Anda di halaman 1dari 17

DESENSUS TESTIS

A. Pengertian
Desensus (penurunan) testis ke dalam skrotum merupakan suatu proses kompleks
yang melibatkan beberapa factor anatomis maupun hormonal. Testis terletak di jalur
desensus normal, tetapi tidak mencapai di tempat yang normal di skrotum. Testis yang
tidak turun (kriptorkismus) adalah kelainan kongenital umum pada alat kelamin laki-laki
yang terdiagnosis saat lahir diikuti dengan descensus postnatal yang sering.
Kriptorkismus berasal dari bahasa Yunani Cryptos artinya tersembunyi dan Orchis
artinya testis. Kriptorkismus juga biasa disebut Undescended testis (UDT) (Mavrogenis,
et al. 2015).
Kriptorkismus (testis tidak turun, maldescendus testis) adalah suatu kondisi di
mana salah satu atau kedua testis gagal turun ke dasar skrotum (Rodprasert, 2020).
Kriptorkismus adalah tidak adanya setidaknya satu testis dari skrotum. Ini adalah cacat
lahir yang paling umum melibatkan alat kelamin pria. Sekitar 3% bayi cukup bulan dan
30% bayi laki-laki prematur lahir dengan satu atau kedua testis tidak turun. Sekitar 80%
testis kriptorkismus turun pada bulan ketiga kehidupan (Stephen, et all. 2020). Jika testis
belum turun pada usia 6 bulan, kemungkinan tidak akan turun secara spontan, dan
koreksi bedah harus dipertimbangkan (Shin J, 2017). Pada usia 1 tahun insiden tinggal
0,8%. Setelah usia 3 bulan insiden kriptorkismus dapat meningkat lagi karena adanya
ascending testis yang jumlahnya hampir seimbang dengan jumlah kriptorkismus testis
kongenital (IDAI, 2017).
Kriptorkismus dapat terjadi pada satu atau kedua sisi, tetapi lebih sering
mempengaruhi testis kanan. Testis bisa berada di mana saja di sepanjang "jalur
keturunan", seperti:
 Terletak tinggi di perut retroperitoneal hingga cincin inguinalis
 Di saluran inguinalis
 Ektopik dari jalur keturunan
 Hipoplastik
 Disgenetik
 Hilang atau Absen
 Sepihak (dua pertiga) (Hadziselimovic, 2020).
Testis yang tidak turun biasanya dapat teraba di kanalis inguinalis. Pada sebagian
kecil pasien, testis yang hilang mungkin terletak di perut atau tidak ada. Testis yang tidak
turun dikaitkan dengan penurunan kesuburan (terutama kasus bilateral), peningkatan
tumor sel germinal testis (risiko keseluruhan di bawah 1%), torsio testis, hernia
inguinalis, dan masalah psikologis. Hingga 10% pasien dengan testis unilateral yang
tidak turun akan mengalami infertilitas.
Tanpa koreksi bedah, testis yang tidak turun kemungkinan akan turun selama tiga
bulan pertama kehidupan. Jika tetap tidak turun, untuk mengurangi risiko dan
meminimalkan kemandulan, testis harus dibawa ke dalam skrotum dengan orchiopexy
mulai usia enam bulan (Stephen, et al. 2020).

Lokasi testis. Biasanya, kedua testis terletak di bagian bawah skrotum. Pada


kriptorkismus, salah satu atau kedua testis tidak berada pada posisi normal, tetapi berada
di sepanjang jalur normal penurunan testis seperti yang diilustrasikan pada gambar
(Rodprasert, 2019).
B. Epidemiologi
Tiga persen dari bayi baru lahir cukup bulan mengalami kriptorkismus. Ini menurun
menjadi 1% pada bayi berusia enam bulan sampai 1 tahun. 

 Prevalensi kriptorkismus adalah 30% pada neonatus laki-laki prematur.


 Tujuh persen saudara laki-laki dengan testis tidak turun memiliki kriptorkismus.
 Di Amerika Serikat, kriptorkismus berkisar dari sekitar 3% saat lahir hingga 1% dari
satu tahun hingga dewasa.
 Secara internasional, prevalensi berkisar dari 4% hingga 5% saat lahir hingga sekitar
1% hingga 1,5% pada usia tiga bulan dan 1% hingga 2,5% pada usia sembilan bulan.
 Kriptorkismus terjadi pada sekitar 1,5% sampai 4% ayah dan 6% saudara laki-laki
dengan kriptorkismus.
 Heritabilitas pada saudara laki-laki tingkat pertama diperkirakan sekitar 0,5% sampai
1% (Stephen, et al. 2020).
