Anda di halaman 1dari 11

NAMA : Farinsa Fortuna Stupa Devi

KELAS : XI IPS 1/ 11

TUGAS CERPEN

Jalan- jalan kembali Ke Majapahit


“ Lo kok diem, kenapa?”

Ella mengahmpiri meja shinta, sahabat karibnya namun sekarang mereka di pidahkan
oleh tembok antar kelas.Ya, Ella dan Shinta yang sejak SD selalu satu kelas, pada kelas 11 ini
mereka terpisahkan karena pengacakan kelas.

“ Gua sedih La,” jawab Shinta murung.

“Kenapa, Mama sama Papa lo ke luar negeri lagi?” tanya Ella yang berusaha beresimpati.

“Nggak. Nilai Kimia gue, La....”

Ella mendengus. Dia benci sahabatnya ini jika sudah mulai membicarakan pelajaran.
Bagaimana tidak? Shinta adalah peraih renking paralel di sekolahnya, sedangkan Ella....jangan
ditanya. Karena peringkatnya tak layak di sebutkan.

“ Nilai kimia gua cuman 95,” lanjut Shinta sambil menunduk melihat coretan indah
merah di ats kertas A4 bertuliskan unsur-unsur, senyawa dan komplotannya.

Tuhhh kaaaaaaannnnnn.....batin Ella. Dia ingin menangis meratapi dirinya yang punya
otak beku, yang tidak bisa diajak berfikir, jika sahabatnya yang memiliki otak cair seperti itu saja
masih mengeluh, lalu dia harus bagaimana? Bunuh diri? Yaa ogahlah.

“Timbang lo mikirin nilai, yuk ke kantin aja. Gua pusing dengerin lo meratapi nilai bagus
itu” Ella menyeret lengan sahabatnya itu, membawanya ke luar kelas melewati beberapa siswa di
koridor menuju kantin.

“SELAMAT ULANG TAHUN KAMI UCAPKAN.......”

Segorombolan anak sedang menyanyikan lagu selamat ulang tahun kepada salah satu
anak yang sangat cantik dan juga terkenal di sekolah Shinta, namanya Vita. Vita bernyayi sambil
matanya memandang ke arah lapangan basket, ia sedang menunggu pacarnya yang bernama
Rangga, sang kapten basket sekolah.

“Rangga mana ya?” Tanya Vita kepada temannya.

Saat kue akan di potong rangga muncul dan berjalan dengan tatap tidak peduli kepada
Vita yang sedang merayakan ulangtahunya. Vita pun marah dan melemparkan Kue ulang
tahunnya ke arag Rangga karena saking kesalnya melihat perilaku dia. Sontak seisi kantinpun
terkejut, salah satunyaadalah Shinta dan Ella yang sedang duduk menikmati Bakso di kantin itu.

“Eh dia siapa? Lu kenal ?” tanya Shinta sambil berbisik.

“Ish. Dia Vita! Temen sekelas lu tau!” bisik Ella pelan sambil mencubit lengan
sahabatnya yang pikirannya cuman pelajaran.

“ Ehh bukan itu, tapi yang wajahnya penuhh kue “ Tanya Shinta sambil menunjuk ke
arah Rangga yang sedang berlumuran kue.
“Demi apa lu ga tau Rangga? Dia kapten basket Sekolah ini Shin. Makanya di otaklu
jangan isinya pelajarann mulu!” Jawab Ella dengan tatapan kesal ke Shinta.

"Mereka pacaran?" tanya Shinta polos. Ella mengangguk.

"Emangnya pacar harus inget hari ultah pacarnya?"tanyanya lagi. Ella kembali
mengangguk.

"Berarti gue nggak boleh pacaran. Gue pikun. Ntar gue sering kena lempar kue kayak
dia." Shinta, menunjuk Rangga yang kini mendapat banyak tissue dari beberapa fans
perempuannya.Rangga masih membersihkan mukanya dari krim lengket kue tart itu sambil
memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia tak menyangka Vita akan semarah itu
mengetahui dia tak mengingat hari ulang tahunnya.

Dalam posisi tidur, satu tangan Shinta membolak balik buku tebal bersampul gapura,
sedangkan tangan yang lain menyanggahnya agar tetap berada di depan mukanya. Beberapa kali
dia menguap sambil menutup mulutnya menggunakan buku itu.

"Hoaaaahm!"

Kelopak matanya semakin turun... dan turun hingga hampir terpejam. Tapi dia tetap
terbangun lagi dan mencoba membaca ulang paragraf pembuka sejarah kerajaan majapahit yang
terletak persis di bawah judul. Tapi sebelum menamatkan satu paragraf itu, dia akhirnya
menyerah. Buku tebal bersampul gapura itu terjatuh menutupi mukanya, dan dia tertidur pulas.

"La, gue pikun kebangetan ya. Semalem baca satu paragraf sejarah. Tapi nggak inget satu
kata pun, cobaaa... gimana caranya biar gue bisa dapet nilai 100?" Shinta membanting buku
sejarah ke atas mejanya saat Ella datang, dan duduk di bangku Sebelahnya

Ella hanya mendengus sebal melihat tingkah Shinta. Dia sudah terbiasa, tapi dia tetap
sebal. "Lo bisa nggak, sekali aja mikirin yang lain? Main kek? Makanan kek? Jajanan? Apa gitu?
Nilai mulu! Ish. Sebel gue temenan sama lo!" balas Ella sambil menunjuk buku sejarah itu.

"La, hidup gue terasa sempurna kalau-"

"Kalau gue dapet nilai seratus! Gue tau Shin. Gue

ampe apal kata-kata lo," dengus Ella. Dia mengambil tangan Shinta lalu menariknya ke

kantin. Pikiran Ella tak pernah jauh dari makan dan jajan. "Kali aja semangkok mie ayam
ditambah micin bisa ningkatin daya ingat kita," lanjutnya.

"Ha! Gue punya ide! Lo bacain buku sejarah gue keras-keras, ntar gue rekam suara lo,
gue dengerin rekaman itu setiap hari sebelum gue tidur. Passti gue bisa inget! lya!" ucap Shinta
sambil mengangguk-angguk menyetujui idenya sendiri, tanpa memedulikan raut wajah Ella yang
Mereka benar-benar melakukan ide itu meski Ella melakukannya dengan setengah hati hingga
suaranya terdengar sumbang di rekaman, tapi Shinta terlihat bahagia, jadi Ella mengalah sedikit.
Shinta memakai headset dan memutar rekaman itu sepanjang siang hingga malam sebelum tidur.
Tapi.. dia tetap tidak bisa mengingat inti materi sejarah itu.

Di dalam kamar, Shinta membuang headsetnya sembarangan. Dia menghampiri meja


belajarnya, mengeluarkan laptop, lalu mengetik di kolom search "Cara belajar sejarah tanpa
ngantuk", sebelum mengeklik search, Shinta mengganti bagian belakangnya menjadi "Cara
belajar sejarah yang asik", menurutnya sudah pas. Dia klik tombol

search.

Dia menemukan banyak website yang hanya berisitulisan biasa tentang sejarah, lalu
sebuah video tutorial dokumenter Youtube, dan salah satu website bertuliskan'"Kunjungan Ke
Majapahit". Website itu menarik perhatiannya. Shinta membuka website itu, membacanya
perlahan, lalu tersenyum. Jalan-jalan ke situs peninggalan kerajaan Majapahit, mungkin bisa
mempermudah proses belajarnya. Dia mengisi biodata diri, dan langsung mentransfer sejumlah
uang pendaftaran yang disyaratkan. Dia tidak khawatir penipuan, karena uang bukan masalah
besar baginya. Dia terbiasa membuang- buang uang ayahnya yang terasa tak pernah habis itu.

Jadwal kunjungan: Malam ini

"Hm? Apa maksud kalimat ini?" Shinta bermonolog. Tapi akhirnya dia menyimpulkan
bahwa jadwal kunjungan akan diberitahukan malam ini. Tirai malam telah jatuh. Dia bersiap
tidur. Dia mengambil kembali headsetnya, kali ini ia memutar lagu Faded. Lagu kesukaannya.
La percaya akan bermimpi indah jika ia tidur dalam keadaan bahagia. Semilir angin berdesir,
membawa aroma pekat tumbuh-tumbuhan.

Segar..

Shinta menggigil, mengetatkan selimut tipis yang melekat di atas tubuhnya. Terlalu tipis,
dan tidak terasa lembut. Dia juga merasa kaku di bagian punggungnya, seolah ia telah tertidur di
tempat yang tidak rata dan empuk, kasur di bawahny a lebih terasa seperti tulang punggung
orang lain.

"AAAAAAAAAAAAAKKKK!!! GUE ADA DI MANAAAAAAAAAAAA!!!"

Kwak...Kwaaaak...Kwaaaak..! Ngaaaaaak...Mbeeeee.Teriakan Shinta menggema ke


sepenjuru desa hingga membangunkan semua binatang ternak beserta pemiliknya.

"Ada apa???"tanya seorang laki-laki yang tidak asing baginya. Ternyata dia Rangga
kakak kelasnya yang tadi pagi terkena lemparan kue ulangtahun pacarnya.

“Kak Ranggaaaa??Kenapa lu disini, gua dimana?” tanya Shinta sambil memegag baju
laki-laki tersebut.

“Rangga? LU? GUA? Kamu bicara apa Shinta? Kamu mau ke Gua? Buat apa?” Jawab
laki-laki tersebut dengan bingung.

“Lu siapaaaa?guaaaa siapaa?guaaa dimana? Ini semuaa apaaaa?” Teriak si Shinta yang
tak kuasa menangan kebingungan.

“Hei kamu itu adikku Shinta, Aku ini kakakmu Arya, maska baru di tinggal sehari ke
ladang kamu bisa lupa” Jawab laki-kali yang mengaku bernama Arya.

Akhirnya Shinta tidak dapat menahan Pusing karena bingungdengan keadaan yang ia
alami. Ia pun seketika terjatuh dan pingsan di tempat. Saat bangun Shinta merasa badannya
lengket seperti tidak mandi berhari-hari. Ya dia terbangun setelah 5 hari hanya pingsan dan
menangis seperti orang kesurupan. Tiba-tiba Arya yang mengaku sebagai kakak Shinta pun
datang.

"Rangga, aku ada di mana?" tanya Shinta setengah memohon.

"Siapa Rangga? Kamu ada di rumah lah... di mana lagi? Kakak udah ambilin air buat
kamu mandi. Mandi sana," ucap Rangga sebelum kembali meninggalkan Shinta. Tapi Shinta tak
mausendirian di tempat asing ini.

"Rangga... Rangga... jangan tinggalin aku.." rengeknya.

"Shin, aku Arya bukan Rangga, jangan seperti anak kecil. Kakak cuma pergi sebentar.
Raden Wijaya akan membuka Hutan Carik, kakak dan beberapa pemuda sini diajak
menemaninya. Nanti sore, kakak bawakan buah lagi. Jadi jangan bandel ya!" Rangga mencubit
hidung Shinta. Lalu melangkahi batas pintu depan dan menghilang dari pandangan. Shinta
kembali panik. Dia melihat sekeliling ruangan.
"Shinta!!! Ayo mandi di sungai bareng!!! Rama dan kakakmu Arya kemarin buatin kita
getek baru!!!" Seru beberapa remaja putri. Shinta terkesiap. la bangkit dari kasur menuju ke arah
pintu, berharap menemukan orang lain yang dikenalnya. Tapi ia terbelalak kaget melihat..
pemandangan apa ini??? Gadis-gadis remaja memakai kemben??? Bocah-bocah kecil berlarian
dikejar-kejar angsa yang menjulurkan leher panjangnya... Remaja laki-laki memanjat pohon
besar sambil memetik buah dan memakannya bergelantungan di tempat, mengingatkannya pada
sekawanan monyet di ragunan... Ibu-ibu duduk memanjang sambil memegang kepala orang di
depannya, mencari kutu..

Kwaak..Kwaaak...Kwaaak..

"Aku ada di mana?" Shinta benar-benar menangis melihat pemandangan asing ini.
Dengan tubuh lemas, dia kembali ke tempatnya terbangun tadi, duduk sambil memeluk lututnya,
lalu membenamkan kepalanya di sana.

"Huuuu.... huu... aku pengen pulang... Ella...Mama... Papa... pulaaang... Shinta pengen
Pulang.

"Bagaimana perkembangan Hutan Carik? Apa Raden Wijaya sudah menetapkan nama
untuk desa ini?" tanya ayahnya, mengalihkan topik.

"Sekitar seminggu lagi, kita pasti bisa memperluas pemukiman desa ini, Ayah." Rangga
mengalihkan perhatian sepenuhnya pada ayahnya. "Raden Wijaya belum menemukan nama yang
tepat untuk desa kecil ini, Yah. Dia ingin nama yang berkesan."Ayahnya menghela napas.

"Raden Wijaya adalah anak seorang pangeran kerajaan Singasari, tapi nasib membuatnya
menjalani hidup berat seperti, dia pemuda tangguh dan tabah" Rangga mengangguk-angguk
menyetujui setiap ucapan ayahnya.

"Shin... hidupkan lampu!" perintah ayahnya.Tangan ayahnya menunjuk ke arah pojokan


dinding kayu rumah itu saat hari mulai gelap. Shinta beranjak dari tempat duduknya. Dia
meneliti dinding kayu itu lama. Mencari-cari letak saklar. Dia hanya berdiri di sana hingga tak
sadar Rangga mendekatinya dan menyentil keningnya

. "Ayah tadi nyuruh kamu hidupkan lampu. Malah melamun," ucapnya sinis

. "lya. Ini lagi nyari saklar," jawab Shinta menajamkan penglihatannya ke


dinding.Rangga mengambil botol lampu ceplik, mengasah batu, lalu membakarnya. Dia menatap
nanar kilau api dari lampu ceplik yang dipasang kakaknya ke dinding. Matanya berkaca-kaca.
Dia sungguh merindukan ponselnya... Dia tak mampu memikirkan bagaimana dia bisa bertahan
melewati hari esok tanpa benda itu.

"Kakak! Aku ikut!". Teriak Shinta kepada Arya. Dua minggu berlalu. Ajaib, Shinta bisa
melalui hari- harinya tanpa ponsel.

"Nanti gatal-gatal," jawab Rangga sambil memasukkan golok dan perlengkapan babat
lainnya ke dalam buntalan.

"Aku.. aku akan cari tempat yang tidak ada ulatnya. Aku tidak akan merepotkan kalian.
Janji!

Kakak! Aku bosan di rumah hanya lihatin ibu-ibu itu nyari kutu!" Rengek Shinta dengan
mata berkaca-kaca.

"Baiklah, pakai baju kakak! Ingat, jangan bandel!'"Rangga menunjuk bilik ruangannya
sambil menghela napas pasrah.

"Kak, babat hutan kan ilegal.." celoteh Shinta.


"Hm? Apa itu ilegal?" tanya Rangga, bingung. Dia menoleh ke belakang, menatap wajah
adiknya kemanapun seperti anak ayam mengikuti induknya.

"Dilarang pemerintah," jawab Shinta.

"Oh. Hutan Carik ini adalah hasil kesepakatan Raden Wijaya dengan Jayakatwang
setelah ia mengaku menyerah."

"Siapa Jayakatwang?"

"Pemerintah. Raja Kerajaan Kediri." Rangga menunjuk ke arah barat, ke arah Kediri.

Saat dijalan Shinta melihat buah yang sangat enak, ia meminta Arya kakanya untuk
memanjat pohon dan mengambilkan buah itu untuknya. Shinta sangat senang dan matanya pun
berseri-seri.

"Shinta lebih cantik saat kamu tersenyum seperti itu" ucap seorang pemuda yang
mendekatinya membawa buah hijau besar. Shinta mengerjapkan mata dua kali. Sesaat dia
terpesona? Terhipnotis? Atau tertegun? Karena wibawa yang dirasakan menguar kuat dari
kehadiran pemuda itu.

"Raden Wijaya terlalu memuji," balas Rangga sambil tersenyum.

"Adikmu sudah besar, Arya. Mungkin sebentar lagi akan ada yang datang melamarnya,"
ucap Raden Wijaya. Dia meletakkan buah hijau besar itu di samping Shinta yang diam-diam
membuka dan menggerogoti daging buah yang telah di ambilkan Arya untuk dia.

"Untukmu" lanjutnya.Shinta mengernyitkan dahi. Lalu menggelengkan kepala.

"Raden Wijaya ya? Tahu tidak, buah yang Raden bawa itu namanya buah Maja, dan
rasanya pahit," ucap Shinta sambil terus makan buah.

"Ini, Buah Naga namanya, rasanya manis, seger, cobalah," Shinta mengulurkan sepotong
kecil buah Naga ke arah Raden Wijaya, sikap dan tata caranya berbicara sungguh jauh dari kata
sopan. Rangga berjengit medengarnya.

"Shin, berikan yang lebih besar!" Rangga gusar melihat tingkah adiknya pada Raden
Wijaya, pangeran terasing yang telah menciptakan desa yang kini ditinggali mereka.

"Ini? Buah ini? Pahit?" tanya Raden Wijaya dengan wibawanya. Shinta mengangguk-
angguk.

"Buah Maja terasa pahit... sepahit perjalanan hidupku.." Raden Wijaya malah berpuisi.
Shinta ingin tertawa mendengarnya, tapi melihat mata tajam kakaknya yang terus mengawasi
gerak geriknya sambil memegang golok ditangan kanannya, Shinta mengurungkan niatnya. Dia
hanya terus memakan buah naganya.

"Buah ini sangat menginspirasi, maka dari saat ini hingga seterusnya, kuberi nama desa
kita Desa Majapahit," ucap Raden Wijaya heroik. Rangga seketika berdiri dan memberi hormat
dengan menundukkan kepalanya. Shinta mengikuti apa yang dilakukan kakaknya.

Malam hari, api unggun raksasa diciptakan di tengah lapangan desa. Pengumuman nama
Desa Majapahit mengantarkan penduduk desa pada euforia. Banyak dari mereka yang rela
menyembelih ayam, angsa, dan ternak lainnya untuk dimakan bersama demi memeriahkan pesta
dadakan terciptanya nama Desa Majapahit. Semua wajah terlihat riang gembira. Shinta
tersenyum. Dia ikut bahagia. Kebahagiaan berbeda dengan yang dirasakannya saat menang
bermain PS melawan Ella. Kebahagiaan ini terasa lebih bersih, murni, dan tanpa beban. Semilir
angin sejuk membawa mereka dalam kegembiraan.

Enambulan kemudian..
"Kakak!" Shinta berlari saat Rangga berbalik hendak meninggalkannya, lalu memeluk

punggungnya dari belakang dan terisak di sana. Ya kakaknya Arya akan berperang
melawan kerajaan Kediri bersama Raden Wijaya.Shinta sangat sedih, Takut jika Arya tidak akan
kembali dari medan perang.

"A-aku.. huu... huuuuu... Kalau kakak pergi, siapa yang menyiapkan air mandi? Siapa
yang mengambilkan buah naga? Huuu... hu-huuu.."

"Kakak janji akan pulang dengan selamat" Arya memeluknya, membiarkan bagian depan

bajunya basah oleh air mata adiknya. Tangannya menepuk-nepuk pundak adiknya yang bergetar.
Dia berusaha menenangkannya.

"Jadi, hari ini kalian berangkat?" tanya ayahnya saat Shinta membantu Rangga
membungkus perbekalan, dan mengikatnya sambil menangan tangis. Rangga mengangguk. Dia
memeriksa pedangnya sebelum memasukkannya ke dalam sarung, lalu mengikatnya ke
pinggang.

Pasukan mulai pergi ke medan pertempuran. Shinta berusaha keras menahan air matanya,
melihat kakaknya mengikat perbekalan ke kuda yang akan dipakainya. Dia terus memanjatkan
doa untuk keselamatan kakaknya. Aku tak peduli dengan yang lain atau kuda-kuda tu.. hanya
Kakak... Tuhan... selamatkanlah. Kakak... Pandangan Shinta mulai blur. Dia menatap punggung-
punggung tegak di atas kuda itu menjauh dan menghilang tertelan bukit hijau

"MAJAPAHIT!"

"MAJAPAHIT MENANG!"

Sorak-sorai membahana menggema di sepenjuru desa menyambut para pejuang yang


dikabarkan memenangkan perang melawan Kerajaan Kadiri, sore itu. Raden Wijaya terlihat
gagah dan berwibawa di atas kudanya, diiringi dengan sahabat-sahabatnya. Tapi Shinta belum
merasa tenang sebelum sorot matanya menangkap sosok yang berkuda di belakang Raden
Wijaya, Rangga. Kakaknya selamat.

