Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN TN.

X
DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUUKTIF KRONIK (PPOK)

Disusun oleh:
Kelompok 1B (2B)
1. Annisa Dewi Prahastini (19011)
2. Elah Ernawati (19032)
3. Khoffifah Nur Arbaah (19057)
4. Nida An Khofiyya (19072)
5. Pujiwati (19076)
6. Zahira Aulia R (19116)

AKADEMI KEPERAWATAN FATMAWATI


JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kelompok panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberik
an rahmat-Nya, sehingga kelompok mendapat berbagai inspirasi dan dapat menyeles
aikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn.X Dengan Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK)”. Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai salah sa
tu tugas dalam mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I. Kelompok menyadari bah
wa makalah ini tidak akan tersusun dengan baik tanpa adanya bantuan dari pihak-pih
ak terkait, maka kelompok mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang
terhormat:
1. Ns. DWS Suarse Dewi, M.Kep.,Sp.Kep.MB, selaku Direktur Akademi Keperaw
atan Fatmawati Jakarta.
2. Ns. Tjahjanti K, M.Kep., Sp.Kep,J selaku Wali Kelas Angkatan XXII Akademi
Keperawatan Fatmawati Jakarta.
3. Ns. Hinin Wasilah,S.Kep.M.S selaku dosen pembimbing dan penanggung jawab
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1.
4. Zahri Darni, M.Kep selaku dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1.
5. Orang tua tercinta yang telah membantu dalam segi material maupun dalam segi
motivasi dalam penyusunan makalah ini.
6. Rekan-rekan kelompok yang membantu selesainya pembuatan makalah ini.

Kelompok menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
menerima saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan untuk penyempurnaan
makalah ini.

Jakarta, 28 Oktober 2020


I

Kelompok IB
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................................3
B. Tujuan Penilisan ............................................................................................5
C. Metode Penulisan ..........................................................................................6
D. Ruang Lingkup ..............................................................................................6
E. Sistematika Penulisan ....................................................................................6

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ....................................7
B. Etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).........................................8
C. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).....................................9
D. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)..................................13
E. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)............................17
F. Pengkajian keperawatan .................................................................................19
G. Diagnosa keperawatan ....................................................................................23
H. Perencanaan keperawatan ...............................................................................24
I. Pelaksanaan keperawatan ...............................................................................30
J. Evaluasi keperawatan .....................................................................................31

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ......................................................................................................
B. Saran ................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit tidak menular dan
menjadi kesehatan dunia. Definisi PPOK adalah penyakit yang ditandai dnegan
keterbatasan aliran udara bersifat progresif berhubungan dengan inflamasi kronik
saluran pernafasan dan parenkim paru akibat pajanan gas atau partikel berbahaya.
Hambatan aliran udara pada PPOK terjadi karena perubahan sruktur saluran
napas yang disebabkan destruksi parenkim dan fibrosis paru. Penyakit paru
obstruktif kronik merupakan penyebab kematian nomor empat di dunia dan
diperkirakan akan menjadi penyebab insidens kesakitan dan penyebab kematian
nomor tiga pada tahun 2030. Pasien meninggal akibat PPOK mencapai 3 juta
orang setara dengan 6% dari keseluruhan kematian dunia pada tahun 2012
(Nawas, 2019).

Patogenesis PPOK terdiri dari proses ketidakseimbangan inflamasi-anti


inflamasi, protease-antiprotease, oksidan-antioksidan dan apotosis. Keempat
mekanisme dasar tersebut tidak berjalan sendiri tetapi saling berinteraksi
menyebabkan kerusakan saluran napas dan paru yang irreversible termasuk
diantaranya adalahkerusakan jaringan elastic alveoli, airway, remodeling dan
fibrosis. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit inflamasi kompleks
yang melibatkan beberapa sel inflamasi. Proses inflamasi yang kompleks dan
melibatkan berbagai macam sel-sel inflamasi pada PPOK bisa menjadi dasar
ditemukannya target baru pada penatalaksanaan PPOK. Peningkatan respons
inflamasi pasien PPOK menyebabkan peningkatan jumlah sel inflamasi
(misalnya: neutrophil, makrofag, limfosit T, sel epitel) dan mediator inflamasi
antara lain sitokin IL-8, tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan leucotrien B4
(LTB4) kemokin, dan protease. Sitokin Interleukin (IL-8) merupakan
kemoatraktan paling kuat yang akan merik neutrophil ke dalam paru dan
jumlahnya akan meningkat pada sputum pasien PPOK. Kadar IL-8 yang
meningkat dalam sputum dan serum berhubungan dengan gejala klinis,
peningkatan rawat inap di rumah sakit, penurunan fungsi paru dan kualitas hidup,
serta peningkatan kematian pasien PPOK (Nawas, 2019).

Pedoman Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GPLD) telah
menyusun panduan terapi standar PPOK dan telah banyak dilakukan penelitian
untuk mencari terapi pendukung yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Terapi PPOK terdiri dari terapi farmakologis dan non farmakologis. Terapi non
farmakologis PPOK misalnya terapi berhenti merokok, aktivitas fisik,
rehabilitasi, dan vaksinasi. Terapi farmakologis misalnya terapi dengan
menggunakan obat. Tujuan tatalaksana PPOK standar adalah mengobati gejala
PPOK, memperbaiki tingkat aktivitas dan kualitas hidup, mencegah progresivitas
penyakit, mengobati eksaserbasi dan mengurangi mortalitas. Tatalaksana utama
PPOK yaitu penggunaan bronkodilator disertai bahan ajuan berupa anti
inflamasi, antioksidan, dan anti protease untuk mencegah progresivitas penyakit.
Terapi standar yang diterapkan saat ini masih memiliki kelemahan yaitu tidak
menghentikan progresivitas penyakit sehingga kasus PPOK semakin meningkat
setiap tahun yang menjadi alasan untuk ditemukannya target terapi baru. Banyak
penelitian dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemberian terapi tambahan
pada terapi standar PPOK dengan tujuan untuk lebih memperlambat dan
menghentikan kerusakan yang telah terjadi (Nawas, 2019).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang membutuhka


n perawatan dan penanganan yang cepat tepat dan efektif oleh medis, oleh karena
itu peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan dan dukungan keluarga s
angat menentukan keberhasilan dari setiap prosedur keperawatan yang dilakukan.
Peran perawat pada pasien PPOK dalam bentuk promotif seperti modifikasi gaya
hidup misalnya mengenai merokok, bukan hanya edukasi mengenai bahaya dan b
erhenti merokok, tapi juga mengenai peningkatan harapan hidup dan kualitas hid
up setelah berhenti merokok. klien juga diedukasi untuk segera datang ke fasilitas
kesehatan apabila terjadi kekambuhan, dan berolahraga secara teratur. Upaya lain
yaitu preventif dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyakit berulang atau
komplikasi seperti pemeriksaaan kesehatan/ cek up atau sesuai anjuran dokter da
n meminimalisir mengkonsumsi rokok. Upaya kuratif yang di lakukan yaitu
kolaborasi dengan tim medis dalam melakukan pembedahan. Upaya berikutnya y
ang di lakukan perawat yaitu rehabilitatif yang merupakan upaya pemulihan kese
hatan bagi penderita PPOK seperti menganjurkan pasien untuk kontrol ulang dan
minum obat tepat waktu.

Berdasarkan uraian di atas maka kelompok tertarik untuk memahami lebih dalam
tentang penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) serta asuhan keperawatan yang
diberikan.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum`
Tujuan umum makalah ini adalah agar mahasiswa/mahasiswi dapat lebih
memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan mengenai penyakit
paru obstruktif kronik.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus makalah ini untuk:
a. Menjelaskan Pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
b. Menjelaskan Etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
c. Menjelaskan Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK
d. Menjelaskan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK)
e. Melakukan pengkajian terhadap pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK)
f. Menganalisa diagnosa keperawatan yang tepat pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
g. Merencanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK)
h. Melaksanakan asuhan keperawatan/implementasi pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
i. Melakukan evaluasi hasil tindakan asuhan keperawatan pada pasien d
engan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
C. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan metode studi keperpustakaan.
Metode studi keperpustakaan yaitu menggunakan berbagai sumber literatur yang
sesuai dengan makalah kami yang berjudul “Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK)”. Adapun teknik pengumpulan data dalam penulisan makalah ini adalah
menganalisis berbagai sumber referensi baik dari buku, jurnal dan internet yang
berkaitan dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).

D. Ruang Lingkup
Penulisan makalah ilmiah ini merupakan pembahasan uraian materi tentang
penyakit paru obstruktif kronik serta materi asuhan keperawatannya dari
pengkajian hingga evaluasi.

E. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun oleh tiga bab, yaitu: BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari l
atar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, ruang lingkup dan sistematika
penulisan. BAB II Tinjauan Teori, yang terdiri dari konsep Penyakit Paru Obstru
ktif Kronik (PPOK) dan konsep asuhuhan keperawatan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK). BAB III Pentup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) /COPD (Chronic Obstructive Lung
Disease) didefinisikan sebagai sindrom klinis yang merupakan kelompok
gejala kronik, progresif (semakin lama semakin memburuk) dan melemahkan
fungsi respirasi yang dikarakteristikan dengan adanya keterbatasan pada
aliran udara pada saluran pernapasan maupun pada parenkim paru, dan
bersifat reversible (dapat kembali normal) sebagian. Biasanya disebabkan
oleh sekelompok penyakit seperti emfisema dan bronkitis. (Djojodibroto,
2010)

Perjalanan terjadinya PPOK dimulai dengan inflamasi pada saluran


pernafasan yang disebabkan oleh pajanan gas atau partikel beracun
berbahaya, setelah itu diikuti dengan perubahan pada pembuluh darah paru
yang ditandai dengan penebalan dinding saluran paru. Hal inilah yanng
membuat jalan napas menjadi sempit dan terjadilah obstruksi paru. PPOK
berbeda dengan asma, Pada penderita asma, penyempitan saluran napas
sering kali dipicu oleh suatu alergen yang menyebabkan kambuhnya alergi
seperti serbuk sari, lumut, maupun aktivitas fisik. Sedangkan, sesak napas
pada PPOK berkaitan dengan penyakit paru yang terdiri dari emfisema dan
bronkitis kronis. Emfisema terjadi ketika kumpulan kantung kecil dalam
paru-paru yang disebut alveoli rusak. Sedangkan, bronkitis kronis terjadi
ketika saluran yang membawa udara ke paru-paru mengalami peradangan.
Keduanya bisa disebabkan oleh kebiasaan merokok. (Riasmini, Setiawan,
Sahar, 2019)

B. Etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Menurut Kumar, et.al (2007), etiologi dari PPOK yaitu:
1. Merokok (perokok aktif maupun pasif)
Kandungan yang terdapat pada partikel rokok merangsang keluarnya
respon inflamasi sehingga meningkatkan jumlah makrofag dan neutrofil di
dalam paru-paru dan sel kekebalan ini melepaskan sitokin, kemokin dan
protease yang merusak parenkim paru seiring waktu.

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dn tempat kerja (uap, iritan,


asap)
Etiologi belum jelas, namun dihipotesiskan sebagai respon inflamasi
serupa yang merusak alveoli. Contohnya pada pekerja pabrik industri yang
menggunakan bahan kimia berbahaya yang terhirup ke dalam paru-paru,
pekerja di percetakan yang menghirup partikel debu dan pekerja
pengecatan sebuah bangunan yang menghirup partikel cat.

