Anda di halaman 1dari 46

ASUHAN KEPERAWATAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Disusun oleh:
Kelompok 7 (2B)
1. Annisa Dewi Prahastini (19011)
2. Elah Ernawati (19032)
3. Khoffifah Nur Arbaah (19057)
4. Nida An Khofiyya (19072)
5. Pujiwati (19076)
6. Zahira Aulia R (19116)

AKADEMI KEPERAWATAN FATMAWATI


JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kelompok panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberik
an rahmat-Nya, sehingga kelompok mendapat berbagai inspirasi dan dapat menyeles
aikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK)”. Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai salah satu tugas dalam mata kul
iah Keperawatan Medikal Bedah I. Kelompok menyadari bahwa makalah ini tidak ak
an tersusun dengan baik tanpa adanya bantuan dari pihak-pihak terkait, maka
kelompok mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Ns. DWS Suarse Dewi, M.Kep.,Sp.Kep.MB, selaku Direktur Akademi Keperaw
atan Fatmawati Jakarta.
2. Ns. Tjahjanti K, M.Kep., Sp.Kep,J selaku Wali Kelas Angkatan XXII Akademi
Keperawatan Fatmawati Jakarta.
3. Ns. Hinin Wasilah,S.Kep.M.S selaku dosen pembimbing dan penanggung jawab
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1.
4. Zahri Darni, M.Kep selaku dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1.
5. Orang tua tercinta yang telah membantu dalam segi material maupun dalam segi
motivasi dalam penyusunan makalah ini.
6. Rekan-rekan kelompok yang membantu selesainya pembuatan makalah ini.

Kelompok menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
menerima saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan untuk penyempurnaan
makalah ini.

Jakarta, 28 Oktober 2020

Kelompok 7

DAFTAR ISI

I
KATA PENGANTAR............................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................................3
B. Tujuan Penilisan ............................................................................................4
C. Metode Penulisan ..........................................................................................5
D. Ruang Lingkup ..............................................................................................5
E. Sistematika Penulisan ....................................................................................5

BAB II ANATOMI FISIOLOGI PERNAFASAN

A. Anatomi Sistem Pernafasan ..........................................................................6


B. Fisiologi Pernafasan ......................................................................................17

BAB III TINJAUAN TEORI


A. Pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ....................................19
B. Etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).........................................19
C. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).....................................20
D. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)..................................24
E. Manifestasi klinis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)..........................27
F. Komplikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)...................................28
G. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)............................28
H. Pengkajian keperawatan .................................................................................30
I. Diagnosa keperawatan ....................................................................................36
J. Perencanaan keperawatan ...............................................................................37
K. Pelaksanaan keperawatan ...............................................................................37
L. Evaluasi keperawatan .....................................................................................43

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................................44
B. Saran ................................................................................................................44

DAFTAR PUSTAKA

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit tidak menular dan
menjadi masalah kesehatan dunia. Definisi PPOK adalah penyakit yang ditandai
dengan keterbatasan aliran udara bersifat progresif berhubungan dengan
inflamasi kronik saluran pernafasan dan parenkim paru akibat pajanan gas atau
partikel berbahaya. Hambatan aliran udara pada PPOK terjadi karena perubahan
sruktur saluran napas yang disebabkan destruksi parenkim dan fibrosis paru
(Nawas, 2019).

Menurut World Health Statistics, PPOK merupakan penyebab kematian nomor


empat di dunia dan diperkirakan akan menjadi penyebab insidens kesakitan dan
penyebab kematian nomor tiga pada tahun 2030. Pasien meninggal akibat PPOK
mencapai 3 juta orang setara dengan 6% dari keseluruhan kematian dunia pada
tahun 2012. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2014,
penyakit pernapasan kronis, salah satunya adalah PPOK, menyumbang 5% dari t
otal kematian akibat penyakit tidak menular di Indonesia. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (Kementerian Kesehatan Repu
blik Indonesia (Kemenkes-RI) (2013), PPOK memiliki prevalensi 3,7% (pada kel
ompok umur ≥30 tahun) per satu juta penduduk di Indonesia (Ramadhan, 2020).

PPOK merupakan penyakit inflamasi kompleks yang melibatkan beberapa sel


inflamasi. PPOK juga merupakan penyakit yang membutuhkan perawatan dan pe
nanganan yang cepat tepat dan efektif oleh medis, oleh karena itu peran perawat
dalam pemberian asuhan keperawatan dan dukungan keluarga sangat menentuka
n keberhasilan dari setiap prosedur keperawatan yang dilakukan. Peran perawat p
ada pasien PPOK dalam bentuk promotif seperti modifikasi gaya hidup misalnya
mengenai merokok, bukan hanya edukasi mengenai bahaya dan berhenti meroko
k, tapi juga mengenai peningkatan harapan hidup dan kualitas hidup setelah berh
enti merokok. klien juga diedukasi untuk segera datang ke fasilitas kesehatan apa
bila terjadi kekambuhan, dan berolahraga secara teratur. Berdasarkan uraian di at
as maka kelompok tertarik untuk memahami lebih dalam tentang penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) serta asuhan keperawatan yang diberikan.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum`
Tujuan umum makalah ini adalah agar mahasiswa/mahasiswi dapat lebih
memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan mengenai penyakit
paru obstruktif kronik.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus makalah ini untuk:
a. Menjelaskan Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan
b. Menjelaskan Pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
c. Menjelaskan Etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
d. Menjelaskan Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK
e. Menjelaskan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK)
f. Melakukan pengkajian terhadap pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK)
g. Melakukan pemeriksaan penunjang terhadap pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK)
h. Menganalisa diagnosa keperawatan yang tepat pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
i. Merencanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK)
j. Melaksanakan asuhan keperawatan/implementasi pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
k. Melakukan evaluasi hasil tindakan asuhan keperawatan pada pasien d
engan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

C. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan metode studi keperpustakaan.
Metode studi keperpustakaan yaitu menggunakan berbagai sumber literatur yang
sesuai dengan makalah kami yang berjudul “Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK)”. Adapun teknik pengumpulan data dalam penulisan makalah ini adalah
menganalisis berbagai sumber referensi baik dari buku, jurnal dan internet yang
berkaitan dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).

D. Ruang Lingkup
Penulisan makalah ilmiah ini merupakan pembahasan uraian materi tentang
penyakit paru obstruktif kronik serta materi asuhan keperawatannya dari
pengkajian hingga evaluasi.

E. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun oleh tiga bab, yaitu: BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari l
atar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, ruang lingkup dan sistematika
penulisan. BAB II natomi dan fisiologi sistem pernapasan. BAB III Tinjauan Te
ori, yang terdiri dari konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan konsep
asuhuhan keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). BAB IV Pentu
p, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN

A. Anatomi Sistem Penafasan

Menurut Syaifuddin (2018) sistem pernafasan memiliki peran sangat penting


yang mempengaruhi aktivitas kehidupan. Pernapasan adalah peristiwa
menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh serta
menghembuskan udara yang mengandung karbondioksida sebagai sisa dari
oksidasi ke luar tubuh. Fungsi dari pernafasan adalah menjamin ketersediaan
oksigen bagi kelangsungan metabolisme sel-sel tubuh serta mengeluarkan
karbondioksida hasil metabolisme sel. Organ sistem pernapasan terbagi
menjadi:
1. Hidung (Nasal)
Hidung merupakan saluran udara pertama, mempunyai dua lubang (cavum
nasi) dan dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Hidung berfungsi
sebagai saluran udara, penyaring kotoran, melembapkan, menghangatkan
udara yang dihirup ke dalam paru-paru serta membunuh kuman yang
masuk bersama udara pernapasan oleh leukosit yang terdapat dalam
selaput lendir (mukosa). Hidung terbagi menjadi bagian eksternal yang
menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago,
dilindungi otot-otot kulit, serta dilapisi oleh membrane mukosa. Bagian
internal terdiri dari selaput lendir yang berlipat-lipat yang dinamakan
konka nasalis dan berjumlah 3 buah yaitu:
a. Konka nasalis inferior (bawah)
b. Konka nasalis media (tengah)
c. Konka nasalis superior (atas)
Dasar rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas, ke atas rongga
hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang disebut paranasalis
yang terdiri dari:
a. Sinus maksilaris pada rongga rahang atas
b. Sinus frontalis pada rongga tulang dahi
c. Sinus sfenoidalis pada tulang baji
d. Sinus etmoidalis pada tulang tapis

2. Faring
Merupakan tempat persimpangan antara saluran pernapasan dan saluran
pencernaan. faring terletak di bawah dasar tengkorak di belakang rongga
hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring
dengan organ sekitarnya meliputi:
a. Ke atas berhubungan dengan rongga hidung dengan perantara lubang
yang disebut koana
b. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut yang disebut itsmus
fausium
c. Ke bawah terdapat dua lubang: ke arah depan lubang faring dan ke
belakang lubang esophagus
Rongga faring terbagi menjadi 3 bagian antara lain:
a. Nosofaring
b. Orofaring
c. Laringofaring

3. Laring
Laring atau tenggorokan merupakan salah satu saluran pernafasan (tractus
respiratorius). Laring juga bertindak sebagai pembentukan suara. Laring
tertutup oleh epiglotis yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi
pada waktu kita menelan makanan menutupi laring. Laring terdiri dari 5
tulang rawan antara lain:
a. Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun, sangat jelas terlihat pada pria
b. Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker
c. Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin
d. Kartilago epiglotis (1 buah)
Pada laring terdapat pita suara yang berjumlah 2 buah terdiri dari bagian
atas adalah pita suara palsu tidak mengeluarkan suara disebut ventrukularis
dan di bagian bawah adalah pita suara sejati yang membentuk suara yang
disebut vokalis yang terdapat 2 buah otot. Berbicara memiliki mekanisme
yang terpisah yaitu:
a) Fonasi
Fonasi adalah proses dimana pita suara menghasilkan suara tertentu
melalui suatu getaran. Getaran pita suara bergerak kearah lateral.
Penyebab getaran ini adalah apabila pita suara satu sama lain
berdekatan udara dihembuskan, tekanan udara dari bawah mendorong
pita suara sehingga terpisah satu sama lain, udara mengalir cepat
diantara tepi-tepi pita suara sehingga menciptakan suatu ruang hampa
parsial diantara pita suara yang menarik mendekati satu sama lain dan
menghentikan aliran udara. Pita suara terbuka meneruskan pola
getaran, tinggi nada suara diciptakan oleh laring dapat diubah dengan
dua cara:
1) Pengendoran atau peregangan pita suara
2) Mengubah bentuk dan masa tepi-tepi pita suara.
b) Artikulasi dan resonansi
Dalam hal ini ada tiga organ utama yang berfungsi dalam artikulasi:
bibir, lidah, dan palatum resonansi tersendiri dari mulut, hidung
(paranasalis), faring dan rongga dada sifat resonasi berbagai struktur
dilukiskan oleh perubahan kualitas. Teori fibrasi pita suara:
1) Aerodinamik: fibrasi pita suara palsu tergantung pada tinggi
tekanan udara subglotis
2) Neuromuskular: variasi pita suara sebagai akibat kontraksi otot
intrinsik.
4. Trakea
Trakea atau batang tenggorok merupakan lanjutan dari laring yang
dibentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang rawan ang berbentuk
seperti kuku kuda (huruf C). Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir
yang berbulu getar yang disebut sel bersila, hanya bergerak ke arah luar.
Panjang trakea 9-11 cm dan di belakang terdiri dari jaringan ikat yang
dilapisi oleh otot polos.

Trakea bersifat fleksibel, sehingga mampu mengalami kontraksi dan


kembali mengalami relaksasi ke ukuran semula. Kontraksi otot polos
trakea akan mengurangi ukuran diameter rongga treakea, dan pada
keadaan ini dibutuhkan tenaga yang cukup besar untuk mengeluarkan
udara dari paru-paru. Tulang rawan berfungsi mencegah terjadinya
penyumbatan dan menjamin keberlangsungan jalannya udara, walaupun
terjadi perubahan tekanan selama pernafasan. Trakea berfungsi sebagai
tempat perlintasan udara setelah melewati saluran pernafasan bagian atas
yang membawa udara bersih, hangat, lembab. Pada trakea terdapat sel-sel
bersilia yang berguna untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk
bersama udara. Yang memisahkan trakea menjadi bronkus kiri dan kanan
disebut karina.

5. Bronkus dan bronkiolus


Bronkus atau cabang tenggorok merupakan lanjutan dari trakea, ada dua
buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V
mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang
sama. Bronkus itu berjalan kebawah dan ke samping ke arah tampuk paru-
paru. Bronkus kanan lebih pendek dari bronkus kiri terdiri dari 6-8 cincin
dan mempunyai 3 cabang, bronkus kiri lebih panjang dengan 9-12 cincin
dan mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih
kecil disebut bronkiolus. Pada ujung bronkiolus terdapat gelembung paru
yang disebut alveolus.
6. Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung. Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel.
Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan
CO2 dikeluarkan dari darah. Paru-paru berfungsi sebagai pertukaran
oksigen dan karbondioksida. Selain itu berfungsi sebagai penjaga
keseimbangan asam-basa tubuh. Dalam sistem ekskresi paru-paru
berfungsi mengeluarkan karbondioksida dan uap air.

Paru-paru terletak di dalam rongga dada (mediastinum), dilindungi oleh


struktur tulang selangka. Rongga dada dan perut dibatasi oleh suatu sekat
disebut diafragma. Berat paru-paru kanan sekitar 620 gram, sedangkan
paru-paru kriri sekitar 560 gram. Masing-masing paru-paru dipisahkan
satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur-
struktur lain di dalam rongga dada. Selaput yang membungkus paru-paru
disebut pleura. Pleura terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Pleura visceral: selaput paru yang langsung membungkus paru
b. Pleura parietal: selaput yang melapisi rongga dada luar
Antara kedua pleura ini terdapat rongga yang disebut kavum pleura. Pada
keadaan normal kavum pleura ini hampa udara sehingga paru-paru dapat
berkembang kempis, dan terdapat cairan bernama cairan serosa yang
berfungsi untuk menjadi pelumas untuk menghindarkan gesekan paru-paru
dan dinding dada selama bernafas, jumlah cairan ini normalnya hanya 1-20
ml.

Paru paru terbagi menjadi 2 yaitu:


a. Paru-paru kanan: terdiri dari 3 lobus (superior, media, inferior), tiap
lobus terdiri dari belahan kecil bernama segmen. Paru-paru kanan
mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus inferior
(segmen apical,mediobasalis,anterobasalis,laterobasalis,posterobasalis),
2 buah segmen pada lobus media (segmen lateral dan medial), dan 3
buah segmen pada lobus superior (segmen apical, posterior,anterior).
b. Paru-paru kiri:terdiri dari 2 lobus (superior, inferior). Paru-paru kiri
mempunyai 8 segmen yaitu 4 buah pada lobus superior (segmen
apicoposterior, anterior, lingualis superior, lingualis inferior) dan 4
buah pada lobus inferior (segmen apical, antero-mediobasalis,
laterobasalis dan posterobasalis)

7. Alveolus
Alveolus merupakan gelembung yang berisi udara dalam paru-paru dengan
jumlah sekitar 300 juta buah. Letak alveolus berada dibagian parenkim par
u-paru yang merupakan ujung dari saluran pernapasan, dimana kedua sisin
ya adalah tempat pertukaran udara dengan darah. Diameter alveolus bisa m
encapai 200-300 mikrometer. Adanya alveolus membuat permukaan paru-
paru semakin luas, dimana luas permukaan paru-paru diprediksi mencapai
160 M2 atau sekitar 100 kali lebih luas dari permukaan tubuh. Gelembung-
gelembung udara pada paru-paru tersebut mempunyai dinding tipis dengan
kapiler darah dan masing-masing gelembung diselumbungi oleh pembuluh
kapiler darah. Pada dinding alveolus terjadi pertukaran oksigen (O2) dari u
dara ke sel darah dalam tubuh, dan pertukaran karbondioksida (CO2) dari s
el darah dalam tubuh ke udara bebas. Lebih mudahnya, alveolus diartikan
sebagai kantung dengan dinding tipis yang ada pada ujung saluran udara te
rkecil (bronkiolus) berada dalam paru-paru yang didalamnya berisi udara.

