Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Mini
Riset.Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan.

Makalah ini penulis susun dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kriteria-


kriteria yang telah disepakati bersama oleh Ibu Wiflihani, S.Pd.,M.Pd selaku
dosen dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Harapan yang paling
besar dalam penyusunan makalah ini adalah mudah-mudahan apa yang penulis
susun ini dapat bermanfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, pembaca, serta
pengarang-pengarang yang telah penulis gunakan buku-bukunya dalam
pemenuhan tugas ini.

Penulis akui masih ada kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena
kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu akhir kata
penulis mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya
makalah yang sempurna.

Medan, Mei 2018

Penulis

1
ABSTRAK

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,


isi dan instruksional bahan, dan cara yang digunakan sebagai pedoman untuk
pelaksanaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai pendidikan tertentu tujuan.
Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah mengembangkan potensi peserta
didik untuk menjadi manusia makhluk, yang percaya dan takut kepada Allah
sebagai satu Tuhan, memiliki karakter yang luhur, sehat, berpengetahuan, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab. Indonesia telah memasukkan program pendidikan Kewarganegaraan dalam
kurikulum sekolah sekitar satu dekade setelah proklamasi kemerdekaan pada
Agustus 1945. Artikel ini, oleh menggunakan metode kualitatif dan pendekatan
deskriptif, mencoba untuk mengeksplorasi kurikulum dan pengajaran Pendidikan
Kewarganegaraan di Indonesia.

Temuan menunjukkan bahwa lebih dari setengah abad pendidikan


pendidikan, bahkan di semua tingkat pendidikan dari pendidikan dasar, menengah
ke atas, masih menyisakan masalah-masalah umum dan klasik dari tingkat politik
yang rendah terpelajar, apalagi untuk mencapai tujuan menciptakan warga negara
Indonesia yang cerdas dan terampil. Literasi politik tidak hanya pengetahuan
politik, tetapi kemampuan warga negara yang memenuhi syarat baik dalam aspek
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dan sikap. Dalam pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan, guru dituntut untuk mengembangkan proses
pembelajaran yang menarik, menyenangkan, menantang, dan membentuk
pembelajar untuk dapat berpikir kritis dan konstruktif. Guru PKn harus dapat
menyajikan kontekstual bahan belajar, menghubungkan materi pelajaran dengan
kondisi nyata di lapangan, mengatur teori dengan praktik, antara harapan dan
realitas, mengidentifikasi masalah, dan mendorong peserta didik untuk datang
dengan pemecahan masalah alternatif.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………......................... 1


ABSTRAK………………………………………………….............. 2
DAFTAR ISI …………………………………………………......... 3
BAGIAN ISI …………………………………………….................. 4
A. PENDAHULUAN…………………………………,…... 4
B. TEMUAN DAN PEMBAHASAN……………….…….. 5
BAGIAN AKHIR ………………………………………….…….... 9
A. KESIMPULAN ………………………………....……… 9
DAFTAR PUSTAKA ………………………………….................. 11

3
BAGIAN ISI

A. PENDAHULUAN

Menurut Hukum Nasional Sistem Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 Pasal


1, Ayat (19), kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang
tujuan, isi dan instruksi bahan, dan cara yang digunakan sebagai pedoman untuk
pelaksanaan kegiatan pembelajaran untu mencapai tujuan pendidikan tertentu
(Fadjar, 2003). Selanjutnya, pendidikan nasional tujuan, sebagaimana telah
diformulasikan dalam UU Nomor 20 tahun 2003, adalah untuk pengembangan
dari potensi peserta didik menjadi manusia menjadi yang percaya dan berhati-hati
Tuhan Yang Maha Kuasa, memiliki karakter yang mulia, sehat, berwawasan luas,
cakap, kreatif, independen, dan menjadi demokratis dan warga yang bertanggung
jawab (bdk. Fadjar, 2003; dan Iorio & Yeager, 2011). Kurikulum 2013 dirancang
dengan tujuan mempersiapkan rakyat Indonesia memiliki kemampuan untuk
hidup sebagai individu dan warga negara yang setia, produktif, kreatif, inovatif,
dan afektif; dan mampu berkontribusi pada kehidupan masyarakat, negara-bangsa
dan dunia yang beradab (Azis, 2016). Kurikulum adalah instrumen pendidikan
untuk bisa membawa orang Indonesia yang memiliki sikap,pengetahuan, dan
kompetensi keterampilan, sehingga mereka bisa produktif, kreatif, inovatif, dan
individu dan warga afektif (Azis, 2016; dan Suyahman et al., 2017). Salah satu
langkah dalam penyusunan Kurikulum 2013 adalah penataan ulang Pendidikan
Kewarganegaraan atau PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) ke Pancasila (Lima
Dasar Prinsip-prinsip Republik Indonesia) dan Pendidikan Kewarganegaraan atau
PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), yang mana termasuk:
Pertama, ubah nama PKn (Pendidikan kewarganegaraan) ke PPKn (Pancasila dan
Pendidikan Kewarganegaraan).

Kedua, menempatkan subjek PPKn sebagai bagian integral dari kelompok


subjek yang memiliki misi memperkuat kebangsaan. Ketiga, menyelenggarakan
Kompetensi Nasional Standar dan Kompetensi Dasar dan Indikator PPKn dengan
memperkuat Pancasila nilai-nilai dan moral, nilai-nilai dan norma-norma UUD
1945 Republik Indonesia Indonesia, nilai-nilai dan semangat Bhineka Tunggal Ika
(Kesatuan dalam Keragaman), dan wawasan dan komitmen dari NKRI (Negara

4
Kesatuan Republik Indonesia atau Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Keempat, Mengkonsolidasikan perkembangan pembelajar di dimensi:
pengetahuan sipil, sikap sipil, keterampilan sipil, keteguhan sipil, komitmen sipil,
dan gagasan kewarganegaraan. Kelima, kembangkan dan penerapan berbagai
model pembelajaran di sesuai dengan karakteristik PPKnoriented karakter
pengembangan pelajar sebagai warga negara yang cerdas dan utuh yang baik.
Keenam, kembangkan dan terapkan berbagai model pembelajaran proses
pembelajaran dan pembelajaran hasil-hasil PPKn (Nurdin, 2015; dan Suyahman et
al., 2017).

B. TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Pertama, Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan Struktur. Dalam pasal


3 UU Nomor 20 Tahun 2003, tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional
atau Sistem Pendidikan Nasional) secara imperatif menggarisbawahi bahwa:
Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
karakter dan peradaban bangsa yang bermartabat untuk mendidik kehidupan
bangsa, bertujuan untuk pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi
manusia yang percaya dan waspada kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, miliki
karakter mulia, sehat, berpengetahuan, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
demokratis dan warga yang bertanggung jawab (Fadjar, 2003). Karena itu,
idealisme formasi karakter dan peradaban yang bermartabat bangsa untuk
mendidik kehidupan berbangsa, dan menjadikan pria / wanita sebagai seorang
yang demokratis dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab secara filosofis,
sosio-politik dan psiko-pedagogis, adalah misi suci pendidikan kewarganegaraan.
Seperti yang bisa terjadi diamati juga dalam Penjelasan Pasal 37, paragraf (1)
bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air
(Nurdin, 2015; dan Suyahman et al., 2017). Dalam konteks itu, Pendidikan
Kewarganegaraan adalah pada dasarnya pendidikan atau karakter kebangsaan
pendidikan bangsa. Semua keharusan ini atau tuntutan membutuhkan kebutuhan
kita apresiasi baru Pendidikan Kewarganegaraan sebagai konsep ilmiah,

5
instrumentasi, dan keseluruhan praksis pendidikan pada gilirannya dapat
menumbuhkan "kewarganegaraan" intelijen "," partisipasi masyarakat ", dan"
kewarganegaraan tanggung jawab ”sebagai anak bangsa dan warga negara
Indonesia (Affandi, 2013). Historis-epistemologis dan pedagogis, Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai program kurikuler di Indonesia dimulai dengan
perkenalan mata pelajaran PKn di 1962 Kurikulum SMA berisi materi tentang
pemerintahan Indonesia di bawah UUD 1945 (Departemen P & K, 1962). Saat itu,
subjek Civic atau Civics pada dasarnya terdiri dari pengalaman belajar digali dan
dipilih dari berbagai disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi, dan politik, pidato
presiden, hak asasi manusia deklarasi, dan pengetahuan tentang United Bangsa
(Somantri, 1967: 7). Istilah PKn tidak ditemukan secara resmi dalam Kurikulum
1957 serta pada tahun 1964 Kurikulum. Namun, material pada tahun 1957
Kurikulum SMP dan SMA adalah subjek perintah konstitusional dan hukum, dan
dalam Kurikulum 1964, ada subyek pengetahuan umum yang termasuk
pengetahuan pemerintah (Nurdin, 2015; dan Suyahman et al., 2017).

Kemudian di Kurikulum 1968 dan 1969, istilah Kewarganegaraan dan


Pendidikan Kewarganegaraan digunakan secara bergantian. Sebagai contoh,
dalam Kurikulum 1968 untuk SD (Sekolah Dasar atau Sekolah Dasar), istilahnya
"Pendidikan Kewarganegaraan Negara" digunakan sebagai subyek, yang termasuk
Sejarah Indonesia, Geografi Indonesia, dan Civic (diterjemahkan sebagai
pengetahuan kewarganegaraan). Di Junior Kurikulum SMA 1968 menggunakan
istilah itu Pendidikan Kewarganegaraan, yang berisi sejarah Indonesia dan
Konstitusi, termasuk UUD 1945. Sedangkan di Kurikulum SMA 1968, disana
adalah subyek Pendidikan Kewarganegaraan Negara yang mengandung materi,
terutama dengan menghormati UUD 1945. Sementara itu dalam Kurikulum 1969
untuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru atau Sekolah Guru Pendidikan), subyek
Pendidikan Kewarganegaraan Negara yang isinya terutama perhatian sejarah
Indonesia, Konstitusi, pengetahuan masyarakat, dan hak asasi manusia
(Departemen P & K, 1969; dan Nurdin, 2015). Selain itu, dalam Kurikulum PPSP
(Proyek Perintis Sekolah Pembangunan atau Proyek Pelopor Pengembangan
Sekolah) digunakan beberapa istilah, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu
Sosial, dan Kewarganegaraan dan Hukum. Untuk Sekolah Dasar atau SD

6
(Sekolah Dasar) 8 tahun di PPSP menggunakan istilah Kewarganegaraan
Pendidikan, yang terintegrasi dengan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial atau Ilmu
Sosial) subjek dan seperti Studi Sosial terpadu di Amerika. istilah
Kewarganegaraan Pendidikan nampaknya sama dengan IPS Pendidikan.

Pendekatan kedua ditolakdisebut model "masalah besar". Model ini


mencirikan pengenalan siswa perdebatan tentang isu-isu politik yang menekankan
kebebasan politik sebagai proses belaka (Davies & Hogarth, 2004). Mengapa
kedua model ini tidak mendapatkan rekomendasi? Ada dua hal itu adalah
kelemahan: (1) guru saja mencoba mengangkat isu-isu kontroversial sebagai
sebuah kasus dengan harapan bahwa upaya ini berdampak dan dipahami secara
luas, itu tidak terjadi; dan (2) peserta didik yang memiliki pengetahuan mendalam
masalah tertentu, lalu dipilih karena mereka dianggap relevan dengan masalah
saat ini, tetapi isu-isu itu dibangkitkan oleh media bukan oleh ahli pendidikan dan
tidak terjadi di proses belajar di kelas, menjadi layak materi politik (cf Stassen,
Doherty & Poe, 2001; dan Chicotas, 2009). Model alternatif, direkomendasikan
oleh Ian Davies & Sylvia Hogarth (2004), adalah Model "wacana publik". Model
ini mencari untuk memfasilitasi pembelajar menguasai bahasa, konsep, argumen,
dan keterampilan sosial sebagai kondisi berpikir dan berbicara tentang kehidupan
dari sudut pandang politik. Model ini menekankan proses dan produk. Juga di
model ini, pengetahuan yang sebenarnya penting, tetapi digunakan untuk yang
lebih penting lainnya kemampuan pluralisme politik (Davies & Hogarth, 2004).
Model alternatif ini didukung oleh banyak ahli, termasuk P. Newton, R. Driver &
J. Osborne (1999), yang menyarankan itu melibatkan peserta didik dalam debat
aktif, itu dianggap sangat tepat untuk mengembangkan konsep (Newton, Driver &
Osborne, 1999). Proyek Inggris (Inggris) dari Pendidikan Kewarganegaraan juga
menemukan bahwa sekolah-sekolah itu memiliki model praktik yang demokratis
sangat efektif dalam meningkatkan pengetahuan sipil dan engagement (Print &
Lange eds., 2012). Tentu saja ada banyak tantangan menciptakan pelajaran yang
tepat untuk pergolakan politik. Seperti kurangnya pengalaman profesional,
rendahnya tingkat pengetahuan pembelajar, itu sifat membingungkan ilmu politik
(yang perlu diterapkan dan mana yang perlu diabaikan), jenis perilaku yang
diharapkan dari pembelajar dan inovatif dan progresif model yang bisa digunakan,

7
meski sering membingungkan. Dari fakta ini, tampak bahwa untuk menjangkau
warga yang melek politik banyak dipengaruhi oleh kemampuan guru dan kesiapan
peserta didik. Oleh karena itu, untuk membangun sebuah melek politik
membutuhkan pembelajaran yang tepat strategi (Stassen, Doherty & Poe, 2001;
dan Leithwood et al., 2004). Model wacana publik alternatif, direkomendasikan
oleh Ian Davies & Sylvia Hogarth (2004), dapat diterapkan pada variasi R.J.
Strategi Marzano (1992) atau teori pembelajaran yang disebut "Dimension of
Belajar ”(Marzano, 1992; dan Davies & Hogarth, 2004). Menurut teori ini, the
proses belajar akan berhasil jika guru dimulai dengan memberikan persepsi dan
positif sikap (persepsi dan sikap positif) kepada para siswa. Pada tahap ini, sang
guru memberi motivasi kepada siswa tentang pentingnya literasi politik bagi
warga Negara (bandingkan Marzano, 1992; Davies & Hogarth, 2004; dan Print &
Lange eds., 2012). Dengan implementasi strategi ini, maka tahap selanjutnya akan
terjadi, yaitu siswa secara alami akan berusaha untuk mendapatkan pengetahuan
dan berusahalah untuk mengintegrasikan dengan pengetahuan itu sudah ada pada
dirinya (mengakuisisi dan mengintegrasikan pengetahuan). Ketika proses ini telah
terjadi, para siswa tidak perlu lagi didorong untuk mengeksplorasi pengetahuan
karena dengan sendirinya, dan mereka akan mencoba untuk memperluas dan
meningkatkan pengetahuan yang dimilikinya (memperluas dan menyempurnakan
pengetahuan). Dia akan, kemudian, digunakan pengetahuan yang bermakna,
sehingga dia akhirnya akan menggunakan / nya pengetahuannya sebagai
kebiasaan produktif pikiran (Stassen, Doherty & Poe, 2001; dan Leithwood et al.,
2004).

8
BAGIAN AKHIR

A. KESIMPULAN

Pendidikan adalah upaya untuk mempromosikan pertumbuhan sopan


santun (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak-anak. Mereka
tidak dapat dipisahkan, sehingga kami bisa memajukan kesempurnaan hidup
anak-anak kita. Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan
dan membentuk karakter dan peradaban bangsa yang bermartabat untuk mendidik
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik untuk
menjadi manusia yang percaya dan kesalehan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
mulia, sehat, berpengetahuan luas, terampil, kreatif, mandiri, dan menjadi
demokratis dan bertanggung jawab warganegara. Guru adalah model untuk para
pembelajar, dan kinerja para guru sangat berpengaruh pada kelanjutan
pembelajaran pembelajar. Guru bisa menyajikan yang menarik proses belajar,
memotivasi dan menginspirasi, diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman guru
yang selalu diperbarui dengan variasi input positif yang diperoleh dari berbagai
Sumber Belajar. .Moral Pendidikan Pancasila (Lima Prinsip Dasar Republik
Indonesia) pada tahun 1975 dan 1984 muncul untuk menggantikan PKN
(Pendidikan Kewargaan Negara atau Pendidikan Kewarganegaraan) dengan isi P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau Panduan tentang
Apresiasi dan Praktik dari diskusi Pancasila). Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan pada tahun 1994, sebagai penggabungan dari Materi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, muncul dalam bentuk konsep
mengajar nilai yang diekstraksi dari Pancasila dan P4. Kewarganegaraan pada
tahun 2006 termasuk persatuan dan kesatuan bangsa; norma, hukum, dan
peraturan; hak asasi Manusia; kebutuhan warga negara; Negara konstitusi;
kekuasaan dan politik; Pancasila;dan globalisasi.

PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau Pancasila dan


Pendidikan Kewarganegaraan) pada tahun 2013 telah meliput Pancasila sebagai
fondasi negara dan pandangan hidup bangsa; UUD 1945 sebagai hukum dasar
yang menjadi konstitusional dasar kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara;
Bhineka Tunggal Ika (Kesatuan dalam Keragaman) sebagai manifestasi

9
keragaman masyarakat, bangsa, dan menyatakan dalam keragaman yang kohesif
dan utuh; dan Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia atau NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) sebagai bentuk negara Indonesia. Ruang lingkup
Pendidikan Kewarganegaraan mencakup semua program sekolah; Pendidikan
Kewarganegaraan termasuk berbagai pengajaran dan pembelajaran kegiatan yang
dapat menumbuhkan kehidupan yang lebih baik dan perilaku dalam masyarakat
demokratis; dan di Civic Pendidikan mencakup hal - hal yang berkaitan dengan
pengalaman, kepentingan publik, pribadi, dan persyaratan obyektif untuk
menghidupi negara. Melalui pembelajaran PKn, siswa diharapkan, pertama, untuk
memahami dan menguasai logika konsep dan norma Pancasila sebagai filosofi,
basis ideologis, dan pandangan hidup Republik Indonesia. Kedua, itu literasi
konstitusi, yaitu UUD (Undang- Undang Dasar atau Konstitusi) tahun 1945, dan
hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Ketiga, hidup dan percaya pada
tatanan moralterkandung di atas. Keempat, berlatih dan standarisasi hal-hal di atas
sebagai perilaku diri Sikap dan hidup dengan penuh keyakinan dan alasan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Idrus. (2013). “Kurikulum PPKn 2013”. Available online at:


http://www.lpmpjabar.go.id [accessed in Cimahi, Indonesia: June 10, 2016].
Andriot, Angie L. (2007). “A Comparative Analysis of Existing Standards for
High School Sociology Curricula” in Teaching Sociology, Vol.35 [January],
pp.17-30. Available online also at: http://citeseerx.ist.
psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.962.1812&re p [accessed in Cimahi,
Indonesia: March 2, 2017].
Azis, Rosmiaty. (2016). “Kerangka Dasar dalam Pengembangan Kurikulum
2013”. Available online at: file:///C:/Users/acer/Downloads/3483-7437-1-SM.
pdf [accessed in Cimahi, Indonesia: March 2, 2017].
Branson, J. (1999). Belajar Civic Education. Jakarta: Rineka Cipta, Translation.
Carter, S.M. & M. Littler. (2007). “Justifying Knowledge, Justifying Methods,
Taking Action: Epistemologies, Methodologies, and Methods in Qualitative
Research” in Qualitative Health Research, Volume 17, pp.1316-1328.
Chicotas, N.E. (2009). “Problem-Based Learning and Clinical Practice: The Nurse
Practitioners’ Perspective” in Nurse Educational Practice, Volume 9(6),
pp.393-397.
Creswell, J. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, 2nd edition.
Davies, Ian & Sylvia Hogarth. (2004). “Political Literacy: Issues for Teachers and
Learners” in Jack Demaine [ed]. Citizenship and Political Education Today.
London: Palgrave Macmillan, Ltd.
Departemen P&K [Pendidikan dan Kebudajaan]. (1962). Kurikulum Sekolah
Dasar. Djakarta: Departemen P&K.
1Statement: I have, herewith, declared that this paper is my original work; so,
it is not product of plagiarism and not yet also be reviewed as well as published by
other scholarly journals.
Departemen P&K [Pendidikan dan Kebudajaan]. (1969). Pedoman Kerdja
Sekolah Pendidikan Guru. Dakarta: Departemen P&K.
Depdikbud RI [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia].
(1976). Kurikulum Sekolah Menengah Atas 1975: Buku I Ketentuan Pokok.
Jakarta: Balai Pustaka.
Djahiri, A. Kosasih. (1994/1995). Dasar Umum Metodologi Pengajaran
Pendidikan Nilai, Moral. Bandung: LAB PPKn IKIP [Laboratorium
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan] Bandung.
Fadjar, A. Malik. (2003). “Act of the Republic of Indonesia, Number 20, Year
2003, on National Education System”. Available online at: http://www.
flevin.com/id/lgso/translations/Laws/Law%20 [accessed in Cimahi, Indonesia:
June 10, 2016].

Anda mungkin juga menyukai