3. Defisiensi antritipsin alfa-1


merupakan kekurangan suatu enzim yang normalnya melindungi paru-paru
dari kerusakan peradangan. Orang yang kekurangan enzim ini dapat terken
a empisema pada usia yang relatif muda, walaupun tidak merokok.

4. Usia (>40 tahun)


Semakin bertambah umur seseorang maka akan terjadi degenerasi otot-otot
pernafasan dan elastisitas jaringan menurun. Sehingga kekuatan otot-otot p
ernafasan dalam menghirup oksigen menjadi menurun.Kemudian karena fa
ktor umur yang bertambah maka semakin banyak alveoli yang rusak dan d
aya tahan tubuh semakin rendah.

5. Riwayat penyakit
Termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi saluran nafa
s saat masa anak-anak, riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah s
akit untuk penyakit respirasi.

C. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Menurut Somantri (2007) , klasifikasi dari PPOK adalah:
1. Bronkhitis Kronis
Bronkhitis kronis menunjukkan kelainan pada bronkus yang sifatnya
menahun (berlangsung lama). Bronkhitis kronis merupakan keadaan yang
berkaitan dengan produksi mukus trakheobronkhial yang berlebihan
sehingga menimbulkan batuk yang terjadi paling sedikit selama tiga bulan
dalam waktu satu tahun.

Serangan bronkhitis disebabkan karena tubuh terpapar agen infeksi


maupun non infeksi (terutama rokok). Iritan (zat yang menyebabkan
iritasi) akan menyebabkan timbulnya respons inflamasi yang akan
menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan brokospasme.
Pasien dengan bronkhitis kronis akan mengalami:
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronkus besar
sehingga meningkatkan produksi mukus
b. Mukus lebih kental
c. Kerusakan fungsi silia yang dapat menurunkan mekanisme
pembersihan mukus

Mukus yang kental dan pembesaran bronkus akan mengobstrukksi jalan


napas terutama selama ekspirasi. Jalan napas selanjutnya mengalami
kolaps dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi
ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolus, hipoksia dan asidosis.
Pasien mengalami kekurangan O2 jaringan dan ratio ventilaso perfusi
abnormal timbul dimana terjadi penurunan PO2. Kerusakan ventilasi juga
meningkatkan nilai PCO2 sehingga pasien terlihat sianosis. Sebagai
kompensasi dari hipoksemia maka akan terjadi produksi eritrosit yang
berlebihan.

Pada saat penyakit bertambah parah, sering ditemukan produksi sejumlah


sputum yang berwarna hitam, biasanya karena infeksi pulmonari. Selama
infeksi, pasien mengalami reduksi pada FEV (volume ekspirasi paksa)
dengan peningkatan pada RV (residual volume) dan FRC (kapasitas resudi
fungsional). Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hipoksemia akan
timbul dan akhirnya menuju penyakit cor pumonal (perubahan struktur dan
fungsi ventrikel kanan jantung akibat penyakit primer di sistem pernapas
an) dan CHF (Congestive Heart Failure).

Manifestasi klinik yang terjadi pada pasien yang mengalami bronkhitis


kronik adalah:
a. Penampilan umum: cenderung overweight, sianosis akibat pengaruh
sekunder produksi eritrosit yg berlebihan, edema (akibat CHF kanan),
dan barrel chest (dada tampak sebagian membesar).
b. Usia: 45-65 tahun
c. Batuk persisten (terus-menerus), produksi sputum seperti kopi, dipsnea,
wheezing saat ekspirasi, infeksi pada sistem respirasi.
d. Gejala timbul pada waktu yang lama
e. Jantng: pembesaran jantung, cor pulmonal, dan hematokrit >60%
f. Riwayat merokok positif (+)

2. Emfisema
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
oleh peebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan.
Terdapat empat perubahan patologik yang timbul pada emfisema yaitu:
a. Hilangnya elastisitas paru-paru
Protease (enzim paru-paru) mengubah atau merusak alveoli dan saluran
napas kecil dengan cara merusak serabut elastin. Sebagai akibatnya,
kantung alveolus kehilangan elastisitasnya dan jalan napas kecil
menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa alveoli menjadi rusak dan
yang lainnya kemungkinan menjadi membesar.
b. Hiperinflasi paru
Pembesaran alveoli sehingga paruu-paru sulit untuk dapat kembali ke
posisi istirahat normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya bullae
Dinding alveolus membengkak dan berhubungan untuk membentuk
suatu bullae (ruangan tempat udara di antara parenkim paru-paru)
yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.
d. Kolapsnya jalan napas kecil dan udara terperangkap
Ketika pasien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif
intratoraks akan menyebabkan kolapsnya jalan napas.

Menurut Somantri (2007), Emfisema terbagi menjadi tiga tipe yaitu:


a. Emfisema sentriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan
bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi
merambah sampai bronkhiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap
bersisa.
b. Emfisema panlobular (panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak
paru-paru bagian bawah. Tipe ini sering disebut centriacinar
emfisema, sering kali timbul pada perokok. Panacinar timbul pada
orang tua dan pasien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin.
c. Emfisema paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi
blebs (aliran udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru.
Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothoraks
spontan.

Berikut adalah mekanisme perjalanan emfisema


Somantri, 2007

Manifestasi klinik yang terjadi pada pasien yang mengalami emfisema


adalah:
a. Penampilan umum
1) Kurus, warna kulitpucat, dan flattened hemidiafragma
2) Tidak ada tanda CHF (Congestive Heart Failure) kanan dengan
edema dependen stadium akhir
b. Usia 65-75 tahun
c. Pengkajian fisik
1) Napas pendek persisten dengan peningkatan dipsnea
2) Infeksi sistem respirasi
3) Pada auskultasi terdapat penurunan suara napas meskipun dengan
napas dalam
4) Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas
5) Jarang memproduksi sputum dan batuk
d. Pemeriksaan jantung
1) Tidak terjadi pembesaran jantung, Cor pulmonal timbul pada
stadium akhir
2) Hematokrit <60%
e. Riwayat merokok

D. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


1. Proses perjalanan penyakit
Pajanan gas beracun mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel jalan
napas dalam membentuk faktor kemotaktik, penglepasan faktor
kemotaktik menginduksi mekanisme infiltrasi sel-sel hematopoetik pada
paru yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru. Infiltrasi sel ini
dapat menjadi sumber faktor kemotaktik yang baru dan memperpanjang
reaksi inflamasi paru menjadi penyakit kronik dan progresif.6 Makrofag
alveolar penderita PPOK meningkatkan penglepasan IL-8 dan TNF-α.
Ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase serta ketidakseimbangan
oksidan dan antioksidan berperan dalam patologi PPOK. Proteinase
menginduksi inflamasi paru, destruksi parenkim dan perubahan struktur
paru. Peningkatan jumlah neutrofil yang nekrosis di jalan napas penderita
PPOK dapat menyebabkan penglepasan elastase dan reactive oxygen
species (ROS) yang menyebabkan hipersekresi mukus. (Sholihah, Suradi,
Aphridasari, 2017)

Peningkatan respons inflamasi pasien PPOK menyebabkan peningkatan ju


mlah sel inflamasi (misalnya: neutrofil, makrofag, limfosit T, sel epitel) da
n mediator inflamasi antara lain sitokin IL-8, tumor necrosis factor alpha
(TNF-α) dan leucotrien B4 (LTB4), kemokin, dan protease. Sitokin interle
ukin (IL) 8 merupakan kemoatraktan paling kuat yang akan menarik neutr
ofil ke dalam paru dan jumlahnya akan meningkat pada sputum pasien PP
OK. Regulasi sekresi IL-8 diatur oleh faktor transkripsi Nuclear Factor-ka
ppa βeta (NF-kβ) dan dihambat oleh penghambat NF-kβ activating kinase
IKK2. Kadar IL-8 yang meningkat dalam sputum dan serum berhubungan
dengan gejala klinis, peningkatan rawat inap di rumah sakit, penurunan fun
gsi paru dan kualitas hidup, serta peningkatan kematian pasien PPOK. (Sh
olihah, Suradi, Aphridasari, 2017)

Mekanisme molekuler dan seluler pada PPOK


(Sholihah, Suradi, Aphridasari, 2017)
Pathway PPOK beserta diagnoosa keperawatan
2. Manifestasi Klinik
Menurut Peate&Nair (2018), manifestasi klinis dari PPOK dapat berupa:
a. Dipsnea
Dipsnea sering menjadi alasan utama pasien PPOK mencari bantuan ten
aga kesehatan. Dipsnea digambarkan sebagai usaha  bernafas yang men
ingkat, berat, kelaparan udara atau gasping. Sesak nafas pada PPOK ber
sifat persisten dan progresif. Awalnya sesak nafas hanya dirasakan ketik
a beraktifitas seperti berjalan, berlari dan naik tangga yang dapat didhin
dari, tetapi ketika fungsi  paru memburuk, sesak nafas menjadi lebih pro
gresif dan mereka tidak dapat melakukan aktifitas sebagaimana orang la
in dengan usia yang sama dapat melakukannya.

b. Batuk
Batuk kronis menjadi gejala pertama dari pasien PPOK, setelah meroko
k atau terpapar oleh polutan lingkungan .Pada awalnya  batuk hanya seb
entar kemudian lama kelamaan hadir sepanjang hari.

c. Pink Puffers  (Kurus, kulit kemerahan)


Pink puffers adalah timbulnya dipsneu tanpa disertai batuk dan produks
i sputum yang berarti. Biasanya dipsneu timbul antara usia 30-40 tahun
dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit yang sudah lanjut pasie
n akan kehabisan nafas sehingga tidak lagi dapat makan dan tubuhnya b
ertambah kurus. Selanjutnya akan terjadi gangguan keseimbangan venti
lasi dan perfusi minimal, sehingga dengan hiperventilasi, pasien pink pu
ffers dapat mempertahankan gas dalam darah dalam batas normal samp
ai penyakit ini mencapai tahap lanjut.

d. Blue Blaters (gemuk, sianosis, edema tungkai)


Blue blaters adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, dimana  pasie
n gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru,
sisanosis sentral dan perifer.
e. Produksi sputum
Pasien PPOK umumnya disertai batuk produktif. Batuk kronis dan pem
bentukan sputum mukoid atau muko purulen selama sedikitnya 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut merupakan g
ejala klinis dari bronkitis kronis.

f. Perubahan bentuk dada


Pada pasien PPOK dengan stadium lanjut akan ditemukan tanda-tanda h
iperinflasi paru seperti barrel chest  dimana diafragma terletak lebih ren
dah dan bergerak tidak lancar, kifosis, diameter anteror-posterior berta
mbah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan suprasternal kuran
g dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah.

3. Komplikasi PPOK
Menurut Somantri (2007), komplikasi yang ditimbulkan dari PPOK adalah:
a. Hipoksemia
b. Asidosis respiratorik
c. Infeksi saluran pernapasan
d. Gagal jantung
e. Disritmia jantung
f. Status asmatikus

E. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Menurut Suryadinata&Soeroto (2014), Prinsip penatalaksanaan PPOK
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Berhenti merokok
2. Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan b
eratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan toleransi aktivit
as.
3. Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung ber
atnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.
4. Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
5. Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan rehabil
itasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan emos
ional pasien dalam kehidupannya sehari-hari.

Untuk bronkhitis kronik, pengobatan utama ditujukan untuk mencegah,


mengontrol infeksi, dan meningkatkan drainase bronkhial menjadi jernih.
Pengobatan yang diberikan adalah sebagai berikut:
a. Antimocrobial
b. Postural drainase
c. Bronchodilator
d. Aerosolized nebulizer
e. Surgical intervention

Sedangkan untuk emfisema, penatalaksanaan utamanya adalah untuk


meningkatkan kualitas hidup, memperlambatproses penyakit, dan mengobati
obstruksi saluran napas yang berguna untuk mengatasi hipoksia. Pendekatan
terapi mencakup:
a. Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja
napas
b. Mencegah dan mengobati infeksi
c. Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru-
paru
d. Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi
pernapasan
e. Dukungan psikologis
f. Pendidikan kesehatan pasien dan rehabilitasi
g. Jenis obat yang diberikan:
1) Bronkodilator
2) Terapi aerosol
3) Pengobatan infeksi
4) Kortikosteroid
5) Oksigenasi
F. Pengkajian keperawatan
Pengkajian keperawatan pada pasien PPOK menurut (Doengoes, Moorhouse,
& Geissler, 2014).
1. Aktivitas/Istirahat
Pasien melaporkan adanya keletihan, kelemahan, malaise.
Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dasar
karena sesak napas. Ketidakmampuan untuk tidur, kebutuhan untuk tidur
dalam keadaan duduk tegak. Dipsnea saat istirahat atau sebagai respons
terhadap aktivitas atau olahraga.
Hasil observasi menunjukkan pasien terlihat letih, gelisah, insomnia,
kelemahan umum dan kehilangan massa otot.
2. Sirkulasi
Pasien melaporkan adanya pembengkakan pada ekstremitas bawah. Hasil
observasi menunjukkan peningkatan tekanan darah (TD). Peningkatan
frekuensi jantung atau takikardia berat. Adanya disritmia, terdapat distensi
vena jugularis pada penyakit lanjut. Bunyi jantung lemah karena
peningkatan diameter dada anteroposterior (AP). Warna kulit dan
membran mukosa pucat atau kebiruan dan sianosis, kuku gada serta
sianosis dan pucat pada perifer, CRT>3 detik.
3. Integeritas Ego
Pasien melaporkan peningkatan faktor stress, perubahan gaya hidup,
perasaan putus asa dan kehilangan minat dalam hidup. Hasil observasi
terlihat pasien cemas, takut, perilaku iritabel, distres emosional, apatis,
perubahan kesadaran, menarik diri.
4. Makanan/Cairan
Pasien melaporkan mual saat makan (efek samping dari medikasi atau
produksi mukus), nafsu makan memburuk dan mengalami anoreksia
(biasanya akibat emfisema), ketidakmampuan untuk makan karena gawat
napas. Hasil observasi didapatkan penuruan berat badan secara persisten,
penurunan masa otot atau lemak subkutan (pada emfisema). Kenaikan
berat badan yang menggambarkan edema (pada bronkhitis). Turgor kulit
tidak elastis, edema dependen, diaforesis, palpasi abdomen menunjukkan
hepatomegali.
5. Hygiene
Pasien melaporkan penurunan kemampuan dan peningkatan kebutuhan
untuk bantuan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Hasil observasi
didapatkan hygiene yang buruk
6. Pernapasan
Pasien melaporkan berbagai tingkat dipsnea dengan awita progresif dan
berbahaya (gejala utama pada emfisema), terutama saat aktivitas fisik.
Pasien mengeluhkan sensasi dada sesak, ketidakmampuan untuk bernapas
dan lapar udara kronis. Batuk persisten dengan produksi sputum (abu-abu,
putih, atau kuning) yang mungkin banyak (bronkhitis kronis). Pasien
memiliki riwayat pneumonia berulang, pajanan jangka panjang terhadap
polusi zat kimia atau iritan pernapasan (seperti asap rokok) atau debu dan
asap di tempat kerja (seperti dengan kapas, rami, asbes, debu, batu bata,
serbuk kayu). Pasien memiliki faktor keluarga dan herediter yaitu
defisiensi α 1-antitripsin (pada emfisema). Pasien menggunakan oksigen
pada malam hari atau secara kontinu.
Hasil observasi didapatkan:
a. Pernapasan biasanya cepat dan dangkal
1) Fase ekspirasi memanjang dengan suara dengkur pernapasan
dengan mengerutkan bibir (emfisema)
2) Asumsi posisi tiga poin untuk bernapas terutama terutama dengan
eksaserbasi akut bronkhitis kronis
b. Penggunaan otot bantu napas seperti peningkatan lengkung bahu,
retraksi fosa supraclavicular, pernapasan cuping hidung
c. Dada depan tampak hiperinflasi dengan peningkatan diameter AP
(berbentuk seperti tong), gerakan diafragmatik minimal
d. Suara napas mungkin lemah dengan mengi ekspirasi
1) Suara krekels basah yang menyebar, halus, atau kasar (bronkhitis)
2) Ronkhi, mengi di sepanjang budang paru saat ekspirasi dan
kemungkinan selama inspirasi, berkembang menjadi penurunan
atau ketiadaan suara napas.
e. Perkusi dapat menunjukkan hiperresonansi di bidang paru (udara
terperangkap pada emfisema) atau suara redup pada bidang paru
(konsolidasi, cairan, mukus)
f. Kesulitan mengucapkan kalimat lebih dari empat atau lima kata dalam
satu waktu, kehilangan suara
g. Warna: pucat dengan sianosis bibir, dasar kuku kehitam-hitaman
secara keseluruhan, warna kemerahan (bronkhitis kronis “bengkak
biru”),
h. Warna kulit kulit normal meskipun pertukaran gas abnormal dan
frekuensi pernapasan cepat (emfisema sedang), yang dikenal sebagai
“bengkak merah muda”
7. Keamanan
Pasien melaporkan riwayat reaksi alergi atau sensitivitas terhadap zat atau
faktor lingkungan, pasien memiliki riwayat infeksi terbaru atau berulang.
Hasil observasi didapatkan kemerahan pada wajah, leher, perspirasi
8. Seksualitas
Pasien melaporkan adanya penurunan libido
9. Interaksi sosial
Pasien melaporkan adanya hubungan bergantung, dukungan yang tidak
memadai dari atau kepada pasangan atau orang terdekat, kekurangan
sistem dukungan. Pasien memiliki riwayat penyakit berkepanjangan atau
perkembangan disabilitas. Hasil observasi menunjukkan ketidakmampuan
untuk berbicara atau mempertahankan suara karena gawat napas. Terlihat
keterbatasan mobilitas fisik. Hubugan yang terabaikan dengan anggota
keluarga yang lain. Ketidakmampuan untuk melakukan atau kurang
perhatian terhadap tanggung jawab pekerjaan, ketidakhadiran dan
disabilitas yang nyata.
10. Penyuluhan/Pembelajaran
Pasien dengan PPOK biasanya memiliki riwayat penggunaan atau
penyalahgunaan obat-obatan pernapasan, riwayat penggunaan suplemen
herbal seperti astragalus, coleus, echinacea. Pasien memiliki riwayat
merokok atau kesulitan untuk berhenti merokok, pajanan kronis terhadap
asap rokok (perokok pasif), merokok selain tembakau. Konsumsi alkohol
secara teratur, kegagalan untuk membaik dalam periode waktu yang lama.

Doengoes, Moorhouse, & Geissler, (2014) menyatakan bahwa untuk


pemeriksaan diagnostik pasien PPOK perlu dilakukan pemeriksaan:
1. Pemeriksaan Darah
a. Gas darah arteri (AGD/Analisa Gas Darah)
Mengukur kadar oksigen dan karbondioksida untuk memantau
pertukaran gas. Abnormalitas biasanya terjadi di akhir penyakit.
Hipoksemia dengan PaO2<55 mmHg atau SaO2<88% merupakan
indikasi untuk terapi oksigen aliran rendah. Paling sering PaO2
menurun dan PaCO2 normal atau meningkat pada bronkitis kronis dan
emfisema
b. Hitung darah lengkap (HDL) dan hitung jenis
Biasanya kejadian eritropoiesis distimulasi oleh hipoksemia kronis,
hempglobin meningkat (emfisema lanjut), eosinofil meningkat (pada
asma), sel darah putih meningkat pada infeksi pernapasan berat
2. α 1-antitripsin (AAT)
Dilakukan ketika PPOK terjadi pada pasien berusia <45 tahun, atau
riwayat keluarga pernah mengalami PPOK.
3. Pemeriksaan fungsi paru (PFT/ Pulmonary Fungtion Test)
Dilakukan untuk menentukan stadium atau mengklasifikasikan keparahan
proses penyakit dan untuk mengkaji respons terhadap terapi
a. Pemeriksaan spirometri
Mengkukur jumlah udara yang dihirup (volume) dam dihembuskan
sesuai fungsi waktu, hitung juga FVC (kapasitas vital paksa)
b. Kapasitas paru total (TLC)
Jumlah udara maksimal yang dapat ditahan oleh paru (meningkat pada
paru obstruktif)
c. Volume residual (RV)
Udara yang tetap berada di dalam paru setelah ekshalasi maksimal
(meningkat pada paru obstruktif)
d. Kapasitas Vital (VC)
Jumlah udara maksimal yang dapat dihembuskan selama ekshalasi
normal atau lambat setelah inhalasi sepenuh mungkin. (normal atau
menurun pada paru obstruktif)
4. Chest X-ray
Dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bullae
(emfisema), peningkatan bentuk bronkovaskular (bronkhitis)
5. Sputum kultur
Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen dan
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau alergi
6. EKG (Elektro Kardio Graph)
Deviasi aksis kanan; gelombang P tinggi (pada asma berat dan atrial
disritmia/bronkhitis). Gelombang P pada leads II,III, AVF panjang dan
tinggi (bronkhitis dan emfisema); axis QRS Vertikal (emfisema)

G. Diagnosa keperawatan
Menurut Herdman (2018), Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
pada pasien dengan PPOK adalah sebagai berikut:
1. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan PPOK
adalah sebagai berikut:
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d penyakit paru obstriktif kronis,
spasme jalan napas, jalan napas alergi, mukus berlebihan, sekresi yang
tertahan, eksudat dalam alveoli, merokok/perokok pasif
b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
(bronkospasme), perubahan membran kapiler-alveolar, destruksi
alveoli, kurangnya suplai O2 (obstruksi jalan napas oleh sekret dan
terperangkapnya udara)
c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d dipsnea,
fatigue, efek samping pengobatan, produksi sputum, anoreksia,
nausea/vomiting, mual dan muntah

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan PPOK


adalah sebagai berikut (SDKI, 2016),
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan
b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseiimbangan ventilasi-perfusi,
perubahan membran alveolus-kapiler
c. Gangguan ventilasi spontan b.d kelelahan otot pernapasan
d. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan posisi tubuh yang
menghambat ekspansi paru, penurunan energi
e. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mencerna makanan

