihentikan.
2.1.4 Klasifikasi
Penyakit Lupus yang diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu :
1. Dicoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas erithema yang
meninggi, skuama, sumbatan falikuler dan telangiektasia. Lesi ini timbul dikulit kepala,
telinga, wajah, lengan, punggung dan dada. Penyakit ini menimbulkan kecacatan karena
lesi ini memperlihatkan jaringan parut.
2. Sistemik lupus erythematous
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor dan karekteristik oleh adanya gangguan disgerulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi. Autoantibody yang berlebihan terbentuknya auto
antibodi terhadap dSDNA, berbagai macam ribonuklea protein intraseluler, sel-sel darah
dan fosfolipid dan dapat menyebabkan jaringan melalui mekanisme pengaktifan
komplemen
3. Lupus Yang diinduksikan oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DP-4 menyebabkan asetilatasi akan menjadi lambat. Obat
banyak terakumulasi ditubuh sehinggan memberikan kesempatan obat untuk berikatan
dengan protein tubuh. Hal ini direspon benda asing oleh tubuh sehingga tubuh manusia
membentuk kompleks antibody antinuklir ( ANA ) untuk menyerang benda asing tersebut
13

2.2.5 Fatofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi
antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan
terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun
dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
14

2.1.5 Woc (B1-B6)

Faktor Genetik Faktor Hormonal Autoantibodi Faktor Lingkungan

Kembar Wanita subur Mempengaruhi Obat - obatan


monozigotik sel molekul
(nucleus da
sitoplasma)

Hormone Infeksi (Retrovirus


Kelompok etnik estrogen dan DNA
tertentu terpengaruh bakteri/endotoksin)
Molekul IgG
terlarut,
koagulasi

Defisiensi Peningkatan Paparan sinar


komponen hormone ultraviolet
komplemenn estrogen
yang diturunkan
15

SLE
(Sistemic Lupus Eritematosus)

B1
B2 B3 B4 B5 B6

Efusi pleura Autoantibodi Kelainan Imunoglobulin Inflamasi


Gangguan
meningkat susunan saraf mengendap saluran cerna autoimun
pusat (SSP) pada
glomerulus

Pneumonitis
Rusaknya
Peritonitis Deposisi
jaringan
Disfungsi lupus autoantibodi dan
serebelum Sindrom kompleks imun
dan nefrotik
Adanya infiltrate
hipotalamus
diaarea etelektasis
papa pemeriksaan Antigen
melawan Vasculitis usus
sinar-X
permukaan sel Peningkatan
unsur darah Edema
Sekresi ADH autoantibodi

Demam, sesak terganggu


Kerusakan hati
napas, dan
Hemoglobin Urinalisis Merusak jaringan
batuk
menurun secara langsung
16

Suplai darah Kerusakan


dan O2 ke sintesa zat-zat
Gangguan Suplai O2 dan Hematuria dan yang diperlukan
otak turun
Pola Napas nutrient turun proteinuria tubuh Arthralgia Sinar
dan mialgia matahari

Disfungsi
kognitif Retensi Urin Mual muntah
Arthritis Ruam
ringan intermitem
Leukopenia Anemia malar

Kadar amylase
Hipoksia meningkat Pembengkakan
Antikoagulan Aktivita fisik
funiform sendi Hilangnya
Lupus tidak turum
rambut kepala
bekerja
dengan baik
Kejang Peradangan Miopati
Pasien lemah kelenjar liur inflamatorik
Lesi kulit
Perdarahan vaskulitik

Resiko Nekrosis
Keletihan Penurunan Ketidakseimbangan iskemik
Perfusi Nutrisi Kurang Dari tulang
Resiko Infeksi Kebutuhan Tubuh Gangguan
Jaringan Otak
Citra Diri

Nyeri Akut
2.1.6 Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak
disertaidengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun
dengangejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem
imun.
Padatipemenahunterdapatremisidaneksaserbsi.Remisinyamungkinberlangsungbertahu
n-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti
kontakdengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai
gejalaumum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan
menurun,dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai
menggigil.
1. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa
artritis(93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti
oleh lutut,pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain
pembekakandan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi.
Artritisbiasanyasimetris,tanpamenyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis.
Adakala terdapat nodul reumatoid.Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai
tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid
dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
2. Gejala mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE.
Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut,
diskoid dan livido retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong
dalam mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-
rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh
yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit
subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan
atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik
keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
terbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai
yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis,
suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang
jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis, petekie dan
purpura. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap
kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan
setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika
penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum
dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi.
Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas
penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.
3. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering
ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan
ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan
kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus
dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan
kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik,
hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE
membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan
fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau
lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis
kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu
penyebab kematian SLE kronik.
4. Kardiovaskular
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).

5. Paru
Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral.
Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang
dengan pemberian terapi yang adekuat.
Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor
lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
6. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual
(muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan
sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan
oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang
mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
7. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang
disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal.
8. Kelenjer Getah Bening
Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa
limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-
kadang disangka sebagai limfoma.
9. Kelenjer Parotis
Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.
10. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.
Biasanya bersifat sementara
11. Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis
organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan
dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala
delusi/ halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak seperti disorientasi,
sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah
dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak
dapat dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya baru
dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai.
Psikosis penyakit SLE membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis
steroid sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain
yang mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia karena mielitis
transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan
susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor - faktor yang memegang peran antara
lain vaskulitis, deposit gamaglobulin di pleksus koroideus.
2.1.7 Komplikasi

 Komplikasi pada Sel Darah

Lupus dapat mengakibatkan anemia, peningkatan risiko perdarahan, dan pembekuan darah.

 Komplikasi pada Ginjal

Peradangan pada ginjal yang diakibatkan oleh lupus yang terjadi dalam waktu
memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit ginjal yang lebih serius, dan
memerlukan untuk pengidapnya melakukan cuci darah rutin. Komplikasi ini disebut
dengan lupus nefritis.

 Komplikasi pada Otak

Jika lupus menyerang otak, gejala yang dirasakan adalah sakit kepala, pusing,
perubahan perilaku, halusinasi, bahkan kejang dan stroke. Beberapa orang juga
dapat mengalami gangguan pada ingatan.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan
dalampenatalaksanaanpenderitaLES,terutamapadapenderitayangbaruterdiagnosis.Sebelum
penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderitatergolong yang
memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif.
Bilapenyakitinimengancamnyawadanmengenaiorgan-organmayor,makadipertimbangkan
pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi danimunosupresan lainnya.
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dariterapi adalah mengurangi
gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangandan atau tingkat aktifitas
autoimun di tubuh.
Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain (Sukmana,2018):
1. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita
harusmengklarifikasiapakahkelelahaninibagiandariderajatsakitnyaataukarenapenya
kit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau
komplikasipengobatan dan emotional stress. Upayamengurangi kelelahan
disampingpemberian obat ialah: cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu
mengubah
gayahidup.SLEdianjurkanuntukmenghindaripaparansinarmataharipadawaktu-
waktutersebut.

2. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan
memperberat LES,akantetapibila kadarnyarendahtidak
akanmembahayakanpenyakitnya.Padapenderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau
tromboflebitis jangan menggunakanobat yang mengandung estrogen.
3. Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul. Pada
keluhanyang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi
nonsteroidnamun tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping
terhadap system gastrointestinal, hepardan ginjal harusdiperhatikan, dengan
pemeriksaan
kreatininserumsecaraberkala.Pemberiankortikosteroiddosisrendah15mg,setiappagi.
Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian besar
sunscreentopikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan
esternya,benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A
dan B atausteroid topikalberkekuatan sedang, misalnya betametason valerat
dantriamsinolonasetonid.
4. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5
mg/kgBB/hari,sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan
prednison 1-1,5mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram
atau 15 mg/kgBBselama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
glukokortikoid oral dosis tinggi,kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5
mg/kgBB/ hari.
Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut :
a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai
bersamakortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
d. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikangejala
artritis.
e. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort )
atautriamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
f. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria,
sepertihidroksikolorokuin sulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.
g. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan
mencegaheksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang
berhubungan dengansistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis
lupus, faskulitis dangangguan pada SSP. (Kowalak, Welsh, Mayer . 2018).

2.1.9 Penatalaksanaan
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihans ecara penurunan berat
badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium
megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin
tetapi tidak memastikan diagnostik.
a) Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang
pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk
SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderitadengan
penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis
bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat
meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya
mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.
b) Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain. ANA
adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana
cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95%
penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan
dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian
terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena
harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test
posotof maka sebaiknya dilakukan test laboratorium yang lain tetapi jika hasil test
negativ maka sebaiknya dilakukan test serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa
bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti SM ).
Anti RNP/antiribonukleo protein.
c) Test laboratorium lain
Test laboratorium lainya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring tetapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, urinalisis, serum kreatinin, test fungsi hepar.

2.2 ManajemenAsuhanKeperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian
Pengkajian merupakan proses pengumpulan data yang dilakukan secara sistemik
mengenai kesehatan. Pasien mengelompokkan data menganalisis data tersebut sehingga dapat
pengkajian adalah memberikan gambaran secara terus menerus mengenai keadaan pasien
.Adapun tujuan utama dari pada pengkajian adalah memberikan gambaran secara terus-
menerus mengenai keadaan pasien yang mungkin perawat dapat merencanakan asuhan
keperawatan. (Arif mutaaq 2013).
Pengkajian pada laparatomu meliputi identitas klien keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit psikososial.
2.2.2 Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan MRS, nomor register, dan diagnosis
medis.
2.2.3  Keluhan Utama
Sering  menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah  nyeri pada
abdomen.

2.2.4 Riwayat Kesehatan


2.2.4.1Riwayat kesehatan sekarang
Kapan nyeri pertama kali dirasakan dan apa tindakan yang telah diambil sebelum
akhirnya klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan secara medis.
2.2.4.2 Riwayat kesehatan dahulu
`Adanya riwayat penyakit terdahulu sehingga klien dirawat di rumah sakit.
2.2.4.3 Riwayat kesehatan keluarga
Bisanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi,diabetes melitus,atau adanya
riwayat stroke dari generasi terdahulu
2.2.4.5 Riwayat psikososial dan spiritual
pasien  dalam  keluarga  status emosional meningkat, interaksi meningkat, interaksi
sosial terganggu, adanya rasa cemas yang berlebihan, hubungan dengan tetangga tidak
harmonis, status dalam pekerjaan. Dan apakah klien rajin dalam melakukan ibadah sehari-
hari
2.2.5 Pemeriksaan Fisik (B1-B6)
1. B1 (Breathing)
` Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai :
Inspeksi : Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta
penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat udara yang
tertangkap) atau bisa juga normo chest, penipisan massa otot, dan pernapasan
dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak fektif dan penggunaan
otototot bantu nafas (sternocleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi
saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan
mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai demam
mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
Palpasi : Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
Perkusi : Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor sedangkan diafrgama
menurun
Auskultasi :Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai
tingkat beratnya obstruktif pada bronkiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan
kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi
(hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan
ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikat tali sepatu, mengakibatkan
dispnea dan keletihan (dispnea eksersorial). Paru yang mengalami emfisematosa
tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus tidak dikosongkan secara efektif
dari sekresi yang dihasilkannya. Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan
infeksi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, pasien mengalami
mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi.
2. Kardiovaskuler (B2:Blood)
Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut nadi
takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak mengalami pergeseran.
Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi. Kepala dan wajah
jarang dilihat adanya sianosis.
3. Persyarafan (B3: Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi penyakit yang
serius.
4. Perkemihan (B4: Bladder)
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem
perkemihan. Namun perawat perlu memonitor adanya oliguria yang merupakan salah
satu tanda awal dari syok.
5. Pencernaan (B5: Bowel)
Pasien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan pasien tidak nafsu
makan. Kadang disertai penurunan berat badan.
6. Tulang, otot dan integument (B6: Bone)
Kerena penggunaan otot bantu nafas yang lama pasien terlihat keletihan, sering
didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL (Activity)
2.2.6 DiagnosaKeperawatan
1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan hati tidak dapat mensintesa zat-zat penting
untuk tubuh
3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengiriman oksigen/nutrient ke sel
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret
2.2.7Intervensi Keperawatan

1) Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit

a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan.R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di
bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.

b. Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, mis, membasuh kemudian


mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan
lotion atau krim.R/: mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi
barier infeksi.

c. Gunting kuku secara teratur.R/: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan
risiko kerusakan dermal.

d. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.R/: dapat mengurangi kontaminasi bakteri,
meningkatkan proses penyembuhan.

e. Kolaborasigunakan/berikan obat-obatan topical sesuai indikasi. R/: digunakan


pada perawatan lesi kulit.

3 Perubahan nutrisi berhubungan dengan mual/ muntah.


a. Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.R/: lesi
mulut,tenggorok dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan
pasien mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.

b. Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan pencegahan


sekresi. Hindari obat kumur yang mengandung alcohol.R/: Mengurangi
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan mual/muntah, lesi oral, pengeringan
mukosa dan halitosis. Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.

c. Jadwalkan obat-obatan di antara makan (jika memungkinkan) dan batasi


pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai gizi. R/:
lambung yang penuh akan akan mengurangi napsu makan dan pemasukan makanan.

d. Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin.R/: dapat meningkatkan napsu


makan dan perasaan sehat.
e. Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang melelahkan saat
mendekati waktu makan.R/: mengurangi rasa lelah; meningkatkan ketersediaan
energi untuk aktivitas makan.

f. Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan.R/: mempermudah proses


menelan dan mengurangi resiko aspirasi.

g. Catat pemasukan kalori. R/: mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen


atau alternative metode pemberian makanan.

h. KolaborasiKonsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi.R/:


Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat

INTERVENSI/TINDAKAN RASIONAL
MANDIRI

 Kaji kemampuan pasien untuk melakukan  Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.


tugas /AKS normal, catat laporan kelelahan ,
keletihan, dan kesulitan menyelesaikan tugas.

 Kaji kehilangan / gangguan keseimbangan gaya


jalan, kelemahan otot.  Menunjukkan perubahan neurologi karena
defisiensi vitamin B mempengaruhi
keamanan pasien/risiko cedera.
 Awasi TD, nadi, pernafasan, selama dan sesudah
 Manifestasi kardiopulmonal dari upaya
aktivitas. Catat respons terhadap tingkat
jantung dan paru-paru untuk membawa
aktivitas ( mis, peningkatan denyut jantung/TD,
jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
disritmia, pusing, dispnea, takipnea, dan
sebagainnya).

 Berikan lingkungan tenang. Pertahankan tirah


baring bila diindikasikan. Pantau dan batasi  Meningkatkan istirahat untuk menurunkan
pengunjung, telepon dan gangguan berulang kebutuhan oksigenn tubuh dan menurunkan
tindakan yang tak direncanakan. regangan jantung dan paru.

 Ubah posisi pasien dengan perlahann atau


pantau terhadap pusing.
 Hipotensi postural atau hipoksia serebral
dapat menyebabkan pusing, berdenyut , dan
 Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk peningkatan risiko cedera.
meningkatkan istirahat. Pilih periode istirahat
 Mempertahankan tingkat energi dan
dengan periode aktivitas.
meningkatkan regangan pada pasien jantung
 Berikan bantuan dalam aktivitas/ambulasi bila dan pernapasan.
perlu, memungkinkan pasien untuk
 Membantu bila perlu, harga diri ditingkatkan
melakukannya sebanyak mungkin.
bila pasien melakukan sesuatu sendiri.
 Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien,
termasuk aktivitas yang pasien pandang perlu.
Tingkatkan tingkat aktivitas sesuai toleransi.  Meningkatkan secara bertahap tingkat
aktivitas sampai normal dan memperbaiki
tonus otot/stamina tanpa kelemahan.
 Gunakan teknik penghematan energi, mis., Meningkatkan harga diri dan rasa terkontrol.
mandi dengan duduk, duduk untuk melakukann
 Mendorong pasien melakukan banyak
tugas-tugas.
dengan membatasi penyimpangan energi
 Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas dan mencegah kelemahan.
bila palpasi, nyeri dada, napas pendek,
 Regangan /stres kardiopulmonal
kelemahan, atau pusing terjadi
berlebihan/stres dapat menimbulkan
dekompensasi/kegagalan.

