EMOSI
Dosen Pengampu : Bu Sri Nyumirah, M.Kep, Sp.Jiwa
Kelas : PSIK I A
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Emosi” yang
mana makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah psikologi keperawatan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-
kekurangannya, hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan, waktu, serta sumber yang penulis
miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk
perbaikan penyusunan selanjutnya.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada guru pembimbing, serta kepada semua
pihak yang telah ikut membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga semua amal baik semua
pihak mendapat imbalan yang berlimpah dari Allah SWT. Amiiinnn.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
BAB II KONSEP TEORI
2.1 Pengertian Emosi
2.2 Penggolongan Emosi
2.3 Klasifikasi Emosi
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
a.Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami emosi.
b. Tujuan Umum
1) Mahasiswa mampu memahami pengertian emosi.
2) Mahasiswa mampu mengetahui penggolongan emosi.
3) Mahasiswa mampu mengetahui klasifikasi emosi.
BAB II
KONSEP TEORI
Perkembangan emosi dialami oleh seorang bayi, anak-anak, remaja dan dewasa. Dimana
seeorang akan merasakannya sebagai sebuah persepsi yang dilalui oleh sistem-sistem saraf
mereka sesuai dengan perkembangan emosinya.
Menurut Elizabeth B. Hurlock, reaksi yang menyenangkan pada bayi dapat diperoleh
dengan cara mengubah posisi tubuh secara tiba-tiba, membuat suara keras atau membiarkan bayi
menggunakan popok yang basah. Rangsangan ini menimbulkan reaksi emosional berupa
tangisan dan aktivitas yang kuat. Sebaliknya reaksi yang menyenangkan dapat tampak jelas
ketika bayi menyusui pada ibunya.
Pada umumnya anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa karena pada usia ini
anak masih relatif muda dan belum dapat mengendalikan emosinya. Anak kecil memiliki
perilaku yang sangat memaksa. Mereka hanya mempunyai sedikit kendali dari dorongan hati
mereka dan mudah merasa putus asa. Pada saat anak mencapai usia tiga tahun mereka sudah
menumbuhkan beberapa sikap toleransi untuk mengatasi hal tersebut. Mereka juga sudah dapat
mengembangkan beberapa sikap pengendalian diri, mereka tidak bereaksi terhadap setiap
dorongan hati. Perkembangan emosi berkaitan dengan pengendalian diri, apa yang disukai dan
yang tidak disukai.
Menurut Elizabeth B. Hurlock, pada usia dua sampai empat tahun, karakteristik emosi anak
muncul pada ledakan amarahnya atau temper tantrums. Sedangkan anak yang berusia tiga dan
empat tahun menyenangi kejutan-kejutan. Mereka memerlukan keamanan dengan mengetahui
bahwa ada suatu struktur dalam kehidupan sehari-hari. Anak yang berusia tiga dan empat tahun
juga sudah mulai menunjukkan selera humor. Pada usia lima sampai enam tahun anak mulai
matang dan mulai menyadari akibat-akibat dari emosinya. Ekspresi emosi anak dapat berubah
secara drastis dan cepat, contohnya baru saja anak menangis tetapi setelah beberapa menit
kemudian anak bisa gembira lagi karena mendapatkan hiburan dari orang yang mengendalikan
emosinya.
Anak-anak yang berusia tujuh dan delapan tahun mulai mencoba kembali untuk
memperoleh kendali yang lebih baik lagi dari tanggapan emosional mereka. Mereka mulai
menyadari kondisi di dunia dan lebih menaruh perhatian terhadap cerita-cerita baru yang mereka
lihat di televisi atau yang mereka dengar dari bahan diskusi orang-orang dewasa.
Anak yang berusia tujuh dan delapan tahun mulai menunjukkan ketekunan di dalam usaha
yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan mereka. Ini sering menyebabkan orang tua mereka
menjadi kesal dimana ketika anak meminta orang tua untuk melakukan suatu hal secara berulang
kali. Pada usia ini anak-anak mengembangkan sikap empati yang lebih memperkenalkan diri
kepada orang lain dan juga merasa bersalah ketika mereka melukai orang lain, baik secara fisik
ataupun emosional. Mereka mencoba untuk menimbulkan rasa nyaman terhadap keluarga atau
teman tanpa diminta untuk melakukannya.
Sedangkan pola emosi remaja juga hampir sama dengan pola emosi masa kanak-kanak.
Jenis emosi yang secara normal sering dialami remaja adalah kasih sayang, gembira, amarah,
takut dan cemas, cinta, cemburu, kecewa, sedih dan lain-lain. Perbedaannya terletak pada macam
dan derajat rangsangan yang membangkitkan emosi dan pola pengendalian yang dilakukan
individu terhadap emosinya.
Menurut Biehler, ciri-ciri emosional remaja terbagi dalam dua rentang usia, yaitu usia 12-
15 tahun dan usia 15-18 tahun. Adapun ciri-ciri emosional remaja berusia 12-15 tahun adalah
sebagai berikut :
a. Cenderung bersikap pemurung. Sebagian disebabkan karena perubahan biologis
dalam hubungannya dengan kematangan seksual dan sebagiannya lagi karena
kebingungannya dalam menghadapi orang dewasa. Karena kemurungan, hal ini
dapat memicu terjadinya suasana hati yang depresi yang lebih banyak dialami oleh
perempuan.
b. Ada kalanya bersikap kasar dalam menutupi kekurangannya dalam hal percaya
diri.
c. Kemarahan sering terjadi sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologis,
ketidakstabilan biologis, dan kelelahan karena bekerja yang terlalu keras atau pola
makan yang tidak tepat ataupun tidur yang kurang cukup.
d. Cenderung berperilaku tidak toleran terhadap orang lain dengan membenarkan
pendapatnya sendiri.
Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun adalah sebagai berikut :
a. Sering memberontak sebagai ekspresi dari perubahan dari masa kanak-kanak ke
dewasa.
b. Dengan bertambahnya kebebasan, banyak remaja yang mengalami konflik dengan
orang tuanya. Mereka mengharapkan perhatian, simpati dan nasihat orang tua.
c. Sering melamun untuk memikirkan masa depannya.
Para peneliti mengemukakan bahwa perubahan pubertas berkaitan dengan meningkatnya
emosi-emosi negatif. Meskipun demikian sebagian besar peneliti berkesimpulan bahwa pengaruh
hormonal itu kecil dan jika hal itu terjadi, biasanya berkaitan dengan faktor lain seperti stres,
pola makan, aktivitas seksual dan relasi sosial. Sesungguhnya pengalaman lingkungan dapat
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap emosi remaja dibandingkan perubahan
hormonal.
Banyak remaja yang tidak dapat mengelola emosinya secara lebih efektif. Sebagai
akibatnya mereka rentan mengalami depresi, kemarahan, kurang mampu meregulasi emosinya
yang selanjutnya dapat memicu munculnya berbagai masalah seperti kesulitan akademis.
Pada masa dewasa perkembangan emosi mereka, akan mereka tujukan kepada hal-hal
tentang percintaan, mulai meninggalkan rumah, mengembangkan karir dan bersosialisasi.
2.3 Klasifikasi Emosi
Atas dasar arah aktivitasnya, tingkah laku emosional dapat dibagi menjadi empat
macam, yaitu : (1) marah, orang bergerak menentang sumber frustasi. (2) takut, orang bergerak
meninggalkan sumber frustasi. (3) cinta, orang bergerak menuju sumber kemenangan. (4)
depresi, orang menghentikan respon-respon terbukanya dan mengalihkan emosi ke dalam
dirinya sendiri.
Dari hasil penelitiannya, John B. Watson menemukan bahwa tiga dari keempat emosional
tersebut terdapat pada anak-anak, yaitu : takut, marah dan cinta.
1. Takut
Pada dasarnya, rasa takut itu bermacam-macam. Ada yang timbul karena seorang anak
kecil memang ditakut-takuti atau karena berlakunya berbagai pantangan di rumah. Misalnya saja,
rasa takut akan tempat gelap, takut berada di tempat sepi tanpa teman, atau takut menghadapi
hal-hal asing yang tidak di kenal. Kengerian-kengerian ini relatif lebih banyak diderita oleh
anak-anak daripada orang dewasa. Karena, sebagai insan yang masih muda, tentu saja daya tahan
anak-anak belum kuat.
Jika dilihat dari secara objektif, bisa dikatakan bahwa rasa takut selain mempunyai segi-
segi negatif, yaitu bersifat menggelorakan dan menimbulkan perasaan-perasaanan gejala tubuh
yang menegangkan, juga ada segi positifnya.
Ada beberapa cara untuk mengatasi rasa takut pada anak. Pertama, ciptakanlah suasana
kekeluargaan/lingkungan sosial mampu menghadirkan rasa keamanan dan rasa kasih sayang.
Kedua, berilah penghargaan terhadap usaha-usaha anak dan pujilah bila perlu. Ketiga,
tanamkanlah pada anak bahwa ada kewajiban sosial yang perlu ditaati. Keempat, tumbuhkanlah
pada diri anak kepercayaan serta keberanian untuk hidup jauhkanlah ejekan dan celaan.
2. Marah
Pada umumnya, luapan kemarahan lebih sering terlihat pada anak kecil ketimbang rasa
takut. Bentuk-bentuk kemarahan yang banyak kita hadapi adalah pada anak yang berumur 4
tahun. Pada anak-anak yang masih kecil, kemarahan bisa ditimbulkan oleh adanya pengekangan
yang dipaksakan, gangguan pada gerak-geriknya, hambatan pada kegiatan-kegiatan yang sedang
dilakukan, oleh segala sesuatu yang menghalang-halangi keinginan seorang anak.
Dalam sebuah studi yang dilakukan Goodenough, terdapat cukup bukti yang
memperlihatkan bahwa anak-anak lebih mudah menjadi marah apabila pada malam sebelumnya
mereka tidak cukup beristirahat.
Navaco pula mengemukakan bahwa amarah “bisa dipahami sebagai reaksi tekanan
perasaan”.
3. Cinta
Apakah cinta ? sesungguhnya betapa sulitnya kita menjelaskan kata yang satu ini. Sama
halnya ketika kita harus mendefinisikan ihwal kebahagiaan. Penyair Mesir, Syauqi Bey,
melukiskan “cinta” dalam sebuah sajaknya :
Apakah cinta ?
Mulanya berpandangan mata,
lantas saling senyum,
kata berbalas kata,
dan memadu janji,
akhirnya bertemu.
Namun, yang digambarkan Syauqi Bey di atas adalah cinta romantis, yaitu cinta waktu
pacaran yang kadang-kadang berakhir putus setelah puas bertemu dalam memadu cinta, tidak
sampai meningkat ke jenjang pernikahan.
Dalam bukunya The Art of Loving (Seni Mencinta), Erich Fromm sedemikian jauh telah
berbicara tentang cinta sebagai alat mengatasi keterpisahaan manusia, sebagai pemenuh
kerinduan akan kesatuan. Akan tetapi, di atas kebutuhan eksitensi dan menyeluruh itu, timbul
suatu kebutuhan biologis, yang lebih spesifik yaitu keinginan untuk menyatu antara kutub-kutub
jantan dan betina. Ide pengutuban ini diungkapkan dengan paling mencolok dalam mitos bahwa
pada mulanya laki-laki dan wanita adalah satu, kemudian mereka dipisahkan menjadi setengah-
setengah, dan sejak itu sampai seterusnya, setiap lelaki terus mencari belahan wanita yang hilang
dari dirinya untuk bersatu kembali dengannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada umumnya setiap orang pasti dapat mengekspresikan perasaan senang, takut, sedih,
marah dan sebagainya. Ekspresi yang dapat diperlihatkan antara lain dengan emosi atau marah
atau menangis dan tertawa atau bergembira. Perbedaan emosi dengan perasaan merupakan suatu
hal yang bersifat kualitatif yang tidak ada batasnya tergantung dari warna afektifnya masing-
masing.
Dengan perbedaan emosi antara anak-anak sampai dewasa, kita bisa melihat bagaimana
seseorang memperlihatkan emosinya maupun yang hanya diam ataupun yang berlebihan
sekalipun emosi tersebut merupakan kemarahan atau kegembiraan. Apabila masih anak-anak
emosi yang diperlihatkan cenderung lebih sering terjadi dan berlangsung singkat atau cepat reda,
karena biasanya anak kecil lebih gampang terhibur dan melupakan kemarahan atau rasa emosi
yang mereka alami. Berbeda dengan remaja atau orang dewasa yang terkadang suka
membendung emosinya sampai waktu yang lama dan sulit untuk diluapkan.dan pandai
menyembunyikannya, yang terkadang dapat membuat mereka stres atau sakit.
Emosi itu sendiri sebenarnya melibatkan dua hal yang penting yaitu psikologis dan fisik.
Hal ini dapat dilihat dari reaksi fisik seseorang yang disertai dengan penyesuaian dari dalam diri
individu tentang keadaan mental dan fisik serta tingkah laku yang tampak.
Orang yang mampu menghadapi frustasinya, mampu memotivasi diri dan mampu
mengendalikan diri adalah orang yang mempunyai kecerdasan emosional. Dia mampu juga
merasakan empati dan bersikap senada pula bagi orang yang sedang mengalami emosi dan
berusaha mengendalikan emosi orang lain tersebut. Sifat ini baik untuk dimiliki seseorang agar
tidak mudah menghadapi stres atau kesulitan dan frustasi di dalam hidup.
3.2 Saran
Semakin lama anak akan beranjak dewasa dan semakin mengerti bagaimana ia harus
memposisikan emosinya. Sebaiknya kita harus mengajarkan kepada anak kita sedari dini untuk
bisa menjaga emosinya dan tidak meraung-raung atau malah melakukan aktivitas fisik seperti
membenturkan kepala kedinding atau malah memaki-maki. Karena hal tersebut merupakan hal
yang buruk dan hanya memalukan diri sendiri apabila dilakukan di keramaian umum. Berilah
pelajaran-pelajaran kecerdasan emosi kepada anak sedari dini agar ketika ia sudah dewasa nanti,
ia bisa mengendalikan dirinya dari emosi dan dapat bersikap empati terhadap orang lain.
DAFTAR PUSTAKA