SHP Tiara
SHP Tiara
Oleh:
TIARA DHARMAWAN
2017010461051
MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
bahwa tujuan pengangkatan anak adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak yang dilaksanakan berdasarkan adat
berdasarkan adat kebiasaan setempat adalah pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu
komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan
bermasyarakat.1
Pengangkatan anak menurut hukum secara umum merupakan pengalihan anak terhadap
orang tua angkat dari orang tua kandung secara keseluruhan dan dilakukan menurut adat
setempat agar sah, jadi orang tua kandung sudah lepas tangan terhadap anak itu dan tanggung
jawab beralih kepada orang yang mengangkatnya. Yurisprudensi semula berpandangan bahwa
terjadinya pengangkatan anak bergantung pada proses formalitas adat pengangkatan anak. Hal
ini dapat diketahui dari Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa untuk mengetahui
keabsahan seorang anak angkat tergantung pada upacara adat tanpa menilai secara objektif
keberadaan anak dalam kehidupan keluarga orang tua angkat. 2 Putusan ini adalah Putusan
Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, dalam putusan ini
dijelaskan untuk pengangkatan anak di Bali disyaratkan sudah terjadi sepakat antara anak yang
diangkat beserta keluarganya dan pihak purusa (keturunan pancar laki-laki) dengan pihak orang
tua yang mengangkat beserta keluarganya dan pihak purusa juga, dilaksanakan upacara widi-
widana yang dihadiri oleh pendeta dengan disaksikan oleh pejabat resmi setempat antara lain
1
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak
2
Putusan Mahkamah Agung Nomor 210 K/Sip/1973
1
2
Klian Adat, Klian Dinas dan Kepala Desa, kemudian disiarkan di muka umum, di muka karma,
pada hukum adat, hukum syari’ah dan juga berdasarkan akta pengangkatan anak yang dibuat di
hadapan notaris, namun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, maka pengangkatan anak harus dilaksanakan melalui
putusan atau penetapan pengadilan.4 Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik
bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak yang
dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat, maka sangat diperlukan putusan atau
penetapan pengadilan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi anak. Hal ini
tertuang dalam peraturan pemerintah tersebut yang menyatakan bahwa anak angkat adalah anak
yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang
lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan
pengadilan.5
Pengangkatan Anak, notaris berperan dalam pembuatan perjanjian akta pengangkatan anak,
dimana sebelum berlakunya peraturan tersebut pengangkatan anak hanya dapat terjadi dengan
adanya akta notaris.6 Peraturan ini berlaku bagi golongan timur asing Tionghoa saja, sehingga
pengangkatan anak di luar peraturan ini tidak dibenarkan. 7 Setelah Peraturan Pemerintah Nomor
54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak diberlakukan, terdapat juga upaya
menampakan peranan notaris dalam proses pengangkatan anak, walaupun peranan notaris tidak
3
Ibid.
4
Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
5
Ibid., Pasal 1 Angka 1
6
Pasal 10 Ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 Tentang Pengangkatan Anak
7
Ibid., Pasal 6
3
ternyata secara tegas dan jelas tetapi dimungkinkan dalam hal notaris membuat akta
Adanya sistem keturunan yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan hukum waris
adat berdampak pada permasalahan pengangkatan anak. Hukum waris adalah hukum yang
mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta
akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam
lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja yang dapat diwaris.9 Hukum kewarisan
merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan penting bahkan mencerminkan
sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum
Pengangkatan anak tidak dapat dipisahkan dengan hukum adat, meskipun peraturan
pemerintah yang mengatur pengangkatan anak telah diberlakukan, namun tentu masih ada
perbaikan dan penyesuaian, mengingat bahwa tidak semua sistem hukum nasional dapat
dipisahkan dengan hukum adat. Sampai saat ini Hukum Positif Indonesia tetap mengakui
keberadaan pranata hukum adat di berbagai tempat di Indonesia, dengan menekankan pada
masyarakat, serta rasa keadilan masyarakat yang dinamis seiring dengan perubahan zaman.
Pengangkatan Anak, tentunya akan menimbulkan masalah baru didalam masyarakat mengenai
kepastian hukum pengangkatan anak terlebih lagi dengan adanya peraturan yang menyebutkan
pengangkatan anak sah hanya berdasarkan adat kebiasaan masyarakat setempat. Pengangkatan
anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat
yang bersangkutan.10 Sedangkan Pasal 9 ayat (2) Peratuan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007
8
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007., Op.Cit. Pasal 13 Huruf I, J
9
Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 3.
10
Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007. Op.Cit., Pasal 19
4
menjelaskan bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat ini dapat
Pengangkatan anak yang didasarkan pada adat kebiasaan masyarakat setempat tentu
peninggalan orang tua angkat yang dikuasai oleh anak angkat dan menimbulkan perselisihan
antara anak angkat dengan ahli waris yang sah dari orang tua angkat dan digugat oleh para ahli
waris lainnya melalui Pengadilan Negeri Jember. Anak angkat mengajukan bukti yang sah
menurut hukum adat yang berlaku di daerah ia dan orang tua angkatnya tinggal dan merasa
bahwa berhak mewarisi obyek sengketa dan menutup kedudukan waris lainnya terlebih lagi
obyek sengketa merupakan barang asal dari orang tua angkatnya (pewaris) dan bukan sebagai
harta gono gini, namun bukti pengangkatan anak ditolak oleh pengadilan negeri Jember dengan
pertimbangan bahwa pengajuan penetapan anak angkat tidak sesuai prosedur, sehingga kutipan
pengangkatan anak dan penetapan pengangkatan anak oleh pengadilan dinilai cacat hukum,
sehingga anak angkat tidak berhak sama sekali atas harta peninggalan dari orang tuanya. 11
Kasus kedua yang terkait dengan waris adat dan pengangkatan anak terjadi di Kabupaten
Maluku Tengah, yaitu penjualan sebidang tanah oleh anak angkat milik orang tua angkatnya atas
persetujuan salah satu ahli waris, namun oleh cucu salah satu pewaris digugat melalui
Pengadilan Negeri Masohi dan dikabulkan dengan alasan bahwa anak angkat tidak berhak
mewarisi objek gugatan karena bukan merupakan anak kandung pewaris. Kemudian anak angkat
mengajukan banding dan dimenangkan dalam perkara bandingnya tersebut, dengan mendasarkan
pada penerapan hukum adat yang mengatur bahwa seorang anak angkat yang telah mengurusi
hal-hal dan kepentingan pewaris berhak untuk mendapatkan warisan sama seperti hak-hak anak-
anak sah pewaris terlebih telah mendapat izin untuk menjual boedel waris dari anak kandung
pewaris yang masih hidup. Atas banding Pengadilan Negeri Masohi tersebut, cucu pewaris
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung membatalkan putusan banding
11
Putusan Mahkamah Agung Nomor 766 PK/Pdt/2011
5
Pengadilan Negeri Masohi di atas dan mengabulkan kasasi tersebut dengan pertimbangan bahwa
Pengadilan Tinggi Maluku salah menerapkan hukum mengingat bahwa untuk pengangkatan
anak diperlukan pula persetujuan dari anak-anak pusaka atau cucu-cucu dari kerabat atau
persekutuan yang berkepentingan, tanpa persetujuan anak-anak pusaka maka pengangkatan anak
itu tidak sah, jadi dengan kata lain anak angkat mempunyai hak waris yang sama dengan anak
kandung asal saja pengangkatannya menurut prosedur yang sah yaitu dilakukan di hadapan
Berdasarkan kasus pertama di atas adanya penetapan pengangkatan anak oleh pengadilan
dan kutipan pengangkatan anak yang dinilai cacat hukum, meskipun telah mengajukan bukti
pengangkatan anak secara adat tentu merugikan pihak penggugat dan hal ini bertentangan
dengan pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa
pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di
dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
54 tahun 2007 menjelaskan bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat ini
dan dapat diartikan sebagai bukan suatu keharusan namun boleh dimohonkan penetapan
pengadilan.
Kasus kedua diatas tentang pembagian waris dikaitkan dengan hukum adat dan prosedur
pengangkatan anak dinilai tidak sesuai karena tidak dilakukan di hadapan pemerintah negeri atau
notaris, sedangkan penggugat telah mengajukan bukti pengangkatan anak melalui kebiasaan
setempat. Hal yang menarik adalah disebutkan alasan tidak sahnya pengangkatan anak karena
tidak dilakukan di hadapan notaris hal ini bertentang dengan Pasal 8 PP 54/2007 yang
Das Solen:
1. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007. Pengangkatan antar Warga Negara
Indonesia meliputi:
anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam
pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat ini dapat dimohonkan penetapan
pengadilan
Das Sein:
Pada prakteknya prosedur pengangkatan anak dikaitkan dengan sengketa waris anak angkat:
1. Penolakan waris anak angkat akibat prosedur pengangkatan anak cacat hukum,
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas terdapat permasalahan hukum normatif yang menarik
1. Bagaimana kepastian hukum pengangkatan anak terkait dengan hukum waris adat?
2. Bagaimana perlindungan hukum anak angkat dalam hak mewaris berdasarkan hukum
waris adat?
1. Kepastian Hukum
7
Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori kepastian hukum, dimana
istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian yang
tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang berusaha menjelaskan
arti dari istilah tersebut dengan argumen dan perspektif tertentu, baik dalam pengertian
yang sempit maupun luas. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat
dijawab secara normatif dan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika
suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis, dimana jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan dan logis dalam artian
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan.13
negara positif harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada penduduk.
Dalam hal ini kepastian hukum mempunyai 3 (tiga) arti sebagai berikut.14
yang abstrak.
b. Pasti mengenai kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam
Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada
aliran pemikiran positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai
sesuatu yang otonom yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak
lain sekedar menjamin terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari
13
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum,
(Jakarta, 2009), Hlm. 385.
14
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung: Cipta Aditya Bakti), 2001), hlm.
53.
8
dari aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum,
sehingga masyarakat masyarakat mengetahui kejelasan akan hak dan kewajiban menurut
hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penoramaan yang baik dan jelas
sebagai amanat Tuhan yang harus dipelihara apapun statusnya baik anak kandung
maupun anak angkat, pada dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia
yang harus dijunjung tinggi. Namun keberadaan anak angkat dapat dipersoalkan tentang
anggota keluarga terlebih lagi pengangkatan anak ini berkaitan dengan kedudukan harta
Menurut hukum adat kedudukan anak angkat adalah sama dengan anak kandung
termasuk sebagai ahli waris dari orang tua angkat. Dalam pembagian warisan menurut
hukum waris adat, anak angkat menerima bagian warisan yang sama seperti anak
kandung termasuk perolehan harta pusaka dan harta dati. Lebih lanjut berkaitan dengan
adat bahwa seorang anak angkat yang telah mengurusi semua hal selama pewaris masih
hidup sampai dengan pewaris meninggal dunia maka anak angkat tersebut berhak atas
harta waris seperti anak kandung. Meskipun demikian untuk menjamin status formal dan
legalitas status anak angkat perlu adanya kepastian hukum tentang pengangkatan anak
tersebut.
Anak menyatakan bahwa pengangkatan anak dilakukan menurut adat dan kebiasaan
15
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis), (Jakarta: Penerbit Toko Gunung
Agung, 2002), hlm. 82-83
9
tindakan yang dengannya seorang anak yang tidak termasuk keluarga diterima dalam
2. Perlindungan Hukum
harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh
subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan
peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. 17 Menurut
Philpus M Hadjon perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:
b. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan
implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan
manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada
masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum
atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus
16
Pasal 12 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
17
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat diIndonesia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 1-
2
18
Ibid., hlm. 4
10
diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran
maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. 19 Perlindungan
hukum disini bermakna adanya rasa aman dari perlakuan hukum terkait dengan hak-
arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang
disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak,
melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada
seseorang.20
Menurut Sigit Sapto Nugroho ahli waris dalam sistem pewarisan parental
menyebutkan bahwa salah satu golongan ahli waris masyarakat parental adalah anak
angkat, baik pengangkatan anak dikarenakan tidak mempunyai anak sama sekali, atau
tidak ada anak penerus keturunan atau karena kebutuhan tenaga kerja atau juga karena
belas kasihan kepada anak-anak yatim piatu dan miskin. Tetapi, kebanyakan kedudukan
anak angkat dalam masyarakat parental tidak dibedakan antara anak angkat adat yang
diresmikan dalam upacara adat, dan anak angkat yang merupakan anak akuan saja tanpa
upacara (anak kukut).21 Hal ini mengindikasikan bahwa apapun motivasi dalam
pengangkatan anak menurut sistem pewarisan parental kedudukan anak angkat sama
dengan anak kandung, baik yang diangkat melalui upacara adat maupun karena
pengakuan saja.
Hukum adat juga mengatur mengenai pembagian waris yang dikenal dengan
istilah hukum waris adat. Menurut hukum adat, untuk menentukan siapa yang menjadi
19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 53.
20
Ibid.
21
Sigit Sapto Nugroho, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Solo: Pustaka Iltizam, 2016), hlm. 88.
11
ahli waris digunakan dua macam garis pokok yaitu garis pokok keutamaan dan garis
pokok penggantian. Selain itu di dalam hukum waris adat juga dikenal tiga sistem
kewarisan yang sangat erat kaitannya dengan sistem kekerabatan, yaitu sistem kolektif
yaitu harta warisan yang diwarisi secara bersama-sama, lalu sistem mayorat dimana anak
tertua yang berhak menguasai harta warisan, yang terakhir sistem individual yaitu harta
warisan yang terbagi-bagi dan masing-masing ahli waris berhak menerima harta waris.
D. Kesimpulan
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum khususnya bagi orang tua angkat dan anak
angkat. Selain itu juga agar dalam kehidupan dimasyarakat terciptanya suatu ketertiban
hukum. Banyaknya perbedaan pendapat yang terjadi akibat dari keanekaragaman kulktur
ketidakpastian hukum pengangkatan anak dan hak waris adat dapat dilakukan dengan
Menurut hukum adat, anak angkat yang melalui penetapan pengadilan bisa
mendapatkan hak mewaris dari 2 (dua) sumber yaitu harta gono gini dan harta asal orang
tua kandunganya serta harta gono gini orang tua angkatanya namun tidak mewaris harta
asal orang tua angkatanya. Untuk memberikan wujud perlindungan hukum bagi anak
angkat dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pengangkatan anak melalui
lembaga pengadilan untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan, legalitas dan juga
dokumen hukum yang sah, juga menjamin hak-hak dari si anak angkat agar terwujud.
12
Dokumen inilah yang akan menyatakan bahwa telah terjadi pengangkatan anak secara
legal meskipun prosedur pengangkatan anak telah dilakukan melalui adat kebiasaan
setempat.
(2) berbunyi bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat
dimohonkan penetapan pengadilan. Hal inilah yang menjadi bukti kuat akan adanya
perlindungan hukum berkaitan dengan pengangkatan anak dalam kaitannya dengan hak
waris adat.