Anda di halaman 1dari 12

TUGAS BIOFARMASI DAN FARMAKOKINETIKA KLINIS

Disusun oleh :
RINA LESTARI
3351191462

Dosen Pengampu MK : Prof. Dr. Ahmad Muhtadi., M.S., Apt

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2020
1. Jelaskan pengertian farmakokinetika klinik!
Jawaban:
Farmakokinetika klinis adalah disiplin yang menerapkan konsep dan prinsip farmakokinetik
pada manusia untuk merancang rejimen dosis individual yang mengoptimalkan respons
terapeutik suatu obat sambil meminimalkan kemungkinan reaksi obat yang merugikan.

Farmakokinetik adalah studi tentang penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat.

Ketika obat diberikan secara ekstravaskuler (misalnya, secara oral, intramuskuler, diterapkan
pada kulit melalui patch transdermal, dll.), Penyerapan harus dilakukan untuk obat molekul
untuk mencapai sirkulasi sistemik. Agar dapat diserap, molekul obat harus melewati beberapa
hambatan fisiologis sebelum mencapai sistem pembuluh darah. Misalnya, ketika obat
diberikan secara oral, bentuk sediaan obat harus melepaskan molekuler obat melalui
pembubaran, dan molekul harus melewati berbagai lapisan gastrointestinal di mana mereka
memasuki kapiler. Distribusi terjadi ketika molekul obat yang telah memasuki sistem vaskular
berpindah dari aliran darah ke berbagai jaringan dan organ seperti otot atau jantung.
Metabolisme adalah konversi kimia dari molekul obat, biasanya melalui reaksi yang
dimediasi secara enzimatik, menjadi entitas kimia lain yang disebut sebagai metabolit.
Metabolit mungkin memiliki efek farmakologis yang sama atau berbeda dengan obat
induknya, atau bahkan menyebabkan efek samping toksik. Ekskresi adalah pengangkatan obat
yang tidak dapat dikembalikan dari tubuh dan biasanya terjadi melalui ginjal atau saluran
empedu (Bauer, L.A. 2008).

2. Kenapa harus menghitung dosis secara individu dan obat spesifik?


Jawaban:
Individualisasi dari aturan dosis obat sangat penting terutama untuk obat dengan rentang
terapi kecil (batas aman yang kecil), seperti digoksin, aminoglikosida, antiritnia dan lainnya.
Perancangan aturan dosis untuk obat-obat ini dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan
konsentrasi plasma obat yang aman yang tidak melebihi konsentrasi toksik minimum atau
jatuh dibawah konsentrasi obat minimum kritis yang berada dibawah konsentrasi obat ini
tidak efektif. Rentang terapi suatu obat merupakan suatu perkiraan ratarata konsentrasi obat
dalam plasma yang aman dan manjur pada sebagian besar pasien.
Tujuan merancang pengaturan dosis pada obat-obat yang punya jemdela terapi sempit adalah
tercapainya konsentrasi obat dalam plasma dalam rentang yang aman yaitu tidak melampaui
MTC atau tidak jatuh di bawah suatu nilai kritik dari konsentrasi minumum di mana obat
tidak efektif (tidak dibawah MEC).

Untuk alasan ini, obat-obat yang tadi (yang jendela terapinya sempit) di-individualisasikan
secara hati-hati untuk menghindari fluktuasi konsentrasi obat dalam plasma yang disebabkan
oleh variasi inter-subyek dalam proses ADME obat.
Contoh:
a. Fenitoin
Obat anti konvulsan penggunaan untuk orang-orang epilepsy, harus digunakan hati-
hati karena obat ini mengikuti profil farmakokinetika yang nonlinier. Jadi pada
konsentrasi terapetik obat dalam plasma, maka suatu perubahan kecil dalam dosis
dapat menyebabkan peningkatan yang sangat besar dalam respon terapetik yang
membawa kemungkinan terjadinya efek samping. Pemantauan konsentrasi obat dalam
plasma bermanfaat apabila terdapat hubungan antara konsentrasi plasma dengan efek
klinik yang diharapkan atau antara konsentrasi plasma dengan efek samping. Untuk
obat-obat yang mana konsentrasi obat dalam plasma dan efek klinik tidak
berhubungan, maka pemantauan obat dilakukan terhadap parameter farmakodinamik
lainnya.

b. Warfarin
Clotting time dapat diukur secara langsung pada pasien terapi antikoagulan warfarin.

c. Untuk pasien asma, bronkodilator seperti salbutamol (albuterol) yang diberikan secara
inhalasi diberikan menggunakan inhaler dosis-terukur (MDI = metered dose inhaler)
dan nilai FEV-1-nya sebagai ukuran efikasi obat. FEV = forced expiratory volume.

d. Kemoterapi
Dalam kemoterapi kanker, pengaturan dosis untuk pasien individual dapat tergantung
kepada besarnya efek samping dan kemampuan pasien dalam mentolerir obat tersebut.

3. Pengertian obat jendela terapi sempit?


Jawaban:
Obat jendela terapi sempit didefinisikan sebagai obat-obatan di mana perbedaan kecil dalam
dosis atau konsentrasi darah dapat menyebabkan dosis dan konsentrasi darah tergantung,
kegagalan terapi yang serius atau reaksi obat yang merugikan. Peristiwa serius adalah
peristiwa yang persisten, tidak dapat dipulihkan, dapat dibalik secara perlahan, atau
mengancam jiwa, mungkin berakibat rawat inap, cacat, atau bahkan kematian.

Obat Deskripsi obat


Warfarin Antagonis vitamin K digunakan untuk mengobati tromboemboli
vena, emboli paru, tromboemboli dengan fibrilasi atrium,
tromboemboli dengan penggantian katup jantung, dan kejadian
tromboemboli pasca infark miokard.
Levotiroxin Hormon T4 sintetis yang digunakan untuk mengobati
hipotiroidisme yang dapat digunakan bersamaan dengan
pembedahan dan terapi radioiodine untuk mengelola kanker tiroid
yang berdiferensiasi baik dengan thyrotropin.
Digoxin Glikosida jantung digunakan dalam pengobatan gagal jantung
ringan sampai sedang dan untuk kontrol laju respons ventrikel pada
fibrilasi atrium kronis.
Digitoxin Glikosida jantung yang digunakan dalam pengobatan dan
manajemen insufisiensi jantung kongestif, aritmia dan gagal
jantung.
Lithium Carbonate Obat yang digunakan untuk mengobati episode manik gangguan
bipolar.
Fosphenytoin Agen antiepilepsi yang digunakan untuk manajemen epileptikus
status kejang umum dan pencegahan dan pengobatan kejang yang
terjadi selama bedah saraf.
Phenytoin Obat antikonvulsan yang digunakan dalam profilaksis dan
mengendalikan berbagai jenis kejang.
Teofilin Xanthine digunakan untuk mengelola gejala asma, COPD, dan
kondisi paru-paru lainnya yang disebabkan oleh obstruksi aliran
udara yang reversibel.
Cyclosporine Imunosupresan hemat steroid yang digunakan dalam transplantasi
organ dan sumsum tulang serta kondisi peradangan seperti kolitis
ulserativa, artritis reumatoid, dan dermatitis atopik.
Procainamide Obat yang digunakan untuk mengobati aritmia ventrikel yang
mengancam jiwa.

4. Jelaskan peranan farmakokinetik dalam pemantauan terapi obat!


Jawaban:
Peran Farmakokinetik Klinik pada pemantauan terapi obat :
Dari banyak penelitian yang telah dilakukan secara in vitro dan in vivo, ternyata intensitas
efek farmakologi suatu obat tergantung pada kadar obat tersebut didalam cairan tubuh yang
berada di sekitar tempat aksi. Dari konsep tersebut timbul pemikiran bahwa efek
farmakologi dapat dioptimalkan dengan mengatur kadar obat ditempat aksinya, selama
periode waktu tertentu dan dengan mengetahui tempat aksi obat dan mengetahui
perubahan-perubahan yang dilakukan tubuh terhadap obat, maka berdasarkan kadar obat
yang terukur dalam darah, dosis optimal dapat ditentukan.

Konsep inilah yang dinamakan Farmakokinetika yaitu suatu cara untuk melakukan
pengukuran kuantitatif keberadaan obat dalam tubuh sebagai suatu sistem yang dinamik,
dimana obat berubah setiap saat oleh proses ADME (Absorbsi, Distribusi,
Metabolisme dan Ekresi).

Bila konsep farmakokinetika ini digunakan untuk tujuan keamanan dan efektifitas
terapi pada penderita di klinik, disebut Farmakokinetika Klinik. Dari perubahan kadar
obat setiap saat dalam darah (dc/dt) dapat ditentukan parameter kinetic yaitu besarnya
absorbsi (Ka), kadar puncak (Cmaks),kadar tunak (Css), klirens, volume distribusi
(Vd), waktu paruh (t1/2) dan bioavailabiltas.

Dari parameter kinetik diciptakan model farmakokinetik. Model adalah salah satu alat
dasar dari ilmu pengetahuan yang sifatnya tiruan dan merupakan sistim riil yang
sederhana. Model kompartemen dalam ilmu faal dan ilmu farmakokinetika sering
digunakan untuk mengambarkan perilaku zat-zat endogen atau eksogen termasuk obat.
Model farmakokinetik ini bertujuan untuk mendapatkan metode yang sesuai dalam
menggambarkan dan menginterprestasikan satu data atau beberapa set data yang
diperoleh dari percobaan. Model ini mengarah kepada pembuatan konsep matematika
yang disebut model kompartemen. Prinsip dari model kompartemen ini menganggap
tubuh terdiri dari bagian-bagian atau kompartemen yang satu dengan yang lain saling
berhubungan, dimana distribusi obat didalam tubuh tidaklah sama, hal ini disebabkan
perbedaan anatomi, faal organ, media cairan tubuh serta proses difusi yang terjadi.
Penggunaan model matematika ini dengan parameter farmakokinetik, dapat meng-
gambarkan dan meramalkan hubungan antara waktu dan perubahan kadar obat dalam
darah setiap saat sebagai fungsi dari dosis serta cara dan frekuensi pemberiaan obat.

Pemantauan kadar obat/ therapeutic drugs monitoring (TDM) merupakan cabang ilmu kimia
klinik dan farmakokinetik yang berkaitan dengan optimalisasi efek obat serta penyesuaian
dosis obat secara individu dengan cara mengukur konsentrasi obat dalam cairan tubuh
(Hazarika 2015). Sejak tahun 1970-an, TDM telah digunakan pada praktek klinis untuk
menyesuaikan terapi obat secara individual. Tujuan dari pemantauan kadar obat adalah untuk
memaksimalkan efek terapi serta mengurangi efek samping ataupun efek toksik obat (Touw et
al., 2005). Secara sederhana TDM meliputi pengukuran konsentrasi obat pada berbagai cairan
biologis dan menginterpretasikan makna relevan konsentrasi secara klinis (Kang and Lee,
2009). TDM diperlukan pada keadaan perubahan antar penderita dalam hal absorpsi,
distribusi dan eliminasi obat (intersubject variability), lalu pada keadaan terjadi perubahan
kondisi patofisiologik penderita.

TDM biasanya dilakukan terhadap beberapa jenis obat yang dengan indeks terapi sempit,
variabilitas farmakokinetik signifikan,untuk menghindari kondisi kekurangan dosis
(underdose) atau kelebihan dosis (overdose) yang dapat menimbulkan efek toksik (Marshall
and Bangert, 2008). Perkembangan teknik analisis mengakibatkan penetuan karakter
farmakokinetik dengan mengukur konsentrasi obat dalam darah menjadi lebih mudah dan
dapat memberikan informasi penting terkait dengan obat. Oleh karena itu, maka di beberapa
rumah sakit telah ditetapkan adanya pelayanan pemantauan terapi obat (Hazarika,2015).

Indikasi yang tepat untuk pemantauan obat terapeutik (dan contoh) meliputi:
a. Toksisitas:
 Mendiagnosis toksisitas ketika sindroma klinis tidak terdiferensiasi (mual yang
tidak dapat dijelaskan pada pasien yang menggunakan digoxin)
 Menghindari toksisitas (aminoglikosida, siklosporin)
b. Dosis:
 Setelah penyesuaian dosis (biasanya setelah mencapai dosis keadaan stabil)
 Penilaian perkiraan dosis pemuatan yang memadai (setelah memulai pengobatan
fenitoin)
 Untuk membantu memprediksi kebutuhan dosis pasien (aminoglikosida)

c. Pemantauan:
 Menilai kepatuhan (konsentrasi antikonvulsan pada pasien yang sering kejang)
 Mendiagnosis dalam pengobatan (terutama penting untuk obat profilaksis
seperti antikonvulsan, imunosupresan)
 Mendiagnosis terapi yang gagal (pemantauan obat terapeutik dapat membantu
membedakan antara pengobatan obat yang tidak efektif, ketidakpatuhan dan
efek samping yang meniru penyakit yang mendasarinya).

Proses TDM:

Pengukuran konsentrasi obat dalam serum:


 Sebelum cuplikan darah diambil dari penderita, praktisi hendaknya menetapkan apakah
diperlukan pengukuran konsentrasi obat dalam serum
 Dalam beberapa hal, respon penderita tidak dapat dikaitkan dengan konsentrasi obat
dalam serum: sebagai contoh, alergi dan rasa mual ringan tidak dapat dikaitkan dengan
dosis
 Sebagian besar anggapan yang dibuat oleh praktisi menyatakan bahwa konsentrasi obat
dalam serum berkaitan dengan efek terapetik dan atau efek toksik obat
 Untuk banyak obat, studi klinik telah menunjukkan bahwa ada suatu rentang efektif
terapetik dari konsentrasi obat dalam serum
 Oleh karena itu, pengetahuan tentang konsentrasi obat dalam serum dapat menjelaskan
mengapa seorang penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat atau mengapa
penderita mengalami suatu efek yang tidak diinginkan
 Sebagai tambahan, praktisi mungkin ingin menjelaskan ketelitian dari aturan dosis
 Pada pengukuran konsentrasi obat dalam serum, suatu konsentrasi tunggal dari obat
dalam serum dapat tidak menghasilkan informasi yang berguna kecuali kalau factor-
faktor lain dipertimbangkan. Sebagai contoh, aturan dosis obat yang meliputi besaran dan
jarak pemberian dosis, rute pemberian obat, serta waktu pengambilan cuplikan (puncak,
palung, atau keadaan tunak ) hendaknya diketahui.
 Dalam banyak hal, cuplikan darah tunggal tidak mencukupi oleh karena itu beberapa
cuplikan darah diperlukan untuk menjelaskan kecukupan aturan dosis
 Mungkin ada keterbatasan dalam hal cuplikan darah yang dapat diambil, keseluruhan
volume darah yang diperlukan untuk penetapan kadar, dan waktu untuk melakukan
analisis obat
 Penetapan kadar obat:Spesifisitas, kepekaan, ketepatan, ketelitian, linearitas, stabilitas

Penilaian secara farmakokinetikkonsentrasi obat dalam serum:

 Setelah konsentrasi obat dalam serum diukur, ahli farmakokinetik hendaknya menilai
data secara tepat
 Ahli farmakokinetik hendaknya mengetahui rentang terapetik yang umum dari
konsentrasi obat dalam serum dari kepustakaan
 Hasil penetapan kadar dari laboratorium dapat menunjukkan bahwa kadar obat dalam
serum penderita lebih tinggi, lebih rendah atau sama dengan kadar serum yang
diharapkan
 Ahli farmakokinetik hendaknya menilai hasil ini secara hati-hati dengan
mempertimbangkan, kondisi dan patofisiologik penderita
 Tetapi, keputusan terapeutik hendaknya tidak didasarkan semata-mata atas konsentrasi
obat dalam serum

Interpretasi hasil:

a. Konsentrasi serum lebih rendah dari yang diharapkan:


 Kepatuhan penderita
 Kesalahan dalam aturan dosis
 Salah produk obat (Pelepasan terkendali sebagai pengganti pelepasan segera)
 Bioavailabilitas yang jelek
 Eliminasi cepat
 Peningkatan volume distribusi
 Keadaan tunak yang tidak tercapai
 Jadwal waktu pengambilan darah

b. Konsentrasi serum lebih tinggi dari yang diharapkan:


 Kepatuhan penderita
 Kesalahan dalam aturan dosis
 Salah produk obat ( Pelepasan terkendali sebagai pengganti pelepasan terkendali)
 Bioavailabilitas cepat
 Volume distribusi lebih kecil daripada yang diharapkan
 Eliminasi lambat

c. Konsentrasi serum benar tetapi penderita tidak memberi reaksi terhadap terapi
 Kepekaan reseptor berubah (misal toleransi)
 Interaksi obat pada reseptor
 Perubahan pada hepatic blood flow

DAFTAR PUSTAKA
Bauer, L.A. 2008. Applied Clinical Pharmacokinetics. McGraw Hill. Washington

Drugbank, 2020. Drugbank: https:://www.drugbank.ca/ [online]. Diakses pada Mei 2020.

Hazarika, I. 2015. Therapeutic Drug Monitoring (TDM): An Aspect of Clinical Pharmacology


and Pharmacy Practice. STM Journals. Vol 5 (3). Hal 27-34.

Kang, J.S. Lee, M. H. 2009. Overview of Therapeutic Drug Monitoring. Korean J. Intern. Vol
24 (1). Hal 1-10.

Touw, D.J.k Neef, C. Thomson, A.H. Vinks, A.A. 2005). Cost-Effectiveness of Therapeutic
Drug Monitoring. Vol 27 (1). Hal 10-17.

Usman, E. 2007. Pemakaian obat dengan margin of safety yang sempit seharusnya memerlukan
Therapy Drug Monitoring (TDM). Majalah Kedokteran Andalas. Vol 31 (2).

Anda mungkin juga menyukai