Bismillah Desensus Testis
Bismillah Desensus Testis
A. Pengertian
Desensus (penurunan) testis ke dalam skrotum merupakan suatu proses kompleks
yang melibatkan beberapa factor anatomis maupun hormonal. Testis terletak di jalur
desensus normal, tetapi tidak mencapai di tempat yang normal di skrotum. Testis yang
tidak turun (kriptorkismus) adalah kelainan kongenital umum pada alat kelamin laki-laki
yang terdiagnosis saat lahir diikuti dengan descensus postnatal yang sering.
Kriptorkismus berasal dari bahasa Yunani Cryptos artinya tersembunyi dan Orchis
artinya testis. Kriptorkismus juga biasa disebut Undescended testis (UDT) (Mavrogenis,
et al. 2015).
Kriptorkismus (testis tidak turun, maldescendus testis) adalah suatu kondisi di
mana salah satu atau kedua testis gagal turun ke dasar skrotum (Rodprasert, 2020).
Kriptorkismus adalah tidak adanya setidaknya satu testis dari skrotum. Ini adalah cacat
lahir yang paling umum melibatkan alat kelamin pria. Sekitar 3% bayi cukup bulan dan
30% bayi laki-laki prematur lahir dengan satu atau kedua testis tidak turun. Sekitar 80%
testis kriptorkismus turun pada bulan ketiga kehidupan (Stephen, et all. 2020). Jika testis
belum turun pada usia 6 bulan, kemungkinan tidak akan turun secara spontan, dan
koreksi bedah harus dipertimbangkan (Shin J, 2017). Pada usia 1 tahun insiden tinggal
0,8%. Setelah usia 3 bulan insiden kriptorkismus dapat meningkat lagi karena adanya
ascending testis yang jumlahnya hampir seimbang dengan jumlah kriptorkismus testis
kongenital (IDAI, 2017).
Kriptorkismus dapat terjadi pada satu atau kedua sisi, tetapi lebih sering
mempengaruhi testis kanan. Testis bisa berada di mana saja di sepanjang "jalur
keturunan", seperti:
Terletak tinggi di perut retroperitoneal hingga cincin inguinalis
Di saluran inguinalis
Ektopik dari jalur keturunan
Hipoplastik
Disgenetik
Hilang atau Absen
Sepihak (dua pertiga) (Hadziselimovic, 2020).
Testis yang tidak turun biasanya dapat teraba di kanalis inguinalis. Pada sebagian
kecil pasien, testis yang hilang mungkin terletak di perut atau tidak ada. Testis yang tidak
turun dikaitkan dengan penurunan kesuburan (terutama kasus bilateral), peningkatan
tumor sel germinal testis (risiko keseluruhan di bawah 1%), torsio testis, hernia
inguinalis, dan masalah psikologis. Hingga 10% pasien dengan testis unilateral yang
tidak turun akan mengalami infertilitas.
Tanpa koreksi bedah, testis yang tidak turun kemungkinan akan turun selama tiga
bulan pertama kehidupan. Jika tetap tidak turun, untuk mengurangi risiko dan
meminimalkan kemandulan, testis harus dibawa ke dalam skrotum dengan orchiopexy
mulai usia enam bulan (Stephen, et al. 2020).
D. Gejala
Gejala yang apabila testis tidak turun adalah sebagai berikut :
1. Infertilitas
Pria dengan testis yang tidak turun mungkin mengalami penurunan kesuburan,
bahkan setelah orchiopexy.
Sekitar 10% pasien testis kriptorkismus unilateral akan mengalami infertilitas.
Penurunan kesuburan setelah orchiopexy untuk kriptorkismus bilateral sekitar
38%.
Ini adalah dasar dari rekomendasi universal untuk pembedahan dini karena
degenerasi jaringan spermatogenik dan penurunan jumlah spermatogonia
setelah tahun kedua kehidupan pada pasien dengan testis yang tidak turun dan
tidak diobati.
Kriptorkismus dikaitkan dengan peningkatan kehilangan sel germinal dan
resultan gangguan kesuburan yang menjadi lebih buruk lagi testis tetap dalam
posisi turun.
Hanya sepertiga hingga dua pertiga pria dengan kriptorkismus bilateral yang
dapat menjadi ayah dari seorang anak. Dari segi histologi, terdapat bukti bahwa
lokasi testis dan waktu berkorelasi dengan Leydig dan hilangnya sel germinal.
