Indah Fitriani1
ABSTRAK
Artikel ini membincangkan sekaligus menilai pola pengelolaan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) di Indonesia sejak masa nasionalisasi hingga periode awal masa reformasi. Andaian
yang dibangun dalam artikel ini mengasumsikan bahwa BUMN yang ada di Indonesia tidak
bergerak sesuai arah kebijakan umum pemerintah, tetapi lebih digerakkan oleh kepentingan
pemimpin politik yang berkuasa. Ini dapat ditunjukkan semasa Orde Baru dan tempo awal
transformasi politik setelah jatuhnya Soeharto. Nuansa yang tergambar selama masa-masa
tersebut adalah beranjaknya deregulasi BUMN kea rah privatisasi. Ini karena kontrol politik
ke atas BUMN telah banyak merugikan Negara. Kendati demikian, satu yang pasti, pola
pengelolaan BUMN amat ditentukan oleh kepentingan-kepentingan politik kelompok berbanding
kepentingan negara jangka panjang.
Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 55
yang diwajibkan dimiliki oleh pengusaha ekonomi kolonial tidak banyak mengalami
pribumi. Jadi yang muncul kemudian bukan perubahan. Berbagai sektor strategis, seperti:
lagi pengusaha pribumi yang kuat, tapi bentuk pelayaran, perdagangan, dan perbankan masih
usaha yang disebut ‘Baba-Ali’ (kebalikan dari dikuasai oleh perusahaan-perusahaan milik
‘Ali-Baba’). Dimana bentuk usaha ini hanya Belanda. Misalnya dalam perdagangan ada
secara nominal saja menyebutkan pengusaha the Big Five perusahan Belanda, di antaranya:
pribumi ‘membuat dan memanfaatkan’ lisensi- Borneo-Sumatra Maastschappij (Borsumij),
lisensi dan fasilitas-fasilitas yang diberikan Jacobson van den Berg, Geo Wehry, Lindeteves
pemerintah, namun pada kenyataannya status NV., dan Internatio.3 Begitu juga dalam sektor
kepemilikan tetap berada pada pengusaha pelayaran antarpulau di Indonesia masih
Tionghoa keturuanan. Dengan demikian hampir dimonopoli oleh perusahaan milik
dalam format ‘Ali-Baba’ pengusaha pribumi Belanda Koninklije Paketvaart Mij (KPM). 4
lebih berperan pada tataran politik, yakni Perusahaan pelayaran nasional (Pelni) belum
membuka dan mendapatkan akses terhadap mampu/bisa bersaing dengan KPM. Pada sisi
sumberdaya ekonomi yang ditawarkan oleh lain, perusahaan-perusahaan milik Tionghoa
Negara. keturunan hampir tidak megalami perubahan
Dengan kegagalan Program Benteng dari posisi semula. Bahkan dalam sektor
itu, pemerintah mengambil prakarsa umtuk keagenan tunggal (sole agency) mereka justru
membentuk usaha-usaha besar di sektor- yang mengambilalih posisi-posisi yang semula
sektor yang strategis waktu itu, termasuk di dikuasai dan kemudian ditinggalkan oleh
dalamnya semen, pupuk, alumunium, kertas perusahaan-perusahaan Belanda.
dan sejenisnya. Begitu juga untuk sektor-sektor Gagal terbentuknya BUMN yang
nonstrategis, seperti tekstil misalnya. Namun diharapkan bisa menandingi preusahaan-
yang disebut terakhir sifatnya sementara, perusahaan Belanda, apalagi bisa merombak
selama belum ada pengusaha swasta yang s t r u k t u r e ko n o m i ko l o n i a l s e m a k i n
mampu, kelak secara bertahap ketika telah meningkatkan sentimen Anti-Asing dan
ada pengusaha swasta yang mampu, maka Anti-Tionghoa (“Anti-Cina”) di Indonesia.
harus dialihkan pada pihak swasta, koperasi, Sentimen tersebut untungnya tidak sampai
ataupun kerjasama pemerintah-swasta. Jadi
kebijakan yang berorientasi pada swastanisasi 3 Tiga perusahaan pertama muncul di
BUMN yang berkembang dipenghujung Indonesia pada pertengahan kedua Abad ke-
tahun 1980-an sebetulnya pikiran dasarnya 19. Internatio semula didirikan di Belanda
sudah ada sejak tahun 1950-an. Dengan untuk menyelenggarakan perbankan komersil
demikian, tidak ada alasan yang cukup kuat di Indonesia, tapi ia mengalami kesulitan
untuk mempertahankan sektor-sektor yang selama krisis gula pada awal 1880-an, karena
itu, kemudian direorganisasi sebagai sebuah
tidak strategis tersebut ditangan pemerintah
perusahaan dagang. Geo Wehry dan Borsumij
sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa melakukan investasi di bidang perkebunan,
kalangan di pertengahan dan akhir tahun perdagangan, manufaktur, dan pertambangan.
1990-an. Lindeteves masuk di Indonesia sebagai
Namun, karena situasi politik yang perusahaan importir teknis (permesinan)
tidak stabil sepanjang yahun 1950-1957, setelah Perang Dunia I.
terutama akibat jatuh dan bangunnya kabinet 4 Perusahaan ini didirikan pada 1888 oleh
yang terlalu singkat, prakarsa tadi tidak sebuah konsorsium perusahaan-perusahaan
bisa direalisasikan secara optimal. Sebagai Belanda yang diketuai oleh Nederlandsce
Handel-Maatschappij delam rangka merebut
akibatnya hanya berhasil dibentuk beberapa
penguasaan atas pelayaran antarpulau dari
BUMN dalam sektor, seperti: sodium dan semen kapal-kapal Inggris dan Cina yang melintasi
(termasuk PT. Semen Gresik). Akibat lebih jauh wilayah Indonesia dari Singapura dan
dari keadaan tersebut di atas, adalah: struktur Malaysia.
Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 57
perubahan kebijakan terhadap badan-badan dalam Instruksi Presiden No. 17 tahun
usaha miliki Negara (BUMN) yang pada 1967, yaitu: Perusahaan Jawatan (Perjan),
awalnya memang cukup signifikan. Melalui Perusahaan Umum (Perum) atau Perusahaan
kesepakatan dengan International Monetary Terbatas (PT). Beberapa BUMN ditahan dengan
Fund (IMF)—melalui Kebijakan Stabilitas status tetap sebagai Perusahaan Negara (PN).
Ekonomi—yang mencakup tindakan perbaikan Bahkan tidak sedikit BUMN besar dan strategis
pungutan pajak, bantuan dan investasi asing, seperti Pertamina diberi status khusus dan
penerapan anggaran berimbang, pembaruan diatur oleh peraturan tersendiri. Pada
moneter dan liberalisme ekonomi (Mohtar tataran kebijakan yang lebih makro, booming
Mas’oed 1989; Hill 1994). Liberalisme atas pendapatan minyak juga mengurangi
ekonomi dilakukan khususnya dalam ketergantungan pemerintah pada modal
rangka melakukan deetatisme dan dekontrol asing, sehingga memungkinkan kebijakan
pemerintah atas BUMN. Hal ini dilakukan oleh yang lebih nasionalistik seperti terlihat pada
karena IMF meminta pemerintah Indonesia upaya pengetatan Penanaman Modal Asing
untuk menghentikan subsidi kepada BUMN, (PMA). Dimana pengetatan tersebut meliputi
mengembalikan perusahaan asing yang telah pembatasan pemilikan oleh pihak asing dan
dinasionalisasi (misalnya: Unilever, Anker, Bir keharusan kerjasama dengan serta pengalihan
Bintang, dll.), serta memberikan kompensasi pemilikan asing yang lebih besar kepada mitra
terhadap BUMN yang tidak dikembalikan domestik secara bertahap. Kebijakan tersebut
kepada pemilik semula. Jika hal ini tidak bukan saja lebih nasionalistik dan inward
dituruti, maka program bantuan tersebut looking dalam sikap, tetapi juga pemerintah
tidak akan dilangsungkan. Selain itu, IMF berketetapan dengan uang minyak itu untuk
juga mengharapkan pengurangan campur mempercepat industrialisasi lewat kebijakan
tangan pemerintah melalui rasionalisasi Industrialisasi Subtitusi Impor (ISI).
dan pemberian otonomi yang luas kepada Kebijakan yang terakhir, Industrialisasi
manajemen BUMN. Dan juga pelaksanaan Subtitusi Impor, sangat berpangaruh besar
penyiutan jumlah BUMN dari lebih 600 BUMN terhadap BUMN di Indonesia. Karena, yang
menjadi 223 badan usaha. awalnya perbaikan ekonomi diberlangsungkan
Namun arah yang semula diusung oleh melalui Kebijakan Stabilitas Ekonomi di
pemerintah Orde Baru pada BUMN kearah mana BUMN lebih diarahkan untuk memiliki
rasionalisasi, otonomisasi, dan komersialisasi manajemen yang lebih otonom, relatif terbatas
kemudian berubah pada paruh pertama dari kepentingan politik, dan lebih berorientasi
dan kedua tahun 1970-an sebagai akibat bisnis, maka kini justru sebaliknya (dengan
melonjaknya harga minyak yang mencapai Kebijakan Industrialisasi Subtitusi Impor).
1.354% di tahun fiskal 1974/1975 dan Pemerintah justru menjadikan BUMN sebagai
2.484% di tahun fiskal 1976/77. Pendapatan instrumen Kebijakan Industrialisasi Subtitusi
minyak yang diluar dugaan akibat dari Impor. Posisi BUMN yang demikian ini
kenaikan harga menghentikan kebijakan memang memiliki alasan pragmatis. Oleh
pemerintah yang berupaya mendorong karena tidak ada kekuatan swasta domestik
pada penyehatan BUMN lebih jauh (Rizal yang secara politis cocok dengan sentimen
Mallarangeng 2002).5 Misalnya, tidak semua kolektif antiasing dan anti-Tionghoa yang
BUMN dikonversikan ke dalam salah satu dari waktu itu masih sangat kuat, selain juga
tiga alternatif status hukum yang ditetapkan yang secara ekonomis mampu memikul risiko
jangka panjang investasi dalam proyek-proyek
industri, maka (by default) BUMN mengambil
5 Penjelasan yang komprehensif dapat dibaca
dalam Rizal Mallarangeng. 2002. Mendobrak posisi ini. Dengan posisi semacam ini peran
Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986—1992. BUMN dalam perekonomian menjadi semakin
Jakarta: KPG. besar dan semakin luas. Sektor-sektor ekonomi
Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 59
dilihat dalam kerangka pertarungan antara elite. Kondisi ini pulalah sesungguhnya yang
tiga kekuatan besar dalam perekonomian mewarnai Pasal 33 UUD 1945. Pasal ini
di Indonesia, yakni: pribumi, Tionghoa memberikan pembenaran ideologis bagi peran
keturunan, dan asing, yang telah tersegmentasi negara yang kuat, khususnya bagi perusahaan
sejak masa kolonial Belanda. Pada sisi lain, negara (BUMN) dalam memanfaatkan dan
ada kekuatan-kekuatan di dalam birokrasi mengelola perekonomian nasional. Ini
pemerintahan sendiri yang berkepentingan karena pasal tersebur menyatakan “Negara
untuk menjadikan BUMN sebagai sumber menguasai cabang-cabang produksi penting
apropriasi perorangan maupun kelompok. yang menguasai hajat hidup orang banyak
Mereka terdiri dari para birokrat, politisi dan dan sumberdaya alam.”
militer (Yahya A. Muhaimin 1991; Kunio Maka di dalam atmosfir yang
1991; Leo Suryadinata 1995; Andrinof A. demikian itu kemudian BUMN menjadi
Chaniago 2001; Emmerson 2001). Adalah instrumen pengimbang kekuatan ekonomi
sebuah kebetulan yang berarti bahwa yang didominasi oleh modal asing dan
peran besar yang diberikan kepada BUMN Tionghoa keturunan. Ketiadaan pengusaha
didalam perekonomian nasional sangat pribumi yang kuat, terutama setelah
menguntungkan kepentingan mereka. gagalnya Kebijakan Program Benteng, makin
BUMN adalah sebuah entitas ekonomi memperkukuh peran BUMN seperti ini. Apalagi
yang menjadi simbol kontrol kaum pribumi setelah terjadi nasionalisasi besar-besaran
atas sumberdaya dan sektor-sektor strategis perusahaan asing yang ada di Indonesia,
ekonomi nasional. Sentimen terhadap simbol khususnya Belanda, dan dikembangkannya
ini berkembang dalam sejarah yang cukup ajaran sosialisme model Indonesia, gagasan
panjang dari struktur ekonomi kolonial kemandirian nasional, dan revolusi sosial serta
Belanda yang sangat timpang. Waktu ekonomi oleh Presiden Soekarno ketika itu.
itu, dengan maksud memper tahankan Praktis sentimen antikapitalis serta antiswasta
status-quo, pemerintah kolonial Belanda mencapai titik puncaknya. Saat itu tidak ada
mengembangkan piramida ekonomi dengan lagi kekuatan ekonomi asing tandingan kecuali
tiga lapisan. Dilapisan puncak adalah orang MNC/TNC Amerika Serikat dan Inggris yang
Belanda dan Eropa lain; kemudian dari sengaja dibiarkan oleh pemerintah Indonesia
kalangan Timur Jauh (khususnya kalangan karena terikat pada perjanjian non-interference.
Tionghoa keturunan) pada lapisan kedua, BUMN dengan demikian menjadi satu-satunya
yang dijadikan perantara antara Belanda kekuatan ekonomi nasional yang sangat kuat
dan Pribumi; dan Bumiputra pada lapisan dan mengendalikan banyak asset strategis
paling bawah (Burger 1977). Timpangnya hampir di semua lini ekonomi.
struktur ekonomi ini tercermin dalam hasil Tetapi dengan posisi semacam itu
penelitian J.J Polak pada tahun 1939 atas justru berbagai kekuatan domestik berusaha
pendapatan per kapita yang diterima oleh untuk menguasai dan memanfaatkannya
orang Eropa, Tionghoa keturunan, dan untuk kepentingan mereka. Kekuatan radikal
pribumi sebesar 61:18:1 (Polak 1939:29-32). seperti serikat buruh dibawah Partai Komunis
Kondisi yang sangat tidak menguntungkan Indonesia (PKI) bahkan sejak awal berusaha
ini menggoreskan trauma yang sangat untuk merebut perusahaan-persusahaan
dalam pada kesadaran kolektif bangsa, asing diawal proses nasionalisasi. Namun
sehingga terasa ada semangat nasionalisme akhirnya digagalkan oleh pihak militer,
ekonomi antikapitalisme dan sikap curiga atas kekuatan utama pesaing PKI, yang juga
sektor swasta yang sangat kuat dikalangan memiliki kepentingan, dan pada akhirnya
founding fathers waktu itu, dan juga kemudian menguasai seluruh BUMN di era Orde Baru.
sesudahnya pada para pengambil keputusan Mereka ini terlibat bukan saja dalam aspek
(decision maker) kebijakan publik di tingkat keamanan BUMN, tetapi juga dalam aspek
Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 61
tinggi lain mendapatkan akses fasilitas untuk Pada paruh pertama tahun 1990-an
berkembang pesat. Ironisnya perusahaan perusahan-perusahaan swasta yang memiliki
swasta Tionghoa keturunan yang dulu akses kuat dengan kekuasaan semakin agresif
menjadi sasaran keberadaan BUMN ikut pula dalam meraih fasilitas yang lebih luas dari
berkembang. Perkembangan ini memang BUMN. Dengan dukungan kekuasaan presiden
dikondisikan oleh keberhasilan pemerintah dan pejabat-pejabat tinggi lainnya, baik
Orde Baru dalam menghilangkan banyak dari kalangan sipil maupun militer, mereka
stigma atas perusahaan swasta. Di antaranya berhasil menaikkan daya tawar mereka
melalui penafsiran ulang kata ‘penguasaan’ terhadap BUMN. Beberapa BUMN di sektor
pada Pasal 33 UUD 1945 yang bukan dimaknai perbankan sering terpaksa harus menyalurkan/
lagi sebagai ‘pemilikan’ (seperti yang diartikan mengucurkan kreditnya pada proyek-proyek
oleh pemerintahan Orde Lama), tetapi hanya milik swasta semacam ini, sekalipun kelayakan
sekadar ‘pengendalian’ oleh negara. Selain itu, bisnis perusahaan swasta tersebut tidak jarang
hubungan yang semakin erat antara military meragukan. BUMN besar lainnya sering
entrepreneurs dengan perusahaan-perusahaan terpaksa harus menjalin kontrak-kontrak
swasta khususnya Tionghoa keturunan, serta bisnis yang tidak menguntungkan mereka.
pengaruh yang kuat dari lembaga-lembaga Akibatnya BUMN tersebut harus memikul
keuangan internasional (IMF dan World biaya-biaya produksi yang sangat tinggi,
Bank) atas kebijakan ekonomi Indonesia sejak yang tentunya pada gilirannya menurunkan
awal pemerintahan Pemerintah Orde Baru daya saing BUMN itu sendiri. Menjelang
menjadi faktor yang sangat menentukan bagi jatuhnya pemerintahan Orde Baru, BUMN
orientasi kebijakan pemerintah yang lebih bukan saja menjadi sumber apropriasi bagi
positif terhadap sektor swasta. Dalam iklim kalangan militer dan sipil/birokrat, tetapi
yang lebih baru seperti saat itu, dengan gaya juga (bahkan) bagi kalangan pengusaha
kepemimpinan Presiden Soeharto yang sangat swasta yang memiliki payung kekuasaan yang
paternalistik, perusahaan swasta Tionghoa sangat kuat. Karena itu, lengkaplah sudah
turut berkembang bersama-sama dengan kelompok kepentingan yang sebetulnya bukan
perusahaan pribumi. Pola perkembangan memperkuat BUMN tapi justru memperlemah
perusahaan swasta Tionghoa adalah melalui kiprahnya dalam perekonomian Indonesia.
penggandengan pengusaha-pengusaha Kelompok perusahaan swasta semacam inilah
pribumi yang memiliki akses politik yang yang nanti akan kita lihat paling diuntungkan
kuat dengan kekuasaan untuk mendapatkan dengan kebijakan privatisasi BUMN (di
kontrak dari ataupun kerjasama dengan Indonesia) sebagai bentuk perwujudan
BUMN. Pemberian saham kosong atau kebijakan neoliberalisme.
penyediaan modal kepada pengusaha yang
menjadi keluarga ataupun kerabat pejabat D. Memahami Struktur Dan Karakter
merupakan praktik yang dianggap lazim.7 Bumn
Sebagaimana ter sirat dalam
terminologinya sendiri sebagai public enterprise
7 Menurut Kunio (1991) dalam bukunya, sejatinya BUMN adalah institusi yang
Kapitalisme Semu di Asia Tenggara (sebuah menggabungkan the best of the public dan the
buku yang pernah dicekal oleh pemerintah best of the private. Didalam wacana ekonomi-
Orde Baru oleh karena mendeskripsikan dan politik pembangunan tahun 1950-an hingga
menyebutkan nama-nama kroni pemerintah
tahun 1960-an pikiran mengombinasikan
ketika itu) menyatakan bahwa perilaku ini ini
bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga aspek ‘publik’ dan aspek ‘enterprise’ ini cukup
diseluruh negara Asia Tenggara, bahkan juga mengemuka. Begitu juga dalam pemikiran
di Singapura yang terkenal akan keketatannya Administrasi Publik. Adanya sebuah inti
dalam berbisnis dan bernegara. birokrasi parastatal yang berkiprah relatif
Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 63
BUMN, seperti: memasukkan keuntungan Per tarungan kepentingan antara
BUMN sebagai pendapatan pribadi ketika kelompok mentri teknokrat di satu sisi
perusahaan memperoleh spread antara harga dan menteri-menteri yang mengendalikan
resmi dan harga pasar hingga keputusan- departemen teknis serta kelompok militer di
keputusan yang tidak lagi berpijak pada sisi yang lain (untuk mengendalikan BUMN)
pertimbangan-pertimbangan komersil, tetapi terlihat pula disekitar terbentuknya beberapa
lebih pada kepentingan politik (membiayai perundangan yang mengatur BUMN. Undang-
pusat kekuatan politik dan pejabat secara undang No. 9 tahun 1969 misalnya, yang
individual atau kelompok). Pergantian menetapkan secara tegas tingkat kemungkinan
pemerintah dari Orde Lama ke Orde Baru di kontrol dan intervansi yang dapat dilakukan
tahun 1966 dan perkembangannya kemudian oleh departemen teknis terhadap BUMN
hingga tahun 1980-an nyaris tidak tidak berbentuk PT; kontrol dan intervensi tidak
merubah kondisi BUMN seperti tersebut di bisa lagi dilakukan secara langsung sifatnya
atas. Tekanan IMF dan World Bank yang tetapi kini melalui Dewan Komisaris dan di
menghendaki pengurangan jumlah BUMN, kemudian hari dapat dimungkinan untuk
pengurangan campur tangan kementerian dilakukan privatisasi. Sementara itu, pada
teknis, otonomisasi manajemen BUMN hanya bentuk Perusahaan Jawatan kontrol bisa
terasa sebentar dampaknya, karena kemudian dilakukan secara langsung dan hirarkis.
yang terjadi adalah penguatan kembali kontrol Undang-undang ini merupakan perangkat
kementerian teknis atas BUMN di paruh hukum yang menjadi basis-basis menteri
pertama tahun 1970-an. teknokrat, khususnya Menteri Keuangan,
Konfigurasi kekuatan di dalam untuk meregulasi kontrol dan intervensi
birokrasi memang terjadi perubahan dengan yang berlebihan dari menteri-menteri
munculnya pemerintahan Orde Baru. Dengan teknis terhadap BUMN yang ada dibawah
duduknya kelompok mentri teknokrat yang pengawasannya. Kemudian Undang-undang
menduduki pada posisi Menteri Keuangan, No. 8 tahun 1971 yang mengecualikan
Menteri Perdagangan, Ketua Bappenas Pertamina sebagai perusahaan Negara dari
serta Gubernur Bank Sentral mendapat proses konversi kedalam salah satu bentuk
dukungan yang kuat dari lembaga-lembaga dari Perjan, Perum atau PT merupakan
keuangan internasional. Pandangan mereka perundangan ‘kemenangan’ hasil pertarungan
terhadap kebijakan ekonomi yang relatif kelompok militer atas kelompok lainnya.
liberal cenderung mengedepankan upaya Dan, Undang-undang No. 3 tahun 1983
dekontrolisasi, debirokratisasi, dan deregulasi yang memberikan pembenaran bagi kontrol
ataupun korportisme dan privatisasi BUMN, yang ketat dari departemen teknis ironisnya
yang pada dasarnya mengurangi ataupun sering bersifat ad hoc (sementara). Sekalipun
menghilangkan sama sekali intervensi pada undang-undang ini Menteri Keuangan
departemen teknis yang berperilaku berlebihan juga diberi wewenang untuk melakukan
pada BUMN. Konversi status hukum BUMN kontrol namun harus disadari bahwa sifatnya
di tahun 1966 dari Perusahaan Negara (PN) terbatas pada masalah keuangan saja. Karena
menjadi Perjan, Perum, dan PT tidak bisa itu, sebetulnya departemen teknislah yang
dilepaskan begitu saja dari pengaruh mereka. menjadi pemegang kendali sesunguhnya atas
Diawal Orde Baru pengaruh orientasi kebijakan BUMN bukan kementerian keuangan yang
mereka terhadap restrukturisasi BUMN sangat menjadi pemegang sahamnya.
kuat. Namun sebagaimana sudah kita lihat Undang-undang No. 3 tahun 1983
pengaruh orientasi kebijakan mereka melemah tersebut di atas pada akhirnya menimbulkan
sejalan dengan meningkatnya pendapatan struktur kontrol pemerintah yang sangat
pemerintah dari sektor minyak. birokratis. Tentu dengan akibat-akibatnya
yang snagat merugikan BUMN, mulai dari:
Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 65
bukan saja mengurangi entry barriers dalam yang lampau atas bank pemerintah atau
industri perbankan, tetapi juga menghapus bank swasta sekarang diubah menjadi bank
kewajiban BUMN untuk menyimpan dana komersil atau bank perkreditan rakyat; yang
di bank-bank pemerintah. Selain itu, Pakto semuanya menempatkan bank-bank BUMN
1988 juga mempermudah persyaratan untuk pada playing field yang sama dengan bank
membuka kantor-kantor cabang bagi bank swasta, sehingga pada prinsipnya tidak ada
swasta yang ada. Kebijakan ini merubah peta lagi perlakuan istimewa yang bisa diterima
kekuatan industri perbankan di Indonesia dari pemerintah (fairness competition).
yang selama ini didominasi oleh bank-bank Ketika BUMN di sektor moneter
pemerintah (BUMN). Bank-bank BUMN mengalami deregulasi yang sangat signifikan,
yang tidak biasa bekerja dalam lingkungan BUMN di sektor riil mengalami arah yang
yang kompetitif—seperti yang dipersyaratkan sebaliknya. Kenyataan ini paling tidak
dalam paham neoliberalisme—terpaksa harus berlaku di awal sektor perbankan mengalami
kehilangan sebagian pangsa pasarnya. Karena dergulasi. BUMN di sektor industri dan
bank-bank swasta lebih mampu bertindak perdagangan mendapatkan perlakukan yang
lebih agresif dalam menawarkan produk dan lebih protektif dari pemerintah terutama
pelayanan perbankan yang lebih menarik pada melalui pemberlakukan Sistem Tata Niaga
pelanggannya dibandingkan dengan bank- Impor. Kebijakan sektor riil yang tidak
bank pemerintah. sejalan dengan kebijakan sektor moneter
Deregulasi perbankan tersebut sesungguhnya menunjukkan keterpecahan
mencapai puncaknya dengan diberlakukannya ditingkat kabinet dalam merespon krisis yang
Undang-undang Perbankan yang baru ditimbulkan oleh menurunnya pendapat
pada tahun 1992. Undang-undang ini dari sektor Migas. Sektor riil, khususnya
semakin memperkuat pergeseran dari campur industri dan perdagangan, memang menjadi
tangan langsung ke indirect intervention oleh portofolio dari mentri-mentri kelompok
Departemen Keungan dan Bank Sentral di nasionalis yang sangat mendukung kebijakan
dalam pengelolaan perbankan. Beberapa subtitusi impor. Namun munculnya orientasi
perubahan mendasar terjadi disini. Pertama, kebijakan yang lebih protektif juga harus
pelaksanaan undang-undang perbankan tidak dilihat bukan semata-mata akibat dari tekanan
lagi didasarkan pada banyak undang-undang ideologis nasionalisme ekonomi, tetapi juga
sebagaimana yang tejadi pada masa sebelumnya, sesungguhnya cerminan kepentingan yang
tetapi kini hanya didasarkan pada: Peraturan terpatri dari para konstituen pemerintahan
Pemerintah, Keputusan Mentri Keuangan, Orde Baru sendiri (terutama kelompok
dan Keputusan Bank Sentral. Dengan militer dan para pengusaha klien yang
demikian, semakin mempermudah bank- mendapat payung proteksi dari pemerintah).
bank BUMN untuk melakukan penyesuaian Kedua kelompok tersebut sangat mendukung
terhadap perubahan yang cepat. Kedua, kebijakan subtitusi impor karena bagi mereka
kemudian juga, diberi penekanan atas fungsi di situlah sumber kekayaan dan tempat
utama perbankan untuk memobilisasi dan investasi yang paling mungkin. Dalam
menyalurkan dana-dana publik. Penekanan kerangka kebijakan proteksionis seperti
ini sangat penting mengingat sebelumnya inilah kesinambungan keuntungan dan bisnis
bank-bank BUMN menggunakan dana-dana mereka melekat.
pemerintah, khususnya uang yang diperoleh Diawal masa-masa deregulasi BUMN
dari minyak, ketimbang memobilisasinya dari di sektor perbankan yang mengarah pada
masyarakat. Dan ketiga, perubahan penting penguatan mekanisme pasar, BUMN di sektor
lainnya, adalah tidak adanya lagi pembedaan riil diisoliasi dari kekuatan-kekuatan pasar oleh
pemilikan antara bank pemerintah dan bank pihak-pihak tertentu. Malah dengan Sistem
swasta. Maksudnya, pengategorian perbankan Tata Niaga Impor yang diberlakukan bukan
Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 67
listrik, dan jalan. Namun akibat dari tekanan Perdebatan dimuali karena pemikiran
perlambatan struktur industri ini mulai dominan yang berkembang sejak era-1980-
dilepas secara bertahap. Terlihat misalnya an ditingkat internasional berkenaan dengan
dari deregulasi industri yang ditempuh adalah perusahaan negara adalah privatisasi.
dimana sektor swasta diizinkan masuk ke Pemikiran ini pula, bersama-sama dengan
bisnis telekomunikasi bukan dasar, sementara deregulasi dan liberalisasi ekonomi, yang
pengopersian jaringannya tetap menjadi dipromosikan oleh World Bank dan IMF
monopoli Telkom. Begitu pula pada kelistrikan, di Negara-negara berkembang, termasuk
swasta diizinkan masuk namun baru pada Indonesia, melalui persyaratan pinjaman yang
tahap pembangunan dan pengoperasioan dikenakan kapada negara-negara peminjam
pembangkit listrik. Padahal masuknya swasta dana dari lembaga ini. Dalam proses kebijakan
dimaksudkan untuk mengisi kekurangan ekonomi ditingkat kabinet, pemikiran yang
investasi yang tidak bisa lagi dipenuhi oleh sedang dominan tersebut masuk lewat pintu
badan-badan usaha milik negara tadi. para mentri teknokrat yang sudah sejak
Namun dalam proses demonopoliisasi pertengahan 1980-an menggulirkan kebijakan
sektor-sektor infrastruktur unsur patronase deregulasi. Menteri Keuangan sebagai pelaku
dan kronisme bermain sangat kuat. Karena penting kebijakan dari kelompok teknokrat
ternyata perusahaan swasta yang masuk mendorong privatisasi BUMN. Sementara
adalah kelompok-kelompok bisnis yang sangat menteri-menteri lain, khususnya Mentri
dekat dengan pusat kekuasaan politik. Sehingga Pertanian dan Mentri Pekerjaan Umum,
tidak satupun bisnis dari sektor infrastruktur menentang privatisasi dan justru malah
yang didemonopoliisasi yang tidak dimasuki mengedepankan konsolidasi, reorganisasi,
oleh kelompok bisnis ini. Bahkan karena dan penataan ulang BUMN. Pro dan kontra
teramat kuatnya pengaruh kelompok bisnis kebijakan yang melibatkan masing-masing
ini terhadap pengambilan keputusan di level pendukungnya di dalam maupun di luar
elit birokrasi, akhirnya menempatkan BUMN birokrasi relatif cukup panjang, berlangsung
yang sangat besar sekalipun, seperti: Telkom, sampai kurang lebih dua tahun. Hingga
PLN dan Jasa Marga, berada pada posisi tawar pada akhirnya mendorong Presiden Soeharto
yang rendah. Kecenderungan yang terjadi di untuk mengambil kebijakan ‘jalan tengah’
dalam deregulasi sektor infrastruktur nyaris berupa opsi yang sangat luas maknanya dari
merupakan “pengalihan asset strategis” dari restrukturisasi perusahaan Negara di Indonesia
BUMN kepada perusahaan swasta. (mencakup perubahan status BUMN, kontrak
Deregulasi dan liberalisasi sektor-sektor manajemen, merger, go-publik, joint venture
yang didominasi atau bahkan dimonopoli atau joint operation, penjualan BUMN dan
BUMN tidak berjalan sendiri. Karena dibawah likuidasi (Inpres No. 5 tahun 1988)).
tekanan nasionalisme ekonomi dan kecurigaan Sesungguhnya pilihan atas kebijakan
kepada pihak swasta yang masih cukup kuat, yang sangat luas tersebut di atas merupakan
pemerintah yang sudah tidak lagi memiliki political settlement dari berbagai kepentingan
sumber-sumber keuangan yang melimpah yang terlibat atas permasalahan BUMN. Lebih
untuk membiayai BUMN sesungguhnya khusus lagi merupakan strategi kebijakan
membutuhkan pula dukungan sektor swasta ekonomi-politik presiden yang berusaha
untuk mempertahankan BUMN ini. Pada sisi untuk mempertahankan perimbangan
lain disadari bahwa BUMN sendiri memang kepentingan masing-masing konstituennya
perlu dibenahi jika harus bertahan di dalam di dalam maupun luar negeri. Di sini
lingkungan ekonomi yang lebih liberal. menjadi jelas bahwa di Indonesia privatisasi
Karena itu, tidak ada pilihan lain melakukan perusahaan Negara hanyalah salah satu dari
restrukturisasi atas BUMN. Namun perdebatan berbagai pilihan kebijakan yang mungkin
muncul disekitar arah restruktrisasi ini. untuk dilakukan. Kecenderungan awal
Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 69
teori ini, terjadi akibat tidak adanya onomi regularitas dan prediktabilitas dalam hubungan
manajemen dan persaingan bebas. Argumen antara BUMN dengan departemen teknis yang
yang mendasari pernyataan tersebut adalah mengawasinya. Dengan adanya indikator
bahwa otonomi memberi fleksibilitas kepada kinerja mentri-mentri yang mengawasi BUMN
manajemen untuk melakukan optimasi factors- tidak bisa lagi menyembunyikan kerugian
mix, diversifikasi usaha dan penjaringan modal. BUMN di balik argumen BUMN sebagai agen
Sementara penggunaan indikator kinerja, pembangunan. Begitu pula sebenarnya mereka
yang merupakan akibat dari pergeseran tidak bisa melakukan campur tangan ke dalam
langsung kontrol pemerintah berfungsi sebagai manajemen BUMN tanpa mempertimbangkan
sistem pemantauan yang sangat diperlukan akibat-akibatnya atas kinerja keungan BUMN.
untuk mengarahkan dan mengendalikan Untuk para manajer BUMN, indikator kinerja
perbaikan kinerja. Sementara ekspos terhadap juga membantu mereka untuk ‘melawan’
persaingan bisa menggerakkan inovasi dan campur tangan ad hoc dari kementerian
perilaku sadar biaya dari manajemen BUMN. teknisnya ke dalam BUMN, selain juga
Apa yang terjadi dengan restrukturisasi membuat mereka lebih peduli pada bottom-
BUMN sejak paruh kedua tahun 1980-an line perusahaan. Sementara itu, perencanaan
dan awal tahun 1990-an sebetulnya tidak strategis membantu prediktabilitas dalam
terlalu jauh dari garis teori di atas. Dalam meningkatkan keteraturan dan keteramalan
paket restrukturisasinya ada kebijakan yang melalui basis tujuan, strategi dan program yang
dimaksudkan untuk memperbaiki tatanan disepakati terlebih dulu antara kementerian
kelembagaan yang mengatur hubungan dengan manajemen BUMN, sehingga bagi
BUMN dengan pemerintah dan pasar. keduanya ada kejelasan sasaran.
Penggunaan indikator kinerja dan dan Kebijakan lain diarahkan pada
perencanaan strategis –yang diatur oleh pemisahan tujuan sosial dari tujuan komersial
SK.Menkeu. No. 70/KMK.00/1989 dan SK. serta penetapan sistem imbalan jasa dan
Menkeu. No. 741/KMK.00/1989— BUMN oleh sanksi bagi direksi BUMN yang ditentukan
Mentri Keuangan dalam proses pengawasan berdasar pencapaian kinerja BUMN. Idealnya
kementerian teknis merupakan kebijakan setiap tujuan sosial yang dibebankan oleh
yang dimaksudkan untuk meningkatkan BUMN harus diganti dari ataupun dipikul oleh
akuntabilitas atas kinerja manajemen. anggaran pemerintah. Namun tampaknya
Indikator kinerja memberikan ukuran bagi ini masih sulit dilakukan karena sangat
evaluasi BUMN. Hasil evaluasi ini menjadi tergantung pada kondisi keuangan pemerintah
dasar untuk menentukan apakah sebuah sendiri. Yang sering terjadi adalah pola subsidi
BUMN akan terus dalam formatnya yang silang. Sekalipun masih belum ideal, upaya
sudah ada, merubah sasaran dan kebijakan, kearah ini merupakan satu langkah lebih
dan diprivatisasi bahkan likuidasi, ataupun maju untuk menghindari konflik yang bisa
mengikuti opsi kebijakan lain yang sudah muncul akibat mengejar dua tujuan berbeda.
dirumuskan seperti dipecah ke dalam beberapa Kebijakan yang lebih penting lagi terlihat dari
perusahaan yang lebih kecil, joint venture dan keharusan merubah status badan hukum
sejenisnya. Kombinasi antara indikator kinerja semua BUMN yang masih berbentuk Perjan
dan opsi restrukturisasi telah menciptakan dan Perum ke bentuk Perseroan Terbatas
ancaman konstan terhadap manajemen (PT). Perubahan ini membawa implikasi
BUMN maupun terhadap kementerian teknis yang sangat penting bagi masa depan
yang mengawasinya. Kerana setiap saat BUMN, karena, pertama, BUMN bisa lebih
BUMN bisa dilikuidasi ataupun diprivatisasi mengembangkan tujuan yang berorientasi
jika kinerjanya tidak memuaskan. bisnis, manajemen lebih otonom, kontrol
Indikator kinerja dan perencanaan pemerintah bersifat tidak langsung karena
strategis juga bisa membantu meningkatkan dilakukan oleh dewan komisaris, partisipasi
Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 71
sektor-sektor yang dianggap sudah tidak gap dari perusahaan swasta pada tiga sektor.
strategis lagi –seperti kertas dan hotel, Per tama, adalah performance gap yang
misalnya—diprivatisasikan secara penuh mencakup kualitas, biaya, cycle-time, logistic,
melalui penjualan langsung pada pihak produkstivitas dan sistem administrasi. Kedua,
asing. adaptability gap, pilihan portofolio usaha,
bauran produk, harga-kinerja dan model-model
d. P r iva t i s a s i Ke p e m i l i k a n S e b a ga i bisnis yang dikembangkan. Terakhir, ketiga,
‘Modernisasi’ Manajemen BUMN opportunity gap yang mencakup pertumbuhan
Perubahan pada tatanan kelembagaan bisnis, pengembangan usaha-usaha baru,dan
yang mengatur hubungan BUMN dengan pengembangan pasar. Pada ketiga sektor
pemerintah dan lingkungan industri yang tersebut prestasi BUMN umumnya jauh
kini sudah menjadi kompetitif, membawa dibawah yang bisa dicapai oleh perusahaan-
perubahan yang tidak sedikit pada manajemen perusahaan swasta. Untuk meningkatakan
BUMN. Perubahan mencolok terjadi pada daya saing terhadap perusahaan swasta
bentuk organisasi bisnis dari struktur birokrasi domestik maupun global, khususnya lagi
menjadi struktur multidivisi ataupun struktur perusahaan multinasional, BUMN memang
lain yang didasarkan kepada segmen pasar memerlukan perubahan mendasar pada
yang dilayani. Selain itu pembentukan profit orientasi manajemennya. Mereka bukan saja
center menjadi pilihan lain manakala struktur harus memikirkan langkah untuk melampaui
multidivisi tersebut tidak dapat diterapkan. pesaingnya (dalam artian kualitas dan biaya),
Perubahan pada stuktur ini menjadi salah satu tetapi juga harus memikirkan kembali logika
pertanda bahwa pergeseran orientasi sedang yang mendasari portofolio bisnisnya, dan
terhadi pada manajemen BUMN, dari orientasi memobilisasikan seluruh sumberdaya untuk
ke atas (birokrasi) menjadi pada konsumen; menciptakan pasar serta bisnis baru guna
dan dari orientasi politik kearah orientasi membangun arah stratgis yang fokus.
bisnis. Keduanya ini menjadi langkah Kualitas sumberdaya manusia (SDM)
penting untuk memperbaiki citra produk dan juga sering menjadi kendala yang harus
pelayanan BUMN yang selama ini memang dihadapi dalam rangka memodernisasi
tidak terlalu bagus dibenak konsumen. manajemen BUMN. Kenyataan menunjukkan
Tidak sedikit BUMN yang melakukan SDM BUMN sangatlah lemah. Dari sudut
penataan ulang organisasi bisnisnya terpaksa komposisi kompetensi yang ada, banyak SDM
harus pula melakukan delaying atau rightsizing. BUMN berlatarbelakang teknis, dan kurang
Tindakan ini merupakan upaya untuk lebih memiliki kompetensi manajerial yang baik.