3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengiriman oksigen/nutrient ke sel.

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.


a. Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan. R/:
Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan
informasi.

b. Tinjau ulang cara penularan penyakit.R/: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi,
meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.

c. Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien. R/: merangsang
pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
d. Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi R/: memberi
kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.

e. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis, rumah sakit/pusat perawatan tempat


tinggal.R/: memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung
pemulihan dan kemandirian.

5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret

INTERVENSI RASIONAL

 Auskultasi bunyi napas . Catat adanya  Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
bunyi napas misalnya mengi, krekels, ronchi. dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tak
dimanifestasikan adanya bunyi napas adventisius.
Misalnya penyebaran , krekels basah (bronkitis);
bunyi napas redup dengan ekspirasi mengi
(emfisema); atau tak adanya bunyi napas (asma
berat).

 Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat


 Kaji atau pantau frekuensi pernapasan.
dan dapat ditemukan pada penerimaan atau
Catat rasio inspirasi/ekspirasi.
selama stres/adanya proses infeksi akut.
Pernapasan dapat melambat dan frekuensi
ekspirasi memanjang dibanding ekspirasi.

 Disfungsi pernapasan adalah variabel yang


tergantung pada tahap proses kronis selain proses
 Catat adnya/ ]derajat dispnea. Misalnya
akut yang menimbulkan perawatan di rumah
keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas,
sakit. Misalnya infeksi, reaksi alergi.
distres pernapasan, penggunaan otot bantu
 Peninggian kepala tempat tidur
napas.
mempermudah fungsi pernapasan dengan
 Memposisikan pasien semi fowler.
menggunakan gravitasi. Namun pasien dengan
distres berat akan mencari posisi yang paling
mudah untuk bernapas. Sokongan tangan/kaki
dengan meja, bantal dan lain-lain membantu
menurunkan kelemahan otot dan dapat sebagai
alat ekspansi dada

 Memberikan pasien beberapa cara untuk


mengatasi dan mengontrol dispnea

 Dorong/bantu pasien untuk melakukan


napas abdomen/bibir.

2.2.8 Implementasi keperawatan

Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap


pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan
diantaranya :Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ;
ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien pada
situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta dokumentasi
intervensi dan respon pasien.Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit
dari rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan
yang muncul pada pasien (Budianna Keliat, 2005).

2.2.9Evaluasi keperawatan

Evaluasi keperawatan adalah mengkaji respon pasien setelah dilakukan intervensi


keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan (Deswani, 2009).
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk menentukan
apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan,
merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan (Manurung, 2011). Evaluasi dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
I. Anamnesa
Pengkajian Tanggal 13 Oktober 2020. Pukul 16.00 WIB
1. Identitas pasien
Nama Klien : An. D
TTL : Palangka Raya, 19 Mei 2017
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Suku : Dayak
Pendidikan : Belum sekolah
Alamat : A. Yani, Palangka Raya
Diagnosa medis : Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
2. Identitas penanggung jawab
Nama Klien : Ny. B
TTL : Palangka Raya, 28 Maret 1994
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Dayak
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS
Alamat : A. Yani, Palangka Raya
Hubungan keluarga : Ibu
3. Keluhan utama
Orang tua klien mengatakan bahwa keluhan utama klien adalah merasa tidak nyaman
dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher.
4. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Klien datang ke RS dengan orang tuanya, orang tua klien menenjelaskan bahwa An. D
sering menangis, seperti tidak merasa nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi
dan leher, awalnya kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut bertambah lebar,
demam, dan nafsu makan pada An. D menurun. Pada pemeriksaan fisik diperoleh ruam
pada pipi dengan batas tegas, peradangan pada siku, lesi pada daerah leher, malaise.

b. Riwayat kesehatan lalu


1) Riwayat prenatal : Ibu dari klien mengatakan selama hamil An. D ia
tidak mengalami kelainan dan gizinya cukup.
2) Riwayat natal : Ibu klien mengatakan An. D lahir dengan normal,
di bantu oleh bidan, lahir dengan cukup bulan yaitu 9 bulan. Berat badan lahir yaitu
3.500 gram dengan panjang badan 42 cm. Saat lahir An. D menangis dengan spontan.
3) Riwayat postnatal : Ibu klien mengatakan ia tidak mengalami
perdarahan setelah melahirkan. Kondisinya normal.
4) Penyakit sebelumnya : Ibu klien mengatakan bahwa An. D sebelumnya
pernah menderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
5) Imunisasi
Jenis BCG DPT Polio Campak Hepatitis TT
Usia 1 bulan 2 bulan 0 bulan 15 bulan 18 bulan 0 bulan

c. Riwayat kesehatan keluarga


Orang tua An. Dmengatakan bahwa keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit yang
sama seperti An. D, dan tidak memiliki riwayat penyakit turunan.
d. Susunan genogram 3 (tiga) generasi

Keterangan :
: Hubungan keluarga
: Tinggal serumah
: :Laki-laki
: Perempuan
: Klien

II. Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan umum :
Klien datang ke RS dengan orang tuanya, orang tua klien menenjelaskan bahwa An. D
sering menangis, seperti tidak merasa nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan
leher, awalnya kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut bertambah lebar, demam,
dan nafsu makan pada An. D menurun. Pada pemeriksaan fisik diperoleh ruam pada pipi
dengan batas tegas, peradangan pada siku, lesi pada daerah leher, malaise.
2. Tanda vital
Pada saat pengkajian tekanan darah An. D : 100/70 mmHg, nadi : 100 x/mnt, suhu : 36,6
˚C, dan respirasi rate An. D : 24 x/mnt.
3. Kepala dan wajah
a. Ubun-ubun
Ubun – ubun kepala An. D menutup, dengan keadaan cembung, tidak mengalami
kelainan hidrocefalus, tidak mengalami kelainan microcephalus, serta tidak ada
keluhan lainnya.
b. Rambut
Warna rambut hitam, tidak rontok, tidak mudah di cabut, dan tidak kusam, serta tidak
ada keluhan lainnya.
c. Kepala
Keadaan kulit kepala baik, tidak ada peradangan, tidak ada benjolan, serta tidak ada
keluhan lainnya.
d. Mata
Bentuk mata simetris, conjungtiva merah muda, skelera klien normal / putih, reflek
pupil baik, tidak ada oedem palpebral, dan ketajaman penglihatan baik.
e. Telinga
Bentuk telinga simetris, tidak ada serumen / secret, tidak ada peradangan, ketajaman
pendengaran baik, serta tidak ada keluhan lainnya.
f. Hidung
Bentu hidung simetris, tidak ada serumen / secret, tidak terpasang O2, fungsi
penciuman baik, dan tidak ada keluhan lainnya.
g. Mulut
Bibir klien tidak mengalami sianosis, keadaan bibir klien kering, palatum lunak.
h. Gigi
Klien tidak ada carries, dan jumlah gigi 20 buah gigi.
4. Leher dan tengorokan
Bentuk leher klien simetris, reflek menelan baik, tidak mengalami pembesaran tonsil, tidak
mengalami pembesaran vena jugularis, lesi pada daerah leher, dan ada peradangan pada
daerah leher, seingga tampak kemerahan awalnya kecil namun setelah satu minggu ukuran
tersebut bertambah lebar.
5. Dada
Bentuk dada simetris, tidak ada retraksi dada, bunyi napas vesikuler (normal), tipe
pernapasan menggunakan perut, bunyi jantung (S1-S2 vesikuler), iktus cordis tidak terlihat,
tidak ada bunyi tambahan, tidak ada nyeri dada, dan keadaan payudara klien normal, serta
tidak ada keluhan lainnya.
6. Punggung
Bentuk punggung simetris, tidak ada peradangan, tidak ada benjolan, dan tidak ada keluhan
lainnya.
7. Abdomen
Bentuk abdomen simetris, tidak ada asites, tidak ada massa, tidak ada hepatomegaly, tidak
ada nyeri pada abdomen
8. Ektremitas
Pergerakan / tonus otot baik, tidak ada oedem, tidak ada sianosis, tidak mengalami clubbing
finger, dan keadaan kulit / tungor baik.
9. Genetalia
Kebersihan genetalia baik, keadaan testis lengkap, tidak ada hipospadia, tidak ada kelainan
epispadia, serta tidak ada keluhan lainnya.
III. Riwayat Pertumbuhan Dan Perkembangan
a. Gizi : Sebelum sakit gizi klien baik, setelah sakit gizi klien kurang
baik
b. Kemandirian dalam bergaul : Sebelum sakit, An.D mampu melakukan aktivitas sehari-
hari sepertimakan sendiri, pasang baju sendiri. An.D berteman baik dengan temansebaya.
Tapi semenjak sakit, An. D sudah tidak mampu melakukanaktifitas sehari-hari dan
memiliki keterbatasan dalam bermain denganteman-temannya.
c. Motorik halus : Pada usia tiga tahun An. D sudah bisa mencoret – coret
kertas
d. Motorik kasar : Pada usia 3 bulan, An. D sudah bisa tengkurap. Umur 8
bulan An. D sudah bisa duduk, usia 9 bulan sudah bisa berdiri, dan usia 10,5 bulan sudah
bisa melangkah.
e. Kognitif dan bahasa : Pada usia tiga tahun klien sudah bisa memahami perintah,
sudah bisa mengerti pertanyaan, perkembangan bahasa normal, An. D sudah bisa berbicara
dengan kata yang sederhana pada usia 12 bulan.
f. Psikososial : An. D mau berinteraksi dengan orang lain selain orang
tuanya saat di kasih mainan terlebih dahulu.

IV. Pola Aktifitas sehari-hari


No Pola kebiasaan Sebelum sakit Saat sakit
1 Nutrisi Frekuensi makan klien, 3 kali Frekuensi makan klien, 2
a. Frekuensi sehari. Nafsu makan/selera kali sehari. Nafsu
b. Nafsu makan/selera klien baik. Jenis makanan nasi makan/selera klien kurang
c. Jenis makanan dan lauk pauk. baik. Jenis makanan lauk
pauk.
2 Eliminasi Pola BAB dengan frekuensi 1 Pola BAB dengan
a. BAB kali sehari, dan konsistensi frekuensi 1 kali sehari atau
Frekuensi lembek. Pola BAK dengan 1 kali dalam 2 hari, dan
Konsistensi frekuensi 7 kali sehari, konsistensi keras. Pola
b. BAK dengan urine yang baik. BAK dengan frekuensi 7
Frekuensi kali sehari, dengan urine
Konsistensi yang baik.
3 Istirahat/tidur Pola istirahat siang 1 sampai 2 Pola istirahat siang 1 jam,
a. Siang/ jam jam, dan tidur pada malam dan tidur pada malam hari
b. Malam/ jam hari 10 – 11 jam. 9 – 10 jam.
4 Personal hygiene Klien dapat melakukan Klien dapat melakukan
a. Mandi personal hygiene yaitu mandi personal hygiene yaitu
b. Oral hygiene dan melakukan oral hygiene mandi dan melakukan oral
secara mandiri. hygiene di bantu oleh
orang tua.