2. Konsekuensi Psikologis
Anak laki-laki dengan testis yang tidak turun cenderung tidak feminin, tidak teratur
jenis kelaminnya, atau pra-homoseksual. Citra diri yang terganggu dapat terjadi
ketika dinamika keluarga merusak harga diri laki-laki. Ketika kriptorkismus
dikoreksi melalui pembedahan, maskulinitas yang sehat umumnya terjadi.
3. Kanker
Secara keseluruhan, risiko kanker testis jika orchiopexy dilakukan sebelum pubertas
sekitar 3 kali lipat dari populasi umum. Ini 5 sampai 6 kali lebih tinggi ketika
orchiopexy dilakukan setelah pubertas. Risiko kanker tampaknya tidak berbeda
ketika orchiopexy dilakukan sejak masa bayi dibandingkan di masa kanak-kanak.
Jenis kanker testis yang paling umum pada testis tidak turun yang tidak diobati
adalah seminoma.
Kisaran usia puncak untuk tumor ini adalah 15 hingga 45 tahun.
Sebaliknya, setelah orchiopexy, seminoma hanya mewakili 30% tumor testis di
testis yang sebelumnya tidak turun.
Kanker testis cukup bisa diobati jika terdeteksi dini, jadi anak laki-laki yang
mengalami orchiopexy saat bayi harus diajari pemeriksaan testis sendiri untuk
membantu deteksi dini kanker.
Pemeriksaan diri sangat penting untuk semua pria dengan riwayat testis tidak
turun yang dimulai tepat setelah pubertas
Melakukan orchiopexy sebelum pubertas tampaknya menurunkan RR dari
kanker testis berikutnya menjadi 2,23 (interval kepercayaan [CI] 1,58–3,06)
(Braga et al, 2017).
E. Diagnosis
1. Anamnesa
a. Anamnesis harus dilakukan secara teliti untuk mengetahui factor risiko
terjadinya kriptorkismus.
b. Apakah testis pernah teraba di skrotum
c. Riwayat operasi daerah inguinal
d. Riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi, kehamilan
kembar, prematuritas
e. Riwayat keluarga: UDT, hipospadia, infertilitas
2. Pemeriksaan fisik
Kriptorkismus ditegakkan jika testis tidak ditemukan di dalam kantong
skrotum. Pemeriksaan untuk kriptorkismus harus dilakukan dengan tangan yang
hangat dengan posisi duduk dan tungkai dilipat atau posisi tidur dan anak dalam
kondisi relaks, kemudian testis diraba dari inguinal kearah skrotum dengan cara
milking, bisa juga dengan satu tangan berada di kantong skrotum sedangkan
tangan yang lain memeriksa mulai dari daerah spina iliaca anterior superior
(SIAS) menyusuri inguinal ke kantong skrotum. Hal ini diperlukan agar testis
tidak bergerak naik karena adanya reflex kremaster yang cukup peka pada anak.
Reflex ini menyebabkan testis bergerak ke atas sehingga menyulitkan penilaian.
Pemeriksaan fisik yang teliti harus dilakukan untuk mencari adanya sindrom yang
berhubungan dengan kriptorkismus, seperti sindrom Klinefelter, Noonan,
Kallman, dan sindrom Prader Willi.
Diagnosis dari UDT dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik yang
dilakukan di ruangan yang hangat. Pemeriksaan fisik ini bertujuan untuk
mengetahui lokasi testis jika teraba, dan untuk menentukan posisi terendah di
mana testis dapat dimanipulasi. Diagnosis UDT pada bayi dapat langsung
ditegakkan jika skrotum terlihat tipis dan bergantung. Pada anak dengan usia
yang lebih besar, diagnosis mungkin lebih sulit untuk ditegakkan, terutama pada
anak dengan obesitas. Pasien sebaiknya diperiksa dalam 2 posisi, yaitu posisi
supinasi dan duduk. Pada posisi duduk, pasien bersandar pada kedua tangan,
menekuk lutut, dan telapak kaki saling menyentuh satu sama lain. Observasi
dimulai dengan melihat ada atau tidaknya testis dan hipoplasia skrotum. Manuver
yang dilakukan untuk menentukan posisi testis adalah meraba daerah sepanjang
kanalis inguinalis dari annulus internal menuju skrotum. Selain kedua posisi
tersebut, posisi jongkok juga dapat membantu untuk menentukan posisi testis.
G. Penatalaksaan
1. Terapi Hormon
a. HCG
Human chorionic gonadotropin (hCG) telah digunakan untuk
pengobatan kriptorkismus sejak lama. hCG mempunyai cara kerja seperti LH,
yaitu merangsang sel Leydig untuk memproduksi testosterone yang kemudian
akan menginduksi turunnya testis.
