Anda di halaman 1dari 8

Kurikulum dan Pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

ABSTRAK: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan instruksional
bahan, dan cara yang digunakan sebagai pedoman untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai pendidikan tertentu tujuan. Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah mengembangkan
potensi peserta didik untuk menjadi manusia makhluk, yang percaya dan takut kepada Allah sebagai
satu Tuhan, memiliki karakter yang luhur, sehat, berpengetahuan, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Indonesia telah memasukkan program
pendidikan Kewarganegaraan dalam kurikulum sekolah sekitar satu dekade setelah proklamasi
kemerdekaan pada Agustus 1945. Artikel ini, oleh menggunakan metode kualitatif dan pendekatan
deskriptif, mencoba untuk mengeksplorasi kurikulum dan pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan di
Indonesia. Temuan menunjukkan bahwa lebih dari setengah abad pendidikan pendidikan, bahkan di
semua tingkat pendidikan dari pendidikan dasar, menengah ke atas, masih menyisakan masalah-
masalah umum dan klasik dari tingkat politik yang rendah terpelajar, apalagi untuk mencapai tujuan
menciptakan warga negara Indonesia yang cerdas dan terampil. Literasi politik tidak hanya pengetahuan
politik, tetapi kemampuan warga negara yang memenuhi syarat baik dalam aspek pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dan sikap. Dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, guru dituntut
untuk mengembangkan proses pembelajaran yang menarik, menyenangkan, menantang, dan
membentuk pembelajar untuk dapat berpikir kritis dan konstruktif. Guru PKn harus dapat menyajikan
kontekstual bahan belajar, menghubungkan materi pelajaran dengan kondisi nyata di lapangan,
mengatur teori dengan praktik, antara harapan dan realitas, mengidentifikasi masalah, dan mendorong
peserta didik untuk datang dengan pemecahan masalah alternatif.

KATA KUNCI: Pengembangan Kurikulum; Proses Belajar Mengajar; Kehidupan sosial; Pendidikan
Kewarganegaraan; Guru Pendidikan Kewarganegaraan.

PENGANTAR

Menurut Hukum Nasional Sistem Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1, Ayat (19), kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan tentang tujuan, isi dan instruksi bahan, dan cara yang digunakan
sebagai pedoman untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran untu mencapai tujuan pendidikan tertentu
(Fadjar, 2003). Selanjutnya, pendidikan nasional tujuan, sebagaimana telah diformulasikan dalam UU
Nomor 20 tahun 2003, adalah untuk pengembangan dari potensi peserta didik menjadi manusia menjadi
yang percaya dan berhati-hati Tuhan Yang Maha Kuasa, memiliki karakter yang mulia, sehat,
berwawasan luas, cakap, kreatif, independen, dan menjadi demokratis dan warga yang bertanggung
jawab (bdk. Fadjar, 2003; dan Iorio & Yeager, 2011). Kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan
mempersiapkan rakyat Indonesia memiliki kemampuan untuk hidup sebagai individu dan warga negara
yang setia, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif; dan mampu berkontribusi pada kehidupan
masyarakat, negara-bangsa dan dunia yang beradab (Azis, 2016). Kurikulum adalah instrumen
pendidikan untuk bisa membawa orang Indonesia yang memiliki sikap,pengetahuan, dan kompetensi
keterampilan, sehingga mereka bisa produktif, kreatif, inovatif, dan individu dan warga afektif (Azis,
2016; dan Suyahman et al., 2017). Salah satu langkah dalam penyusunan Kurikulum 2013 adalah
penataan ulang Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) ke Pancasila
(Lima Dasar Prinsip-prinsip Republik Indonesia) dan Pendidikan Kewarganegaraan atau PPKn (Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan), yang mana termasuk: Pertama, ubah nama PKn (Pendidikan
kewarganegaraan) ke PPKn (Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan). Kedua, menempatkan subjek
PPKn sebagai bagian integral dari kelompok subjek yang memiliki misi memperkuat kebangsaan. Ketiga,
menyelenggarakan Kompetensi Nasional Standar dan Kompetensi Dasar dan Indikator PPKn dengan
memperkuat Pancasila nilai-nilai dan moral, nilai-nilai dan norma-norma UUD 1945 Republik Indonesia
Indonesia, nilai-nilai dan semangat Bhineka Tunggal Ika (Kesatuan dalam Keragaman), dan wawasan dan
komitmen dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Keempat, Mengkonsolidasikan perkembangan pembelajar di dimensi: pengetahuan sipil, sikap sipil,
keterampilan sipil, keteguhan sipil, komitmen sipil, dan gagasan kewarganegaraan. Kelima, kembangkan
dan penerapan berbagai model pembelajaran di sesuai dengan karakteristik PPKnoriented karakter
pengembangan pelajar sebagai warga negara yang cerdas dan utuh yang baik. Keenam, kembangkan
dan terapkan berbagai model pembelajaran proses pembelajaran dan pembelajaran hasil-hasil PPKn
(Nurdin, 2015; dan Suyahman et al., 2017). Artikel ini, dengan menggunakan kualitatif metode dan studi
deskriptif (Creswell,2003; Johnson & Onwuegbuzie, 2004; Tukang gerobak & Littler, 2007; dan Williams,
2007), mencoba analisis kurikulum dan Pendidikan Kewarganegaraan mengajar di Indonesia, terutama
dengan berdiskusi dua hal: (1) Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan Struktur; dan (2) Pembelajaran
Pendidikan Sipil.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Pertama, Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan Struktur. Dalam pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003,
tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional atau Sistem Pendidikan Nasional) secara imperatif
menggarisbawahi bahwa: Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter dan peradaban bangsa yang bermartabat untuk mendidik kehidupan bangsa,
bertujuan untuk pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi manusia yang percaya dan
waspada kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, miliki karakter mulia, sehat, berpengetahuan, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi demokratis dan warga yang bertanggung jawab (Fadjar, 2003). Karena itu,
idealisme formasi karakter dan peradaban yang bermartabat bangsa untuk mendidik kehidupan
berbangsa, dan menjadikan pria / wanita sebagai seorang yang demokratis dan kewarganegaraan yang
bertanggung jawab secara filosofis, sosio-politik dan psiko-pedagogis, adalah misi suci pendidikan
kewarganegaraan. Seperti yang bisa terjadi diamati juga dalam Penjelasan Pasal 37, paragraf (1) bahwa
Pendidikan Kewarganegaraan adalah dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air (Nurdin, 2015; dan Suyahman et al., 2017). Dalam
konteks itu, Pendidikan Kewarganegaraan adalah pada dasarnya pendidikan atau karakter kebangsaan
pendidikan bangsa. Semua keharusan ini atau tuntutan membutuhkan kebutuhan kita apresiasi baru
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai konsep ilmiah, instrumentasi, dan keseluruhan praksis pendidikan
pada gilirannya dapat menumbuhkan "kewarganegaraan" intelijen "," partisipasi masyarakat ", dan"
kewarganegaraan tanggung jawab ”sebagai anak bangsa dan warga negara Indonesia (Affandi, 2013).
Historis-epistemologis dan pedagogis, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program kurikuler di
Indonesia dimulai dengan perkenalan mata pelajaran PKn di 1962 Kurikulum SMA berisi materi tentang
pemerintahan Indonesia di bawah UUD 1945 (Departemen P & K, 1962). Saat itu, subjek Civic atau Civics
pada dasarnya terdiri dari pengalaman belajar digali dan dipilih dari berbagai disiplin ilmu sejarah,
geografi, ekonomi, dan politik, pidato presiden, hak asasi manusia deklarasi, dan pengetahuan tentang
United Bangsa (Somantri, 1967: 7). Istilah PKn tidak ditemukan secara resmi dalam Kurikulum 1957 serta
pada tahun 1964 Kurikulum. Namun, material pada tahun 1957 Kurikulum SMP dan SMA adalah subjek
perintah konstitusional dan hukum, dan dalam Kurikulum 1964, ada subyek pengetahuan umum yang
termasuk pengetahuan pemerintah (Nurdin, 2015; dan Suyahman et al., 2017). Kemudian di Kurikulum
1968 dan 1969, istilah Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewarganegaraan digunakan secara
bergantian. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 1968 untuk SD (Sekolah Dasar atau Sekolah Dasar),
istilahnya "Pendidikan Kewarganegaraan Negara" digunakan sebagai subyek, yang termasuk Sejarah
Indonesia, Geografi Indonesia, dan Civic (diterjemahkan sebagai pengetahuan kewarganegaraan). Di
Junior Kurikulum SMA 1968 menggunakan istilah itu Pendidikan Kewarganegaraan, yang berisi sejarah
Indonesia dan Konstitusi, termasuk UUD 1945. Sedangkan di Kurikulum SMA 1968, disana adalah subyek
Pendidikan Kewarganegaraan Negara yang mengandung materi, terutama dengan menghormati UUD
1945. Sementara itu dalam Kurikulum 1969 untuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru atau Sekolah Guru
Pendidikan), subyek Pendidikan Kewarganegaraan Negara yang isinya terutama perhatian sejarah
Indonesia, Konstitusi, pengetahuan masyarakat, dan hak asasi manusia (Departemen P & K, 1969; dan
Nurdin, 2015). Selain itu, dalam Kurikulum PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan atau Proyek
Pelopor Pengembangan Sekolah) digunakan beberapa istilah, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu
Sosial, dan Kewarganegaraan dan Hukum. Untuk Sekolah Dasar atau SD (Sekolah Dasar) 8 tahun di PPSP
menggunakan istilah Kewarganegaraan Pendidikan, yang terintegrasi dengan IPS (Ilmu Pengetahuan
Sosial atau Ilmu Sosial) subjek dan seperti Studi Sosial terpadu di Amerika. istilah Kewarganegaraan
Pendidikan nampaknya sama dengan IPS Pendidikan. Di sekolah menengah empat tahun, istilah Ilmu
Sosial digunakan sebagai pengajaran IPS terpadu untuk semua kelas dan mengajar Ilmu Sosial yang
terpisah dalam bentuk Geografi, Sejarah, dan Ekonomi mengajar sebagai program utama di IPS jurusan
Ada juga subyek Kewarganegaraan Pendidikan sebagai mata pelajaran inti yang harus diperhatikan
diambil oleh semua siswa. Sementara PKn dan UU subyek diberikan sebagai subyek utama dalam IPS
anak di bawah umur (PPSP IKIP Bandung, 1973). Selanjutnya, dalam Kurikulum 1975, jangka waktu
Pendidikan Kewarganegaraan diubah menjadi PMP (Pendidikan Moral Pancasila atau Pancasila
Pendidikan Moral), yang berisi Pancasila (Lima Prinsip Dasar Republik Indonesia) Indonesia) materi
seperti yang dijelaskan dalam P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau Panduan
tentang Apresiasi dan Praktek Pancasila). Perubahan ini sejalan dengan misi pendidikan yang
dimandatkan oleh MPR RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau People
Counsultative Dewan Republik Indonesia) resolusi II / MPR / 1973. Subjek PMP ini adalah mata kuliah
wajib untuk Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Pendidikan
Guru, dan Kejuruan Sekolah. Subjek PMP ini juga harus disimpan baik dalam istilah dan isinya sampai
diberlakukannya Kurikulum 1984, yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari tahun 1975
Kurikulum (Depdikbud RI, 1976). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang menguraikan isi kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Pendidikan, sebagai subjek wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan tingkat pendidikan (Pasal 39), yang
1994 Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah mengakomodasi misi pendidikan baru
dengan memperkenalkan subyek PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau Pancasila dan
Kewarganegaraan Pendidikan). Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994
mengaturnya materi pembelajaran tidak berdasarkan nilai P4 rumus titik, tetapi berdasarkan konsep
nilai-nilai yang diekstraksi dari P4 dan pejabat lainnya sumber ditata oleh spiral yang tersebar luas
pendekatan atau spiral pengembangan konsep (cf Taba, 1967; Nurdin, 2015; dan Suyahman et al.,
2017). Pendekatan ini mengartikulasikan prinsip Pancasila dengan nilainya untuk masing-masing tingkat
pendidikan dan kelas dan triwulanan di setiap kelas (Nurdin, 2015). Sesuai dengan Keputusan MPR RI
No.II / MPR / 1998 tentang GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara atau Garis Besar Garis Besar Arah
Bangsa), Pendidikan Pancasila termasuk pendidikan P4, Moral Pancasila Pendidikan, Pendidikan Sejarah
Nasional Perjuangan, dan elemen yang bisa berlanjut dan mengembangkan jiwa, semangat, dan nilai-
nilai dari berjuang, terutama nilai-nilai 1945 ke yang lebih muda generasi. Dari sana, ada Pendidikan
Pancasila dimensi pendidikan ideologis, nilai-nilai dan pendidikan moral, dan perjuangan pendidikan
(Nurdin, 2015; dan Suyahman et al., 2017). Ketika dianalisis dengan seksama, kedua istilah digunakan
dan formulasi misi dan organisasi konten PKn atau Negara Pengetahuan, Kewarganegaraan Negara,
Moral Pancasila Pendidikan, dan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan, di dunia sekolah itu
tumbuh selama hampir empat dekade (1960 ke awal 2000-an) menunjukkan fundamental inkonsistensi
pemikiran yang mencerminkan terjadinya krisis konseptual; dan masuk Bahkan, itu berdampak pada
konseptual dan krisis pedagogis operasional (Nurdin, 2015). Menurut Udin S. Winataputra & Dasim
Budimansyah (2007), seharusnya tidak dianggap aneh, karena situasi ini seperti situasi yang dialami
dalam Amerika Serikat, di mana PKn, Pendidikan Kewarganegaraan / Kewarganegaraan, dan Sosial
Studi / Pendidikan Ilmu Sosial sejak itu dimulai pada tahun 1880-an sampai publikasi NCSS (Standar
Kurikulum Nasional untuk Studi Sosial) Dokumen Akademik di Indonesia 1994, yaitu: “Standar Kurikulum
untuk Studi Sosial: Ekspektasi Keunggulan ” (Winataputra & Budimansyah, 2007: 158). Namun demikian,
mereka sekarang berhasil mengatasi krisis konseptual dan kurikuler. Setidaknya, mereka kini telah
mencapai akademis dan konsensus terprogram yang akan, pada gilirannya, memandu kurikulum yang
koheren (lih Andriot, 2007; Winataputra & Budimansyah, 2007; dan Nurdin, 2015). Untuk Indonesia,
konsensus serupa sangat penting dan diinginkan untuk mendapatkan yang cocok paradigma Pendidikan
Sosial di sekolah. Tapi, sampai sekarang, itu belum tercapai. Hingga diberlakukannya Kurikulum 1994, di
sana tiga jenis Pendidikan Sosial, yaitu: Perlu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk semua
jenis, jalur, dan tingkat pendidikan; IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial atau Studi Sosial) sebagai bendera
sekelompok subyek bumi sains, sejarah nasional, dan sejarah umum di tingkat pendidikan dasar; dan
mata pelajaran sosial yang berdiri sendiri secara terpisah, seperti Geografi, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi,
Antropologi, dan Pemerintahan Negara di sekolah menengah (Winataputra & Budimansyah, 2007; dan
Nurdin, 2015). Inti dari PPKn adalah literasi sipil, kewarganegaraan keterlibatan, keterampilan sipil dan
partisipasi, pengetahuan sipil, dan tanggung jawab sipil. Nama PPKn bukan hal baru untuk kurikulum
pendidikan nasional. Dalam Kurikulum 1994, nama PPKn juga muncul; kemudian, dalam Kurikulum 2006
adalah "kalah"; dan pada 2013 Kurikulum, Pancasila telah telah muncul kembali (Nurdin, 2015). Dalam
Kurikulum 2006 disebutkan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter dan peradaban dari bangsa yang bermartabat untuk mendidik
bangsa kehidupan; bertujuan untuk pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi manusia yang
percaya dan hati-hati kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, mulia, sehat, berpengetahuan luas, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi demokratis dan bertanggung jawab warganegara. Sementara di Kurikulum
2013 Pendidikan Kewarganegaraan, tujuannya adalah untuk mengembangkan peserta didik menjadi
orang Indonesia, yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, yang dijiwai oleh nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945 (bdk. Winataputra & Budimansyah, 2007; dan Nurdin, 2015). Ruang lingkup
kurikulum atau substansi kunci dari Civic telah berubah menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan atau Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan). PPKn 2006 Kurikulum mencakup:
persatuan dan nasional kesatuan; norma, hukum dan peraturan; manusia hak; kebutuhan warga negara;
konstitusi negara; kekuasaan dan politik; Pancasila; dan globalisasi (Winataputra & Budimansyah, 2007).
Sementara di Kurikulum PPK 2013 meliputi: Pancasila sebagai dasar dari negara dan pandangan hidup
bangsa; 1945 Konstitusi sebagai hukum dasar yang menjadi dasar konstitusional kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara; Bhineka Tunggal Ika (Kesatuan dalam Keanekaragaman) sebagai manifestasi dari
keragaman kehidupan sosial, bangsa, dan negara dalam keragaman yang kohesif dan utuh; dan NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Kesatuan Negara Republik Indonesia) sebagai wujud dari
negara Indonesia (Nurdin, 2015). Kedua, Pembelajaran Pendidikan Sipil. Menurut J. Branson (1999),
yang tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah kualitas dan partisipasi bertanggung jawab dalam
politik dan kehidupan komunitas di lokal, negara bagian, dan nasional tingkat (Branson, 1999: 7). Tujuan
dari Pembelajaran PKn, menurut Kementerian Agama Pendidikan Nasional tahun 2006, adalah
menyediakan kompetensi berikut: (1) Kritis, rasional, dan berpikir kreatif dalam menanggapi masalah
kewarganegaraan; (2) Berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab, dan bertindak secara sadar
dalam kegiatan masyarakat, bangsa, dan negara; (3) Tumbuh secara positif dan demokratis membentuk
watak berdasarkan karakter masyarakat di Indonesia Indonesia untuk hidup bersama dengan bangsa
lain; dan (4) Berinteraksi dengan negara lain dalam aturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan
informasi dan teknologi komunikasi (cf Winataputra & Budimansyah, 2007; Tovmasyan & Thoma, 2008;
dan Nurdin, 2015). Tujuan Kewarganegaraan, diusulkan oleh A. Kosasih Djahiri (1994/1995) adalah,
pertama, dalam secara umum tujuan dari Kewarganegaraan seharusnya stabil dan mendukung
pencapaian pendidikan nasional, yaitu Memperkenalkan kehidupan suatu bangsa yang mengembangkan
Orang Indonesia sepenuhnya. Itu pria yang percaya dan saleh kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan
berbudi luhur karakter mulia, memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan fisik dan
spiritual, kepribadian yang mantap dan mandiri dan indera tanggung jawab masyarakat dan masyarakat
(Djahiri, 1994/1995: 10). Kedua, moral yang diharapkan terjadi yang direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari adalah perilaku itu memancarkan iman dan kesalehan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai agama kelompok, perilaku kemanusiaan yang adil dan
beradab, perilaku yang mendukung orang yang memprioritaskan kepentingan umum minat di atas
individu dan kelompok, jadi bahwa perbedaan pendapat atau minat adalah ditangani melalui konsensus,
serta perilaku yang mendukung upaya mewujudkan sosial keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
(Djahiri, 1994/1995; Winataputra & Budimansyah, 2007; dan Nurdin, 2015). Sementara itu, menurut
Sapriya (2011), tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah partisipasi penuh rasa dan tanggung jawab
dalam kehidupan politik warga yang taat pada nilai dan prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia
(Sapriya, 2011). Efektif dan bertanggung jawab Partisipasi warga membutuhkan akusisi satu set ilmu dan
keterampilan intelektual dan keterampilan untuk berpartisipasi. Sangat efektif dan partisipasi yang
bertanggung jawab bisa lebih jauh ditingkatkan melalui pengembangan tertentu disposisi atau sifat yang
meningkatkan kemampuan individu untuk berpartisipasi dalam politik memproses dan mendukung
fungsi asistem politik yang sehat dan perbaikan masyarakat (Sapriya, 2011; dan Nurdin, 2015). Tujuan
umum dari pembelajaran Kewarganegaraan adalah untuk mendidik warga untuk menjadi warga negara
yang baik, dilukiskan dengan warga negara yang patriotik, toleran, dan setia bangsa dan negara, agama,
demokrasi, dan menjadi Pancasilaist sejati (Somantri, 2001: 279).Fungsi subjek PKn adalah sebagai
kendaraan untuk membentuk cerdas, terampil, dan setia warga negara yang setia kepada bangsa dan
negara Indonesia dengan merefleksikan mereka kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan
Pancasila, atau Lima Prinsip Dasar dari Republik Indonesia, dan 1945 Konstitusi (Somantri, 2001;
Winataputra & Budimansyah, 2007; dan Nurdin, 2015). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
tujuannya negara untuk mengembangkan Pendidikan Kewarganegaraan sehingga setiap warga negara
menjadi warga negara yang baik, yaitu warga negara dengan intelektual, emosional, kecerdasan sosial,
dan spiritual, memiliki rasa bangga dan tanggung jawab, dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan
komunitas. Gagasan tentang kebutuhan warga Negara literasi politik telah ada dan berkembang sejak
berdirinya negara. Ini sangat rasional karena setiap negara memiliki cita-cita luhur yang keberadaannya
perlu dipertahankan dan terawat. Upaya mempertahankan eksistensi negara dilakukan, antara lain
dengan membangun kecerdasan warga di bidang politik. Upaya ini bisa ditempuh melalui formulir
pembelajaran, sehingga semua cita-cita dapat diwujudkan dengan cara yang nyata (Winataputra &
Budimansyah, 2007; Tovmasyan & Thoma, 2008; dan Nurdin, 2015). Menurut Ian Davies & Sylvia
Hogarth (2004), ada dua pendekatan yang tidak lagi relevan sampai perlu ditolak. Pertama, yang disebut
"Civic" model diinterpretasikan secara sempit. Model ini dianggap sebagai proses transmisi factual
pengetahuan dan metodologi pembelajaran itu menekankan melek huruf sebagai produk. Kapanpun
pendekatan ini diuji, masih tidak menginspirasi dan tidak membimbing peserta didik untuk menjadi baik
warga. Pendekatan kedua ditolakdisebut model "masalah besar". Model ini mencirikan pengenalan
siswa perdebatan tentang isu-isu politik yang menekankan kebebasan politik sebagai proses belaka
(Davies & Hogarth, 2004). Mengapa kedua model ini tidak mendapatkan rekomendasi? Ada dua hal itu
adalah kelemahan: (1) guru saja mencoba mengangkat isu-isu kontroversial sebagai sebuah kasus
dengan harapan bahwa upaya ini berdampak dan dipahami secara luas, itu tidak terjadi; dan (2) peserta
didik yang memiliki pengetahuan mendalam masalah tertentu, lalu dipilih karena mereka dianggap
relevan dengan masalah saat ini, tetapi isu-isu itu dibangkitkan oleh media bukan oleh ahli pendidikan
dan tidak terjadi di proses belajar di kelas, menjadi layak materi politik (cf Stassen, Doherty & Poe, 2001;
dan Chicotas, 2009). Model alternatif, direkomendasikan oleh Ian Davies & Sylvia Hogarth (2004), adalah
Model "wacana publik". Model ini mencari untuk memfasilitasi pembelajar menguasai bahasa, konsep,
argumen, dan keterampilan sosial sebagai kondisi berpikir dan berbicara tentang kehidupan dari sudut
pandang politik. Model ini menekankan proses dan produk. Juga di model ini, pengetahuan yang
sebenarnya penting, tetapi digunakan untuk yang lebih penting lainnya kemampuan pluralisme politik
(Davies & Hogarth, 2004). Model alternatif ini didukung oleh banyak ahli, termasuk P. Newton, R. Driver
& J. Osborne (1999), yang menyarankan itu melibatkan peserta didik dalam debat aktif, itu dianggap
sangat tepat untuk mengembangkan konsep (Newton, Driver & Osborne, 1999). Proyek Inggris (Inggris)
dari Pendidikan Kewarganegaraan juga menemukan bahwa sekolah-sekolah itu memiliki model praktik
yang demokratis sangat efektif dalam meningkatkan pengetahuan sipil dan engagement (Print & Lange
eds., 2012). Tentu saja ada banyak tantangan menciptakan pelajaran yang tepat untuk pergolakan
politik. Seperti kurangnya pengalaman profesional, rendahnya tingkat pengetahuan pembelajar, itu sifat
membingungkan ilmu politik (yang perlu diterapkan dan mana yang perlu diabaikan), jenis perilaku yang
diharapkan dari pembelajar dan inovatif dan progresif model yang bisa digunakan, meski sering
membingungkan. Dari fakta ini, tampak bahwa untuk menjangkau warga yang melek politik banyak
dipengaruhi oleh kemampuan guru dan kesiapan peserta didik. Oleh karena itu, untuk membangun
sebuah melek politik membutuhkan pembelajaran yang tepat strategi (Stassen, Doherty & Poe, 2001;
dan Leithwood et al., 2004). Model wacana publik alternatif, direkomendasikan oleh Ian Davies & Sylvia
Hogarth (2004), dapat diterapkan pada variasi R.J. Strategi Marzano (1992) atau teori pembelajaran
yang disebut "Dimension of Belajar ”(Marzano, 1992; dan Davies & Hogarth, 2004). Menurut teori ini,
the proses belajar akan berhasil jika guru dimulai dengan memberikan persepsi dan positif sikap
(persepsi dan sikap positif) kepada para siswa. Pada tahap ini, sang guru memberi motivasi kepada siswa
tentang pentingnya literasi politik bagi warga Negara (bandingkan Marzano, 1992; Davies & Hogarth,
2004; dan Print & Lange eds., 2012). Dengan implementasi strategi ini, maka tahap selanjutnya akan
terjadi, yaitu siswa secara alami akan berusaha untuk mendapatkan pengetahuan dan berusahalah
untuk mengintegrasikan dengan pengetahuan itu sudah ada pada dirinya (mengakuisisi dan
mengintegrasikan pengetahuan). Ketika proses ini telah terjadi, para siswa tidak perlu lagi didorong
untuk mengeksplorasi pengetahuan karena dengan sendirinya, dan mereka akan mencoba untuk
memperluas dan meningkatkan pengetahuan yang dimilikinya (memperluas dan menyempurnakan
pengetahuan). Dia akan, kemudian, digunakan pengetahuan yang bermakna, sehingga dia akhirnya akan
menggunakan / nya pengetahuannya sebagai kebiasaan produktif pikiran (Stassen, Doherty & Poe, 2001;
dan Leithwood et al., 2004).

KESIMPULAN

Pendidikan adalah upaya untuk mempromosikan pertumbuhan sopan santun (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intelek), dan tubuh anak-anak. Mereka tidak dapat dipisahkan, sehingga kami bisa memajukan
kesempurnaan hidup anak-anak kita. Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan
dan membentuk karakter dan peradaban bangsa yang bermartabat untuk mendidik kehidupan bangsa,
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi manusia yang percaya dan
kesalehan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, mulia, sehat, berpengetahuan luas, terampil, kreatif,
mandiri, dan menjadi demokratis dan bertanggung jawab warganegara. Guru adalah model untuk para
pembelajar, dan kinerja para guru sangat berpengaruh pada kelanjutan pembelajaran pembelajar. Guru
bisa menyajikan yang menarik proses belajar, memotivasi dan menginspirasi, diperoleh dari
pengetahuan dan pengalaman guru yang selalu diperbarui dengan variasi input positif yang diperoleh
dari berbagai Sumber Belajar. Pengetahuan dan pengalaman dapat diperoleh dari buku, media massa,
kegiatan konferensi atau melalui pendidikan latihan. Dalam proses pembelajaran, para guru diperlukan
untuk menghasilkan karya dan inovasi yang bisa mencerahkan untuk diterapkan proses pembelajaran,
sehingga bisa tumbuh semua pelajar potensial dan mereka tidak hanya bias mencapai, tetapi bias
melampaui cita-citanya. Guru bukan hanya seorang guru, tetapi lebih dari itu guru adalah seorang
pendidik. Sebagai seorang pendidik, guru harus memiliki berbagai kemampuan sebagai kompetensi yang
harus dimiliki sebagai pendidik profesional. Pedagogik yang bagus kompetensi, kepribadian, sosial, dan
perilaku professional Pengembangan Civic dan Civic Pendidikan di Indonesia terjadi pada yang pertama
tahun, ketika Kewarganegaraan pada tahun 1957 telah dibahas bagaimana cara mendapatkan dan
kehilangan kewarganegaraan. Kewarganegaraan pada tahun 1962 muncul dalam bentuk politik
indoktrinasi. Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia 1968 adalah sebagai unsur bangsa pendidikan
kewarganegaraan dengan bernuansa Pendidikan Ilmu Sosial. Kewarganegaraan Pendidikan pada tahun
1969 muncul dalam bentuk pengajaran konstitusi dan MPRS RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Republik Indonesia atau Sementara Masyarakat Counsultative Dewan Republik Indonesia)
keputusan. Pendidikan Kewarganegaraan pada 1973 diidentifikasi dengan mengajar Ilmu Sosial. The
Moral Pendidikan Pancasila (Lima Prinsip Dasar Republik Indonesia) pada tahun 1975 dan 1984 muncul
untuk menggantikan PKN (Pendidikan Kewargaan Negara atau Pendidikan Kewarganegaraan) dengan isi
P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau Panduan tentang Apresiasi dan Praktik dari
diskusi Pancasila). Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan pada tahun 1994, sebagai penggabungan
dari Materi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, muncul dalam bentuk konsep mengajar nilai
yang diekstraksi dari Pancasila dan P4. Kewarganegaraan pada tahun 2006 termasuk persatuan dan
kesatuan bangsa; norma, hukum, dan peraturan; hak asasi Manusia; kebutuhan warga negara; Negara
konstitusi; kekuasaan dan politik; Pancasila;dan globalisasi. PPKn (Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan atau Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan) pada tahun 2013 telah meliput
Pancasila sebagai fondasi negara dan pandangan hidup bangsa; UUD 1945 sebagai hukum dasar yang
menjadi konstitusional dasar kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara; Bhineka Tunggal Ika (Kesatuan
dalam Keragaman) sebagai manifestasi keragaman masyarakat, bangsa, dan menyatakan dalam
keragaman yang kohesif dan utuh; dan Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia atau NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai bentuk negara Indonesia. Ruang lingkup Pendidikan
Kewarganegaraan mencakup semua program sekolah; Pendidikan Kewarganegaraan termasuk berbagai
pengajaran dan pembelajaran kegiatan yang dapat menumbuhkan kehidupan yang lebih baik dan
perilaku dalam masyarakat demokratis; dan di Civic Pendidikan mencakup hal - hal yang berkaitan
dengan pengalaman, kepentingan publik, pribadi, dan persyaratan obyektif untuk menghidupi negara.
Melalui pembelajaran PKn, siswa diharapkan, pertama, untuk memahami dan menguasai logika konsep
dan norma Pancasila sebagai filosofi, basis ideologis, dan pandangan hidup Republik Indonesia. Kedua,
itu literasi konstitusi, yaitu UUD (Undang- Undang Dasar atau Konstitusi) tahun 1945, dan hukum yang
berlaku di Republik Indonesia. Ketiga, hidup dan percaya pada tatanan moralterkandung di atas.
Keempat, berlatih dan standarisasi hal-hal di atas sebagai perilaku diri Sikap dan hidup dengan penuh
keyakinan dan alasan.

Anda mungkin juga menyukai