Anda di halaman 1dari 22

POLA PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

SEBUAH POTRET SINGKAT

Indah Fitriani1

ABSTRAK

Artikel ini membincangkan sekaligus menilai pola pengelolaan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) di Indonesia sejak masa nasionalisasi hingga periode awal masa reformasi. Andaian
yang dibangun dalam artikel ini mengasumsikan bahwa BUMN yang ada di Indonesia tidak
bergerak sesuai arah kebijakan umum pemerintah, tetapi lebih digerakkan oleh kepentingan
pemimpin politik yang berkuasa. Ini dapat ditunjukkan semasa Orde Baru dan tempo awal
transformasi politik setelah jatuhnya Soeharto. Nuansa yang tergambar selama masa-masa
tersebut adalah beranjaknya deregulasi BUMN kea rah privatisasi. Ini karena kontrol politik
ke atas BUMN telah banyak merugikan Negara. Kendati demikian, satu yang pasti, pola
pengelolaan BUMN amat ditentukan oleh kepentingan-kepentingan politik kelompok berbanding
kepentingan negara jangka panjang.

Keywords: BUMN, pengelolaan, ekonomi-politik, kontrol dan privatisasi

A. Pendahuluan Berkait rapat dengan perkara yang disebutkan


Dalam sejarah perekonomian Indonesia, terakhir, ini karena peranan yang besar dari
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah BUMN terhadap ekonomi nasional sehingga
mengalami beberapa kali restrukturisasi. tidak heran apabila restrukturisasi BUMN
Pertama, di awal pemerintahan Orde Baru merupakan paket yang tidak terpisahkan dari
1966-1968. Kedua dan ketiga, masing- penataan kebijakan ekonomi negara.
masing dibawah pemerintahan yang sama Sudah lama BUMN mendapat
pada pertengahan periode 1986-1990; dan dukungan yang kuat dari pemerintah, baik
menjelang akhir pemerintahan rejim pada secara ekonomis maupun politik. Secara
tahun 1998. Restrukturisasi BUMN bahkan ekonomis, BUMN mendapat dukungan subsidi
terjadi pada masa kepemimpinan B.J. Habibie, dan partisipasi modal pemerintah yang tidak
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati sedikit, selain juga berbagai kemudahan dan
Soekarnoputri dan juga Susilo Bambang fasilitas yang diberikan secara cuma-cuma.
Yudhoyono (SBY) sekarang ini. Meskipun Sementara itu secara politik, keberadaan
berbeda pada tempo restrukturisasi, tetapi isu BUMN kerap dikaitkan dengan UUD 1945
sentral yang menjadi tumpuan isu tetaplah Pasal 33.2 Sampai dengan paruh kedua tahun
sama yaitu (i) kinerja BUMN yang buruk 1990-an, sokongan pemerintah terhadap
dan (ii) pelbagai tekanan pada perekonomian
negara yang menuntut perubahan ataupun 2 (2) “Cabang-cabang produksi yang penting
penyesuaian dengan iklim internasional. bagi Negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(3) ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang
1 Dosen di Fakultas Pendidikan Ekonomi dan terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara
Bisnis (FPEB), Universitas Pendidikan Indonesia dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
(UPI). E-mail: indah.upi@gmail.com kemakmuran rakyat.”

54 MANAJERIAL Vol. 10, No. 19, Juli 2011 : 54 - 75


BUMN masih terasa kuat sehingga BUMN B. Posisi Dan Peran Bumn Dalam
masih menguasai sektor-sektor strategis Ekonomi Nasional
seperti telekomunikasi, minyak dan gas, Po s i s i d a n p e ra n BU M N d a l a m
perkebunan dan kehutanan serta perbankan. perekonomian Indonesia pascakemerdekaan
Namun pelbagai keharusan yang timbul akibat sangatlah strategis. Ini karena masih lemahnya
restrukturisasi ekonomi negara akhirnya perusahaan-perusahaan swasta pada masa itu.
memaksa pemerintah mengubah orientasi Di awal kemerdekaan praktis hampir tidak ada
kebijakannya terhadap BUMN. Orientasi perusahaan swasta milik orang Indonesia asli
kebijakan yang dikembangkan kemudian lebih yang memiliki modal yang kuat dan didukung
menuntut kemandirian BUMN, mendorong oleh manajemen modern yang diperlukan
BUMN untuk menjalankan privatisasi dan guna berkiprah secara signifikan dalam
menjadikan hasil penjualan beberapa BUMN perekonomian nasional (Yahya A. Muhaimin
tertentu untuk dapat membayar utang luar 1991:31-40). Yang ada justru swasta-swasta
negeri yang terlalu banyak. besar yang dimiliki oleh Belanda, Inggris, dan
Merealisasikan hal ini tidaklah mudah. Amerika Serikat; dan swasta skala menengah
Berbagai-bagai kendala seperti resistensi yang dimiliki oleh warga negara Indonesia
dari BUMN dan birokrasi pemerintah serta keturunan Tionghoa. Dalam suasana sentimen
kondisi pasar yang tidak kondusif turut nasionalisme pascakemerdekaan yang begitu
menghambat proses restrukturisasi tersebut. kuat dikalangan para pengambil keputusan
Akibatnya tidak sedikit target restrukturisasi kebijakan ditingkat elite politik, sementara itu
tersebut tidak tercapai. Dan ini sangat pada tataran empiris, kekuatan ekonomi riil
mempengaruhi defisit anggaran belanja negara. nasional masih dikuasai pihak asing, maka
Mengingat aktualitas perbincangan masalah tidak mengherankan apabila kemudian BUMN
ini, artikel ini menumpukan perhatiannya dipilih sebagai pelaku ekonomi avangarde
kepada isu restrukturisasi BUMN tersebut, yang diharapkan dapat menandingi kekuatan
khususnya dalam perspektif ekonomi-politik ekonomi (asing) tersebut. Karena itu, secara
pembangunan di Indonesia. Oleh sebab itu, ekonomi-politik BUMN menjadi ‘Benteng
untuk membahas perkara ini persoalan utama Pribumi’ (Mohtar Mas’oed, 1989; Yahya A.
yang diangkat dalam artikel ini adalah apakah Muhaimin 1991).
kecenderungan restrukturisasi mengarah Posisi BUMN menjadi semakin
kepada pengurangan kepemilikan pemerintah menjadi penting waktu itu terlebih setelah
dalam BUMN berarti juga mengecilkan kegagalan ‘Program Benteng’ yang berupaya
peran BUMN dalam percepatan perbaikan untuk menumbuhkembangkan pengusaha-
ekonomi nasional—dalam jangka panjang? pengusaha swasta pribumi dengan kuat
Untuk menjaga alur analisis artikel ini, maka (Yahya A. Muhaimin 1991). Program
pembahasannya difokuskan kepada interaksi yang semula dirancang untuk memperbaiki
pelbagai aspek pada tingkat mikro dan struktur ekonomi yang de facto masih kolonial
makro yang mempengaruhi restrukturisasi itu gagal karena lemahnya birokrasi dalam
tersebut, terutama sebelum terjadinya krisis melaksanakan pengawasan program di
ekonomi pada tahun 1997-1998-an; beberapa lapangan, disatu pihak, dan kurangnya
kondisi yang diperlukan untuk menjayakan konsistensi penguasa pribumi sendiri dilain
restrukturisasi; dan beberapa kendala yang pihak.
harus ditangani. Mengikut rangkaian Lisensi impor dan fasilitas seperti kredit
argumen di atas, maka artikel ini mendapat yang diberikan kepada warganegara Indonesia
landasan yang kukuh bagi analisis pola (pribumi) yang merupakan komponen dari
pengelolaan (ekonomi-politik) BUMN di paket “Program Benteng” dijual kembali pada
Indonesia. para pengusaha Tionghoa, sehingga akibatnya
tidak tercapainya target 70 persen dari modal

Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 55
yang diwajibkan dimiliki oleh pengusaha ekonomi kolonial tidak banyak mengalami
pribumi. Jadi yang muncul kemudian bukan perubahan. Berbagai sektor strategis, seperti:
lagi pengusaha pribumi yang kuat, tapi bentuk pelayaran, perdagangan, dan perbankan masih
usaha yang disebut ‘Baba-Ali’ (kebalikan dari dikuasai oleh perusahaan-perusahaan milik
‘Ali-Baba’). Dimana bentuk usaha ini hanya Belanda. Misalnya dalam perdagangan ada
secara nominal saja menyebutkan pengusaha the Big Five perusahan Belanda, di antaranya:
pribumi ‘membuat dan memanfaatkan’ lisensi- Borneo-Sumatra Maastschappij (Borsumij),
lisensi dan fasilitas-fasilitas yang diberikan Jacobson van den Berg, Geo Wehry, Lindeteves
pemerintah, namun pada kenyataannya status NV., dan Internatio.3 Begitu juga dalam sektor
kepemilikan tetap berada pada pengusaha pelayaran antarpulau di Indonesia masih
Tionghoa keturuanan. Dengan demikian hampir dimonopoli oleh perusahaan milik
dalam format ‘Ali-Baba’ pengusaha pribumi Belanda Koninklije Paketvaart Mij (KPM). 4
lebih berperan pada tataran politik, yakni Perusahaan pelayaran nasional (Pelni) belum
membuka dan mendapatkan akses terhadap mampu/bisa bersaing dengan KPM. Pada sisi
sumberdaya ekonomi yang ditawarkan oleh lain, perusahaan-perusahaan milik Tionghoa
Negara. keturunan hampir tidak megalami perubahan
Dengan kegagalan Program Benteng dari posisi semula. Bahkan dalam sektor
itu, pemerintah mengambil prakarsa umtuk keagenan tunggal (sole agency) mereka justru
membentuk usaha-usaha besar di sektor- yang mengambilalih posisi-posisi yang semula
sektor yang strategis waktu itu, termasuk di dikuasai dan kemudian ditinggalkan oleh
dalamnya semen, pupuk, alumunium, kertas perusahaan-perusahaan Belanda.
dan sejenisnya. Begitu juga untuk sektor-sektor Gagal terbentuknya BUMN yang
nonstrategis, seperti tekstil misalnya. Namun diharapkan bisa menandingi preusahaan-
yang disebut terakhir sifatnya sementara, perusahaan Belanda, apalagi bisa merombak
selama belum ada pengusaha swasta yang s t r u k t u r e ko n o m i ko l o n i a l s e m a k i n
mampu, kelak secara bertahap ketika telah meningkatkan sentimen Anti-Asing dan
ada pengusaha swasta yang mampu, maka Anti-Tionghoa (“Anti-Cina”) di Indonesia.
harus dialihkan pada pihak swasta, koperasi, Sentimen tersebut untungnya tidak sampai
ataupun kerjasama pemerintah-swasta. Jadi
kebijakan yang berorientasi pada swastanisasi 3 Tiga perusahaan pertama muncul di
BUMN yang berkembang dipenghujung Indonesia pada pertengahan kedua Abad ke-
tahun 1980-an sebetulnya pikiran dasarnya 19. Internatio semula didirikan di Belanda
sudah ada sejak tahun 1950-an. Dengan untuk menyelenggarakan perbankan komersil
demikian, tidak ada alasan yang cukup kuat di Indonesia, tapi ia mengalami kesulitan
untuk mempertahankan sektor-sektor yang selama krisis gula pada awal 1880-an, karena
itu, kemudian direorganisasi sebagai sebuah
tidak strategis tersebut ditangan pemerintah
perusahaan dagang. Geo Wehry dan Borsumij
sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa melakukan investasi di bidang perkebunan,
kalangan di pertengahan dan akhir tahun perdagangan, manufaktur, dan pertambangan.
1990-an. Lindeteves masuk di Indonesia sebagai
Namun, karena situasi politik yang perusahaan importir teknis (permesinan)
tidak stabil sepanjang yahun 1950-1957, setelah Perang Dunia I.
terutama akibat jatuh dan bangunnya kabinet 4 Perusahaan ini didirikan pada 1888 oleh
yang terlalu singkat, prakarsa tadi tidak sebuah konsorsium perusahaan-perusahaan
bisa direalisasikan secara optimal. Sebagai Belanda yang diketuai oleh Nederlandsce
Handel-Maatschappij delam rangka merebut
akibatnya hanya berhasil dibentuk beberapa
penguasaan atas pelayaran antarpulau dari
BUMN dalam sektor, seperti: sodium dan semen kapal-kapal Inggris dan Cina yang melintasi
(termasuk PT. Semen Gresik). Akibat lebih jauh wilayah Indonesia dari Singapura dan
dari keadaan tersebut di atas, adalah: struktur Malaysia.

56 MANAJERIAL Vol. 10, No. 19, Juli 2011 : 54 - 75


pecah kedalam aksi agresif dan destruktif pabrik. Kemudian nasionalisasi bank-
yang menganggu kepentingan asing dan bank milik Belanda juga menambah 25%
Tionghoa keturunan selama pemerintahan pinjaman bank. Dampak nasionalisasi di
Demokrasi Parlementer di Indonesia, karena sisi lain ialah bisnis milik Tionghoa yang
sikap moderat yang masih ditunjukkan oleh tersebar di kecamatan-kecamatan bahkan
hampir kebanyakan anggota kabinet waktu hingga desa-desa di seluruh Indonesia juga
itu. Namun ketika sikap anti-asing, khususnya dihentikan lewat Peraturan Pemerintah No.
Barat (Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat), 10 tahun 1960. Dengan lebih dari 600
ditunjukkan oleh (Presiden) Soekarno lewat BUMN baru yang tersebar diberbagai sektor
ajarannya yang dikemas pada masa Demokrasi strategis dan nonstrategis perekonomian
Terpimpin sentimen tersebut tidak bisa lagi Indonesia mulai meningkat secara radikal;
terkendali. Misalnya dalam perekonomian, dan dengan demikian BUMN sebagai ‘Benteng
ekonomi terpimpin mengajarkan bahwa Pribumi’ dalam menghadapi perusahaan
Negara (termasuk didalamnya BUMN, harus asing, terutama Inggris dan Amerika Serikat
mengambil peran sentral dan musti menjadi yang tidak di nasionalisasi pada tahun tersebut
leading), imperialisme harus diruntuhkan dan betul-betul berwujud (khususnya dalam artian
modal asing harus tunduk pada tujuan-tujuan penguasaan aset).
nasional, serta perlunya ekonomi industri Penguasaan atas aset yang begitu besar
yang mandiri (Yahya A. Muhaimin 1991:41- oleh pemerintah tidak diimbangi dengan
45). Lebih lanjut ajaran ini mendorong manajemen aset yang baik. Selama lima tahun
kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada menjelang akhir Pemerintahan Demokrasi
‘Indonesiaisasi’ dan ‘Idegenousisasi.’ Karena Terpimpin di tahun 1965 BUMN mengalami
itu, kemudian dengan dirangsang oleh kerugian terus menerus. Akibatnya formasi
kegagalan diplomatik Indonesia di PBB pada kapital untuk investasi tidak bisa berjalan.
tahun 1957 berkait dengan penyelesaian Irian Kenyataan ini menimbulkan akibat lebih
Barat (Papua). Sentimen asing tersebut menjadi buruk lagi yakni produksi di bawah kapasitas.
nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Sektor BUMN perkebunan yang menjadi salah
milik Belanda dan dalam perkembangan satu andalan pendapatan pemerintah tidak
selanjutnya nasionalisasi ini juga mencakup bisa memberikan kontribusi yang berarti
perusahaan-perusahaan Tionghoa keturunan. karena mengalami kerugian yang luar bisa.
Dengan Undang-undang No. 86 tahun 1958 Pada tataran lain, utang luar negeri semakin
dan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun membengkak dan kewajiban cicilan atas
1958 seluruh perusahaan milik Belanda yang utang juga telah jatuh tempo. Sementara
dinasionalisasi statusnya menjadi Perusahaan itu terjadi pembengkakan pengeluaran
Negara (PN). pemerintah untuk pembelian peralatan
Pascanasionalisasi seluruh perusahaan militer. Akibatnya secara keseluruhan terjadi
milik Belanda perubahan mendadak yang inflasi yang mencapai 650%, yang kemudian
sangat massif dalam perekonomian nasional mendorong indeks biaya hidup tinggi di tahun
berlansung. Akibat nasionalisasi itu lebih 1965 (Mohtar Mos’oed 1989; Yahya A.
dari 600 perusahaan milik Belanda berubah Muhaimin 1991). Kondisi ekonomi semacam
menjadi perusahaan Negara (dalam hal ini diperparah dengan kekacauan politik yang
ini BUMN). Pangsa pemilik perkebunan kemudian mengakhiri Pemerintahan Presiden
meningkat 90 persen serta diperkirakan Soekarno, yang sekaligus juga menunjukkan
6 0 p e r s e n p e r d aga n ga n l u a r n e ge r i kegagalan program Soekarno dalam mendorong
berpindahtangan pada pengusaha pribumi BUMN menjadi salah satu instrumen untuk
setelah menasionalisasi the Big Five trading menandingi kekuatan ekonomi asing.
house milik Belanda. Sektor-sektor industri Naiknya pemerintah pengganti, Orde
modern juga memperoleh tambahan 246 Baru, di tahun 1966 membawa warna

Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 57
perubahan kebijakan terhadap badan-badan dalam Instruksi Presiden No. 17 tahun
usaha miliki Negara (BUMN) yang pada 1967, yaitu: Perusahaan Jawatan (Perjan),
awalnya memang cukup signifikan. Melalui Perusahaan Umum (Perum) atau Perusahaan
kesepakatan dengan International Monetary Terbatas (PT). Beberapa BUMN ditahan dengan
Fund (IMF)—melalui Kebijakan Stabilitas status tetap sebagai Perusahaan Negara (PN).
Ekonomi—yang mencakup tindakan perbaikan Bahkan tidak sedikit BUMN besar dan strategis
pungutan pajak, bantuan dan investasi asing, seperti Pertamina diberi status khusus dan
penerapan anggaran berimbang, pembaruan diatur oleh peraturan tersendiri. Pada
moneter dan liberalisme ekonomi (Mohtar tataran kebijakan yang lebih makro, booming
Mas’oed 1989; Hill 1994). Liberalisme atas pendapatan minyak juga mengurangi
ekonomi dilakukan khususnya dalam ketergantungan pemerintah pada modal
rangka melakukan deetatisme dan dekontrol asing, sehingga memungkinkan kebijakan
pemerintah atas BUMN. Hal ini dilakukan oleh yang lebih nasionalistik seperti terlihat pada
karena IMF meminta pemerintah Indonesia upaya pengetatan Penanaman Modal Asing
untuk menghentikan subsidi kepada BUMN, (PMA). Dimana pengetatan tersebut meliputi
mengembalikan perusahaan asing yang telah pembatasan pemilikan oleh pihak asing dan
dinasionalisasi (misalnya: Unilever, Anker, Bir keharusan kerjasama dengan serta pengalihan
Bintang, dll.), serta memberikan kompensasi pemilikan asing yang lebih besar kepada mitra
terhadap BUMN yang tidak dikembalikan domestik secara bertahap. Kebijakan tersebut
kepada pemilik semula. Jika hal ini tidak bukan saja lebih nasionalistik dan inward
dituruti, maka program bantuan tersebut looking dalam sikap, tetapi juga pemerintah
tidak akan dilangsungkan. Selain itu, IMF berketetapan dengan uang minyak itu untuk
juga mengharapkan pengurangan campur mempercepat industrialisasi lewat kebijakan
tangan pemerintah melalui rasionalisasi Industrialisasi Subtitusi Impor (ISI).
dan pemberian otonomi yang luas kepada Kebijakan yang terakhir, Industrialisasi
manajemen BUMN. Dan juga pelaksanaan Subtitusi Impor, sangat berpangaruh besar
penyiutan jumlah BUMN dari lebih 600 BUMN terhadap BUMN di Indonesia. Karena, yang
menjadi 223 badan usaha. awalnya perbaikan ekonomi diberlangsungkan
Namun arah yang semula diusung oleh melalui Kebijakan Stabilitas Ekonomi di
pemerintah Orde Baru pada BUMN kearah mana BUMN lebih diarahkan untuk memiliki
rasionalisasi, otonomisasi, dan komersialisasi manajemen yang lebih otonom, relatif terbatas
kemudian berubah pada paruh pertama dari kepentingan politik, dan lebih berorientasi
dan kedua tahun 1970-an sebagai akibat bisnis, maka kini justru sebaliknya (dengan
melonjaknya harga minyak yang mencapai Kebijakan Industrialisasi Subtitusi Impor).
1.354% di tahun fiskal 1974/1975 dan Pemerintah justru menjadikan BUMN sebagai
2.484% di tahun fiskal 1976/77. Pendapatan instrumen Kebijakan Industrialisasi Subtitusi
minyak yang diluar dugaan akibat dari Impor. Posisi BUMN yang demikian ini
kenaikan harga menghentikan kebijakan memang memiliki alasan pragmatis. Oleh
pemerintah yang berupaya mendorong karena tidak ada kekuatan swasta domestik
pada penyehatan BUMN lebih jauh (Rizal yang secara politis cocok dengan sentimen
Mallarangeng 2002).5 Misalnya, tidak semua kolektif antiasing dan anti-Tionghoa yang
BUMN dikonversikan ke dalam salah satu dari waktu itu masih sangat kuat, selain juga
tiga alternatif status hukum yang ditetapkan yang secara ekonomis mampu memikul risiko
jangka panjang investasi dalam proyek-proyek
industri, maka (by default) BUMN mengambil
5 Penjelasan yang komprehensif dapat dibaca
dalam Rizal Mallarangeng. 2002. Mendobrak posisi ini. Dengan posisi semacam ini peran
Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986—1992. BUMN dalam perekonomian menjadi semakin
Jakarta: KPG. besar dan semakin luas. Sektor-sektor ekonomi

58 MANAJERIAL Vol. 10, No. 19, Juli 2011 : 54 - 75


yang dimasukinya sangat beragam, bukan saja lainnya, karena harus memenuhi target-target
dalam sektor pertambangan, publik utility percepatan industrialisasi dari pemerintah,
ataupun perkebunan (yang secara tradisional mereka melakukan ekspansi luar biasa.
sudah menjadi lahan garapan BUMN), tetapi Terutama Pertamina, dengan uang minyak
juga meluas kesektor lain seperti manufaktur. yang melimpah (akibat booming minyak)
Pada sektor manufaktur BUMN menguasai mampu melakukan diversifikasi bisnis yang
industri pupuk, semen, baja, petrokimia dan bahkan keluar dari core business-nya, seperti
alumunium. Pada sektor publik utility BUMN ke bisnis hotel dan properti. Ekspansi
memegang monopoli atas telekomunikasi dan bisnis semacam ini memang memudahkan
listrik. Kemudian pada sektor perbankan, terbentuknya business spin-off dimana
bank-bank pemerintah, seperti: Bank Negara perusahaan swasta bisa mudah masuk sebagai
Indonesia 1946 (BNI 46), Bank Rakyat mitra yunior BUMN, yang kerap juga melibatkan
Indonesia (BRI), Bank Bumi Daya (BBD yang perusahaan multinasional (MNC) dalam
kemudian dimerger pada masa reformasi) dan pola kerjasamanya, dan bertindak sebagai
lain-lain, menjadi pemasok utama modal bagi kontraktor dan pemasok komponen dan faktor
investasi jangka panjang perusahaan selain input lain yang dibutuhkan BUMN. Pada kasus
juga menjadi penyalur uang minyak kedalam lain perusahaan swasta berpartisipasi lewat
bentuk kredit, semacam: Candak Kulak, kepemilikan saham minoritas perusahaan
Instruksi Presiden (Inpres), Kredit Induk patungan, yang didirikan bersama BUMN. Ini
Koperasi (KIK) bagi para pengusaha pribumi terutama terjadi manakla BUMN melakukan
yang memiliki usaha mikro dan menengah forward vertical integration. 6 Dengan pola
(Yahya A. Muhaimin 1991). hubungan semacam ini, yang berlangsung
Dengan demikian, peran BUMN sebagai kurang lebih hingga dua dekade, BUMN
instrumen strategis kebijakan Industrialisasi berhasil menumbuhkembangkan perusahaan-
Subtitusi Impor yang berlangsung hingga perusahaan swasta yang kuat baik dari
menjelang akhir paruh pertama tahun 1980- kalangan pribumi maupun Tionghoa, ataupun
an telah menempatkan BUMN pada posisi campuran keduanya. Mereka yang dilahirkan
puncak komando ekonomi di Indonesia. dan dikembangkan oleh ekspansi BUMN inilah
Dengan peran BUMN yang begitu dominan yang kemudian nanti akan kita lihat pada
dalam perekonomian nasional memang tidak paruh kedua tahun 1980-an mengambil peran
dimaksudkan untuk menciptakan etatisme yang lebih besar dalam perekonomian nasional
baru, sebagaiman yang pernah terjadi akibat kebijakan deregulasi, liberalisasi dan
pada pemerintah sebelumnya (Orde Lama). privatisasi yang ditempuh oleh pemerintah
Karena sebetulnya yang hendak dituju oleh setelah jatuhnya harga minyak internasional/
kebijakan pemerintah waktu itu adalah dunia pada tahun 1983 dan kemudian jatuh
negara melalui BUMN bisa mengendalikan lagi pada tahun 1986.
secara signifikasn arah perkembangan
ekonomi nasional. Dengan format semacam C. P o l a P e n g e l o l a a n B u m n D i
ini perusahaan swasta jelas diakui perannya Indonesia
dalam perekonomian. Sekalipun begitu perlu Eksistensi BUMN di Indonesia dan
dicatat bahwa perannya relatif lebih sekunder perkembangannya selama ini tidak bisa
karena alasan-alasan ideologis dan politis. dilihat dengan merujuk pada argumen market
Peran BUMN yang kuat ditunjang failure semata ataupun sebab-sebab ekonomis
dengan orientasi kebijakan pemerintah yang sederhana lainnya. Tetapi juga harus
lebih kondusif terhadap sektor swasta memang
kemudian melahirkan perkambangan bisnis 6 Misalnya ketika PT. Karakatau Steel mendirikan
yang cukup unik. BUMN besar, seperti: Steel Rolling Mill yang melibatkan bisnis Salim
Pertamina, Krakatau Steel, Telkom, dan Group dan Ciputra.

Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 59
dilihat dalam kerangka pertarungan antara elite. Kondisi ini pulalah sesungguhnya yang
tiga kekuatan besar dalam perekonomian mewarnai Pasal 33 UUD 1945. Pasal ini
di Indonesia, yakni: pribumi, Tionghoa memberikan pembenaran ideologis bagi peran
keturunan, dan asing, yang telah tersegmentasi negara yang kuat, khususnya bagi perusahaan
sejak masa kolonial Belanda. Pada sisi lain, negara (BUMN) dalam memanfaatkan dan
ada kekuatan-kekuatan di dalam birokrasi mengelola perekonomian nasional. Ini
pemerintahan sendiri yang berkepentingan karena pasal tersebur menyatakan “Negara
untuk menjadikan BUMN sebagai sumber menguasai cabang-cabang produksi penting
apropriasi perorangan maupun kelompok. yang menguasai hajat hidup orang banyak
Mereka terdiri dari para birokrat, politisi dan dan sumberdaya alam.”
militer (Yahya A. Muhaimin 1991; Kunio Maka di dalam atmosfir yang
1991; Leo Suryadinata 1995; Andrinof A. demikian itu kemudian BUMN menjadi
Chaniago 2001; Emmerson 2001). Adalah instrumen pengimbang kekuatan ekonomi
sebuah kebetulan yang berarti bahwa yang didominasi oleh modal asing dan
peran besar yang diberikan kepada BUMN Tionghoa keturunan. Ketiadaan pengusaha
didalam perekonomian nasional sangat pribumi yang kuat, terutama setelah
menguntungkan kepentingan mereka. gagalnya Kebijakan Program Benteng, makin
BUMN adalah sebuah entitas ekonomi memperkukuh peran BUMN seperti ini. Apalagi
yang menjadi simbol kontrol kaum pribumi setelah terjadi nasionalisasi besar-besaran
atas sumberdaya dan sektor-sektor strategis perusahaan asing yang ada di Indonesia,
ekonomi nasional. Sentimen terhadap simbol khususnya Belanda, dan dikembangkannya
ini berkembang dalam sejarah yang cukup ajaran sosialisme model Indonesia, gagasan
panjang dari struktur ekonomi kolonial kemandirian nasional, dan revolusi sosial serta
Belanda yang sangat timpang. Waktu ekonomi oleh Presiden Soekarno ketika itu.
itu, dengan maksud memper tahankan Praktis sentimen antikapitalis serta antiswasta
status-quo, pemerintah kolonial Belanda mencapai titik puncaknya. Saat itu tidak ada
mengembangkan piramida ekonomi dengan lagi kekuatan ekonomi asing tandingan kecuali
tiga lapisan. Dilapisan puncak adalah orang MNC/TNC Amerika Serikat dan Inggris yang
Belanda dan Eropa lain; kemudian dari sengaja dibiarkan oleh pemerintah Indonesia
kalangan Timur Jauh (khususnya kalangan karena terikat pada perjanjian non-interference.
Tionghoa keturunan) pada lapisan kedua, BUMN dengan demikian menjadi satu-satunya
yang dijadikan perantara antara Belanda kekuatan ekonomi nasional yang sangat kuat
dan Pribumi; dan Bumiputra pada lapisan dan mengendalikan banyak asset strategis
paling bawah (Burger 1977). Timpangnya hampir di semua lini ekonomi.
struktur ekonomi ini tercermin dalam hasil Tetapi dengan posisi semacam itu
penelitian J.J Polak pada tahun 1939 atas justru berbagai kekuatan domestik berusaha
pendapatan per kapita yang diterima oleh untuk menguasai dan memanfaatkannya
orang Eropa, Tionghoa keturunan, dan untuk kepentingan mereka. Kekuatan radikal
pribumi sebesar 61:18:1 (Polak 1939:29-32). seperti serikat buruh dibawah Partai Komunis
Kondisi yang sangat tidak menguntungkan Indonesia (PKI) bahkan sejak awal berusaha
ini menggoreskan trauma yang sangat untuk merebut perusahaan-persusahaan
dalam pada kesadaran kolektif bangsa, asing diawal proses nasionalisasi. Namun
sehingga terasa ada semangat nasionalisme akhirnya digagalkan oleh pihak militer,
ekonomi antikapitalisme dan sikap curiga atas kekuatan utama pesaing PKI, yang juga
sektor swasta yang sangat kuat dikalangan memiliki kepentingan, dan pada akhirnya
founding fathers waktu itu, dan juga kemudian menguasai seluruh BUMN di era Orde Baru.
sesudahnya pada para pengambil keputusan Mereka ini terlibat bukan saja dalam aspek
(decision maker) kebijakan publik di tingkat keamanan BUMN, tetapi juga dalam aspek

60 MANAJERIAL Vol. 10, No. 19, Juli 2011 : 54 - 75


manajemennya. Keterlibatan militer dalam tahun 1970-an hingga 1980-an kontrol atas
BUMN memang tidak bisa dihindarkan BUMN efektif ada pada departemen teknis.
waktu itu, karena, pertama, ancaman sayap Departemen Keuangan yang dikendalikan
nasionalis radikal yang berusaha merebut oleh Menteri yang tergabung kedalam
perusahaan-perusahaan asing yang akan kelompok teknokrat tidak mudah melakukan
dinasionalisasi, dan kedua, nasionalisasi itu kontrol atas BUMN, sekalipun sebetulnya
sendiri mendahului terbentuknya pengusaha rasionalisasi dan restrukturisasi BUMN diawal
pribumi dan ketersediaan manajer professional Pemerintahan Orde Baru memberikan sebagian
yang dibutuhkan untuk mengelola perusahaan hak kontrol kepada mereka. Sehingga dari
besar dan modern yang dinasionalisasi. Dengan mulai penunjukkan pejabat ekskutif BUMN
demikian personil militer harus mengisi hingga pengawasan manajemen BUMN, peran
kekosongan ini karena dinilai lebih professional departemen teknis relatif dominan. Peran
dan disiplin dalam bekerja dibandingkan yang begitu kuat dari departemen teknis
pihak sipil. Dibawah kendali militer BUMN ini memang bukan tanpa akibat negatif.
menjadi sumber apropriasi militer yang Selain terjadinya penunjukkan pejabat
sangat penting, sehingga membuat kekuatan kementerian teknis di BUMN yang sering
politik lain iri. Namun keterlibatan militer didasarkan kepada hubungan klientilisme
dalam BUMN yang sejatinya dimaksudkan yang lebih menguntungkan pribadi birokrat
untuk mengisi kekosongan manajemen, ketimbang publik. Hal ini juga berakibat
lambat laun menumbuhkan kepentingan pada berkembangnya praktik pendanaan
bisnis yang permanent. Akibatnya ketika nonbudgeter di departemen-departemen.
pada awal pemerintahan Orde Baru BUMN Ketika pendapatan minyak masih menjadi
haris dirasionalisasi—bagian dari Kebijakan sumber utama APBN, kondisi BUMN tidak
Stabilitas Ekonomi—resistensi banyak terjadi. menjadi masalah. Namun menjadi lain
Rasionalisasi yang dimotori oleh sekelompok ketika pendapatan minyak yang melimpah
teknokrat, yang memegang por tofolio itu berakhir pada tahun 1985. Apalagi kalau
kementrian ekonomi, sulit dilakukan secara dilihat dari perspektif Indonesia pascakrisis
optimal karena resistensi dari kelompok ekonomi 1998. Praktik yang merugikan
militer-pengusaha. Banyak perwira militer BUMN semacam itu bisa berlangsung
menolak pengurangan perusahaan Negara cukup lama—hal ini memang tidak lepas
pada jumlah yang dikehendaki oleh kelompok ataupun kaibat dari gaya kepemimpinan
teknokrat. Presiden Soeharto sendiri ketika itu. Untuk
Kemudian menguatnya peran birokrasi mempertahankan kekuasaannya hingga tiga
sipil yang karena dipacu oleh program-program dekade, Presiden Soeharto, menggunakan
pembangunan yang ekspansioner hampir BUMN sebagai salah satu instrumen patronase
disemua sektor pada periode tahun 1970-an yang sangat penting bagi pengikutnya (baik
hingga tahun 1980-an menambah kelompok dari kalangan militer maupun sipil). Dalam
kepentingan baru atas BUMN. Mereka kerangka kepentingan presiden, BUMN
ini adalah para birokrat dari departemen menjadi satu institusi yang sangat strategis
sektoral dan lembaga pemerintah lain, yang dimana sumber-sumber ekonomi yang
diangkat sebagai direktur ataupun komisaris sangat lukratif didistribusikan kepada para
BUMN. Bersama-sama dengan personil pendukungnya, baik di dalam maupun di luar
militer yang terlebih dahulu masuk, para birokrasi, yang kemudian dipertahankan serta
birokrat memperoleh keuntungan besar diperluas melalui mekanisme yang didukung
dari posisinya di BUMN. Adalah melalui dengan perangkat aturan yang dibuat legal.
pintu kontrol departemen atas BUMN dalam Melalui jaringan patronase BUMN ini
menjalankan kebijakan pemerintah mereka pulalah kemudian perusahaan swasta yang
mendapat posisi-posisi semacam itu. Di era manjadi klien preiden dan pejabat-pejabat

Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 61
tinggi lain mendapatkan akses fasilitas untuk Pada paruh pertama tahun 1990-an
berkembang pesat. Ironisnya perusahaan perusahan-perusahaan swasta yang memiliki
swasta Tionghoa keturunan yang dulu akses kuat dengan kekuasaan semakin agresif
menjadi sasaran keberadaan BUMN ikut pula dalam meraih fasilitas yang lebih luas dari
berkembang. Perkembangan ini memang BUMN. Dengan dukungan kekuasaan presiden
dikondisikan oleh keberhasilan pemerintah dan pejabat-pejabat tinggi lainnya, baik
Orde Baru dalam menghilangkan banyak dari kalangan sipil maupun militer, mereka
stigma atas perusahaan swasta. Di antaranya berhasil menaikkan daya tawar mereka
melalui penafsiran ulang kata ‘penguasaan’ terhadap BUMN. Beberapa BUMN di sektor
pada Pasal 33 UUD 1945 yang bukan dimaknai perbankan sering terpaksa harus menyalurkan/
lagi sebagai ‘pemilikan’ (seperti yang diartikan mengucurkan kreditnya pada proyek-proyek
oleh pemerintahan Orde Lama), tetapi hanya milik swasta semacam ini, sekalipun kelayakan
sekadar ‘pengendalian’ oleh negara. Selain itu, bisnis perusahaan swasta tersebut tidak jarang
hubungan yang semakin erat antara military meragukan. BUMN besar lainnya sering
entrepreneurs dengan perusahaan-perusahaan terpaksa harus menjalin kontrak-kontrak
swasta khususnya Tionghoa keturunan, serta bisnis yang tidak menguntungkan mereka.
pengaruh yang kuat dari lembaga-lembaga Akibatnya BUMN tersebut harus memikul
keuangan internasional (IMF dan World biaya-biaya produksi yang sangat tinggi,
Bank) atas kebijakan ekonomi Indonesia sejak yang tentunya pada gilirannya menurunkan
awal pemerintahan Pemerintah Orde Baru daya saing BUMN itu sendiri. Menjelang
menjadi faktor yang sangat menentukan bagi jatuhnya pemerintahan Orde Baru, BUMN
orientasi kebijakan pemerintah yang lebih bukan saja menjadi sumber apropriasi bagi
positif terhadap sektor swasta. Dalam iklim kalangan militer dan sipil/birokrat, tetapi
yang lebih baru seperti saat itu, dengan gaya juga (bahkan) bagi kalangan pengusaha
kepemimpinan Presiden Soeharto yang sangat swasta yang memiliki payung kekuasaan yang
paternalistik, perusahaan swasta Tionghoa sangat kuat. Karena itu, lengkaplah sudah
turut berkembang bersama-sama dengan kelompok kepentingan yang sebetulnya bukan
perusahaan pribumi. Pola perkembangan memperkuat BUMN tapi justru memperlemah
perusahaan swasta Tionghoa adalah melalui kiprahnya dalam perekonomian Indonesia.
penggandengan pengusaha-pengusaha Kelompok perusahaan swasta semacam inilah
pribumi yang memiliki akses politik yang yang nanti akan kita lihat paling diuntungkan
kuat dengan kekuasaan untuk mendapatkan dengan kebijakan privatisasi BUMN (di
kontrak dari ataupun kerjasama dengan Indonesia) sebagai bentuk perwujudan
BUMN. Pemberian saham kosong atau kebijakan neoliberalisme.
penyediaan modal kepada pengusaha yang
menjadi keluarga ataupun kerabat pejabat D. Memahami Struktur Dan Karakter
merupakan praktik yang dianggap lazim.7 Bumn
Sebagaimana ter sirat dalam
terminologinya sendiri sebagai public enterprise
7 Menurut Kunio (1991) dalam bukunya, sejatinya BUMN adalah institusi yang
Kapitalisme Semu di Asia Tenggara (sebuah menggabungkan the best of the public dan the
buku yang pernah dicekal oleh pemerintah best of the private. Didalam wacana ekonomi-
Orde Baru oleh karena mendeskripsikan dan politik pembangunan tahun 1950-an hingga
menyebutkan nama-nama kroni pemerintah
tahun 1960-an pikiran mengombinasikan
ketika itu) menyatakan bahwa perilaku ini ini
bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga aspek ‘publik’ dan aspek ‘enterprise’ ini cukup
diseluruh negara Asia Tenggara, bahkan juga mengemuka. Begitu juga dalam pemikiran
di Singapura yang terkenal akan keketatannya Administrasi Publik. Adanya sebuah inti
dalam berbisnis dan bernegara. birokrasi parastatal yang berkiprah relatif

62 MANAJERIAL Vol. 10, No. 19, Juli 2011 : 54 - 75


agak lebih otonom dan terinsulasi dari core terintegrasi secara vertikal pada tingkat
bureaucracy serta bisa bergerak agak lebih nasional sebagai sebuah trading house
komersial sehingga bisa melakukan cost dimana setiap perusahaan melaksanakan
recovery atas kegiatannya, namun tetap seluruh siklus dari kegiatan ekonomi yang
berorientasi pada kepentingan publik, mencakup sistem produksi hingga distribusi
merupakan kebutuhan mendesak. Pemikiran (eceran, ekspor, dan impor). Namun, karena
ini berkembang awalnya di Eropa sejalan kuatnya kepentingan untuk membagi-
dengan perkembangan paradigma welfare bagikan perusahaan yang dinasionalisasi
state yang berkembang pasca-Perang Dunia pada kementerian-kementerian sektoral,
II. Dimana waktu itu perusahaan publik struktur sebelum nasionalisasi diubah menjadi
dianggap sebagai satu solusi atas kebutuhan berdasar unit-unit perusahaan negara yang
pelayanan publik yang semakin luas. terspesialisasi. Dengan kata lain, perusahaan
Namun pada tataran praktis public negara dispesialisasikan pada suatu komoditi
enterprise tidak dapat berkiprah sebagaiman tertentu, sementara fungsi produksi dan
ketika ia digagas. Perkembangan selanjutnya manufakturnya diserahkan pada perusahaan
justru menggambarkan kombinasi antara the negara lain. Restrukturisasi semacam
worst of the public dan the worst of the private. ini kemudian menghasilkan pembagian
BUMN atau public enterprise terjebak dalam perusahaan Negara pada masing-masing
jaringan birokrasi pemerintah yang penuh mentri teknis sesuai dengan orientasi sektoral
dengan muatan kepentingan politik, sehingga mereka. Sementara itu, personil militer
mereka tidak dapat mengembangkan orientasi terlibat dalam pengelolaan perusahaan negara
bisnis komersialnya. Konsekuensi dari sebagai upaya untuk melakukan kontrol atas
perusahaan yang dipenuhi oleh kepentingan sektor-sektor ekonomi strategis, yang bila ini
politik serta menghilangnya efsiensi guna tidak dilakukan, bisa jatuh ke tangan PKI
komersialisasi bisnis dan orientasi pelayanan sebagai kekuatan pesaing terbesarnya ketika
terhadap publik menciptakan BUMN menjadi itu.
perusahaan yang perlu disubsisdi terus menerus Akibat dari segmentasi ini kinerja BUMN
oleh pemerintah. Dengan berbagai ukuran sangatlah berpengaruh sangat signifikan.
dalam ekonomi-politik, sebut saja misalnya, Pemecahan struktur yang vertikal dari Dutch
kontribusi pada anggaran pemerintah pada Trading House dan pemisahan unit ekspor-
skala makro dan Return on Investment (ROI) impor dari unit produksi dan distribusi
dalam skala mikro, kinerja BUMN boleh menyebabkan terjadinya isolasi struktural
dikata mengecewakan. Dibandingkan dengan perusahaan dagang negara dari jaringan
perusahaan swasta pada industri yang sama distribusi internasional dan unit-unit produksi
tingkat produktivitasnya penggunaan assetnya lokal dan regional. Kondisi ini kemudian
masih jauh dibawah rata-rata. melemahkan posisi bersaing BUMN.
Buruknya kinerja BUMN memang Di dalam konteks kontrol atas BUMN
tidak lepas dari akibat berbagai intervensi berkembang pula kondisi yang disebut
kepentingan yang mendompleng pada sebagai bureaucratic capitalism atau juga
kontrol birokrasi atas BUMN. Bermainnya Negara Otoriter Birokrasi (NOB). Suatu
kepentingan melalui kontrol birokrasi bahkan kondisi dimana birokrat departemen teknis,
sudah terlihat sejak tahun 1960, ketika personil militer, dan manajer perusahaan
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang Negara memperlakukan BUMN sebagai milik
baru dinasionalisasi harus direstrukturisasi. pribadi dan menyalahgunakan wewenang
Sebelum dilakukan nasionalisasi, perusahaan- yang dipercayakan kapadanya untuk diraup
persasahaan Belanda di sektor manufaktur keuntungan sebesar-besarnya secara pribadi.
dan perkebunan misalnya, tidak dipisahkan Dalam kondisi ini tidak heran apabila kemudian
sebagai unit-unit yang otonom, tetapi mudah terjadi praktik-praktik buruk dalam

Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 63
BUMN, seperti: memasukkan keuntungan Per tarungan kepentingan antara
BUMN sebagai pendapatan pribadi ketika kelompok mentri teknokrat di satu sisi
perusahaan memperoleh spread antara harga dan menteri-menteri yang mengendalikan
resmi dan harga pasar hingga keputusan- departemen teknis serta kelompok militer di
keputusan yang tidak lagi berpijak pada sisi yang lain (untuk mengendalikan BUMN)
pertimbangan-pertimbangan komersil, tetapi terlihat pula disekitar terbentuknya beberapa
lebih pada kepentingan politik (membiayai perundangan yang mengatur BUMN. Undang-
pusat kekuatan politik dan pejabat secara undang No. 9 tahun 1969 misalnya, yang
individual atau kelompok). Pergantian menetapkan secara tegas tingkat kemungkinan
pemerintah dari Orde Lama ke Orde Baru di kontrol dan intervansi yang dapat dilakukan
tahun 1966 dan perkembangannya kemudian oleh departemen teknis terhadap BUMN
hingga tahun 1980-an nyaris tidak tidak berbentuk PT; kontrol dan intervensi tidak
merubah kondisi BUMN seperti tersebut di bisa lagi dilakukan secara langsung sifatnya
atas. Tekanan IMF dan World Bank yang tetapi kini melalui Dewan Komisaris dan di
menghendaki pengurangan jumlah BUMN, kemudian hari dapat dimungkinan untuk
pengurangan campur tangan kementerian dilakukan privatisasi. Sementara itu, pada
teknis, otonomisasi manajemen BUMN hanya bentuk Perusahaan Jawatan kontrol bisa
terasa sebentar dampaknya, karena kemudian dilakukan secara langsung dan hirarkis.
yang terjadi adalah penguatan kembali kontrol Undang-undang ini merupakan perangkat
kementerian teknis atas BUMN di paruh hukum yang menjadi basis-basis menteri
pertama tahun 1970-an. teknokrat, khususnya Menteri Keuangan,
Konfigurasi kekuatan di dalam untuk meregulasi kontrol dan intervensi
birokrasi memang terjadi perubahan dengan yang berlebihan dari menteri-menteri
munculnya pemerintahan Orde Baru. Dengan teknis terhadap BUMN yang ada dibawah
duduknya kelompok mentri teknokrat yang pengawasannya. Kemudian Undang-undang
menduduki pada posisi Menteri Keuangan, No. 8 tahun 1971 yang mengecualikan
Menteri Perdagangan, Ketua Bappenas Pertamina sebagai perusahaan Negara dari
serta Gubernur Bank Sentral mendapat proses konversi kedalam salah satu bentuk
dukungan yang kuat dari lembaga-lembaga dari Perjan, Perum atau PT merupakan
keuangan internasional. Pandangan mereka perundangan ‘kemenangan’ hasil pertarungan
terhadap kebijakan ekonomi yang relatif kelompok militer atas kelompok lainnya.
liberal cenderung mengedepankan upaya Dan, Undang-undang No. 3 tahun 1983
dekontrolisasi, debirokratisasi, dan deregulasi yang memberikan pembenaran bagi kontrol
ataupun korportisme dan privatisasi BUMN, yang ketat dari departemen teknis ironisnya
yang pada dasarnya mengurangi ataupun sering bersifat ad hoc (sementara). Sekalipun
menghilangkan sama sekali intervensi pada undang-undang ini Menteri Keuangan
departemen teknis yang berperilaku berlebihan juga diberi wewenang untuk melakukan
pada BUMN. Konversi status hukum BUMN kontrol namun harus disadari bahwa sifatnya
di tahun 1966 dari Perusahaan Negara (PN) terbatas pada masalah keuangan saja. Karena
menjadi Perjan, Perum, dan PT tidak bisa itu, sebetulnya departemen teknislah yang
dilepaskan begitu saja dari pengaruh mereka. menjadi pemegang kendali sesunguhnya atas
Diawal Orde Baru pengaruh orientasi kebijakan BUMN bukan kementerian keuangan yang
mereka terhadap restrukturisasi BUMN sangat menjadi pemegang sahamnya.
kuat. Namun sebagaimana sudah kita lihat Undang-undang No. 3 tahun 1983
pengaruh orientasi kebijakan mereka melemah tersebut di atas pada akhirnya menimbulkan
sejalan dengan meningkatnya pendapatan struktur kontrol pemerintah yang sangat
pemerintah dari sektor minyak. birokratis. Tentu dengan akibat-akibatnya
yang snagat merugikan BUMN, mulai dari:

64 MANAJERIAL Vol. 10, No. 19, Juli 2011 : 54 - 75


proses pengambil keputusan yang panjang, mendapatkan pinjaman dari negara industri
prosedur pembeliann yang memakan waktu, maju memberi jalan masuk bagi World Bank
pengarahan pemerintahan yang sangat dan IMF untuk menanamkan pengaruhnya
berlebihan dewan komisaris dan dewan pada kebijakan-kebijakan ekonomi. Di sisi
direktur yang berorientasi pada birokrasi lain, hal tersebut tentu saja membuka akses
bukan pada bisnis, kebijakan manajemen bagi kelompok mentri teknokrat terhadap
sumberdaya manusia yang kaku, sampai dukungan internasional dalam menggulirkan
dengan intervensi berbagai paarat birokrasi kebijakan deregulasi dan privatisasi.
atas BUMN. Dengan demikian, yang sejatinya Kondisi anggaran pemerintahan
BUMN menghasilkan orientasi bisnis, akibat yang semakin terbatas dan juga dukungan
dari regulasi yang kaku terdeskripsi di atas, dari kedua lembaga keuangan internasional
malah mendorong manajemen BUMN untuk di atas tidak begitu saja memudahkan
mengembangkan orientasi politik yang sangat para pendukung kebijakan deregulasi dan
kuat daripada orientasi publiknya. privatisasi menjalankan orientasi kebijakan
mereka. Karena mereka yang terdiri dari
E. Dari Deregulasi Menuju Privatisasi para birokrat dan kelompok milter yang
Bumn Di Indonesia telah menikmati keuntungan besar dari
a. Masa Deregulasi BUMN perekonomian perlindungan pasar yang
Jatuhnya harga minyak di pasar mereka terapkan selama ini masih sangat
dunia dari AS$36 menjadi AS$26 per kuat pengaruhnya terhadap pengambilan
barrel pada tahun 1982 dan dari AS$26 keputusan di puncak pemerintahan. Karena
menjadi AS$20 per barrel pada tahun itu, strategi yang dilakukan oleh kelompok
1986 mendorong beberapa perkembangan mentri teknokrat ialah melakukan deregulasi di
baru bagi BUMN. Perkembangan ini dipacu sektor perbankan terlebih dahulu. Sementara,
oleh fakta bahwa setelah menurunnya di sektor riil—yang dikuasai menteri-menteri
pendapatan minyak, pemerintah tidak lagi teknis—masih harus menunggu beberapa
memiliki kemampuan untuk mendukung lama untuk bisa sampai dideregulasi.
secara finansial operasi BUMN memunculkan Dengan kebijakan deregulasi terhadap
pemikiran tentang deregulasi dan privatisasi perbankan, maka bank-bank BUMN tidak
(BUMN). Munculnya pemikiran ini terutama lagi diberi fasilitas kredit likuiditas dari Bank
diinisiasi dan didukung oleh menteri-menteri Indonesia. Pada sisi lain aturan credit ceiling
teknokrat, para pengusaha yang tidak juga dicabut, akibatnya adalah bank-bank
mendapat akses terhadap monopoli pada pemerintah yang selama ini tidak harus
sektor-sektor ekonomi, sebagian politisi, dan bersusah-payah mencari dana dari masyarakat
tidak sedikti juga para akademisi. Sekalipun dan juga tidak perlu menetapkan suku bunga
mereka ini bukan kelompok yang benar-benar sendiri, kemudian dipaksa memutar otak
solid, namun kondisi anggaran pemerintah untuk melakukan strategi putar-haluan.
yang mengalami krisis memungkinkan Mereka kini harus bersaing dengan bank-bank
mereka untuk bersatu dan menggulirkan swasta untuk memperoleh dana tabungan
kebijakan deregulasi, dan dalam tahap dan deposito dari masyarakat. Pada level
perkembangan berikutnya, disusul dengan mikro ini menyebabkan manajemen bank
kebijakan privatisasi. Pengaruh World Bank pemerintah harus mengembangkan assets
dan IMF pada periode yang sama pun (yang and liabilities management yang professional.
tengah juga mendorong Negara-negara Deregulasi perbankan selanjutnya yang sangat
berkembang untuk menerapkan kebijakan signifikan terjadi pada tahun 1988 (Andrinof
yang lebih berorientasi pasar) juga tidak sedikit. A. Chaniago 2001:60). Deregulasi ini
Kebutuhan Indonesia untuk memperoleh kemudian dikenal dengan Paket Oktober 1988
dukungan dari kedua lembaga tersebut untuk (Pakto 1988) yang dianggap radikal karena

Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 65
bukan saja mengurangi entry barriers dalam yang lampau atas bank pemerintah atau
industri perbankan, tetapi juga menghapus bank swasta sekarang diubah menjadi bank
kewajiban BUMN untuk menyimpan dana komersil atau bank perkreditan rakyat; yang
di bank-bank pemerintah. Selain itu, Pakto semuanya menempatkan bank-bank BUMN
1988 juga mempermudah persyaratan untuk pada playing field yang sama dengan bank
membuka kantor-kantor cabang bagi bank swasta, sehingga pada prinsipnya tidak ada
swasta yang ada. Kebijakan ini merubah peta lagi perlakuan istimewa yang bisa diterima
kekuatan industri perbankan di Indonesia dari pemerintah (fairness competition).
yang selama ini didominasi oleh bank-bank Ketika BUMN di sektor moneter
pemerintah (BUMN). Bank-bank BUMN mengalami deregulasi yang sangat signifikan,
yang tidak biasa bekerja dalam lingkungan BUMN di sektor riil mengalami arah yang
yang kompetitif—seperti yang dipersyaratkan sebaliknya. Kenyataan ini paling tidak
dalam paham neoliberalisme—terpaksa harus berlaku di awal sektor perbankan mengalami
kehilangan sebagian pangsa pasarnya. Karena dergulasi. BUMN di sektor industri dan
bank-bank swasta lebih mampu bertindak perdagangan mendapatkan perlakukan yang
lebih agresif dalam menawarkan produk dan lebih protektif dari pemerintah terutama
pelayanan perbankan yang lebih menarik pada melalui pemberlakukan Sistem Tata Niaga
pelanggannya dibandingkan dengan bank- Impor. Kebijakan sektor riil yang tidak
bank pemerintah. sejalan dengan kebijakan sektor moneter
Deregulasi perbankan tersebut sesungguhnya menunjukkan keterpecahan
mencapai puncaknya dengan diberlakukannya ditingkat kabinet dalam merespon krisis yang
Undang-undang Perbankan yang baru ditimbulkan oleh menurunnya pendapat
pada tahun 1992. Undang-undang ini dari sektor Migas. Sektor riil, khususnya
semakin memperkuat pergeseran dari campur industri dan perdagangan, memang menjadi
tangan langsung ke indirect intervention oleh portofolio dari mentri-mentri kelompok
Departemen Keungan dan Bank Sentral di nasionalis yang sangat mendukung kebijakan
dalam pengelolaan perbankan. Beberapa subtitusi impor. Namun munculnya orientasi
perubahan mendasar terjadi disini. Pertama, kebijakan yang lebih protektif juga harus
pelaksanaan undang-undang perbankan tidak dilihat bukan semata-mata akibat dari tekanan
lagi didasarkan pada banyak undang-undang ideologis nasionalisme ekonomi, tetapi juga
sebagaimana yang tejadi pada masa sebelumnya, sesungguhnya cerminan kepentingan yang
tetapi kini hanya didasarkan pada: Peraturan terpatri dari para konstituen pemerintahan
Pemerintah, Keputusan Mentri Keuangan, Orde Baru sendiri (terutama kelompok
dan Keputusan Bank Sentral. Dengan militer dan para pengusaha klien yang
demikian, semakin mempermudah bank- mendapat payung proteksi dari pemerintah).
bank BUMN untuk melakukan penyesuaian Kedua kelompok tersebut sangat mendukung
terhadap perubahan yang cepat. Kedua, kebijakan subtitusi impor karena bagi mereka
kemudian juga, diberi penekanan atas fungsi di situlah sumber kekayaan dan tempat
utama perbankan untuk memobilisasi dan investasi yang paling mungkin. Dalam
menyalurkan dana-dana publik. Penekanan kerangka kebijakan proteksionis seperti
ini sangat penting mengingat sebelumnya inilah kesinambungan keuntungan dan bisnis
bank-bank BUMN menggunakan dana-dana mereka melekat.
pemerintah, khususnya uang yang diperoleh Diawal masa-masa deregulasi BUMN
dari minyak, ketimbang memobilisasinya dari di sektor perbankan yang mengarah pada
masyarakat. Dan ketiga, perubahan penting penguatan mekanisme pasar, BUMN di sektor
lainnya, adalah tidak adanya lagi pembedaan riil diisoliasi dari kekuatan-kekuatan pasar oleh
pemilikan antara bank pemerintah dan bank pihak-pihak tertentu. Malah dengan Sistem
swasta. Maksudnya, pengategorian perbankan Tata Niaga Impor yang diberlakukan bukan

66 MANAJERIAL Vol. 10, No. 19, Juli 2011 : 54 - 75


saja mereka menjadi lebih defensif tetapi juga 1994 § Paket Kebijakan Mei tentang
menjadi terminal bagi perluasan mekanisme Keleluasaan Investor Asing di Sektor
patronase yang melibatkan birokrat dan Riil, Pasar Modal, dan Industri Media-
keluarganya. Tidak mengheran jika pada Massa.
antara tahun 1983—1986 dimana pada Sumber: Diolah dan dimodifikasi dari Yahya
periode ini BUMN sktor perbankan sedang A. Muhaimin (1991), Kunio (1991), Leo
mengalami deregulasi awal, BUMN sektor riil Suryadinata 1995; Andrinof A. Chaniago
terlibat dalam sistem impor dan pemberian (2001) dan Emmerson (2001).
lisensi yang sangat luar bisaa terhadap
kelompok-kelompok usaha yang memiliki b. Masa Liberalisasi BUMN
akses terhadap pusat-pusat kekuasaan dalam Deregulasi dan liberalisasi di sektor
birokrasi (Marie E. Pangestu 1987). Namun, perbankan yang mempengaruhi keberadaan
karena dampaknya terhadap ekonomi biaya bank-bank BUMN berlangsung sampai
menjadi tinggi –dan juga karena pengaruh point of no return. Bukan saja karena tidak
deregulasi moneter yang mau tidak mau ada pilihan kebijakan lain, tetapi yang
harus diikuti oleh deregulasi di sektor riil, lebih penting karena deregulasi ini telah
maka kebijakan proteksionis secara gradual membuat bank-bank di Indonesia berhasil
terpaksa ditinggalkan. menggalang dana dari masyarakat dalam
jumlah yang cukup signifikan, terutama
Tabel 1. Beberapa Kebijakan Deregulasi yang diperlukan bagi target kontribusi sektor
1983 § Deregulasi sistem perbankan. swasta sebesar Rp131,6 triliun tehadap
1984 § Penyederhanaan perizinan dan investasi total (55%). Kontribusi ini memang
pengurangan tariff dibidang tata diperlukan sebagai bagian dari penguatan
niaga serta pengurangan proteksi peran sektor swasta dalam pembangunan
(Inpres No. 4). dengan strategi pada pertumbuhan yang
§ Deregulasi ekspor-impor (Inpres No. 4). berorientasi ekspor. Keberhasilan tersebut
1986 § Paket Mei, memberikan kebebasan membuat para penganjur kebijakan deregulasi
kepada sebagian produsen eksportir memperoleh konstituen yang semakin besar
untuk mengimpor langsung dalam politik, sehingga memperkuat tekanan
kebutuhan impor mereka. pada kekuatan-kekuatan antideregulasi untuk
§ Paket Oktober, pembebasan sebagian mengikuti langkah kebijakan serupa yang
barang impor dari pemberlakuan Tata diambil pada sektor moneter. Karena itu,
Niaga.
kemudian deregulasi tidak saja pada sektor
1987 § Paket Januari tentang Eskpor.
industri dan perdagangan, tetapi juga meluas
§ Kebijakan Juli tentang
Penyederhanaan Kuota Tekstil.
pada sektor-sektor infrastruktur, seperti:
§ Paket Kebijakan Desember tentang telekomunikasi, listrik dan jalan.
Pasar Modal, Tarif, dan Perizinan. S e k t o r i n f r a s t r u k t u r, s e p e r t i :
1988 § Paket Oktober tentang Liberalisasi telekomunikasi, listrik dan jalan, yang
Keuangan. secara tradisional menurut Pasal 33 UUD
§ Paket Desember tentang Pasar Modal 45 harus dikuasai oleh negara terpaksa
dan Modal Ventura. juga harus dideregulasi dan diliberalisasi.
1989 § Paket Kebijakan Juni tentang Tekanan deregulasi dan liberalisasi semakin
Penataan BUMN. kuat pada sektor ini karena juga memang
§ Keppres No. 53/1989 tentang adanya backlog (perlambatan) yang tidak
Swastanisasi Kawasan Industri. lagi sanggup dipenuhi oleh Negara melalui
1991 § Paket Februari tentang Globalisasi BUMN yang ada, semacam: Telkom, PLN,
Perbankan. dan Jasa Marga. Ketiga BUMN ini sudah
§ Peket Kebijakan Juni tentang Investasi
sejak lama masing-masing memonopoli,
(Pelonggaran Daftar Negatif Investasi).

Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 67
listrik, dan jalan. Namun akibat dari tekanan Perdebatan dimuali karena pemikiran
perlambatan struktur industri ini mulai dominan yang berkembang sejak era-1980-
dilepas secara bertahap. Terlihat misalnya an ditingkat internasional berkenaan dengan
dari deregulasi industri yang ditempuh adalah perusahaan negara adalah privatisasi.
dimana sektor swasta diizinkan masuk ke Pemikiran ini pula, bersama-sama dengan
bisnis telekomunikasi bukan dasar, sementara deregulasi dan liberalisasi ekonomi, yang
pengopersian jaringannya tetap menjadi dipromosikan oleh World Bank dan IMF
monopoli Telkom. Begitu pula pada kelistrikan, di Negara-negara berkembang, termasuk
swasta diizinkan masuk namun baru pada Indonesia, melalui persyaratan pinjaman yang
tahap pembangunan dan pengoperasioan dikenakan kapada negara-negara peminjam
pembangkit listrik. Padahal masuknya swasta dana dari lembaga ini. Dalam proses kebijakan
dimaksudkan untuk mengisi kekurangan ekonomi ditingkat kabinet, pemikiran yang
investasi yang tidak bisa lagi dipenuhi oleh sedang dominan tersebut masuk lewat pintu
badan-badan usaha milik negara tadi. para mentri teknokrat yang sudah sejak
Namun dalam proses demonopoliisasi pertengahan 1980-an menggulirkan kebijakan
sektor-sektor infrastruktur unsur patronase deregulasi. Menteri Keuangan sebagai pelaku
dan kronisme bermain sangat kuat. Karena penting kebijakan dari kelompok teknokrat
ternyata perusahaan swasta yang masuk mendorong privatisasi BUMN. Sementara
adalah kelompok-kelompok bisnis yang sangat menteri-menteri lain, khususnya Mentri
dekat dengan pusat kekuasaan politik. Sehingga Pertanian dan Mentri Pekerjaan Umum,
tidak satupun bisnis dari sektor infrastruktur menentang privatisasi dan justru malah
yang didemonopoliisasi yang tidak dimasuki mengedepankan konsolidasi, reorganisasi,
oleh kelompok bisnis ini. Bahkan karena dan penataan ulang BUMN. Pro dan kontra
teramat kuatnya pengaruh kelompok bisnis kebijakan yang melibatkan masing-masing
ini terhadap pengambilan keputusan di level pendukungnya di dalam maupun di luar
elit birokrasi, akhirnya menempatkan BUMN birokrasi relatif cukup panjang, berlangsung
yang sangat besar sekalipun, seperti: Telkom, sampai kurang lebih dua tahun. Hingga
PLN dan Jasa Marga, berada pada posisi tawar pada akhirnya mendorong Presiden Soeharto
yang rendah. Kecenderungan yang terjadi di untuk mengambil kebijakan ‘jalan tengah’
dalam deregulasi sektor infrastruktur nyaris berupa opsi yang sangat luas maknanya dari
merupakan “pengalihan asset strategis” dari restrukturisasi perusahaan Negara di Indonesia
BUMN kepada perusahaan swasta. (mencakup perubahan status BUMN, kontrak
Deregulasi dan liberalisasi sektor-sektor manajemen, merger, go-publik, joint venture
yang didominasi atau bahkan dimonopoli atau joint operation, penjualan BUMN dan
BUMN tidak berjalan sendiri. Karena dibawah likuidasi (Inpres No. 5 tahun 1988)).
tekanan nasionalisme ekonomi dan kecurigaan Sesungguhnya pilihan atas kebijakan
kepada pihak swasta yang masih cukup kuat, yang sangat luas tersebut di atas merupakan
pemerintah yang sudah tidak lagi memiliki political settlement dari berbagai kepentingan
sumber-sumber keuangan yang melimpah yang terlibat atas permasalahan BUMN. Lebih
untuk membiayai BUMN sesungguhnya khusus lagi merupakan strategi kebijakan
membutuhkan pula dukungan sektor swasta ekonomi-politik presiden yang berusaha
untuk mempertahankan BUMN ini. Pada sisi untuk mempertahankan perimbangan
lain disadari bahwa BUMN sendiri memang kepentingan masing-masing konstituennya
perlu dibenahi jika harus bertahan di dalam di dalam maupun luar negeri. Di sini
lingkungan ekonomi yang lebih liberal. menjadi jelas bahwa di Indonesia privatisasi
Karena itu, tidak ada pilihan lain melakukan perusahaan Negara hanyalah salah satu dari
restrukturisasi atas BUMN. Namun perdebatan berbagai pilihan kebijakan yang mungkin
muncul disekitar arah restruktrisasi ini. untuk dilakukan. Kecenderungan awal

68 MANAJERIAL Vol. 10, No. 19, Juli 2011 : 54 - 75


menunjukkan bahwa tindakan privatisasi mentri yang menempuh transformasi industri
diterapkan lebih pada BUMN kecil, dan itupun melalui campur tangan yang kuat dari negara.
sering merupakan opsi kebijakan terakhir Dalam konstelasi dan kontestansi kepentingan
manakala pilihan-pilihan lain tidak bisa lagi tersebut Presiden Soeharto menempatkan
efektif. Hingga tahun 1997 diperlukan waktu dirinya berada di tengah-tengah yang
enam tahun untuk akhirnya pemerintah bisa terkadang bergerak agak ke arah kelompok
mengenakan tindakan privatisasi (hanya) di pertama yang proliberalisme pasar, dan
dua BUMN besar (Semen Gresik dan Indosat). terkadang pula bergerak kearah yang kontra
Itupun dilakukan dengan bentuk parsial, pada penguatan mekanisme pasar (yang
yakni di mana pemilikan negara mayoritas. mengedepankan kebijakan nasionalisme).
Sementara itu yang lebih banyak diambil Hal tersebut dilakukannya tergantung pada
adalah bentuk-bentuk kerjasama dengan tingkat dan skala krisis ekonomi yang dihadapi.
swasta, tentu dengan berbagai variannya Kebijakan untuk menjaga perimbangan ini
seperti built-operate-transfer (BOT) yang yang sesungguhnya merupakan ciri penting
banyak dilakukan di dalam pembangunan dari manajemen ekonomi-politik presiden,
infrastruktur jalan raya. Dalam struktur sangat menandai proses deregulasi, liberalisasi
ekonomi-politik pembangunan di Indonesia dan privatisasi BUMN hingga menjelang
bentuk semacam ini memang tampaknya berakhirnya pemerintahan Orde Baru pada
yang paling sesuai. Sebab, BUMN yang tahun 1998.
sudah melemah kemampuan finansialnya
akan memperoleh dukungan ‘sumber daya’ c. Privatisasi BUMN dari Privatisasi
dari sektor swasta yang relatif kuat. Dalam Manajemen Menuju Privatisasi
konteks lain, hal ini menjadi akses bagi sektor Pemilikan
swasta untuk masuk ke dalam sektor-sektor Restrukturisasi BUMN sejak paruh
yang lebih strategis—di mana sebelumnya kedua tahun 1980-an dan awal tahun 1990-
hanya dikuasai oleh negara. an polanya lebih menuju pada penataan
Perkembangan waktu itu juga kembali hubungan didalam pemerintahan—
menunjukkan bahwa arah menuju deregulasi, antara kementerian teknis dan manajemen
liberalisasi dan privatisasi BUMN tidak BUMN—dan penataan hubungan antara
sepenuhnya diterima oleh seluruh jajaran BUMN dengan pasar. Pola restrukturisasi
pengambil keputusan utama di kabinet. semacam ini tidak lepas dari pengaruh teori
Karena arah yang berlawanan juga terjadi yang sedang berkembang saat itu. Yang inti
manakala kemudian sepuluh BUMN besar dari kesemua pandangan yang berkembang
diambilalih dari beberapa departemen teknis, pada waktu itu ialah pemisahan manajemen
dan ditempatkan di bawah pengawasan kebijakan dari pemberian pelayanan,
Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) penggunaan indikator kerja yang eksplisit,
yang berada di bawah Menteri Riset dan ekspose terhadap kompetisi, korporatisme unit-
teknologi. Dengan argumen industri strategis unit birokrasi atas basis arm-length, orientasi
tersebut sengaja diisolasi dari kemungkinan- yang kuat terhadap hasil dan konsumen, serta
kemungkinan tindakan privatisasi yang justru komersialisasi.
sesungguhnya sedang diimplementasikan Dikaitkan dengan restrukturisasi BUMN
dibawah koordinasi Menteri Keuangan. implikasi teori tersebut adalah perlunya
Perkembangan ini merupakan manifestasi dari mengurangi campur tangan dan kontrol
pertarungan kepentingan di sekitar Presiden pemerintah yang berlebihan sehingga ada
Soeharto yang sudah lama berlangsung otonomi yang relatif dari manajemen BUMN.
antara kelompok mentri yang mengedepankan Pada sisi lain, menghadapkan BUMN pada
strategi industrialisasi—yang didasarkan pada kekuatan-kekuatan pasar. Buruknya kinerja
comparative advantage—dengan kelompok BUMN yang sejauh ini, menurut penalaran

Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 69
teori ini, terjadi akibat tidak adanya onomi regularitas dan prediktabilitas dalam hubungan
manajemen dan persaingan bebas. Argumen antara BUMN dengan departemen teknis yang
yang mendasari pernyataan tersebut adalah mengawasinya. Dengan adanya indikator
bahwa otonomi memberi fleksibilitas kepada kinerja mentri-mentri yang mengawasi BUMN
manajemen untuk melakukan optimasi factors- tidak bisa lagi menyembunyikan kerugian
mix, diversifikasi usaha dan penjaringan modal. BUMN di balik argumen BUMN sebagai agen
Sementara penggunaan indikator kinerja, pembangunan. Begitu pula sebenarnya mereka
yang merupakan akibat dari pergeseran tidak bisa melakukan campur tangan ke dalam
langsung kontrol pemerintah berfungsi sebagai manajemen BUMN tanpa mempertimbangkan
sistem pemantauan yang sangat diperlukan akibat-akibatnya atas kinerja keungan BUMN.
untuk mengarahkan dan mengendalikan Untuk para manajer BUMN, indikator kinerja
perbaikan kinerja. Sementara ekspos terhadap juga membantu mereka untuk ‘melawan’
persaingan bisa menggerakkan inovasi dan campur tangan ad hoc dari kementerian
perilaku sadar biaya dari manajemen BUMN. teknisnya ke dalam BUMN, selain juga
Apa yang terjadi dengan restrukturisasi membuat mereka lebih peduli pada bottom-
BUMN sejak paruh kedua tahun 1980-an line perusahaan. Sementara itu, perencanaan
dan awal tahun 1990-an sebetulnya tidak strategis membantu prediktabilitas dalam
terlalu jauh dari garis teori di atas. Dalam meningkatkan keteraturan dan keteramalan
paket restrukturisasinya ada kebijakan yang melalui basis tujuan, strategi dan program yang
dimaksudkan untuk memperbaiki tatanan disepakati terlebih dulu antara kementerian
kelembagaan yang mengatur hubungan dengan manajemen BUMN, sehingga bagi
BUMN dengan pemerintah dan pasar. keduanya ada kejelasan sasaran.
Penggunaan indikator kinerja dan dan Kebijakan lain diarahkan pada
perencanaan strategis –yang diatur oleh pemisahan tujuan sosial dari tujuan komersial
SK.Menkeu. No. 70/KMK.00/1989 dan SK. serta penetapan sistem imbalan jasa dan
Menkeu. No. 741/KMK.00/1989— BUMN oleh sanksi bagi direksi BUMN yang ditentukan
Mentri Keuangan dalam proses pengawasan berdasar pencapaian kinerja BUMN. Idealnya
kementerian teknis merupakan kebijakan setiap tujuan sosial yang dibebankan oleh
yang dimaksudkan untuk meningkatkan BUMN harus diganti dari ataupun dipikul oleh
akuntabilitas atas kinerja manajemen. anggaran pemerintah. Namun tampaknya
Indikator kinerja memberikan ukuran bagi ini masih sulit dilakukan karena sangat
evaluasi BUMN. Hasil evaluasi ini menjadi tergantung pada kondisi keuangan pemerintah
dasar untuk menentukan apakah sebuah sendiri. Yang sering terjadi adalah pola subsidi
BUMN akan terus dalam formatnya yang silang. Sekalipun masih belum ideal, upaya
sudah ada, merubah sasaran dan kebijakan, kearah ini merupakan satu langkah lebih
dan diprivatisasi bahkan likuidasi, ataupun maju untuk menghindari konflik yang bisa
mengikuti opsi kebijakan lain yang sudah muncul akibat mengejar dua tujuan berbeda.
dirumuskan seperti dipecah ke dalam beberapa Kebijakan yang lebih penting lagi terlihat dari
perusahaan yang lebih kecil, joint venture dan keharusan merubah status badan hukum
sejenisnya. Kombinasi antara indikator kinerja semua BUMN yang masih berbentuk Perjan
dan opsi restrukturisasi telah menciptakan dan Perum ke bentuk Perseroan Terbatas
ancaman konstan terhadap manajemen (PT). Perubahan ini membawa implikasi
BUMN maupun terhadap kementerian teknis yang sangat penting bagi masa depan
yang mengawasinya. Kerana setiap saat BUMN, karena, pertama, BUMN bisa lebih
BUMN bisa dilikuidasi ataupun diprivatisasi mengembangkan tujuan yang berorientasi
jika kinerjanya tidak memuaskan. bisnis, manajemen lebih otonom, kontrol
Indikator kinerja dan perencanaan pemerintah bersifat tidak langsung karena
strategis juga bisa membantu meningkatkan dilakukan oleh dewan komisaris, partisipasi

70 MANAJERIAL Vol. 10, No. 19, Juli 2011 : 54 - 75


modal swasta bisa dilakukan, status personil politis (relative) bisa diterima di Indonesia yang
bukan lagi pegawai negeri, dan cakupan memiliki kecenderungan kultural-ideologis;
kegiatan usahanya juga lebih beragam. Dan, serta struktur ekonomi-politik yang lebih
kedua, yang lebih penting, yakni sebagai mendukung peran BUMN yang kuat dalam
akibat dari perubahan pada aspek-aspek perekonomian. Karena itu, bisa dikatakan
tersebut adalah memungkinkan BUMN untuk bahwa privatisasi manajemen adalah
diprivatisasikan kelak, baik secara parsial ‘kompromi politik awal’ antara kekuatan-
maupun total, lewat pasar modal ataupun kekuatan yang ingin mempertahankan
penyertaan langsung modal swasta lewat kontrol Negara atas sektor-sektor strategis
private placement. ekonomi dan kekuatan-kekuatan yang ingin
Sementara itu, hubungan BUMN melepaskannya kepada pihak swasta. Impak
dengan pasar telah dikoreksi dengan berbagai dari korporatisasi ini adalah BUMN akan tetap
paket kebijakan deregulasi yang berupaya berada di tangan negara namun ditempatkan
memperbaiki bekerjanya kekuatan-kekuatan dalam kondisi dimana mereka harus disiplin—
yang menentukan persaingan dalam industri. jika tidak hendak mengatakan tunduk—pada
Misalnya pada tahun 1998 entry barriers kekuatan-kekuatan pasar dan bukan lagi
ke dalam industri perbankan relatif sudah kekuatan-kekuatan politik.
dikurangi. Pada sisi lain deregulasi pasar Secara teoretik privatisasi manajemen
modal juga membuka tersedianya produksi dibangun di atas argumen yang mengatakan
substitusi bagi pendanaan jangka panjang bahwa pemilikan perusahaan oleh negara
perusahaan. Begitu pula tersedianya banyak (state ownership) bukan penyebab inefisiensi.
pilihan bank telah memperkuat posisi-tawar Menurut argumen ini sejauh BUMN dapat
konsumen dan pemasok dana. Semua ini telah ditundukkan pada disiplin pasar, maka tidak
memperkuat dinamika persaingan antarbank. akan ada masalah dengan infisiensi dan
Pada sektor lain seperti telekomunikasi dan inovasi perusahaan. Selanjutnya BUMN
kelistrikan yang sudah sejak lama struktur bisa menampilkan perilaku perusahaan
pasarnya monopolistik kini sudah mulai swasta jika memiliki lingkungan pengaturan
berubah pula. Insdustri kelistrikan telah yang kondusif. Dengan demikian dalam
mengalami diferensiasi dan unbundling, di privatisasi manajemen kuncinya terletak pada
mana partisipasi swasta dimungkinkan dalam peningkatan efisiensi dan akuntabilitas melalui
satu atau lebih tahapan value chain-nya. penundukkan BUMN pada kekuatan pasar
Kemudian struktur pasar yang duopoli dan yang kompetetif serta melalui pencontohan
oligopoli telah memaksa dua BUMN di sektor pada manajemen perusahana-perusahaan
telekomunikasi menghadapi persaingan. swasta.
Semakin kompetitifnya struktur pasar Pengalaman privatisasi BUMN di
semacam ini telah berlaku pula pada BUMN Indonesia menujukkan pivatisasi manajemen
di sektor lain, seperti: penerbangan, industri sebagai upaya ‘kompromi politik awal’
berat, perdagangan, dan lain-lain. dan sebagai tahapan interim menuju
Secara keseluruhan, persaingan dan privatisasi kepemilikan, dan kemudian dalam
diferensiasi bersama dengan penggunaan perkembangan selanjutnya mengambil jalan
indikator kinerja, perencanaan strategis, tengah sebagai ‘kompromi politik akhir.’ Pola
kejelasan sasaran, manajemen yang otonom, jalan tengahnya adalah BUMN besar yang
serta sistem imbal-jasa dan sanksi bagi sangat strategis, seperti: Telkom, Indosat dan
pimpinan BUMN, sebenarnya sedang berusaha industri semen, diprivatisasi secara parsial
merubah karakter BUMN dari unit birokrasi dengan pemerintah tetap mempertahankan
menjadi corporate. Perubahan yang disebut pemilikan saham mayoritasnya, dan sisanya
korporatisasi ini sesungguhnya adalah dimiliki oleh swasta nasional dan asing.
privatisasi manajemen yang dari pertimbangan Sedangkan BUMN kecil yang berada pada

Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 71
sektor-sektor yang dianggap sudah tidak gap dari perusahaan swasta pada tiga sektor.
strategis lagi –seperti kertas dan hotel, Per tama, adalah performance gap yang
misalnya—diprivatisasikan secara penuh mencakup kualitas, biaya, cycle-time, logistic,
melalui penjualan langsung pada pihak produkstivitas dan sistem administrasi. Kedua,
asing. adaptability gap, pilihan portofolio usaha,
bauran produk, harga-kinerja dan model-model
d. P r iva t i s a s i Ke p e m i l i k a n S e b a ga i bisnis yang dikembangkan. Terakhir, ketiga,
‘Modernisasi’ Manajemen BUMN opportunity gap yang mencakup pertumbuhan
Perubahan pada tatanan kelembagaan bisnis, pengembangan usaha-usaha baru,dan
yang mengatur hubungan BUMN dengan pengembangan pasar. Pada ketiga sektor
pemerintah dan lingkungan industri yang tersebut prestasi BUMN umumnya jauh
kini sudah menjadi kompetitif, membawa dibawah yang bisa dicapai oleh perusahaan-
perubahan yang tidak sedikit pada manajemen perusahaan swasta. Untuk meningkatakan
BUMN. Perubahan mencolok terjadi pada daya saing terhadap perusahaan swasta
bentuk organisasi bisnis dari struktur birokrasi domestik maupun global, khususnya lagi
menjadi struktur multidivisi ataupun struktur perusahaan multinasional, BUMN memang
lain yang didasarkan kepada segmen pasar memerlukan perubahan mendasar pada
yang dilayani. Selain itu pembentukan profit orientasi manajemennya. Mereka bukan saja
center menjadi pilihan lain manakala struktur harus memikirkan langkah untuk melampaui
multidivisi tersebut tidak dapat diterapkan. pesaingnya (dalam artian kualitas dan biaya),
Perubahan pada stuktur ini menjadi salah satu tetapi juga harus memikirkan kembali logika
pertanda bahwa pergeseran orientasi sedang yang mendasari portofolio bisnisnya, dan
terhadi pada manajemen BUMN, dari orientasi memobilisasikan seluruh sumberdaya untuk
ke atas (birokrasi) menjadi pada konsumen; menciptakan pasar serta bisnis baru guna
dan dari orientasi politik kearah orientasi membangun arah stratgis yang fokus.
bisnis. Keduanya ini menjadi langkah Kualitas sumberdaya manusia (SDM)
penting untuk memperbaiki citra produk dan juga sering menjadi kendala yang harus
pelayanan BUMN yang selama ini memang dihadapi dalam rangka memodernisasi
tidak terlalu bagus dibenak konsumen. manajemen BUMN. Kenyataan menunjukkan
Tidak sedikit BUMN yang melakukan SDM BUMN sangatlah lemah. Dari sudut
penataan ulang organisasi bisnisnya terpaksa komposisi kompetensi yang ada, banyak SDM
harus pula melakukan delaying atau rightsizing. BUMN berlatarbelakang teknis, dan kurang
Tindakan ini merupakan upaya untuk lebih memiliki kompetensi manajerial yang baik.
merampingkan organisasi BUMN yang Padahal justru kompetensi seperti managerial
dirasa begitu gemuk. Pemangkasan lapisan skill diperlukan untuk mengembangkan usaha
manajemen, terutama tingkat menengah, bisnis di dalam lingkungan yang kompetitif.
dan pengurangan personil—yang memang Komposisi SDM semcam ini sangat tidak
sering jauh melebihi kebutuhan personil menguntungkan ketika manajemen BUMN
yang semestinya—menjadi penyebab utama harus segera merespon terhadap industri yang
membengkaknya biaya-biaya usaha yang sudah kompetitif. Karena akibat dari tidak
pada gilirannya akan (juga) meningkatkan memadainya kualitas SDM, sebagian pangsa
biaya produksi. Karena itu, langkah ini pasar BUMN jatuh pada pihak perusahaan
sangat tepat untuk meningkatkan daya swasta yang menjadi kompetitornya. Buruknya
saing bisnis BUMN terhadap perusahaan- kulaitas SDM BUMN untuk sementara diatasi
perusahaan swasta. Harus diakui dalam dengan rekrutmen SDM dari sektor swasta
kaitan ini bahwa untuk BUMN yang berada ataupun dari sektor lain. Namun hal ini
pada industri yang sebelumnya juga sudah hanya berlaku untuk tenaga pimpinan puncak
kompetitif. Sesungguhnya BUMN mengalami BUMN. Dan itupun sangat tergantung pada

72 MANAJERIAL Vol. 10, No. 19, Juli 2011 : 54 - 75


inisiatif mentri departemen teknis yang ini umumnya mudah melakukan perubahan-
mengawasinya. Beberapa figur pimpinan perubahan radikal, seperti dalam penjualan
dari luar BUMN, khususnya dari swasta, asset perusahaan yang sudah tidak produktif
misal: Mangunsubroto di PT. Timah, Cacuk dan mengurangi jumlah pegawai yang tidak
Sudaryanto di PT. Telkom, Robi Johan di Bank lagi kompetitif.8 Sehingga dalam waktu yag
mandiri, berhasil melakukan perubahan yang tidak terlalu lama perusahaan kemudian
cukup berarti di tubuh dan manajemen BUMN. mampu mencapai efisiensi yang cukup baik
Kehadiran mereka memang sangat diperlukan dan tingkat keuntungan yang bagus. Karena
terutama untuk menebarkan pola-pola budaya kemudian dengan sebab itu diperoleh pula
baru ke dalam manajemen BUMN, khususnya evaluasi kenaikan peringkat kinerja dari
semangat entrepreneurship, kemandirian, dan Kementerian Keuangan yang berguna untuk
juga profesionalisme usaha yang memang melakukan privatisasi parsial.
selama ini relatif kurang. Tetapi pada pihak lain tidak sedikit pula
Perubahan-perubahan dalam rangka BUMN yang sulit untuk mencapai perubahan
modernisasi manajemen BUMN tidak hanya uang cukup signifikasn dalam efisiensi
terjadi pada tingkat struktur dan aspek SDM dan tingkat keuntungan yang dicapainya.
saja, tetapi juga dilakukan pada tatanan kultur Beberapa diantaranya karena mereka memikul
perusahaan. Perubahan pada hal tersebut beban biaya operasi yang sangat berat
terakhir dimaksudkan agar ada daya dukung akibat faktor input yang terlalu mahal,
suprastruktur yang cukup kuat terhadap yang kebetulan dipasok oleh perusahaan-
infrastruktur organisasi yang baru seperti perusahaan yang memiliki political clout
sistem manajemen dan struktur organisasi, yang sangat kuat. BUMN semacam ini
dan juga untuk merangsang motivasi dan sebetulnya sudah sejak lama menjadi bagian
komitmen SDM BUMN pada visi dan strategi dari high-cost economy di Indonesia. Karena
bisnis baru perusahaan. Nilai-nilai baru yang itu, perubahan apapun yang dilakukan
menyiratkan kedekatan dengan konsumen, didalamnya sulit untuk memperbaiki kinerja
semacam responsiveness dan empati, mulai operasi perusahaan selama sistem patronase
disosialisasikan kepada para pegawai. yang menjadi dasar dari keberadaan para
Walaupun sejauh ini tingkat difusinya pemasok faktor input belum cukup kuat
masih agak lambat dalam perusahaan, tergoyahkan oleh kondisi ekonomi yang
penebaran nilai-nilai semacam ini menjadi sebetulnya sudah semakin buruk. Dan,
langkah penting bagi perkembangan BUMN nyatanya sistem ini baru tergoyahkan ketika
kedepan yang lambat laun menghadapi krisis ekonomi tahun 1998 berlangsung.
lingkungan yang semakin kompetitif dan Sebelum krisis terakhir ini sistem patronase
bahkan turbulent. tetap jalan, walaupun dalam ruang yang
Sayang semua perubahan tersebut semakin terbatas. Padahal sebetulnya pada
diatas tampak pada maisng-masing BUMN saat yang sama sekonmi sedang mengalami
berbeda dalam gradasi lingkup perubahan deregulasi dan liberalisasi, yang dengan
yang dijangkaunya, kecepatan perubahannya, demikian mendorong penguatan mekanisme
maupun temponya. BUMN sektor perbankan pasar dalam pengaturan alokasi sumberdaya.
termasuk yang agak cukup mendasar dalam Berlangsungnya dua kecenderungan yang
melakukan modernisasi manajemen kemudian kontradiktif ini memang terkait dengan gaya
disusul oleh BUMN di sektor infrastruktur patrimonial dari kepemimpinan Preiden
(khususnya telekomunikasi). Gradasi Soeharto waktu itu. Kesinambungan patronase
perubahan manajemen pada BUMN di sektor
lain tampak sangat dipengaruhi oleh dukungan 8 Seperti terjadi pada tahun awal 1990-an yang
politis dari mentri teknis yang mengawasinya. dilakukan oleh Mentri Pertambangan pada PT.
BUMN yang mendapat dukungan semacam Timah, misalnya.

Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 73
pada para pendukungnya selain juga kinerja sendiri belum mempunyai konsepsi yang
ekonomi yang cukup bagus menjadi faktor jelas mengenai hal itu. Karena langkah
penentu bagi kesinambungan kekuasaannya. restrukturisasi yang diambil sebetulnya lebih
Pola yang terlihat adalah sejauh kinerja bersifat pragmatis ketimbang ideologis. Pada
ekonomi secara keseluruhan tidak terganggu sisi lain, pihak swasta domestik yang dulu
terlalu buruk patronase terus berlanjut. mengambil alih kepemilikan pemerintah di
Dalam konteks gaya patrimonial presiden, BUMN ataupun yang kemudian memasuki
BUMN dijadikan saluran dimana patronase sektor-sektor ekonomi yang ditinggalkan oleh
diberikan, sehingga perubahan signifikan BUMN, secara ekonomi maupun politis kini
kearah pencabutan patronase yang merugikan sulit untuk bisa berkembang seperti dulu.
harus datang ataupun mendapat dukungan Karena secara ekonomis asset-asset mereka
dari Presiden Soeharto sendiri. Inilah realitas dikuasi oleh pemerintah melalui BPPN—yang
politik yang sebetulnya menjadi prima causa kemudian dianulir oleh pemerintah karena
dari persoalan BUMN. Namun kemudian banyak tarik-ulur politis didalamnya. Dengan
manakala runtuhnya kekuasaan Presiden demikian, praktis sejak krisis ekonomi tahun
Soeharto beserta seluruh sistem ptronasenya 1997 yang sebenarnya mengambil alih
akibat krisis ekonomi tahun 1998 menjadi peran BUMN dalam perekonomian Indonesia
babak penting bagi perbaikan kinerja dan adalah swasta asing, terutama perusahaan
restrukturisasi BUMN. multinasional dan atau transnasional (MNC
dan TNC), karena merekalah yang sebetulnya
F. Kesimpulan memiliki daya untuk membeli BUMN-BUMN
Restrukturisasi BUMN di Indonesia yang dijual.
masih belum selesai. Namun beberapa Dengan semakin luasnya pijakan
perubahan yang cukup signifikasn sudah MNC/TNC dalam sektor-sektor ekonomi di
mulai terlihat. Ketika tahun 1986, kebijakan Indonesia, nasionalisme ekonomi yang menjadi
restrukturisasi BUMN digulirkan jumlah kecenderungan ideologis kuat dalam kebijakan
BUMN yang ada adalah 226 pada tahun 1995 awal ekonomi Indonesia menjadi tidak relevan
jumlah ini menyusut menjadi 180; kemudian lagi. Mungkin tidak pernah terbayangkan
pada tahun 1997 berkurang lagi menjadi oleh pemerintah posisi semacam ini diawal
160 BUMN. Jumlah ini memang menurun restrukturisasi BUMN tahun 1980-an. Karena
drastis jika dibandingkan dengan jumlah ketika itu kita memang tidak menyadari
600 BUMN di tahun 1957. Penurunan bahwa kita telah masuk dalam perangkap
juga terlihat dibidang investasi. Statistik neoliberalisme, sehingga dalam setiap
menunjukkan investasi publik mewakili 36,8% kebijakan ekonomi-politik yang dihasilkan
dari keseluruhan investasi pada periode 1974- di negeri ini tidak lain hanyalah cerminan
1979, dibandingkan 34,9% untuk swasta dari kepentingan akumulasi modal/kapital
domestik dengan 28,9% untuk investasi kelompok international financial institutions.
asing. Namun pangsa investasi sektor publik Sehingga tidak perlu heran apabila penarikan
ini menurun menjadi 25% pada periode subsidi bagi publik, penghapusan ideologi
1989—1994, dibandingkan dengan 67% ‘kesejahteraan bersama’ dan pemilikan
dari swasta domestik dan 8% dari investasi komunal menjadi kepemilikan privat,
asing (Booth 1998:108). Perubahan ini penyingkirkan segala hal mengganggu yang
menujukkan penurunan peran BUMN di perdagangan bebas (free trade), pemberlakukan
dalam perekonomian. Sementara di lain pihak deregulasi atas peraturan pemerintah yang
peran swasta meningkat tajam. menghambat masuknya modal asing,
Seberapa jauh peran yang satu privatisasi (memberikan semua pengelolaan
akan dipertahankan dan yang lain akan perusahaan negara kepada pihak swasta),
dikembangkan, tampaknya pemerintah hingga melepaskan nilai tukar mata uang

74 MANAJERIAL Vol. 10, No. 19, Juli 2011 : 54 - 75


pada pasar tanpa intervensi pemerintah akan Kunio, Y. 1991. Kapitalisme semua Asia
menjadi perilaku negara yang terlihat biasa Tenggara. Jakarta: LP3ES.
(walau sebenarnya represif-ideologis) dalam Leo Suryadinata. 1995. Golkar dan militer:
suasana iklim kebijakan yang neoliberalis. studi tentang budaya politik. Jakarta:
LP3ES.
Daftar Pustaka Mari E. Pangestu. 1987. Survey of recent
Andrinof A. Chaniago. 2001. Gagalnya development. Buletin of Indonesia Economic
pembangunan: kajian ekonomi politik terhadap Studies 23(1).
akar krisis Indonesia. Jakarta: LP3ES. Mohtar Mas’oed. 1989. Ekonomi dan struktur
Booth, A. 1998. The Indonesia economy politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta:
during Soeharto era. Oxford: Oxford LP3ES.
University Press. Polak, J.J.. 1939. The national income of the
Burger, D.H. 1977. Perubahan-perubahan Netherlands-Indies in 1921-1939. New
struktur dalam masyarakat Jawa. Jakarta: York: Institute of Pacific Relation.
Bhratara. Rizal Mallarangeng. 2002. Mendobrak
Emmerson, D.K. (ed.). 2001. Indonesia beyond sentralisme ekonomi Indonesia 1986-1992.
Soeharto: negara, ekonomi, masyarakat, Jakarta: KPG.
transisi. Jakarta: Gramedia. Yahya A. Muhaiman. 1991. Bisnis dan politik:
kebijaksanaan ekonomi Indonesia 1950-
1980. Jakarta: LP3ES.

Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 75

Anda mungkin juga menyukai