American Pediatric Association Guidelines merekomendasikan
penggunaan hormon untuk kasus testis yang tidak turun yang terkait dengan
Sindrom Prader-Willi. Alasan mereka adalah bahwa uji coba terapeutik human
chorionic gonadotropin (HCG) diindikasikan untuk pengobatan testis yang tidak
turun sebelum operasi, karena menghindari anestesi umum diperlukan untuk
bayi dengan tonus otot rendah dan berisiko tinggi untuk gangguan pernapasan
yang mendasarinya.
Hormon yang paling umum digunakan adalah human chorionic
gonadotropin (HCG). Serangkaian suntikan HCG diberikan, dan status testis
yang tidak turun dinilai kembali. Tingkat keberhasilan dilaporkan 5% hingga
50%. Perawatan hormon juga akan mengkonfirmasi respon sel Leydig dan
mendorong pertumbuhan tambahan penis kecil karena peningkatan kadar
testosteron (Stephen et al, 2020).
HCG diberikan 1500 IU hCG IM setiap hari selama 3 hari berturutturut.
Kadar testosteron plasma diperiksa sebelum dan 24 jam setelah penyuntikan
hCG yang ketiga. Bila didapatkan peningkatan kadar testosteron yang bermakna
setelah penyuntikan hCG maka dapat disingkirkan adanya anorkhia. Konsul
kebagian Endokrinologi, apabila kedua testis tidak teraba dengan fenotip lelaki
untuk evaluasi kemungkinan disorder of sex development (DSD) (IDAI, 2017).
b. Luteinizing Hormone Releasing Hormone (LNRH)
LNRH diberikan pada penderita kriptorkismus dengan tujuan
merangsang hipofisis untuk menseksresi LH dan FSH yang kemudian
merangsang sel Leydig untuk menseksresi testosterone yang berfungsi dalam
proses desensus testis. LNRH diberikan secara nasal spray dengan dosis 1,2 mg
per hari. Nasal spray ini diberikan 200 ug per kali semprotan tiap lubang hidung
sebanyak 3 kali sehari. Hasil pengobatan dengan LNRH ini sangat bervariasi,
sebagian peneliti mendapatkan hasil yang sangat memuaskan sedangkan lainnya
tidak mendapatkan manfaat yang berarti.
Pengobatan UDT dengan human chorionic gonadotropin (hCG) atau
luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH) tampaknya tidak
membahayakan dan mungkin efektif. Namun, tingkat keberhasilan yang
dilaporkan tidak konsisten (9 - 62%), dengan tidak ada agen tunggal yang
menonjol. Kasus bilateral tampaknya memberikan respon terbaik (25 - 30%).
Ada kekurangan data tentang hasil jangka panjang terapi hormon, seperti
kesuburan dan perkembangan kanker (Luis et al. 2017).
2. Operasi
Pembedahan dianjurkan untuk testis bawaan yang tidak turun antara usia 6
dan 18 bulan (Panduan AUA). Banyak ahli merekomendasikan pembedahan lebih
awal, sekitar 6 bulan, untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan kesuburan
testis. Untuk bayi prematur, koreksi usia digunakan untuk menentukan waktu
operasi. Kesuburan meningkat jika orkidopeksi dilakukan lebih awal (Stephen,
2020). Prinsip dari pembedahan yaitu untuk memindahkan testis dan meletakkannya
di dalam skrotum. Pembedahan ini disebut dengan orchidopexy. Biasanya
orchidopexy langsung dilakukan jika testis telah pasti diketahui terletak pada leher
skrotum atau pada daerah inguinal. Jika testis terletak pada daerah intra abdomen,
laparoskopi dapat dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan letak testis.
Kemudian, akan diputuskan apakah orchidopexy akan dilakukan dalam satu atau dua
tahap (George, 2009).
Pembedahan dalam menangani UDT dibedakan berdasarkan apakah testis
dapat teraba atau tidak. Kesembuhan post operasi dari prosedur orchidopexy sangat
cepat, di mana setelah beberapa hari, pasien dapat kembali melakukan aktivitas
penuh. Olahraga mungkin perlu dihindari dalam 1-2 minggu. Pemeriksaan lebih
lanjut perlu dilakukan setelah 6-12 bulan untuk meyakinkan bahwa atrophy tidak
terjadi. Saat anak telah berumur 14 tahun, pemeriksaan terhadap pubertas dan
kemungkinan terjadinya infertilitas dan keganasan juga perlu dilakukan (George,
2009).
a. Testis teraba dan tidak turun
Penanganan utama pada palpable UDT adalah orchidopexy dan
membuat kantong subdartos. Tingkat kesuksesan dari tindakan tersebut
mencapai 95%, dengan testis tetap berada di dalam skrotum dan tidak
mengalami atrophy. Pembedahan biasanya dilakukan dengan anastesi umum,
dan pasien dalam posisi supinasi. Insisi dilakukan sepanjang garis Langer, di
atas annulus internal. Aponeurosis oblique eksternal diinsisi ke arah lateral dari
annulus eksternal sesuai dengan arah serat- seratnya, dan dilakukan dengan hati-
hati agar tidak melukai saraf ilioinguinalis. Testis dan spermatic cord lalu
dibebaskan. Vas deferens dan pembuluh-pembuluh darahnya dipisahkan dari
Tunica vaginalis. Prosesus vaginalis dipisahkan dari struktur cord dan diligasi di
annulus internal.
Pemotongan secara retroperitoneal pada annulus internal dapat
memperpanjang cord sehingga testis dapat mencapai skrotum. Sebuah tembusan
dibuat dari kanalis inguinalis ke dalam skrotum dengan menggunakan satu jari
atau sebuah clamp besar. Kantong subdartos dibuat dengan meletakkan satu jari
melalui tembusan dan meregangkan kulit skrotum. Insisi sepanjang 1-2 cm
dilakukan pada kulit skrotum yang diregangkan dengan jari tersebut. Sebuah
clamp lalu diletakkan di jari operator, dan ujungnya dipandu ke dalam kanalis
inguinalis dengan menarik jari. Clamp kemudian digunakan untuk menjepit
jaringan di antara testis. Clamp lalu ditarik untuk membawa testis ke dalam
kantong. Menjepit testis atau vas deferens secara langsung harus dihindari agar
tidak menimbulkan luka.
Jika testis sudah berada di dalam kantong, leher kantong dijahit sehingga
menjadi lebih sempit untuk mencegah testis tertarik naik kembali. Saat ini,
pengukuran dan biopsi testis bisa dilakukan. Kulit skrotum lalu ditutup.
Aponeurosis oblique eksternal disatukan kembali dengan penjahitan absorbable.
Kulit dan jaringan subkutis ditutup dengan penjahitan subkutis. Setelah
beberapa minggu, luka bekas operasi perlu diperiksa, dan 6-12 bulan kemudian
pemeriksaan testis perlu dilakukan. Posisi dan kondisi akhir dari testis perlu
diperhatikan. Walaupun jarang terjadi, atrophy dan retraksi dapat muncul
sebagai komplikasi (George, 2009).
Orchidopexy standar (George, 2009).
Keterangan gambar : Pendekatan orchiopexy inguinal standar. A, sayatan kulit
melintang. B, Aponeurosis oblik eksternal dibuka ke arah serabutnya, dengan
hati-hati untuk menghindari saraf ilioinguinal. C, testis dilahirkan, dan prosesus
vaginalis paten dibuka secara distal dekat testis. D, Prosesus vaginalis (atau
kantung hernia tidak langsung) dipisahkan dari struktur tali pusat dan diikat
pada cincin internal. Panjang tali pusat yang memadai biasanya diperoleh
dengan diseksi retroperitoneal dari isi tali pusat. Jika panjang tambahan
diperlukan, pembuluh darah epigastrik inferior dapat diikat (manuver Prentiss),
memungkinkan medialisasi tali pusat. E, Sebuah jari dimasukkan secara inferior
ke dalam skrotum untuk membantu pembuatan kantong dartos. F ke H,
pembuatan kantong Dartos dan bagian penjepit melalui skrotum ke dalam kanal
inguinalis. I, jaringan Adventitial dari testis digenggam dengan penjepit. J, testis
dimasukkan ke dalam kantong dartos. K, Dartos fascia dan kulit tertutup.
b. Testis tidak teraba dan tidak turun
Penanganan nonpalpable UDT dapat dimulai dengan eksplorasi inguinal
ataupun laparoskopi diagnostik. Laparoskopi diagnostik dapat dilakukan melalui
umbilikus. Apabila pembuluh-pembuluh darah testis terlihat keluar dari annulus
internal, insisi pada daerah inguinal dilakukan untuk menentukan lokasi testis.
