Anda di halaman 1dari 20

PENDIDIKAN GIZI DAN SUPLEMENTASI GIZI PADA

LANSIA DENGAN PENYAKIT ALZHEIMER

Rosyanne Kushargina
I151130391

Dosen Mata Kuliah:


Prof. Dr. Faisal Anwar MS
Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MS
Dr. Ir. Cesilia Meiti Dwiriani, M.Sc

SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penentu dalam upaya
meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Sumberdaya manusia untuk dapat meningkat,
memerlukan tingkat kesehatan manusia yang optimal. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi kesehatan masyarakat. Salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan dan
mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia adalah gizi. Gizi yang baik akan
menghasilkan SDM yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Gizi yang baik
tersebut dibutuhkan pada seluruh siklus kehidupan, mulai sejak masa kehamilan, bayi
dan balita, prasekolah, anak SD, remaja, dewasa, hingga usia lanjut agar masalah gizi
dapat dicegah.
Pelayanan gizi salah satunya dilakukan di Rumah Sakit (RS). Mengingat
pentingnya pelayanan gizi, maka pelayanan makanan bagi pasien atau orang sakit
merupakan hal yang kompleks. Penyelenggaraannya pun harus seimbang dan sejalan
dengan perawatan serta pengobatan yang diberikan. Agar tercipta kesehatan dan status
gizi optimal, tubuh perlu mengkonsumsi makanan sehari-hari yang mengandung zat-zat
gizi yang seimbang. Makanan yang diberikan pada orang sakit disesuaikan dengan
kondisi atau keadaan penyakitnya serta harus memberikan zat gizi yang seimbang untuk
dapat membantu proses penyembuhan (Almatsier 2006). Gangguan gizi merupakan
masalah yang banyak dijumpai pada pasien yang dirawat di rumah sakit maupun yang
menjalani rawat jalan. Penyebab malnutrisi ini umumnya kompleks dan multifaktor.
Terutama untuk pasien yang dirawat dalam jangka waktu yang cukup lama.
Menurut Hartono (2006), terdapat sebanyak 40%-45% pasien yang dirawat di
rumah sakit mengalami malnutrisi atau memiliki resiko malnutrisi dan 12% diantaranya
menderita malnutrisi berat. Pasien yang dirawat di RS beragam mulai dari anak-anak
hingga lansia.Tidak hanya masalah gizi pada anak-anak, saat ini masalah gizi pada
lansia seharusnya juga mulai dipertimbangkan. Terutama pada lansia yang dirawat
dalam jangka waktu lama di Rumah Sakit (RS). Pasien lansia yang dirawat di RS
memiliki penyakit beragam, mulai dari keluhan ringan sampai penyakit-penyakit
degeneratif. Salah satu penyakit yang dapat berdampak pada penurunan berat badan
pasien lansia di RS adalah Alzheimer.
Alzheimer merupakan salah satu jenis dari penyakit demensia yang paling
umum terjadi selain demensia vaskuler. Demensia adalah sekelompok penyakit dengan
ciri-ciri hilangnya ingatan jangka pendek, kemampuan berpikir (kognitif) lain dan
kemampuan melakukan hal sehari-hari. Tahun 2005 penderita demensia di kawasan
Asia Pasifik berjumlah 13,7 juta orang dan menjelang tahun 2050 jumlah ini akan
meningkat menjadi 64,6 juta orang. Di kawasan Asia Pasifik mereka yang berusia di
atas 60 tahun dewasa ini berjumlah kurang dari 10% dari jumlah penduduk seluruhnya,
sedangkan yang berusia di atas 80 tahun berjumlah 1% dari jumlah penduduk.
Menjelang tahun 2050 angka-angka ini akan meningkat menjadi 25% untuk yang
berusia di atas 60 tahun dan 5% untuk yang berusia di atas 80 tahun. Hal ini
diungkapkan melalui ringkasan eksekutif laporan acces economics untuk anggota
Alzheimer Disease Internasional di Asia Pasifik (2006).
Penurunan berat badan pada penyakit alzheimer saat ini menjadi masalah
penting. Gangguan pada pasien ini menyebabkan perubahan komposisi tubuh, dan
penilaian status gizi menggunakan indikator bokimia. Beberapa studi dilakukan untuk
mengidentifikasi penurunan berat badan seperti, korelasi antara defisiensi dengan
asupan energi yang rendah atau hiperkatabolisme pada pasien, sehingga menunjukkan
bahwa penurunan berat badan mungkin menjadi faktor risiko dalam etiologi demensia
dan psikiatris lainnya. Tingkat infeksi yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan
pengeluaran energi karena pada alzheimer terjadi gerakan berulang, dan kecacatan atau
kekurangan dari segi kognitif. Pergerakan pasien alzheimer yang menurun juga dapat
dianggap sebagai penyebab terjadinya penurunan berat badan (Diluca 1993). Penurunan
berat badan meningkatkan risiko infeksi, tekanan darah dan menurunkan penyembuhan
luka yang akhirnya dapat berpengaruh pada kualitas hidup pasien alzheimer (Riviere
2001).
Beberapa strategi dapat diadopsi untuk meningkatkan status gizi pasien dengan
alzheimer. Strategi ini termasuk program pendidikan gizi pasien dan pemberian
suplemen gizi secara oral, yang diharapkan dapat berdampak signifikan pada status gizi.
Mengacu pada hal ini Pivi et.al. (2011) melakukan studi mengenai strategi intervensi
gizi yang dapat meminimalkan atau memperbaiki status gizi pasien penyakit alzheimer.

Tujuan

Tujuan dari review ini adalah untuk melihat perbedaan pengaruh antara
suplementasi gizi secara oral dengan pendidikan gizi pada peningkatan status gizi
pasien dengan penyakit alzheimer.

METODOLOGI

Dilakukan studi prosfektif selama 6 bulan oleh klinik neurologi Departemen


Bedah Saraf dari Universidade Federal de São Paulo - Escola Paulista de Medicina
(UNIFESP /EPM) untuk mengetahui pengaruh pendidikan gizi dan suplementasi oral
pada penyakit alzheimer. Subjek yang diambil sebanyak 90 orang dengan umur
minimal 65 tahun yang merupakan pasien dan dirawat di klinik tersebut. Sampai pada
akhir studi subjek yang mengikuti studi berkurang jumlahnya menjadi 78 orang. Jumlah
subjek dan kronologis pengurangan jumlah subjek diperlihatkan dalam bagan pada
Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat 4 orang subjek yang meninggal sebelum
studi selesai dilakukan yaitu 1 orang pada CG dan 3 orang pada SG. Akses menuju
klinik juga menjadi pertimbangan subjek. Tiga orang subjek dari CG dan 4 orang dari
EG mengemukakan kesulitan transportasi untuk menuju klinik, sehingga mereka
mengundurkan diri. Terdapat 1 orang subjek pada kelompok SG yang tingkat klinis
demensia meningkat sehingga kondisi kesehatannya semakin menurun. Pasien tersebut
harus mendapatkan makanan melalui sonde (feeding tube) karena keparahan
penyakitnya sehingga tidak bisa mengikuti subjek ini. Subjek yang dimasukkan pada
studi ini adalah subjek yang masih bisa makan dengan cara oral, tidak menderita
penyakit diabetes tipe 1 dan 2, serta gangguan ginjal.

rologi Universidade Federal de São Paulo - Escola Paulista de Medicina (UNIFESP /EPM)
90 orang subjek

Control Group (CG) Education Group (EG)


Supplemantation Group (SG)
31 orang 29 orang 30 orang

27 orang 25 orang 26 orang


3= sulit akses 4= sulit akses 1= butuh tube feeding
1 = meninggal 3 = meninggal

Total Subjek di akhir studi = 78 orang

Jumlah masing-masing subjek hingga akhir studi yang dibagi menjadi tiga
kelompok perlakuan yaitu kelompok
Gambar kontrolsubjek
1 Bagan jumlah sebanyak
yang27digunakan
orang, kelompok
pada yang diberi
pendidikan gizi sebanyak 25 orang, dan kelompok
studi yang diberi suplemen sebanyak 26
orang. Semua subjek dinilai pada awal hingga data setelah intervensi interval selama
masa studi 6 bulan, termasuk orientasi kesehatan dan gizi. Status gizi subyek dinilai
menggunakan antropometri dan data biokimia. Data antropometri yang dikumpulkan
meliputi tinggi (m), berat badan saat pengamatan (kg), Body Mass Index (BMI)
(kg/m2), lingkar lengan (cm), dan lingkar lengan otot (cm). Penimbangan berat badan
menggunakan timbangan mekanik untuk orang dewasa dengan kapasitas 150 kg dan
tinggi badan menggunakan stadiometer dalam sentimeter untuk subjek yang mampu
mempertahankan postur tegak. Subjek lain dengan masalah postur seperti kyphosis atau
lordosis pengukurang tinggi badan menggunakan panjang lutut untuk menghindari bias
dalam pengukuran tinggi badan. Pengukuran massa lemak menggunakan skinfold
calliper dalam millimeter (mm). Data biokimia yang dikumpulkan meliputi total
protein (TP), kadar albumin serum dan jumlah limfosit total (TLC).
Data biokimia dikumpulkan dan dievaluasi oleh laboratorium pusat Rumah Sakit São
Paulo.
Kelompok kontrol dimonitor setiap bulan dan tidak menerima perlakuan apapun.
Kelompok ke dua mendapatkan pendidikan gizi di suatu kelas dengan pembagian
jumlah anggota kelas sebanyak 10 orang. Setiap kelas berisi maksimal 10 peserta
dengan tujuan agar lebih banyak interaksi antara subjek dan pengajar. Setiap kelas
menerangkan materi dengan tema yang berasal Asosiasi Brasil Alzheimer (ABRAZ),
yaitu sebuah organisasi nirlaba yang membantu pengasuh dan anggota keluarga pasien
dengan penyakit Alzheimer.
Materi yang diberikan dikembangkan dengan topik yang relevan dengan
perkembangan alzheimer dan timbulnya gejala yang mungkin berhubungan dengan gizi.
Materi tersebut antara lain intervensi kebutuhan gizi seperti pentingnya gizi pada
penyakit, perubahan perilaku saat makan, hidrasi, pemberian obat, cara menelan,
suplemen makanan serta berkurang nafsu makan. Subjek yang ke tiga menerima
suplemen gizi dan diminta mengkonsumsi suplemen sebanyak 2 kali sehari. Pengukuran
dilakukan satu kali sebulan dengan antropometri dan parameter biokimia. Suplemen
yang diberikan berupa makanan cair padat gizi (Ensure dengan FOSTM, Abbot
Nutrition).

FISIOLOGIS LANSIA

Terdapat beberapa kelompok rawan gizi. Salah satunya adalah lansia. Lansia
adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun wanita, yang masih
aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah
sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (Ineko dalam
Iksan 2012). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membagi lansia menjadi 4 golongan.
Golongan pertama disebut sebagai usia pertengahan (middle age) yaitu lansia yang
berusia 45 – 59 tahun. Golongan kedua adalah lanjut usia (elderly) yaitu lansia yang
berusia 60 – 74 tahun. Lanjut usia tua (old) merupakan golongan ketiga. Lansia yang
masuk golongan ini adalah yang berusia 75 – 90 tahun. Golongan yang terakhir adalah
usia sangat tua (very old) yang berusia diatas 90 tahun (WHO 2008).
Aktivitas fisik pada orang dengan usia lebih tua membuat semakin pentingnya
dilakukan pemeliharaan kesehatan dan kemandirian untuk mencegah menurunnya
kesehatan dan untuk meningkatkan kualitas hidup. Bertambahnya usia membuat mereka
cenderung melakukan sedikit aktivitas dengan intensitas yang lebih rendah. Hal ini
menyebabkan kemunduran fisiologis dan perubahan komposisi tubuh. Peningkatan
massa lemak tubuh berhubungan dengan perkembangan diabetes dan penyakit
kardiovaskular lainnya. Penurunan massa otot menyebabkan kelemahan, jatuh dan
hilangnya kebebasan untuk bergerak. Penurunan kepadatan mineral tulang pada lansia
sering menyebabkan osteoporosis, yang selanjutnya meningkatkan risiko patah tulang,
morbiditas dan mortalitas.
Perubahan komposisi tubuh juga diikuti dengan kemunduran fisiologis.
Kemunduran fisiologis tubuh menurut Damayanti (2012), adalah perubahan-perubahan
tubuh yang terjadi pada tubuh dalam proses menua, seperti rambut beruban dan
berkurang, kulit kering dan keriput, detak jantung menjadi kurang stabil, hingga
gangguan peredaran darah dan pencernaan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada
organ tubuh terkait usia dan konsekuensinya pada penyakit dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perubahan pada Organ Tubuh Terkait Usia dan Konsekuensinya pada Penyakit
Organ Tubuh Perubahan yang Terjadi Dampak
Adiposa Peningkatan lemak tubuh Obesitas
Mata Presbiopia (lensa keruh) Buta
Telinga Penurunan frekuensi tinggi Tuli
Gangguan keseimbangan glukosa DM
Endokrin Penurunan testosteron Impotensi
Penurunan penyerapan kalsium Osteoporosis
Penurunan elastisitas paru-paru
Respirasi Sesak nafas
dan dada
Penurunan elastisitas pembuluh
Jantung
Cardiovascular darah
Peningkatan tekanan darah Hipertensi
Penurunan fungsi hepar
Sirosis
Penurunan keasaman lambung
Gastrointestinal
Penurunan pergerakan usus besar Impaksi feses
Penurunan fungsi anus Inkontinensia feses
Hematologi Peningkatan autoantibodi Penyakit alergi
Penurunan massa otot
Muskulosketal Imobilitas
Penurunan densitas tulang
Atrofi otak Depresi, demensia
Sistem saraf Penurunan refleks tubuh (alzheimer), mudah
jatuh, susah tidur.
(Sumber: Damayanti 2012)