merampingkan organisasi BUMN yang Padahal justru kompetensi seperti managerial
dirasa begitu gemuk. Pemangkasan lapisan skill diperlukan untuk mengembangkan usaha
manajemen, terutama tingkat menengah, bisnis di dalam lingkungan yang kompetitif.
dan pengurangan personil—yang memang Komposisi SDM semcam ini sangat tidak
sering jauh melebihi kebutuhan personil menguntungkan ketika manajemen BUMN
yang semestinya—menjadi penyebab utama harus segera merespon terhadap industri yang
membengkaknya biaya-biaya usaha yang sudah kompetitif. Karena akibat dari tidak
pada gilirannya akan (juga) meningkatkan memadainya kualitas SDM, sebagian pangsa
biaya produksi. Karena itu, langkah ini pasar BUMN jatuh pada pihak perusahaan
sangat tepat untuk meningkatkan daya swasta yang menjadi kompetitornya. Buruknya
saing bisnis BUMN terhadap perusahaan- kulaitas SDM BUMN untuk sementara diatasi
perusahaan swasta. Harus diakui dalam dengan rekrutmen SDM dari sektor swasta
kaitan ini bahwa untuk BUMN yang berada ataupun dari sektor lain. Namun hal ini
pada industri yang sebelumnya juga sudah hanya berlaku untuk tenaga pimpinan puncak
kompetitif. Sesungguhnya BUMN mengalami BUMN. Dan itupun sangat tergantung pada
Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 73
pada para pendukungnya selain juga kinerja sendiri belum mempunyai konsepsi yang
ekonomi yang cukup bagus menjadi faktor jelas mengenai hal itu. Karena langkah
penentu bagi kesinambungan kekuasaannya. restrukturisasi yang diambil sebetulnya lebih
Pola yang terlihat adalah sejauh kinerja bersifat pragmatis ketimbang ideologis. Pada
ekonomi secara keseluruhan tidak terganggu sisi lain, pihak swasta domestik yang dulu
terlalu buruk patronase terus berlanjut. mengambil alih kepemilikan pemerintah di
Dalam konteks gaya patrimonial presiden, BUMN ataupun yang kemudian memasuki
BUMN dijadikan saluran dimana patronase sektor-sektor ekonomi yang ditinggalkan oleh
diberikan, sehingga perubahan signifikan BUMN, secara ekonomi maupun politis kini
kearah pencabutan patronase yang merugikan sulit untuk bisa berkembang seperti dulu.
harus datang ataupun mendapat dukungan Karena secara ekonomis asset-asset mereka
dari Presiden Soeharto sendiri. Inilah realitas dikuasi oleh pemerintah melalui BPPN—yang
politik yang sebetulnya menjadi prima causa kemudian dianulir oleh pemerintah karena
dari persoalan BUMN. Namun kemudian banyak tarik-ulur politis didalamnya. Dengan
manakala runtuhnya kekuasaan Presiden demikian, praktis sejak krisis ekonomi tahun
Soeharto beserta seluruh sistem ptronasenya 1997 yang sebenarnya mengambil alih
akibat krisis ekonomi tahun 1998 menjadi peran BUMN dalam perekonomian Indonesia
babak penting bagi perbaikan kinerja dan adalah swasta asing, terutama perusahaan
restrukturisasi BUMN. multinasional dan atau transnasional (MNC
dan TNC), karena merekalah yang sebetulnya
F. Kesimpulan memiliki daya untuk membeli BUMN-BUMN
Restrukturisasi BUMN di Indonesia yang dijual.
masih belum selesai. Namun beberapa Dengan semakin luasnya pijakan
perubahan yang cukup signifikasn sudah MNC/TNC dalam sektor-sektor ekonomi di
mulai terlihat. Ketika tahun 1986, kebijakan Indonesia, nasionalisme ekonomi yang menjadi
restrukturisasi BUMN digulirkan jumlah kecenderungan ideologis kuat dalam kebijakan
BUMN yang ada adalah 226 pada tahun 1995 awal ekonomi Indonesia menjadi tidak relevan
jumlah ini menyusut menjadi 180; kemudian lagi. Mungkin tidak pernah terbayangkan
pada tahun 1997 berkurang lagi menjadi oleh pemerintah posisi semacam ini diawal
160 BUMN. Jumlah ini memang menurun restrukturisasi BUMN tahun 1980-an. Karena
drastis jika dibandingkan dengan jumlah ketika itu kita memang tidak menyadari
600 BUMN di tahun 1957. Penurunan bahwa kita telah masuk dalam perangkap
juga terlihat dibidang investasi. Statistik neoliberalisme, sehingga dalam setiap
menunjukkan investasi publik mewakili 36,8% kebijakan ekonomi-politik yang dihasilkan
dari keseluruhan investasi pada periode 1974- di negeri ini tidak lain hanyalah cerminan
1979, dibandingkan 34,9% untuk swasta dari kepentingan akumulasi modal/kapital
domestik dengan 28,9% untuk investasi kelompok international financial institutions.
asing. Namun pangsa investasi sektor publik Sehingga tidak perlu heran apabila penarikan
ini menurun menjadi 25% pada periode subsidi bagi publik, penghapusan ideologi
1989—1994, dibandingkan dengan 67% ‘kesejahteraan bersama’ dan pemilikan
dari swasta domestik dan 8% dari investasi komunal menjadi kepemilikan privat,
asing (Booth 1998:108). Perubahan ini penyingkirkan segala hal mengganggu yang
menujukkan penurunan peran BUMN di perdagangan bebas (free trade), pemberlakukan
dalam perekonomian. Sementara di lain pihak deregulasi atas peraturan pemerintah yang
peran swasta meningkat tajam. menghambat masuknya modal asing,
Seberapa jauh peran yang satu privatisasi (memberikan semua pengelolaan
akan dipertahankan dan yang lain akan perusahaan negara kepada pihak swasta),
dikembangkan, tampaknya pemerintah hingga melepaskan nilai tukar mata uang
Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, Sebuah Potret Singkat (Indah Fitriani) 75