Anda di halaman 1dari 6

HAK ATAS TANAH

YANG BERSIFAT SEMENTARA

NAMA : PAICE MUTIARA SARI

NIM : D1A019461

MATA KULIAH : HUKUM AGRARIA

KELAS : B1

FAKULTAS HUKUM

2019/2020
A. LATAR BELAKANG
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi
manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan
(pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk
bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam
pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan
dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hak atas tanah yang bersifat sementara?
2. Hak apa saja yang termasuk hak atas tanah yang bersifat sementara ?
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian hak atas tanah
Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu Hak atas tanah yang sifatnya
sementara, dalam waktu singkat diusahakan akan dihapus sebab mengandung
sifat-sifat pemerasan, feodal, dan yang tidak sesuai dengan jiwa atau asas-asas
UUPA. Macam-macam hak atas tanah yang bersifat sementara ini adalah Hak
Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak
Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
2. Hak atas tanah yang bersifat sementara
a. Hak Gadai (Gadai tanah)
Dalam hal Gadai (Gadai Tanah) terdapat dua pihak, yaitu pihak
pemilik tanah pertanian tersebut pemberi gadai dan pihak yang menyerahkan
uang kepada pemberi gadai disebut penerima (pemegang) gadai. Pada
umunya, pemberi gadai berasal dari golongan masyarakat yang berpenghasilan
rendah, Sebaliknya penerima (pemegang) gadai berasal dari golongan
masyarakat yang mampu (kaya). Jangka waktu Hak Gadai (Gadai Tanah)
dalam praktiknya dibagi menjadi dua, yaitu :
 Hak Gadai (Gadai Tanah) yang lamanya tidak ditentukan
Dalam hal Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak ditentukan lamanya,
makapemilik tanah pertanian tidak boleh melekukan penebusan sewaktu-
waktu, misalnya sekarang digadai, 1 atau 2 bulan kemudian ditebus.
Penebusan baru dapat dilakukan apabila pemegang gadai minimal telah
melakukan satu kali masa panen. Hal ini disebabkan karma Hak Gadai
(Gadai Tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian
pinjam-meminjam uang.
 Gadai Tanah yang lamanya ditentukan
Dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) ini, pemilik tanah baru dapat
menebus tanahnya kalau jangka waktu yang diperjanjikan dalam Hak
Gadai (Gadai Tanah) berakhir. Kalau jangka waktu tersebut
sudahberakhir dan pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, maka
tidak dapat dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi sehingga
pemegang gadai bias menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut.
Apabila batas waktu yang telah ditentukan pemilik tanah tidak dapat
menebusnya, maka pemegang gadai tidak dapat memaksa pemilik tanah
untuk menebus tanahnya, dan kalau pemegang gadai tetap tetap memaksa
menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut, maka pemilik tanah dapat
menggugat pemegang gadai kecuali pemilik tanah dapat mengizinkan
menjual tanah yang digadaikan.
Hak Gadai (Gadai Tanah) menurut hukum adapt mengandung cirri-ciri
sebagai berikut :Hak menebus tidak mungkin kadaluarsa,pemegang gadai
selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya,pemegang gadai tidak
boleh menuntut supaya tanahnya segera ditebus,tanah yang digadaikan
tidak bias secara otomatis menjadi milik pemegang gadai bila tidak
ditebus.
b. Hak usaha bagi hasil (perjanjian bagi hasil)
Di dalam pasal 1 huruf c UU Nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian
bagi hasil (Tanah pertanian) adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang
diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum
pada lain pihak yang dalam undang – undang ini disebut penggarap
berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut
untuk menyelenggarakan usaha usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan
pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
Hak dan Kewajiban Pemilik Tanah dalam Hak Usaha Bagi Hasil:
Pemilik tanah berhak untuk mendapatkan sebagian dari hasil tanah pertanian
sesuai dengan telah disepakati oleh kedua belah pihak dan Pemilik tanah
berhak untuk melakukan penuntutan pemutusan hubungan bagi hasil apabila
si penggarap telah merugikan kepentingan pemilik tanah.
Kewajiban-Kewajiban Pemilik Tanah adalah : menyerahkan tanah
garapan kepada penggarap dan membayar pajak atas tanah garapan yang
bersangkutan. Hak-Hak dan Kewajiban dari Penggarap:Hak dari penggarap
adalah berhak untuk mengusahakan tanah pertanian tersebut dan menerima
bagian dari hasil tanah tersebut sesuai dengan kesepakatan yang telah di
perjanjikan sebelumnya oleh kedua belah pihak.
Kewajiban dari Penggarap adalah mengusahakan tanah pertanian
tersebut dengan baik, menyerahkan bagian hasil dari tanah yang menjadi hak
dari pemilik tanah, memenuhi beban yang menjadi tanggungan dan
menyerahkan kembali tanah garapan kepada pemilik tanah dalam keadaan
baik setelah berakhir jangka waktu perjanjian bagi hasil.
 Jangka Waktu Hak Usaha Bagi Hasil
Pasal 4 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1960 telah mengatur jangka
waktu perjanjian bagi hasil yaitu : Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu
yang dinyatakan didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan
ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun dan bagi tanah-kering sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
Dalam hal-hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri
Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi-hasil
dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang ditetapkan dalam ayat 1
diatas, bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.
Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi-hasil diatas tanah yang
bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka
perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen,
tetapi perpanjangan waktu itu tidak boleh lebih dari satu tahun. Jika ada
keragu-raguan apakah tanah yang bersangkutan itu sawah atau tanah-kering,
maka Kepala Desalah yang memutuskan. Sedangkan menurut hukum adat
jangka waktu hak usaha bagi hasil hanya berlaku 1 tahun dan dapat di
perpanjang, akan tetapi perpanjangan jangka waktu tergantung kepada
kesediaan dari pemilik tanah, dan tidak ada jaminan bagi penggarap untuk
dapat menggarap dalam jangka waktu lama. Keadaan inilah yang menjadi
penyebab penggarap bersedia menerima syarat – syarat penggarapan yang
berat, tidak adil dan mengandung unsur pemerasaan.
Hapusnya hak usaha bagi hasil (Perjanjian bagi hasil) dapat disebabkan
oleh : Jangka waktu berakhir,atas persetujuan kedua belah pihak,pemilik tanah
meninggal dunia,adanya pelanggaran oleh penggarap terhadap larangan dalam
perjanjian bagi hasil,dan tanahnya musnah.
c. Hak menumpang
Hak Menumpang adalah merupakan hak adat, ketika seseorang diberikan
izin untuk mendirikan dan menempati rumah di atas tanah milik orang lain,
tanah tersebut bukan termasuk tanah tanah hak guna bangunan dan hak sewa,
pemegang hak menumpang tidak membayar sesuatu kepada pemilik tanah,
akan tetapi menurut pandangan umum pemegang hak menumpang mempunyai
kewajiban untuk membantu pemilik tanah untuk melakukan pekerjaan –
pekerjaan ringan sehari – hari. Hak menumpang pada hakekatnya adalah
“species” dari hak pakai (Boedi Harsono,1999 :281). Sedangkan di dalam
UUPA sendiri tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan hak
menumpang tersebut.
 Sifat – Sifat dan Ciri – Ciri dari Hak Menumpang sebagai berikut :
Tidak mempunyai jangka waktu jelas,bisa saja sewaktu – waktu dapat
dihentikan,hubungan hukumnya lemah yaitu sewaktu – waktu dapat
diputuskan oleh pemilik tanah jika ia memerlukan tanah
tersebut,Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu
berupa uang sewa kepada pemilik tanah,hanya terjadi pada tanah
pekarangan (tanah untuk bangunan,tidak wajib di daftarkan ke kantor
pertanahan,tidak bisa di alihkan kepada pihak lain yang buka ahli
warisnya.
 Hapusnya Hak Menumpang sebagai berikut :
Pemilik tanah sewaktu – waktu dapat mengakhiri hubungan hukum
antara pemegang hak menumpang dengan tanah yang
bersangkutan,hak milik atas tanah yang bersangkutan dicabut untuk
kepentingan umum,pemegang hak menumpang melepaskan secara
sukarela hak menumpang,tanahnya musnah.
d. Hak sewa tanah pertanian
Didalam UUPA tidak ditemukan dari hak sewa tanah pertanian.
Namun Boedi Harsono (1999 : 280) memberikan pengertian Hak Sewa Tanah
Pertanian yaitu mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar
kepada pemiliknya uang sebagai sewa. Dari pengertian tersebut dapatlah
dikatakan bahwa Hak Sewa Tanah Pertanian adalah merupakan suatu
perbuatan hukum ketika si penyewa diberikan kewenangan untuk melakukan
penguasaan tanah milik orang lain dengan membayar uang sewa kepada
pemilik tanah dalam jangka waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak. Dalam sewa tanah pertanian pemilik tanah
bisa saja langsung menjadi penggarap dari tanah miliknya yang disewakan
kepada orang lain tersebut, akan tetapi bisa saja tanah tersebut digarap oleh
penyewa itu sendiri atau menyuruh orang lain yang di percaya sebagai
penggarap oleh penyewa tanah tersebut.
Hapusnya Hak Sewa Atas Tanah Pertanian yaitu :Jangka waktunya
telah berakhir,hak sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari
pemilik tanah kecuali hal tersebut diperkenankan oleh pemilik tanah,hak
sewanya di lepaskan secara sukarela oleh penyewa,hak atas tanah tersebut di
cabut untuk kepentingan umum,tanahnya telah musnah.
D. KESIMPULAN
Hak atas tanah yang bersifat sementara (hak gadai,hak usaha bagi
hasil,hakmenumpang,hak sewa tanah). Dikatakan sementara karena suatu waktu hak-hak
tersebut tidak akan dianggap lagi sebagai suatu lembaga hukum karena beberapa sebab
yang dapat membatalkannya. Dalam pada hak-hak itu belum sekaligus dapat dihapus
pada saat mulai berlakunya UUPA,karena penghapusannya harus dahulu disertai berbagai
usaha yang sampai sekarang pun belum dapat diselenggarakan sepenuhnya. Sementara
hak-hak tersebut harus diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan
UUPA.Misalnya dengan pengaturan perjanjianbagi hasil tanah pertanian dengan UU
nomor 2 tahun 1960 tentang “bagi hasil” dan pengaturan pengembalian tanah pertanian
yang digadaikan dalam pasal 7 UU No 56 Prp tahun 1960 tentang”penetapan luas tanah
pertanian”.

Anda mungkin juga menyukai