PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah AIDS,
memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta
orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan
berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara,
krisis ekonomi, penddikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS
menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respon dari
masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang
terinfeksi HIV. Individu yang terjangkit HIV ini biasanya adalah individu yang mendapat
darah atau produk darah yang terkontaminasi dengan HIV dan anak-anak yang dilahirkan
dari ibu yang menderita infeksi HIV.
AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubbinstein dan Amman pada
tahun 1983 di Amerika Serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada anak di Amerika makin
lama makin meningkat. Kasus infeksi HIV terbanyak pada orang dewasa maupun pada anak-
anak tertinggi didunia adalah di Afrika.
Dengan demikian, pada makalah ini akan dibahas mengenai infeksi HIV yang terjadi
pada anak-anak. Hal ini perlu dibahas agar dapat melakukan tindakan yang tepat pada anak-
anak yang terkena HIV, khususnya bagi pemberi perawatan agar laju pertumbuhan anak yang
terkena HIV/AIDS dapat dikurangi.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi HIV-AIDS
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat
menyebabkan AIDS. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang
tergolong familia retrovirus, sel sel darah putih yang diserang oleh HIV pada penderita yang
terinfeksi adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem imun (kekebalan)
tubuh. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan merusak sel-sel
tersebut, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh berangsur-
angsur menurun ( Daili, F.S. , 2009)
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala penyakit
karena menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Centers for
Disease Control (CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS ditujukan pada orang
yang mengalami infeksi opportunistik, dimana orang tersebut mengalami penurunan sistem
imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang) dan memiliki antibodi positif
terhadap HIV. Kondisi lain yang sering digambarkan meliputi kondisi demensia progresif,
“wasting syndrome”, atau sarkoma kaposi (pada pasien berusia lebih dari 60 tahun), kanker-
kanker khusus lainnya yaitu kanker serviks invasif atau diseminasi dari penyakit yang
umumnya mengalami lokalisasi misalnya, TB (Tubercolosis). (Doenges, 2000).
Acquired Immune Deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit
yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HIV ditemukan dalam
cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Virus
tersebut merusak kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya
tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi. (Nursalam, 2007).
2.2 Etiologi HIV-AIDS
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV dan saat ini telah diketahui dua tipe yaitu tipe
HIV-1 dan HIV-2.Infeksi yang terjadi sebagianbesar disebabkan oleh HIV-1, sedangkan
HIV-2 benyak terdapat di Afrika Barat. Gambaran klinis dari HIV-1 dan HIV-2 relatif sama,
hanya infeksi oleh HIV-1 jauh lebih mudah ditularkan dan masa inkubasisejak mulai infeksi
sampai timbulnya penyakit lebih pendek (Martono, 2006).HIV yang dahulu disebut virus
limpotrofik sel T manusia atau virus limfadenopati(LAV), adalah suatu retrovirusmanusia
sitopatikdari famili lentivirus. Retrovirusmengubah asamribonukleatnya(RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat(DNA) setelahmasuk ke dalam sel penjamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah
lentivirus sitopatik,dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia(Sylvia&
Wilson, 2005).
Ciri khas morfologi yang unik dari virus HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk
silindr is dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi
retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus
yang penting dalam pathogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein tat,
berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional
dari gen virus lainnya.Transaktivasi pada hiv sangat efisien untuk menentukan virulensi dari
infeksi HIV. Proteinrev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu
keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein nefmenginduksi produksi
khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).
2.3 Klasifikasi
Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang merupakan indicator AIDS
(kategori C) dan orang yang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap menderita
AIDS (Zuya Urahman, 2009).
1. Kategori Klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam
kategori klinis B dan C.
a. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.
b. Limpanodenopati generalisata yang persisten ( PGI : Persistent Generalized
Limpanodenophaty )
c. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) primer akut dengan sakit yang
menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.
2. Kategori Klinis B
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
a. Angiomatosis Baksilaris
b. Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal (peristen,frekuen / responnya jelek terhadap
terapi
c. Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in situ )
d. Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5° C ) atau diare lebih dari 1 bulan.
e. Leukoplakial yang berambut
f. Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda / terjadi pada lebih dari satu
dermaton saraf.
g. Idiopatik Trombositopenik Purpura
h. Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii
3. Kategori Klinis C
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
a. Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus
b. Kanker serviks inpasif
c. Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata
d. Kriptokokosis ekstrapulmoner
e. Kriptosporidosis internal kronis
f. Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )
g. Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )
h. Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
i. Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )
j. Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner )
k. Isoproasis intestinal yang kronis
l. Sarkoma Kaposi
m. Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
n. Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner
o. M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner )
p. Mycobacterium, spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner
q. Pneumonia Pneumocystic Cranii
r. Pneumonia Rekuren
s. Leukoenselophaty multifokal progresiva
t. Septikemia salmonella yang rekuren
u. Toksoplamosis otak
v. Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV)
2.4 Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa
dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat
pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen
grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan
banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam
usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman
ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA. DNA
ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi
infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan
oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari
sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu,
mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan
untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.
Menurunnya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif.
Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel
T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-
300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan
menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis
mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila
terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
2.5 Manifestasi Klinik
Menurut KPA (2007), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi)
dan gejala minor (tidak umum terjadi).
1. Gejala mayor:
Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala Minor
Batuk menetap lebih dari 1 bulan
Dermatitis generalisata
Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
Kandidias orofaringeal
Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat
menularkan virus kepada orang lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau
lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun
tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis
seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang
khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan
berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
2.7 WOC
(Terlampir)
2.10 Penatalaksanaan
A. Non Farmakologi
1. Fisik
Aspek fisik pada PHIV ( pasien terinfeksi HIV ) adalah pemenuhan kebutuhan
fisik sebagai akibat dari tanda dan gejala yang terjadi. Aspek perawatan fisik
meliputi :
a) Universal Precautions
Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi
sederhana yang digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua
pasien setiap saat, pada semua tempat pelayanan dalam rangka
mengurangi risiko penyebaran infeksi.
Selama sakit, penerapan universal precautions oleh perawat, keluraga,
dan pasien sendiri sangat penting. Hal ini di tunjukkan untuk mencegah
terjadinya penularan virus HIV.
Prinsip-prinsip universal precautions meliputi:
1) Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila mengenai
cairan tubuh pasien menggunakan alat pelindung, seperti sarung
tangan, masker, kacamata pelindung, penutup kepala, apron dan
sepatu boot. Penggunaan alat pelindung disesuakan dengan jenis
tindakan yang akan dilakukan.
2) Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan,
termasuk setelah melepas sarung tangan.
3) Dekontaminasi cairan tubuh pasien.
4) Memakai alat kedokteran sekali pakai atau mensterilisasi semua
alat kedokteran yang dipakai (tercemar).
5) Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan.
6) Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara
benar dan aman.
b) Peran perawat dan pemberian ARV
1) Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
(a) Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya resistensi.
(b) Meningkatkan efektivitas dan lebih menekan aktivitas virus. Bila
timbul efek samping, bisa diganti dengan obat lainnya, dan bila
virus mulai rasisten terhadap obat yang sedang digunakan bisa
memakai kombinasi lain.
A. Farmakologis :
Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV perlu
dilakukan. Pencegahan berarti tidak kontak dengan cairan tubuh yang tercemar HIV.
a. Pengendalian Infeksi Oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
di lingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien
AIDS yang jumlah sel T4 nya < 3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas sistem imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya.
Obat-obat ini adalah : didanosine, ribavirin, diedoxycytidine, dan recombinant CD 4
dapat larut.
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka
perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses
keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi
AIDS.
1) Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,
hindari stress, gizi yang kurang, alkohol dan obat-obatan yang mengganggu
fungsi imun.
2) Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
3 Komplikasi
a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
1. Kandidiasis oral
Kandidiasis oral adalah suatu infeksi jamur, hampir terdapat secara
universal pada semua penderita AIDS serta keadaan yang berhubungan dengan
AIDS. Infeksi ini umumnya mendahului infeksi serius lainnya. Kandidiasi oral
ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Tanda –
tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit serta
nyeri dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal). Sebagian pasien juga
menderita lesi oral yang mengalami ulserasi dan menjadi rentan terutama
terhadap penyebaran kandidiasis ke sistem tubuh yang lain.
2. Sarcoma Kaposi
Sarcoma Kaposi (dilafalkan KA- posheez), yaitu kelainaan malignitas
yang berkaitan dengan HIV yang sering ditemukan , merupakan penyakit yang
melibatkan lapisan endotil pembuluh darah dan limfe.
b. Neurologik
1. Kompleks dimensi AIDS karena serangan langsung HIV pada sel saraf,
berefek perubahan kepribadian, kerusakan, kemampuan motorik, kelemahan,
disfasia, dan isolasi sosial. Sebagian basar penderita mula-mula mengeluh
lambat berpikir atau sulit berkonsentrasi dan memusatkan perhatian. Penyakit
ini dapat menuju dimensia sepenuhnya dengan kelumpuhan pada stadium
akhir. Tidak semua penderita mencapai stadium akhir ini.
2. Enselophaty akut karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ ensefalitis. Dengan efek sakit kepala,
malaise, demam, paralise total/ parsial.
Ensefalopati HIV. Disebut pula sebagai kompleks demensia AIDS (ADC;
AIDS dementia complex), ensefalopati HIV terjadi sedikitnya pada dua pertiga
pasien –pasien AIDS. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai oleh
penurunan progresif pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik. Tanda –tanda
dan gejalanya dapat samar- samar serta sulit dibedakan dengan kelelahan,
depresi atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi
3. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan menarik
endokarditis.
4. Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV dengan disertai rasa
nyeri serta patirasa pada akstremitas, kelemahan, penurunan refleks tendon yang
dalam, hipotensi orthostatik dan impotensi.
c. Gastrointestinal
1. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma dan
sarkoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
2. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam
atritik.
3. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal
dan diare.
d. Respirasi
Infeksi karena pneumocystic carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloidiasis dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan gagal nafas.
e. Dermatologi
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis , reaksi otot,
lesi scabies, dan dekopitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder dan sepsis.
f. Sensorik
1. Pandangan: Sarkoma kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan.
2.Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri.