Anda di halaman 1dari 10

Makalah

Disusun Oleh:

RIRI ANGGRIANINGSIH
1701270048
WILLY YOWANSYAH
1701270118
PUTRA DEWAN PRATAMA
1801270036
INDAH SAVIRA MUDA LUBIS
1801270071

Kelas :

Perbankan Syariah VI A2 Sore

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA


UTARA
TA. 2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah dari mata kuliah Ayat dan Hadits dengan judul “Wasiat dan Pembagian
Harta Waris”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada guru Bahasa
Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Medan, 11 April 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan
berwasiat dalam keadaan sedang sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal.Wasiat dapat
dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada orang yang
diberi wasiat.Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk harta. Adapula wasiat yang
berkaitan dengan hak kekuasaan yang akan dijalankan sesudah ia meninggal dunia, misalnya
seorang berwasiat kepada orang lain supaya mendidik anaknya kelak, membayar utangnya ,
atau mengembalikan barang pinjamannya sesudah si pemberi wasiat itu meninggal dunia.
Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya
ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan
dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan
seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya,
tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil. Al-Qur'an menjelaskan
dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa
mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai
kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu,
paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Dalam pembahasan
makalah kali ini kita akan membahas mengenai wasiat dan pembagian harta waris menurut
islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah definisi wasiat?


2. Bagaimanakah dasar hukum dan rukun dalam wasiat?
3. Bagaimanakah definisi waris?
4. Bagaimanakah pembagian harta dalam waris?

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui hal – hal penting tentang wasiat


2. Dapat mengetahui apa itu waris dan bagaimana cara membagi waris
3. Dapat menambah wawasan tetang surat dan hadits yang berhubungan dengan wasiat dan
waris
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN WASIAT

Kata wasiat terambil dari kata washshaitu, asy-syaia, uushiihi, artinya aushaituhu (aku
menyampaikan sesuatu). Secara istilah wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain
(berupa barang, piutang atau manfaat) untuk dimiliki oleh si penerima sesudah orang yang
berwasiat mati. Sebagian ahli fikih mendefinisikan wasiat itu adalah pemberian hak milik
secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati. Dasar hukum wasiat dalam
hokum kewarisan islam, yakni surah Al-Maidah ayat 106:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang ia
akan berwasiat maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara
kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di
muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu setelah
sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika
kamu ragu-ragu: “(demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang
sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami
menyembunyikan persaksian Allah. Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk
orang-orang yang berdosa.”

Hadist yang mengenai wasiat, yang artinya kurang lebih :


“Dari Abdullah bin Umar, ia berkata : Bahwasanya Rasullullah SAW. Bersabda : Tidak
pantas seorang muslim yang mempunyai suatu harta yang harus di wasiatkannya
membiarkannya dua malam, kecuali wasiatnya itu telah tertulis.” (H.R Bukhari)

B. DASAR HUKUM WASIAT

a. Wajibnya wasiat
Itu wajib dalam keadaan bila manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikawatirkan
akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan
hutang kepada manusia.
b. Sunahnya wasiat
Wasiat itu disunatkan apabila ia diperuntukkan bagi kebijakan, kaarib kerabat, orang-
orang fakir dan orang-orang saleh.
c. Haramnya wasiat
Wasiat haram apabila ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli
waris seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu tidak mncapai sepertiga harta. Diharamkan
pula mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.
d.      Makruhnya wasiat
Wasiat itu makruh, bila orang yang berwasiat sedikit hartanya, sedang dia mempuyai
seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula dimakruhkan
wasiat kepada orang-orang yang fasik jika diketahui atau diduga dengan keras bahwa mereka
akan menggunakan harta itu didalam kefasikan dan kerusakan. Akan tetapi apabila orang
yang berwasiat tahu atau menduga keras bahwa orang yang diberi wasiat akan menggunakan
harta itu untuk ketaatan, maka wasiat yang demikian ini menjadi sunat.
e.       Jaiznya wasiat
Wasiat itu diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang yang
diwasiati kerabat atupun orang yang jauh (bukan kerabat).

C. RUKUN WASIAT

Ijab dengan ucapan. Ijab itu dengan segala lafadz yang menunjukkan kepemilikan yang
dilaksanakan sesudah dia matai dan tanpa adanya imbalan. Ijab dengan isyarat dan tulisan.
Selain terjadi dengan melalui pernyataan, wasiat bisa terjadi pula melalui isyarat yang dapat
dipahami, bila pemberi wasiat tidak sanggup berbicara; juga sah pula akad wasiat melalui
tulisan. Orang yang berwasiat hendaknya mempunyai kesanggupan melepaskan hartanya
kepada orang lain, baligh, berakal, menentukan sesuatu atas kehendaknya, sadar terhadap apa
yang dilakukannya.

Orang yang menerima wasiat :


a) Ia bukan merupakan ahli waris orang yang berwasiat .
b) Orang yang menerima wasiat itu orang tertentu, maksutnya orang yang mempunyai arti
yang sebenarnya pada waktu yang di wasiatkan.
c) Orang yang menerima wasiat tidak pernah membunuh orang yang berwasiat kepadanya

Objek yang diwasiatkan :


a) Harta yang diwasiatkan telah ada setelah orang yang berwasiat meninggal dunia dan telah
dapat dialihmilikkan kepada oaring yng menerima wasiat, sesuia dengan syarat yang telah
di tentukan.
b) Yang diwasiatkan haruslah harta yang suci, bias di manfaatkan oleh orang yang
menerimanya.
c)  Jumlah harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang dimilikinya. Hadits
yang artinya kurang lebih :
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah subhanahu wa
ta’ala memberikan kepadamu saat wafatmu sepertiga dari hartamu sebagai tambahan amal
ibadahmu.”(Diriwayatkan oleh ath-Thabrani)

D. PENGERTIAN WARISAN

Warisan dalam bahasa Arab dari kata warisa-yarisu-irsan-mirasan  yang berarti


berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum
yang lain. Warisan berdasarkan pengertian diatas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang
berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang non-harta benda.
Adapun menurut istilah , warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta,
tanah , atau yang lainya.Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu faraidh, yaitu ilmu yang
membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan yang mencakup
masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan cara
melaksanakan pembagian warisannya. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini,
demikian pula sabda Rasulullah saw..
Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)

E. HADITS TENTANG WARIS

Hadis dari Abdullah bin Amr, bahwa Nabi saw. bersabda : 


" Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja : ayat
muhkamat, sunnah yang datang dari nabi dan faraidh yang adil" (H.R. Abdu Daud dan Ibnu Majah) 
Hadis dari Ibnu Mas'ud : 
" Dari Ibnu Mas'ud, katanya : bersabda Rasulullah saw.. "Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah
kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah kepada manusia. Maka sesungguhnya aku
ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua orang
yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan masalahnya, maka mereka berdua pun tidak
menemukan seseorang yang memberitaukan pemecahan masalah kepada mereka. " (H.R Ahmad)

F. RUKUN WARIS

Rukun Waris ada tiga:


1.    Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi  
harta peninggalannya.
2.    Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta 
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan
pernikahan, atau lainnya.
3.    Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,baik
berupa uang, tanah, dan sebagainya.

G. SYARAT WARIS

Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya
dianggap telah meninggal). Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris
meninggal dunia. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing.

H. PEMBAGIAN HARTA WARIS

I. DARI PIHAK LAKI-LAKI


Anak laki-laki
Ayah
Kakek (kakek dari ayah)
Saudara laki-laki
Keponakan laki-laki
Paman
Sepupu laki-laki
Suami
Laki-laki yang memerdekakan budak
II. DARI PIHAK PEREMPUAN
Anak perempuan
Ibu
Nenek
Saudara perempuan
Istri
Perempuan yang memerdekakan budak

III. PEMBAGIAN WARIS


Pembagian tertentu menurut alquran ada enam:
a.       1/2 (setengah)
b.      1/4 (seperempat)
c.       1/8 (seperdelapan)
d.      1/3 (sepertiga)
e.       2/3 (dua pertiga)
f.       1/6 (seperenam)

Keterangan :

 Yang dapat 1/2:


1. Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit tidak
meninggalkan anak. Allah swt berfirman: "Dan kamu dapat separuh dari apa yang
ditinggalkan isteri-isteri kamu, jika mereka tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’:
12).
2. Seorang anak perempuan.
Firman-Nya: "Dan jika (anak perempuan itu hanya) seorang, maka ia dapat separuh." (QS
An Nisaa’: 11).
3.  Cucu perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan menurut ijma’
(kesepakatan) ulama’. Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama’ sepakat bahwa cucu laki-laki
dan cucu perempuan menempati kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Cucu
laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama dengan anak perempuan,
jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung laki-laki." (Al Ijma’ hal. 79)
4. Saudara perempuan seibu dan sebapak dan saudara perempuan sebapak. Firman-Nya:
"Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai
saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan
itu." (QS An Nisaa’: 176)

 Yang dapat 1/4 ;


1. Suami dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan anak. Firman-Nya:
"Tetapi jika mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat seperempat dari harta yang
mereka tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
2. Isteri, jika suami tidak meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan isteri-isteri kamu
mendapatkan seperempat dari apa yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan
anak." (QS An Nisaa’: 12).

 Yang dapat 1/8; hanya satu (yaitu):


Istri dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak. Firman-Nya: "Tetapi jika kamu
tinggalkan anak, maka isteri-isteri kamu dapat seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
 Yang dapat 2/3:
1 Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki). Firman-Nya: "Tetapi
jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang,
maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An
Nisaa’: 11).
2  Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan sebapak. Firman-
Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka mereka dapat dua
pertiga dari harta yang ia tinggalkan." (QS An Nisaa’: 176).

 Yang dapat 1/3; dua orang:


1. Ibu, jika ia tidak mahjub (terhalang). Firman-Nya: "Tetapi jika si mayyit tidak
mempunyai anak, dan yang jadi ahli warisnya (hanya) ibu dan bapak, maka bagi ibunya
sepertiga." (QS An Nisaa’: 11).
2. Dua saudara seibu (saudara tiri) dan seterusnya. Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-
laki atau perempuan tak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang
dari mereka berdua itu, dapat seperenam, tetapi jika saudara-saudara itu lebih dari itu
maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu." (QS An Nisaa’: 12).

 Yang dapat 1/6; ada enam orang:


1. Ibu dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih dari
seorang. Firman-Nya: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja),
maka ibunya dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 11).
2. Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan, "Para ulama’
sepakat bahwa nenek dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan ibu." (Al Ijma’
hal. 84).
3. Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan. Firman-Nya: "Dan jika si
mayyit laki-laki atau perempuan itu tidak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak,
tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu),
maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 12).
4. Cucu perempuan, karena dikiaskan kepada cucu perempuan, bila si mayyit
meninggalkan anak perempuan.
5. Bapak dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak.  Firman-Nya: "Dan bagi
dua ibu bapaknya; buat tiap-tiap seorang dari mereka seperenam dari harta yang
ditinggalkan (oleh anaknya), jika (anak itu) mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 11).
6. Kakek dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan bapak. Dalam hal ini Ibnul
Mundzir menyatakan, "Para ulama’ sepakat bahwa kedudukan datuk sama dengan
kedudukan ayah." (Al Ijma’ hal. 84).
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Wasiat adalah pemberian secara penuh kesadaran akan haknya terhadap harta miliknya
yang akan diperoleh orang yang menerimanya setelah terjadinya kematian si pemberi wasiat.
Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati
kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat
terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta peninggalan.Sementara Dasar
hukum wasiat dalam hukum kewarisan islam, yakni al-qur’an surah al-baqarah ayat 180 dan
surah Al-Maidah ayat 106.
Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan)
merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi
lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam
pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus diartikan
sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya. Kebendaan dan sifat-
sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan
kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-
adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan
menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup.
Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa
ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.

B. SARAN

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang
lebih banyak yang akan dapat di pertanggung jawabkan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya, dan
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat ilmu baru dalam bidang hadits
tentang waris dan pembagian harta waris kepada pembaca secara umum.
DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Suhrawardi K dan Simanjuntak, Komis.Hukum Waris Islam. Edisi ke-2; Jakarta: Sinar
Grafika, 2009

Rifa’i, M. 1978. Ilmu fiqih islam lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra

Anda mungkin juga menyukai