Anda di halaman 1dari 37

Ayat-Ayat Tentang Tafsiran Kalimat “Laa

Ilaha Illallah”
Sekilas Tentang Makna Laa ilaaha ilallah Makna Laa ilaaha ilallah ُ‫آلإِلَهَ إِالَّ هللا‬
yang benar adalah tidak ada sesembahan  yang benar dan berhak disembah
kecuali Allah …

By dr. Adika Mianoki 27 May 2010


 5  5027  5

       

Sekilas Tentang Makna Laa ilaaha ilallah

Makna Laa ilaaha ilallah [ ُ‫ ] آلإِلَهَ إِالَّ هللا‬yang benar adalah tidak ada sesembahan  yang benar dan
berhak disembah kecuali Allah semata. Pada kalimat Laa ilaaha ilallah terdapat empat kata
yaitu:

1. Kata Laa ( ُ‫ ) آل‬berarti menafikan, yakni meniadakan semua jenis sesembahan yang benar
kecuali Allah.
2. Kata ilah ( َ‫ إِلَه‬ ) berarti sesuatu yang disembah
3. Kata illa ( َ َّ‫) إِال‬   berarti pengecualian
4. Kata Allah (‫ ) هللا‬berarti ilah/sesembahan yang benar.
Dengan demikian makna [ ُ‫ ] آلإِلَهَ إِالَّ هللا‬adalah menafikan segala sesembahan selain Allah dan
hanya menetapkan Allah saja sebagai sesembahan yang benar .[1]

Dalil tentang masalah ini adalah firman Allah Ta’ala :

}62{ ‫ق َوأَ َّن َمايَ ْد ُعونَ ِمن دُونِ ِه هُ َو ْالبَا ِط ُل َوأَ َّن هللاَ هُ َو ْال َعلِ ُّي ْال َكبِي ُر‬
ُّ ‫ك بِأ َ َّن هللاَ هُ َو ْال َح‬
َ ِ‫َذل‬
“Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang
Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj:62)

Demikianlah makna  Laa ilaaha ilallah yang benar. Pada bahasan selanjutnya akan kami
nukilkan sebagian ayat-ayat yang menjelaskan tentang tafsiran makna Laa ilaaha ilallah beserta
penjelasan para ulama.

Ayat Pertama

Firman Allah Ta’ala,

َ ِ‫أُوْ لَئ‬
َ ‫ك الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ يَ ْبتَ ُغونَ إِلَى َربِّ ِه ُم ْال َو ِسيلَةَ أَيُّهُ ْم أَ ْق َربُ َويَرْ جُونَ َرحْ َمتَهُ َويَخَافُونَ َع َذابَهُ إِ َّن َع َذ‬
}57{ ‫اب َربِّكَ َكانَ َمحْ ُذورًا‬

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa
di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut
akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al
Israa’:57)

Dalam ayat di atas, Allah mengkhabarkan bahwa sesembahan selain Allah yang diseru oleh
kaum musyrikin baik berupa para malaikat, nabi, dan orang-orang sholih, mereka sendiri
bersegera mencari kedekatan kepada Allah dan mengharap rahmat Allah serta takut terhadap
adzab-Nya. Jika demikian kondisi sesembahan mereka yang juga merupakan makhluk, maka
bagaimana bisa mereka dijadikan sesembahan selain Allah? Bahkan mereka juga
mengkhawatirkan diri mereka sendiri dengan menyembah Allah dan mendekatkan diri kepada-
Nya dengan beribadah. Hal ini menunjukkan bahwa makna tauhid syahadat Laa ilaaha
ilallah yaitu dengan meninggalkan perbuatan kaum musyrikin berupa menyembah orang-orang
sholih dan meminta syafaat kepada mereka untuk menghilangkan kemudharatan karena hal itu
termasuk syirik akbar. [2]

Ringkasnya, di antara makna Laa ilaaha ilallah adalah dengan meninggalkan perbuatan


menyembah orang-orang shalih seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin.
Ayat Kedua

Firman Allah Ta’ala,

zَ ‫َوإِ ْذ قَا َل إِ ْب َرا ِهي ُم ألَبِي ِه َوقَوْ ِم ِه إِنَّنِى بَ َرآ ٌء ِّم َّمأ تَ ْعبُد‬
}27{ ‫} إِالَّ الَّ ِذي فَطَ َرنِي فَإِنَّهُ َسيَه ِدي ِن‬26{ ‫ُون‬

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku
tidak bertanggung jawab (berlepas diri) terhadap apa yang kamu sembah (26). tetapi (aku
menyembah) Tuhan Yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah
kepadaku“.”(QS. Az Zukhruf:26-27)

Dalam ayat di atas terdapat perpaduan antara penafian dan penetapan. Penafiannya adalah firman
Allah [ َ‫بَ َرآ ٌء ِّم َّمأ تَ ْعبُ ُدون‬  ] (berlepas diri dari yang kalian sembah), sedangkan penetapannya adalah
[ ‫إِالَّ الَّ ِذي فَطَ َرنِي‬  ] (tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menciptakanku). Hal ini menunjukkan
bahwa tauhid tidak akan sempurna kecuali dengan mengingkari sesembahan selain Allah dan
beriman kepada Allah semata. Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

َ ِ‫ت َوي ُْؤ ِمن بِاهللِ فَقَ ِد ا ْستَ ْم َسكَ بِ ْالعُرْ َو ِة ْال ُو ْثقَى الَ ا ْنف‬
ِ }256{ ‫صا َم لَهَا َوهللاُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬ ِ ‫فَ َمن يَ ْكفُرْ بِالطَّا ُغو‬

“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah:256)

Ibrahim ‘alaihis sallam mengatakan [ ‫ ] إِالَّ الَّ ِذي فَطَ َرنِي‬dan tidak mengatakan[ ُ‫] إِالَّ هللا‬.  Ada dua
faedah dalam perkataan ini :

1. Menunjukkan tentang alasan pengesaan Allah dalam ibadah.  Sebagaimanan Allah


diesakan dalam penciptaan, maka Dia juga harus diesakan dalam ibadah.
2. Menunjukkan tentang kebatilan penyembahan terhadap para berhala. Berhala-berhala
tersebut  tidak dapat menciptakan kalian, mengapa kalian masih menyembahnya? Di sini
juga terkandung alasan tentang tauhid yang memadukan antara penafian dan penetapan.
Kesimpulan dari ayat di atas bahwa tauhid tidak akan terwujud jika ada penyembahan
kepada Allah yang disertai penyembahan kepada selain-Nya. Perwujudan tauhid hanya
dengan pemurnian ibadah bagi Allah semata. Manusia dalam hal ini dapat dibagi menjadi tiga
golongan :

1. Golongan yang menyembah Allah semata.


2. Golongan yang menyembah selain Allah semata.
3. Golongan yang menyembah Allah serta menyembah selain-Nya
Hanya golongan pertamalah yang disebut muwahhid (orang yang bertauhid).[3]

Ayat Ketiga

Firman Allah Ta’ala,

‫ارهُ ْم َو ُر ْهبَانَهُ ْم أَرْ بَابًا ِم ْن ُدوْ ِن هللاِ َو ْال َم ِس ْي َح ا ْبنَ َمرْ يَ َم َو َمآأُ ِمرُوْ ا إِالَّ لِيَ ْعبُ ُدوْ ا إِلَهًا َوا ِحدًا آلإِلَهَ إِالَّ ه َُو ُسب َْحانَهُ َع َّما‬
َ َ‫اِتَّخَ ُذوْ ا أَحْ ب‬
}31{ َ‫يُ ْش ِر ُكوْ ن‬

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah
dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah:31)

Allah Ta’ala menceritakan  tentang kaum Yahudi dan Nasrani bahwasanya mereka meminta


nasehat kepada ulama dan rahib mereka dan mereka mentaatainya dalam penghalalan sesuatu
yang Allah haramkan dan pengharaman sesuatu yang Allah halalkan. Mereka mendudukkan
ulama mereka sebagai Rabb yang memiliki kekhususan untuk menghalalkan dan mengharamkan
sesuatu. Hal ini sebagaimana dilaukan kaum Nasrani yang menyembah Isa dan menganggapnya
sebagai anak Allah. Mereka mencampakkan kitabullah yang memerintahkan mereka untuk
mentaati dan mengibadahi Allah semata. Kesimpulan dari ayat ini menunjukkan bahwa makna
tauhid dan syahadat Laa ilaaha ilallah yakni dengan mengesakan Allah dalam mentaati apa
yang Allah haramkan dan apa yang Allah halalkan. Barangsiapa yang menjadikan seseorang
selain Allah dalam mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya dan menghalalkan apa yang
diharamkan-Nya maka dia termasuk orang musyrik.[4]
Ayat Keempat

Firman Allah Ta’ala,

‫اب أَ َّن‬
َ ‫ظلَ ُموا إِ ْذ يَ َروْ نَ ْال َع َذ‬
َ َ‫ُون هللاِ أَندَادًا يُ ِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هللاِ َوالَّ ِذينَ َءا َمنُوا أَ َش ُّد ُحبًّا هللِ َولَوْ يَ َرى الَّ ِذين‬
ِ ‫اس َمن يَتَّ ِخ ُذ ِمن د‬
ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
}165{ ‫ب‬ ِ ‫ْالقُ َّوةَ هللِ َج ِميعًا َوأَ َّن هللاَ َش ِدي ُد ْال َع َذا‬

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah;
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”(QS. Al
Baqarah:165)

Dalam ayat yang mulia ini Allah menceritakan kepada kita tentang sebgain manusia yang
menyembah berhala. Mereka mencintai berhala itu sebagiamana mereka mencintai Allah.
Kemudian Allah menerangkan bahwa kaum mukminin lebih mencintai Allah daripada kaum
musyrikin. Hal ini karena kaum mukminin mencintai Allah secara murni, sementara kaum
musyrikin cinta mereka terbagi kepada Allah dan kepada berhala. Barangsiapa yang mencintai
Allah secara murni, tentu saja cintanya kepada Allah lebih kuat daripada orang-orang yang
menyekutukan cintanya kepada Allah.

Lalu Allah mengancam kaum musyrikin dan menjelaskan kepada mereka bahwa pada hari
kiamat nanti tatkala mereka melihat azab Allah siap menerkam, mereka akan berangan-angan
sekiranya dahulu mereka tidak menyekutukan cinta dan ibadah mereka kepada Allah. Mereka
kelak di akhirat akan mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa kekuatan itu hanyalah milik
Allah semata. Dan Allah Maha Keras siksanya.

Ayat di atas menjelaskan bahwa makna tauhid dan syahadat Laa ilaaha


ilallah adalah mengesakan Allah dalam kecintaan yang mengharuskan seseorang
mengikhlaskan seluruh ibadahnya kepada Allah semata. [6].
Demikianlah di antara ayat-ayat tentang tafsir Laa ilaaha ilallah beserta penejelasan para ulama.
Semoga semakin memperkokoh pondasi tauhid kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Wallahul
musta’an.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Artikel www.muslim.or.id

Catatan kaki :

[1]. Lihat pembahasan selengkapnya dalam At Tamhiid li Syarhi Kitaabi at Tauhiid hal 72-78,
Syaikh Shalih Alu Syaikh, cet. Daarut Tauhid

[2]. Al Mulakhos fii Syarhi Kitaabi at Tauhiid hal 62, Syaikh Sholih al Fauzan, cet. Daarul
‘Aashomah

[3]. Diringkas dari Al Qoulul Mufiid ‘alaa Kitabi at Tauhiid I/ 96-97, Syaikh ‘Utsaimin, cet.
Daarul ‘Aqidah)

[4]. Al Mulakhos fii Syarhi Kitaabi at Tauhiid hal 64-65, Syaikh Sholih al Fauzan, cet. Daarul
‘Aashomah).

[5]. Al Jadiid fii Syarhi Kitaabi at Tauhiid hal 76-77, Syaikh Muhammad al Qor’awi, cet.
Maktabah as Sawadi li taudzii’

Sumber: http://muslim.or.id/3396-ayat-ayat-tentang-tafsiran-kalimat-laa-ilaha-
illallah.html
Inilah 7 Syarat “Laa ilaaha illallah”
Kalimat "Laa ilaaha illallah" tidaklah diterima dari orang yang
mengucapkannya kecuali ia menunaikan haknya dan kewajibannya serta
memenuhi syarat-syarat yang dijelaskan dalam Al Qur'an dan As Sunnah.
Yaitu 7 syarat yang penting untuk diketahui oleh setiap Muslim.

By Yulian Purnama 22 July 2014


 49  11548  9

       

Syaikh Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al Abbad Al Badr hafizhahullah


‫ وعلى آله وصحبه وبعد‬، ‫ والصالة والسالم على من ال نبي بعده‬، ‫الحمد هلل وحده‬

Ketahuilah wahai saudaraku, semoga Allah memberi anda petunjuk kepada ketaatan
dan taufiq untuk mencintai Allah, bahwa kalimat yang paling agung dan paling
bermanfaat adalah kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah”. Ia adalah sebuah ikatan yang
kuat dan ia juga merupakan kalimat taqwa. Ia juga merupakan rukun agama dan
cabang keimanan yang paling utama. Ia juga merupakan jalan kesuksesan meraih
surga dan keselamatan dari api neraka. Karena kalimat inilah, Allah menciptakan para
makhluk dan menurunkan Al Kitab serta mengutus para Rasul. Ia juga merupakan
kalimat syahadat dan kunci dari pintu kebahagiaan. Ia juga merupakan landasan dan
pondasi agama dan pokok semua urusan.

ِ ‫[ } َش ِه َد هَّللا ُ أَنَّهُ اَل إِلَهَ إِاَّل هُ َو َو ْال َماَل ئِ َكةُ َوأُولُو ْال ِع ْل ِم قَائِ ًما بِ ْالقِس‬18:‫]آل عمران‬
{ ‫ْط اَل إِلَهَ إِاَّل هُ َو ْال َع ِزي ُز ْال َح ِكي ُم‬

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al Imran: 18)

Dan nash-nash yang menerangkan mengenai keutamaan, keagungan dan urgensinya


sangatlah banyak dalam Al Qur’an dan As Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

‫ من الدين فوق ما يصفه الواصفون ويعرفه العارفون وهي رأس األمر كله‬z‫وفضائل هذه الكلمة وحقائقها وموقعها‬

“keutaman-keutamaan kalimat ini, hak-haknya, kedudukannya dalam agama itu


melebihi dari apa yang bisa disifati oleh orang-orang dan melebihi yang diketahui
oleh orang-orang, dan ia merupakan pangkal dari semua urusan”

Ketahuilah saudaraku, semoga Allah memberi anda taufiq dalam ketaatan, bahwa
kalimat “Laa ilaaha illallah” tidaklah diterima dari orang yang mengucapkannya
kecuali ia menunaikan haknya dan kewajibannya serta memenuhi syarat-syarat yang
dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Yaitu 7 syarat yang penting untuk
diketahui oleh setiap Muslim dan penting untuk mengamalkannya. Betapa banyak
orang awam yang jika mereka berkumpul lalu ditanya mengenai syarat-syarat ini,
mereka tidak mengetahuinya. Dan betapa banyak juga orang yang sudah menghafal
syarat-syarat ini, namun ia lepaskan seperti lepasnya anak panah, ia terjerumus dalam
hal-hal yang bertentangan dengan syarat-syarat tersebut. Maka yang diharapkan
adalah ilmu dan amal secara bersamaan, agar seseorang menjadi pengucap “Laa ilaaha
illallah” yang sejati dan jujur dalam mengucapkannya. Dan menjadi seorang ahli
tauhid yang sejati pula. Dan sungguh taufiq itu hanya di tangan Allah semata.

Dan salafus shalih terdahulu telah mengisyaratkan pentingnya syarat-syarat “Laa


ilaaha illallah” dan wajibnya berpegang teguh padanya. Di antara perkataan mereka:
 Riwayat dari Al Hasan Al Bashri rahimahullah, ketika ia ditanya: “orang-orang
mengatakan bahwa barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah pasti
akan masuk surga”. Al Hasan berkata:
‫من قال « ال إله إال هللا » فأ َّدى حقها وفرضها دخل الجنة‬

“barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah, lalu menunaikan hak dan
kewajibannya (konsekuensinya), pasti akan masuk surga“

 Al Hasan pernah berkata kepada Al Farazdaq, ketika ia menguburkan istrinya:


‫ “نعم العدة لكن لـِ « ال‬: ‫ فقال الحسن‬،‫ شهادة أن ال إله إال هللا منذ سبعين سنة‬: ‫ما أعددتَ لهذا اليوم ؟ قال‬
‫إله إال هللا » شروطا ً ؛ فإياك وقذف المحصنات‬

“apa yang engkau persiapkan untuk hari ini (hari kematianmu kelak)? Al
Farazdaq berkata: syahadat Laa ilaaha illallah sejak 70 tahun yang lalu. Lalu
Al Hasan berkata: iya benar, itulah bekal. Namun Laa ilaaha illallah memiliki
syarat-syarat. Maka hendaknya engkau jauhi perbuatan menuduh zina wanita
yang baik-baik“

 Wahab bin Munabbih ditanya, “bukanlah kunci surga itu adalah Laa ilaaha
illallah?”, ia menjawab:
‫ يشير‬، ” ‫ وإال لم يُفتح لك‬، ‫ فإن أتيت بمفتاح له أسنان فُتح لك‬، ‫بلى ؛ ولكن ما من مفتاح إال له أسنان‬
‫باألسنان إلى شروط «ال إله إال هللا» الواجب التزامها على كل مكلف‬

“iya benar, namun setiap kunci itu pasti ada giginya. Jika engkau datang
membawa kunci yang memiliki gigi, maka akan terbuka. Namun jika tidak ada
giginya, maka tidak akan terbuka“.

Beliau mengisyaratkan gigi dari kunci untuk memaksudkan syarat-syarat Laa


ilaaha illallah yang wajib dipegang teguh oleh setiap mukallaf.

Dan syarat-syarat Laa ilaaha illallah ada 7 seperti sudah disebutkan, yaitu

1. Al Ilmu (mengilmui), dalam menafikan dan menetapkan. Kebalikannya


adalah Al Jahl (kebodohan).
2. Al Yaqin (meyakini), kebalikannya adalah Asy Syak dan Ar Rayb (keraguan).
3. Al Ikhlash (ikhlas), kebalikannya adalah Asy Syirku (syirik) dan Ar
Riya’ (riya).
4. Ash Shidqu (membenarkan), kebalikannya adalah Al Kadzabu (mendustakan).
5. Al Mahabbah (mencintai), kebalikannya adalah Al Karhu (membenci).
6. Al Inqiyadu (menaati), kebalikannya adalah At Tarku (tidak taat).
7. Al Qabulu (menerima), kebalikannya adalah Ar Raddu (menolak).
sebagian ulama menggabungkan syarat-syarat ini dalam 1 baris bait :

ٌ ‫عل ٌم‬
‫يقين وإخالص وصدقك مع محبة وانقياد والقبول لها‬

“ilmu, yakin, ikhlas, jujurmu disertai dengan cinta, patuh dan menerima”
dan sebagian ulama yang lain juga membuat bait

‫وبشروط سبعة قد قُيِّدت وفي نصوص الوحي حقا ً َو َردَت‬


ٍ

‫فإنه لم ينتفـع قائلـها بالنطق إال حيث يستك ِملــها‬

‫فادر ما أقو ُل‬


ِ ‫العلـم واليقين والقبــو ُل واالنقيــاد‬

‫والصدق واإلخالص والمحبـة وفَّقـك هللا لما أحبـــه‬

dengan tujuh syarat yang telah dibuat, yang diambil dengan benar dari nash-nash wahyu
maka tidaklah bermanfaat orang yang mengatakannya (Laa ilaaha illallah) dengan lisan,
kecuali menyempurnakannya
ilmu, yakin, menerima, patuh, pahamilah apa yang saya katakan ini
jujur, ikhlas, cinta, semoga Allah memberimu taufiq pada apa-apa yang Ia cintai
Kemudian, kami akan jelaskan kepada anda penjelasan dari masing-masing syarat
tersebut dengan menyebutkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah:

1. Al Ilmu (ilmu)

Al ilmu di sini makna yang dimaksudkan adalah ilmu dalam menafikan dan
menetapkan. Hal ini karena anda menafikan semua jenis ibadah kepada seleuruh
sesembahan selain Allah, dan menetapkan semua ibadah hanya kepada Allah semata.
Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :

{ ُ‫ك نَ ْستَ ِعين‬


َ ‫ك نَ ْعبُ ُد َوإِيَّا‬
َ ‫[ } إِيَّا‬5:‫]الفاتحة‬

“hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon
pertolongan” (QS. Al Fatihah: 5)

Maksudnya, kami menyembah-Mu semata yaa Allah, dan tidak menyembah selain-
Mu, kami meminta pertolongan kepada-Mu yaa Allah dan tidak meminta pertolongan
kepada selain-Mu. Maka orang yang mengucapkan “Laa ilaaha illallah” wajib
mengilmui makna dari “Laa ilaaha illallah” itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman:

َ ِ‫[ } فَا ْعلَ ْم أَنَّهُ اَل إِلَهَ إِاَّل هَّللا ُ َوا ْستَ ْغفِرْ لِ َذ ْنب‬19:‫]محمد‬
{‫ك‬

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang hak selain
Allah” (QS. Muhammad: 19)

Ia juga berfirman:

ِّ ‫[ }إِاَّل َم ْن َش ِه َد بِ ْال َح‬86:‫]الزخرف‬


{ َ‫ق َوهُ ْم يَ ْعلَ ُمون‬

“kecuali mereka mengetahui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)” (QS. Az
Zukhruf: 86)

Para ahli tafsir menjelaskan, maksud dari “illa man syahida” adalah ‘kecuali mereka
yang mengetahui’ apa yang mereka syahadatkan tersebut oleh lisan dan hari mereka”.
Dari Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu beliau berkata, bahwa
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

َ‫َم ْن َماتَ َوهُ َو يَ ْعلَ ُم أَنَّهُ اَل ِإلَهَ إِاَّل هَّللا ُ َد َخ َل ْال َجنَّة‬

“barangsiapa yang mati dan ia mengetahui bahwa tiada sesembahan yang berhak
disembah selain Allah, akan masuk surga”

2. Al Yaqin (meyakini)

Al Yaqin menafikan syakk dan rayb (keraguan). Maknanya, seeorang meyakini secara


tegas kalimat “Laa ilaaha illallah”, tanpa ada keraguan dan kebimbangan.
Sebagaimana Allah mensifati orang Mukmin:

َ ِ‫يل هَّللا ِ أُولَئ‬


{ َ‫ك هُ ُم الصَّا ِدقُون‬ ِ ِ‫إِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ الَّ ِذينَ آ َمنُوا بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه ثُ َّم لَ ْم يَرْ تَابُوا َو َجاهَدُوا بِأ َ ْم َوالِ ِه ْم َوأَ ْنفُ ِس ِه ْم فِي َسب‬
} [15:‫]الحجرات‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya


(beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka
itulah orang-orang yang benar” (QS. Al Hujurat: 15)
Makna dari lam yartaabuu di sini adalah yakin dan tidak ragu.

Dan dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata,


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

َ‫ اَل يَ ْلقَى هللاَ بِ ِه َما َع ْب ٌد َغ ْي َر شَاكٍّ فِي ِه َما إِاَّل َد َخ َل ْال َجنَّة‬،ِ‫ َوأَنِّي َرسُو ُل هللا‬،ُ‫أَ ْشهَ ُد أَ ْن اَل إِلَهَ إِاَّل هللا‬

“syahadat bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
bahwasanya aku adalah utusan Allah, seorang hamba yang tidak meragukannya dan
membawa keduanya ketika bertemu dengan Allah, akan masuk surga”

Dan dalam Shahih Muslim, juga dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata,


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫َم ْن لَقِيتَ ِم ْن َو َرا ِء هَ َذا ْال َحائِ ِط يَ ْشهَ ُد أَ ْن اَل إِلَهَ إِاَّل هَّللا ُ ُم ْستَ ْيقِنًا بِهَا قَ ْلبُهُ فَبَ ِّشرْ هُ بِ ْال َجنَّ ِة‬

“barangsiapa yang engkau temui di balik penghalang ini, yang bersyahadat laa
ilaaha illallah, dan hatinya yakin terhadap hal itu, maka berilah kabar gembiranya
baginya berupa surga”

3. Al Ikhlas (ikhlas)

Al Ikhlas menafikan syirik dan riya’. Yaitu dengan membersihkan amal dari semua
cabang kesyirikan yang zhahir maupun yang samar, dengan mengikhlaskan niat untuk
Allah semata dalam seluruh ibadah. Allah Ta’ala berfirman:

{ ُ‫[ }أَاَل هَّلِل ِ الدِّينُ ْالخَالِص‬3:‫]الزمر‬

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang ikhlas (bersih dari syirik)” (QS.
Az Zumar: 3)

Ia juga berfirman:

ِ ِ‫[ } َو َما أُ ِمرُوا إِاَّل لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬5:‫]البينة‬


{ َ‫صينَ لَهُ ال ِّدين‬

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan


mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus” (QS.
Al Bayyinah: 5)
Dan dalam Shahih Al Bukhari, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
‫ خَالِصًا ِم ْن قَ ْلبِ ِه‬،ُ ‫ َم ْن قَا َل الَ إِلَهَ إِاَّل هَّللا‬،‫اس بِ َشفَا َعتِي يَوْ َم القِيَا َم ِة‬
ِ َّ‫أَ ْس َع ُد الن‬

“Orang yang paling bahagia dengan syafa’atku di hari kiamat kelak adalah orang
yang mengatakan laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya”

4. Ash Shidqu (jujur)

Ash Shidqu menafikan al kadzab (dusta). Yaitu dengan mengucapkan kalimat “Laa


ilaaha illallah” secara jujur dari hatinya sesuai dengan ucapan lisannya.
Allah Ta’ala berfirman ketika mencela orang munafik:

{ َ‫ك لَ َرسُولُهُ َوهَّللا ُ يَ ْشهَ ُد ِإ َّن ْال ُمنَافِقِينَ َل َكا ِذبُون‬ َ َّ‫ك ْال ُمنَافِقُونَ قَالُوا نَ ْشهَ ُد إِن‬
َ َّ‫ك لَ َرسُو ُل هَّللا ِ َوهَّللا ُ يَ ْعلَ ُم إِن‬ َ ‫[ } إِ َذا َجا َء‬
1:‫]المنافقون‬

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui,


bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta” (QS. Al
Munafiqun: 1).

Karena orang-orang munafik mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illallah” namun tidak
secara jujur. Allah Ta’ala berfirman:

{ َ‫) َولَقَ ْد فَتَنَّا الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم فَلَيَ ْعلَ َم َّن هَّللا ُ الَّ ِذين‬2( َ‫ب النَّاسُ أَ ْن يُ ْت َر ُكوا أَ ْن يَقُولُوا آ َمنَّا َوهُ ْم اَل يُ ْفتَنُون‬
َ ‫) أَ َح ِس‬1( ‫الم‬
َ‫ص َدقُوا َولَيَ ْعلَ َم َّن ْال َكا ِذبِين‬ َ } [3-1:‫]العنكبوت‬

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta” (QS. Al Ankabut: 1-3).

Dan dalam Shahihain, dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu’anhu, dari


Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

ِ َّ‫ إِاَّل َح َّر َمهُ هَّللا ُ َعلَى الن‬،‫ص ْدقًا ِم ْن قَ ْلبِ ِه‬
‫ار‬ ِ ،ِ ‫َما ِم ْن أَ َح ٍد يَ ْشهَ ُد أَ ْن الَ إِلَهَ إِاَّل هَّللا ُ َوأَ َّن ُم َح َّمدًا َرسُو ُل هَّللا‬
“tidak ada seorang pun yang bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang hak selain
Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, dengan jujur dari hatinya,
kecuali ia pasti diharamkan oleh Allah untuk masuk neraka”

5. Al Mahabbah (cinta)

Al Mahabbah (cinta) menafikan al bughdhu (benci) dan al karhu (marah). Yaitu


orang yang mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illallah” wajib mencintai Allah, Rasul-
Nya, agama Islam dan mencintai kaum Muslimin yang menegakkan perintah-perintah
Allah dan menjaga batasan-batasannya. Dan membenci orang-orang yang
bertentangan dengan kalimat “Laa ilaaha illallah” dan mengerjakan lawan dari kalimat
“Laa ilaaha illallah” yaitu berupa kesyirikan atau kekufuran atau mereka mengerjakan
hal yang mengurangi kesempurnaan “Laa ilaaha illallah” karena mengerjakan
kesyirikan serta kebid’ahan.

Ini dalam rangka mengamalkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

‫أوثق عرى اإليمان الحب في هللا والبغض في هللا‬

“ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”

Dan yang juga menunjukkan disyaratkannya mahabbah dalam keimanan adalah


firman Allah Ta’ala:

{ِ ‫ُون هَّللا ِ أَ ْندَادًا ي ُِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هَّللا ِ َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ َش ُّد ُحبًّا هَّلِل‬
ِ ‫اس َم ْن يَتَّ ِخ ُذ ِم ْن د‬
ِ َّ‫[ } َو ِمنَ الن‬165:‫]البقرة‬

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan


selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS. Al Baqarah:
165).

Dan dalam Shahihain, dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu ia berkata:


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ َوأَ ْن ي ُِحبَّ ْال َمرْ َء اَل ي ُِحبُّهُ إِاَّل‬، ‫ أَ ْن يَ ُكونَ هَّللا ُ َو َرسُولُهُ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم َّما ِس َواهُ َما‬: ‫ان‬ ٌ ‫ثَاَل‬
ِ ‫ث َم ْن ُك َّن فِي ِه َو َج َد َحاَل َوةَ اإْل ِ ي َم‬
ِ َّ‫ َوأَ ْن يَ ْك َرهَ أَ ْن يَعُو َد فِي ْال ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ أَ ْن يُ ْق َذفَ فِي الن‬، ِ ‫هَّلِل‬
‫ار‬

“Ada 3 hal yang jika ada pada diri seseorang ia akan merasakan manisnya iman: (1)
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selainnya, (2) ia mencintai seseorang karena
Allah, (3) ia benci untuk kembali pada kekufuran sebagaimana ia benci untuk
dilemparkan ke dalam neraka”

6. Al Inqiyad (patuh)

Al Inqiyad (patuh) menafikan at tarku (ketidak-patuhan). Orang yang mengucapkan


kalimat “Laa ilaaha illallah” wajib untuk patuh terhadap syariat Allah dan taat pada
hukum Allah serta pasrah kepada aturan Allah. Allah Ta’ala berfirman:

{ُ‫[ } َوأَنِيبُوا ِإلَى َربِّ ُك ْم َوأَ ْسلِ ُموا لَه‬54:‫]الزمر‬

“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum
datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)” (QS. Az Zumar:
54)

Dan Ia juga berfirman:

{‫[ } َو َم ْن أَحْ َسنُ ِدينًا ِم َّم ْن أَ ْسلَ َم َوجْ هَهُ هَّلِل ِ َوهُ َو ُمحْ ِس ٌن‬125:‫]النساء‬

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama
Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya” (QS.
An Nisaa’: 125)

dan makna dari aslimuu dan aslama dalam dua ayat di atas dalah patuh dan taat.

7. Al Qabul (menerima)

Al Qabul (menerima) menafikan ar radd (penolakan). Seorang hamba wajib


menerima kalimat “Laa ilaaha illallah” dengan sebenar-benarnya dengan hati dan
lisannya. Allah Ta’ala telah mengisahkan kepada kita dalam Al Qur’an Al Karim
kisah-kisah orang terdahulu yang telah Allah beri keselamatan kepada mereka karena
mereka menerima kalimat “Laa ilaaha illallah”, dan orang-orang yang dihancurkan
serta dibinasakan karena menolak kalimat tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

{ َ‫ج ْال ُم ْؤ ِمنِين‬ ً َ ِ‫[ }ثُ َّم نُنَجِّ ي ُر ُسلَنَا َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا َك َذل‬103:‫]يونس‬
ِ ‫ك َحقّا َعلَ ْينَا نُ ْن‬
“Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman,
demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang
beriman” (QS. Yunus: 103).

Ia juga berfirman:

ِ ‫ون أَئِنَّا لَت‬


ٍ ُ‫َار ُكو آلِهَتِنَا لِ َشا ِع ٍر َمجْ ن‬
-35:‫ون} [الصافات‬ zَ ُ‫) َويَقُول‬35( َ‫إِنَّهُ ْم َكانُوا إِ َذا قِي َل لَهُ ْم اَل إِلَهَ إِاَّل هَّللا ُ يَ ْستَ ْكبِرُون‬
]36 .

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha


illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka
menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus
meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?”” (QS. Ash
Shaafaat: 35-36)

Demikian. Hanya kepada Allah lah kita semua memohon taufiq agar dapat
menegakkan kalimat “Laa ilaaha illallah” sebenar-benarnya baik dalam perkataan,
perbuatan dan keyakinan. Sungguh Allah lah semata yang memberi taufiq dan
petunjuk kepada jalan yang lurus.

‫وصلى هللا وسلم وبارك وأنعم على عبد هللا ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين‬

Sumber: http://al-badr.net/muqolat/2575
Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id
Keutamaan “Kalimat Laa Ilaha Illallah”
Nov 13, 2009Muhammad Abduh Tuasikal, MScAqidah20

       
Ibnu Rajab dalam Kalimatul Ikhlas mengatakan,”Kalimat Tauhid (yaitu Laa Ilaha Illallah, pen) memiliki
keutamaan yang sangat agung yang tidak mungkin bisa dihitung.” Lalu beliau rahimahullah menyebutkan
beberapa keutamaan kalimat yang mulia ini. Di antara yang beliau sebutkan :
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ merupakan harga surga
Suatu saat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendengar muadzin mengucapkan ’Asyhadu alla ilaha illallah’.
Lalu beliau mengatakan pada muadzin tadi,
ِ َّ‫« َخ َرجْ تَ ِمنَ الن‬
» ‫ار‬
”Engkau terbebas dari neraka.” (HR. Muslim no. 873)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
َ ‫َم ْن َكانَ آ ِخ ُر كَاَل ِم ِه اَل إِلَهَ إِاَّل هللاُ َد َخ َل‬
َ‫الجنَّة‬
”Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan
masuk surga” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah kebaikan yang paling utama
Abu Dzar berkata,
‫ال إِذاَ َع َم ْلتَ َسيِّئَةً فَا ْع َملْ َح َسنَةً فَإِنَّهَا‬ ِ َ‫ت يا َ َرسُوْ َل هللاِ َكلِّ ْمنِي بِ َع َم ٍل يُقَ ِّربُنِي ِمنَ ال َجنَّ ِة َويُب‬
ِ َّ‫اع ُدنِي ِمنَ الن‬
َ َ‫ ق‬،‫ار‬ ُ ‫قُ ْل‬
َ ْ‫الذنُو‬
‫ب‬ ُّ ْ‫ت َو ِه َي تَ ْمحُو‬ َ ُ‫ قَا َل ِه َي أَحْ َسن‬، ‫ت‬
ِ ‫الح َسنَا‬ ِ ‫ت يَا َرسُوْ َل هللاِ اَل إِلَهَ إِاَّل هللاُ ِمنَ ْال َح َسنَا‬ ُ ‫ قُ ْل‬،‫َع ْش َر أَ ْمثَالِهَا‬
‫َو ْال َخطَايَا‬
”Katakanlah padaku wahai Rasulullah, ajarilah aku amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan
menjauhkanku dari neraka.” Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Apabila engkau melakukan
kejelekan (dosa), maka lakukanlah kebaikan karena dengan melakukan kebaikan itu engkau akan
mendapatkan sepuluh yang semisal.” Lalu Abu Dzar berkata lagi,”Wahai Rasulullah, apakah ’laa ilaha
illallah’ merupakan kebaikan?” Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Kalimat itu (laa ilaha illallah,
pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan
kesalahan.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 55)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah dzikir yang paling utama
Hal ini sebagaimana terdapat pada hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam (hadits marfu’),
َ ‫أَ ْف‬
ُ‫ض ُل ال ِّذ ْك ِر اَل إِلَهَ إِاَّل هللا‬
”Dzikir yang paling utama adalah bacaan ’laa ilaha illallah’.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam
tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 62)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah amal yang paling utama, paling banyak ganjarannya, menyamai
pahala memerdekakan budak dan merupakan pelindung dari gangguan setan
Sebagaimana terdapat dalam shohihain (Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairoh radhiyallahu ’anhu, dari
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda,
‫ فِى يَوْ ٍم ِمائَةَ َم َّر ٍة‬. ‫ َوه َُو َعلَى ُكلِّ َش ْى ٍء قَ ِدي ٌر‬، ‫ َولَهُ ْال َح ْم ُد‬، ‫ك‬ ُ ‫ لَهُ ْال ُم ْل‬، ُ‫« َم ْن قَا َل الَ إِلَهَ إِالَّ هَّللا ُ َوحْ َدهُ الَ َش ِريكَ لَه‬
‫َت لَهُ ِحرْ ًزا ِمنَ ال َّش ْيطَا ِن‬ ْ ‫ َو َكان‬، ‫ت َع ْنهُ ِمائَةُ َسيِّئَ ٍة‬ ْ َ‫ َو ُم ِحي‬، ‫ت لَهُ ِمائَةُ َح َسنَ ٍة‬ ٍ ‫َت لَهُ َع ْد َل َع ْش ِر ِرقَا‬
ْ َ‫ َو ُكتِب‬، ‫ب‬ ْ ‫ َكان‬،
.»‫ك‬ َ ِ‫ إِالَّ أَ َح ٌد َع ِم َل أَ ْكثَ َر ِم ْن َذل‬، ‫ض َل ِم َّما َجا َء بِ ِه‬
َ ‫ت أَ َح ٌد بِأ َ ْف‬ِ ْ‫ َولَ ْم يَأ‬، ‫ك َحتَّى يُ ْم ِس َى‬ َ ِ‫يَوْ َمهُ َذل‬
”Barangsiapa mengucapkan ’laa il aha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa
huwa ’ala kulli syay-in qodiir’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah,
tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala
sesuatu] dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan,
pen), dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus darinya 100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan pada
siang hingga sore harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih
banyak dari itu.” (HR. Bukhari no. 3293 dan HR. Muslim no. 7018)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah Kunci 8 Pintu Surga, orang yang mengucapkannya bisa masuk
lewat pintu mana saja yang dia sukai
Dari ’Ubadah bin Shomit radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
‫ك لَهُ َوأَ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُولُهُ َوأَ َّن ِعي َسى َع ْب ُد هَّللا ِ َوابْنُ أَ َمتِ ِه‬ َ ‫ال أَ ْشهَ ُد أَ ْن الَ إِلَهَ إِالَّ هَّللا ُ َوحْ َدهُ الَ َش ِري‬
َ َ‫َم ْن ق‬
‫ب ْال َجنَّ ِة الثَّ َمانِيَ ِة َشا َء‬ ِ ‫ق أَدْخَ لَهُ هَّللا ُ ِم ْن أَىِّ أَب َْوا‬ َ َّ‫ق َوأَ َّن الن‬
ٌّ ‫ار َح‬ ٌّ ‫َو َكلِ َمتُهُ أَ ْلقَاهَا إِلَى َمرْ يَ َم َورُو ٌح ِم ْنهُ َوأَ َّن ْال َجنَّةَ َح‬
”Barangsiapa mengucapkan ’saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan
benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, dan
(bersaksi) bahwa ’Isa adalah hamba Allah dan anak dari hamba-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan
kepada Maryam serta Ruh dari-Nya, dan (bersaksi pula) bahwa surga adalah benar adanya dan neraka pun
benar adanya, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga dari delapan pintu surga yang mana
saja yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 149)
(Lihat Kalimatul Ikhlas, 52-66. Sebagian dalil yang ada sengaja ditakhrij sendiri semampu kami)
Inilah sebagian di antara keutamaan kalimat syahadat laa ilaha illallah dan masih banyak keutamaan yang
lain. Namun, penjelasan ini bukanlah inti dari pembahasan kami kali ini. Setelah ini kami akan membahas
mengenai syarat-syarat dari laa ilaha illallah. Karena kalimat tidaklah akan berguna melainkan dengan
terpenuhi syarat-syaratnya. Nantikan artikel selanjutnya.
 
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel https://rumaysho.com

Sumber : https://rumaysho.com/643-keutamaan-qkalimat-laa-ilaha-illallahq.html
Bilakah Pohon Iman Berbuah Manis? (1)
Pohon iman di hati berbuah manis? Bagaimana mungkin itu terjadi dan seperti
apa rasanya? Untuk menjawab pertanyaan di atas, marilah kita renungkan
makna beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini

By Abdullah Taslim, Lc., MA. 29 December 2015


 13  3918  0
       

Pohon iman di hati berbuah manis? Bagaimana mungkin itu terjadi dan seperti apa
rasanya? Untuk menjawab pertanyaan di atas, marilah kita renungkan makna beberapa
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan
merasakan manisnya iman; menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada
(siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan
merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh
Allah sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api.” 1

Dan dari Al-’Abbas bin ‘Abdil Muththalib radiyallahu’anhu bahwa beliau pernah


mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
merasakan kelezatan/kemanisan iman orang yang ridha kepada
Allah Ta’ala sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi)
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.”2

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah


mengucapkan do’a berikut,

َ‫ان َواجْ َع ْلنَا هُدَاةً ُم ْهتَ ِدين‬


ِ ‫اللَّهُ َّم َزيِّنَّا بِ ِزينَ ِة اإْل ِ ي َم‬

Ya Allah, hiasilah (diri) kami dengan perhiasan (keindahan) iman, serta jadikanlah


kami sebagai orang-orang yang (selalu) mendapat petunjuk (dari-Mu) dan memberi
petnjuk (kepada orang lain).3

Ketiga hadits di atas, paling tidak, memberikan gambaran jelas bahwa pohon iman di
hati orang yang beriman, jika pertumbuhannya benar dan sempurna, maka pohon itu
akan menghasilkan buah yang indah dengan rasa yang manis dan lezat, dan ini dapat
dirasakan oleh orang-orang yang beriman secara nyata.

Imam an-Nawawi – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya – ketika


menjelaskan makna hadits yang kedua di atas, beliau berkata, “Orang yang tidak
menghendaki selain (ridha) Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan tidak menempuh selain
jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai
dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak
diragukan lagi bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan
iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan
kelezatan iman tersebut.”4

Perumpamaan iman dalam Al-Qur’an

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

ٍ ‫تُ ْؤتِي أُ ُكلَهَا ُك َّل ِح‬ .‫ت َوفَرْ ُعهَا فِي ال َّس َما ِء‬
‫ين بِإِ ْذ ِن‬ ٌ ِ‫ب هَّللا ُ َمثَال َكلِ َمةً طَيِّبَةً َك َش َج َر ٍة طَيِّبَ ٍة أَصْ لُهَا ثَاب‬ َ َ‫أَلَ ْم تَ َر َك ْيف‬
َ ‫ض َر‬
َ‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُون‬
ِ َّ‫َربِّهَا َويَضْ ِربُ هَّللا ُ األ ْمثَا َل لِلن‬

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang


baik (iman) seperti pohon yang baik, akarnya menancap kuat (ke dalam tanah) dan
cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap saat
dengan izin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk
manusia supaya mereka selalu ingat (QS Ibrahim: 24-25).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata, “(Dalam ayat ini) Allah menganalogikan
kalimat iman, yang merupakan sebaik-baik kalimat dengan pohon yang merupakan
sebaik-baik pohon, yang mempunyai ciri-ciri mulia; akarnya (menancap) kokoh dan
kuat (ke dalam tanah), pertumbuhannya berkesinambungan dan buah-buahnya (yang
manis) senantiasa ada di setiap waktu dan musim untuk memberikan berbagai macam
manfaat dan hasil yang baik bagi pemiliknya maupun orang lain.

Pohon iman ini di hati orang-orang yang beriman berbeda-beda (pertumbuhan dan
kesuburannya), sesuai dengan perbedaan/banyak-sedikitnya sifat-sifat mulia yang
Allah terangkan tentang pohon ini. Maka seorang hamba yang mendapatkan taufik
(dari Allah subhanau wa Ta’ala) akan selalu berusaha mengetahui tentang pohon
iman ini, ciri-ciri agungnya, akar dan cabang-cabangnya, serta berusaha untuk
merealisasikannya dalam ilmu dan amal. Karena sesungguhnya bagian kebaikan,
keberuntungan dan kebahagiaan dunia-akhirat bagi seorang hamba adalah sesuai
dengan perhatiannya terhadap (pertumbuhan) pohon iman ini” 5.

Maha suci Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menurunkan sebaik-baik petunjuk dalam


al-Qur’an, disertai penjelasan yang sangat lengkap dan jelas. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala yang berfirman,

َ‫َاب تِ ْبيَانًا لِ ُكلِّ َش ْي ٍء َوهُدًى َو َرحْ َمةً َوبُ ْش َرى لِ ْل ُم ْسلِ ِمين‬
َ ‫ك ْال ِكت‬
َ ‫َونَ َّز ْلنَا َعلَ ْي‬
Dan Kami turunkan kepadamu kitab ini (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri (QS an-Nahl:
89).

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala membuat perumpamaan tentang iman di


dalam hati dengan pohon baik yang terlihat secara kasat mata, untuk memudahkan
kita memahami perkara yang paling penting dalam agama ini, agar kita bisa
mengamalkannya dengan benar. Inilah sisi keindahan dan kemudahan yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan pada petunjuk-Nya. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman,

‫َولَقَ ْد يَسَّرْ نَا ْالقُرْ آنَ لِل ِّذ ْك ِر فَهَلْ ِم ْن ُم َّد ِك ٍر‬

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah
orang yang mau mengambil pelajaran? (QS al-Qamar: 17).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata, “Sesungguhnya Allah membuat


perumpamaan untuk mendekatkan (memudahkan dalam memahami) makna yang bisa
dinalar dengan akal dari perumpamaan-perumpamaan yang kasat mata, sehingga jelas
dan teranglah makna (ayat-ayat al-Qur’an) sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah
dengan sejelas-jelasnya. Ini termasuk (kesempurnaan) rahmat Allah dan indahnya
petunjuk-Nya, maka bagi-Nyalah segala pujian yang paling tinggi dan sempurna” 6.

Adapun penjelasan yang lebih rinci tentang makna perumpamaan dalam ayat ini,
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan
kalimat thayyibah (kalimat yang baik/iman dan tauhid) dengan pohon yang baik,
karena kalimat yang baik akan membuahkan amal salih sebagaimana pohon yang baik
menghasilkan buah yang bermanfaat.

Makna ini jelas sekali berdasarkan pendapat mayoritas Ahli tafsir yang mengatakan
bahwa (makna) kalimat yang baik adalah (kalimat) syahadat laa ilaaha illallah (tidak
ada sembahan yang benar selain Allah). Sesungguhnya kalimat tauhid ini akan
membuahkan semua amal salih lahir dan batin. Maka semua amal salih yang diridhai
oleh Allah adalah buah dari kalimat ini.

Dalam penafsiran (riwayat) ‘Ali bin Abi Thalhah dari ‘Abdullah bin
‘Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Kalimat yang baik” adalah (kalimat)
syahadat laa ilaaha illallah (tidak ada sembahan yang benar selain Allah). “Seperti
pohon yang baik” yaitu seorang yang beriman. “Akarnya menancap kuat (ke dalam
tanah)” yaitu kalimat laa ilaaha illallah di dalam hati orang yang beriman. “Dan
cabangnya (menjulang) ke langit”, (yaitu) dengan kalimat laa ilaaha illallah amal
seorang mukmin akan diangkat ke langit (diterima oleh Allah Ta’ala).

Ar-Rabi’ bin Anas berkata, “Kalimat yang baik adalah peumpamaan (bagi) keimanan,
karena keimanan adalah pohon yang baik, akarnya yang kuat dan tidak rapuh adalah
keikhlasan di dalamnya, dan cabangnya (menjulang) ke langit adalah rasa takut
kepada Allah”.

Berdasarkan penafsiran ini, maka perumpamaan dalam ayat ini lebih jelas, tepat dan
sesuai. Sesungguhnya Allah Ta’ala menganalogikan pohon tauhid (iman) di hati
dengan pohon baik yang akarnya kuat dan cabangnya menjulang tinggi ke langit, serta
selalu menghasilkan buah setiap saat.

Tatkala anda memperhatikan perumpamaan ini, maka anda akan melihatnya sangat
sesuai dengan pohon tauhid (iman) yang menancap kuat di dalam hati dan cabang-
cabangnya yang berupa amal-amal salih selalu naik ke langit. Pohon ini senantiasa
membuahkan amal-amal salih setiap saat sesuai dengan keteguhannya di dalam hati,
kecintaan hati kepadanya, keikhlasannya, pengetahuan tentang hakikatnya, selalu
memperhatikan dan menjaga hak-haknya”7.

Lebih lanjut, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani menukil ucapan Syaikh Abu Muhammad
bin Abi Jamrah yang menjelaskan makna perumpamaan ini, beliau berkata, “Kalimat
yang baik adalah kalimat ikhlas (tauhid), akar pohonnya adalah iman, ranting-
rantingnya adalah (selalu) mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,
daun-daunnya adalah kebaikan yang selalu menjadi perhatian seorang mukmin, dan
buahnya adalah amal-amal ketaatan” 8.

Hikmah agung diserupakannya iman di hati dengan pohon yang tumbuh di muka bumi

Secara umum, Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat banyak perumpamaan dalam


ayat-ayat al-Qur’an dengan tujuan memudahkan manusia memahami dan
merenungkan petunjuk-Nya, kemudian mengambil pelajaran dan mengamalkan
petunjuk tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

َ‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬ َ ‫َوتِ ْل‬


ِ َّ‫ك األ ْمثَا ُل نَضْ ِربُهَا لِلن‬

Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat bagi manusia supaya mereka


berfikir/ memahaminya (QS al-Hasyr, 21).

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,


َ‫اس َو َما يَ ْعقِلُهَا إِال ْال َعالِ ُمون‬ َ ‫َوتِ ْل‬
ِ َّ‫ك األ ْمثَا ُل نَضْ ِربُهَا لِلن‬

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (QS al-‘Ankabut, 43).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata, “Firman Allah ini merupakan pujian
terhadap perumpamaan-perumpamaan yang dibuat Allah (dalam al-Qur’an), sekaligus
motivasi untuk merenungkan dan memahaminya, serta pujian bagi orang yang
memahaminya dan pertanda bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berilmu
(dengan sebenarnya), maka (dengan ini) diketahui bahwa orang yang tidak memahami
perumpamaan-perumpamaan tersebut berarti dia bukan termasuk orang-orang yang
berilmu.

Hal ini disebabkan karena perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah dalam
al-Qur’an hanyalah untuk (menjelaskan) perkara-perkara yang sangat penting,
tuntutan-tuntutan (dalam Islam) yang tinggi dan masalah-masalah yang agung. Maka
orang-orang yang berilmu mengetahui bahwa perumpamaan-perumpamaan ini lebih
penting daripada yang lain, karena Allah memberikan perhatian besar terhadap
masalah-masalah tersebut dan memotivasi hamba-hamba-Nya untuk memahami dan
merenungkannya, sehingga orang-orang yang berilmu mencurahkan segenap
kesungguhan mereka untuk memahaminya.

Adapun orang yang tidak memahami perumpamaan-perumpamaan yang sangat


penting ini, maka ini menunjukkan bahwa dia bukanlah termasuk orang-orang yang
berilmu. Karena kalau dia tidak memahami masalah-masalah yang penting (dalam
Islam), maka ketidaktahuannya terhadap masalah-masalah lain tentu lebih besar dan
lebih parah.

Oleh karena itu, mayoritas perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah


(dalam al-Qur’an) adalah dalam perkara ushuluddin (landasan/pokok-pokok agama)
dan yang semisal-nya”9.

Bahkan Imam Ibnu Katsir menukil dari seorang ulama Salaf yang mengomentari ayat
di atas, beliau berkata, “Tatkala aku mendengar sebuah permisalan dalam al-Qur’an
lalu aku tidak memahaminya, maka aku akan menangisi diriku sendiri (karena sedih),
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan perumpamaan-perumpamaan ini
Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang
yang berilmu” (QS al-‘Ankabut, 43).”10
Adapun secara khusus yang berhubungan dengan perumpamaan iman di hati dengan
pohon, hikmahnya telah dijelaskan oleh sebagian dari para ulama Ahlus sunnah, di
antaranya Imam Ibnul Qayyim, beliau berkata, “Di antara hikmah-hikmah tersebut
adalah,

1- Sesungguhnya setiap pohon mesti mempunyai urat, batang utama, cabang-cabang,


daun-daun dan buah, maka demikian pula pohon iman dan Islam, agar bersesuaian
kedua hal yang diperumpamakan dalam ayat ini. Maka urat-urat pohon iman adalah
ilmu, pengetahuan (agama) dan keyakinan, batang utamanya adalah keikhlasan,
cabang-cabangnya adalah amal-amal salih, dan buahnya adalah hal-hal yang lahir dari
amal-amal salih, berupa jejak-jejak yang baik, sifat-sifat terpuji, akhlak-akhlak yang
suci, dan tingkah laku serta budi pekerti yang luhur.

Maka hal-hal inilah yang dijadikan sebagai bukti bahwa pohon iman telah tumbuh dan
tertancap kuat di dalam hati. Jika ilmu (yang dimiliki oleh seorang hamba) benar dan
sesuai dengan petunjuk yang diturunkan oleh Allah dalam al-Qur’an, keyakinannya
sesuai dengan (aqidah yang benar) seperti yang diterangkan oleh Allah dan para
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala (nama-
nama dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi), ada keikhlasan dalam hati, amal-amal
(salih) yang sesuai dengan perintah (Allah Subhanahu wa Ta’ala), serta petunjuk dan
tingkah laku yang selaras dengan prinsip-prinsip dasar ini, maka (dengan semua ini)
diketahui bahwa pohon iman di hati hamba tersebut akarnya menancap kuat dan
cabangnya (menjulang) ke langit.

Adapun jika keadaannya berlawanan dengan semua itu maka diketahui bahwa yang
ada di hatinya tidak lain adalah pohon buruk yang mengambang di permukaan bumi
(akarnya tidak menancap) dan tidak ada ketetapan baginya.

2- Sesungguhnya setiap pohon tidak bisa bertahan hidup kecuali dengan (adanya)
sesuatu yang mengairi dan menumbuhkannya, sehingga jika pengairan tersebut
dihentikan maka tak lama lagi pohon tersebut akan kering (layu). Demikian pula
pohon iman di hati seorang hamba, jika dia tidak menjaganya dengan mengairinya
setiap waktu dengan ilmu yang bermanfaat dan amal salih, serta tidak membiasakan
diri untuk berdzikir (mengingat dan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan
memikirkan (kemahaagungan dan luasnya limpahan nikmat-Nya), maka pohon iman
di hatinya tak lama lagi akan layu.

Dalam hadits riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya, dari Abu


Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya iman di dalam hati bisa (menjadi) usang (lapuk)
sebagaimana pakaian yang bisa usang, maka perbaharuilah (kuatkanlah kembali) iman
(di dalam hati)mu”11.

Kesimpulannya, tanaman pohon iman jika tidak diperhatikan dan dijaga maka tidak
lama lagi akan hancur.

Dari sinilah kita mengetahui besarnya kebutuhan manusia terhadap ibadah-ibadah


yang Allah perintahkan (dalam Islam) di setiap pergantian waktu, (sekaligus kita
mengetahui) agungnya rahmat-Nya serta sempurnanya nikmat dan kebaikan-Nya
kepada hamba-hamba-Nya. Dia memerintahkan kepada mereka untuk mengerjakan
ibadah-ibadah tersebut dan menjadikannya sebagai bahan untuk mengairi tanaman
(pohon) tauhid (iman) yang ditanam di hati mereka.

3- Sesungguhnya pohon dan tanaman yang bermanfaat, sesuai dengan ketentuan


Allah, biasanya akan dicampuri (tumbuh di sekitarnya) semak belukar dan tumbuhan
asing (benalu) dari jenis lain. Jika pemilik tanaman tersebut selalu menjaganya dengan
membersihkan dan memotong tumbuhan asing tersebut maka sempurnalah
pertumbuhan pohon dan tanaman tersebut, serta buahnya pun semakin banyak dan
baik mutunya. Tapi jika dia membiarkannya, maka tidak lama lagi tumbuhan asing
tersebut akan menguasai pohon dan tanaman, sehingga mempengaruhi
pertumbuhannya atau (minimal) melemahkan akarnya dan menjadikan buah (yang
dihasilkan)nya buruk dan sedikit, sesuai dengan banyak atau sedikitnya tumbuhan
asing tersebut.

Barangsiapa yang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman (yang benar) dalam
masalah ini, maka sungguh akan luput darinya keuntungan yang besar tanpa
disadarinya. Seorang mukmin senantiasa mengusahakan dua hal; mengairi pohon
iman (dalam hatinya) dan membersihkan (tumbuhan asing) yang ada di sekitarnya.
Maka dengan mengairinya, pohon tersebut akan tetap hidup dan tumbuh, dan dengan
membersihkan (tumbuhan asing) yang ada di sekitarnya, akan sempurna
(pertumbuhan) pohon tersebut dan semakin banyak (hasilnya). Hanya Allah tempat
memohon pertolongan dan berserah diri.”12

Buah-buah manis dan faidah agung pohon iman

Di atas telah kami paparkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih tentang kelezatan dan kemanisan
iman, yang ini dengan jelas menunjukkan bahwa jika pertumbuhan pohon iman di hati
seorang hamba benar dan sempurna, maka niscaya pohon itu akan menghasilkan buah
yang indah dengan rasa yang manis dan lezat, dan ini dapat dirasakan secara nyata.
Sebaliknya, jika kelezatan dan kemanisan iman ini tidak dirasakan seorang hamba,
berarti pertumbuhan pohon iman di hatinya tidak sempurna atau bahkan rusak. Tentu
saja ini merupakan kondisi yang sangat berbahaya dan fatal bagi hamba tersebut,
karena dengan iman di hatinya yang rusak, bisa menjadikannya tidak diterima oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menghadap-Nya pada hari kiamat kelak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

ٍ ‫يَوْ َم ال يَ ْنفَ ُع َما ٌل َوال بَنُونَ إِال َم ْن أَتَى هَّللا َ بِقَ ْل‬
‫ب َسلِ ٍيم‬

(Yaitu) di hari (kiamat yang ketika itu) harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS asy-
Syu’araa’, 88-89).

Makna ayat ini, pada hari kiamat nanti tidak ada yang bisa menyelamatkan dirinya
dari azab Allah Subhanahu wa Ta’ala, meskipun ditebus dengan emas sepenuh bumi
atau dengan semua orang yang ada di permukaan bumi. Tidak ada yang bermanfaat
pada hari itu kecuali orang yang datang menghadap-Nya dengan membawa iman yang
benar di dalam hati dan keikhlasan kepada-Nya, serta hatinya bersih dari segala
bentuk kesyirikan, keragu-raguan dan segala keburukan yang merusak iman. 13

Sehubungan dengan hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Jika kamu
tidak merasakan manisnya (iman) dan kelapangan (di dalam hati) ketika beramal
salih, maka tuduhlah (curigailah) imanmu! Karena sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala adalah asy-Syakur (Maha Mesyukuri/ Membalas perbuatan baik hamba-
Nya dengan balasan yang sempurna), artinya, Dia pasti memberikan balasan bagi
seorang hamba yang mengerjakan amal salih di dunia (dengan belasan) yang berupa
kemanisan iman yang dirasakannya di dalam hati, keteguhan dan kelapangan dada,
serta kesejukan dalam jiwa, maka ketika hamba tersebut tidak merasakan hal ini,
berarti amalnya (imannya) disusupi (keburukan sehingga rusak).” 14

Para ulama ahlus sunnah telah memaparkan dengan rinci manfaat dan faidah dari
keimanan yang benar beserta buah-buahnya yang manis. Syaikh ‘Abdur Rahman as-
Sa’di berkata, “Betapa banyak faidah dan buah dari keimanan yang benar, untuk
kebahagiaan dan kebaikan hidup bagi jiwa dan raga seorang hamba, di dunia dan
akhirat. Betapa banyak yang dihasilkan oleh pohon iman ini berupa buah-buah yang
ranum, lezat dan terus ada. Faidahnya pun tidak terbatas dan kebaikannya tidak
terhingga.

Kesimpulannya, semua kebaikan di dunia dan akhirat, serta penjagaan dari segala
keburukan adalah termasuk buah-buah manis dari pohon iman.” 15 Berikut ini
pemaparan tentang buah-buah manis pohon iman dengan lebih rinci, sebagaimana
yang diterangkan oleh para ulama ahlus sunnah, di antaranya,

1- Meraih kewalian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (menjadi wali/kekasih


Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang khusus, inilah perkara terbesar yang dikejar oleh
hamba-hamba Allah yang bertakwa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

ٌ ْ‫أَال إِ َّن أَوْ لِيَا َء هَّللا ِ ال خَ و‬


َ‫الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َكانُوا يَتَّقُون‬ . َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َوال هُ ْم يَحْ َزنُون‬

Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap


mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (mereka adalah) orang-orang yang
beriman (dengan benar) dan selalu bertaqwa (kepada-Nya) (QS Yunus: 62-63).

Maka setiap orang yang beriman dengan keimanan yang benar dan bertakwa, dia
adalah wali Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kewalian yang khusus dari-
Nya.16 Makna kewalian yang khusus dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seperti
yang disebutkan dalam hadit shahih berikut;

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang
memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan peperangan
kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal
salih) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya
(dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-
amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun mencintainya. Lalu
jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku akan selalu membimbingnya
dalam pendengarannya, membimbingnya dalam penglihatannya, menuntunnya dalam
perbuatan tangannya dan meluruskannya dalam langkah kakinya. Jika dia memohon
kepada-Ku maka Aku akan penuhi permohonannya, dan jika dia meminta
perlindungan kepada-Ku maka Aku akan berikan perlindungan kepadanya.’” 17

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang menjadi wali
Allah Subhanahu wa Ta’ala (kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang khusus, yaitu
orang yang memiliki keimanan yang benar, serta selalu taat dan bertakwa kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan
kepadanya kebersamaan-Nya yang khusus18 yang mengandung arti pertolongan-
Nya, taufik-Nya, penjagaan-Nya, dan perlindungan-Nya pada pendengaran,
penglihatan, ucapan lisan, langkah kaki, dan perbuatan semua anggota badannya lahir
dan batin.19 Oleh karena itu, mereka selalu berada di atas keridhaan-Nya dan terhindar
dari segala keburukan20.

2- Meraih ridha Allah Ta’ala dan kemuliaan tinggi yang abadi di Surga.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

ِ ‫ت تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِهَا األ ْنهَا ُر خَالِ ِدينَ فِيهَا َو َم َسا ِكنَ طَيِّبَةً فِي َجنَّا‬
ٌ ‫ت َع ْد ٍن َو ِرضْ َو‬
‫ان‬ ِ ‫َو َع َد هَّللا ُ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َو ْال ُم ْؤ ِمنَا‬
ٍ ‫ت َجنَّا‬
‫ك هُ َو ْالفَوْ ُز ْال َع ِظي ُم‬
َ ِ‫ِمنَ هَّللا ِ أَ ْكبَ ُر َذل‬

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, (akan
mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat tinggal yang indah di surga ‘Adn (yang
kekal abadi) . Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; Itu adalah keberuntungan
yang besar (QS at-Taubah, 72).

Dengan keimanan yang benar, ketakwaan serta ketaatan kepada Allah Subhanahu wa


Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka meraih keridhaan-Nya dan
menempati tempat-tempat yang indah di Surga yang kekal abadi, inilah
keberuntungan paling besar dan mulia bagi seorang hamba. 21

3- Penjagaan dan perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala keburukan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

‫إِ َّن هَّللا َ يُدَافِ ُع ع َِن الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬

Sesungguhnya Allah akan membela (menjaga/melindungi) orang-orang yang


beriman (QS al-Hajj: 38).

‫وهللا ولي المؤمنين‬

Dan Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman (QS Ali ‘Imran: 68).

Maksud dari ayat “sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melindungi


orang-orang yang beriman” adalah Allah akan melindungi orang-orang yang beriman
dengan sebab keimanan mereka dari semua keburukan, menjaga mereka dari
kejahatan setan jin maupun manusia dan dari kejahatan musuh-musuhnya, serta
melindungi mereka dari keburukan-keburukan sebelum terjadinya dan meringankan
atau menghilangkannya setelah terjadinya. Setiap orang yang beriman akan
mendapatkan penjagaan dan perlindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai
dengan keadaan/ kuat atau lemahnya iman di dalam hatinya. 22

4- Membuahkan kehidupan yang indah dan penuh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

َ ً‫صالِحا ً ِم ْن َذ َك ٍر أَوْ أُ ْنثَى َوهُ َو ُم ْؤ ِم ٌن فَلَنُحْ يِيَنَّهُ َحيَاة‬


َ‫طيِّبَةً َولَنَجْ ِزيَنَّهُ ْم أَجْ َرهُ ْم بِأَحْ َس ِن َما َكانُوا يَ ْع َملُون‬ َ ‫َم ْن َع ِم َل‬

Barangsiapa yang mengerjakan amal salih (ibadah), baik laki-laki maupun


perempuan dalam keadaan beriman (dengan iman yang benar), maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya
akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS an-Nahl: 97).

Hal ini dikarenakan iman yang benar memiliki beberapa keistimewaan besar, di
antaranya menjadikan hati tenang, damai, qana’ah (menerima) pembagian rezki yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dan tidak bergantung kepada selain-Nya. Inilah
kehidupan indah yang hakiki, karena sesungguhnya asal kehidupan bahagia adalah
kedamaian dan ketenangan dalam hati, serta terhindarnya hati dari semua yang
menjadikannya galau dan gundah.23

Oleh karena itu, Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di
dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan (hidup)” atau “rezki yang halal dan
baik” dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup semua kesenangan hidup yang
hakiki.24

5- Merasakan khusyu’ ketika melaksanakan shalat dan ibadah lainnya kepada


Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini merupakan sebab utama untuk meraih
kelapangan jiwa dan kesejukan hati.

Allah Ta’ala berfirman,

َ‫َاشعُون‬ َ ‫ الَّ ِذينَ هُ ْم فِي‬، َ‫قَ ْد أَ ْفلَ َح ْال ُم ْؤ ِمنُون‬


ِ ‫صالتِ ِه ْم خ‬

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang


khusyu’ dalam shalatnya (QS al-Mu’minuun: 1-2).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa shalat yang akan menjadi penyejuk hati dan
pelapang jiwa bagi manusia adalah shalat yang dilaksanakan dengan khusyu’.

Beliau berkata, “Khusyu’ dalam shalat hanyalah diraih oleh orang yang hatinya
tercurah sepenuhnya kepada shalat (yang sedang dikerjakannya), dia hanya
menyibukkan diri dan lebih mengutamakan shalat tersebut dari hal-hal lainnya. Ketika
itulah shalat akan menjadi (sebab) kelapangan (jiwanya) dan kesejukan (hatinya),
sebagamana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits riwayat
imam Ahmad dan an-Nasa-i, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah menjadikan qurratul
‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksana-kan) shalat.” 25

6- Meraih hidayah (petunjuk) yang sempurna dan taufik dari Allah Subhanahu wa


Ta’ala untuk menempuh jalan yang lurus dan istiqamah di atasnya sampai di akhir
hayat.

Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫إِ َّن الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬


ِ ‫ت يَ ْه ِدي ِه ْم َربُّهُ ْم بِإِي َمانِ ِه ْم تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِ ِه ُم األ ْنهَا ُر فِي َجنَّا‬
‫ت النَّ ِع ِيم‬

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, mereka


diberi petunjuk oleh Rabb mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) karena keimanan
mereka, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh
kenikmatan (QS Yunus: 9).

‫ُ َوهَّللا ُ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬،‫ َو َم ْن ي ُْؤ ِم ْن بِاهَّلل ِ يَ ْه ِد قَ ْلبَه‬،ِ ‫صيبَ ٍة إِال بِإِ ْذ ِن هَّللا‬
ِ ‫اب ِم ْن ُم‬
َ ‫ص‬َ َ‫َما أ‬

Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali denga izin Allah.
Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk
kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS at-Taghaabun: 11).

Makna ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kepada mereka,


dengan sebab keimanan di hati mereka, seagung-agung balasan dari-Nya, yaitu
hidayah dan taufik untuk menempuh jalan yang lurus di dunia, melimpahkan kepada
mereka ilmu yang bermanfaat dan amal salih, serta memudahkan mereka meniti jalan
menuju surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan abadi. 26

7- Mendapat kabar gembira dengan kemuliaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan


keamanan yang sempurna di dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

َ‫َوبَ ِّش ِر ْال ُم ْؤ ِمنِين‬

Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman (QS al-Baqarah: 223
dan ash-Shaff, 13).

‫ك هُ َو ْالفَوْ ُز ْال َع ِظي ُم‬


َ ِ‫ت هَّللا ِ َذل‬ ِ ‫لَهُ ُم ْالبُ ْش َرى فِي ْال َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َوفِي‬
ِ ‫اآلخ َر ِة ال تَ ْب ِدي َل لِ َكلِ َما‬

Bagi mereka (orang-orang yang beriman dan bertakwa) kabar gembira di dalam
kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang
besar (QS Yunus: 64).

ٍ ‫ت أَ َّن لَهُ ْم َجنَّا‬


‫ت تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِهَا األ ْنهَا ُر‬ ِ ‫َوبَ ِّش ِر الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬

Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang beriman dan beramal salih,
bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
(QS al-Baqarah: 25).

Maka mereka mendapatkan kabar gembira dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam


semua kebaikan di dunia dan akhirat. Demikian juga keamanan yang sempurna di
dunia dan akhirat, keamanan dari murka dan azab-Nya, serta keamanan dari segala
keburukan.27

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

َ ِ‫الَّ ِذينَ آ َمنُوا َولَ ْم يَ ْلبِسُوا إِي َمانَهُ ْم بِظُ ْل ٍم أُولَئ‬


َ‫ك لَهُ ُم األ ْمنُ َوهُ ْم ُم ْهتَ ُدون‬

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan


kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS al-An’aam: 82).

ٌ ْ‫فَ َم ْن آ َمنَ َوأَصْ لَ َح فَال َخو‬


َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َوال هُ ْم يَحْ َزنُون‬

Barangsiapa yang beriman dan memperbaiki (dirinya), maka tak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS al-An’aam: 48).
8- Menolak keragu-raguan dan ketidakyakinan yang menimpa banyak manusia dan
merusak agama mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

َ ِ‫يل هَّللا ِ أُولَئ‬


َ‫ك هُ ُم الصَّا ِدقُون‬ ِ ِ‫إِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ الَّ ِذينَ آ َمنُوا بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه ثُ َّم لَ ْم يَرْ تَابُوا َو َجاهَدُوا بِأ َ ْم َوالِ ِه ْم َوأَ ْنفُ ِس ِه ْم فِي َسب‬

Sesungguhnya orang-orang yang beriman tidak lain adalah orang-orang yang


beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang
yang benar (QS al-Hujuraat: 15).

Ayat ini menunjukkan bahwa iman yang benar akan menghilangkan secara
keseluruhan keraguan dan kebimbangan yang merusak iman, serta menolak semua
kerancuan yang dilontarkan oleh para setan dari kalangan jin maupun manusia dan
dari nafsu yang selalu menyuruh kepada kejelekan. Maka tidak ada obat yang bisa
menangkal penyakit parah yang membinasakan ini kecuali merealisasikan iman yang
benar.28

9- Kemudahan untuk menerima nasehat dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-
Qur’an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

َ‫َو َذ ِّكرْ فَإِ َّن ال ِّذ ْك َرى تَ ْنفَ ُع ْال ُم ْؤ ِمنِين‬

Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfa’at bagi


orang-orang yang beriman (QS adz-Dzaariyaat: 55).

َ‫ك آليَةً لِ ْل ُم ْؤ ِمنِين‬


َ ِ‫إِ َّن فِي َذل‬

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran)


bagi orang-orang yang beriman (QS al-Hijr: 77).

َ‫ت َعلَ ْي ِه ْم آيَاتُهُ زَا َد ْتهُ ْم إِي َمانًا َو َعلَى َربِّ ِه ْم يَتَ َو َّكلُون‬ ْ َ‫إِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ الَّ ِذينَ إِ َذا ُذ ِك َر هَّللا ُ َو ِجل‬
ْ َ‫ت قُلُوبُهُ ْم َوإِ َذا تُلِي‬

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-
ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah mereka
bertawakkal (QS al-Anfaal: 2).

Dalam ayat pertama ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan hanya orang-


orang yang beriman dengan benarlah yang bisa mengambil manfaat dan pelajaran dari
nasehat dan peringatan dari Allah.29

Hal ini dikarenakan keimanan yang benar akan membawa seorang hamba untuk
berpegang teguh dan selalu mengikuti kebenaran, dalam ilmu dan amal, maka dalam
dirinya ada kesiapan untuk selalu menerima peringatan-peringatan yang bermanfaat
dan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menunjukkan kebenaran. Dalam
dirinya tidak penghalang untuk menerima kebenaran dan mengamalkannya.

Sebagaimana keimanan yang benar juga akan menjadikan fitrah manusia bersih dan
selamat dari penyimpangan, serta menjadikan niatnya lurus, sehingga dengan ini dia
mudah mengambil manfaat dari nasehat dan peringatan. 30

10- Menjadikan seorang hamba selalu bersyukur ketika mendapat kesenangan dan


bersabar ketika ditimpa kesusahan, serta meraih kebaikan dalam semua keadaan.

Dari Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wasallam bersabda, “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena
semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya untuk orang
yang beriman; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah
kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah
kebaikan baginya.”31

Sifat syukur dan sabar adalah penghimpun segala kebaikan, maka orang yang beriman
selalu meraih kebaikan di setiap waktu dan memperoleh keberuntungan di semua
keadaannya. Orang yang beriman ketika mendapatkan kesenangan terhimpun pada
dirinya dua kebaikan sekaligus, yaitu nikmat memperoleh kesenangan tersebut dan
taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mensyukuri nikmat tersebut, yang ini
lebih mulia daripada kesenangan itu sendiri, dan dengan ini sempurnalah nikmat
kebaikan bagi hamba tersebut.

Adapun ketika ditimpa kesusahan, maka kesenangan terhimpun pada dirinya tiga
kebaikan sekaligus, yaitu dihapuskannya dosa-dosa, mendapat taufik dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk meraih kedudukan sabar yang lebih mulia daripada
penghapusan dosa-dosa, dan diringankannya kesusahan tersebut dengan dia
memperhitungkan pahala dan keutamaan di sisi-Nya. 32
***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc., MA.

Artikel Muslim.or.id

Anda sedang membaca: " Bilakah Pohon Iman Berbuah Manis? ", baca lebih
lanjut dari artikel berseri ini:

 Bilakah Pohon Iman Berbuah Manis? (1)


 Bilakah Pohon Iman Berbuah Manis? (2)
____

1 HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).

2 HSR Muslim (no. 34).

3 HR Imam Ahmad (4/264), an-Nasa-i (3/54 dan 3/55), Ibnu Hibban dan al-Hakim (no. 1900),
dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh Al
Albani dalam kitab “Zhilaalul jannah fii takhriijis sunnah” (no. 424).

4 Kitab “Syarh shahih Muslim” (2/2).

5 Kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 6-7).

6 Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 425).

7 Kitab “I’laamul muwaqqi’iin” (1/171).

8 Kitab “Fathul Baari” (1/60).

9 Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 631).

10 Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (1/97).

11 HR al-Hakim (1/45), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-
Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh Imam al-Haitsami dan Syaikh al-Albani (lihat “Silsilatul
ahaadiitsish shahiihah” no. 1585).
12 Kitab “I’laamul muwaqqi’iin ‘an Rabbil ‘alamin” (1/173-175).

13 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/451) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 593).

14 Dinukil oleh murid beliau yaitu Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Madaarijus saalikiin”
(2/68).

15 Kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 71).

16 Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 72).

17 HSR al-Bukhari (no. 6137).

18 Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Jawaabul kaafi” (hal. 131).

19 Lihat kitab “Syarhu shahih Muslim” (15/151) dan “Faidhul Qadiir” (2/240).

20 Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 519).

21 Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 73-74).

22 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 539) dan “at-Taudhiihu wal bayaanu li
syajaratil iimaan” (hlmn 74).

23 Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 76-77).

24 Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/772).

25 HR Ahmad (3/128) dan an-Nasa-i (7/61), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

26 Lihat kitab “ Fathul Qadiir” (2/618) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 358).

27 Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 87).

28 Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 93).

29 Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” (17/50).


30 Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 91).

31 HSR Muslim (no. 2999).

32 Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 92-93).

Anda mungkin juga menyukai