Anda di halaman 1dari 17

UJI SENSITIVITAS BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK

Nama : Bramassetyo Aji


NIM : B1A017051
Rombongan :I
Kelompok :4
Asisten : Krisdiana Eka Saputri

LAPORAN PRAKTIKUM BAKTERIOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

Antibiotik adalah senyawa kimia organik yang dihasilkan oleh mikroba dan
memiliki berat molekul rendah. Senyawa tersebut akan menghambat pertumbuhan
bakteri dalam konsentrasi yang rendah. Antibiotik akan menghambat membran sel,
sintesis asam amoni, sintesis protein dan menghambat dinding sel (Soekardjo, 1995).
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri yang memiliki
khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman-kuman sedangkan
toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Peneliti di seluruh dunia memperoleh banyak
zat lain dengan khasiat antibiotik namun berhubung dengan adanya sifat toksis bagi
manusia, hanya sebagian kecil saja yang dapat digunakan sebagai obat diantaranya
adalah streptomycin vial injeksi, Tetrasiklin kapsul, Kanamisin kapsul, Erytromicin
kapsul, Colistin tablet, Cefadroxil tablet dan Rifampisin kapsul Kegiatan antibiotika
untuk pertama kalinya ditemukan oleh sarjana Inggris dr. Alexander Flemming pada
tahun 1928 (Penisilin). Penemuan ini baru dikembangkan dan dipergunakan dalam
terapi di tahun 1941 oleh dr. Florey (Oxford) yang kemudian banyak zat lain dengan
khasiat antibiotik diisolir oleh penyelidik-penyelidik di seluruh dunia, akan tetapi
berhubung dengan sifat toksisnya hanya beberapa saja yang dapat digunakan sebagai
obat (Djide, 2003).
Antibiotik dibagi menjadi dua golongan berdasar kegiatannya yaitu
antibiotik yang memiliki kegiatan luas (Broad Spectrum), yaitu antibiotik yang dapat
mematikan Gram positif dan bakteri Gram negatif. Antibiotik jenis ini diharapkan
dapat mematikan sebagian besar bakteri, termasuk virus tertentu dan protozoa.
Golongan kedua adalah antibiotik yang memiliki kegiatan sempit (narrow spectrum).
Antibiotik golongan ini hanya aktif terhadap beberapa jenis bakteri. penicillin,
streptomisin, neomisin, basitrasina. Zat antimikroba dapat bersifat membunuh
mikroorganisme (microbicidal) atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme
(microbiostatic). Antibiotik yang termasuk kedalam kategori spektrum luas adalah
Tetrasiklin, Azithromisin, Moxiflosasin, Klaritomisin, Sefuroxime asetil,
Ciproflosasin, Oflosasin, Levoflosasin, Cefdinir, Gatiflosasin, dan Cefpodosime
prosetil. Antibiotik yang termasuk dalam kategori spektrum sempit contohnya
Amoksisilin, Sulfamethoxazole, Klindamisin, Doksiklisin, Eritromisin, Sefaleksin,
Minosiklin, dan Penisilin (Madigan & Martinko, 2006).
Menurut Soekardjo (1995), suatu antibiotik dikatakan ideal apabila
memenuhi syarat-syarat berikut, yaitu mempunyai kemampuan untuk mematikan
atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme secara luas, tidak menyebabkan
terjadinya resistant terhadap mikroorganisme patogen, tidak menimbulkan efek
samping yang buruk pada host, seperti reaksi alergi, kerusakan saraf, iritasi lambung
dan sebagainya, dan tidak mengganggu keseimbangan flora normal, seperti flora
usus atau flora kulit. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktifitas antibiotik, yaitu pH
lingkungan, mikroba dapat tumbuh dengan baik pada pH antara 6.0-8.0. Komponen
dalam media yaitu air, mineral misalnya Na, K, Zn, Mg, dan unsur C dan N.
Stabilitas obat, pada suhu penyimpanan ada beberapa antibiotika yang aktivitasnya
hilang, untuk itu eritromisin jangan disimpan pada suhu kamar karena potensinya
akan menurun tetapi bila disimpan pada suhu 50 C akan tahan beberapa minggu.
Ukuran inoculum, umumnya makin besar inoculum bacteria makin kurang tngkat
kepekaan organisme. Populasi bakteri kecil dapat menguntungkan karena kalau besar
menyebabkan sebagian bakteri menjadi resistenterhadap obat sehingga menghasilkan
daerah hambatan yang lebih sempit dari pada daerah hambatan yang sebenarnya.
Oleh karena itu dalam penelitian dibuat sama ukuran bakterinya yaitu 108 CFU/ml.
Perpanjangan waktu penyimpanan, memberikan kesempatan kepada sebagian bakteri
yang resisten untuk mengadakan pertumbuhan lagi karena aktivitas antibiotika
terhadap bakteri telah berkurang sehingga aktivitas antibiotika tidak jelas. Dalam
Penelitian ini waktu pengeraman 18-24 jam. Aktivitas metabolism organisme, oleh
karena itu dalam penelitian selallu digunakan bakteri yang dimudakan selama 3-4
jam (Jawetz et al., 2001).

Contoh bakteri yang dapat menghasilkan antibiotik antara lain Bacillus


brevis (penghasil antibiotik Kerotrisin), B. polymyxa (penghasil antibiotik
Polimiksin), B. subtilis (penghasil antibiotik Basitrasin), Penicillium chrysogenum
(penghasil antibiotik Penisilin), Streptomyces aureofaciens dan S. rimosus (penghasil
antibiotik Tetrasiklin), S. griseus (penghasil antibiotik Streptomisin), S. venezuelae
(penghasil antibiotik Chloramphenicol), S. noursei (penghasil antibiotik Nistatin), S.
nodosus (penghasil antibiotik Amphotericin), S. natalensis (penghasil antibiotik
Natamisin), S. erythreus (penghasil antibiotik Eritromisin), S. fradiae (penghasil
antibotik Neomisin), S. orientalis (penghasil antibiotik Vankomisin), S.mediterranei
(penghasil antibiotik Rifampisin), S. alboniger (penghasil antibiotik Puromisin), serta
S. lincolnensis (penghasil antibiotik Linkomisin) (Madigan & Martinko, 2006).
Antibiotik dalam melakukan efeknya harus dapat mempengaruhi bagian-
bagian vital sel seperti membran sel, enzim-enzim, dan protein struktural.
Menurut Usmiati (2012), cara kerja senyawa antibiotik dalam melakukan efeknya
terhadap mikroorganisme adalah sebagai berikut, yaitu menghambat metabolisme
sel, mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Mikroba
patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam amino benzoat (PABA) untuk
hidupnya. Contoh antibiotik yang bekerja dengan mekanisme ini adalah
Sulfonamida, Trimetoprim, dan asam p-aminosalisilat. Menghambat sintesis dinding
sel, antibiotik golongan ini dapat menghambat biosintesis peptidoglikan, sintesis
mukopeptida atau menghambat sintesis peptida dinding sel, sehingga dinding sel
menjadi lemah dan karena tekanan turgor dari dalam, dinding sel akan pecah atau
lisis sehingga bakteri akan mati. Contoh antibiotik yang bekerja dengan mekanisme
ini adalah Penisilin, Sefalosporin, Sikloserin, Vankomisin, Basitrasin, dan antifungi
golongan Azol. Menghambat sintesis protein, sel mikroba memerlukan sintesis
berbagai protein untuk kelangsungan hidupnya. Sintesis protein berlangsung di
ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Contoh antibiotik yang bekerja dengan
mekanisme ini adalah Chloramphenicol, Tetrasiklin, Eritromisin, Klindamisin, dan
Pristinamisin. Menghambat sintesis asam nukleat, contoh antibiotik yang bekerja
dengan mekanisme ini adalah kelompok Rifampisin dan golongan Kuinolon. Salah
satu derivat Rifampisin yaitu Rifampisin berikatan dengan enzim polimerase-RNA
(pada subunit), sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut.
Mengganggu keutuhan membran sel, polimiksin dan golongan Polien serta berbagai
kemoterapeutik lain, seperti antiseptik surface active agents merupakan senyawa
antimikroba yang dapat mengganggu keutuhan membran sel mikroba. Polimiksin
sebagai senyawa amonium kuartener dapat merusak membran sel setelah bereaksi
dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba. Polimiksintidak efektif terhadap
bakteri Gram positif karena jumlah fosfor bakteri ini rendah. Bakteri Gram negatif
menjadi resisten terhadap Polimiksin ternyata jumlah fosfornya menurun.
Uji sentifitas bakteri merupakan suatu metode untuk menentukan tingkat
kerentanan bakteri terhadap zat antibakteri dan untuk mengetahui senyawa murni
yang memiliki aktivitas antibakteri. Metode uji sensitivitas bakteri adalah metode
cara bagaimana mengetahui dan mendapatkan produk alam yang berpotensi sebagai
bahan antibakteri serta mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan
atau mematikan bakteri pada konsentrasi yang rendah. uji sentivitas bakteri
merupakan suatu metode untuk menentukan tingkat kerentanan bakteri terhadap zat
antibakteri dan untuk mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas antibakteri.
Seorang ilmuan dari perancis menyatakan bahwa metode difusi agar dari prosedur
Kirby-Bauer, sering digunakan untuk mengetahui sensitivitas bakteri. Prinsip dari
metode ini adalah penghambatan terhadap pertumbuhan mikroorganisme, yaitu zona
hambatan akan terlihat sebagai daerah jernih di sekitar cakram kertas yang
mengandung zat antibakteri. Diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri
menunjukkan sensitivitas bakteri terhadap zat antibakteri. Selanjutnya dikatakan
bahwa semakin lebar diameter zona hambatan yang terbentuk bakteri tersebut
semakin sensitif (Gaman & Sherrington, 1992). Minimum Inhibitory Concentration
(MIC) didefinisikan sebagai konsentrasi terendah antimikroba yang akan
menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang terlihat setelah semalam
diinkubasi. MIC digunakan oleh laboratorium diagnostik, terutama untuk konfirmasi
perlawanan, namun paling sering sebagai alat riset untuk menentukan in-vitro
aktivitas antimikroba baru, dan data dari studi tersebut telah digunakan untuk
menentukan MIC breakpoints (Andrews, 2001).
Resistant adalah kemampuan dari bakteri atau mikroorganisme lain untuk
menahan efek antibiotik. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri dapat merubah
diri sedemikian rupa hingga dapat mengurangi efektivitas dari suatu obat, bahan
kimia ataupun zat lain yang sebelumnya dimaksudkan untuk menyembuhkan atau
mencegah penyakit infeksi. Akibatnya bakteri tersebut tetap dapat bertahan hidup &
bereproduksi sehingga makin membahayakan. Menurut Soleha (2015), resistensi
bakteri dapat terjadi melalui mekanisme berikut ini, yaitu pengurangan akses
antibiotik ke target porin pada membran luar, inaktivasi enzim β-lactamase,
modifikasi atau proteksi target resistantsi terhadap β-lactamase, kegagalan aktivasi
antibiotik, dan efluks aktif antibiotik.
Tujuan dari praktikum uji sensitivitas bakteri terhadap antibiotik adalah
mahasiswa mampu melakukan uji sensitivitas senyawa antibiotik secara kualitatif
dan kuantitatif.
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah cawan petri,
tabung reaksi, kertas cakram, pembakar bunsen, pipet ukur 1 ml, filler, cotton bud
steril, pinset, label, dan tissue.
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah isolat cair
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus, medium Nutrient Agar (NA),
medium Nutrient Broth (NB), antibiotik (Kloramfenikol, Tetrasiklin,
Streptomisin, dan Eritromisin) pada konsentrasi berbeda (64 μg/mL, 128 μg/mL,
256 μg/mL, dan 512 μg/mL) , wrapper, dan korek api.

B. Cara Kerja
Metode yang digunakan pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut :
1. Uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC)
Secara aseptis sebanyak 0,5 mL isolat cair Staphylococcus aureus atau
Escherichia coli disuspensikan masing-masing ke dalam 16 tabung yang
berisi medium Nutrient Broth 4 mL. Setelah itu, tiap 4 tabung medium
Nutrient Broth tadi ditambahkan antibiotik Kloramfenikol masing-masing
sebanyak 0,5 ml dengan masing-masing Kloramfenikol terdapat 4
konsentrasi berbeda yaitu 64 μg/mL, 128 μg/mL, 256 μg/mL, dan 512 μg/mL.
Sebanyak 4 tabung medium Nutrient Broth ditambahkan antibiotik
Tetrasiklin masing-masing sebanyak 0,5 ml dengan masing-masing
Tetrasiklin terdapat 4 konsentrasi berbeda yaitu 64 μg/mL, 128 μg/mL, 256
μg/mL, dan 512 μg/mL. Sebanyak 4 tabung medium Nutrient Broth
ditambahkan antibiotik Streptomisin masing-masing sebanyak 0,5 ml dengan
masing-masing Streptomisin terdapat 4 konsentrasi berbeda yaitu 64 μg/mL,
128 μg/mL, 256 μg/mL, dan 512 μg/mL. Sebanyak 4 tabung medium
Nutrient Broth ditambahkan antibiotik Eritromisin masing-masing sebanyak
0,5 ml dengan masing-masing Eritromisin terdapat 4 konsentrasi berbeda
yaitu 64 μg/mL, 128 μg/mL, 256 μg/mL, dan 512 μg/mL. Seluruh tabung
dinkubasi selama 1 x 24 jam pada suhu 37oC. Setelah diinkubasi, dilihat
interpretasinya dengan mengamati tingkat kekeruhan pada setiap konsentrasi
antibotik. Jika terdapat kekeruhan, maka antibiotik tersebut tidak mampu
menghambat bakteri yang disuspensikan. Kultur jernih didapatkan pada
konsentrasi terendah.
2. Uji Kirby-Bauer
Medium NA pada cawan petri dibagi menjadi 4 zona. Cotton bud
steril dicelupkan ke dalam isolat cair Staphylococcus aureus atau Escherichia
coli, lalu diulas (lawn) searah ke medium NA pada cawan petri. Masing-
masing kertas cakram yang sudah diberi antibiotik berbeda (Kloramfenikol,
Streptomisin, Eritromisin, dan Tetrasiklin) diambil dengan pinset dan
diletakkan di tengah masing-masing zona pada medium NA yang sudah
dibagi sebelumnya. Setiap satu zona berisi satu kertas cakram dengan
antibiotik yang berbeda. Setelah itu, diinkubasi selama 1 x 24 jam pada suhu
37oC. Setelah masa inkubasi, diukur zona penghambatan yang terbentuk pada
masing-masing antibiotik terhadap biakan bakteri Staphylococcus aureus atau

d 1+ d 2
Escherichia coli dengan rumus . Hasil pengukuran dibandingkan
2
dengan standar zona penghambatan dari masing-masing antibiotik dan
ditentukan pengaruh yang resistant, intermediate, dan sensitive dari bakteri
uji terhadap masing-masing antibiotik. Hasil perhitungan zona hambat dapat
dicocokkan dengan tabel berikut :
Tabel Antibiogram Escherichia coli
Antibiotik Resistant (mm) Intermediate (mm) Sensitive (mm)
Kloramfenikol ≤ 15 16-17 ≥ 18
Tetrasiklin ≤ 14 15-18 ≥ 19
Eriromisin - - -
Streptomisin ≤ 11 12-14 ≥ 15
Tabel Antibiogram Staphylococcus aureus
Antibiotik Resistant (mm) Intermediate (mm) Sensitive (mm)
Kloramfenikol ≤ 15 16-17 ≥ 18
Tetrasiklin ≤ 18 19-22 ≥ 23
Eriromisin ≤ 13 14-22 ≥ 23
Streptomisin - - -

.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 3.1 Hasil Uji Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik Rombongan I


MIC (μg/mL) Kirby-Bauer (mm)
Kel. Isolat Kloram- Strepto- Eritro- Tetra- Kloram- Strepto- Eritro- Tetra-
fenikol misin misin siklin fenikol misin misisn siklin
1 E. coli - 64 512 64 31 33 27,5 40,5
2 E. coli 512 256 - 64 31,5 35 35 39
3 S. aureus 256 256 256 64 30 31 34,5 41
4 S. aureus 512 256 256 64 32,5 47,5 25 42,5
5 E. coli - 64 512 64 31,5 40 25 37,5
6 S. aureus 512 512 512 64 29,5 30,5 26 43,5

Data Penghitungan:
Uji Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik Metode Kirby-Bauer
Tetrasiklin  _4 + 4,5_ = 8,5 = 4,25 42,5 mm (Sensitive)
2 2
Eritromisin  _2,5 + 2,5 = 5 = 2,5  25 mm (Sensitive)
2 2
Streptomisin  _3 + 6,5_ = 9,5 = 4,75  47,5 mm (Sensitive)
2 2
Kloramfenikol  _4 + 2,5_ = 6,5 = 3,25  32,5 mm (Sensitive)
2 2
Berdasarkan data tabel dan penghitungan di atas, kelompok 4 rombongan I
memiliki hasil uji sensitivitas bakteri Staphylococcus aureus terhadap antibiotik
didapatkan hasil penghitungan uji Kirby-Bauer pada antibiotik Tetrasiklin
diameter rata-rata koloni adalah 42,5 mm, antibiotik Eritromisin diameter rata-rata
koloni adalah 25 mm, antibiotik Streptomisin diameter rata-rata koloni adalah
47,5 mm, dan antibiotik Kloramfenikol diameter rata-rata koloni adalah 32,5 mm.
Hasil uji minimum inhibitory concentration (MIC) medium Nutrient Broth (NB)
dengan warna paling jernih didapatkan pada penambahan antibiotik Tetrasiklin 64
μg/mL, antibiotik Kloramfenikol 512 μg/mL, antibiotik Streptomisin 256 μg/mL,
dan antibiotik Eritromisin 256 μg/mL.
A B

C D

Gambar 3.1. Hasil Uji Sensitivitas Bakteri Staphylococcus aureus


terhadap Antibiotik Metode Kirby-Bauer Kelompok 4
Rombongan I
Keterangan : A. Pemberian Antibiotik Kloramfenikol
B. Pemberian Antibiotik Tetrasiklin
C. Pemberian Antibiotik Eritromisin
D. Pemberian Antibiotik Streptomisin
Berdasarkan gambar di atas hasil uji sensitivitas senyawa antibiotik
metode Kirby-Bauer pada antibiotik Eritromisin dengan isolat uji
Staphylococcus aureus didapatkan diameter zona hambat sebesar 25 mm. Isolat
Staphylococcus aureus dinyatakan sensitive terhadap semua antibiotik yang
diujikan. Eritromisin merupakan antibiotik yang efektif menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang memiliki kemampuan resisten
yang cukup tinggi (Khan et al., 2015). Hal ini sesuai dengan pernyataan Saha et
al. (2008), bahwa Eritromisin merupakan spektrum sempit yang efektif dalam
menghambat S. aureus karena merupakan bakteri Gram positif. Eritromisin
merupakan antibiotik golongan makrolida yang bekerja dengan berikatan pada
ribosom subunit 50S sehingga menghambat sintesis protein bakteri.
Hasil uji sensitivitas senyawa antibiotik metode Kirby-Bauer pada
antibiotik Kloramfenikol dengan isolat uji Staphylococcus aureus didapatkan
diameter zona hambat sebesar 32,5 mm dinyatakan sensitive. Kloramfenikol
merupakan antibiotik berspektrum luas yang bekerja dengan cara menghambat
proses sintesis protein yang terjadi pada sel bakteri. Kloramfenikol akan
berikatan secara reversibel dengan unit ribosom 50S sehingga mencegah ikatan
antara asam amino dengan ribosom. Kloramfenikol akan berikatan secara
spesifik dengan akseptor (tempat ikatan awal dari aminoasil t-RNA) atau pada
bagian peptidil yang merupakan tempat ikatan kritis untuk perpanjangan rantai
peptida sehingga bakteri tidak mampu untuk melakukan proses vital untuk
berkembang (Katzung, 2000).
Hasil uji sensitivitas senyawa antibiotik metode Kirby-Bauer pada
antibiotik Tetrasiklin dengan isolat S. aureus sebesar 42,5 mm dinyatakan
sensitive. Menurut Rice (2004), bakteri yang sensitif terhadap Tetrasiklin
menunjukkan bahwa bakteri tersebut masih memiliki sisi pengenalan target
Tetrasiklin. Tetrasiklin bekerja dengan inhibisi proses translasi di mana ribosom
sel menghasilkan protein yaitu dengan mengikat ikatan subunit kecil 16S
ribosom dari subunit 30S lalu menghambat amino-asetil tRNA dari mengikat ke
tapak pengikatan pada ribosom. Hal ini menyebabkan proses sintetis bakteri
gagal sehingga bakteri tidak mampu untuk berkembang.
Hasil uji sensitivitas senyawa antibiotik metode Kirby-Bauer pada
antibiotik Streptomisin dengan isolat S. aureus sebesar 47,5 mm dinyatakan
sensitive. Streptomisin merupakan antibiotik yang memiliki spektrum kerja yang
sempit (narrow spectrum). Antibiotik golongan ini hanya aktif terhadap
beberapa jenis bakteri saja (Dyah, 2015). Streptomisin merupakan antibiotik
yang bekerjanya adalah mengganggu sintesis protein, terutama di ribosom.
Antibiotik ini mampu menghambat pertumbuhan bakteri yang sensitive dengan
terbentuk zona jernih di sekitar koloni (Sasongko, 2015).

A B C D

Gambar 3.2. Hasil Uji Sensitivitas Bakteri Staphylococcus aureus


terhadap Antibiotik Metode Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) dengan Antbiotik Kloramfenikol
Kelompok 4 Rombongan I
Keterangan : A. Konsentrasi Kloramfenikol 64 μg/mL
B. Konsentrasi Kloramfenikol 128 μg/mL
C. Konsentrasi Kloramfenikol 256 μg/mL
D. Konsentrasi Kloramfenikol 512 μg/mL
Berdasarkan gambar di atas, hasil uji gambar di atas menunjukkan bahwa
pada antibiotik Kloramfenikol konsetrasi 512 μg/ml, pertumbuhan S. aureus
dapat dihambat. Hasil tersebut terlihat dari gambar di atas yaitu tingkat
kekeruhan medium NB paling rendah dan lebih jernih pada antibiotik
Kloramfenikol konsetrasi 512 μg/ml. Salah satu jenis antibiotik adalah
kloramfenikol. Kloramfenikol adalah antibiotik spektrum luas yang efektif
terhadap beberapa jenis bakteri dan kuman anaerob (Dian, 2015).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, tidak bergerak, tidak
berspora dan mampu membentuk kapsul. Ukuran Staphylococcus berbeda-beda
tergantung pada media pertumbuhannya, jika ditumbuhkan pada media agar
memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan koloni berwarna kuning. Dinding selnya
mengandung asam teikoat, yaitu sekitar 40% dari berat kering dinding selnya.
Asam teikoat adalah beberapa kelompok antigen dari Staphylococcus.
Mekanisme kerja Kloramfenikol bekerja dengan mengikat Subunit 50S ribosom
bakteri dan menghambat sintesis protein kuman. Zat yang dihambat ialah enzim
peptidil trasferase yang merupakan katalisator untuk pembentukan ikatan-ikatan
peptida pada proses sintesis protein kuman. Karena kemiripan ribosom
mitokondria mamalia dengan bakteri, sintesis protein pada organela ini dihambat
dengan kadar Kloramfenikol tinggi yang dapat menimbulkan toksisitas sumsum
tulang. Efek toksiknya pada sel Mammalia terutama terlihat pada sistem
hemopoetik dan diduga berhubungan dengan mekanisme kerja antibiotik (Volk
& Wheeler, 1988).

A B C D

Gambar 3.3. Hasil Uji Sensitivitas Bakteri Staphylococcus aureus


terhadap Antibiotik Metode Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) dengan Antbiotik Tetrasiklin
Kelompok 4 Rombongan I
Keterangan : A. Konsentrasi Tetrasiklin 64 μg/mL
B. Konsentrasi Tetrasiklin 128 μg/mL
C. Konsentrasi Tetrasiklin 256 μg/mL
D. Konsentrasi Tetrasiklin 512 μg/mL
Berdasarkan gambar di atas, hasil uji gambar di atas menunjukkan bahwa
pada antibiotik Tetrasiklin konsetrasi 64 μg/ml, pertumbuhan S. aureus dapat
dihambat. Hasil tersebut terlihat dari gambar diatas, dimana tingkat kekeruhan
medium NB paling rendah dan lebih jernih pada antibiotik Tetrasiklin konsetrasi
64 μg/ml. Antibiotik tetrasiklin mampu menghambat pertumbuhan bakteri S.
aureus. Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial hasil biosintesis yang
memiliki spektrum aktivitas luas. Mekanisme kerjanya yaitu blokade terikatnya
asam amino ke ribosom bakteri (subunit 30S). Aksi yang ditimbulkannya adalah
bakteriostatik yang luas terhadap Gram positif, Gram negatif, Chlamydia,
Mycoplasma, bahkan Rickettsia. Antibiotik tetrasiklin dapat menghambat
sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Masuknya antibiotik ke dalam ribosom
bakteri, pertama disebut dengan difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua yaitu
sistem transport aktif, setelah masuk maka antibiotik berikatan dengan ribosom
30S dan menghalangi masuknya tRNA asam amino pada lokasi asam amino.
Protein tidak diproduksi oleh karena itu pertumbuhan bakteri terhambat (Tjay &
Rahardja, 2002).
Tetrasiklin memiliki aktivitas bakterisidal dan termasuk jenis antibiotik
yang mencegah sintesis protein dengan mengikat subunit ribosom 30S. Efek
pelepasan dan penghambatan Tetrasiklin terdapat pada agregat magnetik struktur
nano. Tetrasiklin memilik kesaaman fungsi dengan antibiotik spektrum luas
semi sintetis bakterisida yaitu rifampisin. Tetrasiklin adalah inhibitor kuat RNA
polimerase pada DNA. Tetrasiklin adalah antibakteri yang digunakan dalam
kombinasi dengan obat lain untuk mengobati Tuberkulosis. Pelepasan antibiotik
dan sensitivitasnya pada bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus) dan
bakteri Gram negatif (E. coli) biasanya dapat dilihat dengan metode difusi sumur
agar (Prakash et al., 2019).
A B C D

Gambar 3.4. Hasil Uji Sensitivitas Bakteri Staphylococcus aureus


terhadap Antibiotik Metode Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) dengan Antbiotik Eritromisin
Kelompok 4 Rombongan I
Keterangan : A. Konsentrasi Eritromisin 64 μg/mL
B. Konsentrasi Eritromisin 128 μg/mL
C. Konsentrasi Eritromisin 256 μg/mL
D. Konsentrasi Eritromisin 512 μg/mL
Berdasarkan gambar di atas, hasil uji gambar diatas menunjukkan
bahwa pada antibiotik Eritromisin konsetrasi 256 μg/ml, pertumbuhan S. aureus
dapat dihambat. Hasil tersebut terlihat dari gambar diatas, dimana tingkat
kekeruhan medium NB paling rendah dan lebih jernih pada antibiotik
Eritromisin konsetrasi 256 μg/ml. Eritromisin dapat menghambat pertumbuhan
S. aureus. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Katzung (2014), bahwa
Eritromisin merupakan antibiotik yang memiliki spektrum cukup luas terhadap
bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes dan
Streptococcus pneumoniae) dan Gram negatif (Haemophilus influenzae,
Pasteurella multocida, Brucella, dan Rickettsia) maupun mikoplasma
(Chlamydia), namun tidak memiliki aktivitas terhadap virus, ragi ataupun jamur.
Antibiotik yang dikelompokkan ke dalam golongan Makrolida yang bersifat
bakteriostatik atau bakteriosidal, tergantung dari jenis bakteri dan kadarnya
dalam darah (Rahman, 2011).
Sintesis protein mikroba berlangsung di ribosom dengan bantuan
mRNA dan tRNA. Ribosom bakteri terdiri atas dua subunit yang berdasarkan
konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S. Supaya
berfungsi pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal
rantai mRNA menjadi ribosom 70S. Mekanisme antibiotik ini adalah dengan
menghambat reaksi transfer antara donor dengan aseptor atau menghambat
translokasi t-RNA peptidil dari situs aseptor ke situs donor yang menyebabkan
sintesis protein terhenti (Usmiati, 2012).
A B C D

Gambar 3.5. Hasil Uji Sensitivitas Bakteri Staphylococcus aureus


terhadap Antibiotik Metode Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) dengan Antbiotik Streptomisin
Kelompok 4 Rombongan I
Keterangan : A. Konsentrasi Streptomisin 64 μg/mL
B. Konsentrasi Streptomisin 128 μg/mL
C. Konsentrasi Streptomisin 256 μg/mL
D. Konsentrasi Streptomisin 512 μg/mL
Berdasarkan gambar di atas, hasil uji gambar diatas menunjukkan
bahwa pada antibiotik Streptomisin konsetrasi 512 μg/ml, pertumbuhan S.
aureus dapat dihambat. Hasil tersebut terlihat dari gambar diatas, dimana tingkat
kekeruhan medium NB paling rendah dan lebih jernih pada antibiotik
Streptomisin konsetrasi 512 μg/ml. Menurut Dhanasekaran (2005), S. aureus
lebih sensitif terhadap antibiotik Streptomisin yang dihasilkan oleh bakteri
Streptomyces griseus. Streptomisin merupakan antibiotik golongan
aminoglikosida, antibiotik ini bekerja dengan cara menghambat sintesis protein.
Mekanisme kerja dari Streptomisin yaitu tahap awal adalah perlekatan
aminoglikosida pada reseptor protein spesifik yaitu subunit 30S pada ribosom
bakteri dan selanjutnya aminoglikosida akan menghambat aktivitas kompleks
inisiasi dari pembentukan peptida (mRNA + formyl methionine + tRNA).
Kemudian pesan mRNA akan dibaca salah oleh wilayah pengenalan pada
ribosom, sehingga terjadi insersi asam amino yang salah pada peptida yang
menghasilkan protein nonfungsional. Sebagai akibat terakhir perlekatan
aminoglikosida akan menghasilkan pecahnya polisom menjadi monosom yang
tidak mampu mensintesis protein.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat diambil


kesimpulan yaitu kelompok 4 rombongan I memiliki hasil uji sensitivitas
bakteri Staphylococcus aureus terhadap antibiotik secara kuantitatif yaitu
didapatkan hasil penghitungan uji Kirby-Bauer pada antibiotik Tetrasiklin
diameter rata-rata koloni adalah 42,5 mm, antibiotik Eritromisin diameter
rata-rata koloni adalah 25 mm, antibiotik Streptomisin diameter rata-rata
koloni adalah 47,5 mm, dan antibiotik Kloramfenikol diameter rata-rata
koloni adalah 32,5 mm. Hasil uji kualitatif dengan metode minimum
inhibitory concentration (MIC), medium Nutrient Broth (NB) dengan warna
paling jernih didapatkan pada penambahan antibiotik tetrasiklin 64 μg/mL,
antibiotik Kloramfenikol 512 μg/mL, antibiotik streptomisin 256 μg/mL, dan
antibiotik eritromisin 256 μg/mL.

B. Saran
Saran dalam praktikum kali ini adalah sebaiknya setiap praktikan
menghargai detik-detik terakhir praktikum Bakteriologi dan mengisinya
dengan sikap yang baik karena asisten praktikum akan memberikan materi
praktikum yang sangat bermanfaat. Praktikan seharusnya tidak berpikir cepat
pulang sehingga praktikan dapat menikmati acara praktikum dan ilmunya
masuk ke otak.
DAFTAR PUSTAKA

Andrews, J. M., 2001. Determination of Minimum Inhibitory Concentrations.


Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 48(3), pp. 5-16.
Dhanasekaran, D., 2005. Screening of Salt Pans Actinomycetes for Antibacterial
Agents. Journal Microbiology, 1(2), pp.1-6.
Dian, F., 2015. Uji Resistensi Bakteri yang Diisolasi dari Plak Gigi terhadap Merkuri
dan Antibiotik Kloramfenikol. Jurnal e-Biomedik (eBm), 3(1), pp. 1-7.
Djide, M. N., 2003. Mikrobiologi Farmasi. Makassar: Jurusan Farmasi Unhas.
Dyah, A. K., 2015. Uji Resistensi Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia
coli dari Isolat Susu Sapi Segar terhadap Beberapa Antibiotik. Jurnal
Peternakan, 1(5), pp. 15-22.
Gaman, P. M., & Sherrington, K. B., 1992. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi, dan Mikrobiologi, Edisi Kedua. Yogyakarta: UGM Press.
Jawetz, E., George F. B., Janet, S. B.,& Stephen, A. M., 2001. Mikrobiologi
Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: Penerbit EGC.
Katzung, B. G., 2000. Basic and Clinical Pharmacology. Journal of Antimicrob
Chemother, 52(1), pp. 61-64.
Katzung, B. G., 2014. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit EGC.
Khan, F., Ali, S., Sultan, A., Rizvi, M., Khatoon, A., Shukla, I. & Khan, H. M., 2015.
A Study of Inducible Clindamycin Resistance in Erythromycin Resistant
Clinical Isolates of Staphylococcus sp. Asian Journal of Medical
Sciences, 6(6), pp. 48-52.
Madigan, M. T., & Martinko, J. M., 2006. Brock Biology of Microorganisms 11th
Edition. New Jersey: Pearson Education.
Prakash, N., Madeeha, S., Abdul, S., & Elcey, C. D., 2019. Cytotoxicity of
Functionalized Iron Oxide Nanoparticles Coated with Rifampicin and
Tetracycline Hydrochloride on Escherichia coli and Staphylococcus
aureus. Applied Nanoscience, 9(1), pp. 1353-1366.
Rahman, I. R., 2011. Uji Stabilitas Fisik dan Daya Antibakteri Suspense Eritromisin
dengan Suspending Agen Gummi Arabici. Pharmacon, 12(2), pp.44-49.
Rice, B. L., 2004. Mechanism of Bacterial Resistance to Antimicrobial Agents.3rd
Edition. New York: Lippincort William & Wilkins.
Saha, S., Savage, P. B. & Bal, M., 2008. Enhancement of the Efficacy of
Erytromycin in Multiple Antibiotik Resistent Gram-Negative Bacterial
Pathogen. Journal of Applied Microbiology, 10(2), pp. 822-828.
Sasongko, H., 2015. Uji Resistensi Bakteri Escherichia Coli dari Sungai Boyong
Kabupaten Sleman terhadap Antibiotik Amoksisilin, Kloramfenikol,
Sulfametoxasol, dan Streptomisin. Jurnal Bioedukatika, 2(1), 27-35.
Soekardjo, S. B., 1995. Kimia Medisinal. Jakarta: Airlangga University Press.
Soleha, T. U., 2015. Uji Kepekaan terhadap Antibiotik. Jurnal Kedokteran UNILA,
5(9), pp. 118-123.
Tjay & Rahardja, 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Pengunaaan dan Efek
Sampingnya Edisi V. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Gramedia.
Usmiati, S., 2012. Daging Tahan Simpan dan Bakteriosin. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 34(2), pp.12-14.
Volk & Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar. Edisi Kelima. Jilid I. Penerbit Erlangga.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai