Anda di halaman 1dari 24

DIAGNOSIS-RELATED GROUP (DRG)

PENGARUHNYA TERHADAP MUTU LAYANAN


KEPERAWATAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


“Manajemen Mutu Pelayanan Keperawatan”
Dosen: Dr. Sri Rejeki, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat
M. Hasib Ardhani, S.Kep, Ns., M.Kes.

Kelompok I :
Maria Yulita Meo NIM.22020114410003
Diah Fitri Purwaningsih NIM.22020114410005
Herry Setiawan NIM.22020114410007

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN

MATA KULIAH : Manajemen Mutu Pelayanan Keperawatan


DOSEN :
KELOMPOK :
Maria Yulita Meo NIM.22020114410003
Diah Fitri Purwaningsih NIM.22020114410005
Herry Setiawan NIM.22020114410007

PERTANYAAN:
Bagaimana Diagnosis-Related Group (DRG) Pengaruhnya Terhadap Mutu
Layanan Keperawatan?

Semarang, 20 April 2015


Dosen Mata Kuliah
Manajemen Mutu Pelayanan Keperawatan

M. Hasib Ardani, S.Kp., M.Kes

ii
DIAGNOSIS-RELATED GROUP (DRG) PENGARUHNYA
TERHADAP MUTU LAYANAN KEPERAWATAN
Maria Yulita Meo1, Diah Fitri Purwaningsih1, Herry Setiawan1
1
Mahasiswa Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang

A. Pendahuluan
Masyarakat di era modernisasi dengan keterbukaan dan arus globalisasi,
pasar bebas dunia, peningkatan pendapatan ekonomi per kapita, perubahan
suhu politik dalam maupun luar negeri, kemajuan informasi dan teknologi,
peningkatan akses terhadap media menyebabkan masyarakat dapat
memperluas wawasan dan persepsi mereka tentang pelayanan kesehatan.
Munculnya kebijakan-kebijakan pembiayaan kesehatan membuat kemampuan
masyarakat mengakses fasilitas pelayanan kesehatan semakin meningkat.
Menurut UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pelayanan
kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pelayanan kesehatan yang paripurna
bersifat komprehensif dan holistik. Rumah sakit merupakan organisasi yang
sangat komplek dan merupakan komponen yang sangat penting dalam upaya
peningkatan status kesehatan bagi masyarakat. Salah satu fungsi rumah sakit
adalah menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan yang
merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan dengan tujuan
memelihara kesehatan masyarakat seoptimal mungkin.
Masyarakat yang semakin teredukasi dengan baik melalui media
berpotensi memunculkan tuntutan hukum apabila pelayanan kesehatan yang
mereka harapkan tidak bisa memberikan kepuasan seperti yang menjadi
harapan dan tuntutan publik. Menanggapi dan mensikapi perubahan
wawasan, persepsi dan tuntutan masyarakat ketika memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan maka pelayanan kesehatan harus berbenah untuk
mengantisipasi meningginya tuntutan serta harapan dari masyarakat terkait
dengan pelayanan kesehatan. Kepuasan masyarakat dalam menggunakan
fasilitas kesehatan erat kaitan dengan sikap petugas dalam memberikan
peelayanan dan biaya pelayanan yang harus mereka keluarkan.

1
Biaya pelayanan kesehatan saat ini dinilai terlalu mahal dan banyak
perbedaan antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain dengan kualitas
dan jenis pelayanan yang sama. Lemahnya sistem pengelolaan keuangan
khususnya Rumah Sakit Pemerintah milik Departemen Kesehatan (Depkes)
atau Pemerintah Daerah (Pemda), sementara persaingan rumah sakit terus
meningkat dari segi teknologi maupun sumber daya menimbulkan
kecenderungan Rumah Sakit untuk membeli alat canggih untuk memudahkan
diagnosis, hal ini akan menyebabkan meningkatkan pembiayaan yang harus
dikeluarkan oleh pasien dalam menerima pelayanan yang diberikan karena
pembiayaan alat tersebut akan dibebankan kepada pasien. Perlu adanya
penerapan sistem pembiayaan bagi masyarakat dengan program pengendalian
biaya kesehatan (Cost Containment Program) (Depkes, 2007).
Pembiayaan kesehatan berbasis kelompok diagnosis terkait (Diagnosis
Related Group) merupakan suatu sistem pemberian imbalan jasa pelayanan
yang ditetapkan berdasarkan pengelompokan diagnosa, tanpa memperhatikan
jumlah tindakan atau pelayanan yang diberikan dengan tujuan sebagai upaya
pengendalian biaya dan menjaga mutu pelayanan (Hartono, 2007). Menurut
UU No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, pelayanan Keperawatan adalah
suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan
ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat
maupun sakit.
Pelayanan Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan
kesehatan mempunyai daya ungkit besar dalam mencapai tujuan
pembangunan kesehatan akan terlibat langsung dalam mekanisme
pembayaran yang diterapkan. Pembiayaan pelayanan keperawatan
berdasarkan sistem Diagnosis Related Group (DRG) yang secara simultan
masuk dalam biaya kesehatan secara menyeluruh akan mendorong perawat
untuk bekerja lebih mandiri. Menurut Gilles (1994), keberadaan perawat
dalam pelayanan kesehatan merupakan posisi kunci, yang dibuktikan oleh
kenyataan bahwa 40-60 % pelayanan rumah sakit merupakan pelayanan
keperawatan dan hampir semua pelayanan promosi kesehatan dan
pencegahan penyakit baik di rumah sakit maupun tatanan pelayanan
kesehatan lain dilakukan oleh perawat.
Penelitian di Amerika (The Medicare Skilled Nursing Facility/SNF
Program) menyebutkan bahwa sistem pembayaran melalui DRG/Sistem case
mix berkembang dan diminati perawat karena dapat menentukan berapa biaya
yang harus dikeluarkan klien dari pelayanan yang diberikan oleh perawatan di
rumah (Home Care, 2007). Keterampilan perawat mandiri dituntut untuk
memberikan pelayanan yang nyata sesuai dengan basis kompetensi yang di
milikinya dan akan di bayar sesuai dengan kemampuan yang di berikan
kepada masyarakat Indonesia sehingga alternatif pembayaran melalui sistem
Diagnosis Related Group (DRG) merupakan solusi yang tepat.
Dari fakta dan fenomena di atas kelompok tertarik untuk menyusun
sebuah pembahasan dengan judul “Diagnosis-Related Group (DRG)
Pengaruhnya Terhadap Mutu Layanan Keperawatan”. Pembahasan ini
diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pembaca khususnya disiplin
ilmu keperawatan untuk memahami mengenai konsep Diagnosis-Related
Group (DRG) Pengaruhnya Terhadap Mutu Layanan Keperawatan untuk
perubahan pelayanan keperawatan yang lebih baik ke depannya.
Tujuan penulisan ini adalah mahasiswa Magister Keperawatan
konsentrasi Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan memahami tetang
konsep Diagnosis-Related Group (DRG) Pengaruhnya Terhadap Mutu
Layanan Keperawatan.

B. Sejarah dan Mekanisme Pembayaran berdasarkan Diagnosis Related


Group (DRG)
1. Sejarah
Diagnosis-Related Group (DRG) dikembangkan di Amerika Serikat
pada peserta program medicare dan medicain, melalui suatu studi yang
diselenggarakan oleh ”Yale University” pada tahun 1984. Tujuan
penerapan DRG untuk upaya pengendalian biaya dan menjaga mutu
pelayanan, mengembangkan efisiensi dan menyediakan umpan balik
berkaitan dengan kinerja rumah sakit, bila pasien dikelompokkan dalam
kelas-kelas dan atribut yang sama serta serta proses perawatan yang sama
akan membangun kerangka kerja yang baik (Fatter: 1970).
Pada tahun 1983 keputusan konggres Amerika untuk menggunakan
Diagnosis Related Group (DRG) sebagai sistem pembayaran dan
pembiayaan rumah sakit yang dibebankan kepada pasien dan dua puluh
tahun kemuadian mayoritas Negara maju menggunakan system ini.
Mekanisme pembayaran berdasarkan Diagnosis Related Group (DRG)
adalah suatu sistem imbalan jasa pelayanan pada Prospective Payment
System (PPS) atau suatu sistem pembayaran pada pemberian pelayanan
kesehatan, baik rumah sakit atau dokter dalam jumlah yang ditetapkan
sebelum suatu pelayanan diberikan tanpa memperhatikan tindakan yang
dilakukan atau lamanya perawatan (Hendrartini: 2007), sedangkan
Hartono (2007), menyatakan bahwa mekanisme pembayaran berdasarkan
Diagnosis Related Group (DRG) adalah suatu mekanisme pembayaran
yang ditetapkan berdasarkan pengelompokkan diagnosa, tanpa
memperhatikan jumlah atau pelayanan yang diberikan.
2. Mekanisme
Mekanisme untuk penyusunan pembayaran berdasarkan Diagnosis
Related Group (DRG) adalah sebagai berikut:
a. Melengkapi data pasien
Diagnosis-Related Group (DRG) membutuhkan data-data yang
dikumpulkan secara rutin oleh rumah sakit seperti: Identitas pasien,
tanggal masuk dan keluar rumah sakit,lama hari rawat, umur, jenis
kelamin, status keluar rumah sakit, BB baru lahir(jika neonatal),
Diagnosis utama, Diagnosis sekunder dan prosedur pembedahan.
b. Analisis pengkelasan dan hasil grouping Diagnosis Related Group
(DRG) sesuai dengan ICD 10 yang diterbitkan oleh WHO
Kewajiban rumah sakit untuk memberikan kode sesuai dengan
ICD 10 (Klasifikasi internasional untuk penyakit). Tahap-tahap
penentuan DRG sebagai berikut:
1) Penentuan diagnosis
2) Pengelompokkan menjadi dignosis mayor
3) Prosedur tindakan yang dilakukan (diagnosis yang membutuhkan
tindakan pembedahan atau tidak)
4) Diagnosis dikelompokkan juga dengan mempertimbangkan
komplikasi yang menyertainya baik akut atau kronis
5) Tentukan Diagnosis Related Group (DRG) (Direktorat jenderal
bina pelayanan Medik: 2006)
c. Analisis biaya pasien (DRG Cost)
Dalam laporan pertama proyek nasional, “Case Costing in
Swedish Health and Medical Care” mendeskripsikan proses
pembiayaan kasus dalam empat langkah:
1) Mengidentifikasi total biaya secara akurat
2) Mengalokasikan biaya-biaya tidak langsung ke dalam pusat-pusat
penyerapan dana.
3) Mengidentifikasi produk-produk intermediate dan menghitung
biaya-biayanya.
4) Membagi biaya-biaya tersebut kepada pasien.
Pelayanan keperawatan beberapa rumah sakit Swedia menggunakan
Patient Classification System (Sistem Klasifikasi Pasien) atau PCS bagi
keperawatan. Patient Classsification System (PCS) bagi keperawatan bisa
didefinisikan sebagai metode-metode dalam menentukan, memvalidasi,
dan memonitor perawatan pasien individual selama terus menerus.
Terdapat banyak alasan mengapa rumah sakit-rumah sakit
menggunakan Patient Classsification System (PCS) untuk keperawatan.
Hasil dari klasifikasi dapat digunakan untuk :
a. Memonitor kebutuhan pasien
b. Pengelompokan staf dan perencanaan
c. Memonitor dan menghitung biaya-biaya keperawatan
d. Memonitor dan menganalisa kinerja unit

Sebuah contoh bagaimana biaya-biaya perawatan dapat


didistribusikan melalui sebuah sistem klasifikasi pasien. Pada saat
memilah biaya-biaya keperawatan dalam sebuah sistem pembiayaan kasus,
pertama kali harus mendesekripsikan pelayanan yang diberikan dalam
produk-produk intermediatenya. Dalam contoh di bawah menggunakan
bagian dari klasifikasi pasien dalam perangkat PCS. Dalam bagian ini
pasien dikelompokkan ke dalam satu dari empat kategori perawatan
tergantung pada kebutuhan mereka akan aktifitas layanan keperawatan
secara langsung. Keempat kategori adalah sebagai contoh kebutuhan
minimal, kebutuhan rata-rata, kebutuhan di atas rata-rata, dan kebutuhan
intensif layanan keperawatan.
Dalam studi aktifitas, semua sub kegiatan layanan keperawatan
diukur dalam hitungan menit (elemen ketiga). Hasil dari studi layanan
keperawatan memberikan menit-menit pemberian layanan keperawatan
baik secara langsung dan tak langsung per pasien, kategori layanan dan
hari. Langkah selanjutnya adalah menghitung biaya per menit (satu atau
banyak) untuk setiap kategori (produk intermediate). Pasien mendapatkan
satu produk intermediate spesifik setiap hari, tergantung pada jumlah
layanan perawatan yang diberikan.
Contoh Penghitungan biaya keperawatan berdasarkan Patient
Classsification System (PCS) (Heurgren M:200)
Biaya Layanan (1) Minimal (2) Rata-rata
Layanan keperawatan langsung 450 SEK 530 SEK
Layanan keperawatan tidak langsung 250 SEK 320 SEK
Waktu personal dan waktu unit 460 SEK 460 SEK
Total biaya per kategori (produk) 1160 SEK 1310 SEK

(3) Atas Rata-rata (4) Intensif


Layanan perawatan langsung 700 SEK 1 350 SEK
Layanan perawatan tidak langsung 450 SEK 850 SEK
Waktu personal dan waktu unit 460 SEK 460 SEK
Total biaya per kategori 1610 SEK 2660 SEK

Biaya rata-rata per hari 1360 SEK


SEK : Swedia Kron, 1SEK : Rp 1.300
Di Swedia rata-rata lama hari rawat diperkirakan 5 hari. Pada
kebanyakan sistem pembiayaan kasus pasien akan diberikan biaya rata-rata
per diem, dalam contoh ini 1360 SEK. Hal ini, bagi pasien rata-rata, akan
membuat sebuah total biaya perawatan 6800 SEK. Bila intensitas sumber
dipertimbangkan, pasien yang sama akan mendapatkan 4 hari intensive
plus 1 hari rata-rata, yang membuat total biaya keperawatan 11950 SEK.
Kenaikan dari biaya keperawatan dalam hal ini akan menjadi sekitar 75%.
Contoh pada kasus Fraktur Femur APDRG 236

Fraktur Femur

1
2% 4% 0% 2
2% 3%1%
4% 3
2%
1%
4
5
6
55% 7
26%
8
9
10
11

1. Pelayanan Keperawatan 55 % 2. Dokter 26 %


3.Pemasangan implant 0,6 % 4.Obat-obatan 2%
5.Fisioterapi 4% 6.Ergometri 2%
7.Radiologi 3% 8.Laboratorium 1%
9.Operating Room 2% 10.Prosedur lain 4%

Penggunaan Patient Classsification System (PCS) untuk


keperawatan adalah suatu cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan
keperawatan dan pembiayaan bagi pelayanan keperawatan.
C. Kelemahan dan Keuntungan Mekanisme Pembayaran berdasarkan
Diagnosis Related Group (DRG)
Dari hasil evaluasi terhadap pelaksanaan sistem pembayaran
Diagnosis-Related Group (DRG) menunjukkan kelemahan dan keuntungan
system ini. Kelemahan dari sistem ini adalah :
1. Rumah sakit mengalihkan pengobatan dari rawat inap menjadi rawat
jalan. Oleh karena DRG tidak diterapkan pada rawat jalan
2. Rumah sakit menurunkan rata-rata lama hari rawat (LOS) Rumah sakit
akan mempercepat pemulangan pasien. Penurunan LOS merupakan
implikasi tidak adekuatnya pelayanan Rumah sakit dan perkembangan ke
depan dapat mengganggu infrastruktur home care karena kondisi pasien
belum stabil
3. Terdapat kecendrungan untuk mengklasifikasikan kembali pasien ke
diagnosis yang lebih mahal yang disebut DRG Creep (Penjilat DRG)
4. Sistem pembayaran ini mengurangi ketajaman fokus diagnosis, sehingga
sering kali timbul kesalahan atau kelalaian dalam pemberian pengobatan
kerena pengurangan penunjang diagnostik pada pelayanan yang belum
terstandar
5. Pembayaran pelayanan perawatan menjadi tidak jelas, bila kemandirian
perawat dalam intervensinya tidak jelas karena sistem ini menyatu dalam
pembayaran diagnosis
6. Sistem pembayaran ini tidak dapat membedakan antara kasus yang
tingkat kesulitan tinggi atau komplikasi dengan tingkat kesulitan rendah
7. Sistem pembayaran ini bersifat umum dan sulit untuk kasus-kasus kronik
dan berulang (WHO & http://www.icn.ch/matters.drg.htm: 3/25/2007)
Keuntungan atau manfaat dari sistem pembayaran melalui Diagnosis-Related
Group (DRG) adalah :
1. Diagnosis-Related Group (DRG) dapat diberlakukan dengan cepat
2. Bagi pemerintah federal di Rumah Sakit, Diagnosis-Related Group (DRG)
dapat memberikan kepastian perkiraan biaya yang berasal dari program ini
3. Mengurangi beban administrasi Rumah Sakit dan mendorong upaya
efisiensi. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh The President’S Private
Sector Survey On Cost Control, Diagnosis-Related Group (DRG)
diproyeksikan berhasil menghemat anggaran pemerintah federal sebesar
13 milyar dolar AS antara tahun 1984-1986.
4. Diagnosis-Related Group (DRG) dapat meningkatkan mutu pelayanan
Rumah Sakit
5. Diagnosis-Related Group (DRG) memberikan transparansi sistem
management Rumah Sakit dan pembayaran
6. Menguntungkan peserta medicare program, dimana perkiraan iuran biaya
(Cost Sharing) akan menurun
7. Diagnosis-Related Group (DRG) mengizinkan pembayaran upah atau gaji
pada agenci (Home Care) dan dikontrol oleh sistem pembayaran Rumah
Sakit
8. Diagnosis-Related Group (DRG) membantu agenci memperkirakan dan
memprediksi secara tepat financial yang di terima oleh rumah sakit
(ICN, http://www.icn.ch/matters.drg.htm: 3/25/2007)

D. Mutu
1. Definisi
Mutu adalah nilai kepatutan yang sebenarnya (proper value)
terhadap unit pelayanan tertentu, baik dari aspek technical (ilmu,
ketrampilan, dan teknologi medis atau kesehatan) dan interpersonal (tata
hubungan perawat – pasien, dokter – pasien: komunikasi, empati dan
kepuasan pasien) (Widayat, 2009). Mutu yang baik adalah tersedia dan
terjangkau, tepat kebutuhan, tepat sumber daya, tepat standar profesi atau
etika profesi, wajar dan aman, mutu memuaskan bagi pasien yang dilayani
(Sabarguna, 2006).
Salah satu indikator penilaian mutu adalah kepuasan pasien. Dalam
usaha mencapai kepuasan pasien tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang diantaranya unsur masukan yang terdiri dari kelengkapan peralatan,
unsur lingkungan yang terdiri dari kebijakan organisasi dan manajeman,
dan unsur proses yang terdiri dari tindakan medis, keperawatan atau non
medis. Secara umum disebutkan apabila tindakan tersebut tidak sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan (standard of conduct), maka sulitlah
diharapkan mutu pelayanan menjadi baik (Nursalam, 2014).
Menurut Mirza Tawi (2008), mutu pelayanan kesehatan sebenarnya
menunjuk pada penampilan (performance) dari pelayaan kesehatan yang
dikenal dengan keluaran (output) yaitu hasil akhir kegiatan dari tindakan
dokter dan tenaga profesi lainnya terhadap pasien, dalam arti perubahan
derajat kesehatan dan kepuasan baik positif maupun sebaliknya.
Sedangkan baik atau tidaknya keluaran tersebut sangat dipengaruhi oleh
proses (process), masukan (input) dan lingkungan (environment). Maka
jelaslah bahwa baik atau tidaknya mutu pelayanan kesehatan sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur tersebut, dan untuk menjamin baiknya mutu
pelayanan kesehatan ketiga unsur harus diupayakan sedemikian rupa agar
sesuai dengan standar dan atau kebutuhan.
2. Unsur terkait Mutu
a. Unsur masukan
Unsur masukan (input) adalah tenaga, dana dan sarana fisik,
perlengkapan serta peralatan. Secara umum disebutkan bahwa apabila
tenaga dan sarana (kuantitas dan kualitas) tidak sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan (standard of personnel and facilities), serta jika
dana yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan, maka sulit
diharapkan baiknya mutu pelayanan (Nursalam, 2014).
b. Unsur lingkungan
Unsur lingkungan adalah kebijakan, organisasi, manajemen.
Secara umum disebutkan apabila kebijakan, organisasi dan manajemen
tersebut tidak sesuai dengan standar dan atau tidak bersifat mendukung,
maka sulitl diharapkan baiknya mutu pelayanan (Nursalam, 2014).
c. Unsur proses
Unsur proses adalah tindakan medis, keperawatan atau non medis.
Secara umum disebutkan apabila tindakan tersebut tidak sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan (standard of conduct), maka sulit
diharapkan mutu pelayanan menjadi baik (Nursalam, 2014).
3. Dimensi Mutu
Pendekatan dalam kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan
adalah model kualitas dengan metode SERVEQUAL (Service Quality)
yang dapat digunakan sebagai penentuan mutu pelayanan, model ini
dikembangkan dengan lima dimensi mutu pelayanan yaitu :
a. Bukti fisik (Tangibles), yang meliputi penampilan fasilitas fisik seperti
gedung dan ruangan, kebersihan, kerapihan, kenyamanan ruangan, dan
penampilan petugas.
b. Kehandalan (Reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan
pelayanan yang tepat atau akurat dan kemampuan memberikan
pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan.
c. Daya tanggap (Responsiveness), yaitu kesediaan untuk membantu
pelanggan, respon dan memberikan pelayanan yang cepat yang meliputi
kecepatan karyawan dalam menangani keluhan pelanggan serta
kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan.
d. Jaminan (Assurance), yaitu kegiatan untuk menjamin kepastian
terhadap pelayanan yang akan diberikan kepada pelanggan, hal ini
meliputi kemampuan petugas atas pengetahuan terhadap jasa secara
tepat, keterampilan dalam memberikan pelayanan sehingga dapat
menumbuhkan rasa aman pada pelanggan sehingga dapat menanamkan
kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan.
e. Empati (Emphaty), yaitu membina hubungan dan perhatian secara
individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti
mendengarkan keluhan konsumen, kemudahan konsumen untuk
menghubungi perusahaan, kemampuan petugas untuk berkomunikasi
dengan konsumen/pelanggan dan usaha perusahaan untuk memahami
kebutuhan pelanggannya (Nursalam, 2014).
4. Faktor yang Mempengaruhi Mutu
Berikut adalah beberapa faktor yang secara fundamental (Wijono,
2011) dapat mempengaruhi mutu suatu produk baik barang maupun jasa
antara lain:
a. Manusia (Man)
Berbicara tentang manusia, suatu organisasi tidak akan dapat
berdiri dan berproses tanpa adanya manusia di dalamnya. Dapat
dikatakan jika manusia menjadi kunci penting yang dapat menentukan
berjalan tidaknya suatu organisasi dengan baik. Terkait dengan
manusia, ada beberapa hal yang dapat menjadi kualifikasi penting
dalam menentukan mutu yang dihasilkan, antara lain jumlah (harus
cukup), pengalaman kerja dibidangnya dan kualifikasi pendidikan
orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut.
b. Keuangan (Money)
Keuangan memang bukan segalanya, namun jika suatu organisasi
ingin maju, ingin berkembang dan dapat menghasilkan produk yang
berkualitas tinggi, tentu membutuhkan biaya yang mencukupi.
Penyesuaian pembiayaan dalam peningkatan mutu pelayanan
memerlukan biaya yang cukup.
c. Bahan-bahan (Material)
Bahan-bahan ataupun peralatan menjadi faktor pendukung
terselenggarannya pelayanan kesehatan atau keperawatan yang
berkualitas. Kecukupan peralatan dan bahan-bahan habis pakai harus
diatur dengan baik sehingga kebutuhannya selalu tercukupi dan tidak
sampai kekurangan.
d. Machines and mechanization
Penyesuaian peralatan-peralatan dengan kebutuhan dan kemajuan
teknologi sangat diperlukan guna meningkatkan mutu pelayanan dan
kepuasan pelanggan.
e. Modern information methods
Informasi yang cepat dan akurat untuk Evidence Based sangat
diperlukan dalam menunjang mutu pelayanan. Dengan demikian, yang
dapat dilakukan oleh pihak manajemen adalah menyediakan akses
penting bagi semua personil, termasuk personil keperawatan untuk
memperoleh informasi-informasi penting yang terkait kemajuan-
kemajuan dunia keperawatan.
f. Pemasaran (Market)
Tuntutan pasar semakin tinggi dan luas sehingga harus direspons
secara cepat dan tepat.
g. Manajemen (Management)
Manajemen yang baik dengan selalu mengikuti alur-alur fungsi
manajemen sangat diperlukan (planning, organizing, actuating,
controlling atau model plan, do, check, action) dan juga dalam
menciptakan dan membuat struktur organisasi yang solid.
h. Motivasi (Motivation)
Motivasi tinggi menjadi salah satu kunci dalam memberikan
pelayanan keperawatan yang berkualitas. Motivasi yang tinggi akan
memberikan dukungan kepada setiap personil keperawatan untuk dapat
melakukan asuhan keperawatan yang terbaik. Dengan demikian,
outputnya adalah pelayanan keperawatan yang bermutu, dan
dampaknya pelanggan atau pasien merasa puas.
i. Mounting Products requirement
Persyaratan produk pelayanan yang meningkat yang diminta
pelanggan harus selalu dilakukan penyesuaianmutu secara terus
menerus secara dinamis.
5. Faktor Mutu yang dapat Dikontrol
a. Manusia (Man)
Di dalam unsur manusia (man) terdapat manusia (sumber daya
manusia yang ada) dapat dikendalikan dengan jumlah (harus cukup)
sesuai dengan ratio seharusnya antara perawat dan pasien, sehingga
tidak ada beban kerja yang berlebihan dan dapat meningkatkan
efektiftas dan kualitas pelayanan asuhan keperawatan, kemudian
pengalaman kerja dibidangnya dan kualifikasi pendidikan orang-orang
yang ada di dalam organisasi, hal ini dapat dikendalikan dengan
melakukan seleksi pegawai secara selektif sesuai dengan kemampuan.
Dalam hal ini komite keperawatan dengan sub komite kredensialing
berperan penting untuk dapat menghasilkan perawat yang kompeten
dan terampil di bidangnya.
b. Keuangan (Money)
Dalam peningkatan mutu layanan asuhan keperawatan diperlukan
adanya keuangan cukup dan pemanfaatan uang sesuai dengan
kebutuhan dan ketepatan manfaat.
c. Bahan-bahan (Material)
Dalam material terkait dengan segala kebutuhan habis pakai yang
dapat dipergunakan dalam operasional pelayanan pasien. hal ini dapat
dikendalikan dengan mengajukan barang-barang habis pakai guna
mendukung keberlangsungan dalam pelayanan keperawatan, dan
menggunakan segala peralatan tersebut secara efisien dan tepat guna.
Dalam material aterkait dengan segala peralatan yang dapat
dipergunakan dalam operasional pelayanan pasien. hal ini dapat
dikendalikan dengan mengajukan peralatan-peralatan guna mendukung
keberlangsungan dalam pelayanan keperawatan.
6. Persepsi Mutu
Pandangan atau sering disebut juga dengan persepsi merupakan
suatu proses dimana individu memberikan makna terhadap kesan indera
mereka pada saat memperoleh pelayanan kesehatan, setiap orang akan
mempunyai persepsi yang berbeda secara objektif, karena persepsi
merupakan penafsiran yang nyata dan masing-masing orang memandang
hal tersebut dari sudut perspektif yang berbeda (Robbins, 2008).
Persepsi mutu pelayanan kesehatan merupakan hasil dari
pengalaman dan apa yang mereka dapatkan dalam layanan kesehatan yang
nantinya mempunyai persepsi berbeda-beda tentang unsur penting dalam
menentukan mutu layanan kesehatan. Perbedaan ini antara lain disebabkan
oleh terdapatnya perbedaan latar belakang, pendidikan, umur, jenis
kelamin, pekerjaan, pengalaman, dan lingkungan (Wijono, 2011).
Persepsi mutu adalah pandangan seseorang terhadap stimulus yang
diterima dari panca indera, sehingga nantinya dapat memberikan penilaian
atas pelayanan yang mereka terima, jika sudah sesuai dengan apa yang
mereka harapkan maka para konsumen akan merasa puas akan pelayanan
yang telah mereka terima dan rasakan (Walgito, 2010).
7. Penilaian Mutu Pelayanan Keperawatan
a. Audit Struktur (Input)
Struktur merupakan masukan (input) yang meliputi sarana fisik
perlengkapan/peralatan, organisasi, manajemen, keuangan, sumber daya
manusia dan sumber daya lainnya dalam fasilitas keperawatan. Baik
tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari jumlah besarnya mutu,
mutu struktur, besarnya anggaran atau biaya dan kewajaran. Penilaian
juga dilakukan terhadap perlengkapan-perlengkapan dan instrumen
yang tersedia dan dipergunakan untuk pelayanan. Selain itu pada aspek
fisik, penilaian juga mencakup pada karakteristik dari administrasi
organisasi dan kualifikasi dari profesi kesehatan. Pendapat yang hampir
sama dikemukakan oleh Tappen (1995), yaitu bahwa struktur
berhubungan dengan pengaturan pelayanan keperawatan yang diberikan
dan sumber daya yang memadai (Wijono 2000). Aspek dalam
komponen struktur dapat dilihat melalui :
1) Fasilitas, yaitu kenyamanan, kemudahan mencapai pelayanan dan
keamanan
2) Peralatan, yaitu suplai yang adekuat dan seni menempatkan peralatan
3) Staf, meliputi pengalaman, tingkat absensi, rata-rata turnover dan
rasio pasien-perawat
4) Keuangan, yaitu meliputi gaji, kecukupan dan sumber keuangan.
5) Tenaga, obat tekhnologi dan informasi
b. Proses (Process)
Pendekatan ini merupakan proses yang mentransformasi struktur
(input) ke dalam hasil (outcome). Proses adalah kegiatan yang
dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan dalam hal ini
perawat dan interaksinya dengan pasien (Wijono 2000).
Kegiatan proses mencakup diagnosa, rencana perawatan, indikasi
tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Penilaian dilakukan terhadap
perawat dalam merawat pasien. Baik tidaknya proses dapat diukur dari
relevan tidaknya proses bagi pasien, fleksibelitas/efektifitas, mutu
proses itu sendiri sesuai dengan standar pelayanan yang semestinya, dan
kewajaran (tidak kurang dan tidak berlebihan). Pendekatan ini
difokuskan pada pelaksanaan pemberian pelayanan keperawatan
oleh perawat terhadap pasien dengan menjalankan tahap-tahap asuhan
keperawatan. Pada penilaiannya dapat menggunakan teknik observasi
maupun audit dari dokumentasi keperawatan. Indikator baik tidaknya
proses dapat dilihat dari kesesuaian pelaksanaan dengan standar
operasional prosedur, relevansi tidaknya dengan pasien dan efektifitas
pelaksanaannya.
c. Hasil (Outcome)
Pendekatan ini adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan perawat
terhadap   pasien. Adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan
baik positif maupun negatif. Baik tidaknya hasil dapat diukur dari
derajat kesehatan pasien dan kepuasan pasien terhadap pelayanan
perawatan yang telah diberikan (Wijono 2000).
Pada proses pelayanan keperawatan, outcome dapat berupa
perubahan yang terjadi pada konsumen termasuk kepuasan dari
konsumen. Tanpa mengukur hasil kinerja rumah sakit dan tidak
diketahui apakah input proses yang baik menghasilkan output yang baik
(Nursalam, 2014).
Pendekatan-pendekatan di atas dapat digunakan sebagai indikator
dalam melakukan penilaian terhadap mutu. Namun, sebagai suatu
sistem penilaian mutu sebaiknya dilakukan pada ketiga unsur dari
sistem tersebut yang meliputi struktur, proses dan hasil. Setelah
didapatkan hasil penilaiannya, maka dapat dilakukan strategi yang tepat
untuk mengatasi kekurangan atau penilaian negatif dari mutu pelayanan
tersebut. Seiring berjalannya waktu, strategi peningkatan mutu
mengalami perkembangan yang dapat menjadi wacana kita mengenai
strategi mana yang tepat dalam melakukan upaya yang berkaitan
dengan mutu pelayanan.
8. Upaya Peningkatan Mutu
Peningkatan mutu dapat dilakukan dengan berebagai cara yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Mengembangkan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit
b. ISO 9001:2000 yaitu standar internasional untuk sistem manajeman
kualitas yang bertujuan untuk menjamin kesesuaian proses pelayanan
keperawatan
c. Memperbaharui keilmuan untuk menjamin tindakan medis dan tindakan
keperawatan didukung oleh bukti ilmiah yang mutakhir
d. Good corporate governance
e. Clinical governance
f. Mengembangkan aliansi dengan rumah sakit di dalam ataupun luar
negeri
g. Melakukan evaluasi terhadap strategi pembiayaan
h. Orientasi ada pada pelayanan (Nursalam, 2014).

E. Diagnosis-Related Group (DRG)


Diagnosis Related Group (DRG) merupakan skema pengelompokan
pasien yang didasarkan pada keragaman kasus yang dialami pasien (case
mix). Keragaman kasus pasien didasarkan pada komorbiditas dan komplikasi
dan intensitas jenis pelayanan medis yang diterima pasien. Kompleks
berhubungan dengan jenis pelayanan medis yang diberikan. Intensif
berhubungan dengan jumlah pelayanan medis per pasien per hari atau
hospital stay. Diagnosis Related Group (DRG) merupakan metode
pembayaran pelayanan kesehatan prospektif berdasarkan perbedaan dalam
bauran case mix.
Keuntungan diterapkannya metode DRG adalah efisiensi kontrol biaya,
jaminan mutu pelayanan kesehatan dan perencanaan pelayanan kesehatan
yang lebih baik. Metode DRG merupakan sistem pembiayaan prospektif. Jika
rumah sakit menerapkan pembiayaan prospektif dan biaya dibayarkan tanpa
melihat lama pasien dirawat, maka rumah sakit akan terdorong untuk
menghindari pengeluaran biaya yang tidak penting, khususnya pada
pembayaran yang melebihi biaya aktual yang optimal. Jaminan mutu dapat
diterapkan dengan penerapan pemanfaatan (utilization), sehingga evaluasi
perawatan medik dapat berlangsung dengan efisien. Penerapan pembiayaan
prospektif dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan tenaga medik
dalam kasus tertentu akibat fluktuasi atau perubahan dari bauran case mix
(Hendrartini, 2007).

F. Pengaruh Diagnosis-Related Group (DRG) terhadap Mutu Layanan


Keperawatan
Metode Diagnosis Related Group (DRG) menuntut adanya tertib
administrasi terutama dalam kelengkapan rekam medis pasien. Pada
prosesnya pengelompokan diagnosis dalam DRG sangat tergantung dengan
informasi diagnosis yang tercatat dalam rekam medis. Ketidaksesuaian
klasifikasi pengelompokan diagnosis lebih banyak disebabkan oleh
ketidaklengkapan dalam pengisian rekam medis. Ketidaklengkapan pengisian
rekam medis merupakan permasalahan klasik di semua rumah sakit yang
mengadopsi metode DRG.
Upaya yang terlihat adalah meningkatkan atmosfir dalam bersikap
efisien dalam memberikan pelayanan kesehatan, maka perlu dikembangkan
media untuk membantu klinisi dalam memberikan informasi untuk
mendukung keputusannya dalam memberikan pelayanan kesehatan. Penulisan
pembahasan ini membangun aplikasi sistem pendukung keputusan klinis yang
bertujuan untuk membantu klinisi dalam memberikan informasi pada proses
pengambilan keputusan klinis terhadap pasien. Sistem pendukung keputusan
ini dibangun dengan pendekatan form perencanaan medis, dimana form ini
pada dasarnya sudah merupakan form harian yang harus diisi oleh klinisi.
Namun, form masih sebatas dipergunakan untuk menyusun rencana tindakan
medis yang akan diberikan kepada pasien. Belum digunakan untuk evaluasi
efisiensi pelayanan medis kepada pasien. Sistem pendukung keputusan klinis
ini dibangun untuk memberikan informasi khususnya mengenai efisiensi
biaya pelayanan medis.
Diagnosis Related Group (DRG) sudah diatur dalam permenkes nomor
27 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base
Groups (INA-CBGs). Sistem case mix pertama kali dikembangkan di
Indonesia pada Tahun 2006 dengan nama INA-DRG (Indonesia-Diagnosis
Related Group). Implementasi pembayaran dengan INA-DRG dimulai pada 1
September 2008 pada 15 rumah sakit vertikal, dan pada 1 Januari 2009
diperluas pada seluruh rumah sakit yang bekerja sama untuk program
Jamkesmas.
Pada tanggal 31 September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari
INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Group) menjadi INA-CBG
(Indonesia-Case Based Group) seiring dengan perubahan grouper dari 3M
Grouper ke UNU (United Nation University) Grouper. Dengan demikian,
sejak bulan Oktober 2010 sampai Desember 2013, pembayaran kepada
Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Lanjutan dalam Jaminan kesehatan
masyarakat (Jamkesmas) menggunakan INA-CBG. Sejak
diimplementasikannya sistem case mix di Indonesia telah dihasilkan 3 kali
perubahan besaran tarif, yaitu tarif INA-DRG Tahun 2008, tarif INA-CBG
Tahun 2013 dan tarif INA-CBG Tahun 2014. Tarif INA-CBG mempunyai
1.077 kelompok tarif terdiri dari 789 kode grup/kelompok rawat inap dan 288
kode grup atau kelompok rawat jalan, menggunakan sistem koding dengan
ICD-10 untuk diagnosis serta ICD-9-CM untuk prosedur atau tindakan.
Pengelompokan kode diagnosis dan prosedur dilakukan dengan
menggunakan grouper UNU (UNU Grouper). UNU-Grouper adalah Grouper
case mix yang dikembangkan oleh United Nations University (UNU) (PMK
27, 2014).
Dalam upaya peningkatan mutu salah satu indikator adalah kepuasan
pasien, dalam penggunaan biaya yang seefekktif mungkin merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan kepuasan pasien. Semakin rendah biaya yang
dikeluarkan maka pasien akan semakin puas. Oleh karena itu, pembiayaan
dengan sistem DRG akan mengontrol biaya yang pasien keluarkan dengan
melakukan pengelompokan tarif berdasarkan diagnose.
Upaya meningkatkan Diagnosis Related Group (DRG) agar lebih
maksimal klinisi dapat mendesain tindakan medis untuk pasien sejak awal,
sehingga prediksi lama pasien dirawat dan prediksi biaya pelayanan
kesehatan dapat diketahui lebih awal. Klinisi akan terdorong untuk mengisi
rekam medis dengan lengkap, karena telah mengetahui efek yang terjadi jika
rekam medis tidak diisi secara lengkap. Sistem pembayaran DRG
meningkatkan kendali terhadap pembiayaan pelayanan kesehatan,
menghasilkan outcome yang cukup terhadap tingkat kualitas pelayanan
kesehatan dan membutuhkan proses administrasi yang cukup rumit. Proses
administrasi yang rumit ini, terutama dalam hal pencatatan rekam medik
merupakan salah satu hambatan dalam proses pengklasifikasi koding
diagnosa dari pasien (Mukti, 2009).
Diagnosis Related Group (DRG) mendorong klinisi untuk memberikan
pelayan kesehatan yang efektif dan efisien berdasarkan desain tindakan medis
yang telah disusun sejak diagnosis untuk pasien ditegakkan. Desain tindakan
medis dapat memberikan prediksi biaya sejak awal, sehingga rumah sakit
dapat merencanakan pembiayaan rumah sakit dengan lebih baik. Apabila
klinisi peduli untuk berperilaku efisien dalam memberikan pelayanan
kesehatan, maka rumah sakit akan terdorong juga untuk menciptakan
atmosfer pelayanan kesehatan yang berkualitas. Rumah sakit dapat menjamin
mutu pelayanan kesehatan berdasarkan pemanfaatan atau utilitas sumber daya
pelayanan kesehatan yang dipergunakan berdasarkan desain tindakan medis,
sehingga dapat dipergunakan untuk mengembangkan clinical pathway.
sejalan dengan dibuatnya pengelompokan diagnosis yang berhubungan yaitu
Diagnostic Related Grouping (DRG), dokumentasi keperawatan semakin
maju dan menjadi mekanisme yang digunakan untuk menentukan
penggantian biaya terhadap perawatan yang diberikan. Dokumentasi yang
akurat dan lengkap serta menyeluruh dapat mempermudah penetapan DRG
dan penggantian biaya dengan tepat. Berkembangnya proses keperawatan
sebagai kerangka kerja untuk praktek, maka dokumentasi juga berkembang
menjadi penghubung yang esensial antara pemberian dan evaluasi asuhan
keperawatan yang telah diberikan kepada pasien/klien. Hampir semua aspek
dari dokumentasi keperawatan saat ini menjadi bagian permanen dari rekam
medis, lembar kerja seperti yang digunakan untuk mencatat semua tahapan
proses asuhan keperawatan. (Iyer & H, 2004) Untuk masa yang akan datang
diharapkan seluruh rumah sakit provider JKN bisa berkontribusi untuk
mengirimkan data koding dan data costing sehingga dapat dihasilkan tarif
yang mencerminkan actual cost pelayanan di rumah sakit.
G. Penutup
Pengembangan pelayanan kesehatan berbasis Diagnosis Related Group
(DRG) memerlukan sinergi dan sistem yang terpadu antara rumah sakit dan
pemberi pelayanan, mekanisme pembayaran pelayanan kesehatan berbasis
DRG adalah cara yang tepat untuk mengendalikan biaya pelayanan rumah
sakit, namun dapat mengurangi jumlah insentif yang didapat oleh pemberi
pelayanan karena secara selektif pasien dengan kasus yang sama akan
membayar dalam jumlah yang hampir sama. Dengan mekanisme ini
diharapkan Cost Contaimen untuk mengendalikan biaya kesehatan dan
peningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan. Bagi perawat akan
dituntut kemandirian dalam melakukan asuhan keperawatan sehingga insentif
yang sesuai dengan intervensi dan jasa keperawatan secara nyata akan
didapatkan oleh perawat.

H. Daftar Pustaka
Depkes (2007). Penggunaan system Casemix diambil tanggal 14 maret 2007
dari: http: //www.depkes.go.id/index.php?option=news&task
=viewarticle &sid=1522&itemid=2

Direktorat jend bina pelayanan Medik (2006) Pertemuan konsolidasi


penerapan Coding sistem & software Casemix Rumah Sakit
Makasar 13-16 maret 2007.

Gillies, Dee Ann. (1994) Nursing Management A System Approach,


3rd Edittion. USA: Saunders.

Hartono (2007). Diagnosis Related Group (DRG). diambil tanggal 14 maret


2007 dari http://www.gizi.net/cgi- bin/berita/ fullnews.

Hendrartini (2007). Alternatif pembayaran provider dalam asuransi kesehatan


Diambil tanggal 14 maret 2007 dari http://www.aihhw.gov.au

Hendrartini (2007). Metode Pembayaran Dokter : Konsep, Praktek, dan


Dampak Terhadap Kualitas Pelayanan Dokter, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Heurgren M (2000). Casemix and Costing the report patient classification
system For nursing diambil tanggal 25 april 2007 dari
hhtp://www.federation.of Country councils : Swedia
Home Care (2007). (http://www.cms.hhs.gov/Health Care Financing Riview/
Pas Articles/itemdetail,asp?filterTy.. : 3/25/2007)

ICN (2007). Diagnosis Related Group diambil tanggal 25 maret 2007 dari
http://www.icn.ch/matters.drg.htm

Nursalam (2008). Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam prektik


Keperawatan Profesional. Edisi 2. Jakarta: Salemba  Medika.

Nursalam (2014). Manajeman Keperawatan Aplikasi Dalam Praktik


Keperawatan Profesional. Edisi Ke 4 Penerbit : Salemba Medika.
Jakarta

Mukti (2009). Sistem Pembayaran Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)


Sebagai Bentuk Pengendalian Biaya Pelayanan Kesehatan,
Handout: Magister Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen
Asuransi/Jaminan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta).

Permenkes nomor 27 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian


Case Base Groups (INA-CBGs).

Sabarguna (2006). Sistem Bantu Keputusan Untuk Quality Management.


Konsorsium RS Islam Jateng-DIY. Yogyakarta.

UU No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

UU No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan.

Walgito (2010). Pengantar Psikologi Umum. Andi. Yogyakarta.

WHO (2007) Diagnosis Related Graup diambil tanggal 25 maret 2007


http://www.icn.ch/matters.drg.htm

Wijono (2011). Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan: Teori, Strategi dan


Aplikasi. Volume 2. Cetakan Kedua. Surabaya. Airlangga
Unniversity Press.

Anda mungkin juga menyukai