V. Data penunjang
Pemeriksaan pada 13 Oktober 2020
No. Pemeriksaan Hasil Nilai normal
1. Hemoglobin 8,4 g/Dl  11,5-16,5 g/dL
2. Trombosit 34.000/mm3 150.000–400.000/mm3
3. Leukosit 1.800/mm3            4.000 – 12.000/mm3           
4. Hematokrit 36 % 33 -38%

Palangka Raya, 13 Oktober 2020


Mahasiswa
( Kelompok 4 )
ANALISIS DATA

DATA SUBYEKTIF KEMUNGKINAN


MASALAH
DAN DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS : Kemerahan pada pipi an Gangguan Rasa
Orang tua klien leher Nyaman
mengatakan bahwa
Merasa tidak nyaman
keluhan utama klien adalah
merasa tidak nyaman Gangguan Rasa
Nyaman
dengan kulit memerah
pada daerah pipi dan leher.

DO :
- Klien tampak  lesu, 
lemas,  dan  pucat
- Tampak kemerahan
pada leher
- Tampak kemerahan
pada pipi
- Klien tampak gelisah
- Klien menangis pada
saat merasa tidak
nyaman
- TTV
TD :100/70 mmHg
N :100x/menit
S :36,60C
RR :24 x/menit
DATA SUBYEKTIF KEMUNGKINAN
MASALAH
DAN DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS : Nafsu makan menurun Defisit Nutrusi
-          Orang tua klien
Kebutuhan metabolisme
mengatakan bahwa nafsu
meningkat
makan An. D menurun
Defisit Nutrusi
DO :
- Berat badan menurun
10% di bawah rentang
ideal
- Tidak mau makan
- Klien tampak  lesu, 
lemas,  dan  pucat
- TTV
TD : 100/70 mmHg
N : 100x/menit
S :36,60C
RR : 24 x/menit
DATA SUBYEKTIF KEMUNGKINAN
MASALAH
DAN DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS : Kurang terpapar Defisit Pengetahuan
Keluarga mengatakan informasi

mereka tidak mengetahui


Menanyakan masalah
cara merawat klien yang di hadapi
dengan Systemic Lupus
Defisit Pengetahuan
Erythematosus (SLE).
DO :
- Ibu An.D mengatakan
sering lupa memberikan
obat pada An.D(pemberian
obat tidak teratur).
- An.D sudah dua kali
dirawat di RS dengan
diagnosis penyakit yang
sama yaitu Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).
1.2 Prioritas Masalah

1. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit yang di tandai dengan orang
tua klien mengatakan bahwa keluhan utama klien adalah merasa tidak nyaman dengan kulit
memerah pada daerah pipi dan leher, klien tampak  lesu,  lemas,  dan  pucat, tampak
kemerahan pada leher, tampak kemerahan pada pipi, klien tampak gelisah, klien menangis
pada saat merasa tidak nyamandan TTV : TD : 100/70 mmHg, N : 100x/menit, S :
36,60C, dan RR : 24 x/menit.

2. Defisit Nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme yang di tandai


dengan orang tua klien mengatakan bahwa nafsu makan An. D menurun, berat badan
menurun 10% di bawah rentang ideal, tidak mau makan, klien tampak  lesu,  lemas,  dan 
pucat, dan TTV : TD : 100/70 mmHg, N : 100x/menit, S : 36,60C, dan RR : 24 x/menit.

3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi yang di tandai


dengan keluarga mengatakan mereka tidak mengetahui cara merawat keluarga dengan
Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Ibu An.D mengatakan sering lupa memberikan obat
pada An.D (pemberian obat tidak teratur), dan An.D sudah dua kali dirawat di RS dengan
diagnosis penyakit yang sama yaitu Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
3.3 Rencana Keperawatan
Nama Pasien : An. D
Ruang Rawat : Flamboyan
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi( ONEC ) Rasional
1. Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi lokasi, 1. Selalu memantau perkembangan
berhubungan dengan gejala keperawatan 1x8 jam diharapkan karakteristik, durasi, frekuensi, nyeri
penyakit yang di tandai masalah gangguan rasa nyaman kualitas, intensitas nyeri. 2. Mencari tahu faktor memperberat
dengan orang tua klien klien dapat teratasi, dengan 2. Identifikasi faktor yang dan memperingan nyeri agar
mengatakan bahwa keluhan kriteria hasil : memperberat dan memperingan mempercepat proses kesembuhan.
utama klien adalah merasa 1. Meringis menurun nyeri. 3. Memberikan kondisi lingkungan
tidak nyaman dengan kulit 2. Ketegangan otot menurun 3. Kontrol lingkungan yang yang nyaman untuk membantu
memerah pada daerah pipi 3. Gelisah menurun memperberat rasa nyeri. meredakan nyeri.
dan leher, klien tampak  4. Perasaan tertekan menurun 4. Berikan teknik 4. Salah satu cara mengurangi nyeri.
lesu,  lemas,  dan  pucat, nonfarmakologis 5. Agar klien dapat melakukan
tampak kemerahan pada 5. Ajarkan teknik secara mandiri ketika nyeri
leher, tampak kemerahan nonfarmakologis untuk kambuh.
pada pipi, klien tampak mengurangi rasa nyeri 6. Bekerja sama dengan dokter
gelisah, klien menangis 6. Kaloborasi dengan dokter dalam pemberian dosis obat.
pada saat merasa tidak pemberian analgetik, jika perlu.
nyaman dan TTV : TD :
100/70 mmHg, N :
100x/menit, S : 36,60C,
dan RR : 24 x/menit.