H. Perencanaan keperawatan
Rencana tindakan keperawatan untuk pasien dengan PPOK adalah sebagai
berikut (Doengoes, Moorhouse, & Geisller, 2014).
1. Diagnosa ke-1: Bersihan jalan napas tidak efektif b.d penyakit paru
obstriktif kronis, spasme jalan napas, jalan napas alergi, mukus berlebihan,
sekresi yang tertahan, eksudat dalam alveoli, merokok/perokok pasif
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan
jalan napas paten dengan
b. Kriteria hasil: TTV dalam batas normal, RR (12-20x/menit); TD 120/80
mmHg; Nadi 80x/menit; Suhu 36,5-37,5 derajat celcius. Batuk efektif
meningkat, produksi sputum menurun, bebas dari suara napas abnormal
(mengi, wheezing, ronkhi), tidak ada dipsnea, sulit berbicara menurun,
tidak ada sianosis, pola napas membaik, pasien tidak cemas

c. Intervensi keperawatan
Menurut Doengoes, Moorhouse, & Geisller (2014), intervensi
keperawatan masalah bersihan jalan napas adalah sebagai berikut:
1) Auskultasi suara napas. Catat suara napas tambahan seperti mengi,
wheezing, krekels atau ronkhi
Rasional: beberapa derajat bronkospasme terjadi dengan obstruksi
jalan napas dan dapat ditandai oleh suara napas tambahan seperti
krekels yang menyebar dan basah (pada bronkhitis)
2) Pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi dan ekspirasi
Rasional: takipnea biasanya terjadi hingga beberapa derajat dan
mungkin terdengar jelas saat masuk rumah sakit. Pernapasan
mungkin dangkal dan cepat dengan ekspirasi memanjang jika
dibandingkan dengan inspirasi
3) Catat adanya dipsnea dan derajat dipsnea, gelisah, ansietas, dan
penggunaan otot bantu napas. Gunakan skala 0-10 untuk menilai
kesulitan bernapas.
Rasional: menggunakan skala untuk menilai dipsnea membantu
mengukur dan melacak perubahan dalam gawat napas
4) Bantu klien mempertahankan posisi nyaman untuk memfasilitasi
pernapasan dengan meninggikan kepala tempat tidur (posisi
fowler/semi fowler)
Rasional: peninggian kepala tempat tidur dapat memfasilitasi fungsi
pernapasan dengan menggunakan gravitasi dan membantu
pengembangan ekspansi dada/paru
5) Ajarkan klien latihan batuk efektif
Rasional: batuk efektif dapat meningkatkan mobilisasi sekret dan
mempermudah pengeluaran sekret
6) Tingkatkan asupan cairan menjadi 3.000 ml/hari dalam toleransi
jantung. Berikan air hangat, rekomendasikan cairan antara waktu
makan
Rasional: hidrasi membantu mengurangi viskositas sekresi sehingga
memfasilitasi ekspektorasi. Menggunakan cairan hangat dapat
mengurangi bronkospasme
7) Kolaborasi pemberian bronkodilator misalnya tiotropium (spiriva),
ipra-tropium (antrovent), combivent respimat
Rasional: bronkodilator mengencerkan dan mempermudah
pengeluaran sekret
8) Kolaborasi pemberian obat-obatan anti-inflamasi: oral, intravena
(IV) dan steroid inhalasi
Rasional: mengurangi inflamasi jalan napas lokal dan edema dengan
menghambat efek histamin dan mediator lain untuk mengurangi
keparahan dan frekuensi spasme jalan napas, inflamasi pernapasan
dan dipsnea
9) Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi
Rasional: drainase postural dan perkusi (fisioterapi dada)
meningkatkan pengeluaran sekresi yang berlebihan dan lengket
serta memperbaiki ventilasi dibawah segmen paru

2. Diagnosa ke-2: Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-


perfusi (bronkospasme), perubahan membran kapiler-alveolar, destruksi
alveoli, kurangnya suplai O2 (obstruksi jalan napas oleh sekret dan
terperangkapnya udara)
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pertukaran
gas meningkat dengan
b. Kriteria hasil: Pernafasan normal (16-20 x/menit), Bunyi nafas normal
(vesikuler), Nilai Analisis Gas Darah (AGD) dalam batas normal (Ph:
7,35-7,45, PaCO²: 35-45 mmHg, PaO²: 80-100 mmHg, Saturasi O²: 95-
100%, HCO³: 22-16 mEq/L), tidak ada napas cuping hidung, pola napas
membaik, pasien tidak gelisah, tidak ada sianosis, tidak ada dipsnea,
takikardi menurun

c. Intervensi keperawatan
Menurut Doengoes, Moorhouse, & Geisller (2014), intervensi
keperawatan masalah gangguan pertukaran gas adalah sebagai berikut:
1) Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot
bantu napas, pernapasan dengan mengerutkan bibir dan
ketidakmampuan untuk berbicara
Rasional: bermanfaat dalam mengevaluasi derajat gawat napas dan
kronisitas proses penyakit
2) Awasi nilai AGD sesuai indikasi
Rasional: menyatakan perubahan status pernapasan, terjadinya
komplikasi paru.
3) Pantau warna kulit serta membran mukosa secara rutin
Rasional: kekusaman dan sianosis sentral menunjukkan hipoksemia
lanjut
4) Auskultasi suara napas dengan memperhatikan area penurunan
aliran udara dan suara tambahan
Rasional: suara napas melemah karena penurunan aliran udara
5) Palpasi dada untuk mengetahui adanya fremitus
Rasional: penurunan tremor getar menunjukkan penumpukan cairan
atau udara yang terperangkap
6) Pantau tingkat kesadaran status mental
Rasional: kegelisahan dan ansietas merupakan manifestasi hipoksia.
Perburukan gas darah arteri yang disertai dengan konfusi dan
somnolen adalah indikasi disfungsi serebral karena hipoksemia
7) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan yang tenang
dan damai. Anjurkan klien tirah baring selama fase akut
Rasional: istirahat diselinngi dengan aktivitas perawatan tetap
menjadi bagian penting dari regimen terapi
8) Kolaborasi pemberian oksigen tambahan sesuai hasil AGD dan
toleransi klien
Rasional: terapi O2 mencegah perburukan hipoksemia. O2 terbukti
meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang, memperbaiki
mekanika paru, status mental
9) Ajarkan klien teknik relaksasi napas dalam
Rasional: teknik relaksasi nafas dalam meningkatkan ventilasi alveo
li, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkat
kan efisiensi batuk mengurangi stress baik stress fisik maupun emos
ional dan menurunkan intensitas nyeri 
10) Edukasi pasien untuk berhenti merokok atau menjauhi rokok (bila
perokok pasif)
Rasional: Kandungan yang terdapat pada partikel rokok merangsang
keluarnya respon inflamasi dan merusak parenkim paru

3. Diagnosa ke-3: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh


b.d dipsnea, fatigue, efek samping pengobatan, produksi sputum,
anoreksia, nausea/vomiting, mual dan muntah
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi
terpenuhi dengan
b. Kriteria hasil:
Fokus ABCD:
1) A (Antropometri) :
Berat badan pasien menunjukkan Berat Badan Ideal (BBI) dengan
menghitung BBI pasien BBI = (Tinggi Badan – 100) – ((Tiggi
Badan – 100) x 10%), 3)), Lingkar lengan atas (MAC): Nilai
normal (Wanita : 28,5 cm, Pria: 28,3 cm), 4)), Lipatan kulit pada
otot bisep (TSF) Nilai normal (Wanita: 16,5-18 cm, Pria:
12,5-16,5 cm).
2) B (Bioclinical) :
Albumin (N : 4-5,5 mg/100ml), Transferin (N : 17-25 mg/100
ml), Hb (N : 12 mg %), BUN (N : 10-20 mg/100ml), Eksresi
kreatinin untuk 24 jam (N : pria : 0,6-1,3 mg/100ml; dan wanita :
0,5-1,0 mg/100ml
3) Clinical :
BB menunjukkan BB Ideal, Rambut : kuat, bersih, tidak mudah
rontok, Kulit : lembab, turgor kulit elastis, Mata : penglihatan
baik, Lidah : bersih, berwana kemerahan, Bibir : berwarna
kemerahan, lembab.
4) Diet :
Menyiapkan pola diet dengan memasukan kalori adekuat untuk
meningkatkan/mempertahankan berat badan yang tepat.
c. Intervensi Keperawatan
Menurut Doengoes, Moorhouse, & Geisller (2014), intervensi
keperawatan masalah defisit nutrisi adalah sebagai berikut:
1) Kaji asupan makanan baru-baruini. Catat derajat kesulitan makanan,
evaluasi berat badan dan ukuran tubuh atau massa tubuh
Rasional: klien yang mengalami PPOK sering kali mengalami
anoreksia karena dipsnea, produksi sputum dan efek medikasi
2) Auskultasi bising usus
Rasional: penurunan bising usus dapat menggambarkan penurunan
motilitas lambung dan konstipasi yang berhubungan dengan asupan
cairan terbatas, pilihan makanan yang buruk, penurunan aktiitas dan
hipoksemia.
3) Berikan perawatan mulut secara sering
Rasional: rasa dan bau tidak enak merupakan penghalang utama
terhadap penurunan nafsu makan dan menimbulkan mual muntah
4) Anjurkan periode istirahat 1 jam sebelum dan setelah makan.
Berikan makanan dengan porsi sedikit secara sering
Rasional: membantu mengurangi keletihan selama waktu makan dan
memberikan kesempatan untuk meningkatkan asupan kalori total

5) Hindari makanan penghasil gas dan minuman bersoda


Rasional: dapat menmbulkan distensi abdomen yang menghambat
pernapasan abdomen dan gerakan diafragma serta dapat
meningkatkan dipsnea.
6) Hindari makanan yang sangat panas atau dingin
Rasional: suhu ekstrem dapat mencetuskan atau memperburuk
spasme batuk
7) Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional: dapat menentukan kebutuhan kalori, menetapkan tujuan
berat badan
8) Konsultasikan dengan ahli gizi untuk memberikan makanan bergizi
seimbang yang mudah dicerna (enteral maupun parenteral)
Rasional: memberikan zat gizi yang maksimal dengan upaya
pengeluaran energi yang minimal
9) Tinjau pemeriksaan laboratorium (albumin, asam amino, zat besi,
gula darah, enzim hati dan elektrolit)
Rasional: menentukan defisit dan memantau keefektifan terapi
nutrisi.

I. Pelaksanaan keperawatan
Pada proses keperawatan, implementasi adalah fase ketika perawat mengimpl
ementasikan intervensi keperawatan. Berdasarkan terminologi NIC, impleme
ntasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan tindakan yang merupak
an tindakan keperawatan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan interve
nsi (program keperawatan) (Kozier, et.all., 2010).

J. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan menurut Doengoes, Moorhouse, & Geissler (2014)
pada pasien dengan PPOK adalah sebagai berikut:
1. Bersihan jalan nafas meningkat
2. Gangguan pertukaran gas teratasi
3. Nutrisi terpenuhi
4. Pola napas efektif
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Djojodibroto, D. (2009). Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2014). Rencana Asuhan Ke


perawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta: EGC.

Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and


classification 2018-2020. Jakarta: EGC.

Kozier. (2010). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Edisi 5. Jakarta : EGC

Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. (2007). Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ahl
i Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, Nurwany
Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC

Nawas, M.A., & Yunus, F. (2019). Respirologi Indonesia. Jurnal Respirologi


Indonesia. 39(2). 104. http://www.jurnalrespirologi.org.

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Dia
gnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Sahar, J., Setiawan, A., & Riasmini. (2019). Keperawatan Kesehatan Komunitas dan
Keluarga. In Suthichana Tharmapalan (Ed.) (1st editio). Singapore: Elsevier P
te Ltd

Somantri I. (2007). Keperawatan medikal bedah : Asuhan Keperawatan pada pasien


gangguan sistem pernafasan. Jakarta: Salemba Medika

Soeroto, A.Y., dan Suryadinata, H. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Ina
Journal chest Crit and Emerg Med. Vol.I No.2.hal 83-88. Diunduh dari h
ttp://www.respirologi.com/

Anda mungkin juga menyukai