Anda di halaman 1dari 13

1.

Masalah Utama
Prilaku kekerasan

2. Proses Terjadinya Masalah


a. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai
amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Farida & Yudi, 2011).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain dan
lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika Sari, 2015)
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah tidak memiliki tujuan khusus,
tapi lebih merujuk pada suatu perangkat perasaan – perasaan tertentu yang biasanya
disebut dengan perasaan marah (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka perilaku
kekerasan dapat di lakukan secara verbal, di arahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang
berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan (Dermawan dan Rusdi,
2013).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan
adalah suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak sesuai dimana seseorang melakukan
tindakan-tindakan yang dapat membayangkan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan
merusak lingkungan.

b. Rentang Respon Marah


Respon kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif maladaptif, seperti
rentang respon kemarahan di bawah ini (Yosep, 2007).
Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk / PK

1) Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain, akan memberi kelegaan pada individu
dan tidak akan menimbulkan masalah.
2) Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena yang
tidak realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan. Dalam keadaan ini
tidak ditemukan alternatif lain. Selanjutnya individu merasa tidak mampu
mengungkapkan perasaan dan terlihat pasif.
3) Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klien tampak
pemalu, pendiam, sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa kurang
mampu.
4) Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk
bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontol, perilaku yang tampak
dapat berupa : muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.
5) Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol
diri. Individu dapat merusak diri sendiri orang lain dan lingkungan.
c. Faktor Predisposisi
1) Faktor psikologis
a) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi perilaku kekerasan.
b) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang tidak
menyenangkan.
c) Rasa frustasi.
d) Adanya kekerasan dalam rumah, keluarga, atau lingkungan.
e) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan
rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep
diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise
yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya.
Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya
harga diri pelaku tindak kekerasan.
f) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologik dipengaruhi oleh contoh peran eksternal
dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.
2) Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut Bandura
bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Faktor ini dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan
maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi marah yang
dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan
sebagai cara penyelesaiannya masalah perilaku kekerasan merupakan faktor
predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
3) Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya stimulus elektris ringan pada
hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif, dimana jika
terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk
pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indra penciuman dan
memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak
menyerang objek yang ada di sekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut
a) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon
agresif.
b) Pengaruh biokimia bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,
dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen dan norepinefrin serta
penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan
faktor predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
c) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya dengan
genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh
penghuni penjara tindak kriminal (narapidana)
d) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai gangguan
serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal) trauma otak,
apenyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
d. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injury
secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor pencetus perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut.
a) Klien
Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh dengan
agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b) Interaksi
Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, merasa terancam baik
internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
c) Lingkungan
Panas, padat, dan bising.
Menurut Fitria (2009), hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau
penganiayaan antara lain sebagai berikut.
a) Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
b) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
c) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya dalam
menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.
d) Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat dan
alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.
e) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
e. Manifestasi Klinis
Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku kekerasanterdiri dari :
1) Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah
dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2) Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar,
ketus
3) Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
1. Masalah Utama
Defisit perawatan diri
2. Proses terjadinya masalah
a. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan
jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk
melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri terlihat dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri antaranya mandi, makan minum secara
mandiri, berhias secara mandiri, toileting (BAK/BAB) (Damaiyanti, 2012)
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam : kebersihan diri, makan,
berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau kecil sendiri (toileting)
(Keliat B. A, dkk, 2011).
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan iwa kronis sering mengalami ketidakpedulian
merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan
pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun masyarakat (Yusuf, Rizky &
Hanik,2015:154)
Dapat disimpulkan bahwa Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan
jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk
melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri diantaranya mandi, makan dan minum secara
mandiri, berhias secara mandiri, dan toileting.
b. Rentang Respon

Adatif maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan diri Tidak melakukan


diri seimbang kadang tidak perawatan diri
pada saat stres
Pola perawatan diri seimbang: saat pasien mendapatkan stressor dan mampu ntuk
berperilaku adatif maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
melakukan perawatan diri
1) Kadang melakukan perawatan diri kadang tidak: saat pasien mendapatan stressor
kadang-kadang pasien tidak menperhatikan perawatan dirinya
2) Tidak melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak perduli dan tidak bisa
melakukan perawatan saat stresso (Ade, 2011)
c. Faktor Prediposisi
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi
lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
d. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu
sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000), Faktor–faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
1) Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya
dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan
dirinya.
2) Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
3) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus
menjaga kebersihan kakinya.
4) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu
bantuan untuk melakukannya.
e. Tanda dan Gejala
Menurut Depkes (2000) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
a. Fisik
Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan kotor, gigi kotor
disertai mulut bau, penampilantidak rapi.
b. Psikologis
Malas, tidak ada inisiatif, menarik diri, isolasi diri, merasa tak berdaya, rendah diri
dan merasa hina.
c. Sosial
Interaksi kurang, kegiatan kurang, tidakk mampu berperilaku sesuai norma, cara
makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat.
1. Masalah keperawatan
Resiko Bunuh Diri
2. Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Keliat 1991 : 4). Risiko bunuh diri dapat diartikan
sebagai resiko individu untuk menyakitidiri sendiri, mencederai diri, serta mengancam
jiwa. (Nanda, 2012)
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti
diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain
dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika
tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup
setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini
sebagai sesuatu yang diinginkan. (Fitria, Nita, 2009).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan
masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Menciderai diri
adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan.
Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan
masalah yang dihadapi
b. Rentang Respon
Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus harapan merupakan
rentang adaptif- maladaptif.
Adaptif Maladaptif
Peningkatan Pengambilan resiko Perilaku Pencederaan
bunuh diri yang meningkatkan desdruktif diri diri

pertumbuhan langsung

1) Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri


secarawajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahan diri.
2) Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang 
seharusnyadapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat
bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah
melakukan pekerjaan secara optimal.
3) Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap yang kurang tepat
terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.
4) Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan
diriakibat hilangnya harapan terhadapsituasi yang ada.
5) Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
c. Faktor Predisposisi
1) Teori genetic
a) Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis dan Hitler (2010)
merupakan sesuatu yang di turunkan dalam  keluarga kembar monozigot memiliki
reriko dalam melakukan bunuh diri stuard  (2011).
b) Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf , peningkatan dan
penurunan neuro transmiter mengakibatkan perubahan pada prilaku.
Neurotrasmiter yg yang di kaitkan dengan prilaku bunuh diri adalah dopamine,
neuroepineprin, asetilkolin, asam amino dan gaba  (Stuard, 2011).
c) Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya dengan bunuh diri
mengalami gangguan jiwa.
d) Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk bunuh diri adalah
gangguan modd , penyalah gunaan zat , skizofrenia , dan gangguan kecemasan
(Stuard, 2013).
2). Faktor psikologi
a) Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw kemarahan terhaapp
orang lain yang tidsk di trima dan di mannifestasikan atau di tunjuksn pada diri
sendiri  (Stuard dan videbeck, 2011).
b) Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan resiko bunuh diri adalah
permusuhan, impulsive, depresi dan putus asa (Stuard, 2013 ).
c) Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di cintai, rasa
keputusasaan, kesepian dan kehilangan harga diri (Shadock, 2011).
3). Faktor sosial budaya
a) Beberapa faktor yang mengarah kepada bunuh diri adalah kemisknan dan
ketikmampuan memenuhi kebutuhan dasar, pernikahan yang hancur, keluarga
dengan orang tua tunggal ( Towsend , 2009 ).
b) Faktor budaya yang di dalamnya adalah faktor spiritual, nilai yang di anut oleh
keluarga, pandangan terhadap perilaku yang menyebabkan kematian berdampak
pada angka kejadian bunuh diri (Krch et al, 2008).
c) Kehilangan, kurangnya dukungan sosial dan peristiwa keidupan yang negatif dan
penyakit fisik kronis. Baru-baru ini perpisahan perceraian dan penurunan dukungan
sosial merupakan faktor penting berhubungan dengan resiko bunuh diri.(Stuard,
2013).
d. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
a. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
b. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
c. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri.
e. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala menurut Fitria, Nita (2009):
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung(berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis
mematikan).
8. Status emosional(harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah dan
mengasingkan diri).
9. Kesehatan mental(secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis dan
menyalahgunakan alkohol).
10. Kesehatan fisik(biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal0.
11. Pengangguran(tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan dalam
karier).
12. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.
13. Status perkawinan(mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14. Pekerjaan.
15. Konflik interpersonal.
16. Latar belakang keluarga.
17. Orientasi seksual.
18. Sumber-sumber personal.

Anda mungkin juga menyukai