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi( ONEC ) Rasional


2. Defisit Nutrisi Setelah dilakukan asuhan 5. Identifikasi makanan yang di 1. Menambah nafsu makan
berhubungan dengan keperawatan 1x8 jam diharapkan sukai 2. Pantau asupan makan klien
peningkatan kebutuhan masalah gangguan defisit nutrisi 6. Monitor asupan makanan 3. Makanan yang menarik
metabolisme yang di tandai klien dapat teratasi, dengan 7. Sajikan makanan secara membantu keinginan untuk
dengan orang tua klien kriteria hasil : menarik dan suhu yang sesuai makan
mengatakan bahwa nafsu 1. Frekuensi makan meningkat 8. Berikan suplemen makanan 4. Suplemen makanan adalah
makan An. D menurun, 2. Nafsu makan meningkat 9. Anjurkan posisi duduk produk buatan pabrik yang
berat badan menurun 10% 3. Porsi makan yang di habiskan 10. Kolaborasi dengan ahli gizi dimaksudkan untuk melengkapi
di bawah rentang ideal, meningkat untuk menentukan jumlah asupan makanan ketika
tidak mau makan, klien 4. Perasaan cepat kenyang kalori dan jenis nutrient yang dikonsumsi dalam bentuk pil,
tampak  lesu,  lemas,  dan  menurun di butuhkan kapsul, tablet, atau cairan.
pucat, dan TTV : TD : 5. Pengetahuan tentang standar 5. Duduk yang bisa membuat
100/70 mmHg, N : asupan nutrisi yang tepat tenang dan santai saat makan.
100x/menit, S : 36,60C, meningkat 6. Ahli gizi atau dietitian adalah
dan RR : 24 x/menit. seorang profesional medis yang
mengkhususkan diri dalam
dietetika, yaitu studi
tentang gizi dan penggunaan diet
khusus untuk mencegah dan
mengobati penyakit.
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi( ONEC ) Rasional
3. Defisit pengetahuan Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi kesiapan dan 1. Mengetahui lebih lanjut
berhubungan dengan kurang keperawatan 1x8 jam diharapkan kemampuan menerima kesiapan yang di rasakan oleh
terpapar informasi yang di masalah defisit pengetahuan dapat informasi orang tua klien
tandai dengan keluarga teratasi, dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi faktor – faktor yang 2. Mengetahui faktor sebab akibat
mengatakan mereka tidak 1. Perilaku sesuai anjuran dapat meningkatkan dan 3. Materi yang di sampaikan harus
mengetahui cara merawat meningkat menurunkan motivasi perilaku sesuai dengan kebutuhan, dan
keluarga dengan Systemic 2. Kemampuan menjelaskan hidup bersih dan sehat menggunakan media yang baik
Lupus Erythematosus pengetahuan tentang suatu 3. Sediakan materi dan media dan menarik
(SLE), Ibu An.D topik meningkat pendidikan kesehatan 4. Penjadwalan dapat
mengatakan sering lupa 3. Perilaku sesuai dengan 4. Jadwalkan pendidikan memudahkan terselenggaranya
memberikan obat pada pengetahuan meningkat kesehatan sesuai kesepakatan pendidikan kesehatan dengan
An.D (pemberian obat tidak 4. Pertanyaan tentang masalah 5. Berikan kesempatan untuk baik
teratur), dan An.D sudah yang di hadapi menurun bertanya 5. Agar orang tua klien dapat
dua kali dirawat di RS 5. Persepsi yang keliru terhadap 6. Jelaskan faktor risiko yang mendapatkan pengetahuan yang
dengan diagnosis penyakit masalah menurun dapat mempengaruhi kesehatan lebih dan dapat menilai
yang sama yaitu Systemic 6. Verbalisasi minat dalam kepahaman
Lupus Erythematosus belajar meningkat 6. Menambah pengetahuan orang
(SLE). tua klien atau peserta
pendidikan kesehatan

4.4 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Tanda tangan dan
Hari/Tanggal, Jam Implementasi Evaluasi (SOAP)
Nama Perawat
1. Selasa/13 1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, S :
Oktober 2020, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri. Orang tua klien mengatakan klien sudah

16.20 WIB 2. Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan lebih nyaman pada pipi dan leher

memperingan nyeri.
O:
3. Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa
- Masih tampak kemerahan pada leher
nyeri.
- Masih tampak kemerahan pada pipi
4. Memberikan teknik nonfarmakologis
- TTV
5. Mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk
TD : 100/70 mmHg
mengurangi rasa nyeri Kelompok 4
N : 100x/menit
6. Mengkolaborasikan dengan dokter pemberian
S :36,60C
analgetik, jika perlu.
RR : 24 x/menit

A :Masalah belum teratasi

P = Lanjutkan intervensi 3, 4, dan 6.

Tanda tangan dan


Hari/Tanggal, Jam Implementasi Evaluasi (SOAP)
Nama Perawat
2. Selasa/13 1. Mengidentifikasi makanan yang di sukai S:
Oktober 2020, 2. Memonitor asupan makanan Orang tua klien mengatakan bahwa nafsu
16.40 WIB 3. Menyajikan makanan secara menarik dan suhu makan An. D mulai membaik
yang sesuai O:
4. Memberikan suplemen makanan - Klien mulai mau makan
5. Menganjurkan posisi duduk - Klien masih tampak  lesu,  lemas,  dan 
6. Mengkolaborasi dengan ahli gizi untuk pucat
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient - TTV Kelompok 4
yang di butuhkan TD : 100/70 mmHg
N : 100x/menit
S :36,60C
RR : 24 x/menit

A : Masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi 3, 4, dan 6


Tanda
Hari/Tanggal, tangan dan
Implementasi Evaluasi (SOAP)
Jam Nama
Perawat
3. Selasa/13 1. Mengidentifikasi kesiapan S : DS :
Oktober dan kemampuan menerima Keluarga mengatakan
2020, 17.00 informasi mereka mulai lebih
WIB 2. Mengidentifikasi faktor – mengetahui cara
faktor yang dapat merawat keluarga
meningkatkan dan dengan Systemic Lupus
menurunkan motivasi Erythematosus (SLE).
perilaku hidup bersih dan Kelompok 4
sehat O:
3. Menyediakan materi dan - Ibu An.D
mengatakan
media pendidikan
memberikan obat
kesehatan pada An.D secara
2. Menjadwalkan pendidikan teratur
- TTV normal :
kesehatan sesuai
TD : 100/70 mmHg
kesepakatan
N : 88x/menit
3. Memberikan kesempatan
S :36,50C
untuk bertanya
RR : 20x/menit
4. Menjelaskan faktor risiko
yang dapat mempengaruhi
A = Masalah teratasi
kesehatan

P = Intervensi
dihentikan

BAB 4
PENUTUP

4.1Kesimpulan

Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit yang menyebabkan


peradangan atau inflamasi multisistem yang disebabkan banyak faktor dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibody yang berlebihan. Lupus hingga saat ini menyerang paling sedikit sekitar 5 juta
orang di dunia. Di Amerika hingga saat ini tercatat 1,5 juta orang menderita penyakit
lupus,Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit
untuk didiagnosis.Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminant atau
kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody didalam
tubuh .
Menurut World Health Organization (WHO) penderita lupus di Indonesia pada tahun 1998
tercatat 586 kasus, ternyata setelah tahun 2005 telah mencapai 6.578 penderita. Penderita yang
meninggal mencapai sekitar 100 orang. Pada tahun 2008, tercatat 8.693 penderita lupus dan 43
orang meninggal. Kemudian, sampai dengan April 2009, tercatat 8.891 penderita lupus dan 15
meninggal (Djoerban 2007, dalam Judha, dkk, 2015). Peningkatan kasus lupus kini signifikan.
Mulai Januari 2015, pasien lupus yang datang berobat ke RSUD dr. Moewardi mencapai 15-20
orang per hari. Peningkatan tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya 1-3 pasien.
Meningkat signifikan, terutama mulai Januari 2015 (Ciptati, dalam RRI Post, 2015).

4.1 Saran
4.1.1 Manfaat Untuk Mahasiswa
Mengedukasi pembaca agar lebih memahami dan menjadi bahan referensi bagi perawat
dalam memberikan pendidikan pentingnya pengetahuan tentang asuhan keperawatan yang
komprehensif pada pasien dengan gangguan Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
4.1.2Untuk Klien Dan Keluarga
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi atau wawasan bagi pasien dan
Keluarga pada pasien PenyakitSystemic Lupus Erithematosus (SLE)
4.1.3 Untuk Institusi (Pendidikan dan Rumah Sakit)
Laporan kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
4.1.4 Untuk IPTEK
Hasil dari laporan kasus ini diharapkan dapat bermanfaat bagii ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya dalam bidang kesehatan terutama untuk fisioterapi

DAFTAR PUSTAKA
Akua, N. (2015). Exercising with lupus. UK: Lupus UK Youtube Chanel
(http://lupusuk.org.uk/) diakses tanggal 23 Maret 2017.
Bello, G. A., & dkk. (2016). Development and validation of a simple lupus severity index
using ACR criteria for classification of SLE. Lupus Science & Medicine.
Judha, M., & Setiawan, D. I. (2015). Apa dan Bagaimana Penyakit Lupus ? (Sistemik
Lupus Eritematosus). Yogyakarta: Gosyen Publising.
Kertia, N. (2007). The lupus book: Panduan lengkap bagi penderita lupus dan
keluarganya. Yogyakarta: B-First.
Suselo, Y. H., Balgis, & Indarto, D. (2016). Ekspresi CD3 dan CD26 pada Limfosit T
sebagai BiomarkerPotensial Penyakit Systemic Lupus Erythematosus. MKB.
Tonello, M., & dkk. (2016). Maternal autoantibody profiles at risk for autoimmune
congenital heart block: a prospective study in high-risk patients. Lupus Science
& Medicine.
Wallace, D. J., & dkk. (2016). Systemic lupus erythematosus and primaryfibromyalgia
can be distinguished by testing for cell-bound complement activation products.
Lupus Science & Medicine.

Anda mungkin juga menyukai