Alveoli terdiri dari lapisan epitel dan matrik ekstraseluler yang dikelilingi
oleh kapiler. Lapisan epitel tersebut berperan untuk memudahkan
pengikatan oksigen yang berasal dari udara dalam rongga alveolus yang
dilakukan oleh darah di dalam kapiler darah. Diantara alveoli yang ada
pada dinding alveolar terdapat pori-pori yang disebut dengan pori-pori
kohn. Alveoli juga mengandung beberapa serat elastis dan serat kolagen.
Pada saat terjadi proses inhalasi, alveoli akan menjadi penuh dengan udara.
Adanya serat elastis yang ada dalam alveoli akan memungkinkan struktur
anatomi tersebut untuk meregang. Dengan kata lain, saat sedang bernafas
serat elastis tersebut memungkinkan terjadinya ekspansi dan kontraksi
pada dinding alveoli, sedangkan serat kolagen akan menjadi lebih kaku
dan memberikan ketegasan dinding alveoli. Dalam alveolus ada 3 sel
utama, antara lain:
a) Skuamosa alveolar (tipe I), yakni sel-sel pembentuk struktur alveolar.
b) Sel Alveolar besar (tipe II), yakni sel yang berperan mensekresikan
surfaktan untuk membantu mengurangi tegangan pada permukaan air
serta membantu proses pemisahan membran sehingga mempermudah
proses pertukaran gas. Selain itu, sel alveolar besar juga membantu
memperbaiki kerusakan yang terjadi pada endotelium dari alveolus.
c) Sel epitel skuamosa, yaitu sel yang bertindak sebagai pembentuk
kapiler yang akan berfungsi dalam difusi gas. Pembentukan kapiler ini
meliputi 70% dari daerah itu.
Selain itu, terdapat sel makrofag, yakni sel yang dapat membantu
menghancurkan bakteri dan berbagai benda asing yang masuk ke dalam
tubuh melalui pernapasan. Sehingga, sel tersebut berkaitan dengan sistem
kekebalan tubuh.

Menurut Devi (2017), Paru-paru mempunyai volume dan kapasitas.


Berikut adalah pengertiannya:
1. Volume udara
Volume udara dalam paru-paru dan kecepatan pertukaran saat ekspirasi
dapat diukur melalui spirometer. Volume paru terbagi menjadi:
a. Volume tidal (VT): volume udara yang dapat keluar-masuk paru-
paru pada pernapasan biasa (500cc).
b. Volume cadangan inspirasi (VCI): volume udara ekstra yang masuk
ke paru-paru dengan inspirasi maksimum diatas inspirasi tidal. VCI
pada laki-laki berkisar 3100 ml dan pada perempuan 1900 ml.
c. Volume cadangan ekspirasi (VCE): volume udara ekstra yang dapat
dengan kuat dikeluarkan padaakhir ekspirasi tidal normal. VCE
berkisar 1200 ml pada laki-laki dan 800 ml padaperempuan.
d. Volume residual (VR): adalah volume udara sisa selama paru-paru
setelah melakukan ekspirasi kuat. Pada laki-laki sekitar 1200 ml dan
pada perempuan 1000 ml.
2. Kapasitas paru
a. Kapasitas vital (KV): penambahan volume tidal, volume cadangan
inspirasi dan volume cadangan ekspirasi = jumlah udara maksimal
yang dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum,
rata-rata 4500 ml.
b. Kapasitas total paru (KTP): jumlah total udara yang dapat ditampung
dalam paru-paru = kapasitas vital ditambah volume residual, nilai
rata-rata 5700 ml.
c. Kapasitas residual fungsional (KRF): penambahan volume residual
dan volume cadangan ekspirasi. Kapasitas ini merupakan jumlah
udara sisa dalam sistem respiratorik setelah ekspirasi normal. Nilai
rata-rata 2200 ml udara.
d. Kapasitas inspirasi (KI): penambahan volume tidal dan volume
cadangan inpirasi. Nilai rata-rata 3500 ml udara.

B. Fisiologi Pernapasan
1. Ventilasi mekanis
Udara mengalir ke tekanan tinggi ke bagian rendah, namun demikian bila
tidak ada aliran udara masuk atau keluar dari paru-paru tekanan alveolar
dan atmosfer dalam keadaan seimbang. Untuk memulai pernapasan aliran
udara dalam paru-paru harus dicetuskan oleh turunnya tekanan dalam
alveoli, ini melibatkan proses yang rumit dari banyak variabel yaitu:
a) Elastisitas
b) Komplain/kemampuan mengembang paru-paru
c) Tekanan
d) Gravitasi
2. Difusi
Proses difusi melewati membrane pembatas alveoli dengan kapiler pembul
uh darah meliputi proses difusi gas dan proses difusi cairan. Udara atmosfe
r masuk ke dalam paru dengan aliran cepat, ketika dekat alveoli kecepatan
nya berkurang sampa terhenti. Udara atau gas yang baru masuk dengan ce
pat berdifusi atau bercampur dengan gas yang telah ada dalam alveoli. Kec
epatan gas berdifusi berbanding terbalik dengan berat molekulnya. O2 me
mpunya berat molekul 32 sedangkan berat molekul CO2 adalah 44. Gerak
molekul gas O2 lebih cepat dibandingkan gerak molekul gas CO2 sehingg
a kecepatan difusi O2 juga lebih cepat. Sedangkan kecepatan difusi gas pa
da fase cairan tergantung kelarutan gas dalam cairan. Kelarutan CO2 lebih
besar dibandingkan O2 sehingga kecepatan difusi CO2 didalam fase cairan
20 kali lipat kecepatan difusi O2. Semakin besar membran pembatas, halan
gan bagi proses difusi 28 semakin besar. Dalam hal ini pembatas - pembat
asnya adalah dinding alveoli, dinding kapiler endotel, lapisan plasma kapil
er dan dinding eritrosit.

3. Transpor
a) Pengangkutan oksigen ke jaringan
1) Tahap 1: oksigen dari atmosfer masuk kedalam paru-paru dan pada
kita waktu menarik napas tekanan parsial oksigen dalam atmosfer
159 mmHg, dalam alveoli komposisi udara berbeda dengan
komposisi udara atmosfer tekanan parsial O2 dalam alveoli 105
mmHg
2) Tahap 2: darah mengalir dari jantung menuju ke paru-paru untuk
mengambil oksigen yang berada dalam alveoli. Dalam darah
terdapat oksigen, mempunyai tekanan parsial 40 mmHg. Karena
adanya tekanan parsial itu setelah proses difusi tekanan parsial
oksigen dalam pembuluh darah menjadi 100 mmHg
3) Tahap 3: oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah
diedarkan ke seluruh tubuh. Sebagian besar oksigen larut dalam
plasma darah dan sebagian kecil terikat pada hemoglobin. Derajat
kejenuhan hemoglobin dengan O2 tergantung pada tekanan parsial
CO2 atau pH. Jumlah O2 yang diangkut ke jaringan tergantung
pada jumlah Hb dalam darah.
4) Tahap 4: sebelum sampai ke sel, oksigen dibawa melalui cairan
interstisial. Tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial
20mmHg. Perbedaan tekanan parsial antara pembuluh darah arteri
dengan tekanan cairan pada cairan interstisial menyebabkan
terjadinya difusi oksigen yang cepat dari pembuluh kapiler ke
cairan nterstisial.
5) Tahap 5: oksigen dari cairan interstisial berdifusi masuk kedalam
sel, dalam sel oksigen akan digunakan untuk reaksi metabolisme
yaitu reaksi oksidasi senyawa yang berasal dari makanan
(karbohidrat, lemak, protein) akan menghasilkan H2O dan CO2.
Energi penggunaan oksigen oleh sel dan transpor CO2 keluar dari
sel dan masuk ke pembuluh vena yang akan dibawa ke paru-paru
untuk berdifusi kembali.

Manusia sangat membutuhkan oksigen dalam hidupnya, bila tidak


mendapatkan oksigen selama 4 menit akan mengakibatkan kerusakan pada
otak yang tak dapat diperbaiki dan bisa menimbulkan kematian. Bila oksigen
tidak mencukupi kebutuuhan tubuh maka akan terjadi sianosis yaitu adanya
warna kebiruan pada bibir, telinga, lengan dan kaki. (Utama,2018)

Menurut tempat terjadinya pertukaran maka pernapasan dapat dibedakan atas


2 jenis, yaitu pernapasan luar dan pernapasan dalam. Pernapasan luar adalah
pertukaran udara yang terjadi antara udara dalam alveolus dengan darah
dalam kapiler, sedangkan pernapasan dalam adalah pernapasan yang terjadi
antara darah kapiler dengan sel-sel tubuh. Masuk keluarnya udara dalam
paru-paru dipengaruhi oleh perbedaan tekanan udara di luar tubuh. Jika
tekanan di luar rongga dada lebih besar maka udara akan masuk. Sebaliknya,
apabila tekanan dalam rongga dada lebih besar maka udara akan keluar.
Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukan udara (inspirasi)
dan pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan
atas dua macam, yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut.
4. Pernapasan dada
Pernapasan dada adalah pernapasan yang melibatkan otot antar tulang
rusuk. Mekanismenya dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Fase inspirasi
Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga rongga
dada membesar, akibatnya tekanan dalam rongga dada menjadi lebih
kecil daripada tekanan di luar sehingga udara luar yang kaya oksigen
masuk.
b. Fase ekspirasi
Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara tulang
rusuk ke posisi semula yang diikuti oleh turunnya tulang rusuk
sehingga rongga dada menjadi kecil. Sebagai akibatnya, tekanan di
dalam rongga dada menjadi lebih besar daripada tekanan luar, sehingga
udara dalam rongga dada yang kaya karbondioksida keluar.

5. Pernapasan perut
Pernapasan perut merupakan pernapasan yang mekanismenya melibatkan
aktivitas otot-otot diafragma yang membatasi rongga perut dan rongga
dada. Mekanismenya dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Fase inspirasi
Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma mendatar,
akibatnya rongga dada membesar dan tekanan menjadi kecil sehingga
udara luar masuk.
b. Fase ekspirasi
Merupakan fase berelaksasinya otot diafragma (kembali ke posisi
semula, mengembang) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan
menjadi lebih besar, akibatnya udara keluar dari paru-paru.

Volume darah di paru-paru kira-kira 450 ml, sekitar 9% dari volmume darah
total sistem sirkulasi (70 ml) berada pada kapiler sedangkan sisanya dibagi
sama rata antara arteri dan vena. Bila seseorang menghembuskan udara
dengan sangat kuat sehingga timbul tekanan tinggi di paru-paru sebanyak
250ml, darah dapat dikeluarkan dari sistem sirkulasi paru ke sirkulasi
sistemik. Begitu pula hilangnya darah dari sirkulasi sistemik karena
pendarahan dapat dikompensasi sebagian oleh pergeseran darah secara
otomatis dari paru-paru ke pembuluh sistemik.

Menurut Utama (2018), Frekuensi pernapasan merupakan intensitas


memasukkan atau mengeluarkan udara pada manusia berkisar 12-20x/menit.
Faktor yang mempengaruhi kecepatan frekuensi pernapasan antara lain:
a) Usia: balita memiliki frekuensi pernapasan lebih cepat dibandingkan
manula. Semakin bertambah usia, intensitas pernapasan akan semakin
menurun.
b) Jenis kelamin: laki-laki memiliki frekuensi pernapasan lebih cepat
dibandingkan perempuan
c) Suhu tubuh: semakin tinggi suhu tubuh maka frekuensi pernapasan akan
semakin cepat
d) Posisi tubuh: frekuensi pernapasan meningkat saat berjalan atau berlari
dibandingkan posisi diam. Frekuensi pernapasan posisi berdiri lebih cepat
dibandingkan posisi duduk.
e) Aktivitas: semakin tinggi aktivitas maka frekuensi pernapasan akan
semakin cepat

BAB III
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) /COPD (Chronic Obstructive Lung
Disease) didefinisikan sebagai sindrom klinis yang merupakan kelompok
gejala kronik, progresif (semakin lama semakin memburuk) dan melemahkan
fungsi respirasi yang dikarakteristikan dengan adanya keterbatasan pada
aliran udara pada saluran pernapasan maupun pada parenkim paru, dan
bersifat reversible (dapat kembali normal) sebagian. Biasanya disebabkan
oleh sekelompok penyakit seperti emfisema dan bronkitis. (Djojodibroto,
2010)

B. Etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Menurut Kumar, et.al (2007), etiologi dari PPOK yaitu:
1. Merokok (perokok aktif maupun pasif)
Kandungan yang terdapat pada partikel rokok merangsang keluarnya
respon inflamasi sehingga meningkatkan jumlah makrofag dan neutrofil di
dalam paru-paru dan sel kekebalan ini melepaskan sitokin, kemokin dan
protease yang merusak parenkim paru seiring waktu.

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dn tempat kerja (uap, iritan,


asap)
Etiologi belum jelas, namun dihipotesiskan sebagai respon inflamasi
serupa yang merusak alveoli. Contohnya pada pekerja pabrik industri yang
menggunakan bahan kimia berbahaya yang terhirup ke dalam paru-paru,
pekerja di percetakan yang menghirup partikel debu dan pekerja
pengecatan sebuah bangunan yang menghirup partikel cat.

3. Defisiensi antritipsin alfa-1


merupakan kekurangan suatu enzim yang normalnya melindungi paru-paru
dari kerusakan peradangan. Orang yang kekurangan enzim ini dapat terken
a empisema pada usia yang relatif muda, walaupun tidak merokok.
4. Usia (>40 tahun)
Semakin bertambah umur seseorang maka akan terjadi degenerasi otot-otot
pernafasan dan elastisitas jaringan menurun. Sehingga kekuatan otot-otot p
ernafasan dalam menghirup oksigen menjadi menurun.Kemudian karena fa
ktor umur yang bertambah maka semakin banyak alveoli yang rusak dan d
aya tahan tubuh semakin rendah.

5. Riwayat penyakit
Termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi saluran nafa
s saat masa anak-anak, riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah s
akit untuk penyakit respirasi.

C. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Menurut Somantri (2007) , klasifikasi dari PPOK adalah:
1. Bronkhitis Kronis
Bronkhitis kronis menunjukkan kelainan pada bronkus yang sifatnya
menahun (berlangsung lama). Bronkhitis kronis merupakan keadaan yang
berkaitan dengan produksi mukus trakheobronkhial yang berlebihan
sehingga menimbulkan batuk yang terjadi paling sedikit selama tiga bulan
dalam waktu satu tahun.

Serangan bronkhitis disebabkan karena tubuh terpapar agen infeksi


maupun non infeksi (terutama rokok). Iritan (zat yang menyebabkan
iritasi) akan menyebabkan timbulnya respons inflamasi yang akan
menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan brokospasme.
Pasien dengan bronkhitis kronis akan mengalami:
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronkus besar
sehingga meningkatkan produksi mukus
b. Mukus lebih kental
c. Kerusakan fungsi silia yang dapat menurunkan mekanisme
pembersihan mukus
Mukus yang kental dan pembesaran bronkus akan mengobstrukksi jalan
napas terutama selama ekspirasi. Jalan napas selanjutnya mengalami
kolaps dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi
ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolus, hipoksia dan asidosis.
Pasien mengalami kekurangan O2 jaringan dan ratio ventilaso perfusi
abnormal timbul dimana terjadi penurunan PO2. Kerusakan ventilasi juga
meningkatkan nilai PCO2 sehingga pasien terlihat sianosis. Sebagai
kompensasi dari hipoksemia maka akan terjadi produksi eritrosit yang
berlebihan.

Pada saat penyakit bertambah parah, sering ditemukan produksi sejumlah


sputum yang berwarna hitam, biasanya karena infeksi pulmonari. Selama
infeksi, pasien mengalami reduksi pada FEV (volume ekspirasi paksa)
dengan peningkatan pada RV (residual volume) dan FRC (kapasitas resudi
fungsional). Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hipoksemia akan
timbul dan akhirnya menuju penyakit cor pumonal (perubahan struktur dan
fungsi ventrikel kanan jantung akibat penyakit primer di sistem pernapas
an) dan CHF (Congestive Heart Failure).

Manifestasi klinik yang terjadi pada pasien yang mengalami bronkhitis


kronik adalah:
- Awitan usia 20-30 tahun dengan batu akibat merokok
- Usia saat diagnosis kurang lebih 50 tahun
- Sputum banyak sekalih
- Dipsnea relatif lambat
- Bentuk tubuh gemuk
- Diameter AP dada tidak berubah
- Hipoventilasi berakibat hipoksia dan hiperkapnea
- FEV1 rendah TLC normal RV meningkat
- PaCO2 meningkat (50-60 mmHg)
- PaO2 45-60 mmHg
- SaO2 tinggi
- Hematokrit 50-55%
- Sering terdapat sianosis
- Sering terdapat COR pulmonal disertai banyak serangan

2. Emfisema
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan.
Terdapat empat perubahan patologik yang timbul pada emfisema yaitu:
a. Hilangnya elastisitas paru-paru
Protease (enzim paru-paru) mengubah atau merusak alveoli dan saluran
napas kecil dengan cara merusak serabut elastin. Sebagai akibatnya,
kantung alveolus kehilangan elastisitasnya dan jalan napas kecil
menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa alveoli menjadi rusak dan
yang lainnya kemungkinan menjadi membesar.
b. Hiperinflasi paru
Pembesaran alveoli sehingga paruu-paru sulit untuk dapat kembali ke
posisi istirahat normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya bullae
Dinding alveolus membengkak dan berhubungan untuk membentuk
suatu bullae (ruangan tempat udara di antara parenkim paru-paru) yang
dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.
d. Kolapsnya jalan napas kecil dan udara terperangkap
Ketika pasien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif
intratoraks akan menyebabkan kolapsnya jalan napas.

Menurut Somantri (2007), Emfisema terbagi menjadi tiga tipe yaitu:


a. Emfisema sentriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan
bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi
merambah sampai bronkhiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap
bersisa.
b. Emfisema panlobular (panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak
paru-paru bagian bawah. Tipe ini sering disebut centriacinar
emfisema, sering kali timbul pada perokok. Panacinar timbul pada
orang tua dan pasien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin.
c. Emfisema paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi
blebs (aliran udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru.
Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothoraks
spontan.

Manifestasi klinik yang terjadi pada pasien yang mengalami emfisema


adalah:
- Awitan usia 30-40 tahun
- Usia saat diagnosis kurang lebih 60 tahun
- Sputum sedikit
- Dipsnea relatif dini
- Bentuk tubuh kurus dan ramping
- Diameter AP dada berbentuk tong
- Pola pernapasan hiperventilasi dan dipsnea yang jelas, dapat timbul
sewaktu istirahat
- Volume paru FEV1 renda, TLC dan LV meningkat
- PaCO2 normal atau rendah (35-40 mmHg)
- PaO2 65-75 mmHg
- Hematokrit 35-45%
- Sianosis jarang
- Cor pulmonal jarang kecuali pada tahap akhir

D. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Perjalanan terjadinya PPOK dimulai dengan inflamasi pada saluran
pernafasan yang disebabkan oleh pajanan gas atau partikel beracun
berbahaya, setelah itu diikuti dengan perubahan pada pembuluh darah paru
yang ditandai dengan penebalan dinding saluran paru. Hal inilah yanng
membuat jalan napas menjadi sempit dan terjadilah obstruksi paru. PPOK
berbeda dengan asma, pada penderita asma, penyempitan saluran napas
sering kali dipicu oleh suatu alergen yang menyebabkan kambuhnya alergi
seperti serbuk sari, lumut, maupun aktivitas fisik. Sedangkan, sesak napas
pada PPOK berkaitan dengan penyakit paru yang terdiri dari emfisema dan
bronkitis kronis. Emfisema terjadi ketika kumpulan kantung kecil dalam
paru-paru yang disebut alveoli rusak. Sedangkan, bronkitis kronis terjadi
ketika saluran yang membawa udara ke paru-paru mengalami peradangan.
Keduanya bisa disebabkan oleh kebiasaan merokok. (Riasmini, Setiawan,
Sahar, 2019)

Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel pengha


sil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelump
uhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel p
enghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan m
enyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluar
kan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorg
anisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yan
g menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat
Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakuka
n akibat mukus yang kental dan adanya peradangan Komponen-komponen as
ap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-
mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di
paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka
ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena eks
pirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah ins
pirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan te
rperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (Global Obstructive Lung
Disease, 2009). Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutro
phil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprote
ase, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserba
si akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan
ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jal
an napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.
Pathway PPOK
E. Manifestasi Klinik
Menurut Peate&Nair (2018), manifestasi klinis dari PPOK dapat berupa:
a. Dipsnea
Dipsnea sering menjadi alasan utama pasien PPOK mencari bantuan ten
aga kesehatan. Dipsnea digambarkan sebagai usaha  bernafas yang men
ingkat, berat, kelaparan udara atau gasping. Sesak nafas pada PPOK ber
sifat persisten dan progresif. Awalnya sesak nafas hanya dirasakan ketik
a beraktifitas seperti berjalan, berlari dan naik tangga yang dapat didhin
dari, tetapi ketika fungsi  paru memburuk, sesak nafas menjadi lebih pro
gresif dan mereka tidak dapat melakukan aktifitas sebagaimana orang la
in dengan usia yang sama dapat melakukannya.

b. Batuk
Batuk kronis menjadi gejala pertama dari pasien PPOK, setelah meroko
k atau terpapar oleh polutan lingkungan .Pada awalnya  batuk hanya seb
entar kemudian lama kelamaan hadir sepanjang hari.

c. Pink Puffers  (Kurus, kulit kemerahan)


Pink puffers adalah timbulnya dipsneu tanpa disertai batuk dan produks
i sputum yang berarti. Biasanya dipsneu timbul antara usia 30-40 tahun
dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit yang sudah lanjut pasie
n akan kehabisan nafas sehingga tidak lagi dapat makan dan tubuhnya b
ertambah kurus. Selanjutnya akan terjadi gangguan keseimbangan venti
lasi dan perfusi minimal, sehingga dengan hiperventilasi, pasien pink pu
ffers dapat mempertahankan gas dalam darah dalam batas normal samp
ai penyakit ini mencapai tahap lanjut.

d. Blue Blaters (gemuk, sianosis, edema tungkai)


Blue blaters adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, dimana  pasie
n gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru,
sisanosis sentral dan perifer.
e. Produksi sputum
Pasien PPOK umumnya disertai batuk produktif. Batuk kronis dan pem
bentukan sputum mukoid atau muko purulen selama sedikitnya 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut merupakan g
ejala klinis dari bronkitis kronis.

2. Perubahan bentuk dada


Pada pasien PPOK dengan stadium lanjut akan ditemukan tanda-tanda h
iperinflasi paru seperti barrel chest  dimana diafragma terletak lebih ren
dah dan bergerak tidak lancar, kifosis, diameter anteror-posterior berta
mbah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan suprasternal kuran
g dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah.

F. Komplikasi PPOK
Menurut Somantri (2007), komplikasi yang ditimbulkan dari PPOK adalah:
1. Hipoksemia
2. Asidosis respiratorik
3. Infeksi saluran pernapasan
4. Gagal jantung
5. Disritmia jantung
6. Status asmatikus

G. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


1. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi bisa dilakukan dengan menghentikan kebiasaan m
erokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapas
an secara teratur serta memperbaiki asupan nutrisi. Edukasi mengenai PPO
K kepada pasien merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjan
g pada PPOK stabil. Pada umumnya, edukasi pada PPOK berbeda dengan
edukasi pada asma karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irre
versible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.
2. Terapi Farmakologi
Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011), terapi obat untuk
PPOK yaitu :
a. Bronkodilator
Bronkodilator diberikan kepada pasien PPOK berdasarkan derajat peny
akit dan dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi. Bentuk obat
yang utama yaitu inhalasi, sedangkan nebuliser tidak dianjurkan pada p
enggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian o
bat lepas lambat atau obat berefek panjang. Macam - macam bronkodila
tor
- Golongan antikolinergik : Digunakan pada derajat ringan sampai berat,
dapat mengurangi sekresi lendir. Obat yang digunakan untuk jangka pe
ndek (derajat ringan) yaitu ipratropium bromide dan oxitropium bromi
de. Sedangkan obat yang digunakan untuk jangka panjang (derajat bera
t) yaitu 7 aclidinium bromide, glycopirronium bromide, tiotropium, da
n umeclidinium
- Golongan agonis β– 2 : Digunakan untuk mengatasi sesak dan mengata
si eksaserbasi akut serta eksaserbasi berat. Obat yang digunakan untuk
jangka pendek (eksaserbasi akut) yaitu fenoterol, levalbuterol, salbuta
mol (albuterol), dan terbutalin. Sedangkan obat yang digunakan untuk j
angka panjang (eksaserbasi berat) yaitu formoterol, arformoterol, indac
aterol, olodaterol, salmeterol, dan tulobuterol
- Kombinasi agonis β–2 antikolinergik : meningkatkan efek bronkodilata
si. Kombinasi obat untuk jangka pendek yaitu fenoterol/ipratropium da
n salbutamol/ipratropium. Sedangkan untuk jangka panjang yaitu form
oterol/aclidinium, indacaterol/glycopyrronium, olodaterol/tiotropium, d
an vilanterol/umeclidinium.
- Golongan xantin : Digunakan untuk mengatasi sesak dan eksaserbasi a
kut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminof
ilin darah. Obat yang digunakan yaitu aminofilin dan teofilin
b. Kortikosteroid (Antiinflamasi)
Penggunannya pada eksaserbasi akut dan berfungsi untuk menghilangk
an peradangan yang terjadi. Obat yang digunakan sebagai inhalasi korti
kosteroid yaitu beclomethasone, budesonide, dan fluticasone (Global In
tiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2016). 3) Antibi
otika Antibiotik diberikan bila ada infeksi. Antibiotik yang digunakan s
ebagai lini pertama yaitu amoksisilin dan makrolid sedangkan sebagai li
ni kedua yaitu amoksisilin-asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon dan
makrolid baru.
c. Antioksidan
Mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup pasien PPOK.
Obat yang digunakan adalah N - asetilsistein. 8
d. Mukolitik
Mengatasi eksaserbasi akut karena dapat segera memperbaiki eksaserba
si yang terjadi tetapi tidak dianjurkan penggunaan secara rutin. Obat ya
ng bisa digunakan adalah bromheksin, ambroxol, dan erdostein.
e. Antitusif
Penggunaan antitusif secara rutin tidak dianjurkan pada PPOK stabil.

H. Pengkajian keperawatan
1. Identitas
a) Biodata klien
Nama, umur, jenis kelamin, tanggal masuk, tanggal pengkajian, ruanga
n dan diagnosa medis.
b) Biodata penanggung jawab
Nama ayah dan ibu, umur, pendidikan, pekerjaan, suku I bangsa, agam
a, alamat, hubungan dengan anak (kandung atau adopsi).

2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Keluhan yang sering dikeluhkan pada orang yang mengalami Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sesak, batuk, nyeri dada, kesulit
anbernafas, demam, terjadinya
b) Riwayat kesehatan sekarang
Di kembangkan dari keluhan utama melalui PQRST
P : Palliative/provokatif yaitu faktor-faktor apa saja yang memperberat
atau memperingan keluhan utama. Pada apasien PPOK tanyakan tentan
g keluhan sesak napas, hal yang memperberat sesak, hal yang memperi
ngan sesak.
Q : Qualitatif/Quantitatif, yaitu berupa gangguan atau keluhan yang dir
asakan seberapa besar. Tanyakan tentang akibat sesak, dapat mempeng
aruhi aktivitas klien, pola tidur klien dan seberapa berat sesak yang terj
adi.
R : Region/radiasi, yaitu dimana terjadi gangguan atau apakah keluhan
mengalami penyebaran.
S : Skala, yaitu berupa tingkat atau keadaan sakit yang dirasakan. Tany
akan tingkat sesak yang dialami klien.
T : Timing, yaitu waktu gangguan dirasakan apakah terus menerus atau
tidak. Sesak yang dialami klien sering atau tidak.

c) Riwayat kesehatan masa lalu


Dengan riwayat penyakit yang diderita klien yang berhubungan dengan
penyakit saat ini atau penyakit yang mungkin dapat dipengaruhi atau m
emengaruhi penyakit yang diderita klien saat ini .(Rohman dan Walid,
2009:37). d. Riwayat kesehatan keluarga Riwayat kesehatan keluarga d
ihubungkan dengan kemungkinan adanya penyakit keturunan,kecender
ungan alergi dalam satu keluarga,penyakit yang menular akibat kontak
langsung antara anggota keluarga (Rohman dan Walid, 2009:37)

3. Aktivitas/Istirahat
Pasien melaporkan adanya keletihan, kelemahan, malaise.
Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dasar
karena sesak napas. Ketidakmampuan untuk tidur, kebutuhan untuk tidur
dalam keadaan duduk tegak. Dipsnea saat istirahat atau sebagai respons
terhadap aktivitas atau olahraga. Hasil observasi menunjukkan pasien
terlihat letih, gelisah, insomnia, kelemahan umum dan kehilangan massa
otot.

4. Sirkulasi
Pasien melaporkan adanya pembengkakan pada ekstremitas bawah. Hasil
observasi menunjukkan peningkatan tekanan darah (TD). Peningkatan
frekuensi jantung atau takikardia berat. Adanya disritmia, terdapat distensi
vena jugularis pada penyakit lanjut. Bunyi jantung lemah karena
peningkatan diameter dada anteroposterior (AP). Warna kulit dan
membran mukosa pucat atau kebiruan dan sianosis, kuku gada serta
sianosis dan pucat pada perifer, CRT>3 detik.

5. Integeritas Ego
Pasien melaporkan peningkatan faktor stress, perubahan gaya hidup,
perasaan putus asa dan kehilangan minat dalam hidup. Hasil observasi
terlihat pasien cemas, takut, perilaku iritabel, distres emosional, apatis,
perubahan kesadaran, menarik diri.

6. Makanan/Cairan
Pasien melaporkan mual saat makan (efek samping dari medikasi atau
produksi mukus), nafsu makan memburuk dan mengalami anoreksia
(biasanya akibat emfisema), ketidakmampuan untuk makan karena gawat
napas. Hasil observasi didapatkan penuruan berat badan secara persisten,
penurunan masa otot atau lemak subkutan (pada emfisema). Kenaikan
berat badan yang menggambarkan edema (pada bronkhitis). Turgor kulit
tidak elastis, edema dependen, diaforesis, palpasi abdomen menunjukkan
hepatomegali.

7. Pernapasan
Pasien melaporkan berbagai tingkat dipsnea dengan awita progresif dan
berbahaya (gejala utama pada emfisema), terutama saat aktivitas fisik.
Pasien mengeluhkan sensasi dada sesak, ketidakmampuan untuk bernapas
dan lapar udara kronis. Batuk persisten dengan produksi sputum (abu-abu,
putih, atau kuning) yang mungkin banyak (bronkhitis kronis). Pasien
memiliki riwayat pneumonia berulang, pajanan jangka panjang terhadap
polusi zat kimia atau iritan pernapasan (seperti asap rokok) atau debu dan
asap di tempat kerja (seperti dengan kapas, rami, asbes, debu, batu bata,
serbuk kayu). Pasien memiliki faktor keluarga dan herediter yaitu
defisiensi α 1-antitripsin (pada emfisema). Pasien menggunakan oksigen
pada malam hari atau secara kontinu. Hasil observasi didapatkan:
a. Pernapasan biasanya cepat dan dangkal
b. Fase ekspirasi memanjang dengan suara dengkur pernapasan dengan
mengerutkan bibir (emfisema)
c. Asumsi posisi tiga poin untuk bernapas terutama terutama dengan
eksaserbasi akut bronkhitis kronis
d. Penggunaan otot bantu napas seperti peningkatan lengkung bahu,
retraksi fosa supraclavicular, pernapasan cuping hidung
e. Dada depan tampak hiperinflasi dengan peningkatan diameter AP
(berbentuk seperti tong), gerakan diafragmatik minimal
f. Suara napas mungkin lemah dengan mengi ekspirasi
g. Suara krekels basah yang menyebar, halus, atau kasar (bronkhitis)
h. Ronkhi, mengi di sepanjang budang paru saat ekspirasi dan
kemungkinan selama inspirasi, berkembang menjadi penurunan atau
ketiadaan suara napas.
i. Perkusi dapat menunjukkan hiperresonansi di bidang paru (udara
terperangkap pada emfisema) atau suara redup pada bidang paru
(konsolidasi, cairan, mukus)
j. Kesulitan mengucapkan kalimat lebih dari empat atau lima kata dalam
satu waktu, kehilangan suara
k. Warna: pucat dengan sianosis bibir, dasar kuku kehitam-hitaman
secara keseluruhan, warna kemerahan (bronkhitis kronis “bengkak
biru”),
l. Warna kulit kulit normal meskipun pertukaran gas abnormal dan
frekuensi pernapasan cepat (emfisema sedang), yang dikenal sebagai
“bengkak merah muda”

8. Keamanan
Pasien melaporkan riwayat reaksi alergi atau sensitivitas terhadap zat atau
faktor lingkungan, pasien memiliki riwayat infeksi terbaru atau berulang.
Hasil observasi didapatkan kemerahan pada wajah, leher, perspirasi

9. Seksualitas
Pasien melaporkan adanya penurunan libido

10. Interaksi sosial


Pasien melaporkan adanya hubungan bergantung, dukungan yang tidak
memadai dari atau kepada pasangan atau orang terdekat, kekurangan
sistem dukungan. Pasien memiliki riwayat penyakit berkepanjangan atau
perkembangan disabilitas. Hasil observasi menunjukkan ketidakmampuan
untuk berbicara atau mempertahankan suara karena gawat napas. Terlihat
keterbatasan mobilitas fisik. Hubugan yang terabaikan dengan anggota
keluarga yang lain. Ketidakmampuan untuk melakukan atau kurang
perhatian terhadap tanggung jawab pekerjaan, ketidakhadiran dan
disabilitas yang nyata.

11. Penyuluhan/Pembelajaran
Pasien dengan PPOK biasanya memiliki riwayat penggunaan atau
penyalahgunaan obat-obatan pernapasan, riwayat penggunaan suplemen
herbal seperti astragalus, coleus, echinacea. Pasien memiliki riwayat
merokok atau kesulitan untuk berhenti merokok, pajanan kronis terhadap
asap rokok (perokok pasif), merokok selain tembakau. Konsumsi alkohol
secara teratur, kegagalan untuk membaik dalam periode waktu yang lama.

Doengoes, Moorhouse, & Geissler, (2014) menyatakan bahwa untuk


pemeriksaan diagnostik pasien PPOK perlu dilakukan pemeriksaan:

1. Pemeriksaan Darah
a. Gas darah arteri (AGD/Analisa Gas Darah)
Mengukur kadar oksigen dan karbondioksida untuk memantau
pertukaran gas. Abnormalitas biasanya terjadi di akhir penyakit.
Hipoksemia dengan PaO2<55 mmHg atau SaO2<88% merupakan
indikasi untuk terapi oksigen aliran rendah. Paling sering PaO2
menurun dan PaCO2 normal atau meningkat pada bronkitis kronis dan
emfisema
b. Hitung darah lengkap (HDL) dan hitung jenis
Biasanya kejadian eritropoiesis distimulasi oleh hipoksemia kronis,
hempglobin meningkat (emfisema lanjut), eosinofil meningkat (pada
asma), sel darah putih meningkat pada infeksi pernapasan berat
2. α 1-antitripsin (AAT)
Dilakukan ketika PPOK terjadi pada pasien berusia <45 tahun, atau
riwayat keluarga pernah mengalami PPOK.
3. Pemeriksaan fungsi paru (PFT/ Pulmonary Fungtion Test)
Dilakukan untuk menentukan stadium atau mengklasifikasikan keparahan
proses penyakit dan untuk mengkaji respons terhadap terapi
a. Pemeriksaan spirometri
Mengkukur jumlah udara yang dihirup (volume) dam dihembuskan
sesuai fungsi waktu, hitung juga FVC (kapasitas vital paksa)
b. Kapasitas paru total (TLC)
Jumlah udara maksimal yang dapat ditahan oleh paru (meningkat pada
paru obstruktif)
c. Volume residual (RV)
Udara yang tetap berada di dalam paru setelah ekshalasi maksimal
(meningkat pada paru obstruktif)
d. Kapasitas Vital (VC)
Jumlah udara maksimal yang dapat dihembuskan selama ekshalasi
normal atau lambat setelah inhalasi sepenuh mungkin. (normal atau
menurun pada paru obstruktif)
4. Chest X-ray
Dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bullae
(emfisema), peningkatan bentuk bronkovaskular (bronkhitis)
5. Sputum kultur
Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen dan
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau alergi
6. EKG (Elektro Kardio Graph)
Deviasi aksis kanan; gelombang P tinggi (pada asma berat dan atrial
disritmia/bronkhitis). Gelombang P pada leads II,III, AVF panjang dan
tinggi (bronkhitis dan emfisema); axis QRS Vertikal (emfisema)

I. Diagnosa keperawatan
Menurut Herdman (2018), Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
pada pasien dengan PPOK adalah sebagai berikut:
1. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan PPOK
adalah sebagai berikut:
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d penyakit paru obstriktif kronis,
spasme jalan napas, jalan napas alergi, mukus berlebihan, sekresi yang
tertahan, eksudat dalam alveoli, merokok/perokok pasif
b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
(bronkospasme), perubahan membran kapiler-alveolar, destruksi
alveoli, kurangnya suplai O2 (obstruksi jalan napas oleh sekret dan
terperangkapnya udara)
c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d dipsnea,
fatigue, efek samping pengobatan, produksi sputum, anoreksia,
nausea/vomiting, mual dan muntah

J. Perencanaan keperawatan
Rencana tindakan keperawatan untuk pasien dengan PPOK adalah sebagai
berikut (Doengoes, Moorhouse, & Geisller, 2014).
1. Diagnosa ke-1: Bersihan jalan napas tidak efektif b.d penyakit paru
obstriktif kronis, spasme jalan napas, jalan napas alergi, mukus berlebihan,
sekresi yang tertahan, eksudat dalam alveoli, merokok/perokok pasif
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan
jalan napas paten dengan
b. Kriteria hasil: TTV dalam batas normal, RR (12-20x/menit); TD 120/80
mmHg; Nadi 80x/menit; Suhu 36,5-37,5 derajat celcius. Batuk efektif
meningkat, produksi sputum menurun, bebas dari suara napas abnormal
(mengi, wheezing, ronkhi), tidak ada dipsnea, sulit berbicara menurun,
tidak ada sianosis, pola napas membaik, pasien tidak cemas

c. Intervensi keperawatan
Menurut Doengoes, Moorhouse, & Geisller (2014), intervensi
keperawatan masalah bersihan jalan napas adalah sebagai berikut:
1) Auskultasi suara napas. Catat suara napas tambahan seperti mengi,
wheezing, krekels atau ronkhi
Rasional: beberapa derajat bronkospasme terjadi dengan obstruksi
jalan napas dan dapat ditandai oleh suara napas tambahan seperti
krekels yang menyebar dan basah (pada bronkhitis)
2) Pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi dan ekspirasi
Rasional: takipnea biasanya terjadi hingga beberapa derajat dan
mungkin terdengar jelas saat masuk rumah sakit. Pernapasan
mungkin dangkal dan cepat dengan ekspirasi memanjang jika
dibandingkan dengan inspirasi
3) Catat adanya dipsnea dan derajat dipsnea, gelisah, ansietas, dan
penggunaan otot bantu napas. Gunakan skala 0-10 untuk menilai
kesulitan bernapas.
Rasional: menggunakan skala untuk menilai dipsnea membantu
mengukur dan melacak perubahan dalam gawat napas
4) Bantu klien mempertahankan posisi nyaman untuk memfasilitasi
pernapasan dengan meninggikan kepala tempat tidur (posisi
fowler/semi fowler)
Rasional: peninggian kepala tempat tidur dapat memfasilitasi fungsi
pernapasan dengan menggunakan gravitasi dan membantu
pengembangan ekspansi dada/paru
5) Ajarkan klien latihan batuk efektif
Rasional: batuk efektif dapat meningkatkan mobilisasi sekret dan
mempermudah pengeluaran sekret
6) Tingkatkan asupan cairan menjadi 3.000 ml/hari dalam toleransi
jantung. Berikan air hangat, rekomendasikan cairan antara waktu
makan
Rasional: hidrasi membantu mengurangi viskositas sekresi sehingga
memfasilitasi ekspektorasi. Menggunakan cairan hangat dapat
mengurangi bronkospasme
7) Kolaborasi pemberian bronkodilator misalnya tiotropium (spiriva),
ipra-tropium (antrovent), combivent respimat
Rasional: bronkodilator mengencerkan dan mempermudah
pengeluaran sekret
8) Kolaborasi pemberian obat-obatan anti-inflamasi: oral, intravena
(IV) dan steroid inhalasi
Rasional: mengurangi inflamasi jalan napas lokal dan edema dengan
menghambat efek histamin dan mediator lain untuk mengurangi
keparahan dan frekuensi spasme jalan napas, inflamasi pernapasan
dan dipsnea
9) Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi
Rasional: drainase postural dan perkusi (fisioterapi dada)
meningkatkan pengeluaran sekresi yang berlebihan dan lengket
serta memperbaiki ventilasi dibawah segmen paru

2. Diagnosa ke-2: Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-


perfusi (bronkospasme), perubahan membran kapiler-alveolar, destruksi
alveoli, kurangnya suplai O2 (obstruksi jalan napas oleh sekret dan
terperangkapnya udara)
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pertukaran
gas meningkat dengan
b. Kriteria hasil: Pernafasan normal (16-20 x/menit), Bunyi nafas normal
(vesikuler), Nilai Analisis Gas Darah (AGD) dalam batas normal (Ph:
7,35-7,45, PaCO²: 35-45 mmHg, PaO²: 80-100 mmHg, Saturasi O²: 95-
100%, HCO³: 22-16 mEq/L), tidak ada napas cuping hidung, pola napas
membaik, pasien tidak gelisah, tidak ada sianosis, tidak ada dipsnea,
takikardi menurun

c. Intervensi keperawatan
Menurut Doengoes, Moorhouse, & Geisller (2014), intervensi
keperawatan masalah gangguan pertukaran gas adalah sebagai berikut:
1) Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot
bantu napas, pernapasan dengan mengerutkan bibir dan
ketidakmampuan untuk berbicara
Rasional: bermanfaat dalam mengevaluasi derajat gawat napas dan
kronisitas proses penyakit
2) Awasi nilai AGD sesuai indikasi
Rasional: menyatakan perubahan status pernapasan, terjadinya
komplikasi paru.
3) Pantau warna kulit serta membran mukosa secara rutin
Rasional: kekusaman dan sianosis sentral menunjukkan hipoksemia
lanjut
4) Auskultasi suara napas dengan memperhatikan area penurunan
aliran udara dan suara tambahan
Rasional: suara napas melemah karena penurunan aliran udara
5) Palpasi dada untuk mengetahui adanya fremitus
Rasional: penurunan tremor getar menunjukkan penumpukan cairan
atau udara yang terperangkap
6) Pantau tingkat kesadaran status mental
Rasional: kegelisahan dan ansietas merupakan manifestasi hipoksia.
Perburukan gas darah arteri yang disertai dengan konfusi dan
somnolen adalah indikasi disfungsi serebral karena hipoksemia
7) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan yang tenang
dan damai. Anjurkan klien tirah baring selama fase akut
Rasional: istirahat diselinngi dengan aktivitas perawatan tetap
menjadi bagian penting dari regimen terapi
8) Kolaborasi pemberian oksigen tambahan sesuai hasil AGD dan
toleransi klien
Rasional: terapi O2 mencegah perburukan hipoksemia. O2 terbukti
meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang, memperbaiki
mekanika paru, status mental
9) Ajarkan klien teknik relaksasi napas dalam
Rasional: teknik relaksasi nafas dalam meningkatkan ventilasi alveo
li, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkat
kan efisiensi batuk mengurangi stress baik stress fisik maupun emos
ional dan menurunkan intensitas nyeri 
10) Edukasi pasien untuk berhenti merokok atau menjauhi rokok (bila
perokok pasif)
Rasional: Kandungan yang terdapat pada partikel rokok merangsang
keluarnya respon inflamasi dan merusak parenkim paru

3. Diagnosa ke-3: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh


b.d dipsnea, fatigue, efek samping pengobatan, produksi sputum,
anoreksia, nausea/vomiting, mual dan muntah
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi
terpenuhi dengan
b. Kriteria hasil:
Fokus ABCD:
1) A (Antropometri) :
Berat badan pasien menunjukkan Berat Badan Ideal (BBI) dengan
menghitung BBI pasien BBI = (Tinggi Badan – 100) – ((Tiggi
Badan – 100) x 10%), 3)), Lingkar lengan atas (MAC): Nilai
normal (Wanita : 28,5 cm, Pria: 28,3 cm), 4)), Lipatan kulit pada
otot bisep (TSF) Nilai normal (Wanita: 16,5-18 cm, Pria:
12,5-16,5 cm).
2) B (Bioclinical) :
Albumin (N : 4-5,5 mg/100ml), Transferin (N : 17-25 mg/100
ml), Hb (N : 12 mg %), BUN (N : 10-20 mg/100ml), Eksresi
kreatinin untuk 24 jam (N : pria : 0,6-1,3 mg/100ml; dan wanita :
0,5-1,0 mg/100ml
3) Clinical :
BB menunjukkan BB Ideal, Rambut : kuat, bersih, tidak mudah
rontok, Kulit : lembab, turgor kulit elastis, Mata : penglihatan
baik, Lidah : bersih, berwana kemerahan, Bibir : berwarna
kemerahan, lembab.

4) Diet :
Menyiapkan pola diet dengan memasukan kalori adekuat untuk
meningkatkan/mempertahankan berat badan yang tepat.

c. Intervensi Keperawatan
Menurut Doengoes, Moorhouse, & Geisller (2014), intervensi
keperawatan masalah defisit nutrisi adalah sebagai berikut:
1) Kaji asupan makanan baru-baruini. Catat derajat kesulitan makanan,
evaluasi berat badan dan ukuran tubuh atau massa tubuh
Rasional: klien yang mengalami PPOK sering kali mengalami
anoreksia karena dipsnea, produksi sputum dan efek medikasi
2) Auskultasi bising usus
Rasional: penurunan bising usus dapat menggambarkan penurunan
motilitas lambung dan konstipasi yang berhubungan dengan asupan
cairan terbatas, pilihan makanan yang buruk, penurunan aktiitas dan
hipoksemia.
3) Berikan perawatan mulut secara sering
Rasional: rasa dan bau tidak enak merupakan penghalang utama
terhadap penurunan nafsu makan dan menimbulkan mual muntah
4) Anjurkan periode istirahat 1 jam sebelum dan setelah makan.
Berikan makanan dengan porsi sedikit secara sering
Rasional: membantu mengurangi keletihan selama waktu makan dan
memberikan kesempatan untuk meningkatkan asupan kalori total
5) Hindari makanan penghasil gas dan minuman bersoda
Rasional: dapat menmbulkan distensi abdomen yang menghambat
pernapasan abdomen dan gerakan diafragma serta dapat
meningkatkan dipsnea.
6) Hindari makanan yang sangat panas atau dingin
Rasional: suhu ekstrem dapat mencetuskan atau memperburuk
spasme batuk
7) Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional: dapat menentukan kebutuhan kalori, menetapkan tujuan
berat badan
8) Konsultasikan dengan ahli gizi untuk memberikan makanan bergizi
seimbang yang mudah dicerna (enteral maupun parenteral)
Rasional: memberikan zat gizi yang maksimal dengan upaya
pengeluaran energi yang minimal
9) Tinjau pemeriksaan laboratorium (albumin, asam amino, zat besi,
gula darah, enzim hati dan elektrolit)
Rasional: menentukan defisit dan memantau keefektifan terapi
nutrisi.
K. Pelaksanaan keperawatan
Pada proses keperawatan, implementasi adalah fase ketika perawat mengimpl
ementasikan intervensi keperawatan. Berdasarkan terminologi NIC, impleme
ntasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan tindakan yang merupak
an tindakan keperawatan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan interve
nsi (program keperawatan) (Kozier, et.all., 2010).

L. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan menurut Doengoes, Moorhouse, & Geissler (2014)
pada pasien dengan PPOK adalah sebagai berikut:
1. Bersihan jalan nafas meningkat
2. Gangguan pertukaran gas teratasi
3. Nutrisi terpenuhi
4. Pola napas efektif

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit tidak menular.
Definisi PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran
udara bersifat progresif berhubungan dengan inflamasi kronik saluran
pernafasan dan parenkim paru akibat pajanan gas atau partikel berbahaya.
PPOK terjadi karena perubahan sruktur saluran napas yang disebabkan
destruksi parenkim dan fibrosis paru. Penyakit paru obstruktif kronik
merupakan penyebab kematian nomor empat di dunia dan diperkirakan akan
menjadi penyebab insidens kesakitan dan penyebab kematian nomor tiga.
Patogenesis PPOK terdiri dari proses ketidak seimbangan inflamasi-anti
inflamasi, protease-antiprotease, oksidan-antioksi dan dan apotosis.

Mekanisme dasar tersebut tidak berjalan sendiri tetapi saling berinteraksi


menyebabkan kerusakan saluran napas dan paru yang irreversible termasuk
diantaranya adalah kerusakan jaringan elastic alveoli, airway, remodeling dan
fibrosis. Peran perawat pada pasien PPOK dalam bentuk promotif seperti mo
difikasi gaya hidup misalnya mengenai merokok, bukan hanya edukasi meng
enai bahaya dan berhenti merokok, tapi juga mengenai peningkatan harapan h
idup dan kualitas hidup setelah berhenti merokok. klien juga diedukasi untuk
segera datang ke fasilitas kesehatan apabila terjadi kekambuhan, dan
berolahraga secara teratur.

B. Saran
Hasil penulisan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) makalah ini dapat
digunakan sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa/i keperawatan dan dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit (PPOK). Serta
mahasiswa/i dapat mengaplikasikan ilmu yang diproleh dalam melaksanakan
praktek nyata
DAFTAR PUSTAKA
Devi,B.K.A. (2017). Anatomi Fisiologis dan Biokimia Keperawatan. Yogyakarta:
PUSTAKABARUPRESS.

Djojodibroto, D. (2009). Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2014). Rencana Asuhan Ke


perawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta: EGC.

Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and


classification 2018-2020. Jakarta: EGC.

Kozier. (2010). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Edisi 5. Jakarta : EGC.

Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. (2007). Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ahl
i Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, Nurwany
Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.

Nawas, M.A., & Yunus, F. (2019). Respirologi Indonesia. Jurnal Respirologi


Indonesia. 39(2). 104. http://www.jurnalrespirologi.org.

Ramadhan, M.A.H., & Hartono, B. (2020). Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kroni
k (PPOK) Pada Pengendara Ojek Online di Kota Bogor dan Kota Depok Tah
un 2018 (Studi Kasus Pencemaran Udara). Jurnal Nasional Kesehatan Lingk
ungan Global. 1(1). 2. http://www.journal.fkm.ui.ac.id.

Sahar, J., Setiawan, A., & Riasmini. (2019). Keperawatan Kesehatan Komunitas dan
Keluarga. In Suthichana Tharmapalan (Ed.) (1st editio). Singapore: Elsevier P
te Ltd.

Somantri I. (2007). Keperawatan medikal bedah : Asuhan Keperawatan pada pasien


gangguan sistem pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

Soeroto, A.Y., dan Suryadinata, H. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Ina
Journal chest Crit and Emerg Med. Vol.I No.2.hal 83-88. Diunduh dari h
ttp://www.respirologi.com/.
Utama,A,Y,S. (2018). Buku ajar keperawatan medikal bedah sistem respirasi.
Yogyakarta: Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai