Anda di halaman 1dari 57

AKHLAK BERTETANGGA DALAM ISLAM

Karya Tulis

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Akhir

Tingkat Muallimin

Disusun Oleh:

Syifa Aliifah

NIS: 1213.10.187

PESANTREN PERSATUAN ISLAM 31 BANJARAN

TINGKAT MU’ALLIMIN

2015-2016 M
LEMBAR PENGESAHAN I

Karya Tulis yang berjudul:

AKHLAK BERTETANGGA DALAM ISLAM

telah disetujui dan disahkan pada:

Oleh:

Pembimbing

Sani Insan Muhamadi, M.Pd

Mengetahui,

Mudirul ‘Am Mudir Muallimin

H. O. Surachman H. Uro Yusup, S.Ag.


LEMBAR PENGESAHAN II
Karya Tulis yang berjudul:

ETIKA BERTETANGGA DALAM ISLAM

telah disetujui dan disahkan pada:

Dan dinyatakan LULUS/TIDAK LULUS

Penguji,
ABSTRAKSI

Jumlah masyarakat dunia makin hari makin banyak. Hal itu mengindikasikan
bahwa kita harus selalu berinteraksi dengan yang lainnya karena kebutuhan
seseorang tidak bisa dipenuhi oleh orang itu sendiri. Manusia terlahir sebagai
makhluk sosial, yang membutuhkan satu sama lain, bukan makhluk individual
yang berdiri sendiri. Interaksi manusia dimulai dari tingkatan yang sederhana ke
tingkatan yang lebih kompleks, yaitu mulai dari interaksi dalam keluarga,
masyarakat sekitar, lingkungan sekolah atau lingkungan kerja dan yang paling
luas adalah interaksi dengan masyarakat dunia. Sebuah masyarakat akan harmonis
jika interaksi dengan tingkat yang sederhana berjalan dengan baik, tidak diwarnai
dengan berbagai perselisihan.
Islam telah mengatur interaksi antarmasyarakat dengan begitu rinci, mulai
dari tingkat sederhana hingga tingkat yang lebih kompleks. Sebagai contoh, Islam
telah mengatur interaksi dengan masyarakat sekitar –yang biasa disebut tetangga–
dalam Al-Quran Surat Al-Maidah: 36 dan Al-Quran Surat Al-Ahzab: 60-61.
Selain dalam dua surat tersebut, Islam mengatur interaksi dengan masyarakat
sekitar dalam hadits-hadits Rasulullah secara rinci. Dalam hadits Rasulullah,
disebutkan akhlak dan kebiasaan Rasulullah kepada tetangganya, baik yang
beragama Islam maupun yang tidak beragama Islam.
Perselisihan antartetangga yang kerap kali terjadi di masyarakat sebenarnya
tidak akan terjadi jika setiap orang memahami aturan Islam mengenai akhlak
terhadap tetangga. Seringkali, sebab perselisihan yang berujung tawuran di kota-
kota besar adalah hal kecil seperti kesalahpahaman antartetangga atau prasangka
buruk kepada tetangga. Dalam Islam, berprasangka buruk kepada tetangga itu
sangatlah dilarang.
Kata kunci: akhlak, tetangga
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Mengetahui, Yang Pengetahuan-Nya

meliputi segala sesuatu. Berkat rahmat dan pertolongan Allah-lah karya tulis ini

dapat disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan

di tingkat Muallimin khususnya Pesantren Persatuan Islam 31 Banjaran.

Dalam penyusunan karya tulis ini tentu banyak kesulitan dan rintangan yang

dihadapi penyusun, sehingga karya tulis ini tidaklah lepas dari bantuan berbagai

pihak yang telah dengan ringan tangan memberikan bantuan kepada penyusun.

Tak ada ucap lampah yang bisa penyusun sampaikan kecuali terima kasih atas

berbagai hal yang dalam lembaran yang tipis ini tidak mungkin dapat penyusun

uraikan secara rinci. Dengan demikian, melalui lembaran ini izinkanlah penyusun

untuk menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Al-Ustadz H. O. Surachman, selaku Mudirul ‘Am Pesantren Persatuan Islam

31 Banjaran.

2. Al-Ustadz H. Uro Yusup S.Ag,selaku Mudir Muallimin Pesantren Persatuan

Islam 31 Banjaran.

3. Al-Ustadz Sani Insan Muhamadi, M.Pd, selaku pembimbing yang dengan

sabar dan ikhlas memberikan ilmu serta bimbingan dan arahan kepada

penyusun dalam menyelesaikan karya tulis ini.


4. Seluruh Asatidz beserta jajaran staff Muallimin Pesantren Persatuan Islam 31

Banjaran, atas segala arahan dan dorongan motivasi selama penyusun

menempuh pendidikan di Pesantren Persatuan Islam 31 Banjaran.

5. Mamah dan Bapak tercinta atas segala dorongan, dukungan, doa serta nasihat

yang tidak henti-hentinya mengalir.

6. Teman-teman, khususnya angkatan VI untuk setiap canda tawa di sela

kesibukan tugas akhir yang begitu banyak menjelang kelulusan. Semoga lilin

harapan kita terus menyala dan kita terus yakin bahwa lilin itulah yang akan

menyinari kehidupan kita nantinya.

7. Semua pihak yang tidak bisa penyusun sebutkan satu persatu, yang telah

membantu memberikan inspirasi kepada penyusun dalam menyelesaikan

karya tulis ini.

Jazaakumullaahu Khairan Katsiiran. Semoga Allah memberikan imbalan

yang jauh lebih baik atas bantuan dan kebaikan yang telah mereka berikan

sehingga bernilai ibadah disisi Allah. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Penyusun sepenuhnya menyadari bahwa karya tulis ini sangat jauh dari kata

sempurna, karena karya tulis ini bukanlah sebuah proses akhir dari pemaparan

suatu masalah, melainkan langkah awal yang masih memerlukan banyak koreksi.

Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran yang sifatnya

membangun untuk penyempurnaan karya tulis ini di masa yang akan datang.

Akhir kata, penyusun berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi

para pembaca baik dari kalangan lembaga pendidikan Pesantren Persatuan Islam

31 Banjaran maupun pembaca lainnya.


Banjaran, Juni 2016

Penyusun
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................

ABSTRAKSI......................................................................................................

KATA PENGANTAR.......................................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Perumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

D. Prosedur Pemecahan Masalah

E. Sistematika Penulisan

BAB II : ISI / PEMBAHASAN

A. Akhlak

1. Definisi Akhlak

2. Pembagian Akhlak

3. Ruang Lingkup Akhlak

B. Tetangga

1. Definisi Tetangga

2. Batasan Tetangga

3. Macam-Macam Tetangga
C. Akhlak Bertetangga dalam Islam

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat seringkali terjadi hubungan yang tidak

harmonis, seperti perselisihan, cekcok dan kesalahpahaman lainnya. Bahkan di

kota besar seperti Jakarta, ketidakharmonisan itu menjadi tawuran yang

berkepanjangan. Padahal tetangga adalah orang yang paling dekat dengan kita.

Merekalah yang pertama mengetahui dan merasakan kebaikan juga gangguan

kita, karena itu adab mulia bertetangga sangatlah ditekankan dalam syariat Islam.

Bertetangga adalah bagian dari kehidupan manusia yang tidak bisa ditolak.

Sebab manusia memang tidak semata-mata makhluk individu, tetapi juga

makhluk sosial. Satu sama lain harus bermitra dalam mencapai kebaikan. Islam

memerintahkan segenap manusia untuk senantiasa berjamaah dan berlomba

dalam berbuat kebaikan. Sebaliknya, Islam melarang manusia bersekutu dalam

melakukan dosa dan permusuhan.

Islam merupakan agama yang sungguh rahmatan lil ‘alamin. Maka benar

juga bahwa Rasulullah SAW sebagai Rasul yang terakhir merupakan

penyempurna agama-agama yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terdahulu.

Rasulullah SAW diutus untuk meyempurnakan akhlak. Penyempurnaan akhlak

ini sebagai bentuk respon dari akhlak orang jahiliyah yang secara moralitas jauh

dari etika yang baik. Dengan ajaran yang dibawa Rasulullah yaitu Islam dengan
kitab Al-Quran membawa kedamaian dalam kehidupan bermasyarakatnya.

Ajaran Islam merupakan agama yang universal, menyeluruh mengatur berbagai

aspek yang berkaitan dengan hubungan antar manusia.

Dapat ditinjau, ayat Al-Quran yang menerangkan tentang ibadah lebih sedikit

jika dibandingkan dengan ayat yang menerangkan tentang muamalah. Seperti

yang dinyatakan oleh Harun Nasution bahwa ayat-ayat yang menerangkan

tentang muamalah adalah 98% dan ayat-ayat yang menerangkan tentang ibadah

hanya 2%. Jumlah surat dalam Al-Quran adalah 114 surat, 2 surat tentang ibadah,

yaitu surat Al-Ikhlas dan surat At-Taubah, 17 surat bersifat netral dalam arti tidak

secara langsung dapat dikatakan sebagai surat tentang ibadah atau muamalah, dan

95 surat adalah surat-surat yang dapat diasosiasikan sebagai surat mengenai

muamalah. Sebagai contoh, QS. Al-Baqarah, QS. Al-An’am, QS. Al-Anfal, QS.

An-Nakhl, QS. An-Naml, QS. Ad-Dukhan, QS. Al-Hadid, QS. Ali Imran, QS.

An-Nisa dan QS. Al-Maidah merupakan surat yang menerangkan tentang

muamalah. (Danusiri, 2009)

Rasulullah sebagai uswah hasanah selalu memberikan contoh bagaimana

melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Akhlak atau etika yang dicontohkan

oleh Rasulullah pada dasarnya semua baik dan benar.  Salah satunya yaitu etika

Rasulullah terhadap tetangganya. Karena secara manusiawi, Rasulullah adalah

manusia biasa, yang hidup di lingkungan masyarakat juga. Seperti dijelaskan

dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim berikut.


‫ َما ز َا َل جِ رْب ِ يْ ُل‬: َ ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل‬
ُ ‫هللا َصىَّل‬ ُ َ ‫َع ِن ا ْب ِن مُع َ َر َو عَائِشَ َة َريِض‬
ِ ‫ ق َا َل َر ُس ْو ُل‬: ‫هللا َعهْن ُ َما قَا َال‬

)‫يُ ْو ِص ْيىِن ِابلْ َج ِار َحىَّت َظنَن ْ ُت َان َّ ُه َس ُي َو ّ ِرثُ ُه ( ُمتَّ َف ٌق عَلَ ْي ِه‬

Dari Ibnu Umar dan Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Berulang

kali Jibril berpesan  kepadaku supaya aku berbuat baik terhadap tetangga sehingga

aku mengira bahwa ia (tetangga) akan diberi hak waris.” (H.R. Bukhari Muslim).

Ketika masyarakat berkembang semakin luas dan kebutuhan manusia

semakin meningkat, maka hubungan dengan orang lain menjadi tidak bisa

dihindarkan. Hubungan-hubungan antara satu manusia dengan manusia yang

lainnya dalam konteks hukum Islam dikenal dengan istilah muamalah baina al-

nas. Berbeda dengan ibadah yang merupakan dimensi hubungan manusia dengan

Allah, muamalah mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.

Bidang-bidang yang diatur muamalah mencakup hubungan ekonomi dan

kehidupan sehari-hari umat Islam. Dengan kata lain, muamalah berbicara tentang

aspek privat, yakni hubungan individu dengan individu, hubungan individu

dengan kelompok, atau hubungan kelompok dengan kelompok dengan keserasian

dan keselarasan yang sempurna. Karena hubungan berlangsung antara kelompok

masyarakat dengan masyarakat lain, maka tidak bisa dipungkiri dan dihindari

dalam berhubungan dengan kelompok-kelompok masyarakat itu akan ada

perbedaan menyangkut identitas sosial, primordial maupun ideologis, termasuk

perbedaan agama sehingga sering terdapat berbagai pendapat dan keinginan.

Ketika menyangkut hubungan dengan penganut agama lain, Islam memberikan


rambu-rambu dan batasan-batasan, ada hal yang boleh dilakukan dan ada juga hal

yang tidak boleh dilakukan.

Pada tataran sosiologis, hubungan dengan sesama manusia, dengan berbagai

perbedaan itu memang tidak bisa dihindarkan. Meskipun sebagai konsekuensi

dari fakta ini adalah kemungkinan munculnya gesekan-gesekan antara berbagai

kelompok masyarakat yang berbeda itu. Dengan adanya konsekuensi tersebut,

maka perlu adanya pengetahuan dan etika dalam berperilaku dalam masyarakat.

Dari uraian latar belakang diatas, penyusun tertarik untuk menelaah lebih jauh

dan menuangkannya ke dalam karya tulis yang berjudul: “Akhlak Bertetangga

dalam Islam.”

B. Rumusan Masalah

Agar penulisan lebih terarah dan sistematis, serta pembahasan tidak keluar

dari judul, maka diperlukan adanya perumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana pandangan Islam mengenai kedudukan tetangga?

2. Bagaimana Islam mengatur akhlak seorang Muslim dalam bersikap

kepada tetangganya?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui pandangan Islam mengenai kedudukan tetangga.

2. Untuk mengetahui konsep Islam mengatur akhlak seorang Muslim dalam

bersikap kepada tetangganya.


D. Prosedur Pemecahan Masalah

Dalam menyusun karya tulis ini, penyusun menggunakan prosedur studi

literatur berdasarkan buku-buku, situs-situs website dan tulisan-tulisan yang

memiliki hubungan dengan pembahasan yang hendak dibahas. Adapun metode ini

mengacu pada ditemukannya literatur-literatur yang kemudian dapat membantu

dalam menyelesaikan serta memberikan jawaban terhadap permasalahan yang

dibahas.

E. Sistematika Penulisan

Pada karya tulis ini akan dijelaskan hasil penelitian dimulai dengan bab I

(pertama) yang merupakan bab pendahuluan. Pada bab ini dijelaskan mengenai

latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, prosedur pemecahan

masalah yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini dan sistematikanya.

Bab II (dua) merupakan bab isi/pembahasan yang didalamnya akan dijelaskan

mengenai definisi etika, definisi tetangga, keutamaan memuliakan tetangga dalam

Islam serta konsep Islam untuk mengatur hubungan dengan tetangga. Lalu akan

dikaji juga mengenai etika bertetangga dalam Islam.

Bab III (tiga) merupakan bab terakhir dari karya tulis ini. Bab ini merupakan

bab kesimpulan dan implikasi. Pada bab ini akan dijabarkan kesimpulan dari

semua pembahasan yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, juga untuk

memaparkan saran seperlunya.


BAB II

ISI / PEMBAHASAN

A. Akhlak

1. Definisi Akhlak

Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang

memiliki kedudukan yang sangat penting, disamping dua kerangka dasar lainnya

(aqidah dan syariah). Akhlak secara etimologi berarti tingkah laku seseorang yang

didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan

suatu perbuatan yang baik. Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk,

berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. 

Cara membedakan akhlak, moral dan etika yaitu, dalam etika, untuk

menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur

akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam moral dan susila menggunakan tolok

ukur norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam

masyarakat (adat istiadat) dan dalam akhlaq menggunakan ukuran Al-Qur’an dan

Al-Hadis untuk menentukan baik-buruknya.

Tiga pakar di bidang akhlak, yaitu Ibnu Miskawaih, Imam Ghazali

dan Ahmad Amin, menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada

diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik dengan senang tanpa

mempertimbangkan pemikiran, penelitian dan paksaan terlebih dahulu.


Hal yang sama dikemukakan oleh Zakiah Darajat dalam Sofyan Sauri (1970:

6) bahwa para ahli filsafat Islam yang terkenal memberikan definisi tentang

akhlak sebagai keadaan dan kecenderungan jiwa yang mendorong ke arah

melahirkan perbuatan tanpa pemikiran dan penelitian.

Jauh sebelumnya, Imam Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah suatu

keadaan yang tertanam didalam jiwa yang menampilkan perbuatan-perbuatan

dengan senang tanpa memerlukan pemikiran dan penelitian.

Akhlak juga diartikan sebagai suatu tingkah laku, tetapi tingkah laku tersebut

harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan

perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seseorang dapat dikatakan

berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam diri

dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi pertimbangan yang

sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk

berbuat. Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah

pencerminan dari akhlak.

Ada empat hal yang harus ada apabila seseorang ingin dikatakan berakhlak,

yaitu:

1. Perbuatan yang baik atau buruk.

2. Kemampuan melakukan perbuatan.

3. Kesadaran akan perbuatan itu

4. Kondisi jiwa yang membuat cenderung melakukan perbuatan baik atau buruk.


Akhlak bersumber pada agama, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah yang menjadi

pegangan dalam segala urusan dunia dan akhirat. Kedua sumber itulah yang

menjadi sumber akhlak Islamiyyah. Perangai sendiri mengandung pengertian

sebagai suatu sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang. Pembentukan

perangai ke arah baik atau buruk, ditentukan oleh faktor dari dalam diri sendiri

maupun dari luar, yaitu kondisi lingkungannya. Lingkungan yang paling kecil

adalah keluarga, melalui keluargalah kepribadian seseorang dapat terbentuk.

2. Pembagian Akhlak

Akhlak terbagi kepada dua macam, yaitu akhlak baik (Al-Hamidah) dan

akhlak buruk (Adz-Dzamimah). Berikut penjelasan dari dua macam akhlak

tersebut.

a. Akhlak Baik (Al-Hamidah)

Menurut Imam Ghazali, apabila perbuatan yang keluar dari seseorang itu baik

dan terpuji menurut syara’ dan akal, maka perbuatan akhlak itu dinamakan

akhlak yang baik.

Beberapa contoh akhlak baik, yaitu jujur (Ash-Shidqu), berprilaku baik

(Husnul Khuluqi), malu (Al-Haya'), rendah hati (At-Tawadlu'), murah hati

(Al-Hilmu) dan sabar (Ash-Shobr).

b. Akhlak Buruk (Adz-Dzamimah)

Menurut Imam Ghazali, jika perbuatan yang keluar dari seseorang itu

perbuatan yang buruk, ia dinamakan akhlak yang buruk.


Beberapa contoh akhlak buruk, yaitu mencuri/mengambil bukan haknya, iri

hati, membicarakan kejelekan orang lain (bergosip), membunuh dan segala

bentuk tindakan yang tercela dan merugikan orang lain (makhluk lain).

3. Ruang Lingkup Akhlak

Yunahar Ilyas (2001: 10), menjelaskan ruang lingkup akhlak sebagai berikut:

a. Akhlak terhadap Allah, antara lain: taqwa, cinta dan ridha, ikhlas, khauf dan

raja’, tawakkal, syukur, muraqabah, taubat, husnuzhan, dll. Menurut Sofyan

Sauri (2011: 10) akhlaq kepada Allah harus berdasarkan kepada rukun agama.

Rukun agama yang berkaitan dengan agama adalah ihsan.

b. Akhlak terhadap Rasulullah, antara lain: mencintai, memuliakan, menaati dan

meneladani beliau.

c. Akhlak pribadi, yang paling dekat dengan seseorang itu adalah dirinya

sendiri, maka hendaknya seseorang itu menginsyafi dan menyadari dirinya

sendiri, karena hanya dengan insyaf dan sadar kepada diri sendirilah, pangkal

kesempurnaan akhlak yang utama, budi yang tinggi. Manusia terdiri dari

jasmani dan rohani, disamping itu manusia telah mempunyai fitrah sendiri,

dengan semuanya itu manusia mempunyai kelebihan dan dimanapun saja

manusia mempunyai perbuatan.

d. Akhlak berkeluarga, akhlak ini meliputi kewajiban orang tua, anak, dan karib

kerabat. Islam mengarahkan para orang tua dan pendidik untuk

memperhatikan anak-anak secara sempurna, dengan ajaran-ajaran yang bijak.

Islam telah memerintahkan kepada setiap orang untuk bertanggungjawab


mengarahkan dan mendidik, terutama kepada orang tua untuk memiliki

akhlak yang luhur, sikap lemah lembut dan perlakuan kasih sayang. Sehingga

anak akan tumbuh secara sabar, terdidik untuk berani berdiri sendiri,

kemudian merasa bahwa mereka mempunyai harga

diri, kehormatan dan kemuliaan.

Seorang anak haruslah mencintai kedua orang tuanya karena mereka lebih

berhak dari segala manusia lainya untuk dicintai, ditaati dan

dihormati. Karena keduanya memelihara, mengasuh, mendidik,

menyekolahkan, mencintai dengan ikhlas agar kita menjadi seseorang yang

baik, berguna dalam masyarakat serta berbahagia di dunia dan akhirat. 

e. Akhlak bermasyarakat, seorang tetangga akan ikut bersyukur jika kita

bergembira dan ikut susah jika kita susah, mereka menolong, bersama-sama

mencari kemanfaatan dan menolak kemadhorotan.

Pendidikan akhlak tidak dapat terlepas dari

pendidikan sosial kemasyarakatan, akhlak timbul di dalam masyarakat.

Akhlak selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemajuan dan

perkembangan masyarakat. Sejak dahulu manusia tidak dapat hidup sendiri–

sendiri dan terpisah satu sama lain, tetapi berkelompok-kelompok, bantu-

membantu, saling membutuhkan dan saling mepengaruhi, ini merupakan apa

yang disebut masyarakat. Kehidupan dan perkembangan masyarakat dapat

lancar dan tertib jika tiap-tiap individu sebagai anggota masyarakat bertindak

menuruti aturan-aturan yang sesuai dengan norma-norma kesusilaan yang

berlaku.
f. Akhlak bernegara, antara lain: musyawarah, menegakkan keadilan, amar

ma’ruf nahyi munkar, hubungan pemimpin dan yang dipimpin, dll.

g. Akhlak beragama, akhlak ini merupakan akhlak atau kewajiban manusia

terhadap tuhannya, karena itulah ruang lingkup akhlak sangat luas mencakup

seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Tuhan, maupun secara

horizontal dengan sesama makhluk Tuhan.

B. Tetangga

1. Definisi Tetangga

Dalam bahasa Arab, tetangga adalah al-Jaar (‫ )اجلار‬berarti orang yang

bersebelahan denganmu. Ibnu Manzhur berkata: “Al-Jawaaru (‫)اجلوار‬, Al-

Mujaawarotu (‫)اجملاورة‬ dan Al-Jaaru (‫ )اجلار‬bermakna orang yang bersebelahan

denganmu. Bentuk pluralnya adalah Ajwaarun (‫)َأجْ َو ٌار‬, Jiirotun (‫)جِ رْي َ ٌة‬

ٌ َ ‫”)جِ رْي‬. Sedang secara istilah syar’i, tetangga bermakna orang yang


dan Jiiroonun (‫ان‬

bersebelahan secara syar’i baik dia seorang muslim atau kafir, baik atau jahat,

teman atau musuh, berbuat baik atau jelek, bermanfaat atau merugikan dan

kerabat atau bukan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetangga berarti orang (rumah) yang

rumahnya berdekatan atau sebelah-menyebelah atau orang yang tempat tinggalnya

(rumahnya) berdekatan. Sedang bertetangga berarti menjadi tetangga atau

mempunyai tetangga.
Pengertian yang sama dikemukakan WJS. Poerwadarminta (1976: 1065),

tetangga yaitu orang setangga, sebelah menyebelah. Menurut Zakaria (2006:

202), tetangga adalah orang terdekat kita, yang saling membantu, saling

memperhatikan dan saling menitipkan di waktu kita hendak bepergian.

Al-‘Aini (dalam Umdatul Qari, 22/108) menuturkan, kata al- jaar (tetangga)

disini mencakup muslim, kafir, ahli ibadah, orang fasiq, orang jujur, orang jahat,

orang pendatang, orang asli pribumi, orang yang memberi manfaaat, orang yang

suka mengganggu, karib kerabat, ajnabi, baik yang dekat rumahnya atau agak

jauh.”

Dari segi istilah, Al-Asfihani sebagaimana dikutip Waryono Abdul Ghafur

mendefinisikan tetangga dengan orang yang rumahnya dekat dengan kita atau

penghuni yang tinggal di sekeliling rumah kita, sejak dari rumah pertama hingga

rumah ke-40.

2. Batasan Tetangga

Menurut Al-Atsqalany dalam Fathul Baari (hal. 367), para ulama berbeda

pendapat mengenai hal ini. Sebagian mereka mengatakan tetangga adalah ‘orang-

orang yang shalat subuh bersamamu’, sebagian lagi mengatakan ’40 rumah dari

setiap sisi’, sebagian lagi mengatakan ’40 rumah disekitarmu, 10 rumah dari tiap

sisi’ dan beberapa pendapat lainnya.

Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama, diantara pendapat

mereka adalah:       


a. Batasan tetangga yang mu’tabar adalah 40 rumah dari semua arah. (Pendapat

Aisyah, Az-Zuhri, Hasan Al-Bashri dan Al-Auza’i)

b. Sepuluh rumah dari semua arah.

c. Orang yang mendengar azan adalah tetangga. (Pendapat Ali bin Abi Thalib)

d. Tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja.

e. Batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid.

Hasan Basri (dalam Al-Maraghi, 1974: 55-56) membatasi tetangga dengan

empat puluh rumah dari keempat arah. Yang lebih utama adalah tidak

membatasi tetangga dengan rumah, kemudian membuat pengertian bahwa

tetangga adalah orang yang dekat dengan Anda. Wajah Anda selalu berpapasan

dengan wajahnya di waktu pergi pada pagi hari, dan pulang ke rumah pada sore

hari. Penghormatan terhadap tetangga sudah menjadi tabiat bangsa Arab

sebelum Islam, kemudian Islam menguatkannya dengan ajaran yang terdapat di

dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di antara tanda-tanda penghormatan itu adalah

mengirim hadiah kepadanya, mengundangnya untuk makan bersama, berziarah,

menjenguknya apabila sakit dan lain sebagainya.

Ada juga ulama yang berpendapat bahwa tetangga tidak dibatasi pada

jumlah 40 rumah. Yang jelas, yang dipraktekkan disekitar kita dengan adanya

RT atau RW, sudah menunjukkan semangat Al-Quran dalam bertetangga.

Karena itu, yang dinamakan tetangga bisa meliputi satu komplek perumahan

atau bahkan lebih. (Ghafur, 2005: 159)


Namun pendapat-pendapat tersebut dibangun atas riwayat-riwayat yang

lemah. Oleh karena itu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam

Silsilatul Ahadits Dha’ifah (hal. 446) mengatakan bahwa semua riwayat dari

Rasulullah yang berbicara mengenai batasan tetangga adalah lemah, tidak ada

yang shahih. Maka zhahirnya, pembatasan yang benar adalah sesuai ‘urf’.

Sebagaimana kaidah fiqhiyyah yang berbunyi al-‘urfu haddu maa lam yuhaddidu

bihi asy syar’u (adat kebiasaan adalah pembatas bagi hal-hal yang tidak dibatasi

oleh syariat). Sehingga, yang tergolong tetangga bagi kita adalah setiap orang

yang menurut adat kebiasaan setempat dianggap sebagai tetangga kita.

Ulama menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni yang tinggal di

sekeliling rumah, sejak rumah pertama hingga rumah keempat puluh. Ada juga

ulama yang tidak memberi batas tertentu dan mengembalikan kepada situasi dan

kondisi setiap masyarakat. Walaupun banyak tetangga yang tidak dikenal

namanya, atau bisajadi ada yang tidak seagama, semuanya adalah tetangga yang

wajib mendapat perlakuan baik. Ikut bergembira dengan kegembiraannya,

menyampaikan belasungkawa karena kesedihannya, serta membantunya ketika

mengalami kesulitan.

Dengan demikian jelaslah bahwa tetangga rumah adalah bentuk yang paling

jelas dari hakikat tetangga, akan tetapi pengertian tetangga tidak hanya terbatas

pada hal itu saja, bahkan lebih luas lagi. Karena termasuk tetangga juga tetangga

di pertokoan, pasar, lahan pertanian, tempat belajar dan tempat-tempat yang

memungkinkan terjadinya ketetanggaan. Demikian juga teman perjalanan karena


mereka saling bertetanggaan baik tempat atau badan dan setiap mereka memiliki

kewajiban menunaikan hak tetangganya.

3. Macam-Macam Tetangga

Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang

lainnya, bertambah dan berkurang sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya,

kekerabatan, agama dan ketakwaannya serta yang sejenisnya. Tetangga juga

mempunyai beberapa martabat, ada yang rendah dan ada yang tinggi. Abu Na’im

dalam Kitab Al-Hilyah mengelompokkan tetangga kedalam tiga macam, yaitu:

a. Tetangga yang memiliki tiga hak, yaitu tetangga yang juga merupakan saudara

kita, memiliki ikatan keluarga dengan kita (memiliki hak silaturahmi),

memiliki hak sebagai sesama muslim dan memiliki hak sebagai seorang

tetangga.

Masyarakat kita (masyarakat Indonesia) suka berkooni dan tidak mau tinggal

jauh dari keluarga. Tak mengherankan, jika dahulu sebuah kampong terbentuk

dari sebuah keluarga. Orang tua memiliki beberapa anak kemudian menikah.

Rumah anak yang sudah menikah ada di samping rumah orang tua. Mereka

memiliki keturuan, berumah tangga dan memiliki rumah di samping rumah

orang tua, dan seterusnya seperti itu turun temurun. Bila diruntut silsilah

keluarga, mereka memiliki hubungan darah dan kekerabatan.

b. Tetangga yang memiliki dua hak, yaitu tetangga yang beragama Islam, mereka

memiliki hak sebagai sesame muslim dan hak sebagai seorang tetangga.
c. Tetangga yang memiliki satu hak, yaitu tetangga yang musyrik, tidak ada

rahmat baginya. Atau dalam kata lain, tetangga yang memiliki satu hak adalah

tetangga yang tidak beragama Islam. Meski tidak beragama Islam, namun

mereka memiliki hak untuk tinggal dan berinteraksi dengan kita sebagaimana

seorang tetangga.

Dengan demikian berbuat baik kepada tetangga ada tingkatannya. Semakin

besar haknya, semakin besar tuntutan agama terhadap kita untuk berbuat baik

kepadanya. Disisi lain, walaupun tetangga kita tidak beragama Islam, ia tetap

memiliki satu hak yaitu hak tetangga. Jika hak tersebut dilanggar, maka kita

terjatuh pada perbuatan zhalim dan dosa. Sehingga sebagai muslim kita dituntut

juga untuk berbuat baik pada tetangga yang tidak beragama Islam sebatas

memenuhi haknya sebagai tetangga tanpa menunjukkan loyalitas kepadanya,

agamanya dan kekufuran yang ia anut.

Rasulullah telah memberi contoh mengenai hal itu, yakni ketika beliau

menjenguk seorang Yahudi yang sedang sakit, meski tetangga Rasulullah adaah

seorang Yahudi, namun beliau menjenguknya dan berbuat baik sebagaimana

seorang tetangga pada umumnya.

Seperti hadits dari Abdullah bin Umar, apabila disembelihkan untuknya

seekor kambing, beliau menyuruh supaya diberikan sedikit daging itu kepada

tetangga yahudinya.

C. Akhlak Bertetangga dalam Islam


Kehidupan bermuamalah telah diatur oleh Allah dalam Al-Quran dengan

sangat rinci. Islam menetapkan prinsip-prinsip hubungan sosial berdasarkan tiga

pondasi: ibadah kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan rasa takut

kepada Allah. Mempererat hubungan antara masing-masing individu keluarga

atau masyarakat, dimulai dari tetangga dan berakhir pada ibnu sabil. Kemudian

dermawan dalam berinfak dan bersedekah untuk perkara ma’ruf, melawan sifat

kikir dan riya sebab ia adalah sebuah kehinaan dan mengotori kepribadian dan

kehormatan. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Maidah: 36 mengenai tiga prinsip

tersebut.

‫رىَب‬Aْ A‫هللا َو َالتُرْش ِ ُكوا ِب ِه َشيْئًا َواِب لْ َوادِل َ ْي ِن ْح َسااًن َو ِب ِذي الْ ُق ْرىَب َوالْ َي َتا َمى َوالْ َم َسا ِكنيِ َوالْ َج ِار ِذي الْ ُق‬
َ ‫َوا ْع ُبدُ وا‬
‫ِإ‬
ً ‫هللا َالحُي ِ ُّب َمن اَك َن ُم ْخ َتا ًال فَخ‬
‫ُورا‬ َ ‫السبِيلِ َو َما َملَ َك ْت َأيْ َمانُمُك ْ َّن‬ َّ ‫نب َوا ْب ِن‬ ِ ‫الصا ِح ِب اِب لْ َج‬َّ ‫َوالْ َج ِار الْ ُج ُن ِب َو‬
‫ِإ‬

Artinya:

Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatupun,

dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim,

orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat,

ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.

Asbabun Nuzul:
a. Ulama (cendekiawan) Bani Israil sangat kikir terhadap ilmu pengetahuan

yang dimiliki, tidak mau menyebarkan kepada umat manusia karena khawatir

jatuh

b. martabat apabila mereka mengetahui ilmu tersebut. Sehubungan dengan itu

Allah menurunkan Quran Surat Al-Maidah ayat 36 dan 37 sebagai peringatan

terhadap kekikiran meraka, baik terhadap ilmu pengetahuan, maupun karunia

Allah yang lain. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Sa’id bin Jubair).

c. Kardum bin Zaid –sekutu Ka’ab bin Asyraf, Usamah bin Habib, Nafi bin Abi

Nafi, Bahri bin Amrin, Hayyin bin Akhthab dan Rifa’ah bin Zaid bin Tabut–

datang kepada para sahabat Anshar memberikan nasihat dengan mengatakan:

“Janganlah kamu membelanjakan harta kekayaan yang kamu miliki. Kami

takut kalau-kalau kamu jatuh miskin dengan hilangnya harta yang telah kamu

belanjakan itu. Dan janganlah kamu terburu-buru untuk menginfakkan harta

tersebut. Sebab kamu belum mengerti apa yang akan terjadi.” Kata-kata

tersebut telah melatarbelakangi turunnya ayat 36 dan 37 Quran Surat Al-

Maidah yang dengan tegas melarang seseorang berbuat kikir terhadap harta

kekayaan yang dimiliki. Demikian juga menganjurkan kepada orang lain

untuk berbuat kikir itupun dilarang oleh ajaran Islam. Dermawan adalah

perintah Tuhan, yang Dia akan memberi pembalasan yang berlipat ganda.

(HR. Ibnu Jarir dari Ibnu Ishak dari Muhammad bin Abi Muhammad dari

Ikrimah dari Ibnu Abbas).


Keterangan: Ayat ke 36-39 diturunkan berkenaan dengan larangan orang-

orang berbuat kikir dan memerintahkan berbuat kikir kepada orang lain.

Perbuatan itu sangat dimurkai Allah.

Menurut Muhammad Abduh, ibadah bukan hanya sekadar ketaatan dan

ketundukan, tetapi suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai

puncaknya karena adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa

yang kepadanya dia mengabdi, serta sebagai dampak dari keyakinan bahwa

pengabdian diri tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang arti hakikatnya

tidak terjangkau.

Perintah beribadah dalam ayat ini bukan saja ibadah ritual atau yang juga

dikenal dengan ibadah mahdhah, yakni ibadah yang cara, kadar, dan waktunya

ditetapkan oleh Allah atau Rasul, seperti shalat, zakat, shaum dan haji; tetapi

mencakup segala macam aktivitas, yang hendaknya dilakukan demi karenan

Allah.

Al-Quran menggunakan kata (‫اان‬AA‫ )إحس‬ihsaanan sebanyak enam kali, lima

diantaranya dalam konteks berbakti kepada kedua orangtua. Kata ( ‫ ) حسن‬husn

mencakup segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi. “Hasanah”

digunakan untuk menggambarkan apa yang menggembirakan manusia karena

perolehan nikmat, menyangkut diri, jasmani, dan keadaannya. Demikian

dirumuskan oleh pakar kosakata Al-Quran, Ar-Raghib Al-Asfahani.

Selanjutnya, menurut pakar tersebut, kata ihsan digunakan untuk dua hal,

pertama, memberi nikmat kepada pihak lain; dan kedua, perbuatan baik. Karena
itu, kata ihsan lebih luas dari sekadar memberi nikmat atau nafkah maknanya,

bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna adil, karena adil adalah

“memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya terhadap Anda.” Adil

adalah mengambil semua hak orang lain, sedangkan ihsan adalah “memberi lebih

banyak daripada yang harus Anda berikan dan mengambil lebih sedikit dari yang

seharusnya Anda ambil.” Karena itu pula, Rasulullah berpesan kepada seseorang,

“Engkau dan hartamu adalah untuk/milik ayahmu, orangtuamu.” Diriwayatkan

oleh Abu Dawud.

Dalam ayat di atas disebutkan tentang berbuat baik kepada tetangga yang

dekat maupun tetangga yang jauh. Para mufassir berbeda-beda dalam menafsirkan

tentang istilah tetangga dekat dan tetangga jauh ini. Menurut Ahmad Mushthafa

Al-Maraghi dalam Kitab Tafsir Al-Maraghi, yang disebut tetangga adalah satu

macam dari kaum kerabat, karena dekatnya tempat tinggal. Terkadang, seseorang

lebih mencintai tetangganya daripada kepada saudaranya. Sebagian ulama

menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni yang tinggal disekeliling rumah,

sejak dari rumah yang pertama hingga rumah keempat puluh.

Ada pula ulama yang tidak memberi batas tertentu dan mengembalikannya

kepada keadaan setiap masyarakat. Karena tetangga terkadang merupakan orang

yang belum dikenal atau lebih dari itu, tetangga adalah orang yang berlainan

agama dengan kita. Maka, semua tetangga itu harus mendapatkan kebaikan dari

kita karena hal tersebut adalah hak mereka yang menjadi kewajiban kita sebagai

seorang muslim.
Hamka dalam Tafsir Al-Azhar mengatakan surat An-Nisa ayat 36,

mengandung arti bahwa tetangga dekat menurut mayoritas ahli tafsir ialah

tetangga yang seagama, sedangkan tetangga jauh ialah tetangga yang berlainan

agama. Disebut sekaligus keduanya, supaya sama dihormati menurut taraf

pelayakannya. Ziarah-menziarahi dalam suasana kegembiraan, lawat-melawat

ketika ada yang sakit dan jenguk-menjenguk ketika ada kematian.  

Imam Hafiz Imaduddin Abul Fida Ismail bin Katsir, dalam  Tafsirul

Quranil ‘Azim, menjelaskan bahwa Ali bin Thalhah meriwayatkan dari Ibnu

Abbas, yang dimaksud dengan ( ‫القرىب‬ ‫ )اجلار ذي‬ialah tetangga yang antara kamu

dan dia ada hubungan kerabat, sedangkan ( ‫اجلنب‬ ‫ )اجلار‬ialah tetangga yang antara
kamu dan dia tidak ada hubungan kerabat. 

Sedangkan menurut Ikrimah, Mujahid, Maimun bin Mihran, Dahhak, Zaid

bin Aslam, Muqati ibnu Hayyan dan Qatadah (dalam Al-Hafizh, 1974: 122-123)

(‫رىب‬AA ‫الق‬ ‫)اجلار ذي‬ yang artinya berbuat baiklah kepada tetangga yang dekat

maksudnya adalah tetangga yang muslim. Sedangkan ( ‫اجلنب‬ ‫ )اجلار‬yang berarti


berbuat baiklah kepada tetangga yang jauh maksudnya adalah yang beragama

Yahudi dan Nasrani.

Ibnu Abbas mengatakan, tetangga dekat adalah tetangga yang dekat

denganmu. Sementara, Naufi al-Bukali mengatakan, tetangga dekat adalah


tetangga Muslim, dan tetangga jauh adalah Yahudi dan Nasrani. Imam Asy-

Syaukani mengatakan bahwa secara umum tetangga dekat adalah tetangga yang

rumahnya dekat dengan kita, dan tetangga jauh adalah tetangga yang rumahnya

jauh dengan kita.

Imam Suyuti dalam  Tafsir Jalalain (hal. 332), menjelaskan tetangga dekat

adalah yang dekat dalam bertetangga atau dalam hal pertalian darah. Sedangkan

tetangga jauh adalah teman sejawat, teman seperjalanan atau satu profesi.

Imam Qurtubi mengatakan, yang dimaksud berbuat baik termasuk di

dalamnya adalah memberikan pertolongan, bergaul dengan baik, tidak menyakiti,

dan memberi pembelaan. Termasuk memberi pertolongan adalah memperhatikan

dan membantu kondisi ekonominya.

Selain QS. Al-Maidah: 36, Allah juga berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 60-61

mengenai tetangga, yaitu:

‫ه‬AA‫ في‬A‫ك‬A ‫ مث ال جياورون‬A‫ هبم‬A‫ و املرجفون يف املدينة لنغرينك‬A‫ مل ينته املنافقون و اذلين يف قلوهبم مرض‬A‫لنئ‬

‫ قتلوا تقتيال‬A‫ و‬A‫ أيامن ثقفوا أخذوا‬A‫ ملعونني‬A‫ قليال‬A‫إ ال‬

Artinya:

Sungguh, jika orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya

dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah tidak berhenti (dari

menyakitimu), niscaya Kami perintahkan engkau (untuk memerangi) mereka,

kemudian mereka tidak lagi menjadi tetanggamu (di Madinah) kecuali sebentar,
dalam keadaan terlaknat. Dimana saja mereka dijumpai, mereka akan ditangkap

dan dibunuh tanpa ampun.

Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (1999: 122-123) pangkal ayat ini

berisi ancaman keras kepada unsur yang menghalangi perkembangan

masyarakat Islam yang telah tumbuh di Madinah, terutama sesudah Islam

menang menghadapi musuh-musuhnya pihak luar, yaitu orang Yahudi selama

ini. Meskipun mereka telah mengikat janji akan hidup berdampingan secara

damai dengan kaum Muslimin ketika masa awal Nabi hijrah ke Madinah, namun

satu demi satu perkauman Yahudi itu memungkiri janjinya dan menyatakan

sikap dengkinya yang tergambar dalam perangai mereka yang buruk. Perangai

buruk kaum Yahudi memiliki tiga corak, yaitu munafik, berpenyakit hati dan

selalu mengacau. Sa'id bin Manshur meriwayatkan dari Abi Ruzain, bahwa

beliau mengatakan: "Ketiganya itu adalah satu. Artinya ialah bahwa mereka

telah mengumpulkan ketiga perangai tersebut."

Kata al-murjifuun diambil dari kata rajafa yang pada mulanya berarti

goncang. Kata arjafa berarti membuat kegoncangan, baik dalam bentuk

perbuatan maupun berita. Yang dimaksud dengan al-murjifuun adalah orang-

orang yang menyebarkan isu negative sehingga menggoncangkan masyarakat.

Ini bisa dilakukan oleh beberapa tokoh munafik atau kafir, kemudian orang yang

lemah imann dan munafik lainnya ikut menyebarkannya, baik sengaja maupun

karena kebodohan dan kelemahan imannya.

Ibnu Abbas menjelaskan arti irjaaf sebagai pokok kata dari murjifuun yang

artinya mencari-cari fitnah atau menyebarkan berita-berita bohong untuk


mencari keuntungan dari penyebaran berita. Sebab itu, rajafa dan

raajifah  berarti juga goncang dan gempa. Karena itulah tukang-tukang

pengacau itu adalah orang-orang yang suka sekali menyebarkan berita-berita

yang menggoncangkan, bahkan mengacauka atau dalam istilah sekarang disebut

tukang provokasi.

Orang yang lemah jiwanya, atau orang banyak yang tidak sempat berpikir,

bisa cepat terpengaruh oleh berita-berita bohong semacam ini. Maka Tuhan

mengancam bahwa jika ketiga perangai itu masih ada dan bukti-bukti telah

dikumpulkan, akan Kami perintahkan engkau (untuk memerangi) mereka.

Tegasnya, jika perangai-perangai buruk itu tidak juga diubah, Allah akan

mengizinkan Nabi memusnahkan mereka, menangkapi mereka, memerangi

mereka dan menghapuskan pengaruh mereka.  

Ali bin Abi Thalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna

yang dimaksud ialah Kami benar-benar akan menjadikanmu berkuasa atas

mereka. Menurut Qatadah, sesungguhnya Kami akan perintahkan kamu untuk

memerangi mereka. As-Saddi mengatakan bahwa sesungguhnya Kami

memberikan pelajaran kepada mereka melaluimu. Rupanya orang-orang

munafik dan yang lemah itu benar-benar takut terhadap ancaman ayat ini,

sehingga tidak tercatat dalam sejarah Nabi adanya seorang munafik yang

terbunuh.

Akibatnya ialah kemudian mereka tidak lagi menjadi tetanggamu (di

Madinah), artinya bahwa mereka akan dimusnahkan atau sekurang-kurangnya


bahwa orang-orang yang diragukan kesetiannya diperintahkan untuk pindah ke

negeri lain, sebagaimana telah dilakukan kepada orang-orang Yahudi.

Menurut Ash-Shiddiqy dalam Tafsirul Quranil Majid Nur (1995: 3207)

kecuali sebentar (ujung ayat 60), maksudnya ialah mereka hanya sebentar lagi

berdiam bersama-sama dengan kalian (bertetangga) di kota Madinah.

Lafaz  mal'unina berkedudukan menjadi hal atau kata keterangan keadaan bagi

mereka, yakni masa tinggal mereka di Madinah sebentar lagi karena dalam

waktu yang dekat mereka akan diusir darinya dalam keadaan terlaknat, yaitu

dijauhkan dari rahmat Allah. Golongan munafik, orang-orang berbudi rendah

demikian pula orang-orang yang suka mengadakan provokasi, diancam oleh

Allah dengan peperangan, pembunuhan atau pengusiran dari negeri. Dalam

waktu yang singkat itu mereka senantiasa pula jauh dan rahmat Allah dan ke

mana saja mereka pergi, mereka menghadapi kehinaan bahkan di mana saja

mereka berada mereka senantiasa dalam buruan, penangkapan dan pembunuhan.

Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsirul Quranil Azhim (1978: 196-197)

dimana saja mereka dijumpai, mereka akan ditangkap dan dibunuh tanpa ampun

memiliki maksud dimanapun mereka ditemukan, mereka ditangkap karena hina

dan jumlah mereka sedikit.

Dalam Al-Quran, ayat yang membahas mengenai tetangga hanyalah tiga ayat

yang telah disebut sebelumnya yang terdapat dalam dua surat, yakni surat Al-

Maidah dan surat Al-Ahzab. Meskipun hanya dua surat, maknanya sangat dalam,

kedua ayat itu menunjukkan bahwa keimanan dan keislaman seseorang tidak
cukup hanya menunaikan lima rukun Islam saja, namun menjalin hubungan baik

dengan tetangga sangat besar pengaruhnya dalam memelihara amal ibadah.

Dalam tiga ayat tadi dijelaskan mengenai berbuat baik kepada tetangga secara

umum. Perbuatan-perbuatan baik kepada tetangga yang telah dicontohkan oleh

Rasulullah dan para sahabatnya terdapat dalam hadits-hadits beliau, diantaranya:

a. Anjuran untuk memperhatikan tetangga dan tidak menyakiti hatinya;

ُ ‫ر َريِض َ اهَّلل‬Aَ Aَ ‫ ِه َع ْن ا ْب ِن مُع‬A‫ر ْب ُن ُم َح َّم ٍد َع ْن َأبِي‬Aُ Aَ ‫دَّ ثَنَا مُع‬AA‫َح َّدثَنَا ُم َح َّمدُ ْب ُن ِمهْن َالٍ َحدَّ ثَنَا يَ ِزيدُ ْب ُن ُز َريْع ٍ َح‬

‫ار َحىَّت َظنَن ْ ُت َأن َّ ُه‬A ِ ُ‫ل ي‬Aُ A‫ا َزا َل جِ رْب ِ ي‬AA‫مَّل َ َم‬A‫ىَّل اهَّلل ُ عَلَيْ ِه َو َس‬A‫ول اهَّلل ِ َص‬
ِ A‫ييِن اِب لْ َج‬A‫وص‬ ُ A‫ا َل َر ُس‬AAَ‫َعهْن ُ َما قَا َل ق‬

- ‫ رواه البخاري‬- ‫َس ُي َو ّ ِرثُىِن‬

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Minhal telah menceritakan

kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami Umar bin

Muhammad dari Ayahnya dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma dia berkata;

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jibril senantiasa

mewasiatkanku untuk berbuat baik terhadap tetangga sehingga aku mengira

tetangga juga akan mendapatkan harta waris."

Hadits ini menunjukkan urgensi dan kedudukan tetangga dalam Islam.

Tetangga memiliki kedudukan yang penting dan hak-hak yang harus diperhatikan

setiap muslim. Sehingga dengan demikian konsep Islam sebagai rahmat untuk

alam semesta dapat direalisasikan dan dirasakan oleh setiap manusia.


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan dalam Syarh

Riyadhish Shalihin (3/177), bukan berarti dalam hadits ini Jibril mensyariatkan

bagian harta waris untuk tetangga karena Jibril tidak memiliki hak dalam hal ini.

Namun maknanya adalah beliau sampai mengira bahwa akan turun wahyu yang

mensyariatkan tetangga mendapat bagian waris. Ini menunjukkan betapa

ditekankannya wasiat Jibril tersebut kepada Rasulullah.

‫ا َل‬Aَ‫ا َل ق‬Aَ‫ا ِل ٍح َع ْن َأيِب ه َُر َيْر َة ق‬A‫نيٍ َع ْن َأيِب َص‬A‫َحدَّ ثَنَا قُتَ ْي َب ُة ْب ُن َس ِعي ٍد َحدَّ ثَنَا َأبُو اَأْلحْ َو ِص َع ْن َأيِب َح ِص‬

‫ؤ ِم ُن‬Aْ ُ‫ار ُه َو َم ْن اَك َن ي‬Aَ A‫ؤ ِذ َج‬Aْ Aُ‫و ِم اآْلخِ ِر فَاَل ي‬Aْ A‫ؤ ِم ُن اِب هَّلل ِ َوالْ َي‬Aْ Aُ‫ول اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َم ْن اَك َن ي‬
ُ ‫َر ُس‬

‫اِب هَّلل ِ َوالْ َي ْو ِم اآْل ِخ ِر فَلْ ُي ْك ِر ْم ضَ ْي َف ُه َو َم ْن اَك َن يُ ْؤ ِم ُن اِب هَّلل ِ َوالْ َي ْو ِم اآْل ِخ ِر فَلْ َي ُق ْل َخرْي ً ا َأ ْو ِل َي ْص ُم ْت‬

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan

kepada kami Abu Al Ahwash dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu

Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barangsiapa berimana kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia

mengganggu tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir

hendaknya ia memuliakan tamunya dan barangsiapa beriman kepada Allah

dan hari akhir hendaknya ia berkata baik atau diam."

Orang yang menahan banyak berbicara kecuali dalam hal-hal baik, lebih

banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang yang banyak berbicara

tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak pantas
dibicarakan. Bahkan, dinyatakan oleh Rasulullah yang dikutip oleh Imam Al-

Ghazali:

‫َم ْن َوىَق رَش َّ قَ ْب َق ِب ِه َو َذبْ َذب ِه َولَ ْقلَ ِق ِه فَ َقدْ َوىَق الرَش َّ لُك ُّ ُه‬

Artinya:

Barangsiapa yang menjaga perut, farji, dan lisannya, maka dia telah menjaga

seluruh kejelekan.

Ketiga hal yang disebutkan di atas merupakan perbuatan yang paling

banyak mengakibatkan orang celaka yang salah satu diantaranya adalah banyak

bicara. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa sikap diam itu selamanya baik,

sebab perkataan di atas bukanlah memerintahkan untuk diam, tetapi hanya

menganjurkan untuk memilih diam jika ucapan yang benar sudah tidak mampu

diwujudkan. Yang paling bijaksana adalah menempatkan kedua kondisi tersebut

sesuai dengan porsinya dan sejauhmana memberikan kemanfaatan. Orang yang

tidak memelihara lisannya dan mengganggu tetangga dengan lisannya maka ia

telah berbuat dosa besar karena pelakunya diancam dengan neraka. Ada seorang

sahabat berkata:

‫ يه‬،‫ ال خري فهيا‬:‫ قال‬.‫ ويف لساهنا يشء تؤذي جرياهنا‬،‫اي رسول هللا إن فالنة تصيل الليل وتصوم الهنار‬

‫يف النار‬

Artinya:
Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat di malam hari dan puasa di siang hari.

Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda: ‘Tidak ada

kebaikan padanya, ia di neraka’ (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak 7385, dinilai

shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad 88)

Imam Adz-Dzahabi memasukan poin ‘mengganggu tetangga’ dalam

kitabnya Al-Kaba’ir (Dosa-Dosa Besar). Al-Mula Ali Al-Qari dalam Mirqatul

Mafatih (8/3126) menjelaskan alasan wanita tersebut dikatakan masuk neraka,

yaitu karena ia mengamalkan amalan sunnah yang boleh ditinggalkan, namun ia

malah memberikan gangguan yang hukumnya haram dalam Islam.

b. Anjuran untuk memberi rasa aman kepada tetangga;

َ ‫مَّل‬A‫ىَّل اهَّلل ُ عَلَيْ ِه َو َس‬A‫ ِعي ٍد َع ْن َأيِب رُش َ يْ ٍح َأ َّن النَّيِب َّ َص‬A‫دَّ ثَنَا ا ْب ُن َأيِب ِذئْ ٍب َع ْن َس‬A‫َح َّدثَنَا عَامِص ُ ْب ُن عَيِل ٍ ّ َح‬

‫ار ُه‬Aُ A‫ْأ َم ُن َج‬Aَ ‫ا َل اذَّل ِ ي اَل ي‬AAَ‫و َل اهَّلل ِ ق‬A‫ َل َو َم ْن اَي َر ُس‬A‫ؤ ِم ُن ِقي‬Aْ Aُ‫ؤ ِم ُن َواهَّلل ِ اَل ي‬Aْ Aُ‫قَا َل َواهَّلل ِ اَل يُ ْؤ ِم ُن َواهَّلل ِ اَل ي‬

‫و بَكْ ِر ْب ُن َعيَّ ٍاش‬AAُ‫ر َوَأب‬Aَ Aَ ‫ان ْب ُن مُع‬A


ُ A‫ َو ِد َو ُعثْ َم‬A‫ا َل مُح َيْدُ ْب ُن اَأْل ْس‬AAَ‫دُ ْب ُن ُموىَس َوق‬A‫ب َ َوا ِي َق ُه اَت ب َ َع ُه َش َباب َ ُة َوَأ َس‬

‫َو ُش َع ْي ُب ْب ُن حْس ََاق َع ْن ا ْب ِن َأيِب ِذئْ ٍب َع ْن الْ َم ْقرُب ِ ِ ّي َع ْن َأيِب ه َُر ْي َر َة‬
‫ِإ‬

Telah menceritakan kepada kami Ashim bin Ali telah menceritakan kepada

kami Ibnu Abu Dzi'ib dari Sa'id dari Abu Syuraih bahwasanya Nabi

shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Allah, tidak beriman, demi

Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman." Ditanyakan kepada beliau;
"Siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah?" beliau bersabda: "Yaitu

orang yang tetangganya tidak merasa aman dengan gangguannya." Riwayat

ini dikuatkan pula oleh Syababah dan Asad bin Musa. Dan berkata Humaid

bin Al Aswad, Utsman bin Umar, Abu Bakr bin 'Ayyasy dan Syu'aib bin

Ishaq dari Ibnu Abu Dzi'b dari Al Maqburi dari Abu Hurairah."

Menurut Hasyim dalam Syarah Riyadhish Shalihin (2006, 504),

Rasulullah sampai mengulang 3 kali sabdanya tentang orang yang tidak beriman

yaitu orang yang mengganggu tetangganya. Betapa pentingnya hal tersebut,

sehingga menempatkan akhlak terhadap tetangga merupakan salah satu cerminan

tentang iman seseorang. Diantara tanda seseorang memiliki iman yaitu bagusnya

mu’amalah, utamanya dengan tetangga. Maka, barang siapa yang ternyata,

tetangga-tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya, maka merupakan

tanda bahwa orang tersebut imannya lemah. Dapat ditarik kesimpulan, bahwa dari

cara bergaul dengan tetangga dapat diukur tingkat keimanan seseorang. Dapat

dilihat pula pada kehidupan bermasyarakat bahwa masyarakat yang tidak

mengindahkan syari’at Islam, maka tidak akan banyak memperhatikan soal-soal

hidup bertetangga.

Hal tersebut sedikit banyak dapat kita lihat dari kesenjangan antara penduduk

desa dan kota saat ini. Penduduk kota yang masing-masing sibuk dengan urusan

pekerjaan dan rumah tangga masing-masing tanpa peduli dengan tetangga sendiri.

Sementara itu, di masyarakat desa yang masih melestarikan warisan dari

leluhurnya, tetap menjaga toleransi antartetangga.


Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh Riyadhish Shalihin (3/178), menjelaskan

bahwa bawa’iq maksudnya culas, khianat, zhalim dan jahat. Barangsiapa yang

tetangganya tidak aman dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Hadits

ini juga merupakan dalil larangan berbuat jahat kepada tetangga, baik dengan

perkataan ataupun perbuatan. Dalam bentuk perkataan, yaitu tetangga mendengar

hal-hal yang membuatnya terganggu dan resah. Jadi, haram hukumnya

mengganggu tetangga dengan segala bentuk gangguan. Jika seseorang

melakukannya, maka ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak memiliki

sifat sebagaimana sifat orang mukmin dalam masalah ini.

Dalam Syarh Ibnu Baththal (17/9), Ibnu Baththal mengatakan bahwa makna

tidak beriman dalam hadits ini adalah tidak sempurna imannya dan seseorang

tidak akan mencapai derajat iman yang tinggi jika mempunyai sifat seperti ini.

c. Anjuran untuk memperhatikan tetangga ketika memasak;

َ A‫َأ ْكرِث ْ َم‬Aَ‫َع ْن َأيِب َذ ّ ٍر قَا َل ِإ َّن َخ ِلييِل َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َأ ْو َصايِن ِإ َذا َط َبخْ َت َم َرقًا ف‬
‫ْظ ْر َأهْ َل‬Aُ ‫اء ُه مُث َّ ان‬A

ٍ ‫بَي ٍْت ِم ْن جِ َريا ِن َك فََأ ِصهْب ُ ْم ِمهْن َا ِب َم ْع ُر‬


‫وف‬

Dari Abu Darda RA, dia berkata, "Kekasih saya, Rasulullah SAW, pernah

berpesan kepada saya, 'Apabila kamu memasak kuah sayur, maka


perbanyaklah airnya, lalu lihatlah jumlah keluarga tetanggamu dan

berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan baik.'”

‫ا َل اَك َن‬AAَ‫وس َف َحدَّ ثَنَا الل َّ ْي ُث َحدَّ ثَنَا َس ِعي ٌد ه َُو الْ َم ْقرُب ِ ُّي َع ْن َأبِي ِه َع ْن َأيِب ه َُر َيْر َة ق‬
ُ ُ‫َح َّدثَنَا َع ْبدُ اهَّلل ِ ْب ُن ي‬

ِ ‫ول اَي ِن َس َاء الْ ُم ْس ِل َم‬


‫ات اَل حَت ْ ِق َر َّن َج َار ٌة ِل َج َارهِت َا َولَ ْو ِف ْر ِس َن َشا ٍة‬ ُ ‫النَّيِب ُّ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ ي َ ُق‬

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah menceritakan

kepada kami Al Laits telah menceritakan kepada kami Sa'id yaitu Al Maqburi

dari Ayahnya dari Abu Hurairah dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi

wasallam bersabda: "Wahai para wanita muslimah, janganlah antara

tetangga yang satu dengan yang lainnya saling meremehkan walaupun hanya

dengan memberi kaki kambing."

‫لَي َْس الْـ ُم ْؤ ِم ُن اذَّل ْي ي َْش َب ُع َو َج ُار ُه َجائِ ٌع إ ىَل َج ْن ِب ِه‬

“Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya

kelaparan” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 18108, dishahihkan Al-

Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 149)

Dalam Silsilah Shahihah (hal.229) Syaikh Al-Bani mengatakan bahwa dalam

hadits ini terdapat dalil yang jelas tentang haramnya bagi tetangga yang kaya

membiarkan tetangganya kelaparan. Maka wajib baginya untuk membantunya

dengan sesuatu yang bisa menghilangkan laparnya atau memberikannya pekerjaan


jika tidak punya dan selain itu dari kebutuhan-kebutuhan pokok. Dari hadits ini

juga terdapat isyarat bahwa dalam harta ada hak untuk dikeluarkan selain zakat,

maka jangan sampai orang-orang kaya beranggapan bahwa tanggungannya sudah

lepas hanya dengan mengeluarkan zakat harta tahunan namun wajib atasnya

menunaikan hak-hak insidental yang disebabkan karena situasi dan kondisi

tertentu.

d. Anjuran untuk mendahulukan tetangga terdekat ketika akan memberi hadiah;

‫و‬AAُ‫ َّدثَنَا َأب‬A‫ ْع َب ُة َح‬A‫دَّ ثَنَا ُش‬AA‫دَّ ثَنَا َش َباب َ ُة َح‬AA‫دَّ ثَيِن عَيِل ُّ ْب ُن َعبْ ِد اهَّلل ِ َح‬AA‫ ْع َب ُة ح و َح‬A‫َحدَّ ثَنَا َح َّج ٌاج َحدَّ ثَنَا ُش‬

‫و َل اهَّلل ِ َّن يِل‬A ‫ا قُلْ ُت اَي َر ُس‬AAَ ‫ َة َريِض َ اهَّلل ُ َعهْن‬A ‫ َة ْب َن عَبْ ِد اهَّلل ِ َع ْن عَائِ َش‬A ‫ا َل مَس ِ ْع ُت َطلْ َح‬AAَ‫مِع َْر َان ق‬
‫ِإ‬
‫َج َار ْي ِن فَ ىَل َأهِّي ِ َما ُأ ْه ِدي قَا َل ىَل َأ ْق َرهِب ِ َما ِمنْ ِك اَب اًب‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬

Telah menceritakan kepada kami Hajjaj telah menceritakan kepada kami

Syu'bah dan diriwayatkan pula, telah menceritakan kepada saya 'Ali bin

'Abdullah telah menceritakan kepada kami Syababah telah menceritakan

kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Abu 'Imran berkata;

Aku mendengar Tholhah bin 'Abdullah dari 'Aisyah radliallahu 'anha ' Aku

bertanya: "Wahai Rasulullah, aku punya dua tetangga, kepada siapa dari

keduanya yang paling berhak untuk aku beri hadiah?" Beliau bersabda:

"Kepada yang paling dekat pintu rumahnya darimu".


‫ َة ْب ِن‬A‫ويِن ِ ّ َع ْن َطلْ َح‬Aْ A‫ ْع َب ُة َع ْن َأيِب مِع َْر َان الْ َج‬A‫َحدَّ ثَنَا ُم َح َّمدُ ْب ُن بَشَّ ٍار َحدَّ ثَنَا ُم َح َّمدُ ْب ُن َج ْع َف ٍر َحدَّ ثَنَا ُش‬

‫و َل اهَّلل ِ َّن يِل‬A‫الَ ْت قُلْ ُت اَي َر ُس‬AAَ‫ا ق‬AAَ ‫ َة َريِض َ اهَّلل ُ َعهْن‬A‫ر َة َع ْن عَائِ َش‬Aَّ A‫ل ِم ْن بَيِن تَمْي ِ ْب ِن ُم‬A
ٍ A‫عَبْ ِد اهَّلل ِ َر ُج‬
‫ِإ‬
‫َج َار ْي ِن فَ ىَل َأهِّي ِ َما ُأ ْه ِدي قَا َل ىَل َأ ْق َرهِب ِ َما ِمنْ ِك اَب اًب‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah

menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada

kami Syu'bah dari Abu 'Imran AlJawniy dari Thalhah bin 'Abdullah,

seorang dari suku Bani Tamim bin Murrah dari 'Aisyah radliallahu 'anha

berkata; Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, aku mempunyai dua tetangga.

Kepada yang manakah dari keduanya bila aku memberikan hadiah?"

Beliau menjawab: "Kepada yang terdekat pintu rumahnya denganmu

diantara keduanya".

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir As-Sa’di (1/177) menjelaskan

bahwa tetangga yang lebih dekat tempatnya, lebih besar haknya. Maka sudah

semestinya seseorang mempererat hubungannya terhadap tetangganya, dengan

memberinya sebab-sebab hidayah, dengan sedekah, dakwah, lemah-lembut dalam

perkataan dan perbuatan serta tidak memberikan gangguan baik berupa perkataan

dan perbuatan.

e. Larangan dengki kepada tetangga;


ُ ُ‫َح َّدثَنَا َع ْبدُ اهَّلل ِ ْب ُن ي‬
‫ َف َأ ْخرَب َ اَن َماكِل ٌ َع ْن َأيِب ّ ِالزاَن ِد َع ْن اَأْلع َْرجِ َع ْن َأيِب ه َُر َيْر َة َريِض َ اهَّلل ُ عَنْ ُه‬A‫وس‬

‫وا َواَل‬A‫يث َواَل حَت َ َّس ُس‬ َ ‫ َّن َّالظ َّن َأ‬Aَ‫الظ َّن ف‬
ِ ‫ ِد‬A‫كْذ ُب الْ َح‬ َّ ‫ا َل اَّي مُك ْ َو‬AAَ‫مَّل َ ق‬A‫َأ َّن َر ُسو َل اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َس‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫جَت َ َّس ُسوا َواَل تَنَا َجشُ وا َواَل حَت َ َاسدُ وا َواَل تَ َباغَضُ وا َواَل تَدَ ابَ ُروا َو ُكون ُوا ِع َبا َد اهَّلل ِ خ َْوااًن‬
‫ِإ‬

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan

kepada kami Malik dari Abu Az Zinnad dari Al A'raj dari Abu Hurairah

radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk ucapan yang paling

dusta, dan janganlah kalian saling mendiamkan, saling mencari kejelekan,

saling menipu dalam jual beli, saling mendengki, saling memusuhi dan

janganlah saling membelakangi, dan jadilah kalian semua hamba-hamba

Allah yang bersaudara."

Menurut Imam Al-Ghazali, dengki itu dibagi menjadi tiga, yaitu:

a) Seseorang berharap nikmat yang ada pada orang lain hilang dan berpindah

kepadanya.

b) Seseorang berharap nikmat yang ada pada orang lain hilang, meskipun ia

tidak berhasil mendapatkannya. Sama seperti ia mendapat nikmat yang

serupa, atau ia memang tidak menyukainya. Orang ini lebih jahat daripada

orang yang pertama tadi.

c) Seseorang berharap nikmat yang ada pada orang lain hilang. Akan tetapi ia

tidak suka orang lain itu mengungguli kedudukannya.Yang ia mau


minimal masing-masing punya kedudukan yang sama. Ini juga haram,

karena sama saja tidak ridho akan pembagian Allah.

Berbuat baik kepada tetangga mewujudkan prinsip saling menolong, saling

berhubungan, saling mencintai dan perasaan bahagia. Berbuat baik kepada

tetangga dilakukan dengan tidak menyakiti, interaksi yang baik, bertukar hadiah

dan kunjungan, mengadakan jamuan, menjenguk ketika sakit dan sebagainya.

Rasulullah juga bersabda:

ِ َ‫ َو َخرْي ُ الْـجِ رْي َ ِان ِع ْند‬، ‫هللا َخرْي ُ مُه ْ ِل َصا ِح ِب ِه‬
‫هللا َخرْي ُ مُه ْ ِلـ َج ِار ِه‬ ِ ‫َخرْي ُ ْاَألحْص‬
ِ َ‫َاب ِع ْند‬

Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap

sahabatnya. Tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik

sikapnya terhadap tetangganya” (HR. At-Tirmidzi 1944, Abu Daud 9/156, dinilai

shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, 103)

Maka jelas sekali bahwa berbuat baik terhadap tetangga adalah akhlak yang sangat mulia

dan sangat ditekankan penerapannya, karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menjalani kehidupan bertetangga dengan baik dan saling menunaikan hak

masing-masing adalah suatu kebahagiaan dan tanda kebaikan sebuah masyarakat.

Bertetangga adalah bagian dari kehidupan manusia yang tidak bisa ditolak. Sebab

manusia memang tidak semata-mata makhluk individu, tetapi juga makhluk

sosial. Satu sama lain harus bermitra dalam mencapai kebaikan. Islam

memerintahkan segenap manusia untuk senantiasa berjamaah dan berlomba dalam

berbuat kebaikan. Sebaliknya, Islam melarang manusia bersekutu dalam

melakukan dosa dan permusuhan.

Tetangga memiliki kedudukan yang sangat penting karena mereka adalah

orang yang paling dekat (rumahnya) dengan kita, yang secara otomatis, mereka

jugalah yang pertama kali akan merasakan kebahagiaan dan gangguan kita.

Kedudukan tetangga dalam Islam sangatlah mulia karena tetangga menjadi tolak

ukur keimanan seseorang, bahkan orang yang menyakiti hati tetangganya diancam

masuk api neraka.

Secara khusus, orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir adalah orang

yang menghormati tetangganya. Penghormatan ini bukanlah dalam suatu bentuk

sanjungan apalagi pengagungan. Namun, penghormatan disini merupakan suatu

cara akhlak bertetangga yang baik. Akhlak tersebut yaitu merupakan cerminan
dari keimanan yang dimiliki oleh setiap individu. Dengan begitu dapat diketahui

bahwa orang yang dalam bermasyarakatnya baik, maka tingkat keimanannya

tinggi. Sebaliknya, orang yang mencerminkan akhlak yang buruk dalam

bermu’amalah atau bermasyarakat, maka kadar keimanannya rendah, jadi dapat

disimpulkan bahwasanya akhlak merupakan cerminan keimanan seseorang.

Dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 36 kita telah diperintahkan untuk

berbuat baik kepada tetangga. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga itu meliputi

dua segi, yaitu:

1. Tidak menggangu atau menyakiti tetangga, hal ini baik dalam perkataan

maupun perbuatan.

2. Berbuat hal-hal yang bermanfaat bagi tetangga, membantu kebutuhannya atau

meringankan bebannya.

Sedangkan dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 60-61 dijelaskan bahwa

orang yang mengganggu tetangganya halal untuk diperangi, ditangkap dan

dimusnahkan pengaruhnya bahkan halal untuk dibunuh. Itu artinya, mengganggu

tetangga adalah suatu hal yang sangat dilarang dalam Islam.

Mengenai tetangga yang tidak beragama Islam, Rasulullah tetap memuliakan

mereka dengan memberi mereka hak sebagai tetangga. Rasulullah memberi

contoh kepada umatnya dengan menjenguk tetangganya yang beragama Yahudi.

Rasulullah tidak memusuhi tetangganya yang tidak beragama Islam, justru

Rasulullah tetap berbuat baik kepada mereka.


B. Saran

Agar tercipta suatu sistem masyarakat yang lebih harmonis, penyusun

mencoba mengajuka beberapa saran, diantaranya:

1. Kepada para pembaca, hendaknya senantiasa berbuat baik (ihsan) kepada

tetangga karena manusia tidak diciptakan sebagai makhluk individual, tetapi

diciptakan sebagai makhluk sosial yang sangat bergantung satu sama lainnya.

Berbuat baik kepada tetangga bisa dilakukan dengan banyak cara, yang

semuanya telah dicontohkan oleh Rasulullah. Diantaranya dengan cara

menghormati, tidak menyakiti, tidak mengganggu dan memperhatikan

tetangga. Yang paling utama dan sederhana, berbuat baik kepada tetangga

bisa dilakukan dengan senyuman yang menjadikan aura kita positif.

2. Kepada pihak Pesantren Persatuan Islam 31 Banjaran, sebaiknya penugasan

Karya Tulis ini tidak dilaksanakan diakhir tahun seperti tahun ini. Karena

seperti kita tahu, santri kelas XII harus mempersiapkan banyak hal untuk

perkuliahan, seperti persiapan untuk SBMPTN dan Ujian Mandiri. Seperti

yang dirasakan, penyusun tidak fokus antara mempersiapkan tes ke perguruan

tinggi dan menyusun karya tulis ini.

3. Kepada penyusun lain, terutama kepada para calon penyusun yakni adik-adik

santri Pesantren Persatuan Islam 31 Banjaran yang mungkin kelak akan

meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan dalam karya tulis ini, penyusun

menyadari bahwa karya tulis ini sangat jauh dari kata sempurna karena

memang penyusunannya diburu oleh waktu. Maka besar kesempatan bagi

para calon penyusun untuk memperbaiki dan melengkapi karya tulis ini.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Karim.

Abdurrahman, Al-Allamah Syaikh. Mutiara Hikmah Penyejuk Hati.


diterjemahkan oleh Thalib, Abu Muhammad Harits Abrar. Malang: Cahaya
Tauhid Press.

Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. 2009. Shahih Bukhari. Kairo:
Al-Tsaqafa Al-Dinaya.

Al-Ghulayni, Musthafa. 2009. Terjemah Izhatun Nasyiin. Tangerang: PT.


Albama.

Al-Qarni, ‘Aidh. 2006. Masyarakat Idaman. Depok: Pustaka Nauha.

Anonim. 2016. Akhlak.


https://id.m.wikipedia.org. Diakses pada tanggal 01 Juni 2016 pukul
13:54.

Anr. 2009. Tetangga, Satu Pintu Syurga.


http://861iseng.blogspot.co.id/2009/04/tetangga-satu-pintu-syurga.html.
Diakses pada tanggal 11 Oktober 2015 pukul 04:33.

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Tafsir Ibnu Katsir. diterjemahkan oleh


Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press.

Az-Zuhaili, Wahbah. 2012. Tafsir Al-Wasith. diterjemahkan oleh Muhtadi, dkk.


Jakarta: Gema Insani.

Boy, Pradana. 2008. Fikih Jalan Tengah. Bandung: PT. Karya Kita.

Damayanti, Dwi Niar. 2013. Makalah Adab Bertetangga.


http://aleniariez.blogspot.co.id/2013/04/makalah-adab-
bertetangga_7242.html. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2015 pukul 03:54.
Darmatasia, Irham. 2013. Beginilah Islam Memuliakan Tetangga.
http://irhammahran.blogspot.co.id/2013/07/beginilah-islam-memuliakan-
tetangga.html. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2015 pukul 04:32.

Efendi, Kabul. ____. Hadits Tentang Etika terhadap Tetangga. http://dimas-


fendi.blogspot.co.id/p/blog-page.html. Diakses pada tanggal 11 Oktober
2015 pukul 03:53.

Hamid, Atiqah. 2013. Ibadah-Ibadah Harian Agar Terhindar dari Kemiskinan.


Yogyakarta: Diva Press.

Khakam, Amin. 2014. Ayat-Ayat Etika Beretangga dalam Al-Qur’an.


http://hakamabbas.blogspot.co.id/2014/01/ayat-ayat-etika-bertetangga-
dalam-al.html. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2015 pukul 04:28.

Khalifah, Al-A’jami Damahuri. 2005. Hadits Penuntun Akhlak dan Etika. Jakarta:
Republika.

Mahali, A. Mudjab. 2002. ASBABUN NUZUL: Studi Pendalaman Al-Qur’an.


Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Nasir, Bachtiar. 2012. Anda Bertanya Kami Menjawab. Depok: Gema Insani.

Quhb, Sayyid. Fi Zhilalil-Qur’an. diterjemahkan oleh Yasin, As’ad dkk. Jakarta:


Gema Insani Press.

Sauri, Sofyan. 2011. Filsafat dan Teosofat Akhlak. Bandung: Rizqi Press.

Shihab, M. Quraish. 2008. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Penerbit Lentera Hati.

Zakaria, Aceng. 2006. Etika Hidup Seorang Muslim. Garut: Ibn Azka Press.

Zulfa, Laila. 2012. Hak Tetangga. http://zulfa-


belajarbareng.blogspot.co.id/2014/02/hak-tetangga.html. Diakses pada
tanggal 11 Oktober 2015 pukul 03:55.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Syifa Aliifah

Tempat, Tanggal Lahir : Bandung, 11 Agustus 1998

Jenis Kelamin : Perempuan

Golongan Darah :O

Alamat : Kp. Cibiuk 04/13 Langonsari Kec. Pameungpeuk

Kab. Bandung

E-mail : aliifahsyifa@yahoo.co.id

Riwayat Pendidikan

1. RA Persis 154 Cibiuk 2003 – 2004

2. SDN Sukasari III 2004 – 2010

3. MTs Persis 31 Banjaran 2010 – 2013

4. MA Persis 31 Banjaran 2013 – 2016

Riwayat Organisasi

1. Wakil Sekretaris Ummahatul Ghad Tsanawiyyah PPI 31 2011 – 2012

2. Wakil Sekretaris Karya Ilmiah Santri Tsanawiyah PPI 31 2011 – 2012

3. Sekretaris Ummahatul Ghad Tsanawiyyah PPI 31 2012 – 2013

4. Sekretaris Karya Ilmiah Santri Tsanawiyyah PPI 31 2012 – 2013

5. Bidgar Dana Usaha Buletin WUDDA Mu’allimin PPI 31 2013 – 2014

6. Wakil Sekretaris Ummahatul Ghad Mu’allimin PPI 31 2014 – 2015

Anda mungkin juga menyukai