C. Penyebab
Kriptorkismus disebabkan oleh berbagai faktor yang menyebabkan terhambatnya
proses desensus testis ke dalam skrotum. Proses desensus testis selain dipengaruhi oleh
faktor mekanis juga dipengaruhi oleh beberapa hormon meliputi Anti mullerian hormone
(AMH), androgen, INSL-3 (Insulin Like 3), estradiol, LGR8 (Leucine-rich repeat-
containing G proteincoupled receptor 8), genitofemoral nerve (GFN), dan calcitonin gene
related peptide (CGRP). Penyebab utama kriptorkismus adalah adanya defek sekresi
androgen pada fase prenatal baik sekunder yang disebabkan oleh stimulasi gonadotropin
hipofisis maupun karena rendahnya produksi gonadotropin plasenta. Pada kebanyakan
kasus kriptorkismus disebabkan oleh hipogonad baik hipogonadisme primer maupun
hipogonadisme sekunder, pada kasus tersebut terjadi penurunan produksi testosteron dan
sekresi hormon INSL-3 yang abnormal (IDAI, 2017).
Penyebab pasti terjadinya kriptorkismus belum diketahui. Meski demikian, faktor
genetik dan lingkungan diduga mempengaruhi terjadinya kondisi ini.
Selain itu, terdapat sejumlah kondisi pada bayi dan ibu hamil yang dinilai
meningkatkan risiko terjadinya kriptorkismus, yaitu:
 Lahir prematur, yaitu kelahiran terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu
 Lahir dengan berat badan rendah (BBLR)
 Riwayat kriptokismus dan ganggguan perkembangan kelamin di dalam keluarga
 Paparan bahan kimia, seperti pestisida, dietilstilebestrol, phthalets, atau dioxin selama
kehamilan
 Riwayat sering mengonsumsi alkohol selama kehamilan
 Merokok
 Obesitas atau diabetes yang dialami oleh ibu saat hamil (Stephen et al, 2020).

D. Gejala
Gejala yang apabila testis tidak turun adalah sebagai berikut :
1. Infertilitas
Pria dengan testis yang tidak turun mungkin mengalami penurunan kesuburan,
bahkan setelah orchiopexy. 
 Sekitar 10% pasien testis kriptorkismus unilateral akan mengalami infertilitas.
 Penurunan kesuburan setelah orchiopexy untuk kriptorkismus bilateral sekitar
38%.
 Ini adalah dasar dari rekomendasi universal untuk pembedahan dini karena
degenerasi jaringan spermatogenik dan penurunan jumlah spermatogonia
setelah tahun kedua kehidupan pada pasien dengan testis yang tidak turun dan
tidak diobati.
 Kriptorkismus dikaitkan dengan peningkatan kehilangan sel germinal dan
resultan gangguan kesuburan yang menjadi lebih buruk lagi testis tetap dalam
posisi turun.
 Hanya sepertiga hingga dua pertiga pria dengan kriptorkismus bilateral yang
dapat menjadi ayah dari seorang anak. Dari segi histologi, terdapat bukti bahwa
lokasi testis dan waktu berkorelasi dengan Leydig dan hilangnya sel germinal.
2. Konsekuensi Psikologis
Anak laki-laki dengan testis yang tidak turun cenderung tidak feminin, tidak teratur
jenis kelaminnya, atau pra-homoseksual. Citra diri yang terganggu dapat terjadi
ketika dinamika keluarga merusak harga diri laki-laki. Ketika kriptorkismus
dikoreksi melalui pembedahan, maskulinitas yang sehat umumnya terjadi. 
3. Kanker
Secara keseluruhan, risiko kanker testis jika orchiopexy dilakukan sebelum pubertas
sekitar 3 kali lipat dari populasi umum. Ini 5 sampai 6 kali lebih tinggi ketika
orchiopexy dilakukan setelah pubertas. Risiko kanker tampaknya tidak berbeda
ketika orchiopexy dilakukan sejak masa bayi dibandingkan di masa kanak-kanak. 
 Jenis kanker testis yang paling umum pada testis tidak turun yang tidak diobati
adalah seminoma. 
 Kisaran usia puncak untuk tumor ini adalah 15 hingga 45 tahun.
 Sebaliknya, setelah orchiopexy, seminoma hanya mewakili 30% tumor testis di
testis yang sebelumnya tidak turun.
 Kanker testis cukup bisa diobati jika terdeteksi dini, jadi anak laki-laki yang
mengalami orchiopexy saat bayi harus diajari pemeriksaan testis sendiri untuk
membantu deteksi dini kanker.
 Pemeriksaan diri sangat penting untuk semua pria dengan riwayat testis tidak
turun yang dimulai tepat setelah pubertas
 Melakukan orchiopexy sebelum pubertas tampaknya menurunkan RR dari
kanker testis berikutnya menjadi 2,23 (interval kepercayaan [CI] 1,58–3,06)
(Braga et al, 2017).

E. Diagnosis
1. Anamnesa
a. Anamnesis harus dilakukan secara teliti untuk mengetahui factor risiko
terjadinya kriptorkismus.
b. Apakah testis pernah teraba di skrotum
c. Riwayat operasi daerah inguinal
d. Riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi, kehamilan
kembar, prematuritas
e. Riwayat keluarga: UDT, hipospadia, infertilitas
2. Pemeriksaan fisik
Kriptorkismus ditegakkan jika testis tidak ditemukan di dalam kantong
skrotum. Pemeriksaan untuk kriptorkismus harus dilakukan dengan tangan yang
hangat dengan posisi duduk dan tungkai dilipat atau posisi tidur dan anak dalam
kondisi relaks, kemudian testis diraba dari inguinal kearah skrotum dengan cara
milking, bisa juga dengan satu tangan berada di kantong skrotum sedangkan
tangan yang lain memeriksa mulai dari daerah spina iliaca anterior superior
(SIAS) menyusuri inguinal ke kantong skrotum. Hal ini diperlukan agar testis
tidak bergerak naik karena adanya reflex kremaster yang cukup peka pada anak.
Reflex ini menyebabkan testis bergerak ke atas sehingga menyulitkan penilaian.
Pemeriksaan fisik yang teliti harus dilakukan untuk mencari adanya sindrom yang
berhubungan dengan kriptorkismus, seperti sindrom Klinefelter, Noonan,
Kallman, dan sindrom Prader Willi.
Diagnosis dari UDT dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik yang
dilakukan di ruangan yang hangat. Pemeriksaan fisik ini bertujuan untuk
mengetahui lokasi testis jika teraba, dan untuk menentukan posisi terendah di
mana testis dapat dimanipulasi. Diagnosis UDT pada bayi dapat langsung
ditegakkan jika skrotum terlihat tipis dan bergantung. Pada anak dengan usia
yang lebih besar, diagnosis mungkin lebih sulit untuk ditegakkan, terutama pada
anak dengan obesitas. Pasien sebaiknya diperiksa dalam 2 posisi, yaitu posisi
supinasi dan duduk. Pada posisi duduk, pasien bersandar pada kedua tangan,
menekuk lutut, dan telapak kaki saling menyentuh satu sama lain. Observasi
dimulai dengan melihat ada atau tidaknya testis dan hipoplasia skrotum. Manuver
yang dilakukan untuk menentukan posisi testis adalah meraba daerah sepanjang
kanalis inguinalis dari annulus internal menuju skrotum. Selain kedua posisi
tersebut, posisi jongkok juga dapat membantu untuk menentukan posisi testis.

(Hutson et al, 2013)


Pada pasien kriptokirmus bilateral yang berusia kurang dari 4 bulan
sebaiknya diperiksa kadar testosterone, bila usianya lebih dari 4 bulan diperlukan
uji HCG untuk melihat ada tidaknya testis. Pasien kriptorkismus bilateral
dan/atau kriptokirmus bilateral yang disertai dengan hipospadia merupakan
bagian dari disorders of sex development (DSD). Pada pasien ini diperlukan
pemeriksaan genitalia eksterna secara seksama, pemeriksaan analisis kromosom
dan pemeriksaan penunjang lainnya. Kasus demikian sebaiknya dikonsultasikan
ke ahli endokrin anak untuk evaluasi lebih lanjut.
Sebelum diberikan terapi, sangat penting menentukan posisi anatomis testis, hal
ini berhubungan dengan keberhasilan pengobatan, karena sebagian pasien
mempunyai testis reraktil yang kadang kadang tidak memerlukan pengobatan.
Pada testis reraktil, testis sebenarnya sudah turun ke dalam skrotum pada waktu
lahir akan tetapi pada pemeriksaan tidak ditemukan berada di dalam skrotum
kecuali bila anak dalam keadaan relaks.
3. Pemeriksaan penunjang
Terkadang diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan untuk menentukan lokasi
testis yang tidak teraba, antara lain:
1. Pemeriksaan pencitraan: USG, CT scan, MRI
2. Venografi atau Arteriografi
3. Laparoskopi
Salah satu pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan hormonal, yaitu tes stimulasi hCG (human chorionic gonadotropin).
Pengukuran kadar testosterone, follicle- stimulating hormone (FSH), dan
luteinizing hormone (LH) perlu dilakukan sebelum pemberian hCG sebanyak
2000 IU satu kali per hari selama 3 hari. Kemudian kadar hormon- hormon
tersebut kembali diukur pada hari ke-6. Jika kadar FSH meningkat pada anak
laki-laki di bawah umur 9 tahun, maka kemungkinan anak tersebut mengalami
anorchia. Jika kadar LH dan FSH dalam batas normal dan stimulasi hCG
menghasilkan peningkatan kadar testosterone yang pantas, maka kemungkinan
ada jaringan testis dan pasien memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Pemeriksaan
hormonal lain yang dapat dilakukan adalah pengukuran kadar androgen,
MIS/AMH, ataupun analisis kromosom. Tujuan dari pemeriksaan hormonal
tersebut adalah untuk memastikan testis ada dan memproduksi hormon yang
sesuai. Jika adanya testis telah dapat dipastikan, maka lokasi testis dapat
ditentukan melalui laparoskopi
Untuk mengetahui adanya testis dapat dilakukan uji HCG. Pasien
diberikan 1500 IU hCG IM setiap hari selama 3 hari berturut turut dan kadar
testosterone plasma diperiksa sebelum dan 24 jam setelah penyuntikan HCG. Bila
didapatkan peningkatan kadar testosterone yang bermakna setelah penyuntikan
hCG berarti dapat disingkirkan adanya anorkia (Stephen, 2020).
Pedoman American Urologic Association (AUA) saat ini
merekomendasikan bahwa (1) pada evaluasi awal riwayat kehamilan lengkap dari
semua anak laki-laki yang dicurigai mengalami kriptorkismus; (2) testis diraba
pada setiap kunjungan anak sehat yang direkomendasikan untuk kualitas dan
posisi yang sesuai; (3) semua bayi yang ditemukan mengalami kriptorkismus saat
lahir dan tidak mengalami penurunan spontan pada usia 6 bulan (dikoreksi untuk
usia kehamilan) dirujuk ke ahli bedah untuk evaluasi yang sesuai; (4) semua anak
laki-laki dengan kemungkinan diagnosis baru kriptorkismus didapat setelah 6
bulan usia kehamilan dikoreksi dirujuk untuk kemungkinan koreksi bedah; (5)
setiap bayi baru lahir laki-laki fenotip dengan testis non-teraba bilateral dirujuk
untuk evaluasi kemungkinan gangguan perkembangan seksual (DSD); (6) USG
dan pemeriksaan pencitraan lainnya (yang jarang merupakan alat diagnostik
sensitif) tidak dipesan sebelum dirujuk ke spesialis bedah; (7) hipospadia
proksimal berat dan kriptorkismus mengingatkan penyedia untuk menilai
DSD; (8) seorang anak laki-laki yang ditemukan memiliki testis bilateral yang
tidak teraba dan yang tidak memiliki hiperplasia adrenal kongenital, zat
penghambat Müllerian, atau hormon tambahan lainnya dites untuk mengevaluasi
anorchia (Smith, 2019).
F. Fiosiologis Turunnya Testis
1. Fisiologi Produksi Hormon Testis
Sebelum minggu ke-7 atau ke-8 usia kehamilan, posisi gonad adalah sama
pada kedua jenis kelamin. Adanya gen penentu seks (SRY), mengawali
perkembangan genitalia interna dan eksterna, dan penurunan testis. Pada masa awal
embrio, testis memproduksi 3 hormon, yaitu testosterone yang diproduksi oleh sel
Leydig, insulin like hormon 3 (Insl3), dan Müllerian Inhibiting Substance (MIS)
atau anti müllerian hormon (AMH) yang diproduksi oleh sel Sertoli. Segera setelah
terjadinya diferensiasi gonad menjadi testis, sel Sertoli mulai memproduksi MIS
yang mengakibatkan regresi duktus Müller. Sel Leydig janin menghasilkan
testosteron dan insulin-like peptide 3 (INSL3). Androgen mulai mensekresikan
selama minggu kehamilan 8-10, dan tingkat tertinggi hormon ini diukur sekitar usia
kehamilan 16 minggu. Dihidrotestosteron (DHT) yang diubah dari testosteron oleh
reduktase 5-alfa sebagian besar di jaringan perifer, sangat penting untuk diferensiasi
genitalia eksterna pria dan prostat selama kehamilan 8-12 minggu. Sekresi androgen
dalam sel Leydig janin dirangsang oleh human chorionic gonadotropin (hCG) dari
plasenta selama trimester pertama kehamilan dan kemudian oleh hormon luteinizing
(LH) dari kelenjar hipofisis anterior janin yang sedang berkembang. HCG plasenta
juga mengatur sekresi INSL3, yang merupakan hormon peptida dari keluarga gen
yang berhubungan dengan insulin dan penting untuk fase transabdominal penurunan
testis.
Gonadotropin pada hipofisis mulai memproduksi FSH dan LH sekitar
kehamilan 9 minggu, dan hormon dideteksi dalam darah janin mulai kehamilan 12-
14 minggu. Kadar gonadotropin mencapai puncaknya pada midgestation dan
selanjutnya menurun menjelang waktu persalinan. LH berbagi reseptor yang sama
(LHCGR) dengan hCG pada sel Leydig. LH mengambil alih peran hCG untuk
mengontrol androgen dan sekresi INSL3 dari sel Leydig di sekitar kehamilan 15-20
minggu. FSH memiliki peran penting dalam mempromosikan proliferasi sel Sertoli
dan stimulasi hormon anti-Mullerian (AMH) dan produksi inhibin B dari sel Sertoli.
Kadar gonadotropin terus menurun menjelang waktu persalinan. Kadar gonadotropin
dan testosteron tersebut mulai meningkat lagi sekitar 1 minggu setelah lahir dan
mencapai puncaknya pada usia 1-3 bulan.
Pada minggu ke-9, sel Leydig memproduksi testosterone dan merangsang
perkembangan struktur wolff, termasuk epididimis dan vas deferens. Dengan regresi
dari mesonefros pada daerah urogenital dan regresi duktus paramesonefros (duktus
Müller) oleh MIS, testis dan duktus mesonefros (duktus Wolff) dilekatkan pada
dinding perut bagian posterior ke arah kranial oleh ligamentum genitalis kranial, dan
ke arah kaudal oleh ligamentum genitoinguinalis atau gubernakulum. Dengan regresi
dari 4 mesonefros ini, testis juga memperoleh mesenterium yang memungkinkan
testis untuk berada di rongga perut.
Selama masa prapubertas, sel Sertoli terus memproduksi AMH tingkat tinggi,
bahkan tanpa stimulasi FSH, karena tidak ada efek penghambatan yang kuat pada
produksi AMH oleh testosteron yang hampir tidak ada. Sel Sertoli mulai
mengekspresikan AR di testis prapubertas. Ketika anak laki-laki memasuki masa
pubertas, peningkatan produksi testosteron menyebabkan tingginya kadar testosteron
intratesticular, yang sangat menghambat produksi AMH dan mengatasi efek
stimulasi FSH, sehingga menghasilkan tingkat AMH yang rendah. Efek ini berlanjut
sampai dewasa. Oleh karena itu, AMH serum merupakan biomarker dari fungsi sel
sertoli yang belum matang selama prapubertas. Pada pria dewasa, hipotalamus
mengeluarkan GnRH secara berdenyut dan merangsang gonadotrof hipofisis untuk
melepaskan FSH dan LH. FSH merangsang sekresi inhibin B dari sel Sertoli. Baik
FSH dan testosteron intratesticular yang tinggi meningkatkan spermatogenesis. LH
bekerja pada sel Leydig di interstitium testis dan merangsang sekresi INSL3 dan
testosteron (Rodprasert, 2019).
2. Fisiologi Penurunan Testis
Testis adalah kelenjar kelamin pria yang berperan penting dalam sistem
reproduksi. Berfungsi sebagai tempat produksi sperma dan juga bertanggung jawab
untuk produksi testosteron. Testosteron adalah hormon steroid yang penting untuk
sejumlah fungsi tubuh, bukan hanya dorongan seks dan perkembangan sperma.
Testis berupa dua organ berbentuk telur yang terletak di skrotum. Penurunan testis
pada janin laki-laki merupakan proses yang kompleks. Testis yang berkembang
ditambatkan oleh dua struktur yaitu ligamentum suspensori kranial yang
menghubungkan kutub atas testis ke diafragma dan ligamentum genitoinguinal
(gubernaculum) yang mengikat testis ke daerah inguinal di masa depan melalui
epididimis (Rodprasert, 2019).
Turunnya testis adalah proses yang kompleks dan bertingkat yang
membutuhkan interaksi faktor anatomis dan hormonal. Teori yang paling diterima
menggambarkan penurunan dari lokasi intraabdominal ke dasar skrotum dalam dua
fase utama, transabdominal dan turunan inguinoscrotal. Proses dua tahap ini dipandu
oleh dua ligamen mesenterika: ligamentum suspensori kranial (CSL), dan
ligamentum genitoinguinal ekor atau gubernaculum. Kedua ligamen ini berevolusi
sebagai struktur dimorfik seksual. Awalnya, gonad yang tidak berdiferensiasi
menempel pada dinding perut dalam posisi pararenal. CSL menempelkan gonad ke
dinding perut posterior, sedangkan gubernaculum menghubungkan testis melalui
epididimis ke cincin bagian dalam intraabdominal masa depan dari kanal inguinalis
( Gbr. 1) Gbr. 1A).). 
Selama fase pertama, testis tetap dekat dengan daerah inguinal di masa depan
selama pembesaran rongga perut dan di bawah tekanan pertumbuhan viseral
perut. Di bawah pengaruh hormon, CSL mengalami kemunduran, sedangkan
gubernaculum mengembangkan segmen ekornya menjadi bola gubernur, reaksi yang
disebut "reaksi bengkak" atau "hasil gubernakuler", yang menonjol ke dalam
kantung skrotum pembentuk. Reaksi pembengkakan gubernakulum menahan testis
sangat dekat dengan cincin inguinal internal di masa depan, dan ini menyebabkan
migrasi transabdominal testis ke daerah inguinal ( Gbr. 1B ). 
Oleh karena itu, fase transabdominal dari penurunan testis adalah hasil
penjumlahan vektor traksi oleh CSL dan gubernakulum. Selama fase kedua, fase
inguinoscrotal, testis berpindah dari daerah inguinal ke skrotum. Fase ini disebabkan
oleh pemendekan kabel gubernur dan pertumbuhan bola lampu gubernur ( Gbr. 1 , C
dan D). 
Stadium transabdominal terjadi antara usia kehamilan 10 dan 23 minggu
pada embrio manusia, dan fase inguinoscrotal dimulai pada sekitar 26 minggu
kehamilan dan berakhir antara usia kehamilan 28 minggu dan kelahiran.
Peran penting dalam penurunan testis telah dikaitkan dengan hormon,
khususnya testosteron, hormon anti-Mullerian (AMH), dan insulin-like factor 3
(INSL3) (Gbr. 1). Secara skematis, testosteron bekerja pada CSL dan gubernaculum
serta menstimulasi perkembangan turunan Wollfian, AMH menyebabkan involusi
duktus Mullerian, dan INSL3 mengontrol diferensiasi gubernakulum. Kedua fase
penurunan testis diatur secara berbeda, dan yang pertama, fase transabdominal pada
dasarnya bergantung pada INSL3, sedangkan fase kedua, fase inguinoscrotal pada
dasarnya bergantung pada androgen (Foresta et al, 2008).

Skema berlangsungnya fase dari penurunan testis (Foresta et al, 2008).

G. Penatalaksaan
1. Terapi Hormon
a. HCG
Human chorionic gonadotropin (hCG) telah digunakan untuk
pengobatan kriptorkismus sejak lama. hCG mempunyai cara kerja seperti LH,
yaitu merangsang sel Leydig untuk memproduksi testosterone yang kemudian
akan menginduksi turunnya testis.
American Pediatric Association Guidelines merekomendasikan
penggunaan hormon untuk kasus testis yang tidak turun yang terkait dengan
Sindrom Prader-Willi. Alasan mereka adalah bahwa uji coba terapeutik human
chorionic gonadotropin (HCG) diindikasikan untuk pengobatan testis yang tidak
turun sebelum operasi, karena menghindari anestesi umum diperlukan untuk
bayi dengan tonus otot rendah dan berisiko tinggi untuk gangguan pernapasan
yang mendasarinya.
Hormon yang paling umum digunakan adalah human chorionic
gonadotropin (HCG). Serangkaian suntikan HCG diberikan, dan status testis
yang tidak turun dinilai kembali. Tingkat keberhasilan dilaporkan 5% hingga
50%. Perawatan hormon juga akan mengkonfirmasi respon sel Leydig dan
mendorong pertumbuhan tambahan penis kecil karena peningkatan kadar
testosteron (Stephen et al, 2020).
HCG diberikan 1500 IU hCG IM setiap hari selama 3 hari berturutturut.
Kadar testosteron plasma diperiksa sebelum dan 24 jam setelah penyuntikan
hCG yang ketiga. Bila didapatkan peningkatan kadar testosteron yang bermakna
setelah penyuntikan hCG maka dapat disingkirkan adanya anorkhia. Konsul
kebagian Endokrinologi, apabila kedua testis tidak teraba dengan fenotip lelaki
untuk evaluasi kemungkinan disorder of sex development (DSD) (IDAI, 2017).
b. Luteinizing Hormone Releasing Hormone (LNRH)
LNRH diberikan pada penderita kriptorkismus dengan tujuan
merangsang hipofisis untuk menseksresi LH dan FSH yang kemudian
merangsang sel Leydig untuk menseksresi testosterone yang berfungsi dalam
proses desensus testis. LNRH diberikan secara nasal spray dengan dosis 1,2 mg
per hari. Nasal spray ini diberikan 200 ug per kali semprotan tiap lubang hidung
sebanyak 3 kali sehari. Hasil pengobatan dengan LNRH ini sangat bervariasi,
sebagian peneliti mendapatkan hasil yang sangat memuaskan sedangkan lainnya
tidak mendapatkan manfaat yang berarti.
Pengobatan UDT dengan human chorionic gonadotropin (hCG) atau
luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH) tampaknya tidak
membahayakan dan mungkin efektif. Namun, tingkat keberhasilan yang
dilaporkan tidak konsisten (9 - 62%), dengan tidak ada agen tunggal yang
menonjol. Kasus bilateral tampaknya memberikan respon terbaik (25 - 30%).
Ada kekurangan data tentang hasil jangka panjang terapi hormon, seperti
kesuburan dan perkembangan kanker (Luis et al. 2017).
2. Operasi
Pembedahan dianjurkan untuk testis bawaan yang tidak turun antara usia 6
dan 18 bulan (Panduan AUA). Banyak ahli merekomendasikan pembedahan lebih
awal, sekitar 6 bulan, untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan kesuburan
testis. Untuk bayi prematur, koreksi usia digunakan untuk menentukan waktu
operasi. Kesuburan meningkat jika orkidopeksi dilakukan lebih awal (Stephen,
2020). Prinsip dari pembedahan yaitu untuk memindahkan testis dan meletakkannya
di dalam skrotum. Pembedahan ini disebut dengan orchidopexy. Biasanya
orchidopexy langsung dilakukan jika testis telah pasti diketahui terletak pada leher
skrotum atau pada daerah inguinal. Jika testis terletak pada daerah intra abdomen,
laparoskopi dapat dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan letak testis.
Kemudian, akan diputuskan apakah orchidopexy akan dilakukan dalam satu atau dua
tahap (George, 2009).
Pembedahan dalam menangani UDT dibedakan berdasarkan apakah testis
dapat teraba atau tidak. Kesembuhan post operasi dari prosedur orchidopexy sangat
cepat, di mana setelah beberapa hari, pasien dapat kembali melakukan aktivitas
penuh. Olahraga mungkin perlu dihindari dalam 1-2 minggu. Pemeriksaan lebih
lanjut perlu dilakukan setelah 6-12 bulan untuk meyakinkan bahwa atrophy tidak
terjadi. Saat anak telah berumur 14 tahun, pemeriksaan terhadap pubertas dan
kemungkinan terjadinya infertilitas dan keganasan juga perlu dilakukan (George,
2009).
a. Testis teraba dan tidak turun
Penanganan utama pada palpable UDT adalah orchidopexy dan
membuat kantong subdartos. Tingkat kesuksesan dari tindakan tersebut
mencapai 95%, dengan testis tetap berada di dalam skrotum dan tidak
mengalami atrophy. Pembedahan biasanya dilakukan dengan anastesi umum,
dan pasien dalam posisi supinasi. Insisi dilakukan sepanjang garis Langer, di
atas annulus internal. Aponeurosis oblique eksternal diinsisi ke arah lateral dari
annulus eksternal sesuai dengan arah serat- seratnya, dan dilakukan dengan hati-
hati agar tidak melukai saraf ilioinguinalis. Testis dan spermatic cord lalu
dibebaskan. Vas deferens dan pembuluh-pembuluh darahnya dipisahkan dari
Tunica vaginalis. Prosesus vaginalis dipisahkan dari struktur cord dan diligasi di
annulus internal.
Pemotongan secara retroperitoneal pada annulus internal dapat
memperpanjang cord sehingga testis dapat mencapai skrotum. Sebuah tembusan
dibuat dari kanalis inguinalis ke dalam skrotum dengan menggunakan satu jari
atau sebuah clamp besar. Kantong subdartos dibuat dengan meletakkan satu jari
melalui tembusan dan meregangkan kulit skrotum. Insisi sepanjang 1-2 cm
dilakukan pada kulit skrotum yang diregangkan dengan jari tersebut. Sebuah
clamp lalu diletakkan di jari operator, dan ujungnya dipandu ke dalam kanalis
inguinalis dengan menarik jari. Clamp kemudian digunakan untuk menjepit
jaringan di antara testis. Clamp lalu ditarik untuk membawa testis ke dalam
kantong. Menjepit testis atau vas deferens secara langsung harus dihindari agar
tidak menimbulkan luka.
Jika testis sudah berada di dalam kantong, leher kantong dijahit sehingga
menjadi lebih sempit untuk mencegah testis tertarik naik kembali. Saat ini,
pengukuran dan biopsi testis bisa dilakukan. Kulit skrotum lalu ditutup.
Aponeurosis oblique eksternal disatukan kembali dengan penjahitan absorbable.
Kulit dan jaringan subkutis ditutup dengan penjahitan subkutis. Setelah
beberapa minggu, luka bekas operasi perlu diperiksa, dan 6-12 bulan kemudian
pemeriksaan testis perlu dilakukan. Posisi dan kondisi akhir dari testis perlu
diperhatikan. Walaupun jarang terjadi, atrophy dan retraksi dapat muncul
sebagai komplikasi (George, 2009).
Orchidopexy standar (George, 2009).
Keterangan gambar : Pendekatan orchiopexy inguinal standar. A, sayatan kulit
melintang. B, Aponeurosis oblik eksternal dibuka ke arah serabutnya, dengan
hati-hati untuk menghindari saraf ilioinguinal. C, testis dilahirkan, dan prosesus
vaginalis paten dibuka secara distal dekat testis. D, Prosesus vaginalis (atau
kantung hernia tidak langsung) dipisahkan dari struktur tali pusat dan diikat
pada cincin internal. Panjang tali pusat yang memadai biasanya diperoleh
dengan diseksi retroperitoneal dari isi tali pusat. Jika panjang tambahan
diperlukan, pembuluh darah epigastrik inferior dapat diikat (manuver Prentiss),
memungkinkan medialisasi tali pusat. E, Sebuah jari dimasukkan secara inferior
ke dalam skrotum untuk membantu pembuatan kantong dartos. F ke H,
pembuatan kantong Dartos dan bagian penjepit melalui skrotum ke dalam kanal
inguinalis. I, jaringan Adventitial dari testis digenggam dengan penjepit. J, testis
dimasukkan ke dalam kantong dartos. K, Dartos fascia dan kulit tertutup.
b. Testis tidak teraba dan tidak turun
Penanganan nonpalpable UDT dapat dimulai dengan eksplorasi inguinal
ataupun laparoskopi diagnostik. Laparoskopi diagnostik dapat dilakukan melalui
umbilikus. Apabila pembuluh-pembuluh darah testis terlihat keluar dari annulus
internal, insisi pada daerah inguinal dilakukan untuk menentukan lokasi testis.
Orchidopexy dilakukan jika testis dapat ditemukan. Jika pembuluh-pembuluh
darah berakhir di dalam kanalis inguinalis, ujung dari pembuluh darah tersebut
dapat diambil untuk dilakukan pemeriksaan patologis.
Adanya sisa dari jaringan testis atau hemosiderin dan kalsifikasi
merupakan indikasi dari kemungkinan terjadinya perinatal torsion dan
resorption testis. Jika melalui laparoskopik diagnostik testis diketahui berada
pada daerah intra abdomen, terdapat beberapa pilihan tindakan. Pada Fowler-
Stephens orchidopexy, dilakukan ligasi pembuluh-pembuluh darah testis secara
laparoskopik atau laparotomy, yang membuat kelangsungan hidup testis
bergantung pada arteri cremaster.
Untuk alasan ini, Fowler-Stephens orchidopexy adalah pilihan yang
kurang tepat jika sebelumnya telah dilakukan eksplorasi inguinal yang
membahayakan suplai vaskuler ke testis. Setelah ligasi dilakukan, orchidopexy
dilakukan setelah sekitar 6 bulan untuk memberikan waktu pertumbuhan
sirkulasi kolateral. Tingkat kesuksesan dari prosedur ini mencapai lebih dari
90%, dengan testis tetap berada di dalam skrotum dan tidak mengalami atrophy.
Tindakan lain yang dapat dilakukan jika testis berada pada daerah intra
abdomen adalah orchidopexy mikrovaskuler (autotransplantasi) dan
orchidectomy (George, 2009).

DAFTAR PUSTAKA
Mavrogenis, Stelios. Urbán, Robert. Czeizel, Andrew E. (2015). Characteristics of boys with
the so-called true undescended testis diagnosed at the third postnatal month--a
population-based case-control study. J Matern Fetal Neonatal Med.2015
Jul;28(10):1152-7. doi: 10.3109/14767058.2014.947569. Epub 2014 Aug 14.
Hadziselimovic F. (2017). On the descent of the epididymo-testicular unit, cryptorchidism,
and prevention of infertility. Basic Clin Androl. 2017;27:21.
Shin J, Jeon GW. (2020). Perbandingan pedoman diagnostik dan pengobatan untuk testis
yang tidak turun. Clin Exp Pediatr. 2020 Mar 23.
Stephen W. Leslie ; Hussain Sajjad ; Carlos A. Villanueva. (2020). Cryptorchidism.
StatPearls. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470270/.
IDAI. (2017). Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia Diagnosis dan Tata
Laksana Kriptorkismus. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Braga LH, Lorenzo AJ, Romao RLP.(2017). Pedoman Canadian Urological Association-
Pediatric Urologists of Canada (CUA-PUC) untuk diagnosis, manajemen, dan tindak
lanjut kriptorkismus. Bisa Urol Assoc J. 2017 Jul; 11 (7): E251-E260.
Rodprasert Wiwat, Helena E. Virtanen, Juho-Antti Mäkelä, Jorma Toppar. (2019).
Hypogonadism and Cryptorchidism. Journal Front Endocrinol (Lausanne). 2019; 10:
906. Published online 2020 Jan 15. doi: 10.3389/fendo.2019.00906.
Hutson John M, Bridget R Southwell, Ruili Li, Gabrielle Lie, Khairul Ismail, George
Harisis, Nan Chen. (2013). The regulation of testicular descent and the effects of
cryptorchidism. Endocrine Reviews, Volume 34, Issue 5, 1 October 2013, Pages 725–
752, https://doi.org/10.1210/er.2012-1089.
Foresta C, Zucarello D, Garolla A, Garolla A, Ferlin A. (2008). Role of Hormones, Genes,
and Environment in Human Cryptorchidism. The Endocrine Society. 2008:29(5):560-
580.
Luis H. Braga , Armando J. Lorenzo, Rodrigo LP Romao. (2017). Canadian Urological
Association-Pediatric Urologists of Canada (CUA-PUC) guideline for the diagnosis,
management, and followup of cryptorchidism. Can Urol Assoc J. 2017 Jul; 11(7):
E251–E260. Published online 2017 Jul 11. doi: 10.5489/cuaj.4585.
George Whitfield Holcomb, J. Patrick Murphy. (2009). Ashcraft’s pediatric surgery 5th ed.
Philadelphia: Sounders Elsevier.
Smith, Shawn C. (2019). Barriers to implementation of guidelines for the diagnosis and
management of undescended testis.  F1000 Reseach. 2019; 8: F1000 Faculty Rev-
326. Published online 2019 Mar 25. doi: 10.12688/f1000research.15532.1.

Anda mungkin juga menyukai