Orchidopexy dilakukan jika testis dapat ditemukan. Jika pembuluh-pembuluh
darah berakhir di dalam kanalis inguinalis, ujung dari pembuluh darah tersebut
dapat diambil untuk dilakukan pemeriksaan patologis.
Adanya sisa dari jaringan testis atau hemosiderin dan kalsifikasi
merupakan indikasi dari kemungkinan terjadinya perinatal torsion dan
resorption testis. Jika melalui laparoskopik diagnostik testis diketahui berada
pada daerah intra abdomen, terdapat beberapa pilihan tindakan. Pada Fowler-
Stephens orchidopexy, dilakukan ligasi pembuluh-pembuluh darah testis secara
laparoskopik atau laparotomy, yang membuat kelangsungan hidup testis
bergantung pada arteri cremaster.
Untuk alasan ini, Fowler-Stephens orchidopexy adalah pilihan yang
kurang tepat jika sebelumnya telah dilakukan eksplorasi inguinal yang
membahayakan suplai vaskuler ke testis. Setelah ligasi dilakukan, orchidopexy
dilakukan setelah sekitar 6 bulan untuk memberikan waktu pertumbuhan
sirkulasi kolateral. Tingkat kesuksesan dari prosedur ini mencapai lebih dari
90%, dengan testis tetap berada di dalam skrotum dan tidak mengalami atrophy.
Tindakan lain yang dapat dilakukan jika testis berada pada daerah intra
abdomen adalah orchidopexy mikrovaskuler (autotransplantasi) dan
orchidectomy (George, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Mavrogenis, Stelios. Urbán, Robert. Czeizel, Andrew E. (2015). Characteristics of boys with
the so-called true undescended testis diagnosed at the third postnatal month--a
population-based case-control study. J Matern Fetal Neonatal Med.2015
Jul;28(10):1152-7. doi: 10.3109/14767058.2014.947569. Epub 2014 Aug 14.
Hadziselimovic F. (2017). On the descent of the epididymo-testicular unit, cryptorchidism,
and prevention of infertility. Basic Clin Androl. 2017;27:21.
Shin J, Jeon GW. (2020). Perbandingan pedoman diagnostik dan pengobatan untuk testis
yang tidak turun. Clin Exp Pediatr. 2020 Mar 23.
Stephen W. Leslie ; Hussain Sajjad ; Carlos A. Villanueva. (2020). Cryptorchidism.
StatPearls. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470270/.
IDAI. (2017). Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia Diagnosis dan Tata
Laksana Kriptorkismus. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Braga LH, Lorenzo AJ, Romao RLP.(2017). Pedoman Canadian Urological Association-
Pediatric Urologists of Canada (CUA-PUC) untuk diagnosis, manajemen, dan tindak
lanjut kriptorkismus. Bisa Urol Assoc J. 2017 Jul; 11 (7): E251-E260.
Rodprasert Wiwat, Helena E. Virtanen, Juho-Antti Mäkelä, Jorma Toppar. (2019).
Hypogonadism and Cryptorchidism. Journal Front Endocrinol (Lausanne). 2019; 10:
906. Published online 2020 Jan 15. doi: 10.3389/fendo.2019.00906.
Hutson John M, Bridget R Southwell, Ruili Li, Gabrielle Lie, Khairul Ismail, George
Harisis, Nan Chen. (2013). The regulation of testicular descent and the effects of
cryptorchidism. Endocrine Reviews, Volume 34, Issue 5, 1 October 2013, Pages 725–
752, https://doi.org/10.1210/er.2012-1089.
Foresta C, Zucarello D, Garolla A, Garolla A, Ferlin A. (2008). Role of Hormones, Genes,
and Environment in Human Cryptorchidism. The Endocrine Society. 2008:29(5):560-
580.
Luis H. Braga , Armando J. Lorenzo, Rodrigo LP Romao. (2017). Canadian Urological
Association-Pediatric Urologists of Canada (CUA-PUC) guideline for the diagnosis,
management, and followup of cryptorchidism. Can Urol Assoc J. 2017 Jul; 11(7):
E251–E260. Published online 2017 Jul 11. doi: 10.5489/cuaj.4585.
George Whitfield Holcomb, J. Patrick Murphy. (2009). Ashcraft’s pediatric surgery 5th ed.
Philadelphia: Sounders Elsevier.
Smith, Shawn C. (2019). Barriers to implementation of guidelines for the diagnosis and
management of undescended testis. F1000 Reseach. 2019; 8: F1000 Faculty Rev-
326. Published online 2019 Mar 25. doi: 10.12688/f1000research.15532.1.