"Kak Aryaaa..." Senyum Shinta mengembang, air matanya menetes membasahi kedua
pipinya. Shinta tersentak kaget saat sebuah tangan menyentuh pundaknya, lalu membawanya ke
dalam pelukan, ternyata ayahnya. Shinta tidak sadar ayahnya yang sedari tadi berdiri di
sampingnya, juga meneteskan air mata melihat putranya pulang dengan selamat.

Shinta langsung melepaskan pelukan ayahnya dan lari, memeluk punggung kakaknya
dari belakang saat Rangga turun dari kuda. "Shinta!!! Kakak sangat merindukanmu juga!!!Satu
bulan tapa mendengar teriakanmu memintaini itu membuat dunia kakak terasa sepi!" Rangga
membalik badan, ikut memeluk adiknya. "

"Aku, Raden Wijaya, Raja Kerajaan Majapahit pertama, menobatkan Arya Adikara
dengan gelar Ranggalawe yang artinya Ksatria yang Berkuasa. Dan mengangkatnya sebagai
Bupati Tuban!" Semua orang tersenyum senang mendengar penobatan Rangga sebagai Bupati
Tuban, terutama rakyat Tuban. Mereka sungguh mengharapkan orang hebat seperti Rangga
untuk memimpin daerah itu.

Dua tahun berlalu dengan indah..

"Raden Wijaya barusaja mengambil Gayatri, teman mainmu, sebagai selir beberapa bulan
yang lalu, kini dia memintamu dariku, apa yang harus kukatakan padanya?" Rangga
menuturkannya dengan nada kesal tapi juga ada nada penghormatan di sana.

"Ah!" Shinta memekik saat jarinya tertusuk jarum. Dia menggigit jarinya itu hingga
darahnya berhenti keluar. "Bilang saja aku belum cukup umur!" dengusnya kesal.
"Tapi, Shin...ini adalah sebuah kehormatan untukmu," ucap Rangga setengah memohon.

"Saat kuhitung-hitung, istri, selir dan permaisuri Raden Wijaya tidak kurang dari jari
tangan kananku!" Shinta mengacungkan kelima jari tangan kanannya ke depan muka kakaknya.
Dia kesal setengah mati kakaknya malah mendukung Raden Wijaya untuk menjadikannya salah
satu dari mereka.

"Dia tidak akan membiarkanmu menderita, Shin.. selama aku masih hidup, aku tidak
mengijinkan

"Kalau Kakak tidak ingin aku menderita, jangan biarkan Raden Wijaya mengambilku,
Kak." Percakapan mereka terhenti saat salah satu pelayan datang dengan napas tersendat-sendat.

"Den Rangga. Huh. Huh. Huh. Kereta Raden Wijaya dikabarkan menuju kemari!"

“apakah alasan Paduka Raja datang kemari?" tanyanya tenang.

"Yang pertama, Majapahit membutuhkan seorang Rakryan Patih. Menurutmu,


Ranggalawe sahabatku, siapakah yang paling pantas menerima kehormatan itu?"

"Menurut Rangga, Paman Lembu Sora adalah orang yang paling pantas menerima
kehormatan itu, Paduka Raja. Dilihat dari jasa-jasanya kepada Majapahit, tidak ada yang bisa
dibanddingkan dengan dirinya," tutur Rangga sopan. Raden Wijaya mengangguk. Dia menatap
lekat Rangga yang masih duduk tenang di depannya.

"Dan alasan yang kedua, adalah.."

"Jika itu menyangkut Shinta, saya mohon maaf belum bisa memberikan Paduka Raja
jawaban." Raden Wijaya mengangkat satu alisnya tinggi, pertanda ia tidak suka orang lain
menginterupsi kalimatnya. Rangga yang menyadari keadaan langsung menangkupkan kedua
tangan dan menundukkan kepala.

"Rangga meminta maaf atas kelancangan Rangga memotong ucapan Paduka Raja."

"Gayatri. Aku hanya meminta adikmu, Shinta sementara menemani Gayatri di istana. Dia
dalam masa-masa mengidam. Jadi agak sulit ditangani." Rangga mengangguk, pertanda
memahami ucapan Raden Wijaya. Rangga mengerti, Gayatri hanyalah alasan yang dilontarkan
Raden Wijaya untuk bisa membawa Shinta ke istana.

Kasian dengan kakaknya yang harus melawan perintah raja demi dirinya, alhasil Shinta
pun menyetujui jika ia akan tinggal di Istana Majapahit.

"Kakak akan antar kamu ke istana besok, kirimkan pelayan saat kamu ingin pulang, Shin,
Kakak akan langsung menjemputmu," ucapnya sambil menghela napas pasrah. Dia harus
bersiap-siap dengan perubahan kediaman yang akan menjadi hening tanpa kehadiran, teriakan
dan kekonyolan adiknya.

Akhirnya Shinta pun sampai di Istana. Tirai malam kembali jatuh, Seorang pelayan
datang menghampiri Shinta, dan memintanya mengikuti pelayan itu atas perintah raja. Lalu
menyuruh Shinta memasuki sebuah ruangan yang ternyata adalah kamar. "Raja meminta Anda
menginap untuk malam ini," ucap pelayang itu sebelum pergi meninggalkannya.Shinta takut dan
akhirnya mengunci pintu kamarnya dan menutupinya dengan lemari agar raja tidak bisa masuk
kedam kamrnya. Jauh dari Rangga, membuat hidupnya terasa tak Tenang.

Keesokan harinya...

"Paduka Raja datang!" DUG!! DUG!! DUG!!! "PADUKA RAJA DATANG!" Teriakan
kencang pelayan mengagetkannya. Ternyata Shinta tertidur sambil duduk meringkuk di pojokan
kasur. Sungguh menyedihkan. Dengan langkah berat, Shinta menyeret kaki- kakinya menuju
pintu yang terhalang meja. Sekuat tenaga ia menarik meja itu menjauh, meletakkannya asal,
melintang di tengah antara pintu dan ranjang, lalu membuka pintu besar itu. Raden Wijaya
mengangkat kedua alisnya melihat keadaan Shinta yang acak-acakan.

"Tidurmu nyenyak?" tanyanya sambil tersenyum. Shinta menggeleng keras. "Aku tidak
betah di sini, Paduka Raja. Aku lebih suka berada di rumah."

"Lama-kelamaan kau akan betah. Bukankah kasur di sini lebih empuk daripada kasur
manapun?"

"Tetap saja, tidak ada Kakak di sini," gerutu Shinta.

"KAK RANGGA!!! AKU MAU PULANG!!!" Shinta langsung berbelok lari ke arah
gerbang saat ia hendak mendatangi aula istana untuk ikut sarapan karena dia menangkap sosok
Kakaknya turun dari kereta.

"Kenapa kamu tidak minta kakak jemput kamu?" tanya Rangga heran. Dia kira adiknya
itu betah tinggal bersama Gayatri di istana.

"Tidak ada pelayan yang mau kuperintah, Kak.. mereka bilang perintah raja inilah...
perintah raja itulah... BETE aku jadinya..!."

"Begitu? Setelah kakak menyelesaikan urusan kakak dengan raja, kita langsung pulang"

"Janji???"

"Janji!"

"Kakak tidak akan meninggalkanku di manapun

sendirian seperti kemarin kan?Janji???"

"Janji, Shinta... kakak JANJI!!" Shinta memeluk kakaknya dari samping


sambiltersenyum lebar. Namun hal itu tidak berlangsung lama, tiba-tiba saat Shinta berjaln di
taman ada seseorang yang memukul kepa Shinta dan membawanya ke gudang padi yang gelap.
Disisi lain ternyata Arya kaka Shinta sedang di jebak oleh sederetan pejabat yang mengingin kan
jabatan di kerjaan, karena mereka tau Raden Wijaya sangan mempercayai Arya. Namun oleh
orang-orang jahat tersebut Arya di buat seakan di melakukan Konspirasi untuk menggulingkan
Raja Wijaya.

Arya mendapat pesan bahwa Shinta Hilang , Aryapun mengerahkan semua pasukannya
ke Istana untuk mencari Shinta. Disini awal mulai Arya dituduh sebagai pemberontak karena
telah membuat keributan di Istana dengan membawa banyak pasukan.

Disislain Shinta sudah tidak kuat di dalam gudang kecil nan gelap, dalam hatinya dia
bertanya siapa yang tega melakukan ini semua pada dirinya dan kakaknya. Hingga beberapa saat
berlalu. Akhirnya Shinta menyerah. Dia hanya terus mengetukkan kayu ke pintu itu, berharap
ada orang, pelayan, atau siapapun lewat dan mendengarnya.

Akhirnya salah satu pelayan kakanya menemukan Shinta, kakanya pun kesal terhadap
Raja karena telah memperlakukan Shinta adiknya seperti itu.

"Pasukan Betik! Ikuti aku ke istana!"

"Siap Bupati!"

"Sisanya, jaga kediaman. Apapun yang terjadi, langsung kirimkan laporan. Ingat
utamakan keselamatan adikku! Jangan biarkan ia terluka sedikitpun!"

"Mengerti, Bupati!" jawab seluruh pasukan serentak. Mereka langsung membubarkan diri
ke arah tujuan masing-masing.

Di istana..
“Yang Mulia Paduka Raja, hamba, Diah Halayudha yang rendah ini baru saja mendengar
bahwa Ranggalawe tengah mengumpulkan pasukannya dan berniat membawa pasukannya ke
istana, bagaimana menurut pendapat Yang Mulia Paduka Raja?" tanya Halayudha dengan
ekspresi dibuat-buat.

"Apakah Ranggalawe benar berbuat sejauh itu? Ini tidak boleh dibiarkan. Dia terlena
dengan keistimewaan yang selama ini dia dapatkan hingga membuatnya bersikap tak tahu diri."
Raden Wijaya meletakkan gelas tehnya lalu memanggil salah satu pelayan setianya mendekat
dan menanyakan kebenaran ucapan teman yang duduk di depannya. Pelayan itu membenarkan
dengan tepat ucapan

"Perintahkan Lembu Sora dan Kebo Anabrang kemari! Sekarang!" Pelayan itu segera
pergi, dan kembali membawa dua orang yang diminta raja. Salah satunya Lembu Sora, paman
Ranggalawe, yang lainnya adalah Kebo Anabrang, ksatria bengis yang selalu membunuh musuh
dengan cara kejam.

"Bawa pasukan istana bersama kalian, cegah Ranggalawe mendekati istana


bagaimanapun caranya. Jangan lagi membuat keributan di wilayah istana. Membuat keributan di
halaman istana, sungguh perbuatan yang memalukan!" Kebo Anabrang dan Lembu Sora
mengangguk mematuhi perintah raja.

"Kita hanya akan menangkap Ranggalawe, aku yakin dia tidak bermaksud
memberontak," ucap Lembu Sora kepada sahabatnya Kebo Anabrang yang menunggang kuda di
sampingnya. Kebo anabrang hanya tersenyum. Rangga bertemu dengan Lembu Sora, Kebo
Anabrang dan pasukannya di dekat Sungai Tambak Beras. Airnya yang jernih dan udara yang
sejuk tidak mempengaruhi atmosfer kebencian yang kental menguar dari kedua kubu itu.

"Ranggalawe, mengapa kau berani menentang perintah Raja? Patuhlah, dan ikut bersama
kami!" ucap Lembu Sora setengah berteriak.

"Sekarang bukan saatnya untuk patuh ataupun mengikuti siapapun, Paman. Aku tidak
merasa menentang perintah siapapun." Rangga tidak ingin menerima gangguan apapun saat ini.
Pikirannya sedang kacau, dia tidak bisa mengontrol kesopanan pada siapapun.

"Lalu, untuk apa dan kemana kau akan membawa pasukan Tuban bersamamu?"

"Itu bukan urusanmu, Paman. Kembalilah, jangan ganggu aku."

"PASUKAN! CEGAT MEREKA!!! JANGAN BIARKAN SATU ORANGPUN


LOLOS!" seru Kebo Anabrang kepada pasukan yang dibawanya. Dia gusar mendengar basa-basi
antara paman dan keponakan tersayangnya itu. Kebo Anabrang merasa yakin bahwa Ranggalawe
benar-benar gila.

Akhirnya peperanganpun terjadi antara Ranggalawe dan Kebo Anabrang. Mereka sama-
sama saling terluka. Lembu Sora hanya diam di tempatnya. Matanya menitikkan air mata
menyadari hanya satu masa depan bagi Ranggalawe di Kerajaan Majapahit ini, yaitu kematian.
Jika Ranggalawe menang, dia akan dianggap pemberontak yang telah melawan perintah raja dan
membunuh pasukan istana. Dia akan diburu, diadili dan dipenggal di depan seluruh rakyat
Majapahit. Jika kalahpun tak ada bedanya. Tidak ada pilihan lain, selain Ranggalawe melarikan
diri dan bersembunyidi kerajaan lain. Dia harus segera menangkapnya dan membantunya
melarikan diri. Dia yakin keponakannya adalah ksatria terbaik dibalik sifat pemarahnya.

"CUKUP!!!" Lembu Sora berlari ke arah Rangga kehilangan keseimbangan, matanya


blur, dia berusaha menggapai apapun untuk bisa mempertahankan posisi berdirinya. Dia melihat
pagar pembatas jembatan, tangannya terulur ke arah sana, tapi dia tidak bisa meraihnya.
Tubuhnya limbung dan akhirnya membawanya jatuh ke dalam sungai. Kebo Anabrang ikut
menjatuhkan diri ke sungai. La berenang mengejar tubuh Rangga, menyabetkan pedangnya
beberapa kali lagi ke tubuh tak berdaya itu. Dia bahkan menusukkan tombaknya tepat ke arah
jantung Rangga hingga Rangga langsung meninggal seketika.

Lembu Sora tertegun melihat pemandanganitu. Dia mengenal Kebo Anabrang sebagai
teman yang baik tapi juga sadis dan kejam dalam membunuh musuh-musuhnya, tapi Rangga
adalah teman, bukan musuh. Air mata membanjiri pelupuk matanya. la mengambil sebuah
tombak yang tergeletak di antara mayat-mayat, lalu melemparkannya hingga tepat menembus
punggung Anabrang. Lalu Sora terjatuh, berlutut diantara mayat-mayat segar itu.

Lembu Sora menceburkan diri ke sungai, mengambil mayat keponakannya. Dia memeluk
mayat Ranggalawe sambil berteriak histeris. Shinta berdiri tak jauh dari sana. Dia terdiam,
matanya nanar. Dia melangkah perlahan mendekati pamannya yang masih menangisi mayat
kakaknya. Dia merasa, seluruh dunianya runtuh. Dadanya terasa sesak tak mampu lagi
menghirup dan merasakan udara di sekitarnya. Dia merasa linglung, seperti anak ayam yang
kehilangan induknya.

"Paman.." ucapnya sebelum dia terjatuh ke dalam kegelapan pekat dan berputar-putar di
dalamnya.

"Ranggalawe, meninggal sebagai pemberontak pertama kerajaan Majapahit, Arya


Wiraraja, ayah Ranggalawe mengundurkan diri dari jabatannya di istana setelah kematian
putranya."

Suara itu terngiang-ngiang di telinga Shinta sebelum ia tersadar dalam keadaan linglung
di atas kasurnya yang empuk

. "Kak Rangga.."

ucapnya. Dia mengusap air mata yang tidak bisa berhenti mengalir menggunakan
punggung tangannya. Napasnya sesak karena sesenggukan. Beberapa saat ia lalui hanya dengan
menangis dan menangis. Dengan mata bengkak dan muka sembap,ia akhirnya sadar setelah
melihat ke sekeliling, menemukan bahwa dirinya kini berada di kamar dunia modernnya.

Shinta bergegas melepas headsetnya, mengecek ponsel, melihat tanggal. Dia hanya tidur
normal semalaman. Jadi? Semua itu hanya mimpi??? tanyanya dalam hati. Tapi dia benar-benar
merasakan kejadian- kejadian itu meski sekarang dia sadar bahwa selama bertahun-tahun berlalu
di masa itu terasa agak bias. Terasa pendek seperti bayang-bayang. Hanya beberapa kejadian
yang terasa nyata.

"Mama! Papa!" seru Shinta tidak sabar sambil sesekali sesenggukan.

"Mama di bawah Shin!" seru ibunya diiringi bunyi goreng goreng dan benturan logam
khas bunyi dapur. "Papamu masih di kamar mandi!" Shinta tersenyum dalam tangis. Dia
mencubit kedua pipinya sendiri, sakit! Ini nyata! Dia bergegas turun tangga hingga menimbulkan
bunyi berisik.

"Mama!!" Shinta memeluknya dari belakang sambil menangis tersedu-sedu di sana.


"Mama.. aku kangen Mama" ucapnya sambil menggesek mukanya ke punggung ibunya.

"Perasaan seminggu ini Mama di rumah, kamu nggak kayak gini deh, pas mama pulang
dari Ausy seminggu yang lalu," ucapnya sambil mengelus- elus tangan anaknya

"Ella!!! Ella!!! Gue kangen banget sama lo!" Shinta berlari melintasi gerbang sekolah
saat sudut matanya menangkap pergerakan Ella. Dia langsung memeluk sahabatnya itu sambil
tersenyum senang. Sedangkan Ella, dia hanya mendengus.

"Lah, lo baru nyadar ya kalau gue emang ngangenin... hahaha... belum 24 jam kita
berpisah, lo udah kayak gini, apalagi kalau sebulan yak?" ucap Ella bangga sambil menepuk
punggung Shinta.
"Eh, Betewe, lo denger gosip nggak kalau Rangga putus ama Vita?"

"Kak Rangga? Di mana kak Rangga?" tanya Shinta langsung melepaskan pelukan
sepihaknya.

"Tuh lagi markirin motor" Ella mengedikkan dagu ke arah parkiran. Dia tertegun melihat
sahabatnya yang dulu cuek bebek itu langsung melesat lari meninggalkannya ke arah parkiran.

"Tuh anak kenapa dah?" gerutu Ella.

"KAK RANGGA!!!" Shinta langsung memeluk punggung Rangga dari belakang saat
Rangga membuka helm dan meletakkannya di kaca spion.

"KAK RANGGA... KAKAK MASIH HIDUP.. HUU.." Shinta langsung menangis di


punggungnya. Ella terbelalak, hingga bola matanya hampir jatuh. Rangga tertegun.

CKRAK! CKRAK! JETREK! JEPRET! Bunyi kamera ponsel menyadarkan Rangga. Dia
bergegas memakai kembali helm-nya untuk mengamankan mukanya dari para paparazi dan
wartawan jadi-jadian di sekelilingnya. Mereka berkerumun sehingga dia menjadi pusatnya di
parkiran.

"Enak ya orang ganteng mah, baru kemaren putus ama anak paling cantik sesekolahan,
sekarang udah dipeluk sama anak paling pinter sesekolahan."

"E ... eh .. lepasin gue. Emang kita pernah kenal?" tanya Rangga dari balik helmnya.

"Kaka...kak Rangga... aku kangen kakak." Ucap Shinta sambil sesenggukan di punggung
Rangga.

Meskipun Shinta tau dia bukan kakaknya Arya yang sangat dia sayang, Shinta tetap
senang karena ia masih bisa melihat wajah orang yang ia sayang untuk menghilangkan rasa
Rindu kepada kakaknya Arya yang ada di dalam mimpi itu.

Ujian Sejarahpun dimulai. Shinta sangat gugup, takut jika ia tidak bisa menjawab dengan
benar. Namun setelah ia membuka soal ujian, semua mengenai mimpinya yang seerti nyata
tersebut. Alhasil Shinta menjawabnya dengan mudah meskipun saat ada pertanyaan mengenai
pemberontak pertama kerajaan maja pahit ia langsung menangis mengingat kakanya Arya.

Satu minggu kemudian...

Hasil ujian telah keluar, betapa kagetnya Shinta bahwa ia menduduki peringkat satu
pararel di ulangan Sejarah. Ia berfikir , bahwa ini semua berkat mimpi itu dan web yang ia
kunjungi yang membawanya kembali Ke masa lalu. Menurutnya itu tidak bisa dilogika, namun
hal itu tidak dapat terlupankan banginya yaitu saat ia Jalan-jalan Kembali ke Majapahit.

Anda mungkin juga menyukai