Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MATAKULIAH GEOTHERMAL

“SISTEM PANAS BUMI”

Oleh:
Ayu Wulansari Pramita
26020214140077

Dosen Pengampu:
Baskoro Rochaddi, Ir. MT
196503131992031001

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG

2017
I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar karena menjadi salah satu

negara yang dilewati oleh cincin api (ring of fire). Sekitar 40% atau 29.000 MW total panas

bumi dunia berada di Indonesia karena Indonesia adalah negara yang memiliki potensi

gunung api yang tinggi (Wahyuni, 2012). Di samping Indonesia mempunyai banyak gunung

berapi yang aktif, lahar yang dikeluarkan dari gunung berapi tersebut juga dapat

menyuburkan tanah. Maka tidak heran apabila Indonesia mempunyai tanah yang sangat subur

akibat lahar vulkanik yang dikeluarkan oleh gunung berapi saat meletus. Tanah yang subur

akibat lahar vulkanik yang dikeluarkan dari gunung berapi ini sangat cocok dengan iklim

Indonesia yang beriklim tropis.

Panas bumi (Geothermal) adalah sumber daya alam berupa air panas atau uap yang

terbentuk di dalam reservoir bumi melalui pemanasan air bawah permukaan oleh batuan

panas. Sistem panas bumi merupakan salah satu sistem yang terjadi dalam proses geologi

yang berjalan dalam orde ratusan bahkan jutaan tahun yang dewasa ini membawa manfaat

bagi manusia baik dimanfaatkan dengan menjadikan manifestasi untuk pariwisata maupun

pemanfaatannya untuk pertanian dan peternakan (Winarsih, 2014).

Secara umum pemanfaatan daerah panas bumi di Indonesia belum dilakukan secara

maksimal. Padahal beberapa negara telah memanfaatkan panas bumi untuk sektor non-listrik,

antara lain untuk pemanasan ruangan, pemanasan air, pemanasan rumah kaca, pengeringan

hasil produk pertanian, pemanasan tanah, pengeringan kayu, dan kegiatan lainya. Dengan

potensi yang dimiliki Indonesia pemanfaatan panas bumi bisa lebih ditingkatkan agar lebih

bermanfaat. Salah satunya adalah sebagai sumber energi alternatif yaitu energi panas bumi.

Sistem panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistem hidrothermal yang

mempunyai temperatur tinggi (>225oC), hanya beberapa diantaranya yang mempunyai


temperatur sedang (150‐225oC). Pada dasarnya Sistem panas bumi jenis hidrothermal

terbentuk sebagai hasil perpindahan panas dari suatu sumber panas ke sekelilingnya yang

terjadi secara konduksi dan secara konveksi. Perpindahan panas secara konduksi terjadi

melalui batuan, sedangkan perpindahan panas secara konveksi terjadi karena adanya kontak

antara air dengan suatu sumber panas.


II. ISI

II.1. Sistem Panas Bumi

Sumber panas bumi berasal dari distribusi suhu dan energi panas di bawah permukaan

bumi. Sumber panas di bawah permukaan ini berasal dari intrusi magma yang menerobos ke

permukaan. Magma ini terbentuk karena tumbukan antar lempeng, lempeng-lempeng ini

bergerak secara perlahan-lahan dan menerus. Karena panas di dalam astenosfer dan panas

akibat gesekan, ujung dari lempengan tersebut hancur meleleh dan mempunyai temperatur

tinggi seperti Gambar 1 (proses magmatisasi).

Gambar 1. Proses magmatisasi karena tumbukan antar lempeng (Anonim, 2013)

Pada dasarnya sistem panas bumi terbentuk sebagai hasil perpindahan panas dari suatu

sumber panas ke sekelilingnya yang terjadi secara konduksi dan secara konveksi.

Perpindahan panas secara konduksi terjadi melalui batuan, sedangkan perpindahan panas

secara konveksi terjadi karena adanya kontak antara air dengan suatu sumber panas.

