NIM : 1802050241
TM 10
INTELEKTUAL MUSLIM
A. PENDAHULUAN
Salah satu unsur terpenting dalam diri manusia adalah karena ia di anugerahi potensi akal
yang dapat berfikir dan memecahkan masalah-masalah kehidupannya. Dan sudah tercatat
dalam sejarah, sebuah peradaban yang pernah tampil di atas pentas kehidupan selalu ditandai
dari meningkatnya taraf berfikir. Perubahan besar yang dialami seluruh kawasan dunia eropa
dan negara-negara barat lainnya dari cengkeraman abad pertengahan menuju era
kebangkitannya atau yang lebih popular dengan masa renaissance adalah disebabkan karena
bangkitnya para pemikir dan filosof untuk menentang kejumudan berfikir akibat legitimasi
doktrinal kalangan gereja dan penguasa-penguasa dzalim yang mengatas namakan agama demi
kekuasaan dan penindasan terhadap rakyat. Hasil pergulatan antara pemikiran kebangkitan
yang dipimpin oleh para pemikir dan filosof dengan para penguasa dan kalangan gereja tentu
telah melahirkan perubahan mendasar dalam kesejarahan masyarakat eropa. Dan satu hal yang
pasti bahwa setiap pemikiran yang memiliki metode untuk mewujudkannya dalam realitas
kehidupan selalu meraih kemenangan kendati pada permulaannya dilalui dengan pengorbanan
yang sengit dan jalanan yang terjal. Demikian pula yang terjadi pada pertumbuhan dan
peradaban Islam, ia lahir dari jepitan budaya barbar yang tidak memiliki peradaban apapun,
tidak terekam sama sekali oleh sejarah bahwa masyarakat yang melahirkan peradaban besar
tersebut sebelumnya memiliki prestasi berfikir yang patut dibanggakan dan dapat di analisa
menjadi embrio kelahiran dan benih-benih kemunculan peradaban Islam. Masyarakat Jahiliyah
sebelum Islam datang adalah masyarakat pedalaman yang dikurung oleh sifat egoisme cultural,
pertentangan suku serta kebanggaan terhadap nenek moyang Kedatangan Rasulullah SAW
dengan membawa Risalah yang agung adalah jelas merupakan satu hal baru bagi masyarakat
jahiliyah, oleh karena itu mereka semula menentang mati-matian. Yang pada gilirannya Islam
mampu memberikan pencerahan pemikiran terhadap mereka sehingga Arab lalu berhasil keluar
dari kejumudan berfikir dan tampil sebagai masyarakat dengan peradaban yang bisa
menantang kepongahan dua adidaya besar yaitu Romawi dan Persia.
Fakta ini mengungkapkan satu rahasia terbesar yang patut direnungkan dan dikaji secara
filosofis bahwa pemikiran adalah hal terpenting bagi jatuh bangunnya sebuah peradaban.
Melalui aktifitas berfikir ini sebuah masyarakat akan mengalami kemajuan dan kebangkitannya,
sekaligus melalui pola berfikir pulalah sebuah masyarakat justru merosot tajam dan terhempas
dalam keterpurukannya. Berdasarkan kajian secara kritis, maka penulis sengaja
mengetengahkan corak pemikiran para filosof Islam, terutama Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibn Sina.
Apakah pemikiran filsafat mereka telah memberikan kontribusi besar bagi terwujudnya
peradaban Islam gemilang dan menjadi sebab bagi kemajuan-kemajuan yang diraih? Atau
eksistensi pemikiran mereka adalah akibat dari derasnya pemikiran sebagai kelanjutan dari
metode berfikir khas Islam, atau malah justru menambah kerumitan dan problema tersendiri
bagi keberlangsungan peradaban ini.
Nama lengkap dari Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Husain bin Abdullah Bin Sina
Lahir di Afsyana (dekat Kawasan Bukharah), pada tahun 370 H (980M) pada masa
penguasa Samanish Nuh II bin Mansyur
Pada usia 10 tahun sudah hafal Alquran dan pada usia 18 tahun telah menguasai
seluruh cabang ilmu pengetahuan (hokum, logika, matematik, fisika, politik kedokteran
dan filsafat)
Pada masa kecil, ia dibimbing dan dididik Abu Abdulah Natili, Abu bkar Al-Khawarizmi,
dan ayahnya sendiri Abdullah bin Sina
Beliau Wafat pada tahun 1037 M, usia 58 tahun. Dan dikebumikan di Hamedan (Irak)
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri
dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali
ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa
manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada
badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih
berhajat pada badan.
Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya
hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles
menolak suatu pandangan dua sublansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk
dari dualisme radikal. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih
langsung tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen,
tetapi sebagai pembuka mata.
c.) KeNabian
Pada usia 20 tahun telah menghasilkan karya-karya cemerlang yaitu 267 karangan. Diantara
karyanya yang terpenting adalah:
a. Qonun fi al-Tib, buku dalam bidang kedokteran. Pernah menjadi satu-satunya rujukan
dalam bidang kedokteran di Eropa kurang lebih 5 abad
b. Ash-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, terdiri dari 4
bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). Buku ini
mempunyai naskah yang tersebar diberbagai perpustaan barat dan timur.
c. An-Najat, buku ini berisikan ringkasan dari Ash-Syifa dan juga membahas tentang
pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa
d. Fi Aqsami al-’Ulumi al-aqliyyah, kitab hasil karya dalam bidang ilmu fisika
f. Al-Isharat wa al-Tanbihat, kitab hasil karya dalam bidang logika dan hikmah.
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Al-Uzalagh.
Al-Farabi lahir pada tahun 257 H /870 M di Wasij, distrik Farab (sekarang dikenal
dengan kota Atrar/Transoxiana), Turkistan. Beliau wafat pada tahun 950 M di
Damaskus (Suriah) pada usia 80 tahun.
Al Farabi juga dikenal dikalangan Latin Abad Tengah dengan sebutan Abu Nashr
(Abunaser).
Sejak kecil al-Farabi sudah mempelajari banyak bahasa, kosa kata dan tutur bahasa ia
telah cakap dan luar biasa. Ia menguasai bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan.
Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa Farabi dapat berbicara dalam tujuh
puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa; Arab,
Persia, Turki, dan Kurdi.
• Memelihara pengawetan)
• Berkembang (reproduksi)
• Merasa (sensasi)
5. Moral
AL-Farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat untuk bangsa-bangsa dan setiap
warga negara, yaitu: Keutamaan,, asalanya, juga di peroleh dengan kontemplasi,
penelitian, dan melalui belajar dan mengajar. Keutamaan berpikir, yaitu yang
memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalan tujuan. Terkait
kemampuan membuat aturan-aturan. Keutamaan akhlak, berusaha mencari
kebaiakan.
6. Kenabian
Al Farabi disebut sebagai filusuf pertama yang membahas soal kenabian lengkap. Al
Farabi berkesimpulan bahwa para nabi / rasul juga para filusuf sama-sama dapat
berkomunikasi dengan akal Fa'al, yaitu akal ke balasan (malaikat). Perbedaannya,
komunikasi nabi / rasul dengan akal sepuluh terjadi melalui perantaraan yang
berubah (al mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedangkan para filusuf berkomunikasi
dengan akal kesepuluh malalui akal Mustafad, berdasarkan pada yang memerlukan
kesanggupan dalam penglihatan karena kesepuluh yang ada juga dilihat manusia.
Karya-Karya dari Al-Farabi
Fi Ma’ani Al Aqli,
Isbatu Al Mufaraqat,
Al Ta’liqat.
SEJARAH PEMIKIRAN AL-FARABI
1. Biografi dan Karyanya
Nama Al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan.
Sebutan Al-Farabi di ambil dari nama kota dimana ia dilahirkan yaitu kota Farab. Ia
lahir pada tahun 257 H / 870 M. Ayahnya berasal dari Iran (Persia) dan menikah
dengan seorang wanita Turkestan. Oleh karena itu ia biasa disebut sebagai orang
Persia.
Sejak kecil ia sudah suka belajar dan mempunyai kecakapan dalam bidang
bahasa. Bahasa yang di kuasainya antara lain adalah bahasa-bahasa Iran, Turkestan
dan Kurdistan. Setelah besar Al-Farabi meninggalkan negerinya menuju Baghdad
sebagai pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada saat itu. Selama di Baghdad
ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Pada saat pertama tinggal di
Baghdad ia tidak banyak menguasai Bahasa Arab. Akhirnya ia belajar ilmu nahwu
pada Abu Bakar as-Sarraj, sebagai imbalan terhadap pelajaran logika yang ia ajarkan
kepadanya. Setelah itu ia pindah ke Harran, salah satu pusat kebudayaan Yunani di
Asia kecil. Disana ia berguru kepada Yuhanna bin Jilan. Namun tidak lama ia kembali
lagi ke Baghdad untuk mendalami ilmu filsafat setelah ia sudah menguasai ilmu
mantik (logika). Selama 30 tahun ia tinggal di Baghdad dan memaksimalkan waktunya
untuk mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya
yang terkenal pada masa itu antara lain adalah Yahya bin Ady. Kemudian setelah itu
ia pindah ke Damaskus pada tahun 330 H / 941 M. disini ia mendapatkan kedudukan
istimewa dari Saifuddaulah, seorang penguasa dinasti Hamdan di Halab (daerah
Aleppo). Ia menetap di kota Damaskus hingga wafatnya pada tahun 337 H / 950 M
pada usia 80 tahun.
Dalam bidang fisafat, Al-farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi
dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat yang lebih tinggi
hingga seorang orientalis berkebangsaan Perancis, Massignon menyebutkan bahwa ia
adalah seorang filosof muslim yang pertama dengan arti yang sesungguhnya. Kendati
sebelum Al-farabi sudah ada Al-Kindi sebagai orang yang pertama membuka
penetrasi ilmu filsafat di dunia Islam, namun masih belum terbentuk sebagai satu
disiplin keilmuan khas. Sebaliknya Al-Farabi dianggap sebagai orang yang menekuni
bidang filsafat dan berhasil membentuk system filsafat yang lengkap dan cukup
memainkan peranan penting dalam dunia islam di bidang filsafat. Para filosof
sesudahnya adalah para muridnya, diantaranya adalah Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan
filosof-filosof lainnya. Oleh karena itu ia disebut sebagai guru kedua setelah
Aristoteles yang dianggap guru pertama dalam bidang filsafat.
Karya al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan
mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti
penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada
keberadaan agama , baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut
logika. Dikatakan “lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi
berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas
bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan
Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama
harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional,
sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.
Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya
Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang.
Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah dan sebagain besar naskah-naskah ini
belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai
cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran
yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan system pemikiran
Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles. Diantara judul karya al-Farabi yang
terkenal adalah :
Aghradhu ma Ba’da al-Ta}bi’ah
Al-Jam’u bain Ra’y al-Hakimain
Tahs}il al-Sa’a>dah
‘U’yu>n al-Masa>’il
Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
Ihs}}a’ al-‘Ulu>m[12]
2. Pandangannya tentang Metafisika
Mengenai pemikiran Al-Farabi di bidang metafisika, penulis hanya membatasi
dalam hal-hal yang terkait dengan pemikiran Islam diantaranya menyangkut masalah
wujud Tuhan dan sifat-sifatnya, masalah teori emanasi yang membicarakan proses
penciptaan alam semesta, dan lain-lain.
Sebelum membahas mengenai tentang wujud Tuhan, al-Farabi membuat
kerangka pemikiran mengenai wujud, ia membaginya menjadi dua bagian:
1) Wujud yang mumkin, yaitu wujud yang ada karena ada sebab lainnya, seperti
adanya cahaya matahari karena sebab adanya matahari. Cahaya tersebut bisa ada
atau tidak ada. Oleh karena itu ia disebut sebagai wujud yang mumkin.
Keberadaannya bergantung pada wujud yang lain. Adanya wujud yang mumkin
tersebut menjadi bukti adanya wujud yang menjadi sebab pertama yakni Tuhan.
Karena segala yang mumkin harus berakhir pada wujud yang nyata dan pertama
kali ada. Wujud pertama menjadi sebab adanya wujud lainnya, karena wujud yang
mumkin tersebut tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri.
2) Wujud yang wajib adanya (wa>jib al-wuju>d) yaitu wujud yang ada bukan karena
sebab lainnya melainkan karena dirinya sendiri. Ia adalah sebab pertama bagi
wujud-wujud lainnya. Dengan demikian keberadaannya menjadi wajib adanya, dan
wujud yang pertama ini adalah Tuhan (Allah). Menurutnya, wujud yang sempurna
dan paling awal mau tidak mau harus berwujud. Sebab esensi dan wujud-Nya tidak
mungkin tidak ada sebagaimana yang tidak eksis juga tidak memiliki wujud. Sebab
itu menurut Al-Farabi, zat yang sempurna adalah mustahil tidak ada dari segala
aspek. Bahkan dia adalah qadi>m, abadi dan otonom.
Berdasarkan kerangka berfikir di atas, Al-farabi membahas masalah wujud
ketuhanan berikut sifat-sifatNya. Sekaligus membicarakan masalah kejadian alam
semesta dengan teori emanasi.
Mengenai hakikat Allah ia menyatakan bahwa ia adalah wujud yang sempurna
yang ada tanpa perantara atau sebab lainnya. Karena kalau ada faktor lain yang
menjadi sebab keberadaannya maka ia tidak lagi menjadi sempurna. Ia menjadi
sebab pertama yang tidak memiliki permulaan dan akan selalu ada. Namun menurut
Al-farabi, wujud-Nya tidak terdiri dari materi atau benda dan juga bukan terdiri dari
bentuk. Karena gabungan keduanya ada pada makhluk. Sedangkan Tuhan mesti
berbeda dengan makhluknya.
Kemudian mengenai sifat Tuhan Al-farabi mengungkapkan gagasannya dengan
menyatakan bahwa sifat Tuhan tidak berbeda dengan z}atNya. Tuhan bersifat tunggal
dan merupakan akal murni, karena ia tidak menempati ruang dan waktu yang
menyebabkan keberadaannya. Jika sesuatu wujud itu tidak butuh dan tidak
tergantung pada benda maka ia akan menjadi akal (pikiran) yang sesungguhnya.
Demikianlah penjelasan Al-Farabi mengenai keadaan wujud yang pertama (Tuhan).
Menurutnya zat Tuhan adalah obyek pemikiran tuhan sendiri sekaligus sebagai
subyek dengan sendirinya. Ia tidak membutuhkan hal lain dalam memikirkan zatnya
sendiri. Dengan kata lain, Tuhan adalah ‘aqal, ‘a>qil dan ma’qu>l sekaligus.
Demikian juga Al-Farabi berpendapat bahwa ilmu Tuhan adalah sama dengan
zatnya. Tuhan adalah zat yang maha mengetahui (‘alim ) sekaligus zat menjadi obyek
pengetahuannya. Atau dengan kata lain Tuhan adalah Ilmu yang mengetahui dan
sekaligus menjadi obyek ilmu-Nya.
Berdasarkan paparan di atas, Al-farabi memiliki pandangan tentang kesatuan zat
dengan sifat Tuhan sebagaimana pandangan kalangan Mu’tazilah. Dan pandangannya
tentang obyek pemikiran atau ilmu adalah terletak pada zatnya sesungguhnya
menurut Ahmad Hanafi merupakan pendapat yang di ambil dari pandangan
Aristoteles. Pendapat tersebut didasarkan kepada satu anggapan bahwa alam
semesta terlalu rendah derajatnya jika harus menjadi obyek pemikiran Tuhan. Tuhan
hanya memikirkan z}atnya yang menjadi sebab bagi wujud alam ini.
Kemudian berdasarkan teori tentang kesatuan zat dengan sifat, ia memulai
gagasannya tentang wujudnya alam semesta. Ia beranggapan bahwa alam semesta
atau makhluk yang merupakan wujud yang mumkin adalah sesuatu yang keluar dari
wujud yang wajib adanya (Tuhan). Gagasan seperti ini disebut dengan teori emanasi
atau teori urut-urutan wujud. Tuhan cukup berfikir tentang zatnya maka keluarlah
dariNya wujud alam semesta sebagaimana keluarnya cahaya dari Matahari.
3. Studi Kritis terhadap Pemikiran Filsafat Al-Farabi
Sebagaimana penulis ungkapkan pada bagian sebelumnya, bahwa pemikiran
manusia mesti terbatas pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh pengamatan,
ataupun ketiadaan informasi yang menguraikannya, maka apa yang dilakukan oleh
Al-farabi juga demikian halnya, Ia hanya berupaya memperkuat hasil imajinasinya
dengan logika-logika yang dirumuskan. Dan sesungguhnya yang demikian bukanlah
bagian dari kreatifitas berfikir, namun khayalan yang diformat hingga nampak
terkesan rasional. Semisal ketika ia berpendapat tentang kesatuan zat dan sifat
Tuhan. Padahal wilayah itu merupakan wilayah yang tidak bisa di amati dan memang
tidak ada satupun informasi mengenai hal tersebut yang termaktub dalam kitab suci.
Pendapatnya tentang teori emanasi mengenai wujud alam semesta yang
disebutkan terpancar atau keluar dari wujud Tuhan sebagaimana layaknya sinar
matahari terpancar dari mataharinya, sungguh merupakan pandangan khayali yang
justru bertentangan dengan keterangan nash Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa
alam semesta diciptakan oleh Allah dari ketiadaan menjadi ada. Al-Farabi maupun
para filosof lainnya seperti Al-Kindi tidak bisa membedakan antara wilayah yang bisa
dijangkau oleh akal manusia dengan yang tidak bisa dijangkau oleh akal.
Sesungguhnya menyangkut masalah metafisika yang memang berada diluar
penginderaan manusia adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan akal karena
faktanya tidak bisa di indera. Namun ada hal-hal metafisis yang diberitahukan oleh
Allah melalui sumber informasi yang pasti semisal Al-Qur’an, seperti adanya surga,
neraka, hari kiamat, hari pembalasan dan sebagainya. Maka hal demikian hanya
dapat diterima sesuai dengan informasi yang ada, setelah sebelumnya kita sudah
membuktikan kekuatan dan kepastian informasi yang menjelaskannya sesuai dengan
metode berfikir rasional. Namun sebaliknya, masalah metafisika yang tidak ada
informasi sedikitpun tentang eksistensinya seperti kesatuan zat Tuhan dan sifat-Nya,
menyangkut wujud Tuhan yang bukan materi atau bentuk, maka hal demikian tidak
dapat dibahas oleh akal kecuali hanya berputar-putar dalam rumusan proposisi
logikanya.
3.) Al-Khawarizmi (Bapak Al-Jabar)
a. Specify-grafity (sp-gr) atau "berat jenis" yang mengacu pada konsep Archimedes.
d. "Mizan" juga merupakan prinsip utama metafisis, par excellence, suatu simbol
monisme ilmiah dari Jabir.
Jabir telah berhasil memproduksi sekitar 190 karya: 112 buah karya khusus yang
disiapkan untuk dipersembahkan kepada Barmakid selaku gurunya yang berisikan
tentang ke agamaan diantranya:
Sisanya 70 karya yang membahas tentang sudut pandang filsafat, kimía, kedokteran, dan
alam. Di antara karyanya yang terkenal adalah Al - Malik Al - Rahmat, Al - Tajmi, Al -
Asrar, kitab Al - Sab'in, kitab Al - mizan, kitab Al - Kimia.
5.) Al-Kindi
Al-Kindi dengan nama lengkap Yusuf bin Ishaq Al-Kindi, atau sebutan populernya dan
terkenal di Barat dengan nama al-Kindus.
Dia lahir di Kuffah pada tahun 809 M dan meninggal pada tahun 970 M.
Selama abad ke-9 M, al-Kindi termasuk salah satu gemilang namanya di bidang kimia.
Al-Kindi bukan hanya filsuf tetapi juga yang ilmuwan yang menguasai pengetahuan yang
ada di zamannya.
Dalam sains farmasi, ia mencoba mengatur tentang efektivtas obat-obat campuran
tergantung atas hubungan matematis.
Pemikiran-Pemikiran dari Al-Kindi
Filsafat dan Agama
Metafisika
Keabadian
Psikologi
Moral Ilmu Pengetahuan
Tidur dan Mimpi
Psikoterapi
Kebahagiaan
1. Risalah fi’illat Nafts ad-Daman tentang homoptesisi (batuk darah dari saluran
pernapasan).
5. Risalah fi 'illat Baharin al-Amradah al-Haddah, tentang sebab igauan dalam penyakit-
penyakit akut.
SEJARAH PEMIKIRAN AL-KINDI
1. Biografi dan Karyanya
Al-Kindi merupakan salah satu filosof yang merupakan keturunan Arab asli. ia
bernama Abu Yusuf bin Ishak. Silsilah nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Qahthan,
yaitu nenek pertama dari suku Arabia Selatan. Ayahnya Al-Kindi pernah menjadi wali
di wilayah kufah pada saat pemerintahan al-Mahdi dan Harun Al-Rashid. Sedangkan
nenek-neneknya adalah para penguasa di daerah Kindah dan sekitarnya yaitu daerah
Arabia Selatan.
Al-kindi mendapatkan kedudukan yang istimewa pada masa pemerintahan Al-
Ma’mun dan al-Mu’tas}im. Bahkan disebutkan ia menjadi guru dari anak al-Mu’tas}im
yaitu Ahnad. Al-Kindi mengalami proses kemajuan berfikir dan penerjemahan buku-
buku asing ke dalam bahasa Arab. Mendalamnya pengetahuan al-Kindi nampak
dalam karyanya yang meliputi berbagai bidang antara lain: logika, filsafat, geometri,
matematika, aritmatika, musik, astronomi dan lain-lain. Seluruh karyanya dicatat oleh
Ibn Nadim sebanyak 241 topik. Dalam bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik,
geometri 23 topik, matematika 13 topik, aritmatika 5 topik, musik 7 topik, astronomi
dan perbintangan 45 topik, geologi 8 topik, medis 22 topik, diskusi 17 topik, psikologi
5 topik, politik 12 topik, dimensi 8 topik, sebab-sebab wujud keduniaan (ahdathiyah)
14 topik dan lain-lain sebanyak 33 topik.
Namun dari sekian banyak karya al-Kindi tersebut telah banyak yang hilang dan
musnah dan hanya sedikit yang ada hingga sekarang. Di antara karya-karyanya yang
terkenal di temukan oleh seorang orientalis berkebangsaan Jerman yaitu Hillmuth
Ritter di perpustakaan Aya Sofia di Istambul dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah
tersebut membahas tentang soal-soal alam dan filsafat, antara lain masalah ke esaan
Tuhan, akal, jiwa dan filsafat pertama.
Di antara unsur-unsur filsafat yang terdapat pada pemikiran al-Kindi adalah
sebagai berikut:
a. Aliran pythagoras tentang matematika sebagai jalan menuju filsafat
b. Pikiran-pikiran Aristoteles mengenai masalah fisika dan metafisika, meskipun
al-kindi tidak sepakat dengan pendapat Aristoteles tentang qadi>m nya alam
c. Pikiran-pikiran Plato mengenai masalah kejiwaan
d. Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles mengenai masalah etika
e. Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) menyangkut soal-soal yang berkaitan
dengan Tuhan dan sifat-sifatnya.
f. Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam
menakwilkan ayat-ayat Al-qur’an.
Selain bidang filsafat, Al-Kindi juga memperhatikan ilmu falak. Ia menulis buku
tentang masalah masalah kedokteran dan obat-obatan. Sebagian kaum orientalis
memilih al-Kindi sebagai satu di antara sepuluh orang yang mempunyai predikat
sebagai puncak pemikir manusia.
2. Pandangan tentang Integrasi Agama dengan Filsafat
Di tengah pertentangan antara kelompok agamawan yang anti filsafat dengan
para filosof mengenai masalah keagamaan, maka al-Kindi berupaya memberikan
gambaran menyangkut persinggungan antara filsafat dengan agama. Menurutnya
bahwa filsafat adalah sebuah ilmu untuk menemukan kebenaran sebagaimana agama
juga ilmu tentang kebenaran. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara keduanya.
Pandangannya mengenai kesanggupan akal manusia di dalam menemukan rahasia-
rahasia apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah jelas merupakan pengaruh
pemikiran Mu’tazilah. Ilmu filsafat pertama yang mencakup masalah ketuhanan, ke
esaan, keutamaan, dan ilmu-ilmu lain yang menjelaskan bagaimana memperoleh hal-
hal yang bermanfaat dan menjauhkan dari hal-hal yang merugikan juga dibawa oleh
para Rasul Tuhan.
Menurut al-Kindi kita harus mengambil kebenaran darimanapun kita
memperolehnya sekalipun dari bangsa-bangsa yang mungkin amat jauh dari negeri
kita. Orang yang berupaya mencari kebenaran tidaklah lebih utama dari kebenaran
itu sendiri. Bahkan ia menyebutkan bahwa orang yang mengingkari filsafat adalah
orang yang mengingkari kebenaran. Para penentang filsafat juga menggunakan
rumusan-rumusan filsafat ketika mereka memperkuat argumentasinya tentang tidak
perlunya filsafat.
Gagasan Al-Kindi untuk mempertemukan hubungan agama dengan filsafat juga
nampak dari penjelasannya ketika misalnya secara lahiriyah ada kontradiksi antara
ayat di dalam Alqur’an dengan hasil rumusan filsafat maka yang mesti dilakukan
adalah takwil, karena karakter kebahasaan dalam bahasa arab memiliki dua arti yaitu
arti yang sebenarnya dan arti majazi (arti kiasan). Penarikan makna dari arti kiasan ini
tentu harus dilakukan dengan jalan takwil, dengan syarat harus dilakukan oleh orang-
orang yang ahli agama sekaligus sebagai seorang pemikir. Kendatipun misalnya ada
pertentangan antara risalah yang dibawa oleh nabi dengan hasil filsafat, maka
perbedaan tersebut hanya mengenai cara, sumber dan ciri-cirinya, karena ilmu nabi-
nabi diterima oleh mereka setelah jiwanya dibersihkan oleh Tuhan dan dipersiapkan
menerima pengetahuan dengan cara yang luar biasa di luar hukum alam. Namun para
filosof haruslah berupaya mencari kebenaran itu dengan sungguh-sungguh dengan
cara mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan menguraikan dengan sebaik-
baiknya.
3. Konsepnya tentang Filsafat Metafisika
Mengenai pembahasan tentang masalah di wilayah metafisika, Al-Kindi juga
memberikan kontribusi pemikirannya yang tercatat dalam beberapa risalahnya, di
antaranya “tentang filsafat pertama” dan “tentang keesan Tuhan dan berakhirnya
benda-benda alam”. Terkait dengan ini Al-Kindi mengemukakan pendapatnya
mengenai seputar hakikat Tuhan, bukti-bukti wujud Tuhan dan sifat-sifatNya.
Tentang hakikat Tuhan ia menyatakan bahwa Tuhan tidak ada permulaan yang
menyebabkan ia ada. Tuhan akan selalu ada dan tidak berakhir, serta menjadi sebab
bagi keberadaan wujud yang lain. Kemudian dalam rangka membuktikan keberadaan
Tuhan ia membangun argumentasinya melalui tiga hal. Pertama, baharunya alam,
kedua, Keaneka ragaman dalam wujud dan ketiga, menyangkut keteraturan alam.
Langkah pertama ketika membuktikan wujud Tuhan dengan argumentasi
baharunya alam ia mengemukakan pendapatnya melalui satu argumentasi bahwa
sesuatu tidak mungkin menjadi sebab bagi wujud dirinya. Dengan demikian alam
semesta ini bersifat baharu dan mempunyai permulaan waktu, sekaligus juga bersifat
terbatas. Berdasarkan argumentasi ini ia menegaskan bahwa Tuhanlah yang telah
menciptakan alam semesta dari tidak ada menjadi ada.
Sedangkan argumentasi kedua mengenai keaneka ragaman dalam wujud, Al-
kindi membuktikan keberadaan Tuhan dengan menyatakan bahwa alam ini baik yang
bersifat inderawi maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada ke
anekaragaman tanpa ada keseragaman, atau sebaliknya ada keseragaman tanpa ada
keanekaragaman. Jika alam inderawi tergabung dalam keanekaragaman dengan
keseragaman secara bersama-sama, maka hal itu bukan disebabkan karena kebetulan
namun karena adanya sesuatu yang menjadi sebab. Namun sebab tersebut tentu
bukan dari alam itu sendiri, karena jika demikian maka tidak akan ada ujung
pangkalnya dan tidak akan pernah berakhir dan itu adalah mustahil terjadi. Oleh
karena itu, sebab tersebut haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi
dan lebih dahulu adanya. Karena sebab harus ada sebelum efek atau akibatnya.
Mengenai pembuktian wujud Tuhan melalui argumentasi keteraturan alam, Al-
Kindi mengungkapkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa alam lahir tidak
mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat yang tidak nampak. Sedangkan
zat yang tidak nampak tersebut hanya bias diketahui keberadaannya melalui bekas-
bekas Nya dan keteraturan yang ada di alam semesta ini. Langkah argumentasi ini
dikenal dengan sebutan “illat tujuan”.
Kemudian pandangan al-Kindi mengenai sifat-sifat Tuhan, ia mengemukakan
pendapatnya bahwa ke esaan Tuhan sebagai salah satu sifatnya dapat dibuktikan
bahwa Tuhan bukanlah materi, bukan bentuk, tidak mempunyai kuantitas dan juga
mempunyai kualitas. Ia tidak memiliki hubungan ketergantungan dengan yang lain,
semisal sebagai ayah atau sebagai anak. Tidak bisa di sifati dengan apa yang ada
dalam pikiran. Ia bukan genus, bukan differentia (fas}l), bukan proprium (Khas}s}ah),
bukan accident (‘arad}), tidak bertubuh dan tidak bergerak. Oleh sebab itu menurut
al-Kindi Tuhan hanya bersifat Esa saja. tidak ada hal lain kecuali esa semata.
Oleh sebab itu pula, Tuhan bersifat azali, yaitu zat yang sama sekali tidak ada
permulaannya. Keberadaannya tidak tergantung pada yang lain atau tidak berkaitan
dengan sebab. Dengan demikian ia bukanlah subyek atau predikat. Kesimpulannya
Tuhan adalah sebab pertama dimana wujudnya bukan karena adanya sebab yang
lain. Menurut Al-Kindi sifat azali Tuhan juga menuntut ia tidak bergerak karena dalam
gerak memungkinkan adanya pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang
sempurna. Karena zat yang azali itu tidak bergerak maka zaman atau waktu tidak
berlaku padaNya. karena zaman merupakan bagian dari bilangan gerak. Namun
menurut al-Kindi Tuhan memiliki pekerjaan khusus yang disebut dengan “ibda” yaitu
menjadikan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, namun tidak
mengandung pengertian bahwa ia mempunyai perasaan atau menerima pengaruh.
4. Studi Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi
Sejarah filsafat yang berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan aliran kalam di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa
ke khilafahan Abbasiyah. Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman
khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tas}im, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang
secara pesat waktu itu. Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan
kelanjutan dari cara berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat
yunani dalam metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih
mengarah pada filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para
ulama mutakallimin. Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam
yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki
pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya
membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan,
disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran
Islam.
Jika kita mencermati pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka
kesimpulannya tidak jauh beda dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia
masih membuktikan keberadaan Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat
inderawi yaitu dengan baharunya alam dan keteraturannya. Namun pada
argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk membuktikan keberadaan
Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya. Misalnya dengan proposisi
bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan makhluknya, sedangkan alam
semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk. Dengan demikian Tuhan
tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya. Berdasarkan logika mantik
tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa keanekaragaman mesti selalu
ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin terjadi karena kebetulan namun
karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia maksud adalah Tuhan.
Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya bisa berfungsi melaui metode
pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera ataupun melalui informasi akurat
yang menjamin kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi
maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian
merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh
al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau
oleh setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan
ada kotoran unta jika tidak ada untanya. Namun ketika ia melampaui batas
jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi zat Tuhan bahwa Tuhan tidak
berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh
makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut
hemat penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik,
bukan berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun
mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian
bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak
lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan logika
sebagai justifikasinya.
C. KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah mengenai pemikiran tiga filosof muslim yaitu Al-Kindi, Al-Farabi
dan Ibnu Sina di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Al-Kindi adalah seorang filosof muslim yang berasal dari arab, ia merupakan orang
pertama yang membuka jalan masuknya filsafat Yunani kedalam dunia Islam.
Gagasannya diantaranya menyangkut integrasi agama dengan filsafat, Pembuktian
tentang keberadaan wujud Tuhan melalui tiga argumentasi yaitu baharunya alam
semesta, keanekaragaman wujud dan keteraturan alam.
2. Al-Farabi merupakan seorang filosof muslim yang hidup setelah al-Kindi dan telah
berhasil membentuk system filsafat secara memadai hingga ia mendapat julukan
sebagai guru kedua setelah julukan guru pertama bagi Aristoteles. Gagasannya
mengenai bidang filsafat di bidang metafisika adalah mashhur dengan teori
emanasinya terkait dengan proses penciptaan alam semesta. Yaitu alam semesta
bersifat Qadim karena wujudnya terpancar dari wujud yang pertama yang bersifat
wa>jib al-wuju>d.
3. Ibnu Sina adalah seorang filosof muslim yang hidup setelah Al-Farabi. Oleh karena itu
gagasannya tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, ia juga mengungkapkan proses
kejadian alam semesta melalui teori urut-urutan wujud atau emanasi. Ibnu Sina juga
berpandangan bahwa jiwa manusia bersifat kekal dan abadi setelah diciptakan.