Disusun oleh:
Kelompok 7 (2B)
1. Annisa Dewi Prahastini (19011)
2. Elah Ernawati (19032)
3. Khoffifah Nur Arbaah (19057)
4. Nida An Khofiyya (19072)
5. Pujiwati (19076)
6. Zahira Aulia R (19116)
Puji syukur kelompok panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberik
an rahmat-Nya, sehingga kelompok mendapat berbagai inspirasi dan dapat menyeles
aikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK)”. Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai salah satu tugas dalam mata kul
iah Keperawatan Medikal Bedah I. Kelompok menyadari bahwa makalah ini tidak ak
an tersusun dengan baik tanpa adanya bantuan dari pihak-pihak terkait, maka
kelompok mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Ns. DWS Suarse Dewi, M.Kep.,Sp.Kep.MB, selaku Direktur Akademi Keperaw
atan Fatmawati Jakarta.
2. Ns. Tjahjanti K, M.Kep., Sp.Kep,J selaku Wali Kelas Angkatan XXII Akademi
Keperawatan Fatmawati Jakarta.
3. Ns. Hinin Wasilah,S.Kep.M.S selaku dosen pembimbing dan penanggung jawab
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1.
4. Zahri Darni, M.Kep selaku dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1.
5. Orang tua tercinta yang telah membantu dalam segi material maupun dalam segi
motivasi dalam penyusunan makalah ini.
6. Rekan-rekan kelompok yang membantu selesainya pembuatan makalah ini.
Kelompok menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
menerima saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan untuk penyempurnaan
makalah ini.
Kelompok 7
DAFTAR ISI
I
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................................3
B. Tujuan Penilisan ............................................................................................4
C. Metode Penulisan ..........................................................................................5
D. Ruang Lingkup ..............................................................................................5
E. Sistematika Penulisan ....................................................................................5
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................................44
B. Saran ................................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit tidak menular dan
menjadi masalah kesehatan dunia. Definisi PPOK adalah penyakit yang ditandai
dengan keterbatasan aliran udara bersifat progresif berhubungan dengan
inflamasi kronik saluran pernafasan dan parenkim paru akibat pajanan gas atau
partikel berbahaya. Hambatan aliran udara pada PPOK terjadi karena perubahan
sruktur saluran napas yang disebabkan destruksi parenkim dan fibrosis paru
(Nawas, 2019).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum`
Tujuan umum makalah ini adalah agar mahasiswa/mahasiswi dapat lebih
memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan mengenai penyakit
paru obstruktif kronik.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus makalah ini untuk:
a. Menjelaskan Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan
b. Menjelaskan Pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
c. Menjelaskan Etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
d. Menjelaskan Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK
e. Menjelaskan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK)
f. Melakukan pengkajian terhadap pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK)
g. Melakukan pemeriksaan penunjang terhadap pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK)
h. Menganalisa diagnosa keperawatan yang tepat pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
i. Merencanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK)
j. Melaksanakan asuhan keperawatan/implementasi pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
k. Melakukan evaluasi hasil tindakan asuhan keperawatan pada pasien d
engan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
C. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan metode studi keperpustakaan.
Metode studi keperpustakaan yaitu menggunakan berbagai sumber literatur yang
sesuai dengan makalah kami yang berjudul “Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK)”. Adapun teknik pengumpulan data dalam penulisan makalah ini adalah
menganalisis berbagai sumber referensi baik dari buku, jurnal dan internet yang
berkaitan dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
D. Ruang Lingkup
Penulisan makalah ilmiah ini merupakan pembahasan uraian materi tentang
penyakit paru obstruktif kronik serta materi asuhan keperawatannya dari
pengkajian hingga evaluasi.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun oleh tiga bab, yaitu: BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari l
atar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, ruang lingkup dan sistematika
penulisan. BAB II natomi dan fisiologi sistem pernapasan. BAB III Tinjauan Te
ori, yang terdiri dari konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan konsep
asuhuhan keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). BAB IV Pentu
p, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN
2. Faring
Merupakan tempat persimpangan antara saluran pernapasan dan saluran
pencernaan. faring terletak di bawah dasar tengkorak di belakang rongga
hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring
dengan organ sekitarnya meliputi:
a. Ke atas berhubungan dengan rongga hidung dengan perantara lubang
yang disebut koana
b. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut yang disebut itsmus
fausium
c. Ke bawah terdapat dua lubang: ke arah depan lubang faring dan ke
belakang lubang esophagus
Rongga faring terbagi menjadi 3 bagian antara lain:
a. Nosofaring
b. Orofaring
c. Laringofaring
3. Laring
Laring atau tenggorokan merupakan salah satu saluran pernafasan (tractus
respiratorius). Laring juga bertindak sebagai pembentukan suara. Laring
tertutup oleh epiglotis yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi
pada waktu kita menelan makanan menutupi laring. Laring terdiri dari 5
tulang rawan antara lain:
a. Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun, sangat jelas terlihat pada pria
b. Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker
c. Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin
d. Kartilago epiglotis (1 buah)
Pada laring terdapat pita suara yang berjumlah 2 buah terdiri dari bagian
atas adalah pita suara palsu tidak mengeluarkan suara disebut ventrukularis
dan di bagian bawah adalah pita suara sejati yang membentuk suara yang
disebut vokalis yang terdapat 2 buah otot. Berbicara memiliki mekanisme
yang terpisah yaitu:
a) Fonasi
Fonasi adalah proses dimana pita suara menghasilkan suara tertentu
melalui suatu getaran. Getaran pita suara bergerak kearah lateral.
Penyebab getaran ini adalah apabila pita suara satu sama lain
berdekatan udara dihembuskan, tekanan udara dari bawah mendorong
pita suara sehingga terpisah satu sama lain, udara mengalir cepat
diantara tepi-tepi pita suara sehingga menciptakan suatu ruang hampa
parsial diantara pita suara yang menarik mendekati satu sama lain dan
menghentikan aliran udara. Pita suara terbuka meneruskan pola
getaran, tinggi nada suara diciptakan oleh laring dapat diubah dengan
dua cara:
1) Pengendoran atau peregangan pita suara
2) Mengubah bentuk dan masa tepi-tepi pita suara.
b) Artikulasi dan resonansi
Dalam hal ini ada tiga organ utama yang berfungsi dalam artikulasi:
bibir, lidah, dan palatum resonansi tersendiri dari mulut, hidung
(paranasalis), faring dan rongga dada sifat resonasi berbagai struktur
dilukiskan oleh perubahan kualitas. Teori fibrasi pita suara:
1) Aerodinamik: fibrasi pita suara palsu tergantung pada tinggi
tekanan udara subglotis
2) Neuromuskular: variasi pita suara sebagai akibat kontraksi otot
intrinsik.
4. Trakea
Trakea atau batang tenggorok merupakan lanjutan dari laring yang
dibentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang rawan ang berbentuk
seperti kuku kuda (huruf C). Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir
yang berbulu getar yang disebut sel bersila, hanya bergerak ke arah luar.
Panjang trakea 9-11 cm dan di belakang terdiri dari jaringan ikat yang
dilapisi oleh otot polos.
7. Alveolus
Alveolus merupakan gelembung yang berisi udara dalam paru-paru dengan
jumlah sekitar 300 juta buah. Letak alveolus berada dibagian parenkim par
u-paru yang merupakan ujung dari saluran pernapasan, dimana kedua sisin
ya adalah tempat pertukaran udara dengan darah. Diameter alveolus bisa m
encapai 200-300 mikrometer. Adanya alveolus membuat permukaan paru-
paru semakin luas, dimana luas permukaan paru-paru diprediksi mencapai
160 M2 atau sekitar 100 kali lebih luas dari permukaan tubuh. Gelembung-
gelembung udara pada paru-paru tersebut mempunyai dinding tipis dengan
kapiler darah dan masing-masing gelembung diselumbungi oleh pembuluh
kapiler darah. Pada dinding alveolus terjadi pertukaran oksigen (O2) dari u
dara ke sel darah dalam tubuh, dan pertukaran karbondioksida (CO2) dari s
el darah dalam tubuh ke udara bebas. Lebih mudahnya, alveolus diartikan
sebagai kantung dengan dinding tipis yang ada pada ujung saluran udara te
rkecil (bronkiolus) berada dalam paru-paru yang didalamnya berisi udara.
Alveoli terdiri dari lapisan epitel dan matrik ekstraseluler yang dikelilingi
oleh kapiler. Lapisan epitel tersebut berperan untuk memudahkan
pengikatan oksigen yang berasal dari udara dalam rongga alveolus yang
dilakukan oleh darah di dalam kapiler darah. Diantara alveoli yang ada
pada dinding alveolar terdapat pori-pori yang disebut dengan pori-pori
kohn. Alveoli juga mengandung beberapa serat elastis dan serat kolagen.
Pada saat terjadi proses inhalasi, alveoli akan menjadi penuh dengan udara.
Adanya serat elastis yang ada dalam alveoli akan memungkinkan struktur
anatomi tersebut untuk meregang. Dengan kata lain, saat sedang bernafas
serat elastis tersebut memungkinkan terjadinya ekspansi dan kontraksi
pada dinding alveoli, sedangkan serat kolagen akan menjadi lebih kaku
dan memberikan ketegasan dinding alveoli. Dalam alveolus ada 3 sel
utama, antara lain:
a) Skuamosa alveolar (tipe I), yakni sel-sel pembentuk struktur alveolar.
b) Sel Alveolar besar (tipe II), yakni sel yang berperan mensekresikan
surfaktan untuk membantu mengurangi tegangan pada permukaan air
serta membantu proses pemisahan membran sehingga mempermudah
proses pertukaran gas. Selain itu, sel alveolar besar juga membantu
memperbaiki kerusakan yang terjadi pada endotelium dari alveolus.
c) Sel epitel skuamosa, yaitu sel yang bertindak sebagai pembentuk
kapiler yang akan berfungsi dalam difusi gas. Pembentukan kapiler ini
meliputi 70% dari daerah itu.
Selain itu, terdapat sel makrofag, yakni sel yang dapat membantu
menghancurkan bakteri dan berbagai benda asing yang masuk ke dalam
tubuh melalui pernapasan. Sehingga, sel tersebut berkaitan dengan sistem
kekebalan tubuh.
B. Fisiologi Pernapasan
1. Ventilasi mekanis
Udara mengalir ke tekanan tinggi ke bagian rendah, namun demikian bila
tidak ada aliran udara masuk atau keluar dari paru-paru tekanan alveolar
dan atmosfer dalam keadaan seimbang. Untuk memulai pernapasan aliran
udara dalam paru-paru harus dicetuskan oleh turunnya tekanan dalam
alveoli, ini melibatkan proses yang rumit dari banyak variabel yaitu:
a) Elastisitas
b) Komplain/kemampuan mengembang paru-paru
c) Tekanan
d) Gravitasi
2. Difusi
Proses difusi melewati membrane pembatas alveoli dengan kapiler pembul
uh darah meliputi proses difusi gas dan proses difusi cairan. Udara atmosfe
r masuk ke dalam paru dengan aliran cepat, ketika dekat alveoli kecepatan
nya berkurang sampa terhenti. Udara atau gas yang baru masuk dengan ce
pat berdifusi atau bercampur dengan gas yang telah ada dalam alveoli. Kec
epatan gas berdifusi berbanding terbalik dengan berat molekulnya. O2 me
mpunya berat molekul 32 sedangkan berat molekul CO2 adalah 44. Gerak
molekul gas O2 lebih cepat dibandingkan gerak molekul gas CO2 sehingg
a kecepatan difusi O2 juga lebih cepat. Sedangkan kecepatan difusi gas pa
da fase cairan tergantung kelarutan gas dalam cairan. Kelarutan CO2 lebih
besar dibandingkan O2 sehingga kecepatan difusi CO2 didalam fase cairan
20 kali lipat kecepatan difusi O2. Semakin besar membran pembatas, halan
gan bagi proses difusi 28 semakin besar. Dalam hal ini pembatas - pembat
asnya adalah dinding alveoli, dinding kapiler endotel, lapisan plasma kapil
er dan dinding eritrosit.
3. Transpor
a) Pengangkutan oksigen ke jaringan
1) Tahap 1: oksigen dari atmosfer masuk kedalam paru-paru dan pada
kita waktu menarik napas tekanan parsial oksigen dalam atmosfer
159 mmHg, dalam alveoli komposisi udara berbeda dengan
komposisi udara atmosfer tekanan parsial O2 dalam alveoli 105
mmHg
2) Tahap 2: darah mengalir dari jantung menuju ke paru-paru untuk
mengambil oksigen yang berada dalam alveoli. Dalam darah
terdapat oksigen, mempunyai tekanan parsial 40 mmHg. Karena
adanya tekanan parsial itu setelah proses difusi tekanan parsial
oksigen dalam pembuluh darah menjadi 100 mmHg
3) Tahap 3: oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah
diedarkan ke seluruh tubuh. Sebagian besar oksigen larut dalam
plasma darah dan sebagian kecil terikat pada hemoglobin. Derajat
kejenuhan hemoglobin dengan O2 tergantung pada tekanan parsial
CO2 atau pH. Jumlah O2 yang diangkut ke jaringan tergantung
pada jumlah Hb dalam darah.
4) Tahap 4: sebelum sampai ke sel, oksigen dibawa melalui cairan
interstisial. Tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial
20mmHg. Perbedaan tekanan parsial antara pembuluh darah arteri
dengan tekanan cairan pada cairan interstisial menyebabkan
terjadinya difusi oksigen yang cepat dari pembuluh kapiler ke
cairan nterstisial.
5) Tahap 5: oksigen dari cairan interstisial berdifusi masuk kedalam
sel, dalam sel oksigen akan digunakan untuk reaksi metabolisme
yaitu reaksi oksidasi senyawa yang berasal dari makanan
(karbohidrat, lemak, protein) akan menghasilkan H2O dan CO2.
Energi penggunaan oksigen oleh sel dan transpor CO2 keluar dari
sel dan masuk ke pembuluh vena yang akan dibawa ke paru-paru
untuk berdifusi kembali.
5. Pernapasan perut
Pernapasan perut merupakan pernapasan yang mekanismenya melibatkan
aktivitas otot-otot diafragma yang membatasi rongga perut dan rongga
dada. Mekanismenya dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Fase inspirasi
Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma mendatar,
akibatnya rongga dada membesar dan tekanan menjadi kecil sehingga
udara luar masuk.
b. Fase ekspirasi
Merupakan fase berelaksasinya otot diafragma (kembali ke posisi
semula, mengembang) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan
menjadi lebih besar, akibatnya udara keluar dari paru-paru.
Volume darah di paru-paru kira-kira 450 ml, sekitar 9% dari volmume darah
total sistem sirkulasi (70 ml) berada pada kapiler sedangkan sisanya dibagi
sama rata antara arteri dan vena. Bila seseorang menghembuskan udara
dengan sangat kuat sehingga timbul tekanan tinggi di paru-paru sebanyak
250ml, darah dapat dikeluarkan dari sistem sirkulasi paru ke sirkulasi
sistemik. Begitu pula hilangnya darah dari sirkulasi sistemik karena
pendarahan dapat dikompensasi sebagian oleh pergeseran darah secara
otomatis dari paru-paru ke pembuluh sistemik.
BAB III
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) /COPD (Chronic Obstructive Lung
Disease) didefinisikan sebagai sindrom klinis yang merupakan kelompok
gejala kronik, progresif (semakin lama semakin memburuk) dan melemahkan
fungsi respirasi yang dikarakteristikan dengan adanya keterbatasan pada
aliran udara pada saluran pernapasan maupun pada parenkim paru, dan
bersifat reversible (dapat kembali normal) sebagian. Biasanya disebabkan
oleh sekelompok penyakit seperti emfisema dan bronkitis. (Djojodibroto,
2010)
5. Riwayat penyakit
Termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi saluran nafa
s saat masa anak-anak, riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah s
akit untuk penyakit respirasi.
2. Emfisema
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan.
Terdapat empat perubahan patologik yang timbul pada emfisema yaitu:
a. Hilangnya elastisitas paru-paru
Protease (enzim paru-paru) mengubah atau merusak alveoli dan saluran
napas kecil dengan cara merusak serabut elastin. Sebagai akibatnya,
kantung alveolus kehilangan elastisitasnya dan jalan napas kecil
menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa alveoli menjadi rusak dan
yang lainnya kemungkinan menjadi membesar.
b. Hiperinflasi paru
Pembesaran alveoli sehingga paruu-paru sulit untuk dapat kembali ke
posisi istirahat normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya bullae
Dinding alveolus membengkak dan berhubungan untuk membentuk
suatu bullae (ruangan tempat udara di antara parenkim paru-paru) yang
dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.
d. Kolapsnya jalan napas kecil dan udara terperangkap
Ketika pasien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif
intratoraks akan menyebabkan kolapsnya jalan napas.
b. Batuk
Batuk kronis menjadi gejala pertama dari pasien PPOK, setelah meroko
k atau terpapar oleh polutan lingkungan .Pada awalnya batuk hanya seb
entar kemudian lama kelamaan hadir sepanjang hari.
F. Komplikasi PPOK
Menurut Somantri (2007), komplikasi yang ditimbulkan dari PPOK adalah:
1. Hipoksemia
2. Asidosis respiratorik
3. Infeksi saluran pernapasan
4. Gagal jantung
5. Disritmia jantung
6. Status asmatikus
H. Pengkajian keperawatan
1. Identitas
a) Biodata klien
Nama, umur, jenis kelamin, tanggal masuk, tanggal pengkajian, ruanga
n dan diagnosa medis.
b) Biodata penanggung jawab
Nama ayah dan ibu, umur, pendidikan, pekerjaan, suku I bangsa, agam
a, alamat, hubungan dengan anak (kandung atau adopsi).
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Keluhan yang sering dikeluhkan pada orang yang mengalami Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sesak, batuk, nyeri dada, kesulit
anbernafas, demam, terjadinya
b) Riwayat kesehatan sekarang
Di kembangkan dari keluhan utama melalui PQRST
P : Palliative/provokatif yaitu faktor-faktor apa saja yang memperberat
atau memperingan keluhan utama. Pada apasien PPOK tanyakan tentan
g keluhan sesak napas, hal yang memperberat sesak, hal yang memperi
ngan sesak.
Q : Qualitatif/Quantitatif, yaitu berupa gangguan atau keluhan yang dir
asakan seberapa besar. Tanyakan tentang akibat sesak, dapat mempeng
aruhi aktivitas klien, pola tidur klien dan seberapa berat sesak yang terj
adi.
R : Region/radiasi, yaitu dimana terjadi gangguan atau apakah keluhan
mengalami penyebaran.
S : Skala, yaitu berupa tingkat atau keadaan sakit yang dirasakan. Tany
akan tingkat sesak yang dialami klien.
T : Timing, yaitu waktu gangguan dirasakan apakah terus menerus atau
tidak. Sesak yang dialami klien sering atau tidak.
3. Aktivitas/Istirahat
Pasien melaporkan adanya keletihan, kelemahan, malaise.
Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dasar
karena sesak napas. Ketidakmampuan untuk tidur, kebutuhan untuk tidur
dalam keadaan duduk tegak. Dipsnea saat istirahat atau sebagai respons
terhadap aktivitas atau olahraga. Hasil observasi menunjukkan pasien
terlihat letih, gelisah, insomnia, kelemahan umum dan kehilangan massa
otot.
4. Sirkulasi
Pasien melaporkan adanya pembengkakan pada ekstremitas bawah. Hasil
observasi menunjukkan peningkatan tekanan darah (TD). Peningkatan
frekuensi jantung atau takikardia berat. Adanya disritmia, terdapat distensi
vena jugularis pada penyakit lanjut. Bunyi jantung lemah karena
peningkatan diameter dada anteroposterior (AP). Warna kulit dan
membran mukosa pucat atau kebiruan dan sianosis, kuku gada serta
sianosis dan pucat pada perifer, CRT>3 detik.
5. Integeritas Ego
Pasien melaporkan peningkatan faktor stress, perubahan gaya hidup,
perasaan putus asa dan kehilangan minat dalam hidup. Hasil observasi
terlihat pasien cemas, takut, perilaku iritabel, distres emosional, apatis,
perubahan kesadaran, menarik diri.
6. Makanan/Cairan
Pasien melaporkan mual saat makan (efek samping dari medikasi atau
produksi mukus), nafsu makan memburuk dan mengalami anoreksia
(biasanya akibat emfisema), ketidakmampuan untuk makan karena gawat
napas. Hasil observasi didapatkan penuruan berat badan secara persisten,
penurunan masa otot atau lemak subkutan (pada emfisema). Kenaikan
berat badan yang menggambarkan edema (pada bronkhitis). Turgor kulit
tidak elastis, edema dependen, diaforesis, palpasi abdomen menunjukkan
hepatomegali.
7. Pernapasan
Pasien melaporkan berbagai tingkat dipsnea dengan awita progresif dan
berbahaya (gejala utama pada emfisema), terutama saat aktivitas fisik.
Pasien mengeluhkan sensasi dada sesak, ketidakmampuan untuk bernapas
dan lapar udara kronis. Batuk persisten dengan produksi sputum (abu-abu,
putih, atau kuning) yang mungkin banyak (bronkhitis kronis). Pasien
memiliki riwayat pneumonia berulang, pajanan jangka panjang terhadap
polusi zat kimia atau iritan pernapasan (seperti asap rokok) atau debu dan
asap di tempat kerja (seperti dengan kapas, rami, asbes, debu, batu bata,
serbuk kayu). Pasien memiliki faktor keluarga dan herediter yaitu
defisiensi α 1-antitripsin (pada emfisema). Pasien menggunakan oksigen
pada malam hari atau secara kontinu. Hasil observasi didapatkan:
a. Pernapasan biasanya cepat dan dangkal
b. Fase ekspirasi memanjang dengan suara dengkur pernapasan dengan
mengerutkan bibir (emfisema)
c. Asumsi posisi tiga poin untuk bernapas terutama terutama dengan
eksaserbasi akut bronkhitis kronis
d. Penggunaan otot bantu napas seperti peningkatan lengkung bahu,
retraksi fosa supraclavicular, pernapasan cuping hidung
e. Dada depan tampak hiperinflasi dengan peningkatan diameter AP
(berbentuk seperti tong), gerakan diafragmatik minimal
f. Suara napas mungkin lemah dengan mengi ekspirasi
g. Suara krekels basah yang menyebar, halus, atau kasar (bronkhitis)
h. Ronkhi, mengi di sepanjang budang paru saat ekspirasi dan
kemungkinan selama inspirasi, berkembang menjadi penurunan atau
ketiadaan suara napas.
i. Perkusi dapat menunjukkan hiperresonansi di bidang paru (udara
terperangkap pada emfisema) atau suara redup pada bidang paru
(konsolidasi, cairan, mukus)
j. Kesulitan mengucapkan kalimat lebih dari empat atau lima kata dalam
satu waktu, kehilangan suara
k. Warna: pucat dengan sianosis bibir, dasar kuku kehitam-hitaman
secara keseluruhan, warna kemerahan (bronkhitis kronis “bengkak
biru”),
l. Warna kulit kulit normal meskipun pertukaran gas abnormal dan
frekuensi pernapasan cepat (emfisema sedang), yang dikenal sebagai
“bengkak merah muda”
8. Keamanan
Pasien melaporkan riwayat reaksi alergi atau sensitivitas terhadap zat atau
faktor lingkungan, pasien memiliki riwayat infeksi terbaru atau berulang.
Hasil observasi didapatkan kemerahan pada wajah, leher, perspirasi
9. Seksualitas
Pasien melaporkan adanya penurunan libido
11. Penyuluhan/Pembelajaran
Pasien dengan PPOK biasanya memiliki riwayat penggunaan atau
penyalahgunaan obat-obatan pernapasan, riwayat penggunaan suplemen
herbal seperti astragalus, coleus, echinacea. Pasien memiliki riwayat
merokok atau kesulitan untuk berhenti merokok, pajanan kronis terhadap
asap rokok (perokok pasif), merokok selain tembakau. Konsumsi alkohol
secara teratur, kegagalan untuk membaik dalam periode waktu yang lama.
1. Pemeriksaan Darah
a. Gas darah arteri (AGD/Analisa Gas Darah)
Mengukur kadar oksigen dan karbondioksida untuk memantau
pertukaran gas. Abnormalitas biasanya terjadi di akhir penyakit.
Hipoksemia dengan PaO2<55 mmHg atau SaO2<88% merupakan
indikasi untuk terapi oksigen aliran rendah. Paling sering PaO2
menurun dan PaCO2 normal atau meningkat pada bronkitis kronis dan
emfisema
b. Hitung darah lengkap (HDL) dan hitung jenis
Biasanya kejadian eritropoiesis distimulasi oleh hipoksemia kronis,
hempglobin meningkat (emfisema lanjut), eosinofil meningkat (pada
asma), sel darah putih meningkat pada infeksi pernapasan berat
2. α 1-antitripsin (AAT)
Dilakukan ketika PPOK terjadi pada pasien berusia <45 tahun, atau
riwayat keluarga pernah mengalami PPOK.
3. Pemeriksaan fungsi paru (PFT/ Pulmonary Fungtion Test)
Dilakukan untuk menentukan stadium atau mengklasifikasikan keparahan
proses penyakit dan untuk mengkaji respons terhadap terapi
a. Pemeriksaan spirometri
Mengkukur jumlah udara yang dihirup (volume) dam dihembuskan
sesuai fungsi waktu, hitung juga FVC (kapasitas vital paksa)
b. Kapasitas paru total (TLC)
Jumlah udara maksimal yang dapat ditahan oleh paru (meningkat pada
paru obstruktif)
c. Volume residual (RV)
Udara yang tetap berada di dalam paru setelah ekshalasi maksimal
(meningkat pada paru obstruktif)
d. Kapasitas Vital (VC)
Jumlah udara maksimal yang dapat dihembuskan selama ekshalasi
normal atau lambat setelah inhalasi sepenuh mungkin. (normal atau
menurun pada paru obstruktif)
4. Chest X-ray
Dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bullae
(emfisema), peningkatan bentuk bronkovaskular (bronkhitis)
5. Sputum kultur
Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen dan
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau alergi
6. EKG (Elektro Kardio Graph)
Deviasi aksis kanan; gelombang P tinggi (pada asma berat dan atrial
disritmia/bronkhitis). Gelombang P pada leads II,III, AVF panjang dan
tinggi (bronkhitis dan emfisema); axis QRS Vertikal (emfisema)
I. Diagnosa keperawatan
Menurut Herdman (2018), Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
pada pasien dengan PPOK adalah sebagai berikut:
1. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan PPOK
adalah sebagai berikut:
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d penyakit paru obstriktif kronis,
spasme jalan napas, jalan napas alergi, mukus berlebihan, sekresi yang
tertahan, eksudat dalam alveoli, merokok/perokok pasif
b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
(bronkospasme), perubahan membran kapiler-alveolar, destruksi
alveoli, kurangnya suplai O2 (obstruksi jalan napas oleh sekret dan
terperangkapnya udara)
c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d dipsnea,
fatigue, efek samping pengobatan, produksi sputum, anoreksia,
nausea/vomiting, mual dan muntah
J. Perencanaan keperawatan
Rencana tindakan keperawatan untuk pasien dengan PPOK adalah sebagai
berikut (Doengoes, Moorhouse, & Geisller, 2014).
1. Diagnosa ke-1: Bersihan jalan napas tidak efektif b.d penyakit paru
obstriktif kronis, spasme jalan napas, jalan napas alergi, mukus berlebihan,
sekresi yang tertahan, eksudat dalam alveoli, merokok/perokok pasif
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan
jalan napas paten dengan
b. Kriteria hasil: TTV dalam batas normal, RR (12-20x/menit); TD 120/80
mmHg; Nadi 80x/menit; Suhu 36,5-37,5 derajat celcius. Batuk efektif
meningkat, produksi sputum menurun, bebas dari suara napas abnormal
(mengi, wheezing, ronkhi), tidak ada dipsnea, sulit berbicara menurun,
tidak ada sianosis, pola napas membaik, pasien tidak cemas
c. Intervensi keperawatan
Menurut Doengoes, Moorhouse, & Geisller (2014), intervensi
keperawatan masalah bersihan jalan napas adalah sebagai berikut:
1) Auskultasi suara napas. Catat suara napas tambahan seperti mengi,
wheezing, krekels atau ronkhi
Rasional: beberapa derajat bronkospasme terjadi dengan obstruksi
jalan napas dan dapat ditandai oleh suara napas tambahan seperti
krekels yang menyebar dan basah (pada bronkhitis)
2) Pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi dan ekspirasi
Rasional: takipnea biasanya terjadi hingga beberapa derajat dan
mungkin terdengar jelas saat masuk rumah sakit. Pernapasan
mungkin dangkal dan cepat dengan ekspirasi memanjang jika
dibandingkan dengan inspirasi
3) Catat adanya dipsnea dan derajat dipsnea, gelisah, ansietas, dan
penggunaan otot bantu napas. Gunakan skala 0-10 untuk menilai
kesulitan bernapas.
Rasional: menggunakan skala untuk menilai dipsnea membantu
mengukur dan melacak perubahan dalam gawat napas
4) Bantu klien mempertahankan posisi nyaman untuk memfasilitasi
pernapasan dengan meninggikan kepala tempat tidur (posisi
fowler/semi fowler)
Rasional: peninggian kepala tempat tidur dapat memfasilitasi fungsi
pernapasan dengan menggunakan gravitasi dan membantu
pengembangan ekspansi dada/paru
5) Ajarkan klien latihan batuk efektif
Rasional: batuk efektif dapat meningkatkan mobilisasi sekret dan
mempermudah pengeluaran sekret
6) Tingkatkan asupan cairan menjadi 3.000 ml/hari dalam toleransi
jantung. Berikan air hangat, rekomendasikan cairan antara waktu
makan
Rasional: hidrasi membantu mengurangi viskositas sekresi sehingga
memfasilitasi ekspektorasi. Menggunakan cairan hangat dapat
mengurangi bronkospasme
7) Kolaborasi pemberian bronkodilator misalnya tiotropium (spiriva),
ipra-tropium (antrovent), combivent respimat
Rasional: bronkodilator mengencerkan dan mempermudah
pengeluaran sekret
8) Kolaborasi pemberian obat-obatan anti-inflamasi: oral, intravena
(IV) dan steroid inhalasi
Rasional: mengurangi inflamasi jalan napas lokal dan edema dengan
menghambat efek histamin dan mediator lain untuk mengurangi
keparahan dan frekuensi spasme jalan napas, inflamasi pernapasan
dan dipsnea
9) Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi
Rasional: drainase postural dan perkusi (fisioterapi dada)
meningkatkan pengeluaran sekresi yang berlebihan dan lengket
serta memperbaiki ventilasi dibawah segmen paru
c. Intervensi keperawatan
Menurut Doengoes, Moorhouse, & Geisller (2014), intervensi
keperawatan masalah gangguan pertukaran gas adalah sebagai berikut:
1) Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot
bantu napas, pernapasan dengan mengerutkan bibir dan
ketidakmampuan untuk berbicara
Rasional: bermanfaat dalam mengevaluasi derajat gawat napas dan
kronisitas proses penyakit
2) Awasi nilai AGD sesuai indikasi
Rasional: menyatakan perubahan status pernapasan, terjadinya
komplikasi paru.
3) Pantau warna kulit serta membran mukosa secara rutin
Rasional: kekusaman dan sianosis sentral menunjukkan hipoksemia
lanjut
4) Auskultasi suara napas dengan memperhatikan area penurunan
aliran udara dan suara tambahan
Rasional: suara napas melemah karena penurunan aliran udara
5) Palpasi dada untuk mengetahui adanya fremitus
Rasional: penurunan tremor getar menunjukkan penumpukan cairan
atau udara yang terperangkap
6) Pantau tingkat kesadaran status mental
Rasional: kegelisahan dan ansietas merupakan manifestasi hipoksia.
Perburukan gas darah arteri yang disertai dengan konfusi dan
somnolen adalah indikasi disfungsi serebral karena hipoksemia
7) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan yang tenang
dan damai. Anjurkan klien tirah baring selama fase akut
Rasional: istirahat diselinngi dengan aktivitas perawatan tetap
menjadi bagian penting dari regimen terapi
8) Kolaborasi pemberian oksigen tambahan sesuai hasil AGD dan
toleransi klien
Rasional: terapi O2 mencegah perburukan hipoksemia. O2 terbukti
meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang, memperbaiki
mekanika paru, status mental
9) Ajarkan klien teknik relaksasi napas dalam
Rasional: teknik relaksasi nafas dalam meningkatkan ventilasi alveo
li, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkat
kan efisiensi batuk mengurangi stress baik stress fisik maupun emos
ional dan menurunkan intensitas nyeri
10) Edukasi pasien untuk berhenti merokok atau menjauhi rokok (bila
perokok pasif)
Rasional: Kandungan yang terdapat pada partikel rokok merangsang
keluarnya respon inflamasi dan merusak parenkim paru
4) Diet :
Menyiapkan pola diet dengan memasukan kalori adekuat untuk
meningkatkan/mempertahankan berat badan yang tepat.
c. Intervensi Keperawatan
Menurut Doengoes, Moorhouse, & Geisller (2014), intervensi
keperawatan masalah defisit nutrisi adalah sebagai berikut:
1) Kaji asupan makanan baru-baruini. Catat derajat kesulitan makanan,
evaluasi berat badan dan ukuran tubuh atau massa tubuh
Rasional: klien yang mengalami PPOK sering kali mengalami
anoreksia karena dipsnea, produksi sputum dan efek medikasi
2) Auskultasi bising usus
Rasional: penurunan bising usus dapat menggambarkan penurunan
motilitas lambung dan konstipasi yang berhubungan dengan asupan
cairan terbatas, pilihan makanan yang buruk, penurunan aktiitas dan
hipoksemia.