Pada Gambar 2 memperlihatkan model konseptual panasbumi seperti rekahan dan

patahan yang terdapat di permukaan membuat air dapat masuk ke dalam pori-pori batuan. Air

ini lalu menembus ke bawah maupun ke samping selama ada celah untuk air dapat mengalir.

Ketika air samapai ke sumber panas (heat source) maka temperatur air akan meningkat, maka

air akan menguap sebagian dan sebagian lagi akan tetap menjadi air dengan suhu yang tinggi.

Fluida panas ini mentransfer panas ke batuan sekitar dengan proses konveksi, jika temperatur

meningkat maka akan mengakibatkan bertambahnya volume dan juga tekanan.


Gambar 2. Model konseptual Sistem Panasbumi (Putrohari, 2009)

Fluida panas akan menekan batuan sekitarnya untuk mencari celah atau jalan keluar dan

melepaskan tekanan. Karena tekananya lebih tinggi dibandingkan tekanan di permukaan

maka fluida akan bergerak naik melalui celah-celah. Fluida tersebut akan keluar sebagai

manifestasi permukaan. Bisa dikatakan bahwa dengan adannya pemunculan beberapa

manifestasi terdapat sistem panasbumi dibawah permukaan daerah sekitar tempat

pemunculan manifestasi-manifestasi seperti mata air panas, kubangan lumpur panas (mud

pools), geyser dan manifestasi panasbumi lainnya. Sercara garis besar sistem panas bumi

dikontrol oleh adanya sumber panas (heat source), batuan reservoir, lapisan penutup,

keberadaan struktur geologi dan daerah resapan air (Suharno, 2010).

II.2. Pembentukan Sistem Panas Bumi

Indonesia memiliki lingkaran sabuk gunung api yang membentang lebih dari 7000 km,

sehingga memiliki potensi panas bumi yang besar (Gaffar et al., 2007: 98). Sistem panas

bumi secara umum terbentuk karena interaksi lempeng tektonik yang mengapung di atas

astenosfer. Lempeng-lempeng tektonik terusmenerus bergerak secara perlahan. Menurut

Saptadji (2009: 2), lempeng tektonik bergerak memisah di beberapa tempat, sementara di

beberapa tempat lainnya lempeng tektonik saling mendorong dan salah satu diantaranya akan

menunjam ke bawah lempeng lainnya. Ujung lempeng tektonik yang menunjam akan hancur
dan meleleh akibat panas dalam lapisan astenosfer dan panas akibat mengalami gesekan

dalam proses magmatisasi.

Subduksi kerak samudra (Indo-Australia) di bawah kerak benua (Eurasia) menghasilkan

magma yang naik ke permukaan dan membentuk busur vulkanik sepanjang Pulau Jawa

(Utama et al., 2012). Magma dengan densitas rendah yang terbentuk pada proses magmatisasi

akan mendorong batuan yang menutupinya. Tekanan dan suhu magma mengontrol proses

pergerakan tersebut. Tekanan berkurang secara perlahan ketika magma mengintrusi batuan.

Magma yang sampai ke permukaan mengalami pendinginan dengan cepat membentuk kerak

batuan. Bagian bawah kerak batuan tetap cair dan panas serta tidak bisa menerobos sampai

kepermukaan. Magma yang terperangkap mengalami proses pendinginan yang lambat. Proses

pendinginan magma tersebut dapat mencapai ratusan bahkan ribuan tahun, sehingga panas

dari magma tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber panas bumi (Yunginger et al.,

2012).

Sistem panas bumi dapat digambarkan sebagai konveksi fluida pada kerak bumi teratas

di mana dalam ruang terperangkap, transfer panas dari sumber panas (heat source) ke

penyimpan panas dalam keadaan permukaan yang bebas (free surface). Sistem panasbumi

sendiri umumnya dibangun atas lima elemen utama, yaitu heat source, reservoar, lapisan

penudung, recharge area yang biasanya merupakan patahan dan terakhir adalah fluida yang

merupakan pembawa panas seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Sistem panasbumi (Dickson, 2004)


Air hujan akan merembes ke dalam tanah melalui saluran pori-pori atau rongga di antara

butir-butir batuan, sehingga air dengan leluasa menerobos turun ke batuan panas (hot rock),

akibatnya temperatur air meningkat, volume air bertambah dan tekanan jadi naik. Tekanan

yang terus meningkat menyebabkan air panas naik ke atas melalui celah, retakan dan pori-

pori yang berhubungan di dalam permukaan.

II.3. Komponen Sistem Panas Bumi

Menurut Goff & Janik (2000) komponen sistem panas bumi yang lengkap terdiri dari

tiga komponen utama, yaitu adanya batua reservoar yang permeable, adanya air yang

membawa panas, dan sumber panas itu sendiri. Komponen-komponen tersebut saling

berkaitan dan membentuk sistem yang mampu mengantarkan energi panas dari bawah

permukaan hingga ke permukaan bumi. Sistem ini bekerja dengan mekanisme konduksi dan

konveksi (Hochstein & Brown, 2000).

II.3.1. Sumber Panas

Sumber panas dari suatu sistem hidrotermal umumnya berupa tubuh intrusi magma.

Namun ada juga sumber panas hidrotermal yang bukan berasal dari batuan beku. Panas dapat

dihasilkan dari peristiwa uplift basement rock yang masih panas, atau bisa juga berasal dari

sirkulasi air tanah dalam yang mengalami pemanasan akibat adanya perlipatan atau patahan.

Perbedaan sumber panas ini akan berimplikasi pada perbedaan suhu reservoar panasbumi

secara umum, juga akan berimplikasi pada perbedaan sistem panas bumi.

II.3.2. Batuan Reservoir

Batuan reservoar adalah batuan yang dapat menyimpan dan meloloskan air dalam

jumlah yang signifikan karena memiliki porositas dan permeabilitas yang cukup baik.

Keduanya sangat berpengaruh terhadap kecepatan sirkulasi fluida. Batuan reservoar juga

sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dari fluida hidrotermal. Sebab fluida
hidrotermal akan mengalami reaksi dengan batuan reservoir yang akan mengubah kimiawi

dari fluida tersebut. Nicholson (1993) menjelaskan bahwa batuan vulkanik, sedimen klastik,

dan batuan karbonat umumnya akan menghasilkan fluida hidrotermal dengan karakter kimia

yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.

II.3.3. Fluida

Nicholson (1993) menyebutkan ada 4 (empat) macam asal fluida fluida panasbumi,

yaitu: (1) air meteorik atau air permukaan, yaitu air yang berasal dari presipitasi atmosferik

atau hujan, yang mengalami sirkulasi dalam hingga beberapa kilometer. (2) Air formasi atau

connate water yang merupakan air meteorik yang terperangkap dalam formasi batuan

sedimen dalam kurun waktu yang lama. Air connate mengalami interaksi yang intensif

dengan batuan yang menyebabkan air ini menjadi lebih saline. (3) Air metamorfik yang

berasal dari modifikasi khusus dari air connate yang berasal dari rekristalisasi mineral

hydrous menjadi mineral yang kurang hydrous selama proses metamorfisme batuan. (4) Air

magmatik, Ellis & Mahon (1977) membagi fluida magmatik menjadi dua jenis, yaitu air

magmatik yang berasal dari magma namun pernah menjadi bagian dari air meteorik dan air

juvenile yang belum pernah menjadi bagian dari meteorik.

II.4. Klasifikasi Sistem Panas Bumi

Terdapat berbagai klasifikasi sistem panas bumi yang diajukan oleh berbagai peneliti.

Umumnya pembagian klasifikasi sistem panas bumi didasarkan pada beberapa aspek seperti

asal fluida, suhu fluida di reservoar dan jenis sumber panas.

II.4.1. Asal Fluida

Pembagian berdasarkan asal fluida ini disampaikan oleh Ellis & Mahon (1977). Mereka

membagi sistem panas bumi menjadi cyclic system dan storage system.
1. Cyclic system yaitu apabila suatu fluida hidrotermal berasal dari air meteorik yang

mengalami infiltrasi dan masuk jauh ke bawah permukaan, kemudian terpanaskan,

dan bergerak naik ke permukaan sebagai fluida panas. Pada sistem ini, air meteorik

mengalami recharge dari hujan dan infiltrasi, sehingga siklus sistem berjalan terus

menerus.

2. Storage System terbentuk apabila air tersimpan pada batuan dalam skala waktu

geologi yang cukup lama dan terpanaskan secara insitu, baik sebagai fluida dalam

formasi maupun sebagai air dari proses hidrasi pada mineral. Storage system ini

dibagi berdasarkan host atau batuan tempat tersimpannya fluida tersebut, menjadi: (1)

Sedimentary basin system dimana fluida diperoleh saat sedimen terendapkan.

Salinitas pada air yang dihasilkan oleh air formasi ini umumnya lebih tinggi

dibanding salinitas pada air magmatik. Selain itu, air yang berasal dari air laut ini juga

akan mengakibatkan komponen ion klorida pada air formasi yang mengalami

pemanasan akan meningkat. (2) Metamorphic system dimana air berasal dari

pelepasan H2O saat proses metamorfisme batuan sedimen asal laut berjalan (White et

al, 1973 dalam Ellis & Mahon, 1997).

II.4.2. Suhu Reservoir

Terdapat beberapa standar yang berbeda dalam menentukan klasifikasi berdasarkan suhu

reservoar ini. Goff & Janik (2000) dan Nicholson (1993) mengklasifikasikan suhu reservoar

<150˚C sebagai sistem bertemperatur rendah, sedangkan reservoar dengan suhu ≥150˚C

diklasifikasikan sebagai sistem bersuhu rendah. Nicholson (1993) membagi lagi sistem

bersuhu tinggi menjadi liquid dominated dan vapor dominated sistem berdasarkan fase fluida

yang dominan pada batuan reservoir (dapat dilihat pada gambar 4 dan gambar 5).
Gambar 4. Konseptual model untuk sistem panasbumi yang didominasi oleh fase cair atau

liquid dominated system (Nicholson, 1993)

Gambar 5. Konseptual model untuk sistem panasbumi yang didominasi oleh fase gas vapor

dominated system (Nicholson, 1993)

Sedangkan Hochstein & Browne (2000) membagi sistem panasbumi menjadi tiga yaitu

suhu rendah, sedang (intermediate) dan tinggi. Sistem bersuhu rendah memiliki temperatur

reservoar <125˚C, sistem bersuhu sedang memiliki rentang temperatur reservoar antara 125 -

225˚C, sedangkan sistem bersuhu tinggi memiliki suhu reservoir >225˚C.

II.4.3. Jenis Sumber Panas

Secara umum terdapat dua jenis heat source yang dikenal dalam system panas bumi

seperti yang dipaparkan Nicholson (1993), yaitu volcanogenic dan non-volcanogenic.

Perbedaan penyebutan sistem yang merujuk pada sistem yang sama antara lain, Ellis &

Mahon (1977) menyebutnya sebagai high-T system associated with recent volcanic dan high-
T system in tectonically active non-volcanic area. Serta Goff & Janik (2000) yang

menyebutnya sebagai young volcanic model dan tectonic model.

1. Volcanogenic System, sistem hidrotermal yang sumber panasnya berasal dari aktivitas

magma. Intrusi magma yang bersifat andesitik, umumnya membentuk geometri

intrusi dengan diameter kecil namun secara vertikal dekat dengan permukaan.

Sedangkan magma yang bersifat asam, umumnya memiliki tubuh yang berdiameter

lebar, namun secara vertikal jauh di bawah permukaan. Hochstein & Browne (2000)

membagi sistem volcanogenic berrelief tinggi menjadi tiga sistem berdasarkan fase

fluida di reservoar. Yaitu liquid dominated system (Gambar 6), yang terbentuk jika

permeabilitas batuan di reservoar tinggi, sedangkan permeabilitas batuan di recharge

area sedang. Natural two-phase system (Gambar 7), terjadi jika permeabilitas di

reservoar maupun di recharge area sedang. Serta vapor dominated system apabila

permeabilitas batuan reservoar tinggi, namun permeabilitas batuan sekitar rendah.

Gambar 6. Model konseptual untuk sistem panasbumi liquid dominated berrelief

tinggi menurut Hochstein & Browne (2000)

Sistem volcanogenic berrelief rendah umumnya terbentuk pada magma yang bersifat

asam, yang menghasilkan erupsi eksplosif sehingga membentuk kaldera yang luas

(Gambar 4). Selain itu, sistem volcanogenic juga dapat dihasilkan oleh proses rifting

pada batas antar lempeng yang saling menjauh (Gambar 8). Pada setting tektonik ini,

magma yang terbentuk umumnya bersifat basaltic, fluida hidrotermal berasal dari
magma serta infiltrasi dari punggungan di sisi rift. Sistem volcanogenic tidak

selamanya menghasilkan suhu yang tinggi, pada beberapa sistem seperti di Horohoro

dan Atiamuri, Selandia Baru yang merupakan sistem vulkanik namun bersuhu sedang

(Hochstein & Browne, 2000).

2. Non-volcanogenic system, ialah sistem hidrotermal yang sumber panasnya tidak

berkaitan dengan aktivitas vulkanisme. Nicholson (1993) menjelaskan bahwa panas

pada sistem ini dapat dihasilkan dari peristiwa uplift basement rock yang masih panas,

atau bisa juga berasal dari sirkulasi air tanah dalam yang mengalami pemanasan

akibat adanya perlipatan atau patahan, serta adanya panas residual pada batuan beku

pluton. Sistem ini dapat menghasilkan fluida dengan temperatur tinggi hingga rendah.

Gambar 7. Model konseptual yang sudah disederhanakan untuk sistem panas bumi

yang memiliki dua fase fluida pada reservoarnya (natural two-phase system)
Gambar 8. Model konseptual untuk sistem panasbumi yang fluidanya didominasi

oleh fase gas (vapor dominated system) di komples gunungapi relief tinggi, dimana

terdapat lapisan kondensat pada bagian atas dari reservoir

Sistem yang berkaitan dengan batuan beku intrusif umumnya berada pada setting

tektonik di batas antar lempeng. Hochstein dan Browne (2000) menjelaskan beberapa

setting tektonik yang berkaitan dengan sistem panasbumi ini yaitu kolisi antar

lempeng dan zona fracture. Pada setting tektonik kolisi, suhu yang terbentuk pada

reservoar bervariasi dari tinggi hingga rendah. Umumnya anomali panas dihasilkan

dari batuan kerak yang panas akibat aktivitas kolisi tersebut. Sedangkan pada fracture

zone system (Gambar 11), fluida berasal dari air meteorik yang mengalami sirkulasi

hingga ke bagian dalam dan berkontak dengan batuan intrusi seperti granit yang

masih memiliki panas. Fluida tersebut kemudian bergerak naik melewati zona fracture

yang memberikan permeabilitas tinggi sehingga air mempu bergerak naik ke

permukaan.

Gambar 9. Model konseptual untuk sistem panasbumi di daerah rifting kerak benua.

Model dibuat berdasarkan pada sistem danau di Tanzania utara, Kenya dan Ethiopia.

Goff & Janik (2000) menjelaskan adanya tectonic model yang merupakan konseptual

model dari sistem geotermal yang terletak di lingkungan tektonik ekstensi (Gambar

12). Pada zona ekstensi, seperti pada zona rifting, terjadi penipisan kerak akibat

adanya stretching pada kerak yang saling menjauh. Penipisan ini mengakibatkan
batuan mantel menjadi lebih dekat ke permukaan yang menghasilkan gradien

temperatur yang lebih besar serta adanya anomali aliran panas pada zona-zona sesar

turun. Adanya sirkulasi dalam yang menuju graben menjadi suplai fluida yang akan

terpanaskan dan terakumulasi pada reservoar, kemudian bergerak ke permukaan

melewati zona permeabel dari sesar-sesar tersebut.

Gambar 10. Model konseptual untuk sistem panasbumi yang berkaitan dengan

batuan beku intrusive pada zona fracture

Gambar 11. Model konseptual untuk sistem panasbumi akibat setting tektonik

Nicholson (1993) memberikan contoh lain sistem panasbumi yang tidak berkaitan

langsung dengan proses magmatisme yang disebut geopressured system. Panas pada

sistem ini dihasilkan oleh tekanan bebatuan itu sendiri. Sistem ini umumnya memiliki

suhu yang rendah. Pada sistem ini air yang berkontribusi umumnya berupa connate

water yang terperangkap dalam batuan sedimen sehingga menghasilkan fluida yang

bersifat klorida dan sangat saline atau disebut brine water.


II.5. Jenis Sistem Panas Bumi

Hochstein dan Browne, (2000) mengkategorikan sistem panas bumi menjadi tiga sistem,

yaitu :

1. Sistem hidrotermal, merupakan proses transfer panas dari sumber panas ke

permukaan secara konveksi, yang melibatkan fluida meteoric dengan atau tanpa jejak

dari fluida dari magmatic. Daerah rembesan berfasa cair dilengkapi air meteoric yang

berasal dari daerah resapan. Sistem ini terdiri atas : sumber panas, reservoir dengan

fluida panas, daerah resapan dan daerah rembesan panas berupa manifestasi.

2. Sistem vulkanik, merupakan proses transfer panas dari dapur magma ke permukaan

melibatkan konveksi fluida magma. Pada sistem ini jarang ditemukan adanya fluida

meteoric.

3. Sistem vulkanik-hidrotermal, merupakan kombinasi dua sistem di atas, yang diwakili

dengan air magmatik yang naik kemudian bercampur dengan air meteorik.

Temperatur suatu sistem panasbumi diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan tempratur

reservoir:

 Tinggi (temperatur reservoir lebih besar dari 225 oC).

 Sedang/intermediet (temperatur reservoir 125 oC hingga 225 oC).

 Rendah (tempratur reservoir lebih kecil dari 125 oC).

Sedangkan berdasarkan fase fluida di dalam reservoir, sistem panasbumi terbagi menjadi

2 (Saptadji, 2011), yaitu :

a. Single Phase System

Reservoir megandung air panas dengan temperatur sekitar 90 oC hingga 180 oC dan

tidak ada pendidihan yang terjadi di reservoir. Reservoir pada sistem ini termasuk

sistem panasbumi bertemperatur rendah. Jika reservoir ini dibor, maka yang keluar

berupa air karena rekahannya masih sangat tinggi.


b. Two Phase System

 Vapour Dominated System

Merupakan sistem tertutup dimana sangat sedikit rechargeable water, air bisa

meresap namun sangat lama akibat berputar-putar di reservoir dan tidak ada

outflow sehingga mengkibatkan adanya arus konveksi. Hal ini lama-kelamaan

akan mengkibatkan batuan reservoir menjadi homogen dan temperatur

maupun tekanan fluida menjadi relatif konstan seperti pada Gambar 12. Fluida

di reservoir yang didominasi oleh uap akibat temperatur dan tekanan yang

sangat tinggi, menghasilkan manifestasi berupa fumarol dan acid hot spring.

Gambar 12. Kondisi hidrologi dari sistem dominasi uap (Simmons, 1998)

 Water Dominated System

Merupakan sistem terbuka yang mana terdapat rechargeable water. Reservoir

mengadung air dan uap namun lebih didominasi oleh air. Pada sistem ini

terdapat outflow sehingga jenis manifestasinya lebih beragam. Adanya

outflow dan rechargeable water membuat energi terlepas sehingga temperatur

dan tekanan di reservoir berubah seiring dengan kedalamnya. Semakin dalam

kedalamnya maka semakin tinggi tekanannya seperti di Gambar 13.

Sedangkan temperatur di reservoir memiliki gradien panasbumi yang sangat


kecil. Di atas reservoir terjadi arus konduksi sama seperti sistem vapour

dominated.

Gambar 13. Kondisi hidrologi dari sistem dominasi air (Simmons, 1998)

II.6. Energi Panas Bumi di Indonesia

Di Indonesia usaha pencarian sumber energi panasbumi pertama kali dilakukan di daerah

Kawah Kamojang pada tahun 1918. Pada tahun 1926 hingga tahun 1929 lima sumur

eksplorasi dibor dimana sampai saat ini salah satu dari sumur tersebut, yaitu sumur KMJ ‐3

masih memproduksikan uap panas kering atau dry steam. Pecahnya perang dunia dan perang

kemerdekaan Indonesia mungkin merupakan salah satu alasan dihentikannya kegiatan

eksplorasi di daerah tersebut.

Kegiatan eksplorasi panas bumi di Indonesia baru dilakukan secara luas pada tahun

1972. Dari hasil survey dilaporkan bahwa di Indonesia terdapat 217 prospek panasbumi, yaitu

di sepanjang jalur vulkanik mulai dari bagian Barat Sumatera, terus ke Pulau Jawa, Bali,

Nusatenggara dan kemudian membelok ke arah utara melalui Maluku dan Sulawesi. Survey

yang dilakukan selanjutnya telah berhasil menemukan beberapa daerah prospek baru

sehingga jumlahnya meningkat menjadi 256 prospek, yaitu 84 prospek di Sumatera, 76

prospek di Jawa, 51 prospek di Sulawesi, 21 prospek di Nusatenggara, 3 prospek di Irian, 15

prospek di Maluku dan 5 prospek di Kalimantan. Sistem panas bumi di Indonesia umumnya
merupakan Sistem hidrothermal yang mempunyai temperatur tinggi (>225 oC), hanya

beberapa diantaranya yang mempunyai temperatur sedang (150‐225 oC).

Terjadinya sumber energi panasbumi di Indonesia serta karakteristiknya dijelaskan oleh

Budihardi (1998) sebagai berikut. Ada tiga lempengan yang berinteraksi di Indonesia, yaitu

lempeng Pasifik, lempeng India‐Australia dan lempeng Eurasia. Tumbukan yang terjadi

antara ketiga lempeng tektonik tersebut telah memberikan peranan yang sangat penting bagi

terbentuknya sumber energy panas bumi di Indonesia.

Tumbukan antara lempeng India‐Australia di sebelah selatan dan lempeng Eurasia di

sebelah utara mengasilkan zona penunjaman (subduksi) di kedalaman 160 ‐ 210 km di bawah

Pulau Jawa‐ Nusatenggara dan di kedalaman sekitar 100 km (Rocks et. al, 1982) di bawah

Pulau Sumatera. Hal ini menyebabkan proses magmatisasi di bawah Pulau Sumatera lebih

dangkal dibandingkan dengan di bawah Pulau Jawa atau Nusatenggara. Karena perbedaan

kedalaman jenis magma yang dihasilkannya berbeda. Pada kedalaman yang lebih besar jenis

magma yang dihasilkan akan lebih bersifat basa dan lebih cair dengan kandungan gas

magmatic yang lebih tinggi sehingga menghasilkan erupsi gunung api yang lebih kuat yang

pada akhirnya akan menghasilkan endapan vulkanik yang lebih tebal dan terhampar luas.

Oleh karena itu, reservoir panas bumi di Pulau Jawa umumnya lebih dalam dan menempati

batuan volkanik, sedangkan reservoir panas bumi di Sumatera terdapat di dalam batuan

sedimen dan ditemukan pada kedalaman yang lebih dangkal.

Sistem panas bumi di Pulau Sumatera umumnya berkaitan dengan kegiatan gunung api

andesitisriolitis yang disebabkan oleh sumber magma yang bersifat lebih asam dan lebih

kental, sedangkan di Pulau Jawa, Nusatenggara dan Sulawesi umumnya berasosiasi dengan

kegiatan vulkanik bersifat andesitis‐basaltis dengan sumber magma yang lebih cair.

Karakteristik geologi untuk daerah panas bumi di ujung utara Pulau Sulawesi

memperlihatkan kesamaan karakteristik dengan di Pulau Jawa.


Akibat dari sistem penunjaman yang berbeda, tekanan atau kompresi yang dihasilkan

oleh tumbukan miring (oblique) antara lempeng India‐Australia dan lempeng Eurasia

menghasilkan sesar regional yang memanjang sepanjang Pulau Sumatera yang merupakan

sarana bagi kemunculan sumbersumber panas bumi yang berkaitan dengan gunung‐gunung

api muda. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa sistem panas bumi di Pulau Sumatera

umumnya lebih dikontrol oleh sistem patahan regional yang terkait dengan sistem sesar

Sumatera, sedangkan di Jawa sampai Sulawesi, sistem panas buminya lebih dikontrol oleh

sistem pensesaran yang bersifat lokal dan oleh sistem depresi kaldera yang terbentuk karena

pemindahan masa batuan bawah permukaan pada saat letusan gunung api yang intensif dan

ekstensif. Reservoir panas bumi di Sumatera umumnya menempati batuan sedimen yang

telah mengalami beberapa kali deformasi tektonik atau pensesaran setidak‐tidaknya sejak

Tersier sampai Resen. Hal ini menyebabkan terbentuknya porositas atau permeabilitas

sekunder pada batuan sedimen yang dominan yang pada akhirnya menghasilkan

permeabilitas reservoir panas bumi yang besar, lebih besar dibandingkan dengan

permeabilitas reservoir pada lapangan‐lapangan panas bumi di Pulau Jawa ataupun di

Sulawesi.
III. PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

1. Panas bumi (Geothermal) adalah sumber daya alam berupa air panas atau uap yang

terbentuk di dalam reservoir bumi melalui pemanasan air bawah permukaan oleh

batuan panas. Sumber panas bumi berasal dari distribusi suhu dan energi panas di

bawah permukaan bumi. Sumber panas di bawah permukaan ini berasal dari intrusi

magma yang menerobos ke permukaan.

2. Sistem panas bumi dikontrol oleh adanya sumber panas (heat source), batuan

reservoir, lapisan penutup, keberadaan struktur geologi dan daerah resapan air.

3. Berdasarkan fase fluida di dalam reservoir, sistem panas bumi terbagi menjadi dua

yaitu single phase system dan two phase system (vapour dominated system dan water

dominated system).
DAFTAR PUSTAKA

Agung, L. 2009. Pemodelan Sistem Geothermal Dengan Menggunakan Metode


Magnetotellurik Di Daerah Tawu, Sabah, Malaysia. Universitas Indonesia, Jakarta.

Aribowo, Y. 2011. Prediksi Temperatur Reservoar Panas bumi dengan Menggunakan


Metoda Geotermometer Kimia Fluida. TEKNIK – Vol. 32 No.3, 234-236.

Herdianita, N.R. dan Priadi, B. 2006. Manifestasi Permukaan Sistem Panas bumi Gunung
Kendang – Angsana, Garut – Pameungpeuk, Jawa Barat. Jurnal Geoaplika (2006)
Volume 1, Nomor 1, hal. 047 – 054.

Herdianita, N.R. 2012. Survei Geokimia Panas Bumi. Diklat Survei Pendahuluan Panas
Bumi, Bandung 10-14 September 2012.

Hochstein, M.P. dan Browne, P.R.L. 2000. Surface Manifestation of Geothermal Systems
with Volcanic Heat Sources. In Encyclopedia of Volcanoes, H.Sigurdsson, B.F.
Houghton, S.R. McNutt, H. Rymer dan J. Stix (eds.), Academic Press.

Hochstein, M.P., dan Sudarman, S. 2008. History of Geothermal Exploration in Indonesia


from 1970 to 2000. Geothermics, Vol. 37, hal. 220-266.

Hutapea, F. 2010. Eksplorasi Panas Bumi Dengan Metode Geofisika Dan Geokimia Pada
Daerah Bonjol, Kabupaten Pasaman-Sumatra Barat. Intitut Teknologi Bandung,
Bandung.

Nicholson, K. 1993. Geothermal Fluids Chemistry And Exploration Techniques. Springer-


Verlag, Berlin.

Simmons, S.F. 1998. Geochemistry Lecture Note 1998. University of Auckland, Auckland.

Simpson, F. dan Bahr, K. 2005. Practical Magnetotellurics. Cambridge University Press,

Cambridge.

Anda mungkin juga menyukai