Anda di halaman 1dari 23

MANAJEMEN KEPERAWATAN

KONSEP TEORITIS PENJAMINAN MUTU ASUHAN KEPERAWATAN


KONSEP TEORI PRAKTIK KEPERAWATAN BERBASIS EVIDENCE BASED PRACTICE

DISUSUN OLEH:
NAMA KELOMPOK 10
1.IMELDA S.LALO
2.TOMI YAWAN DANGU RAMBA
3.FERLIANA BANJA URU
4.VERONIA DANIATI TAMU APU
5.WINI MARDIANI NITE
6.YUSTI YAKU DANGA
7.DESILIA BANI

KEMENTERIAN KESEHATAN KEMENKES KUPANG

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG

PRODI KEPERAWATAN WAINGAPU

TAHUN AJARAN GANJIL 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘’ KONSEP TEORITIS
PENJAMINAN MUTU ASUHAN KEPERAWATAN DAN KONSEP TEORI PRAKTIK
KEPERAWATAN BERBASIS EVIDENCE BASED PRACTICE’’ ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah Manajemen Keperawatan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang konsep teoritis penjaminan mutu asuhan keperawatan dan konsep teori praktek
keperawatan berbasis evidenve based practice bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Veronika Toru,S.Kep.Ns.M.kep. selaku


dosen mata kuliah Manajemen Keperawatan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah
yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan keperawatan merupakan pelayanan utama dari pelayanan rumah sakit.


Hal ini terjadi karena pelayanan keperawatan diberikan selama 24 jam kepada pasien
yang membutuhkannya, berbeda dengan pelayanan medis dan pelayanan kesehatan
lainnya yang hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada kliennya. Dengan demikian pelayanan keperawatan perlu
ditingkatkan kualitasnya secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga
pelayanan rumahsakit akan meningkat juga seiring dengan peningkatan kualitas
pelayanan keperawatan. (Ritizza, 2013).

Kualitas pelayanan keperawatan sangat dipengaruhi oleh proses, peran dan


fungsi dari manajemen pelayanan keperawatan, karena manajemen keperawatan adalah
suatu tugas khusus yang harus dilaksanakan oleh manajer/ pengelola keperawatan yang
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan serta mengawasi sumber-sumber
yang ada, baik sumber daya maupun sumber dana sehingga dapat memberikan pelayanan
keperawatan yang efektif dan efisien baik kepada klien, keluarga dan masyarakat.
(Donny, 2014)

Mengingat pentingnya peranan manajemen pelayanan keperawatan, maka


dalam makalah ini penulis akan menguraikan tentang pengertian, proses, dimensi,
penilaian, strategi, indikator, standar, dan peran dalam menejemen mutu pelayanan
keperawatan sehingga dapat menggambarkan bagaimana manajemen keperawatan yang
bermutu seharusnya dilaksanakan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Teoritis Penjaminan Mutu

Penjaminan mutu adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan
secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang
berkepentingan memperoleh kepuasan. Khusus Pelayanan Kesehatan Penjaminan mutu
pelayanan kesehatan adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan
pelayanan kesehatan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh
kepuasan. (Suryadi,2009)

1. Peran Komite Keperawatan dalam Pengawasan Mutu

Komite keperawatan memiliki tujuan untuk mewujudkan profesionalisme dalam pelayanan


keperawatan, memberikan masukan kepada pimpinan rumah sakit berkaitan dengan
profesionalisme perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan, menyelesaikan masalah
– masalah terkait dengan penerapan disiplin dan etik keperawatan serta meningkatakan mutu
pelayanan keperawatan.

Peran komite keperawatan dalam pengawasan mutu adalah sebagai berikut :

1) Memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan profesi keperawatan melalui kegitan


terorganisasi.

2) Mempertahankan pelayanan keperawatan berkualitas dan aman bagi pasien.

3) Menjamin tersedianya perawat yang kompeten, etis sesuai dengan kewenangannya.

4) Menyelesaikan masalah keperawatan yang terkait dengan disiplin, etik dan moral
perawat.

5) Melakukan kajian berbagai aspek keperawatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

6) Menjamin diterapkannya standar praktik, asuhan dan prosedur keperawatan.


7) Membangun dan membina hubungan kerja tim di dalam rumah sakit.

8) Merancang, mengimplementasikan serta memantau dan menilai ide – ide baru.

9) Mengkomunikasikan, mendidik, negosiasi dan merekomendasikan hasil kinerja perawat


untuk pengembangan karir.

2. Kualitas Pelayanan (TQM)

1) Definisi TQM

Total Quality Management adalah kualitas menjadi hal utama yang menjadi titik
fokus setiap perusahaan. Berbagai hal dilakukan untuk meningkatkan kualitas yang
diterapkan pada produk, pelayanan dan manajemen perusahaan. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, lahirlah suatu inovasi yang dikenal dengan TQM.
Menurut Tjiptono & Anastasia (2003) TQM merupakan suatu pendekatan dalam
menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui
perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya.”

Dalam kualitas pelayanan yang baik, terdapat beberapa jenis kriteria pelayanan,
antara lain adalah sebagai berikut :

 Ketepatan waktu pelayanan, termasuk didalamnya waktu untuk menunggu selama


transaksi maupun proses pembayaran. 
 Akurasi pelayanan, yaitu meminimalkan kesalahan dalam pelayanan maupun transaksi. 
 Sopan santun dan keramahan ketika memberikan pelayanan. 
 Kemudahan mendapatkan pelayanan, yaitu seperti tersedianya sumber daya manusia
untuk membantu melayani konsumen, serta fasilitas pendukung seperti komputer untuk
mencari ketersediaan suatu produk. 
 Kenyaman konsumen, yaitu seperti lokasi, tempat parkir, ruang tunggu yang nyaman,
aspek kebersihan, ketersediaan informasi, dan lain sebagainya
2) Dimensi Kualitas Pelayanan

a. Tangibles

Tangibles adalah bukti konkret kemampuan suatu perusahaan untuk menampilkan


yang terbaik bagi pelanggan. Baik dari sisi fisik tampilan bangunan, fasilitas,
perlengkapan teknologi pendukung, hingga penampilan karyawan.

b. Reliability

Reliability adalah kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan yang


sesuai dengan harapan konsumen terkait kecepatan, ketepatan waktu, tidak ada
kesalahan, sikap simpatik, dan lain sebagainya.

c. Responsiveness

Responsiveness adalah tanggap memberikan pelayanan yang cepat atau responsif


serta diiringi dengan cara penyampaian yang jelas dan mudah dimengerti.

d. Assurance

Assurance adalah jaminan dan kepastian yang diperoleh dari sikap sopan santun
karyawan, komunikasi yang baik, dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga mampu
menumbuhkan rasa percaya pelanggan.

e. Empati

Empati adalah memberikan perhatian yang tulus dan bersifat pribadi kepada
pelanggan, hal ini dilakukan untuk mengetahui keinginan konsumen secara akurat dan
spesifik.
3) Prinsip - Prinsip TQM

Prinsip-prinsip dalam sistem TQM harus dibangun atas dasar 5 pilar sistem yaitu;
Produk, Proses, Organisasi, Kepemimpinan, dan Komitmen. Pendapat lain dikemukakan
oleh Hensler dan Brunnell (dalam Scheuing dan Christopher, 1993: 165-166) yang dikutip
oleh Drs. M.N. Nasution, M.S.c., A.P.U. dalam bukkunya yang berjudul Manjemen Mutu
Terpadu, mengatakan bahwa TQM merupakan suatu konsep yang berupaya, melaksanakan
sistem manajemen kualitas kelas dunia. Untuk itu, diperlukan perubahan besar dalam
budaya dan sistem nilai suatu organisasi. ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu :

a. Kepuasan Pelanggan
Dalam Total Quality Management, konsep mengenai kualitas dan pelanggan
diperluas. Kualitas tidak hanya bermakna kesesuaian dengan spesifikasi tertentu, tetapi
kualitas tersebut ditentukan oleh pelanggan. Kebutuhan pelanggan diusahakan untuk
dipuaskan dalam segala aspek, termasuk dalam harga, keamanan, dan ketepatan waktu.
b. Respek terhadap setiap orang.
Dalam perusahaan berkualitas, setiap karyawan dipandang sebagai individu yang
memiliki talenta dan kreatifitas yang khas. Dengan demikian, karyawan merupakan
sumber daya organisasi yang paling bernilai. Oleh karena itu, setiap orang dalam
organisasi diperlukan dengan baik dan diberikan kesempatan untuk terlibat dan
berpartisipasi dalam tim pengambil keputusan.
c. Manajemen berdasarkan fakta
Perusahaan kelas berkualitas berorientasi pada fakta, maksudnya bahwa setiap
keputusan selalu didasarkan pada data, bukan sekedar pada perasaan. Ada dua konsep
pokok yang berkaitan dengan hal ini: 
(1) prioritas, yakni suatu konsep yang menyatakan bahwa perbaikan tidak dapat
dilakukan pada semua aspek pada saat yang bersamaan, mengingat keterbatasan
sumber daya yang ada;
 

(2) variasi atau variabilitas kinerja manusia, variasi/variabilitas (keragaman)


kinerja/kemampuan dari setiap anggota merupakan bagian yang wajar dari setiap
sistem organisasi. Maksudnya, setiap perbedaan yang terjadi dikaji, kemudian
ditetapkan langkah/kebijakan yang paling sesuai untuk diterapkan. Dengan
demikian, manajemen dapat memprediksikan hasil dari setiap keputusan dan
tindakan yang dilakukan.

d. Perbaikan yang berkesinambungan

Agar dapat sukses, setiap perusahaan perlu melakukan proses sistematis dalam
melaksanakan perbaikan secara berkesinambungan. Konsep yang berlaku disini adalah
siklus PDCAA (plan-do-check-act-analyze), yang terdiri dari langkah-langkah
perencanaan, dan melakukan tindakan koreksi terhadap hasil yang diperoleh.

4) Metode Total Quality Management

Pembahasan mengenai metode TQM difokuskan pada tiga pakar utama yang merupakan
pelopor dalam pengembangan TQM. Mereka adalah W. Edwards Deming, Joseph M.
Juran, dan Philip B. Crosby.

Penjelasan selengkapnya dijelaskan Nasution (2004), sebagai berikut :

a. Metode W. Edwards Deming

Selama ini Deming dikenal sebagai Bapak gerakan TQM. Deming mencatat
kesuksesan dalam memimpin revolusi kualitas di Jepang, yaitu dengan memperkenalkan
penggunaan teknik pemecahan masalah dan pengendalian proses statistic (statistical
process control = SPC). Deming menganjurkan penggunaan SPC agar perusahaan dapat
membedakan penyebab sistematis dan penyebab khusus dalam menangani kualitas. Ia
berkeyakinan bahwa perbedaan atau variasi merupakan suatu fakta yang tidak dapat
dihindari dalam kehidupan industri.
Siklus Deming (Deming Cycle), Siklus ini dikembangkan untuk menghubungkan
antara operasi dengan kebutuhan pelanggan dan memfokuskan sumber daya semua
bagian dalam perusahaan (riset, desain, operasi, dan pemasaran) secara terpadu dan
sinergi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (Ross, 1994: 237). Siklus Deming adalah
model perbaikan berkesinambungan yang dikembangkan oleh W. Edward Deming yang
terdiri atas empat komponen utama secara berurutan yang dikenal dengan siklus PDCA
(Plan-Do-Check-Act)

b. Metode Joseph M. Juran

Juran mendefinisikan kualitas sebagai cocok / sesuai untuk digunakan (fitness for
use), yang mengandung pengertian bahwa suatu barang atau jasa harus dapat memenuhi
apa yang diharapkan oleh para pemakainya. Satu kontribusi Juran yang paling terkenal
adalah Juran’s Three Basic Steps to Progress, diantaranya :

Mencapai perbaikan terstruktur atas dasar kesinambungan yang dikombinasikan


dengan dedikasi dan keadaan yang mendesak.

Mengadakan program pelatihan secara luas. c.Membentuk komitmen dan


kepemimpinan pada tingkat manajemen yang lebih tinggi.

c. Metode Philip B. Crosby

Crosby terkenal dengan anjuran manajemen zero defect dan pencegahan. Dalil
manajemen kualitas menurut Crosby adalah sebagai berikut :

Definisi kualitas adalah sama dengan persyaratan.


Pada awalnya kualitas diterjemahkan sebagai tingkat kebagusan atau kebaikan
(goodness). Definisi ini memiliki kelemahan, yaitu tidak menerangkan secara spesifik
baik / bagus itu bagaimana. Definisi kualitas menurut Corsby adalah memenuhi atau
sama dengan persyaratan (conformance to requirements). Kurang sedikit saja dari
persyaratannya maka suatu barang atau jasa dikatakan tidak berkualitas. Persyaratan
tersebut dapat berubah sesuai dengan keinginan pelanggan, kebutuhan organisasi,
pemasok dan sumber, pemerintah, teknologi, serta pasar atau persaingan.
Sistem Kualitas adalah pencegahan pada masa lalu, sistem kualitas adalah
penilaian (appraisal). Suatu produk dinilai pada akhir proses. Penilaian akhir ini hanya
menyatakan bahwa apabila baik, maka akan diserahkan kepada distributor, sedangkan
bila buruk akan disingkirkan. Penilaian seperti ini tidak menyelesaikan masalah, karena
yang buruk akan selalu ada. Maka dari itu, sebaiknya dilakukan pencegahan dari awal
sehingga output-nya dijamin bagus serta hemat biaya dan waktu. Dalam hal ini dikenal
the law of tens. Maksudnya, bila kita menemukan suatu kesalahan di awal proses,
biayanya cuma satu rupiah. Akan tetapi, bila ditemukan di proses kedua, maka biayanya
menjadi 10 rupiah. Atas dasar itulah sistem kualitas menurut Corsby merupakan
pencegahan.

Kerusakan Nol (zero defect) merupakan standar kinerja yang harus digunakan
Konsep yang berlaku di masa lalu, yaitu konsep mendekati (close enough concept),
misalnya efisiensi mesin mendekati 95 persen. Namun, coba dihitung berapa besarnya
inefisiensi 5 persen bila dikalikan dengan penjualan. Bila diukur dalam rupiah, maka
baru disadari besar sekali nilainya. Orang sering terjebak dengan nilai persentase,
sehingga Crosby mengajukan konsep kerusakan nol, yang menurutnya dapat tercapai
bila perusahaan melakukan sesuatu dengan benar sejak pertama proses dan setiap proses.

3. Penilaian Kinerja Perawat

Penilaian kinerja disebut juga sebagai performance appraisal, performance


evaluation, development review, performance review and development. Penilaian
kinerja merupakan kegiatan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan seorang pegawai
dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, penilaian kinerja harus berpedoman
pada ukuran–ukuran yang telah disepakati bersama dalam standar kerja (Usman,2011)

Penilaian kinerja perawat merupakan mengevaluasi kinerja perawat sesuai dengan


standar praktik professional dan peraturan yang berlaku. Penilaian kinerja perawat
merupakan suatu cara untuk menjamin tercapainya standar praktek keperawatan.
Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh manajer perawat
dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas. Proses penilaian kinerja
dapat digunakan secara efektif dalam mengarahkan perilaku pegawai, dalam rangka

menghasilkan jasa keperawatan dalam kualitas dan volume yang tinggi. Perawat manajer
dapat menggunakan proses operasional kinerja untuk mengatur arah kerja dalam
memilih, melatih, membimbing perencanaan karier serta memberi penghargaan kepada
perawat yang berkompeten (Nursalam,2008).

Menurut Nursalam (2008) manfaat dari penilaian kerja yaitu:

a. Meningkatkan prestasi kerja staf secara individu atau kelompok dengan memberikan
kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka
pencapaian tujuan pelayanan di rumah sakit.

b. Peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan pada gilirannya akan
mempengaruhi atau mendorong sumber daya manusia secara keseluruhannya.

c. Merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan hasil


karya dan prestasi dengan cara memberikan umpan balik kepada mereka tentang
prestasinya.

d. Membantu rumah sakit untuk dapat menyusun program pengembangan dan pelatihan
staf yang lebih tepat guna, sehingga rumah sakit akan mempunyai tenaga yang cakap
dan trampil untuk pengembangan pelayanan keperawatan dimasa depan.

e. Menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja dengan


meningkatkan gajinya atau sistem imbalan yang baik.

f. Memberikan kesempatan kepada pegawai atau staf untuk mengeluarkan perasaannya


tentang pekerjaannya atau hal lain yang ada kaitannya melalui jalur komunikasi dan
dialog, sehingga dapat mempererat hubungan antara atasan dan bawahan.

Nursalam, (2008) standar pelayanan keperawatan adalah pernyataan deskriptif


mengenai kualitas pelayanan yang diinginkan untuk menilai pelayanan keperawatan
yang telah diberikan pada pasien. Tujuan standar keperawatan adalah meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan, mengurangi biaya asuhan keperawatan, dan melindungi
perawat dari kelalaian dalam melaksanakan tugas dan melindungi pasien dari tindakan
yang tidak terapeutik. Dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan kepada klien
digunakan

standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam


melaksanakan asuhan keperawatan. Standar praktek keperawatan telah di jabarkan oleh
PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesi) (2000) yang mengacu dalam tahapan
proses keperawatan yang meliputi: (1) Pengkajian; (2) Diagnosa keperawatan; (3)
Perencanaan; (4) Implementasi; (5) Evaluasi.

1. Standar Satu: Pengkajian Keperawatan

Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis,


menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan. Kriteria pengkajian
keperawatan, meliputi:

a) Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesa, observasi, pemeriksaan fisik


serta dari pemeriksaan penunjang.

b) Sumber data adalah klien, keluarga, atau orang yang terkait, tim kesehatan, rekam
medis, dan catatan lain.

c) Data yang dikumpulkan, difokuskan untuk mengidentifikasi:

- Status kesehatan klien masa lalu

- Status kesehatan klien saat ini

- Status biologis-psikologis-sosial-spiritual

d) Respon terhadap terapi

e) Harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal

f) Resiko-resiko tinggi masalah


b. Standar Dua: Diagnosa Keperawatan

Perawat menganalisa data pengkajian untuk merumuskan dignosa keperawatan.


Adapun kriteria proses:

a) Proses diagnosa terdiri dari analisa, interpretasi data, identifikasi masalah klien,
dan perumusan diagnosa keperawatan.

b) Diagnosa keperawatan terdiri dari: masalah (P), Penyebab (E), dan tanda atau
gejala (S), atau terdiri dari masalah dan penyebab (PE).

c) Bekerjasama dengan klien, dan petugas kesehatan lain untuk memvalidasi diagnosa
keperawatan.

d) Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosa berdasarkan data terbaru.

c. Standar Tiga: Perencanaan Keperawatan

Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan


meningkatkan kesehatan klien. Kriteria prosesnya, meliputi:

a) Perencanaan terdiri dari penetapan prioritas masalah, tujuan, dan rencana tindakan
keperawatan.

b) Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan.

c) Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien.

d) Mendokumentasi rencana keperawatan.

d. Standar Empat: Implementasi

Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana


asuhan keperawatan. Kriteria proses, meliputi:
a) Bekerja sama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan

b) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain.

c) Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan klien.

d) Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep keterampilan


asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan yang digunakan.

e) Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan


respon klien.

e. Standar Lima: Evaluasi Keperawatan

Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam


pencapaian tujuan dan merevisi data dasar dan perencanaan. Adapun kriteria
prosesnya:

a) Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara komprehensif, tepat


waktu dan terus menerus.

b) Menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukut perkembangan ke arah
pencapaian tujuan.

c) Memvalidasi dan menganalisa data baru dengan teman sejawat.

d) Bekerja sama dengan klien keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan


keperawatan.

e) Mendokumentasi hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan.

B. Konsep Teoritis Praktek Keperawatan Berbasis Bukti (Evidence Based Practice)

1. Konsep POA (Plan Of Action)

Perencanaan adalah menetapkan hal-hal yang akan datang dan tidak akan dilakukan
pada menit, jam atau waktu yang akan datang. Perencanaan merupakan jembatan antara
dimana kita sekarang dengan dimana kita saat yang akan datang. Perencanaan merupakan
proses intelektual yang didasarkan pada fakta dan informasi, bukan emosi dan harapan
(Douglas, 1992; Gillies, 1994).

Perencanaan adalah proses penyusunan rencana yang digunakan untuk mengatasi


masalah kesehatan di suatu wilayah tertentu. Suatu perencanaan kegiatan perlu dilakukan
setelah suatu organisasi melakukan analisis situasi, menetapkan prioritas masalah,
merumuskan masalah, mencari penyebab masalah dengan salah satunya memakai metode
fishbone, baru setelah itu melakukan plan of action.

Planning of Action (POA) atau disebut juga Rencana Usulan Kegiatan (RUK)
merupakan sebuah proses yang ditempuh untuk mencapai sasa ran kegiatan. Rencana
kegiatan dapat memiliki beberapa bentuk, antara lain:

1. Rangkaian sasaran yang lebih spesifik dengan jangka waktu lebih pendek,

2. Rangkaian kegiatan yang saling terkait akibat dipilihnya alternatif pemecahan masalah

3. Rencana kegiatan yang memiliki jangka waktu spesifik, kebutuhan sumber daya yang
spesifik, dan akuntabilitas untuk setiap tahapannya.

Menurut Supriyanto dan Nyoman (2007), Perlu beberapa hal yang dipertimbangkan
sebelum menyusun Plan of Action (POA), yaitu dengan memperhatikan kemampuan
sumber daya organisasi atau komponen masukan (input), seperti: Informasi, Organisasi
atau mekanisme, Teknologi atau cara, dan Sumber Daya Manusia (SDM).

 Tujuan planning of action

1. Mengidentifikasi apa saja yang harus dilakukan

2. Menguji dan membuktikan bahwa:

a. Sasaran dapat tercapai sesuai dengan waktu yang telah dijadualkan

b. Adanya kemampuan untuk mencapai sasaran


c. Sumber daya yang dibutuhkan dapat diperoleh

d. Semua informasi yang diperlukan untuk mencapai sasaran dapat diperoleh

e. Adanya beberapa alternatif yang harus diperhatikan

3. Berperan sebagai media komunikasi

a. Hal ini menjadi lebih penting apabila berbagai unit dalam organisasi memiliki peran
yang berbeda dalam pencapaian

b. Dapat memotivasi pihak yang berkepentingan dalam pencapaian sasaran.

 Kriteria Planning of Action (POA) yang Baik

Dalam penerapannya, Plan of Acton (POA) harus baik dan efektif agar kegiatan
program yang direncanakan dapat dijalankan sesuai dengan tujuan. Berikut ini beberapa
kriteria Plan of Acton (POA) dikatakan baik, antara lain:

1. Spesific (Spesifik)

Rencana kegiatan harus spesifik dan berkaitan dengan keadaan yang ingin dirubah.
Rencana kegiatan perlu penjelasan secara pasti berapa Sumber Daya Manusia (SDM)
yang dibutuhkan, siapa saja mereka, bagaimana dan kapan mengkomunikasikannya.

2. Measurable (Terukur)

Rencana kegiatan harus dapat menunjukkan apa yang sesungguhnya telah dicapai.

3. Attainable/achievable (dapat dicapai)

Rencana kegiatan harus dapat dicapai dengan biaya yang masuk akal. Ini berarti
bahwa rencana tersebut harus sederhana tetapi efektif, tidak harus membutuhkan
anggaran yang besar. Selain itu teknik dan metode yang digunakan juga harus yang
sesuai untuk bisa dilakukan.

4. Relevant (sesuai)
Rencana kegiatan harus sesuai dan bisa diterapkan di suatu organisasi atau di suatu
wilayah yang ingin di intervensi. Harus sesuai dengan pegawai atau masyarakat di
wilayah tersebut.

5. Timely (sesuai waktu)

Rencana kegiatan harus merupakan sesuatu yang dibutuhkan sekarang atau sesuatu
yang segera dibutuhkan. Jadi waktu yang sesuai sangat diperlukan dalam rencana
kegiatan agar kegiatan dapat berjalan efektif.

 Langkah Planning of Action (POA)

1. Mengidentifikasi masalah dengan pernyataan masalah (Diagram 6 kata: What, Who,


When, Where, Why, How), sebagai berikut:

a. Masalah apa yang terjadi?

b. Dimana masalah tersebut terjadi?

c. Kapan masalah tersebut terjadi?

d. Siapa yang mengalami masalah tersebut?

e. Mengapa msalah tersebut terjadi?

f. Bagaimana cara mengatasi masalah tersebut?

2. Setelah masalah diidentifikasi, tentukan solusi apa yang bisa dilakukan.

3. Menyusun Rencana Usulan Kegiatan (RUK).

Menurut Supriyanto dan Nyoman (2007), beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam menyusun Plan of Action atau Rencana Usulan Kegiatan (RUK), antara lain:

a. Pembahasan Ulang Masalah


Setelah menentukan masalah dan melakukan analisis penyebab masalah, dapat
dilihat keadaan atau situasi yang ada saat ini dan mencoba menggambarkan keadaan
tersebut nantinya sesuai dengan yang diharapkan.

b. Perumusan Tujuan Umum

Dengan melihat situasi yang ada saat ini dengan gambaran situasi yang diharapkan
nantinya dan juga atas dasar tujan umum pembangunan kesehatan, maka dapat
dirumuskan tujuan umum program atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

Tujuan umum adalah suatu pernyataan yang bersifat umum dan luas yang
menggambarkan hasil akhir (outcome atau dampak) yang diharapkan.

c. Perumusan Tujuan Khusus

Tujuan khusus merupakan pernyataan yang bersifat spesifik, dapat diukur


(kuantitatif) dengan batas waktu pencapaian untuk mencapai tujuan umum. Bentuk
pernyataan dalam tujuan khusus sifatnya positif, merupakan keadaan yang
diinginkan. Penentuan indikator tujuan khusus program dapat menggunakan kriteria
SMARTS (Smart, Measurable, Attainable, Realistic, Time-bound, Sustainable)

d. Penentuan Kriteria Keberhasilan

Penentuan kriteria keberhasilan atau biasa disebut indikator keberhasilan dari suatu
rencana kegiatan, perlu dilakukan agar organisasi tahu seberapa jauh program atau
kegiatan yang direncanakan tersebut berhasil atau tercapai. Menentukan kriteria
atau indikator keberhasilan disesuaikan dengan tujuan khusus yang telah
ditentukan.

Pada program kegiatan yang diusulkan harus mengandung unsur 5W+1H, yaitu:

a. Who : Siapa yang harus bertanggung jawab untuk melaksanakan rencana


kegiatan?
b. What : Pelayanan atau spesifik kegiatan yang akan dilaksanakan

c. How Much : Berapa banyak jumlah pelayanan atau kegiatan yang spesifik?

d. Whom : Siapa target sasaran atau populasi apa yang terkena program?

e. Where : Dimana lokasi atau daerah dimana aktivitas atau program


dilaksanakan?

f. When : Kapan waktu pelaksanaan kegiatan atau program?

Rencana Usulan Kegiatan (RUK) disusun dalam bentuk matriks (Gantt Chart) yang
berisikan rincian kegiatan, tujuan, sasaran, target, waktu, besaran kegiatan
(volume), dan hasil yang diharapkan. 

4. Langkah keempat, Bersama-sama dengan pihak yang berkepentingan menguji dan


melakukan validasi rencana kegiatan untuk mendapatkan kesepakatan dan dukungan.

2. Konsep Evidence Based Practice

Evidence Based Practice (EBP) adalah proses penggunaan bukti-bukti terbaik yang
jelas, tegas dan berkesinambungan guna pembuatan keputusan klinik dalam merawat
individu pasien. Dalam penerapan EBP harus memenuhi tiga kriteria yaitu berdasar bukti
empiris, sesuai keinginan pasien, dan adanya keahlian dari praktisi.

1) Model Evidence Based Practice

a. Model Stetler

Model Stetler dikembangkan pertama kali tahun 1976 kemudian diperbaiki tahun
1994 dan revisi terakhir 2001. Model ini terdiri dari 5 tahapan dalam menerapkan
Evidence Base Practice Nursing.

- Tahap persiapan.

Pada tahap ini dilakukan identifikasi masalah atau isu yang muncul, kemudian
menvalidasi masalah dengan bukti atau landasan alasan yang kuat.
- Tahap validasi.

Tahap ini dimulai dengan mengkritisi bukti atau jurnal yang ada (baik bukti
empiris, non empiris, sistematik review), kemudian diidentifikasi level setiap bukti
menggunakan table “level of evidence”. Tahapan bisa berhenti di sini apabila tidak
ada bukti atau bukti yang ada tidak mendukung.

- Tahap evaluasi perbandingan/ pengambilan keputusan.

Pada tahap ini dilakukan sintesis temuan yang ada dan pengambilan bukti yang bisa
dipakai. Pada tahap ini bisa muncul keputusan untuk melakukan penelitian sendiri
apabila bukti yang ada tidak bisa dipakai.

- Tahap translasi atau aplikasi.

Tahap ini memutuskan pada level apa kita akan melakukan penelitian (individu,
kelompok,organisasi). Membuat proposal untuk penelitian, menentukan strategi
untuk melakukan diseminasi formal dan memulai melakukan pilot projek.

- Tahap evaluasi.

Tahap evaluasi bisa dikerjakan secara formal maupun non formal, terdiri atas
evaluasi formatif dan sumatif, yang di dalamnya termasuk evaluasi biaya.

b. Model IOWA

Model IOWA diawali dengan adanya trigger atau masalah. Trigger bisa berupa
knowledge focus atau problem focus. Jika masalah yang ada menjadi prioritas
organisasi, maka baru dibentuklah tim. Tim terdiri atas dokter, perawat dan tenaga
kesehatan lain yang tertarik dan paham dalam penelitian. Langkah berikutnya adalah
minsintesis bukti-bukti yang ada.Apabila bukti yang kuat sudah diperoleh, maka
segera dilakukan uji coba dan hasilnya harus dievaluasi dan di seminasikan.

c. Model konseptual Rosswurm & Larrabee


Model ini disebut juga dengan model Evidence Based Practice Change yang terdiri
dari 6 langkah yaitu :

Tahap 1 :mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis

Tahap 2 : tentukkan evidence terbaik

Tahap 3 : kritikal analisis evidence

Tahap 4 : design perubahan dalam praktek

Tahap 5 : implementasi dan evaluasi perunbahan

Tahap 6 : integrasikan dan maintain perubahan dalam praktek

Model ini menjelaskan bahwa penerapan Evidence Based Nursing ke lahan paktek
harus memperhatikan latar belakang teori yang ada, kevalidan dan kereliabilitasan
metode yang digunakan, serta penggunaan nomenklatur yang standar.

2) Pentingnya Evidence Based Practice

Mengapa EBP penting untuk praktik keperawatan :

a. Memberikan hasil asuhan keperawatan yang lebih baik kepada pasien

b. Memberikan kontribusi perkembangan ilmu keperawatan

c. Menjadikan standar praktik saat ini dan relevan

d. Meningkatkan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan

e. Mendukung kebijakan dan rosedur saat ini dan termasuk menjadi penelitian terbaru

f. Integrasi EBP dan praktik asuhan keperawatan sangat penting untuk meningkatkan
kualitas perawatan pada pasien.
BAB III

PENUTUP

 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan konsep Evidence Based Practice diatas, dapat
disimpulkan bahwa ada 3 faktor yang secara garis besar menentukan tercapainya
pelaksana praktek keperawatan yang lebih baik yaitu, penilitian yang dilakukan
berdasarkan fenomena yang terjadi dikaitkan dengan teori yang telah ada, pengalaman
klinis terhadap sustu kasus, dan pengalaman pribadi yang bersumber dari pasien. Dengan
memperhatikan faktor – faktor tersebut, maka diharapkan pelaksanaan pemberian
pelayanan kesehatan khususnya pemberian asuhan keperawatan dapat ditingkatkan
terutama dalam hal peningkatan pelayanan kesehatan atau keperawatan, pengurangan
biaya ( cost effective ) dan peningkatan kepuasan pasien atas pelayanan yang diberikan.
Namun dalam pelaksanaan penerapan Evidence based practice ini sendiri tidaklah
mudah, hambatan utama dalam pelaksanaannya yaitu kurangnya pemahaman dan
kurangnya referensi yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan penerapan EBP itu
sendiri.

 SARAN
Dalam pemberian pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan yang baik,
serta mengambil keputusan yang bersifat klinis hendaknya mengacu pada SOP yang
dibuat berdasarkan teori – teori dan penilitian terkini. Evidence Based Practice dapat
menjadi panduan dalam menentukan atau membuat SOP yang memiliki landasan
berdasarkan teori, penilitian, serta pengalaman klinis baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Ayun, Q., 2014. Peran Komite Keperawatan dalam Pengawasan Mutu dan Audit Keperawatan.
SlideShare, p.24. Available at: http://www.slideshare.net/ayunannaim/audit-mutu [Accessed
January 12, 2017].

Nasution, M., 2004. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta: Ghalia
Indonesia. Available at: http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-total-quality-
management-tqm.html.

Suryadi, T., 2009. Pengertian dan Pelaksanaan Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan. Scribd.
Available at: https://www.scribd.com/doc/17381263/Pengertian-Dan-Pelaksanaan-Mutu-
Pelayanan-Kesehatan [Accessed January 12, 2017].

Tjiptono, F. & Anastasia, D., 2003. Total Quality Management Edisi Kedu., Yogyakarta: Andi
Offset. Available at: http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-total-quality-
management-tqm.html.

Anda mungkin juga menyukai