3) Berikan perawatan mulut secara sering
Rasional: rasa dan bau tidak enak merupakan penghalang utama
terhadap penurunan nafsu makan dan menimbulkan mual muntah
4) Anjurkan periode istirahat 1 jam sebelum dan setelah makan.
Berikan makanan dengan porsi sedikit secara sering
Rasional: membantu mengurangi keletihan selama waktu makan dan
memberikan kesempatan untuk meningkatkan asupan kalori total
5) Hindari makanan penghasil gas dan minuman bersoda
Rasional: dapat menmbulkan distensi abdomen yang menghambat
pernapasan abdomen dan gerakan diafragma serta dapat
meningkatkan dipsnea.
6) Hindari makanan yang sangat panas atau dingin
Rasional: suhu ekstrem dapat mencetuskan atau memperburuk
spasme batuk
7) Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional: dapat menentukan kebutuhan kalori, menetapkan tujuan
berat badan
8) Konsultasikan dengan ahli gizi untuk memberikan makanan bergizi
seimbang yang mudah dicerna (enteral maupun parenteral)
Rasional: memberikan zat gizi yang maksimal dengan upaya
pengeluaran energi yang minimal
9) Tinjau pemeriksaan laboratorium (albumin, asam amino, zat besi,
gula darah, enzim hati dan elektrolit)
Rasional: menentukan defisit dan memantau keefektifan terapi
nutrisi.
K. Pelaksanaan keperawatan
Pada proses keperawatan, implementasi adalah fase ketika perawat mengimpl
ementasikan intervensi keperawatan. Berdasarkan terminologi NIC, impleme
ntasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan tindakan yang merupak
an tindakan keperawatan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan interve
nsi (program keperawatan) (Kozier, et.all., 2010).
L. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan menurut Doengoes, Moorhouse, & Geissler (2014)
pada pasien dengan PPOK adalah sebagai berikut:
1. Bersihan jalan nafas meningkat
2. Gangguan pertukaran gas teratasi
3. Nutrisi terpenuhi
4. Pola napas efektif
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit tidak menular.
Definisi PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran
udara bersifat progresif berhubungan dengan inflamasi kronik saluran
pernafasan dan parenkim paru akibat pajanan gas atau partikel berbahaya.
PPOK terjadi karena perubahan sruktur saluran napas yang disebabkan
destruksi parenkim dan fibrosis paru. Penyakit paru obstruktif kronik
merupakan penyebab kematian nomor empat di dunia dan diperkirakan akan
menjadi penyebab insidens kesakitan dan penyebab kematian nomor tiga.
Patogenesis PPOK terdiri dari proses ketidak seimbangan inflamasi-anti
inflamasi, protease-antiprotease, oksidan-antioksi dan dan apotosis.
B. Saran
Hasil penulisan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) makalah ini dapat
digunakan sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa/i keperawatan dan dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit (PPOK). Serta
mahasiswa/i dapat mengaplikasikan ilmu yang diproleh dalam melaksanakan
praktek nyata
DAFTAR PUSTAKA
Devi,B.K.A. (2017). Anatomi Fisiologis dan Biokimia Keperawatan. Yogyakarta:
PUSTAKABARUPRESS.
Kozier. (2010). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Edisi 5. Jakarta : EGC.
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. (2007). Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ahl
i Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, Nurwany
Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.
Ramadhan, M.A.H., & Hartono, B. (2020). Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kroni
k (PPOK) Pada Pengendara Ojek Online di Kota Bogor dan Kota Depok Tah
un 2018 (Studi Kasus Pencemaran Udara). Jurnal Nasional Kesehatan Lingk
ungan Global. 1(1). 2. http://www.journal.fkm.ui.ac.id.
Sahar, J., Setiawan, A., & Riasmini. (2019). Keperawatan Kesehatan Komunitas dan
Keluarga. In Suthichana Tharmapalan (Ed.) (1st editio). Singapore: Elsevier P
te Ltd.
Soeroto, A.Y., dan Suryadinata, H. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Ina
Journal chest Crit and Emerg Med. Vol.I No.2.hal 83-88. Diunduh dari h
ttp://www.respirologi.com/.
Utama,A,Y,S. (2018). Buku ajar keperawatan medikal bedah sistem respirasi.
Yogyakarta: Deepublish.