Anda di halaman 1dari 13

KEPASTIAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK

TERKAIT DENGAN HUKUM WARIS ADAT

SEMINAR HASIL PENELITIAN

Diajukan Sebagai Bahan Seminar Hasil Penelitian Program Studi Magister


Kenotariatan Pascasarjana Universitas Jayabaya

Oleh:

TIARA DHARMAWAN
2017010461051

MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Peraturan Pemerintah nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak menyatakan

bahwa tujuan pengangkatan anak adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka

mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak yang dilaksanakan berdasarkan adat

kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan anak

berdasarkan adat kebiasaan setempat adalah pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu

komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan

bermasyarakat.1

Pengangkatan anak menurut hukum secara umum merupakan pengalihan anak terhadap

orang tua angkat dari orang tua kandung secara keseluruhan dan dilakukan menurut adat

setempat agar sah, jadi orang tua kandung sudah lepas tangan terhadap anak itu dan tanggung

jawab beralih kepada orang yang mengangkatnya. Yurisprudensi semula berpandangan bahwa

terjadinya pengangkatan anak bergantung pada proses formalitas adat pengangkatan anak. Hal

ini dapat diketahui dari Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa untuk mengetahui

keabsahan seorang anak angkat tergantung pada upacara adat tanpa menilai secara objektif

keberadaan anak dalam kehidupan keluarga orang tua angkat. 2 Putusan ini adalah Putusan

Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, dalam putusan ini

dijelaskan untuk pengangkatan anak di Bali disyaratkan sudah terjadi sepakat antara anak yang

diangkat beserta keluarganya dan pihak purusa (keturunan pancar laki-laki) dengan pihak orang

tua yang mengangkat beserta keluarganya dan pihak purusa juga, dilaksanakan upacara widi-

widana yang dihadiri oleh pendeta dengan disaksikan oleh pejabat resmi setempat antara lain

1
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak
2
Putusan Mahkamah Agung Nomor 210 K/Sip/1973
1
2

Klian Adat, Klian Dinas dan Kepala Desa, kemudian disiarkan di muka umum, di muka karma,

atau anggota banjar.3

Dasar hukum pengaturan pengangkatan anak sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, dilaksanakan berdasarkan

pada hukum adat, hukum syari’ah dan juga berdasarkan akta pengangkatan anak yang dibuat di

hadapan notaris, namun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007

Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, maka pengangkatan anak harus dilaksanakan melalui

putusan atau penetapan pengadilan.4 Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik

bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak yang

dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat, maka sangat diperlukan putusan atau

penetapan pengadilan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi anak. Hal ini

tertuang dalam peraturan pemerintah tersebut yang menyatakan bahwa anak angkat adalah anak

yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang

lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke

dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan

pengadilan.5

Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak, notaris berperan dalam pembuatan perjanjian akta pengangkatan anak,

dimana sebelum berlakunya peraturan tersebut pengangkatan anak hanya dapat terjadi dengan

adanya akta notaris.6 Peraturan ini berlaku bagi golongan timur asing Tionghoa saja, sehingga

pengangkatan anak di luar peraturan ini tidak dibenarkan. 7 Setelah Peraturan Pemerintah Nomor

54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak diberlakukan, terdapat juga upaya

menampakan peranan notaris dalam proses pengangkatan anak, walaupun peranan notaris tidak

3
Ibid.
4
Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
5
Ibid., Pasal 1 Angka 1
6
Pasal 10 Ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 Tentang Pengangkatan Anak
7
Ibid., Pasal 6
3

ternyata secara tegas dan jelas tetapi dimungkinkan dalam hal notaris membuat akta

pengangkatan anak yang mana tetap harus melalui pengesahan pengadilan.8

Adanya sistem keturunan yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan hukum waris

adat berdampak pada permasalahan pengangkatan anak. Hukum waris adalah hukum yang

mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta

akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam

lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja yang dapat diwaris.9 Hukum kewarisan

merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan penting bahkan mencerminkan

sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum

waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.

Pengangkatan anak tidak dapat dipisahkan dengan hukum adat, meskipun peraturan

pemerintah yang mengatur pengangkatan anak telah diberlakukan, namun tentu masih ada

perbaikan dan penyesuaian, mengingat bahwa tidak semua sistem hukum nasional dapat

dipisahkan dengan hukum adat. Sampai saat ini Hukum Positif Indonesia tetap mengakui

keberadaan pranata hukum adat di berbagai tempat di Indonesia, dengan menekankan pada

penerapannya yang lebih bijak sehingga berkesesuaian dengan perkembangan kebutuhan

masyarakat, serta rasa keadilan masyarakat yang dinamis seiring dengan perubahan zaman.

Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak, tentunya akan menimbulkan masalah baru didalam masyarakat mengenai

kepastian hukum pengangkatan anak terlebih lagi dengan adanya peraturan yang menyebutkan

pengangkatan anak sah hanya berdasarkan adat kebiasaan masyarakat setempat. Pengangkatan

anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat

yang bersangkutan.10 Sedangkan Pasal 9 ayat (2) Peratuan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007

8
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007., Op.Cit. Pasal 13 Huruf I, J
9
Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 3.
10
Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007. Op.Cit., Pasal 19
4

menjelaskan bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat ini dapat

dimohonkan penetapan pengadilan.

Pengangkatan anak yang didasarkan pada adat kebiasaan masyarakat setempat tentu

dapat menimbulkan permasalahan sebagaimana di Jawa Timur terjadi sengketa harta

peninggalan orang tua angkat yang dikuasai oleh anak angkat dan menimbulkan perselisihan

antara anak angkat dengan ahli waris yang sah dari orang tua angkat dan digugat oleh para ahli

waris lainnya melalui Pengadilan Negeri Jember. Anak angkat mengajukan bukti yang sah

menurut hukum adat yang berlaku di daerah ia dan orang tua angkatnya tinggal dan merasa

bahwa berhak mewarisi obyek sengketa dan menutup kedudukan waris lainnya terlebih lagi

obyek sengketa merupakan barang asal dari orang tua angkatnya (pewaris) dan bukan sebagai

harta gono gini, namun bukti pengangkatan anak ditolak oleh pengadilan negeri Jember dengan

pertimbangan bahwa pengajuan penetapan anak angkat tidak sesuai prosedur, sehingga kutipan

pengangkatan anak dan penetapan pengangkatan anak oleh pengadilan dinilai cacat hukum,

sehingga anak angkat tidak berhak sama sekali atas harta peninggalan dari orang tuanya. 11

Kasus kedua yang terkait dengan waris adat dan pengangkatan anak terjadi di Kabupaten

Maluku Tengah, yaitu penjualan sebidang tanah oleh anak angkat milik orang tua angkatnya atas

persetujuan salah satu ahli waris, namun oleh cucu salah satu pewaris digugat melalui

Pengadilan Negeri Masohi dan dikabulkan dengan alasan bahwa anak angkat tidak berhak

mewarisi objek gugatan karena bukan merupakan anak kandung pewaris. Kemudian anak angkat

mengajukan banding dan dimenangkan dalam perkara bandingnya tersebut, dengan mendasarkan

pada penerapan hukum adat yang mengatur bahwa seorang anak angkat yang telah mengurusi

hal-hal dan kepentingan pewaris berhak untuk mendapatkan warisan sama seperti hak-hak anak-

anak sah pewaris terlebih telah mendapat izin untuk menjual boedel waris dari anak kandung

pewaris yang masih hidup. Atas banding Pengadilan Negeri Masohi tersebut, cucu pewaris

mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung membatalkan putusan banding
11
Putusan Mahkamah Agung Nomor 766 PK/Pdt/2011
5

Pengadilan Negeri Masohi di atas dan mengabulkan kasasi tersebut dengan pertimbangan bahwa

Pengadilan Tinggi Maluku salah menerapkan hukum mengingat bahwa untuk pengangkatan

anak diperlukan pula persetujuan dari anak-anak pusaka atau cucu-cucu dari kerabat atau

persekutuan yang berkepentingan, tanpa persetujuan anak-anak pusaka maka pengangkatan anak

itu tidak sah, jadi dengan kata lain anak angkat mempunyai hak waris yang sama dengan anak

kandung asal saja pengangkatannya menurut prosedur yang sah yaitu dilakukan di hadapan

Pemerintah Negeri atau di hadapan Notaris.12

Berdasarkan kasus pertama di atas adanya penetapan pengangkatan anak oleh pengadilan

dan kutipan pengangkatan anak yang dinilai cacat hukum, meskipun telah mengajukan bukti

pengangkatan anak secara adat tentu merugikan pihak penggugat dan hal ini bertentangan

dengan pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa

pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di

dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor

54 tahun 2007 menjelaskan bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat ini

dapat dimohonkan penetapan pengadilan. Kalimat dapat dimohonkan menimbulkan multitafsir

dan dapat diartikan sebagai bukan suatu keharusan namun boleh dimohonkan penetapan

pengadilan.

Kasus kedua diatas tentang pembagian waris dikaitkan dengan hukum adat dan prosedur

pengangkatan anak dinilai tidak sesuai karena tidak dilakukan di hadapan pemerintah negeri atau

notaris, sedangkan penggugat telah mengajukan bukti pengangkatan anak melalui kebiasaan

setempat. Hal yang menarik adalah disebutkan alasan tidak sahnya pengangkatan anak karena

tidak dilakukan di hadapan notaris hal ini bertentang dengan Pasal 8 PP 54/2007 yang

menyebutkan pengangkatan antar arga negara Indonesia meliputi: a) pengangkatan anak

berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan b)  pengangkatan anak berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Pasal tersebut tidak menyebutkan pengangkatan berdasarkan akta notaris.


12
Putusan Mahkamah Agung Nomor 470/PK/Pdt/2014
6

Das Solen:

1. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007. Pengangkatan antar Warga Negara

Indonesia meliputi:

a. pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan

b. pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(Pasal tersebut tidak menyebutkan pengangkatan berdasarkan akta notaris)

2. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 menyebutkan bahwa pengangkatan

anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam

masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan Pasal 9 ayat menjelaskan bahwa

pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat ini dapat dimohonkan penetapan

pengadilan

Das Sein:

Pada prakteknya prosedur pengangkatan anak dikaitkan dengan sengketa waris anak angkat:

1. Penolakan waris anak angkat akibat prosedur pengangkatan anak cacat hukum,

meskipun sudah mengajukan bukti pengangkatan berdasarkan adat kebiasaan

2. Penolakan waris anak angkat akibat pengangkatan tidak melalui notaris.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas terdapat permasalahan hukum normatif yang menarik

untuk dianalisis, yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana kepastian hukum pengangkatan anak terkait dengan hukum waris adat?

2. Bagaimana perlindungan hukum anak angkat dalam hak mewaris berdasarkan hukum

waris adat?

C. Kerangka Teoritis dan Konsep

1. Kepastian Hukum
7

Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori kepastian hukum, dimana

istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian yang

tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang berusaha menjelaskan

arti dari istilah tersebut dengan argumen dan perspektif tertentu, baik dalam pengertian

yang sempit maupun luas. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat

dijawab secara normatif dan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika

suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan

logis, dimana jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan dan logis dalam artian

menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan.13

Teori Kepastian hukum menurut Bachsan Mustafa adalah hukum administrasi

negara positif harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada penduduk.

Dalam hal ini kepastian hukum mempunyai 3 (tiga) arti sebagai berikut.14

a. Pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah pemerintah tertentu

yang abstrak.

b. Pasti mengenai kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam

pelaksanaan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara.

c. Mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang (eigenrichting) dari

pihak manapun, juga tidak dari pemerintah.

Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada

aliran pemikiran positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai

sesuatu yang otonom yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak

lain sekedar menjamin terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari

aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan

13
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum,
(Jakarta, 2009), Hlm. 385.
14
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung: Cipta Aditya Bakti), 2001), hlm.
53.
8

keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.15 Adanya kepastian

hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang

dari aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum,

sehingga masyarakat masyarakat mengetahui kejelasan akan hak dan kewajiban menurut

hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penoramaan yang baik dan jelas

dalam suatu Undang-undang dan akan jelas pula penerapannya.

Kepastian hukum terhadap pengangkatan anak didasarkan pemikiran bahwa anak

sebagai amanat Tuhan yang harus dipelihara apapun statusnya baik anak kandung

maupun anak angkat, pada dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia

yang harus dijunjung tinggi. Namun keberadaan anak angkat dapat dipersoalkan tentang

keabsahan status pengangkatannya, yang dapat menimbulkan perselisihan diantara

anggota keluarga terlebih lagi pengangkatan anak ini berkaitan dengan kedudukan harta

warisan orang tuanya.

Menurut hukum adat kedudukan anak angkat adalah sama dengan anak kandung

termasuk sebagai ahli waris dari orang tua angkat. Dalam pembagian warisan menurut

hukum waris adat, anak angkat menerima bagian warisan yang sama seperti anak

kandung termasuk perolehan harta pusaka dan harta dati. Lebih lanjut berkaitan dengan

adat bahwa seorang anak angkat yang telah mengurusi semua hal selama pewaris masih

hidup sampai dengan pewaris meninggal dunia maka anak angkat tersebut berhak atas

harta waris seperti anak kandung. Meskipun demikian untuk menjamin status formal dan

legalitas status anak angkat perlu adanya kepastian hukum tentang pengangkatan anak

tersebut.

Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak menyatakan bahwa pengangkatan anak dilakukan menurut adat dan kebiasaan

15
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis), (Jakarta: Penerbit Toko Gunung
Agung, 2002), hlm. 82-83
9

dengan mengutamakan kepentingan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak dan

pengangkatan anak yang dilakukan di luar adat kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan

peraturan perundang-undangan.16 Pengangkatan anak dalam hukum adat adalah sebuah

tindakan yang dengannya seorang anak yang tidak termasuk keluarga diterima dalam

tatanan keluarga tersebut, karenanya diciptakan hubungan yang sejajar dengan

kekerabatan bilogis yang telah ditetapkan secara sosial.

2. Perlindungan Hukum

Menurut Philpus M. Hadjon Perlindungan hukum adalah perlindungan akan

harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh

subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan

peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. 17 Menurut

Philpus M Hadjon perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:

a. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada

rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum

suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif;

b. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan

dalam penyelesaian sengketa. 18

Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan

implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan

pancasila. Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi

manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada

masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum

atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus
16
Pasal 12 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
17
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat diIndonesia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 1-
2
18
Ibid., hlm. 4
10

diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran

maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. 19 Perlindungan

hukum disini bermakna adanya rasa aman dari perlakuan hukum terkait dengan hak-

haknya dalam bidang hukum.

Menurut Satjipto Raharjo hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka

kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur dalam

arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang

disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak,

melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada

seseorang.20

Menurut Sigit Sapto Nugroho ahli waris dalam sistem pewarisan parental

menyebutkan bahwa salah satu golongan ahli waris masyarakat parental adalah anak

angkat, baik pengangkatan anak dikarenakan tidak mempunyai anak sama sekali, atau

tidak ada anak penerus keturunan atau karena kebutuhan tenaga kerja atau juga karena

belas kasihan kepada anak-anak yatim piatu dan miskin. Tetapi, kebanyakan kedudukan

anak angkat dalam masyarakat parental tidak dibedakan antara anak angkat adat yang

diresmikan dalam upacara adat, dan anak angkat yang merupakan anak akuan saja tanpa

upacara (anak kukut).21 Hal ini mengindikasikan bahwa apapun motivasi dalam

pengangkatan anak menurut sistem pewarisan parental kedudukan anak angkat sama

dengan anak kandung, baik yang diangkat melalui upacara adat maupun karena

pengakuan saja.

Hukum adat juga mengatur mengenai pembagian waris yang dikenal dengan

istilah hukum waris adat. Menurut hukum adat, untuk menentukan siapa yang menjadi

19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 53.
20
Ibid.
21
Sigit Sapto Nugroho, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Solo: Pustaka Iltizam, 2016), hlm. 88.
11

ahli waris digunakan dua macam garis pokok yaitu garis pokok keutamaan dan garis

pokok penggantian. Selain itu di dalam hukum waris adat juga dikenal tiga sistem

kewarisan yang sangat erat kaitannya dengan sistem kekerabatan, yaitu sistem kolektif

yaitu harta warisan yang diwarisi secara bersama-sama, lalu sistem mayorat dimana anak

tertua yang berhak menguasai harta warisan, yang terakhir sistem individual yaitu harta

warisan yang terbagi-bagi dan masing-masing ahli waris berhak menerima harta waris.

D. Kesimpulan

1. Kepastian Hukum Pengangkatan Anak Terkait Hukum Waris Adat

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak

bertujuan untuk memberikan kepastian hukum khususnya bagi orang tua angkat dan anak

angkat. Selain itu juga agar dalam kehidupan dimasyarakat terciptanya suatu ketertiban

hukum. Banyaknya perbedaan pendapat yang terjadi akibat dari keanekaragaman kulktur

budaya yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang menyebabkan

ketidakpastian hukum pengangkatan anak dan hak waris adat dapat dilakukan dengan

cara mensinkronkan ketentuan -ketentuan pengangkatan sebagaimana diatur dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak dengan ketentuan-ketentuan hukum waris adat masyarakat setempat.

2. Perlindungan Hukum Pengangkatan Anak Terkait Hukum Waris Adat

Menurut hukum adat, anak angkat yang melalui penetapan pengadilan bisa

mendapatkan hak mewaris dari 2 (dua) sumber yaitu harta gono gini dan harta asal orang

tua kandunganya serta harta gono gini orang tua angkatanya namun tidak mewaris harta

asal orang tua angkatanya. Untuk memberikan wujud perlindungan hukum bagi anak

angkat dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pengangkatan anak melalui

lembaga pengadilan untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan, legalitas dan juga

dokumen hukum yang sah, juga menjamin hak-hak dari si anak angkat agar terwujud.
12

Dokumen inilah yang akan menyatakan bahwa telah terjadi pengangkatan anak secara

legal meskipun prosedur pengangkatan anak telah dilakukan melalui adat kebiasaan

setempat.

Undang-undang Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan anak Pasal 9 ayat

(2) berbunyi bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat

dimohonkan penetapan pengadilan. Hal inilah yang menjadi bukti kuat akan adanya

perlindungan hukum berkaitan dengan pengangkatan anak dalam kaitannya dengan hak

waris adat.

Anda mungkin juga menyukai