Penuaan dikaitkan dengan sejumlah besar perubahan fungsi imunitas tubuh.


Lansia yang umumnya menderita kekurangan gizi makro dan mikro akan memiliki
respons sistem dan fungsi imun yang rendah. Kasus malnutrisi pada lansia seharusnya
memiliki perhatian khusus secara dini, termasuk pemberian vaksinasi untuk pencegahan
penyakit. Penyakit infeksi yang dialami oleh lansia dapat dicegah atau diturunkan
melalui upaya-upaya perbaikan gizi dengan peningkatan sistem imun. Jika fungsi imun
lansia dapat ditingkatkan, maka kualitas hidup individu meningkat dan biaya pelayanan
kesehatan dapat ditekan (Fatmah 2006).
PENYAKIT ALZHEIMER PADA LANSIA

Lansia mengalami penurunan fungsi dari sistem syaraf. Tabel 1 memperlihatkan


bahwa salah satu dampak dari penurunan sistem saraf adalah demensia. Demensia
merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan fungsi intelektual meliputi memori
dan proses berfikir sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari (Tampubolon 2011).
Kondisi yang berhubungan dengan penurunan kognitif dan demensia dapat dilihat pada
Tabel 2. Alzheimer merupakan salah satu jenis dari penyakit demensia yang paling
umum terjadi selain demensia vaskuler. Alzheimer adalah penyakit yang terjadi pada
pada syaraf yang sifatnya irreversible. Umumnya masyarakat mengenal alzheimer
dengan istilah pikun. Akibat alzheimer berupa kerusakan ingatan, penilaian,
pengambilan keputusan, orientasi fisik secara keselurahan dan cara berbicara (Brown
2011).
Tabel 2 Kondisi yang berhubungan dengan penurunan kognitif dan demensia
Kondisi Perubahan yang terjadi
Demensia vaskuler “Mini-Strokes” dan sumbatan pembuluh darah yang
menghambat oksigen dan zat gizi lain ke otak
Alzheimer dan Perubahan sistem syaraf yang berpengaruh pada daya
parkinson ingat dan daya pikir
Trauma fisik dan Cedera otak dapat berakibat pada fungsi fisik tubuh
infeksi dan kognitif
Depresi Dapat terjadi karena efek mood yang cepat
Penyakit kronis dan Kerusakan syaraf yang sifatnya irreversible
kecanduan alkohol
Malnutrisi, termasuk Kebingungan meningkat akibat dehidrasi, kerusakan
defisiensi vitamin B12 syaraf permanen karena kekurangan vitamin B12,
dan dehidrasi kelaparan kronis karena tetap membuat otak bekerja
fokus melebihi kapasitasnya
Defisiensi niasin, Penurunan kemampuan memahami sesuatu dan
tiamin, asam folat, depresi efek dari kekuarangan vitamin dan mineral
biotin, zat besi dan tersebut
selenium
(Sumber : Brown 2011)
Gangguan memori khas mempengaruhi registrasi, penyimpanan, dan
pengambilan kembali informasi dari otak pada lansia dengan penyakit alzheimer
(Tampubolon 2011). Hal ini disebabkan impuls saraf yang tidak tersambung satu
dengan yang lainnya, seperti ditampilkan pada gambar 2.
Prevalensi alzheimer berbeda antara pria dan wanita. Prevalensi alzheimer dapat
dilihat pada Gambar 3. Prevalensi azheimer untuk wanita dan pria meningkat setelah
berusia 80 tahun. Kasus alzheimer pada wanita lebih banyak terjadi dibandingkan pada
pria meskipun perbedaannya tidak terlalu banyak. Hal ini disebabkan karena usia
harapan hidup wanita lebih tinggi dari pria. Semakin tinggi usia harapan hidup
perempuan maka semakin lama kesempatan lansia perempuan untuk hidup, sehingga
semakin besar kemungkinan mengalami demensia. Jenis kelamin dianggap
mempengaruhi memori seseorang meskipun belum ada kepastian antara laki-laki dan
perempuan. Bridge et al. (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa perempuan
memiliki kemampuan mengkorelasikan suatu informasi lebih baik dari pada laki-laki.
Gambar 2 Kondisi Impuls Saraf pada Penyakit Alzheimer
(Sumber: Damayanti 2012)
Gambar 3 juga menunjukkan bahwa serangan alzheimer sudah mulai terjadi
pada usia 60-65 tahun walaupun jumlahnya sedikit. Angka penderita Alzheimer di
Amerika mencapai 123/100.000 penduduk per tahun dan merupakan penyebab kematian
keempat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu seperti yang dikemukakan
oleh Brown (2011). Hasil penelitian tersebut mengemukakan 5 penyakit penyebab
kematian terbesar di Amerika, yaitu: 1. Penyakit jantung (29%); 2. Kanker (22%); 3.
Penyakit cerebrovaskular (7%); 4. Penyakit alzheimer (4%); dan 5. Diabetes melitus
(3%). WHO memperkirakan lebih dari 1 milyar orang dengan usia lebih dari 60 tahun
mengidap Alzheimer.  Menurut Frageti (2012), Indonesia memiliki jumlah lansia 18,5
juta orang tetapi angka insiden dan prevalensi penyakit ini belum diketahui.

Gambar 3 Prevalensi alzheimer


(Sumber: Anonim 2012)
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa pada etiologi alzheimer terdapat
peran genetik dan non genetik atau lingkungan. Adanya gangguan imunitas, infeksi
virus, polusi udara, trauma, gangguan neurotransmiter dapat menyebabkan terjadinya
alzheimer. Penelitian Himbergen et.al (2012) menunjukkan bahwa pengelolaan faktor-
faktor risiko kardiovaskular, seperti diabetes tipe 2 (T2D), tekanan darah tinggi, dan
obesitas, juga dapat menyebabkan penurunan kognitif dan menyebabkan terjadinya
alzheimer namun mekanisme tersebut masih diteliti lebih lanjut. Beberapa faktor resiko
terjadinya alzheimer menurut Frageti (2012) antara lain, (1) penderita hipertensi yang
berusia lebih dari 40 tahun; (2) diabetesi; (3) malas berolahraga; (4) kadar kolesterol
dalam darah tinggi; (5) mempunyai  anggota keluarga mengidap penyakit ini.
Deteksi alzheimer dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang, diantaranya
pemeriksaan neuropatologi, pemeriksaan neuropsikologik, CT scan dan MRI, EEG,
PET (Positron Emission Tomography) , SPECT (Single Photen Emission Computed
Tomography) dan laboratorium darah. Kondisi alzheimer yang dibiarkan tanpa ada
upaya pengobatan dapat mengganggu kehidupan penderitanya. Gangguan tersebut
menurut Frageti (2012) antara lain :
 Gangguan memori yang mempengaruhi ketrampilan pekerjaan, misalnya lupa
meletakkan kunci mobil, lupa nomor telpon atau lupa mencampurkan gula
dalam minuman
 Kesulitan dalam bicara dan berbahasa
 Disorieantasi orang, tempat dan waktu, misalnya tidak mengenali teman kerja,
lupa alamat kantor
 Kesulitan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan seperti tidak mampu untuk
mengenakan sepatu
 Salah meletakkan barang
 Terjadi perubahan mood dan perilaku seperti cepat marah, hilang minat
terhadap hobi
 Hilangnya minat
 Perubahan kepribadian seperti menjadi penakut atau malu terhadap orang
banyak
 Kesulitan mengambil keputusan yang tepat.

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah alzheimer. Konsumsi


antioksidan seperti vitamin A, C dan E, memperbanyak konsumsi sayuran dan buah-
buahan, menghindari produk instan, serta menghindari paparan logam berat dapat
menangkal radikal bebas yang memicu penyakit alzheimer. Konsumsi ikan juga dapat
mencegah alzheimer karena mengandung Omega 3 yang dipercaya menghindari
kerusakan kognitif pada otak dan pastikan asupan makanan membantu tubuh
membentuk neurotransmitter penting seperti asetilcoline,  serotonin, dopamine dan
noripenefrin. Rajin berolahraga juga dapat mencegah resiko alzheimer. Olahraga
berfungsi untuk memperlancar peredaran darah dari jantung ke otak sehingga membantu
agar otak tetap aktif (Frageti 2012).
PENDIDIKAN GIZI DAN SUPLEMENTASI ORAL PADA STATUS
GIZI LANSIA DENGAN PENYAKIT ALZHEIMER

Data demografi subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3


menunjukkan bahwa subjek penelitian yang digunakan merupakan lansia pada golongan
dua (elderly) yaitu lansia yang berusia 60 – 74 tahun dan lansia golongan tiga atau yang
biasa disebut lanjut usia tua (old) yang berusia 75 – 90 tahun (Nugroho 2008). Hal ini
ditunjukkan dari rata-rata umur subjek pada tiga kelompok berkisar antara 75 tahun
sampai dengan 78 tahun. Penyakit Alzheimer akan semakin berkembang ketika lansia
memasuki golongan ke dua dengan usia di atas 65 tahun. Tidak ada perbedaan
signifikan (P > 0,05) pada umur, tingkat pendidikan, Mini-Mental State Examination
(MMSE) dan waktu kejadian penyakit (Tempev) pada tiga kelompok subjek. MMSE
merupakan metode pengukuran kemampuan kognitif. MMSE mengukur orientasi
spasial, ingatan, perhatian, pengukuran, kemampuan bahasa, dan Clinical Dementia
Rating (CDR). Pengambilan data MMSE dilakukan oleh neuropsikologis.
Tabel 3 Data Demografi Subjek

Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan salah satu jenis pemeriksaan


demensia yang digunakan untuk menilai drajat demensia ke dalam beberapa tingkatan
(Burns 2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain
gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat,
pekerjaan rumah dan hobi serta perawatan diri. Nilai yang didapat pada pemeriksaan ini
merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; nilai 0, untuk orang normal
tanpa gangguan kognitif; nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia ; nilai 1,
menggambarkan derajat demensia ringan; nilai 2, menggambarkan suatu derajat
demensia sedang; dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang berat. Nilai
CDR pada tiga kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.
Kriteria derajat demensia ringan, walaupun terdapat gangguan berat pada kerja
dan aktivitas sosial kapasitas untuk hidup mandiri tetap ada higiene personal yang
cukup dan penilaian umum yang baik. Lansia dengan demensia derajat sedang tidak
dianjurkan untuk hidup mandiri, sudah perlu didampingi dan didukung. Kriteria
demensia berat telah mengalami gangguan pada aktivitas kehidupan sehari-hari
sehingga tidak berkesinambungan dan inkoheren. Subjek penelitian paling banyak
berada pada CDR tingkat dua yaitu sebanyak 31 orang. Hal ini menunjukkan bahwa
lansia yang digunakan sebagai subjek penelitian memiliki derajat demensia sedang.
Nugroho (2008) menyatakan bahwa pada stadium menengah atau demensia
sedang ditandai dengan proses penyakit berlanjut dan masalah menjadi semakin nyata.
Lansia dengan demensia pada stadium ini mengalami kesulitan melakukan aktivitas
kehidupan sehari- hari dan menunjukkan gejala sangat mudah lupa terutama untuk
peristiwa yang baru dan nama orang, tidak dapat mengelola kehidupan sendiri tanpa
timbul masalah, sangat bergantung pada orang lain, semakin sulit berbicara,
membutuhkan bantuan untuk kebersihan diri (ke toilet, mandi dan berpakaian), dan
terjadi perubahan perilaku, serta adanya gangguan kepribadian.
Tabel 4 Nilai CDR pada Kelompok Kontrol, Kelompok Pendidikan Gizi dan Kelompok
Suplementasi

Tabel 4 juga memperlihatkan hanya sebanyak 78 subjek (86,67 %) yang


mengikuti studi ini sampai dengan selesai. Sebanyak 27 orang untuk kelompok kontrol,
25 orang untuk kelompok dengan pendidikan gizi, dan 26 orang pada kelompok
suplementasi. subyek perempuan sebanyak 53 orang (67,9 %) dengan usia rata-rata 75,2
tahun dan 25 orang (32,1 %) adalah laki-laki untuk dengan rata-rata berusia 76 tahun.
Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Kelompok suplementasi
menunjukkan peningkatan yang signifikan pada berat badan, IMT, lingkar lengan, dan
lingkar otot lengan dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok yang
diberikan pendidikan gizi setelah diberi perlakuan selama 6 bulan. Terdapat perbedaan
signifikan pada total protein dan jumlah limfsosit kelompok suplementasi daripada
kelompok lainnya.
Peningkatan berat badan dan IMT juga terjadi pada kelompok yang diberikan
pendidikan gizi dibandingkan kontrol. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian lain
bahwa pendidikan gizi memiliki efek positif pada diet. Perbedaan signifikan dari
antropometri kelompok sulementasi dibandingkan kelompok lain menunjukkan bahwa
penggunaan suplemen secara oral dapat meningkatkan status gizi pasien. Suplementasi
oral yang diberikan kepada pasien demensia secara signifikan meningkatkan status gizi.
Sayangnya penelitian ini hanya dilakukan untuk pasien rawat inap saja tidak untuk
pasien rawat jalan. Trelis & López (2004) mengamati bahwa hanya 11 % dari pasien
rawat jalan menggunakan suplemen gizi oral. Belum dilakukan penelitian suplementasi
untuk pasien rawat jalan di Brazil. Penelitian ini jelas menunjukkan bahwa penting bagi
semua tenaga kesehatan terlibat dalam pengobatan pasien alzheimer untuk dapat
mendeteksi adanya kekurangan gizi. Hal ini memungkinkan tenaga kesehatan untuk
merujuk pasien ke rumah sakit atau badan kesehatan yang lebih ahli sehingga intervensi
gizi terbaik dapat diimplementasikan.
Tabel 5 Hasil Analisis Pengaruh Intervensi pada Tiga Kelompok Subjek
Variabel p Keterangan
Height 0,333 Tidak signifikan
CW < 0,001 SG>CG dan EG
BMI < 0,001 SG>CG dan EG
AC 0,002 SG>CG dan EG
TSF 0,136 Tidak signifikan
AMC 0,013 SG>CG dan EG
Total Protein 0,046 SG>CG dan EG
Albumin 0,281 Tidak signifikan
TLC 0,019 SG dan EG > CG
Ket: Signifikan (p<0,05); CW = Current Weight (kg); BMI = Body Mass Index (Kg/m2); AC = Arm
Circumference (cm); TSF = Triceps Skin fold (mm) and AMC = Arm Muscle Circumference (cm); Total
prot. = total serum protein (μg/dl); TLC = Total Lymphocyte Count (mm3); p: significance level;
CG=Control Group; EG= Education Group; SG= Supplementation Group
Peningkatan jumlah limfosit keseluruhan (TLC) pada kelompok pendidikan gizi
menunjukkan bahwa pendidikan gizi mungkin berkontribusi terhadap peningkatan
status kekebalan tubuh pasien. Hal ini
diduga karena pendidikan gizi berpengaruh pada pilihan makanan sehat, yang
berkontribusi terhadap status gizi secara keseluruhan. Peningkatan yang signifikan
dalam TLC pada kelompok suplementasi menunjukkan bahwa penggunaan suplemen
dapat meningkatkan status kekebalan. Hal ini diduga karena adanya mikronutrien
antioksidan dalam suplemen, terutama selenium, β - karoten , vitamin C dan E , yang
berdampak dengan sistem kekebalan tubuh (Sampalo et.al. 2007 dan Roebothan et .al.
1993) . Pemberian suplemen gizi secara oral terbukti lebih efektif dibandingkan dengan
pendidikan gizi dalam meningkatkan status gizi pasien dengan penyakit Alzheimer.

PROGRAM PENINGKATAN KESEHATAN LANSIA DENGAN


PENYAKIT ALZHEIMER

Kebijakan, program dan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan lansia


dirumuskan oleh Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat. Kementerian
Koordinasi Kesejahteraan Rakyat dengan lintas sektoral termasuk melibatkan lembaga
sosial kemasyarakatan yang peduli terhadap penduduk lanjut usia pada tahun 2003
menyusun dokumen Rencana Aksi Nasional untuk Kesejahteraan Lanjut Usia tahun
2003 (RAN 2003). Tujuan Program Kesehatan Lanjut Usia adalah meningkatkan derajat
kesehatan lanjut usia agar tetap sehat, aktif, mandiri dan berdaya guna baik bagi dirinya
sendiri, keluarga maupun masyarakat (Menkoskesra 2003).
Beberapa rencana program yang dituangkan dalam dokumen RAN 2003
dirumuskan ke dalam bentuk program pokok dan program pendukung. Masing-masing
program pokok dan program pendukung tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut ke
dalam bentuk- bentuk kegiatan yang lebih spesifik. Program pokok tersebut meliputi
aspek: (1) kesejahteraan, perlindungan dan jaminan sosial bagi lanjut usia; (2) sistem
pelayanan kesehatan bagi lanjut usia; (3) dukungan keluarga dan masyarakat terhadap
lanjut usia; (4) kualitas hidup sumber daya manusia (SDM) lanjut usia; serta (5)
penyediaan prasarana, sarana dan fasilitas khusus bagi lanjut usia. Program pendukung
meliputi aspek: (1) pendataan dan perencanaan; (2) peningkatan profesionalitas; (3)
peningkatan sarana kelembagaan; (4) penelitian dan pengembangan; (5) peningkatan
organisasi dan tatakerja; dan (6) penyiapan peraturan perundang-undangan
(Menkoskesra 2003).
Program untuk peningkatan kesehatan lansia dibuat berdasarkan hasil dari
survey kesehatan yaitu riskesdas. Menurut hasil Riskesdas tahun 2010, beberapa
penyakit yang dominan dialami oleh Lansia, antara lain gangguan sendi, hipertensi,
katarak, stroke, gangguan mental emosional, penyakit jantung dan diabetes mellitus.
Implikasi dari hasil tersebut maka dibuatlah program senam diabetes dan senam jantung
sehat untuk lansia (Kemenkes 2004). Program-program preventif juga dibuat, seperti
pola hidup sehat. Pola hidup sehat, untuk menjadi sehat dan aktif di usia lanjut
seharusnya sudah dirancang jauh sebelum memasuki masa usia lanjut. Lansia dapat
mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang, melakukan aktivitas fisik/olahraga
secara benar dan teratur, tidak merokok, hindari faktor resiko penyakit degeneratif,
memeriksakan kesehatan secara teratur, terus menyalurkan hobby dan kebiasaan yang
bermanfaat. Kondisi kesehatan di sepanjang siklus kehidupan manusia sangat
menentukan derajat kesehatan pada masa usia lanjut. Perlu ditekankan kepada setiap
program di setiap kelompok umur bahwa sehat saat ini merupakan investasi untuk
menjadi sehat dan tetap aktif sampai memasuki usia lanjut.
Program untuk peningkatan kesehatan lansia secara spesifik untuk penyakit
alzheimer untuk saat ini belum ada, meskipun sekitar 15 persen penduduk lanjut usia
menderita demensia atau pikun di Indonesia (Kemenkes 2004). Pikun dianggap biasa
karena faktor usia. Pola hidup sehat juga dapat mengurangi resiko alzheimer. Penelitian
Gu et. al. (2010), menemukan bahwa mengatur kombinasi makanan dapat menurunkan
resiko alzheimer. Meningkatkan konsumsi pangan seperti ikan, tomat, unggas, sayuran,
buah-buahan dan mengurangi konsumsi daging merah serta mentega, signifikan
(p<0,05) menurunkan resiko alzhemier pada subjek yang berusia lebih dari 65 tahun.
Penyakit alzheimer dapat terjadi juga akibat terjadinya stres oksidatif.
Peningkatan konsumsi antioksidan dapat menurunkan resiko stres oksidatif dan
memperlambat perkembangan dari penyakit alzheimer. Salah satu antioksidan yang
memiliki efek kuat dalam menurunkan stres oksidatif adalah glutation (GSH). Kerja dari
GSH dipengaruhi kadar glutation peroksidase (GPx) (Pocernich 2012). Pocernich
(2012) lebih lanjut menyatakan bahwa peningkatan GSH dapat dijadikan sebagai salah
satu terapi strategi untuk menghambat perkembangan penyakit alzheimer.
GPx merupakan bentuk selenium (Se) yang disimpan di dalam hati. Selenium
merupakan mineral yang tergolong pada trace-mineral karena keberadaannya dalam
tubuh sangat sedikit. Mineral ini hampir terdapat di seluruh tubuh manusia mulai dari
jaringan di tulang, otot, dan darah. Selenium (Se) sudah diakui sebagai unsur esensial
bagi manusia. Selenium (Se) merupakan mineral penting yang berfungsi dalam
mempertahankan kesehatan dan mencegah penyakit, seperti regenerasi asam askorbat,
mengurangi stres, regulasi hormon tiroid, dan regulasi dari status redoks vitamin C dan
molekul lain. Selenium (Se) juga membantu mencegah kerusakan DNA yang
disebabkan zat kimia dan radiasi. Mineral selenium (Se) sebagai komponen enzim GPx
mengkatalis reaksi perubahan hidrogen peroksida menjadi GSH dan air. Sebagai
antioksidan, Se bekerja sama dengan vitamin E untuk mencegah terjadinya kerusakan
sel tubuh (www.nap.edu 2000). Fakta tersebut dapat dijadikan acuan bahwa lansia
dengan penyakit alzheimer dianjurkan konsumsi makanan atau suplemen yang
mengandung Se untuk mencegah dan mengurangi perkembangan penyakit alzheimer.
Perkembangan Penduduk Lanjut usia (lansia) di Indonesia dari tahun ke tahun
jumlahnya cenderung meningkat. Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan
Rakyat (KESRA) melaporkan, jika tahun 1980 Usia Harapan Hidup (UHH) 52,2 tahun
dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta
orang (8,90%) dan UHH juga meningkat (66,2 tahun). Tahun 2010 perkiraan penduduk
lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77 % dan UHH sekitar 67,4 tahun.
Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia
mencapai 28,8 juta atau 11,34 % dengan UHH sekitar 71,1 tahun. Hal ini seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Prediksi peningkatan jumlah lansia

Meningkatnya populasi lansia ini membuat pemerintah perlu merumuskan


kebijakan dan program yang ditujukan kepada kelompok penduduk lansia sehingga
dapat berperan dalam pembangunan dan tidak menjadi beban bagi masyarakat. Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan, bahwa
batasan umur lansia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas. Berbagai kebijakan dan
program yang dijalankan pemerintah di antaranya tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut
Usia, yang antara lain meliputi: 1) Pelayanan keagamaan dan mental spiritual seperti
pembangunan sarana ibadah dengan pelayanan aksesibilitas bagi lanjut usia; 2)
Pelayanan kesehatan melalui peningkatan upaya penyembuhan (kuratif), diperluas pada
bidang pelayanan geriatrik/gerontologik; 3) Pelayanan untuk prasarana umum, yaitu
mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum, keringanan biaya,
kemudahan dalam melakukan perjalanan, penyediaan fasilitas rekreasi dan olahraga
khusus; 4) Kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum, seperti pelayanan
administrasi pemerintah (Kartu Tanda Penduduk seumur hidup), pelayanan kesehatan
pada sarana kesehatan milik pemerintah, pelayanan dan keringanan biaya untuk
pembelian tiket perjalanan, akomodasi, pembayaran pajak, pembelian tiket rekreasi,
penyediaan tempat duduk khusus, penyediaan loket khusus dan penyediaan kartu wisata
khusus (Kemenkes 2013).
Jumlah lansia yang diprediksi akan terus meningkat ini membuat penyusunan
program untuk peningkatan kesehatan lansia juga harus ditingkatkan dan difokuskan,
termasuk untuk penyakit Alzheimer. Prevelansi penyakit Alzheimer di Indonesia
memang belum didata secara pasti, namun ringkasan laporan Access Economics untuk
anggota penyakit Alzheimer Internasional di Asia Pasifik menyatakan bahwa
prevalensinya akan bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah lansia. Prevalensi
Alzheimer di Asia Pasifik termasuk di dalamnya Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 menunjukkan bahwa prevalensi Alzheimer yang paling tinggi terdapat di Cina
(termasuk Makau).
Tabel 6 Prevalensi dan insiden, ADI Asia Pasifik dan non-ADI Asia Pasifik

Ket: ADI=Alzheimer Disease Internasional

Hal ini terkait dengan umur harapan hidup di Makau paling tinggi diantara semua
negara yaitu 84 tahun (Brown 2011). Masih menurut Brown (2011), umur harapan
hidup terendah berada pada negara Swaziland yaitu hanya 32 tahun. Negara di Asia
Pasifik yang memiliki prevalensi Alzheimer paling rendah adalah Singapura. Diduga
selain terkait dengan umur harapan hidup, jumlah penduduk juga mempengaruhi.
Singapura merupakan negara dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit dibandingkan
negara lain.
Menindaklanjuti dari semua permasalahan yang terjadi pada lansia, khususnya
masalah yang terjadi pada aspek kognitif, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri
Kesehatan RI no 263 tahun 2010. Keputusan tersebut mengenai pedoman rehabilitasi
kognitif. Tujuan dibuatnya pedoman ini adalah sebagai acuan bagi pelaksana program di
rumah sakit dalam melaksanakan kegiataaan stumulasi/rehabilitasi kognitif untuk
optimalisasi dan peningkatan kualitas hidup para penyandang. Sasaran untuk pedoman
ini bukan hanya para penyandang, namun jg orang dengan kelaianan fisik bawaan atau
karena penyakit tertentu, anak berkebutuhan khusus, orang dengan stroke ringan
maupun berat, hingga orang dengan penyakit Alzheimer. Output yang diharapkan dari
pedoman ini adalah untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup masyarakat
Indonesia dengan mengembangkan stimulasi/rehabiliatsi kognitif untuk
menganggulangi gangguan fungsi, kecerdasan, dan meningkatkan kualitas hidup
penderita yang mengalami gangguan kognitif. Alur penanganan umum gangguan
kognitif pada masyarakat dapat dilihat pada Gambar 7.
Sumber : Kemenkes RI no 263/2010
Gambar 7 Alur Penanganan Umum Gangguan Kognitif

Program yang juga dibuat untuk meningkatkan kemampuan kognitif terutama


pada lansia adalah senam vitalitas otak. Senam ini dikaitkan dengan aktifitas fisik.
Aktifitas fisik pada lansia dapat menjadi suatu kegiatan stimulasi otak yang
menyenangkan dan menjadikan lansia lebih berperan aktif dan produktif, bukan hanya
sekedar menghambat proses kemunduran otak, namun juga dapat meningkatkan kualitas
hidup lansia dan orang di sekitarnya. Mayza et.al. (2013) menyatakan bahwa ada
peranan latihan fisik, stimulasi mental, aktifitas sosial, dan gizi terhadap stimulasi otak
untuk memperlambat proses degeneratif. Skema mengenai hal tersebut dapat dilihat
pada Gambar 8.
Gambar 8 Skematis Peranan Latihan Fisik, Stimulasi Mental, Aktifitas Sosial dan
Nutrisi terhadap Stimulasi Otak yang Memperlambat Proses Degeneratif

Gambar 8 menunjukkan bahwa Demensia merupakan stadium akhir perjalanan


penyakit degeneratif otak, seperti dibahas sebelumnya bahwa Alzheimer merupakan
salah satu jenis demensia. Sebelum terjadi demensia, terjadi apa yang dinamakan Mild
Cognitive Impairement atau hendaya kognitif ringan. Tidak semua lansia punya keluhan
kognitif, banyak pula lansia yang masih bisa hidup sehat, mandiri dan tanpa keluhan.
Berdasarkan hal tersebut dapat dilakukan berbagai program kegiatan stimulasi otak
yang merupakan kombinasi stimulasi fisik, mental dan sosial menjadi suatu kegiatan
terprogram yang menyenangkan dan dapat diterapkan pada kelompok lansia di
masyarakat. Penelitian Mayza et.al. (2013) telah menunjukkan bahwa kombinasi
pengobatan farmakologis dengan kegiatan stimulasi otak yang terprogram dapat
menghambat kemunduran kognitif. Lebih lanjut hasil penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa kelompok yang mendapat stimulasi otak jauh lebih baik fungsi
kognitifnya dibandingkan dengan kelompok yang hanya dengan obat saja. Artinya,
berbagai kegiatan stimulasi otak berkelompok dan terprogram yang meliputi kegiatan
stimulasi fisik, mental, dan sosial lebih baik dibandingkan dengan lansia menyendiri
dan hanya mengandalkan obat .
Mekanisme aktifitas fisik dapat mencegah kerusakan kogntif adalah bahwa saat
melakukan aktivitas fisik stimulasi otak juga berlangsung. Olahraga yang dilakukan
secara teratur dapat meningkatkan protein di otak yang disebut Brain Derived
Neurotrophic Factor (BDNF). Protein BDNF ini berperan penting menjaga sel saraf
tetap bugar dan sehat. Telah banyak penelitian mengenai peranan BDNF terhadap
fungsi memori. Kadar BDNF yang rendah dapat menyebabkan penyakit kepikunan.
Penelitian yang dilakukan oleh Mayza et.al. (2013) pada populasi lansia di Jakarta
menunjukkan kadar BDNF rendah berhubungan dengan gejala penyakit kepikunan
awal. Berbagai fakta menunjukkan olahraga dapat meningkatkan kadar BDNF. Fakta
inilah yang dapat menjelaskan bahwa lansia yang banyak melakukan aktivitas fisik yang
menyenangkan mempunyai fungsi kognitif yang lebih baik. Tidak hanya masalah
kognitif, penelitian pun menunjukkan olahraga bersifat ansiolitik, artinya lansia yang
berolahraga cenderung tidak mudah cemas. Senam vitalitas otak disusun dan
dikembangkan oleh Mayza et.al. (2013) berdasarkan teori Dennison (1970) dan telah
digunakan oleh Pusat Intelegensia Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI pada
kelompok lansia di beberapa daerah di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian kesehatan UNIKA Atma Jaya, lansia yang melakukan senam vitalitas otak
sebanyak 2 kali/seminggu selama setahun menunjukkan fungsi kognitif dan
keseimbangan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok lansia yang tidak
melakukan senam.
Aktifitas sosial juga berpengaruh terhadap kemampuan kognitif lansia. Sebuah
studi dengan tujuan mengetahui hubungan antara keterikatan sosial dengan kejadian
penurunan kognitif dalam suatu komunitas lansia, dilakukan pada 2.812 lansia (usia 65
tahun atau lebih) dan diikuti selama 12 tahun. Pengukuran keterikatan sosial dinilai
berdasarkan indikator: kehadiran pasangan hidup, kontak tatap muka dengan tiga atau
lebih teman setiap bulan, kontak tanpa tatap muka dengan sepuluh atau lebih keluarga
atau teman setiap tahun, keikutsertaan dalam pelayanan agama, keanggotaan grup, dan
aktivitas sosial rutin. Hasil studi tersebut menunjukkan lansia dengan keterikatan sosial
lebih baik mempunyai risiko penurunan fungsi kognitif yang lebih lambat. Menarik
untuk disimpulkan pada penelitian ini adalah keterikatan sosial, merupakan hal penting
dilakukan untuk mencegah kepikunan. Budaya silaturahmi yang dilakukan di Indonesia,
ternyata bukan hanya memperat tali persaudaraan namun juga ternyata dapat mencegah
kepikunan.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Meningkatkan atau mempertahankan status gizi pasien alzheimer harus menjadi


prioritas. Seluruh tenaga kesehatan bertanggung jawab melaksanakan pendidikan gizi
untuk meningkatkan BMI pasien dengan alzheimer. Pemberian suplemen gizi secara
oral terbukti lebih efektif dibandingkan dengan pendidikan gizi dalam meningkatkan
status gizi pasien dengan penyakit Alzheimer. Alzheimer dapat dicegah dan diturunkan
resikonya dengan meningkatkan aktifitas fisik melalui senam vitalitas otak, aktifitas
sosial dan spiritual, makan makanan sumber antioksidan (selenium) dan menerapkan
pola hidup sehat.

SARAN

Pola pikir masyarakat bahwa pikun adalah sesuatu yang biasa harus mulai
dirubah. Kebijakan yang sudah dibuat dapat lebih dimaksimalkan lagi untuk mencegah
dan menurunkan penyakit Alzheimer pada lansia. Hal tersebut dapat memperpanjang
usia harapan hidup dan masa produktif lansia. Program yang dapat disarankan antara
lain (1) Sosialisasi penyakit alzheimer di Poswindu sekaligus dapat dilakukan
pemantauan kesehatan lansia; (2) Dilakukan pendidikan gizi pada lansia dan
keluarganya mengenai pola makan yang sehat dan makanan-makanan tertentu yang
dapat dikonsumsi untuk mencegah dan mengurangi resiko penyakit alzheimer. Lansia
dengan penyakit alzheimer sebaiknya dirawat di RS sehingga dapat dipantau
perkembangan gizi dan penyakitnya. Program pendidikan gizi mengenai pola hidup
sehat dan pendekatan psikologi pada pasien lansia di rumah sakit dapat meningkatkan
dan memperbaiki status gizi. Suplementasi yang ternyata efektif untuk meningkatkan
status gizi pasien lansia dengan alzheimer seperti pada penelitian di Brazil, juga dapat
diterapkan di Indonesia dengan koordinasi berbagai pihak terkait.

DAFTAR PUSTAKA
Access Economics. 2006. Demensia di Kawasan Asia Pasifik : Sudah Ada Wabah.
Ringkasan Eksekutif Laporan Access Economics untuk Anggota Alzheimer
Disease Internasional di Asia Pasifik.
Anonim. 2012. E-book Biologi Molekuler : Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
http://nadjeeb.files.wordpress.com. [1 Oktober 2013].
Almatsier, Sunita. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Brown Judith E. 2011. Nutrition Through The Life Cycle. Wadsworth: Cengage
Learning.
DiLuca DuW, Growden JH: Weight loss in. Alzheimer’s Disease. J Geriatric Psychiatry
Neurol 1993, 6:34-38.
Damayanti Imas, 2012. Penyakit padaLansia. http://file.upi.edu/Direktori/FPOK.. [10
Oktober 2012].
Fatmah. 2006. Repon Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut. Makara,
Kesehatan, Vol. 10, NO. 1, Juni 2006: 47-53.
Frageti. 2012. Penyakit Alzheimer. http://www.dinaskebumen.go.id. [17 April 2012].
Gu Yian et. al. Food Combination and Alzheimer Disease Risk: A Protective Diet.
National Institute for Health. 2010 June ; 67(6): 699–706.
Hartono. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
Himbergen at.al. Biomarkers for Insulin Resistance and Inflammation and the Risk for
All-Cause Dementia and Alzheimer Disease: Results From the Framingham
Heart Study. National Institute for Health, 2012 May ; 69(5): 594–600.
Ineko dalam Iksan. 2012. Terapi Merah untuk Daya Ingat Lansia. Skripsi. Fakultas
Keperawatan, Universitas Soedirman. [http://keperawatan.unsoed.ac.id].
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. Pedoman Rehabilitasi kognitif no 263 tahun 2010.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Krinsky Norman I et.al. 2000. Dietary Antioxidants and Related Compounds. Institut Of
Medicine. [www.nap.edu].
Mayza et.al. 2003. Stimulasi Otak pada Kelompok Lansia di Komunitas. Makalah Hasil
Penelitian. Pusat Penelitian Kesehatan, UNIKA Atmajaya.
[Menkokesra] Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat . Rencana Aksi Nasional
untuk Kesejahteraan Lanjut Usia tahun 2003. www. menkokesra.go. id. [10
Oktober 2013].
Nugroho dalam Iksan. 2012. Terapi Merah untuk Daya Ingat Lansia. Skripsi. Fakultas
Keperawatan, Universitas Soedirman. [http://keperawatan.unsoed.ac.id].
Pivi1 Glaucia AK, Rosimeire V da Silva1 et.al. A prospective study of nutrition
education and oral nutritional supplementation in patients wit Alzheimer’s
disease. 2011; 10:98
Pocernich Chava B dan D. Allan Butterfield: Elevation of Glutation as a Therapeutic
Strategy in Alzheimer Disease. National Institut of Health. 2012, 5:625-630.
Riviere S: Program of nutritional education in the prevention of weight loss and slow
cognitive decline in the disease of Alzheimer. J Nutr Health Aging 2001, 5: 295-
99.
Roebothan BV, Chandra RK: Relationship between Nutritional Status and Immune
Function of Elderly People. Age Ageing 1994, , 23: 49-53.
Sampaio ARD, Mannarino IC: Medidas bioquímicas de avaliação do estado nutricional.
In Avaliação Nutricional: Aspectos Clínicos e Laboratoriais. Edited by: Duarte
ACG. São Paulo: Atheneu; 2007:69-73.
Tampubolon Andi. 2011. Hubungan Lokasi Infark dengan Timbulnya Demensia pada
Stroke. Tesis. Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai