Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persalinan merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu oleh para ibu hamil, sebuah waktu
yang menyenangkan namun di sisi lain merupakan hal yang paling mendebarkan. Persalinan
terasa akan menyenangkan karena si kecil yang selama sembilan bulan bersembunyi di dalam
perut anda akan muncul terlahir ke dunia. Di sisi lain persalinan juga menjadi mendebarkan
khususnya bagi calon ibu baru, dimana terbayang proses persalinan yang menyakitkan,
mengeluarkan energi yang begitu banyak, dan sebuah perjuangan yang cukup melelahkan.

Ada baiknya para calon ibu mengetahui proses atau tahapan persalinan seperti apa, sehingga
para calon ibu dapat mempersiapkan segala halnya guna menghadapi proses persalinannya.

Proses persalinan terbagi ke dalam empat tahap, yaitu :

1. kala I; Tahap Pembukaan

2. Kala II; Tahap Pengeluaran Bayi

3. Kala III; Tahap Pengeluaran Plasenta

4. Kala IV; Tahap Pengawasan


Pada makalah ini kami hanya membahas tentang kala III yakni tahap pengeluaran plasenta.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian persalinan kala III ?

2. Bagaimana proses fisiologi kala III ?

3. Bagaimana mekanisme pelepasan plasenta ?

4. Apa saja tanda – tanda pelepasan plasenta ?

5. Bagaimana pengawasan pendarahan pada ibu bersalin kala III ?

6. Bagaimana manajemen aktif kala III?

7. Bagaimana pemeriksaan pada kala III ?

8. Bagaimana Pemantauan pada kala III ?

9. Apa saja Kebutuhan pada kala III ?


10. Apa pengertian ruptur perineum ?

11. Bagaimana klasifikasi ruptur perineum ?

12. Bagaimana penanganan ruptur perineum ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kala III yakni tahap pengeluara plasenta.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Kala III merupakan tahap ketiga persalinan yang berlangsung sejak bayi lahir sampai plasenta
lahir.Persalinan kala tiga dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta
dan selaput ketuban.

2.2 Asuhan Pada Ibu Bersalin Kala III


A. Fisiologi Kala III

Dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta yang berlangsung tidak lebih dari
30 menit. Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri agak diatas pusat
beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari
dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6 menit – 15 menit setelah bayi lahir dan keluar
spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta, disertai dengan
pengeluaran darah. Komplikasi yang dapat timbul pada kala III adalah perdarahan akibat
atonia uteri, ratensio plasenta, perlukaan jalan lahir dan tanda gejala tali pusat.

Tempat implantasi plasenta mengalami pengerutan akibat pengosongan kavum uteri dan
kontraksi lanjutan sehingga plasenta dilepaskan dari perlekatannya dan pengumpulan darah
pada ruang utero-plasenter akan mendorong plasenta keluar.

Otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti penyusutan volume rongga uterus setelah
lahirnya bayi. Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat perlekatan
plasenta karena tempat perlekatan menjadi semakin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak
berubah maka plasenta akan terlipat, menebal dan kemudian lepas, plasenta akan turun ke
bagian bawah uterus atau kedalam vagina.

B. Mekanisme Pelepasan Plasenta

· Cara-cara Pelepasan Plasenta :

1. Metode Ekspulsi Schultze


Pelepasan ini dapat dimulai dari tengah (sentral) atau dari pinggir plasenta. Ditandai oleh
makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina (tanda ini dikemukakan oleh Ahfled) tanpa
adanya perdarahan per vaginam. Lebih besar kemungkinannya terjadi pada plasenta yang
melekat di fundus.

2. Metode Ekspulsi Matthew-Duncan

Ditandai oleh adanya perdarahan dari vagina apabila plasenta mulai terlepas. Umumnya
perdarahan tidak melebihi 400 ml. Bila lebih hal ini patologik. Lebih besar kemungkinan
pada implantasi lateral.

Apabila plasenta lahir, umumnya otot-otot uterus segera berkontraksi, pembuluh-pembuluh


darah akan terjepit, dan perdarahan segera berhenti. Pada keadaan normal akan lahir spontan
dalam waktu lebih kurang 6 menit setelah anak lahir lengkap.

· Tanda – tanda pelepasan plasenta :

Perubahan bentuk dan tinggi fundus.

Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk bulat penuh
dan tinggi fundus biasanya di bawah pusat. Setelah uterus berkontraksi dan plasenta
terdorong ke bawah, uterus berbentuk segitiga atau seperti buah pear atau alpukat dan fundus
berada di atas pusat.

Tali pusat memanjang.


Tali pusat terlihat menjulur keluar melalui vulva.

Semburan darah mendadak dan singkat.

Darah yang terkumpul di belakang plasenta akan membantu mendorong plasenta keluar di
bantu oleh gaya gravitasi. Apabila kumpulan darah (retroplasental pooling) dalam ruang di
antara dinding uterus dan permukaan dalam plasenta melebihi kapasitas tampungnya maka
darah tersembur keluar dari tepi plasenta yang terlepas. Tanda ini kadang – kadang terlihat
dalam waktu satu menit setelah bayi lahir dan biasanya dalam 5 menit.

Pengawasan Perdarahan

Empat prasat yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Prasat Kustner

Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali pusat. Tangan kiri menekan daerah di
atas simfisis. Bila tali pusat ini masuk kembali ke dalam vagina, berarti plasenta belum lepas
dari dinding uterus. Bila tetap atau tidak masuk kembali ke dalam vagina, berarti plasenta
lepas dari dinding uterus. Prasat ini hendaknya dilakukan secara hati-hati. Apabila hanya
sebagian plasenta terlepas, perdarahan banyak akan dapat terjadi.

b. Prasat Strassman
Perasat ini dilakukan dengan mengetok-ngetok fundus uterus dengan tangan kiri dan tangan
kanan meregangkan tali pusat sambil merasakan apakah ada getaran yang ditimbulkan dari
gerakan tangan kiri, jika terasa ada getaran berarti plasenta sudah lepas.

c. Prasat Klien

Untuk melakukan perasat ini, minta pasien untuk meneran, jika tali pusat tampak turun atau
bertambah panjang berarti plasenta telah lepas, begitu juga sebaliknya.

d. Prasat Manuaba

Tangan kiri memegang uterus pada segmen bawah rahim, sedangkan tangan kanan
memegang dan mengencangkan tali pusat. Kedua tangan ditarik berlawan.

2.3 Manajemen Aktif Kala III

Manajemen aktif kala III yakni mengupayakan kontraksi yang adekuat dari uterus dan
mempersingkat waktu kala III, mengurangi jumlah kehilangan darah, menurunkan angka
kejadian retensio plasenta.

Tiga langkah utama manajemen aktif kala III yaitu pemberian oksitosin/uterotonika segera
mungkin, melakukan penegangan tali pusat terkendali (PTT), dan rangsangan taktil pada
dinding uterus atau fundus uteri.

Penegangan tali pusat terkendali yakni dengan berdiri disamping ibu, pindahkan jepitan
semula tali pusat ketitik 5-20 cm dari vulva dan pegang klem penjepit tersebut, ratakan
telapak tangan ( alas dengan kain ) yang lain, pada segmen bawah rahim atau diding uterus
dan suprasimpisis, pada saat terjadi kontraksi, tegangkan tali pusat sambil tekan tali uterus ke
dorsokranial, ulangi kembali perasat ini bila plasenta belum dapat dilahirkan ( jangan
dilakukan pemaksaan ).

2.4 Pemeriksaan Pada Kala III

a) Pemeriksaan Plasenta

Pastikan bahwa seluruh plasenta telah lahir lengkap dengan memeriksa jumlah kotiledonnya
(rata-rata 20 kotiledon). Periksa dengan seksama pada bagian pinggir plasenta apakah
kemungkinan masih ada hubungan dengan plasenta lain ( plasenta suksenturiata ).

Amati apakah ada bagian tertentu yang seperti tertinggal atau tidak utuh, jika kemungkinan
itu ada maka segera lakukan eksplorasi untuk membersihkan sisa plasenta.

b) Pemeriksaan Selaput Ketuban

Setelah plasenta lahir, periksa kelengkapan selaput ketuban untuk memastikan tidak ada
bagian yang tertinggal di dalam uterus. Caranya dengan meletakkan plasenta di atas bagian
yang datar dan pertemukan setiap tepi selaput ketuban sambil mengamati apakah ada tanda-
tanda robekan dari tepi selaput ketuban.

Jika ditemukan kemungkinan ada bagian yang robek, maka segera lakukan eksplorasi uterus
untuk mengeluarkan sisa selaput ketuban karena sisa selaput ketuban atau bagian plasenta
yang tertinggal di dalam uterus akan menyebabkan perdarahan dan infeksi.
c) Pemeriksaan Tali Pusat

Setelah plasenta lahir, periksa mengenai data yang berhubungan dengan tali pusat, yakni :

o Panjang tali pusat

o Bentuk tali pusat (besar,kecil, atau terpilin-piliin)

o Insersio tali pusat

o Jumlah vena dan arteri pada tali pusat

o Adakah lilitan tali pusat

2.5 Pemantauan Kala III

1. Kontraksi
Pemantauan kontraksi pada kala III dilakukan selama melakukan manejemen aktif kala III
(ketika PTT), sampai dengan sesaat setelah plasenta lahir. Pemantauan kontraksi dilanjutkan
selama satu jam berikutnya dalam kala IV.

2. Robekan Jalan Lahir dan Perineum

Selama melakukan PTT ketika tidak ada kontraksi, bidan melakukan pengkajian terhadap
robekan jalan lahir dan perineum. Pengkajian ini dilakukan seawal mungkin sehingga bidan
segera menentukan derajat robekan dan teknik jahitan yang tepat yang akan digunakan sesuai
kondisi pasien. Bidan memastikan apakah jumlah darah yang keluar adalah akibat robekan
jalan lahir atau karena pelepasan plasenta.

3. Hygiene

Menjaga kebersihan tubuh pasien terutama di daerah genitalia sangat penting dilakukan untuk
mengurangi kemungkinan kontaminasi terhadap luka robekan jalan lahir dan kemungkinan
infeksi intrauterus. Pada kala III ini kondisi pasien sangat kotor akibat pengeluaran air
ketuban, darah, atau feses saat proses kelahiran janin.

Selama plasenta lahir lengkap dan dipastikan tidak ada prndarahan, segera keringkan bagian
bawah pasien dari air ketuban dan darah. Pasang pengalas bokong yang sekaligus berfungsi
sebagai penampung darah (under pad). Jika memang dipertimbangkan perlu untuk
menampung darah yang keluar untuk kepentingan perhitungan volume darah, maka pasang
bengkok dibawah bokong pasien.
` 2.6 Kebutuhan Ibu Bersalin Kala III

ü Dukungan mental dari bidan dan keluarga atau pendamping

ü Penghargaan terhadap proses kelahiran janin yang telah dilalui

ü Informasi yang jelas mengenai keadaan pasien sekarang dan tindakan apa yang akan
dilakukan

ü Penjelasan mengenai apa yang harus ia lakukan untuk membantu mempercepat kelahiran
plasenta, yaitu kapan saat meneran dan posisi apa yang mendukung untuk pelepasan dan
kelahiran plasenta.

ü Bebas dari rasa risih akibat bagian bawah yang basah oleh darah dan air ketuban

ü Hidrasi

2.7 Ruptur Perineum

Pengertian

Pengertian ruptur sesuai dengan kamus kedokteran adalah robeknya atau koyaknya jaringan
(Dorland,1998). Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum sewaktu
persalinan.
Klasifikasi Ruptur Perineum

Derajat ruptur perineum dapat dibagi menjadi empat derajat, yaitu :

1) Ruptur perineum derajat satu, dengan jaringan yang mengalami robekan adalah :

a) Mukosa Vagina

b) Komisura posterior

c) Kulit perineum

2) Ruptur perineum derajat dua, dengan jaringan yang mengalami robekan adalah :

a) Mukosa Vagina

b) Komisura posterior

c) Kulit perineum

d) Otot perineum

3) Ruptur perineum derajat tiga, dengan jaringan yang mengalami robekan adalah :

a) Mukosa Vagina

b) Komisura posterior

c) Kulit perineum

d) Otot perineum
e) Otot sfingter ani

4) Ruptur perineum derajat empat, dengan jaringan yang mengalami robekan adalah :

a) Mukosa Vagina

b) Komisura posterior

c) Kulit perineum

d) Otot perineum

e) Otot sfingter ani

b) Dinding depan rectum

Penanganan Ruptur Perineum

Penanganan ruptur perineum diantaranya dapat dilakukan dengan cara melakukan penjahitan
luka lapis demi lapis, dan memperhatikan jangan sampai terjadi ruang kosong terbuka kearah
vagina yang biasanya dapat dimasuki bekuan-bekuan darah yang akan menyebabkan tidak
baiknya penyembuhan luka. Selain itu dapat dilakukan dengan cara memberikan antibiotik
yang cukup. Prinsip yang harus diperhatikan dalam menangani ruptur perineum adalah :

§ Bila seorang ibu bersalin mengalami perdarahan setelah anak lahir, segera memeriksa
perdarahan tersebut berasal dari retensio plasenta atau plasenta lahir tidak lengkap.
§ Bila plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi uterus baik, dapat dipastikan bahwa
perdarahan tersebut berasal dari perlukaan pada jalan lahir, selanjutnya dilakukan penjahitan.
Prinsip melakukan jahitan pada robekan perineum:

I. Reparasi mula - mula dari titik


pangkal robekan sebelah dalam/proksimal ke arah luar/distal. Jahitan dilakukan lapis demi
lapis, dari lapis dalam kemudian lapis luar.

II. Robekan perineum tingkat I : tidak


perlu dijahit jika tidak ada perdarahan dan aposisi luka baik, namun jika terjadi perdarahan
segera dijahit dengan menggunakan benang catgut secara jelujur atau dengan cara angka
delapan.

III. Robekan perineum tingkat II : untuk


laserasi derajat I atau II jika ditemukan robekan tidak rata atau bergerigi harus diratakan
terlebih dahulu sebelum dilakukan penjahitan. Pertama otot dijahit dengan catgut kemudian
selaput lendir. Vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur. Penjahitan
mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Kulit perineum dijahit dengan benang catgut
secara jelujur.

IV. Robekan perineum tingkat III :


penjahitan yang pertama pada dinding depan rektum yang robek, kemudian fasia perirektal
dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik sehingga bertemu kembali.

V. Robekan perineum tingkat IV :


ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah karena robekan diklem dengan klem pean lurus,
kemudian dijahit antara 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya
robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat I.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ø Kala III merupakan tahap ketiga persalinan yang berlangsung sejak bayi lahir sampai
plasenta lahir.

Ø Persalinan kala tiga dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta
dan selaput ketuban

Ø Pada kala III, otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti penyusutan volume rongga
uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya ukuran
tempat perlekatan plasenta. Karena tempat perlekatan menjadi semkin kecil, sedangkan
ukuran plasenta tidak berubah maka pasenta akan terlipat, menebal dan kemudian lepas dari
dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah uterus atau ke dalam
vagina.

3.2 Saran
Memperhatikan keselamatan ibu dan janin sangatlah penting pada persalinan, untuk itu
sebagai tenaga para medis, seorang bidan harus mampu memberikan pelayanan kesehatan
yang baik dan benar sesuai dengan standar asuhan kebidanan.

DAFTAR PUSTAKA

http://midwiferyeducator.wordpress.com/2010/01/08/%E2%80%9Cruptur-perineum
%E2%80%9D/

https://adekusumaw.weebly.com/materi.html

Anda mungkin juga menyukai